Sumber: Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.
Yogyakarta: UGM Press
4. Efek Penyimpanan Postmortem pada Keempukan Tiga faktor yang yang menentukan keempukan daging adalah latar belakang kealotan daging, fase kekakuan, dan fase keempukan. Latar belakang kekerasan daging didefinisikan sebagai resistensi terhadap pergeseran otot yang bisa memendek mencapai 40% dan variasi terjadi karena komponen jaringan ikat dari otot. Kealotan disebabkan oleh pemendekan sarkomer selama pengembangan kekakuan mortis. Fase kekakuan dan keempukan daging berlangsung selama post-mortem periode penyimpanan, latar belakang kekerasan terjadi pada saat penyembelihan dan tidak berubah selama periode penyimpanan. Perbandingan: Secara umum, struktur primer yang mempengaruhi keempukan daging adalah integritas myofibril (dikenal dengan efek aktomyosin) dan kontribusi jaringan ikat (kolagen dan elastin). Walaupun kecil, kandungan lemak di dalam daging (marbling) juga memberikan kontribusi pada keempukan daging. Setelah penyembelihan adanya perlakuan yaitu pelayuan. Pelayuan adalah penanganan karkas atau daging segar postmortem yang secara relatif belum mengalami kerusakan microbial dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperature tertentu diatas titik beku karkas atau daging (-1,5 o C). pelayuan mempengaruhi keempukan daging. Semakin tinggi temperature pelayuan akan menghasilkan derajat keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat (Soeparno, 2005). Selama 24-36 jam pertama postmortem, proses yang domain adalah glikolisis postmortem. Perubahan degradatif termasuk denaturasi protein dan proteolisis terjadi sebelum pH ultimat atau pH akhir daging tercapai (Soeparno, 2005). Penurunan pH postmortem. Laju penurunan pH otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi rendah, dan permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan kepermukaan potongan daging. Jadi, penurunan pH postmortem mengakibatkan keempukan daging berkurang karena daya ikat protein terhadap air berkurang Sumber: Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press (Soeparno, 2005). Pemendekan sarkomer myofibril mengakibatkan penurunan keempukan daging. 5. Efek Penyimpanan Postmortem pada Ultrasturktur Otot Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa melemahnya myofibers adalah peristiwa kunci dalam tenderization. Yang paling konsisten melaporkan ultra perubahan yang terkait dengan tenderization adalah istirahat di persimpangan dari band I dan Z-disk (Abbot, Pearson, Harga, & Hooper, 1977; Davey & Dickson, 1970; Dutson, Pearson, & Merkel, 1974; Ho, Stromer, Rouse, & Robson, 1996; Taylor, Geesink, Thompson, Koohmaraie, & Goll, 1995a). Karena melemahnya myofibers, daging berusia menghasilkan proporsi yang lebih tinggi fragmen yang lebih kecil pada homogenisasi dari tanpa penuaan daging. Para myofibril indeks fragmentasi (LKM), yang didasarkan pada konsep fragmentasi, telah digunakan sebagai indeks untuk kelembutan daging, serta untuk postmortem tenderization (Davey & Gilbert, 1969). Sejak saat itu LKM telah terbukti menjadi prediktor kelembutan daging di banyak studi (Olson, Parrish, Dayton, & Goll, 1977; Taylor et al, 1995a;. Whipple, Koohmaraie, Dikeman, & Crouse, 1990a). Protein yang terdegradasi selama degradasi myofiber adalah protein myofibrillar dan cytoskeletal, yang termasuk troponin-aku, troponin-T, desmin, vinculin, meta-vinculin, distrofin, nebulin dan Titin (lihat Robson dkk., 1997 & Taylor et al., Untuk review, 1995a). Tiga besar cytoskeletal struktur rusak ketika daging empuk: Z-untuk Zline lampiran dengan filamen menengah, Z-dan M-line lampiran ke sarcolemma dengan protein costameric dan protein filamen elastic Titin (Taylor et al., 1995a). Z-sampai Z-line lampiran sebagian besar terdiri dari desmin. Pentingnya attachment ini untuk kelembutan daging digambarkan oleh model callipyge domba, yang menunjukkan tenderization postmortem sedikit (Koohmaraie, Shackelford, Wheeler, Lonergan, & Doumit, 1995). Untuk beberapa minggu postmortem sedikit degradasi desmin terjadi (Geesink & Koohmaraie, 1999b;. Koohmaraie et al, 1995), dan Z-sampai Z-line lampiran sebagian besar tetaputuh (Gambar 2; Taylor & Koohmaraie, 1998). Demikian pula, Titinjuga sebagian besar masih utuh untuk postmortem beberapa minggu diotot dari callipyge domba (Geesink & Koohmaraie, 1999b). Detasemen dari Sumber: Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press sarcolemma Z-dan M-garis dari mungkin bukan merupakan faktor pembatas bagi tenderization.Detasemen struktur pada 14 postmortem hari hampir selesai di kedua callipyge dan domba kontrol, sedangkan perbedaan besar dalam kelembutan diamati (Taylor & Koohmaraie, 1998). Dengan demikian, Titin dan desmin cenderung kunci substrat yang menentukan kelembutan daging. Perbandingan: Temperatur. Temperatur awal otot postmortem memegang peranan yang besar pada perkembangan keempukan daging. Temperatur rendah dapat menurunkan pH. pH rendah dapat menyebabkan penghambatan kerja enzim proteolitik, denaturasi protein myofibrillar dan shortening yang berlebihan menyebabkan kekerasan dan penurunan kapasitas resistensi air. Denaturasi protein myofibrillar dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik yang mengakibatkan pemucatan otot, berair dan strukturnya longgar. Ini menyebabkan daging kurang empuk. Otot mengandung enzim-enzim proteoltik. Peningkatan keempukkan daging selama proses pelayuan antara lain karena kerja enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen kontraktail (Soeparno, 2005)
6. karakteristik apa yang harus protease miliki sebagai calon yang menyebabkan postmortemtenderisasi Tiga sistem proteolitik hadir dalam otot telah diselidiki untuk kemungkinan peran mereka dalam proteolisis postmortem dan tenderization: sistem calpain, yang lisosomal cathepsins dan kompleks proteinase multicatalytic (MCP). Sistem proteolitik harus memenuhi syarat untuk dapat terlibat dalam postmortem proteolitik dalam daging. Pertama, protease harus memiliki akses ke substrat, dan kedua, harus mampu memproduksi enzim proteolitik setelah postmortem penyimpanan daging. Inkubasi protein myofibrillar dengan hasil cathepsins di berbagai pola degradasi daripada yang terjadi selama postmortem penyimpanan otot, dan diragukan bahwa cathepsins dilepaskan dari lisosom di postmortem otot (Koohmaraie, 1988). Sebuah peran penting untuk MCP dapat dikesampingkan, Sumber: Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press karena substrat myofibrils yang sangat miskin untuk sistem protease (Koohmaraie, 1992). Selain itu, pola degradasi protein oleh MCP myofibrillar tidak meniru pola degradasi diamati pada postmortem otot (Taylor et al., 1995b). Ini daun calpain yang sistem atau berpotensi lainnya, belum diselidiki, bertanggung jawab untuk proteolisis postmortem sistem proteolitik myofibrillar protein kunci dan daging yang dihasilkan tenderization. Perbandingan: Selama proses pengempukan, proteolisis mempengaruhi semua protein otot, termasuk penghubung jaringan, sehingga telah jelas bahwa protein myofibrillar bertanggung jawab atas proses proteolisis postmortem. Beberapa factor nonenzimatik juga mempengaruhi proses keempukan daging, seperti suhu, pH, dan konsentrasi Ca 2 . Pada saat hewan dipotong, dagingnya empuk. Namun, karena akibat kekejangan otot pada saat masa rigor mortis, daging mengeras selama 12 24 jam setelah hewan mati. Setelah masa rigor mortis, daging kembali melalui proses pengempukan selama masa postmortem. Pengempukan terjadi karena degradasi beberapa protein struktural oleh enzim endogenus. Proses ini dikenal dengan proteolisis postmortem dan bertanggung jawab untuk proses pengempukan postmortem. Dari keseluruhan sistem endogenus proteolitik, hanya calpain proteolytic system yang terlibat dalam proses pengempukan daging. Sistem ini melibatkan tiga komponen, yaitu -calpain (low calcium requiring enzyme), m-calpain (high calcium requiring enzyme), dan calpastatin yang spesifik menghambat aktivitas calpain. Aktivitas calpain sangat tergantung pada keberadaan kalsium. Dalam buku karanagan Soeparno (2005) peranan protease endogenus pada proses tenderisasi daging postmortem pada temperatur atau kondisi refrigerasi (2- 4 o C), yaitu: (1) Tenderisasi dari proses yang dimediasi oleh Ca ++ ; (2) Enzim-enzim lisosomal memegang peranan kecil terhadap tenderisasi pada temperature refrigerasi; Sumber: Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press (3) CDP memegang peranan penting didalam proses tenderisasi yang berhubungan dengan perubahan keempukan myofibril; (4) Protease selain CDP juga dapat terlibat dalm proses tenderisasi pada kondisi refrigerasi, tetapi aktivitasnya juga diatur oleh Ca ++ dan merupakan enzim endogenus sel otot selektal, dan (5) Beberapa perubahan postmortem yang bertanggung dengan proteolisis protein-protein myofibril. Jadi, keempukan maksimum yang dapat tercapai sebagai akibat dari proteolisis otot pascamerta melalui sistem CANP atau sistem katepsin, sebagaianya merupakan funsi dari temperature, pH dan waktu atau lama pelayuan (Soeparno, 2005).
Sumber: Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press Bisa buat tambahan Proses pengempukan daging melalui masa postmortem melibatkan calpain yang aktivitasnya sangat tergantung pada kalsium (calsium-activated tenderization/CAT). Pada kenyataannya, kandungan kalsium di dalam otot selama postmortem tidak selalu optimum untuk aktivitas calpain. Kekurangan kalsium dapat ditambahkan dari luar untuk aktivasi calpain dan mempercepat dan memperluas proses pengempukan. Proses ini dikenal dengan CAT yang dilakukan dengan menginjeksi otot (pada saat pre-rigor atau post-rigor) dengan 5% (per berat) dari 2,2% larutan kalsium klorida yang food grade. Injeksi lebih efektif dilakukan pada saat pre-rigor (3 jam setelah penyemblihan). Injeksi dengan larutan kalsium klorida tidak mempengaruhi secara signifikan atribut mutu daging lainnya. Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi, meskipun keempukannya tidak sebaik saat dikonsumsi pada fase pasca rigor. Hal ini dimungkinkan karena adanya enzin calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca +2 . Ion ini dipreoleh saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
Sementara itu, kalsium diperlukan untuk kontraksi otot, yaitu sebagai motor penggerak enzim proteolitik. Penyuntikan kalsium karbonat dapat meningkatkan keempukan daging. Kalsium memang penting untuk memicu effector dan pengendalian apoptosis. Lebih kompleks, keempukan daging memiliki korelasi dengan proses apoptosis, seperti polaritas membrane. Apoptosis dikenal sebagai kematian sel dalam semua jaringan termasuk otot. Keempukan akan tergantung pada banyaknya aktivitas enzimatik, diantaranya aktivitas calpain, yaitu apoptosis tersebut.