Anda di halaman 1dari 5

KONDISI PENDIDIKAN INDONESIA

Salah satu hal yang menjadi sasaran kritik dalam praksis pendidikan di Indonesia,
terutama pendidikan formal yang diselenggarakan dan berada di bawah kendali
negara via Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) adalah visi dan
orientasi atau kiblat perbaikan kualitas pendidikan. Ya, tak dapat disangkal lagi
bahwa kiblat pendidikan Indonesia adalah negara-negara maju, antara lain adalah
Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan yang sedang tren adalah Finlandia. Inilah
yang perlu dikritik.
Lalu, apakah kita tidak boleh meniru keberhasilan pendidikan di negara-
negara tersebut? Tentu saja tidak. Kalau ada hal yang baik dari kemajuan dan kualitas
praktik pendidikan pada beberapa negara maju tersebut dan bisa diimplementasikan
tentu boleh-boleh saja menirunya. Namun satu hal yang harus kita pahami adalah:
bisa jadi kebijakan pendidikan yang dirumuskan dan lakukan oleh negara-negara
tersebut sukses karena memang sesuai, cocok, dan tepat untuk negara itu saja. Bisa
jadi ketika diadopsi untuk negara lain justru tidak tepat, karena berlainan karakteristik
konteks lingkungan, sosial, kultural, ekonomi, dan politiknya.
Jika kita sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan untuk perubahan sosial
(social transformation), dan itu artinya adalah perubahan sosial dalam konteks
Indonesia, maka rumusan gagasan dan praksis pendidikan Indonesia mesti
mempertimbangkan karakteristik dari Indonesia. Tidak boleh tidak. Beberapa hal
yang minimal mesti digali adalah: (1) karakteristik Indonesia sebagai bangsa dan
negara, termasuk di dalamnya karakteristik sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
ideologinya, semuanya tersebut dapat dibagi menjadi karakteristik yang ideal (dicita-
citakan) dan yang aktual (riil-empiris terjadi); dan (2) potensi yang dikandung oleh
jejak historis dan kekayaan sosio-kultural untuk membangun praksis pendidikan,
dalam hal ini terutama adalah jejak historis praksis pendidikan di Indonesia.
Akan butuh waktu yang lumayan lama untuk dapat menggali secara utuh
karakteristik sosial, budaya, politik, ekonomi, dan ideologi bangsa Indonesia, oleh
karena itu dalam telaah singkat ini saya mulai dari melakukan analisis kritis terhadap
kondisi dan praksis pendidikan di Indonesia sekarang ini. Terutama pendidikan
formal (schooling system) yang sampai sekarang masih dominan dan menjadi idola
sebagai sarana untuk mobilitas sosial personal dan perubahan sosial masyarakat. Apa
yang saya lakukan adalah kritik sampai pada aras epistemologi dan kemudian
mengajukan solusi dengan mengambil pelajaran pada beberapa bentuk praksis
pendidikan yang telah terekam dalam jejak sejarah pendidikan di Indonesia sampai
sekarang. Dengan demikian ulasan singkat ini membutuhkan komentar dan kritik
untuk dikembangkan lebih jauh lagi.
Hegemoni pendidikan formal
Benar bahwa negara sebagai entitas yang mewadahi kepentingan warganya
memang harus memenuhi tanggung jawab, peran, dan fungsinya. Negara yang
kemudian direpresentasikan oleh pemerintah dalam konteks ini dengan demikian
bertanggung jawab untuk memfasilitasi dan melayani warganya agar mendapatkan
pendidikan yang baik. Pendidikan tersebut dalam Undang-Undang tahun 1945
diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, negara diberi
mandat untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas untuk warganya.
Sampai di sini tentu kita sepakat bahwa negara harus memfasilitasi pendidikan yang
berkualitas untuk warga negaranya.
Mandat tersebut diwujudkan dengan menyelenggarakan sistem pendidikan
nasional yang menitikberatkan pada jenis pendidikan formal (schooling system).
Hanya saja dalam perkembangan berikutnya, ternyata negara via pemerintah
mengambil alih dan/atau mengontrol hampir semua bentuk dan jenis pendidikan yang
ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, jenis pendidikan yang didukung oleh
pemerintah kemudian menyingkirkan jenis pendidikan lain yang tidak dalam posisi
menguntungkan. Berikut di bawah ini 4 (empat) hal utama yang terjadi.
Pertama, terlihat bahwa pemerintah melakukan penyeragaman persepsi dan
kampanye besar-besaran disokong oleh media massa dan dunia industri bahwa jenis
pendidikan yang paling unggul adalah pendidikan formal. Hal ini dapat dilihat dari
program Wajib Belajar (Wajar) 9 (sembilan) tahun yang pada kenyataannya
dipraktikkan sebagai wajib sekolah selama sembilan tahun, yaitu Sekolah Dasar
(SD) 6 (enam) tahun dan ditambah Sekolah Menengah Pertama (SM) 3 (tiga) tahun.
Kampanye yang gencar dilakukan pun mengandung nilai pemahaman dasar bahwa:
kalau ingin hidup sukses maka bersekolahlah setinggi-tingginya. Pada kampanye ini
diperlihatkan banyak orang sukses berkat kegigihan mereka menempuh sekolah. Pun
pemerintah menyediakan beasiswa bagi anak-anak agar mereka dapat sekolah
setinggi-tingginya sampai jenjang perguruan tinggi. Sedemikian vitalnya pendidikan
formal juga dapat dilihat dari besarnya proporsi alokasi dana pendidikan formal
dibanding jenis pendidikan lainnya. Relasi kuasa dan simbiosis mutualisme dunia
pendidikan formal dengan dunia kerja (pasar) dan negara terlihat dari prasyarat: kalau
ingin masuk dan menempati posisi kerja di dunia industri dan lembaga pemerintah,
maka harus merupakan lulusan pendidikan formal (ditandai dengan ijasah dan
transkrip nilai).
Kedua, pemerintah berupaya mengatur semua jenis pendidikan, termasuk di
dalamnya jenis pendidikan informal dan nonformal pun dibawah komando
pemerintah. Lihat saja dalam struktur organisasi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Kehendak untuk mengatur semua jenis dan praksis pendidikan ini
diwujudkan dengan membuat kategori standar pendidikan tertentu. Wujud nyatanya
adalah melahirkan pusat legitimasi kualitas yang disebut Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN-PT), Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-
SM), termasuk juga Badan Akreditasi Nasional Perguruan Nonformal (BAN-PNF).
Di sinilah terlihat jelas bahwa jenis pendidikan nonformal pun diformalisasikan
dengan merumuskan standar-standar tertentu melalui BAN-PNF.
Beberapa jenis praktik pembelajaran dan/atau pendidikan nonformal dan
informal yang selama ini hidup di masyarakat diformalisasikan dan menjadi bagian
dari sistem pendidikan formal. Sebut saja magang (internship), sebuah konsep dan
praktik belajar tradisional dan sederhana dengan mekanisme seseorang yang ingin
belajar suatu hal tertentu maka ia langsung saja belajar pada ahlinya (expert),
langsung belajar sambil melakukan (dalam istilah yang lebih familiar karena
diformalkan dan kenalkan oleh Unesco: learning by doing) di tempat sang ahli
tersebut bekerja. Sekarang konsep magang ini dimasukkan dalam pendidikan formal,
terutama pada jenis Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di sisi lain orang yang
magang di luar setting pendidikan formal dianggap tidak lebih berkualitas dan tidak
diakui oleh dunia industri dan pemerintah.
Ketiga, propaganda dan kampanye mengenai keunggulan pendidikan modern
dalam bentuk pendidikan formal pada akhirnya berhasil menarik perhatian dan
memikat pihak-pihak yang terlibat dalam jenis pendidikan tradisional dan lainnya.
Inilah yang sering disebut sebagai modernisasi pendidikan tradisional. Salah satu
kasus yang harus diangkat adalah Pondok Pesantren salaf/tradisional. Sebagai sebuah
sistem pendidikan yang mulai berkembang ketika penyebaran agama Islam di
Nusantara oleh para Wali Songo, pesantren didesain sebagai inovasi dan improvisasi
jenis pendidikan serupa yang berkembang di masa Hindu-Budha. Praksis pendidikan
yang dilahirkan dari konteks sosial, historis, kultural, politik, ekonomi, dan alam
Nusantara jelas telah memberikan kontribusi riil bagi pembangunan kedaulatan rakyat
(ulasan lebih lengkap dapat dibaca pada serial buku tentang pesantren oleh Achmad
Baso, 2013). Pada masa Orde Baru kemudian banyak pesantren salaf mulai melirik
pada jenis pendidikan modern. Caranya adalah dengan menyelenggarakan madrasah
formal, yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan
Madrasah Aliyah (MA). Konsepnya sudah dirumuskan oleh Kementerian Agama,
hingga yayasan yang menaungi pesantren tinggal mengikuti konsep baku yang sudah
ada. Pesantren mengikuti arus modernisasi dan dapat dikatakan kehilangan rasa
percaya diri akan dapat bertahan dan bermanfaat jika tetap berbentuk pesantren saja.
Keempat, kasus serupa dengan fenomena pertama dan ketiga adalah
pengabaian jenis sistem pendidikan tradisional. Sekolah formal di pagi hari karena
dianggap teramat vital dan penting bagi masa depan anak-anak dan bangsa, maka ia
diprioritaskan dibanding dengan sekolah/madrasah sore (dalam lingkungan umat
Islam di Indonesia) dan Pondok Pesantren. Beberapa sekolah yang disebut-sebut
sebagai sekolah unggul juga mendesain jam belajarnya sampai sore, hingga
dinamakan sebagai full day school. Anak-anak sekolah formal yang jam belajarnya
makin lama di sekolah pada akhirnya tidak dapat mengikuti jenis pendidikan agama
di sore hari yang selama ini sudah ada dan menjadi tradisi. Ini jelas artinya bahwa
pendidikan formal yang disokong penuh oleh pemerintah melakukan diskriminasi
terhadap jenis pendidikan lain. Padahal madrasah di sore hari jauh lebih kuat dan
tepat dalam membelajarkan pengetahuan keislaman dibanding pelajaran agama Islam
di sekolah formal. Padahal pesantren salaf jauh lebih kuat ikatannya dengan
masyarakat, dan dalam beberapa pesantren dapat memberi bekal bagi kehidupan para
santri setelah meninggalkan pesantren untuk hidup di masyarakat.


Hormat saya,



Hernawan Tri Wibowo

Anda mungkin juga menyukai