Anda di halaman 1dari 6

Tugas Paper 2 - Mata Kuliah E-Government (Sumardi 1406596750 - 2014A)

Penerapan E-marketplace bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah


(UMKM) melalui program One Village One Product (OVOP)

Sumardi (1406596750)
Oktober 2014


Abstrak E-marketplace adalah suatu layanan yang
mempertemukan penjual dan pembeli dalam suatu wadah
online. Perkembangan E-marketplace di Indonesia dewasa ini
cukup pesat ditandai dengan munculnya website-website
marketplace yang cukup banyak. One Village One Product
(OVOP) adalah suatu gerakan pengembangan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah yang diadopsi dari Jepang. Penerapan
E-marketplace bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) melalui program One Village One Product (OVOP
sangat diperlukan untuk membantu promosi dan pemasaran
produk unggulan UMKM agar dapat menjangkau pasar
global. OVOP di Indonesia masih perlu banyak perbaikan,
terutama terkait konsentrasi pengembangan produk,
ketergantungan kepada pemerintah, dan sumber daya
manusia.

Kata Kunci E-marketplace, UMKM, e-commerce,
OVOP, G2B, B2B.

I. PENDAHULUAN
Perkembangan e-commerce di Indonesia telah dimulai
sejak tahun 90an. Pada tahun 1996 telah terdapat beberapa
perintis transaksi online, misalnya D-Net dan Commerce
Net Indonesia. Saat ini sudah sangat banyak layanan e-
commerce yang berkembang di Indonesia seiring dengan
pesatnya perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Kehadiran e-commerce sebagai media
transaksi baru ini tentunya menguntungkan banyak pihak,
baik pihak konsumen, maupun pihak produsen dan penjual
(retailer). Dengan menggunakan internet, proses
perniagaan dapat dilakukan dengan menghemat biaya dan
waktu.
Peran pemerintah dalam e-commerce adalah agar
komunitas bisnis mendapatkan informasi yang berharga
dan menerapkannya di waktu yang tepat pada produksi
dan penjualan barang dan jasa. Salah satu fitur kunci dari
e-commerce adalah penyediaan transaksi business-to-
business (B2B) untuk memajukan usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM) karena mayoritas transaksi e-
commerce berlangsung di e-commerce B2B. Dalam e-
commerce B2B, pemerintah perlu membangun dan
menyediakan layanan dalam bidang e-payment, logistik,
keamanan, jaringan e-trade global (E-marketplace), dan
isu-isu legal[2].
Sesuai dengan pasal 73 ayat 1 Undang-Undang No. 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan yang menyatakan bahwa
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan
pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) di sektor Perdagangan. Upaya
pemberdayaan tersebut dapat berupa pemberian fasilitas,
insentif, bimbingan teknis, akses dan/atau bantuan
permodalan, bantuan promosi, dan pemasaran.
Salah satu upaya untuk memberdayakan masyarakat
dan meningkatkan nilai tambah produk unggulan daerah
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dalam wadah koperasi atau UKM, pada tahun 2007
pemerintah Indonesia menerapkan Program One Village
One Product (OVOP)[1]. Program ini dirintis pada tahun
1979 oleh Prof. Morihiko Hiramatsu yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur Oita, Jepang. Lantas konsep
ini berkembang atau diadopsi oleh negara-negara ASEAN
diantaranya Malaysia, Philipina, Indonesia, Kamboja,
Vietnam, Thailand, negara-negara di Asia Selatan, Afrika,
Eropa Timur , dan Amerika Selatan. Implementasi OVOP
di Indonesia mengikuti suatu konsep program
pembangunan regional, bisa dari tingkat desa, kecamatan,
maupun kabupaten/kota dan selanjutnya memilih satu
produk utama yang dihasilkan dari kreativitas masyarakat
melalui UMKM. Akan tetapi sampai saat ini,
perkembangan OVOP di Indonesia belum begitu
menggembirakan, terbukti pada tahun 2014 baru 28
propinsi yang mempunyai Rencana Rintisan OVOP, dan
produk yang diusulkan untuk menjadi unggulan daerah
juga masih sedikit. Sementara ini usulan produk unggulan
masih terkonsentrasi di Jawa Tengah[1].
Dalam berbagai pemaparan tentang OVOP di
Indonesia, pemerintah dalam hal ini Kementerian
Perindustrian serta Kementerian Koperasi dan UKM sama
sekali belum menyentuh kebijakan atau perencanaan
terkait promosi dan pemasaran yang terpadu secara online.
Perkembangan teknologi informasi serta peningkatan
pemanfaatan e-commerce yang begitu pesat di Indonesia
menjadi modal penting dalam memasarkan dan
mempromosikan produk-produk UMKM melalui aplikasi
online. Sehingga pemerintah perlu berperan penting dalam
rangka mendorong transaksi Business to Business (B2B)
melalui sebuah layanan Government to Bussiness (G2B)
yaitu E-marketplace.
E-marketplace dapat di ibaratkan sebagai sebuah mal
atau pusat perbelanjaan dimana terdapat vendor-vendor
yang berdagang didalamnya. Keuntungan bagi para
pengusaha kecil dan menengah untuk bergabung dalam E-
marketplace yaitu para pengusaha kecil dan menengah
tersebut tidak perlu melakukan marketing online terhadap
website dan produknya. Karena biaya untuk melakukan
kegiatan marketing telah dibuat oleh pemilik E-
marketplace tersebut. Para pengusaha kecil dan menengah
tinggal menunggu pesanan dari para pembeli yang
melakukan permintaan ke E-marketplace tersebut.
Beberapa contoh aplikasi E-marketplace di indonesia
diantaranya bukalapak.com, plasa.com, berniaga.com,
tokopedia.com, tokobagus.com/oxl.co.id, dan masih
banyak lagi lainnya. Sayangnya belum ada satupun E-
Tugas Paper 2 - Mata Kuliah E-Government (Sumardi 1406596750 - 2014A)
marketplace resmi pemerintah yang dibuat untuk
kepentingan masyarakat, khususnya bagi Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM). Untuk itu dalam rangka
membantu promosi dan pemasaran UMKM, pemerintah
perlu merencanakan, merancang dan menerapkan E-
marketplace khususnya untuk mendukung program One
Village One Product (OVOP). Ruang lingkup penerapan
E-marketplace dalam tulisan ini dibatasi hanya pada
tingkat regional dan nasional saja yaitu pada program
OVOP di Indonesia. Sedangkan pengembangan E-
marketplace untuk bidang yang lebih luas misalnya
produk-produk hasil pertanian, peternakan, perikanan, dan
lain-lain dalam lingkup yang lebih luas
(global/internasional) tidak dibahas dalam tulisan ini.
Tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian, yang
pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang
dan ruang lingkup. Bagian kedua adalah tinjauan pustaka
yang memaparkan pengertian dari e-commerce, E-
marketplace, dan sekilas sejarah serta landasan hukum
Program One Village One Product (OVOP) di Indonesia.
Hasil dan pembahasan ada di bagian kedua yang
merupakan inti dari penulisan paper ini. Bagian terakhir
adalah kesimpulan yang berisi rangkuman serta saran
penulis.

II. TINJAUAN PUSTAKA
e-commerce merujuk kepada pembelian, penjualan,
pemasaran, dan pelayanan produk dan jasa melalui
Internet dan jaringan komputer lainnya. E-commerce
menangani transaksi pembelian dan transfer dana melalui
jaringan komputer yang dibangun di atas struktur dan
keuntungan perdagangan tradisional dengan
menambahkan fleksibilitas yang ditawarkan oleh jaringan
elektronik[2].
E-marketplace adalah sebuah sistem informasi antar
organisasi yang memungkinkan beberapa pembeli dan
penjual, serta pemangku kepentingan lainnya, untuk
berinteraksi, berkomunikasi dan bertransaksi satu sama
lain (Stockdale dan Standing, 2004). E-marketplace pada
saat ini telah mendorong pertumbuhan pada sektor e-
commerce B2B. E-marketplace secara substansial
menurunkan biaya partisipasi dalam transaksi elektronik,
yang memungkinkan sejumlah besar perusahaan kecil dan
menengah untuk mulai menikmati manfaat dari transaksi
elektronik tersebut[3].
Gerakan One Village One Product (OVOP) adalah
sebuah pendekatan unik yang dimulai pada tahun 1979
oleh Morihiko Hiramatsu di perfektur Oita, Jepang. Dr.
Morihiko Hiramatsu adalah seorang pensiunan Ministry of
Economy, Trade and Industry (METI) Jepang. Pendekatan
ini sangat berhasil diterapkan di perfektur Oita, yang
kemudian menjadi pertimbangan di dunia internasional
terutama di negara-negara berkembang karena potensinya
dalam memajukan sebuah daerah. Dan pada tahun 2007
sudah ada 51 negara yang mengadopsi program OVOP.
Gerakan One Village One Product (OVOP) memiliki 3
prinsip yaitu :
1. Local yet global;
Pengembangan Gerakan OVOP bertujuan untuk
meningkatkan, mengembangkan dan memasarkan
produk yang bisa menjadi sumber kebanggaan
masyarakat setempat. Terutama yang bisa dipasarkan
baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga tercapai
tujuan Lokal Tapi Global.
2. Mandiri, kreatif dan inovatif ;
Masyarakat setempat menjadi penghela Gerakan
OVOP agar mampu mandiri dan kreatif. Pemerintah
memberikan berbagai fasilitas hanya untuk
pengembangan produk dengan program program yang
kompetitif yang terseleksi secara ketat. One Village
One Product dimaksudkan bukan satu daerah satu
produk melainkan setiap daerah terpilih satu produk
yang difasilitasi oleh pemerintah untuk dikembangkan.
Program yang mencerminkan kemandirian, kreativitas
dan inovatif dari masyarakat yang diprioritaskan untuk
difasilitasi oleh pemerintah.
3. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM);
Pemerintah Daerah harus menyadari dan mampu
mendorong sumberdaya manusia yang kreatif dan
inovatif. Mampu melakukan terobosan baru di sektor
Pertanian, Industri, Pariwisata, Jasa, serta Pemasaran
produknya, sehingga meningkatkan kualitas,
produktivitas, dan daya saing. Prinsip ketiga ini harus
senantiasa dilakukan untuk mengikuti perkembangan
jaman.
Landasan hukum Program One Village One Product
(OVOP) di Indonesia antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992, Tentang
Perkoperasian. Dan Undangundang Nomor 20 tahun
2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah.
2. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 Tentang
Percepatan Sektor Riil dan Pembangunan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah tanggal 8 Juni 2007 yang
mengamanatkan pengembangan sentra melalui
pendekatan One Village One Product (OVOP).
3. Keputusan Rapat Kerja Kementerian Koperasi dan
UKM dengan Komisi VI DPR-RI tahun 2008 agar
program OVOP dapat dikembangkan di Provinsi lain.
4. Telah diamanatkan dalam Program Kerja 100 hari
Kabinet Indonesia Bersatu II.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Mengapa harus E-marketplace?
Berdasarkan penelitian Yan Jianyuan et al (2009), yang
dilakukan di China menunjukkan bahwa keuntungan
relatif, jaringan eksternalitas, kepercayaan teknologi, dan
dukungan top-management memiliki pengaruh positif
yang signifikan terhadap keinginan organisasi di Cina
untuk menerapkan B2B marketplace[4].
Inti dari E-marketplace adalah sebuah platform dalam
rangka memberikan informasi dan layanan perdagangan
untuk pembeli dan penjual. Hal ini dapat mengurangi
biaya pencarian, menyediakan lebih banyak menawarkan
alternatif produk dan harga. Keuntungan tersebut adalah
faktor penting untuk menarik organisasi dalam
menggunakan B2B E-marketplace.
Tugas Paper 2 - Mata Kuliah E-Government (Sumardi 1406596750 - 2014A)
Selain itu, dalam sudut pandang rasional, manfaat dari
suatu inovasi adalah faktor penting ketika organisasi
membuat keputusan. Sementara itu, B2B E-marketplace
adalah sebuah platform pertukaran yang terbuka. Ketika
jumlah partisipasi meningkat, maka jumlah dan jenis
produk / layanan yang disediakan juga akan meningkat,
sehingga perusahaan lebih banyak kesempatan dan
alternatif. Itu berarti kemungkinan perusahaan atau
UMKM untuk menggunakan E-marketplace akan lebih
tinggi. Para partisipator (penjual dan pembeli) bahkan
akan mendapatkan manfaat lebih dari itu, sehingga
memiliki lebih banyak kemungkinan untuk menerapkan
B2B E-marketplace.
Kepercayaan terhadap teknologi menunjukkan tingkat
kepercayaan dari organisasi pada B2B E-marketplace. Jika
organisasi percaya bahwa E-marketplace dapat
meningkatkan pertukaran dan membawa manfaat, maka
lebih mudah bagi organisasi untuk menerapkan dan
menggunakannya. Selain itu, jika perusahaan atau UMKM
bisa mendapatkan dukungan dari pucuk pimpinan (top-
management) dalam hal ini pemerintah untuk
menggunakan E-marketplace, berarti organisasi atau
perusahaan bisa mendapatkan lebih banyak sumber daya
dalam menerapkan B2B E-marketplace, seperti sistem
komputer, web, dukungan teknologi dan lain-lain[4].
Di China, berdasarkan Structural Equation Modelling
(SEM) menunjukkan bahwa variabel kepercayaan
memegang pertimbangan penting daripada dukungan
kebijakan dalam penggunaan E-marketplace. Dukungan
kebijakan akan mempengaruhi penggunaan E-marketplace
hanya ketika kepercayaan sudah diraih[5]. Maka dari itu
peran perantara yang dalam hal ini adalah pemerintah yang
menjadi fasilitator, kolaborator, dan penyedia layanan web
sangat diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat tersebut.

Gambar 1. Model Struktur Trust Variable

B. Penerapan E-marketplace pada program One Village
One Product (OVOP)
Inti dari OVOP terletak pada nilai tambah produk lokal
untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi bagi
masyarakat lokal, serta dalam rangka mengubah
lingkungan lokal agar menarik bagi penduduk setempat
dan wisatawan. OVOP adalah pendekatan khusus untuk
pembangunan masyarakat pedesaan di mana kreativitas
dan potensi masyarakat setempat dipicu untuk
dikembangkan, melalui kepemimpinan lokal dan
pengembangan sumber daya manusia yang efektif, dan
diarahkan pada revitalisasi masyarakat melalui
pengembangan produk unik yang memiliki daya tarik
pasar yang kuat[6]. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan dan mengkonsolidasikan kemampuan
lokal untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan dan
pengurangan kemiskinan.
Salah satu tugas pemerintah dalam program One
Village One Product (OVOP) adalah membantu
peningkatan promosi dan pemasaran produk dari UMKM
di daerah[1]. Maka dari itu, pemerintah perlu
mengembangkan promosi dan pemasaran produk tidak
hanya melalui temu usaha atau pameran saja. Dengan
perkembangan teknologi dan informasi berkembang pesat,
pemerintah perlu menerapkan promosi dan pemasaran
secara online.
Dengan menerapkan layanan E-marketplace pada
program OVOP, produk-produk unggulan daerah melalui
UMKM bisa diakses secara luas baik secara regional,
nasional, maupun global. Pihak penjual yaitu UMKM bisa
memasarkan produknya untuk jangkauan yang lebih, luas
tidak hanya menjangkau daerah sekitarnya saja. Agar
penerapan E-marketplace pada program OVOP ini bisa
berjalan dengan baik, maka perlu diterapkan dan
dikembangkan secara bertahap[7].
Untuk fase awal, E-marketplace ini berfungsi sebagai
bursa komoditas artinya mendukung pembelian, penjualan
dan perdagangan komoditas produk dan jasa. Proses pada
fase ini masih mirip dengan dengan pasar tradisional yaitu
memberikan fasilitas bertemunya penjual dan pembeli.
Tahap-tahap selanjutnya diperlihatkan pada Tabel 1.
Setiap tahap akan diterapkan setelah tahap sebelumnya
sudah dilaksanakan dengan baik.
Fase Deskripsi Perspektif
Commodity
Exchange
Mendukung
pembelian, penjualan
dan perdagangan
komoditas produk
dan jasa
Mirip dengan
dengan pasar
tradisional
Value-
Added E-
marketplace
Menyediakan
dukungan layanan
transaksi pengiriman
dan 'customized'
produk.
Kombinasi
Internet dan
pengiriman fisik
Knowledge
Exchanges
Menangkap dan
menggunakan
informasi yang
mengalir melalui
rantai nilai dari
berbagai industri.
Mengatur
kolaborasi dan
komunikasi yang
efisien
Value Trust
Networks
Menyediakan sebuah
kombinasi
interoperabilitas dan
hubungan yang
terpercaya sebagai
dasar untuk
pertukaran ekonomi
dalam pengadaan.
Mengintegrasikan
pelaku, proses
bisnis dan
teknologi
Tabel 1. Tahapan Evolusi untuk B2B E-marketplace

Tugas Paper 2 - Mata Kuliah E-Government (Sumardi 1406596750 - 2014A)
Model pengembangan E-marketplace pada program
OVOP menggunakan model dasar E-marketplace pada
Gambar 1, yaitu menghubungkan supplier (UMKM) dan
buyer (pribadi/perusahaan) melalui mekanisme jual dan
beli pada aplikasi E-marketplace. Mekanisme tersebut
memerlukan jasa logistik untuk pengiriman barang yang
dipesan oleh pembeli. Jasa pembayaran digunakan sebagai
layanan pembayaran bagi pembeli yang sudah melakukan
transaksi.

Gambar 2. Model Dasar E-marketplace

Pemerintah dapat menjadi fasilitator yang
menyediakan layanan online OVOP E-marketplace.
Dengan didukung data UMKM terdaftar yang tersedia
pada program OVOP yang telah dilaksanakan sebelumnya
oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah/kabupaten/kota, maka proses
pemasukan data UMKM bisa lebih cepat dilaksanakan.
Setelah proses berjalan, selanjutnya UMKM yang belum
terdaftar bisa mendaftarkan diri kepada Dinas terkait yang
ditunjuk sebagai pendamping program OVOP di daerah.


Gambar 3. Alur Data OVOP E-marketplace

Selain menyediakan layanan online OVOP E-
marketplace, pemerintah juga perlu menyediakan pusat
distribusi di daerah penghasil produk unggulan terkait,
misalnya pada tingkat propinsi atau kabupaten/kota. Pusat
distribusi tersebut menjadi semacam etalase bagi produk-
produk yang dihasilkan, sehingga dapat membantu
promosi dan pemasaran secara offline. Selain itu dapat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas karena akan
mengurangi variable cost, terutama biaya transportasi.
Pusat distribusi dapat berfungsi sebagai tempat
penyimpanan produk maupun sebagai tempat pemasaran
ritel.
Selanjutnya pemerintah perlu terus melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap penerapan OVOP E-
marketplace. Karena selain menyediakan teknologi,
pemerintah juga harus memberikan pelatihan yang cukup
agar sumber daya manusia didaerah tidak gagap teknologi
yang pada akhirnya memperlambat proses OVOP E-
marketplace. Selain itu masih banyak perbaikan lain yang
harus dilakukan oleh pemerintah baik dalam konteks
organisasi, teknologi, maupun konteks lingkungan[4].

C. Tantangan dan hambatan penerapan OVOP E-
marketplace.
Penerapan OVOP di Indonesia mirip dengan dengan
OVOP yang diadopsi oleh Thailand. Gerakan OVOP di
Thailand disebut dengan One Tambon One Product
(OTOP). Karena kemiripannya, Indonesia perlu belajar
dari pelaksanaan OTOP Thailand sehingga dapat
mengatasi masalah-masalah dan tantangan yang mungkin
terjadi pada pelaksanaan OVOP di Indonesia.
Salah satu temuan menyatakan bahwa OTOP Thailand
tampaknya berbeda dari gerakan OVOP asli dari Jepang.
OTOP ditujukan untuk pengentasan kemiskinan di daerah
pedesaan dan juga vitalisasi ekonomi akar rumput. Untuk
mencapai tujuan tersebut, pemerintah Thailand
menyediakan berbagai dukungan kepada kelompok tani
dalam bentuk subsidi serta pelatihan. OTOP Thailand
berada di bawah inisiatif pemerintah yang kuat, gerakan
ini benar-benar berbeda dari prototipe OVOP Jepang.
Gerakan ini merupakan kebijakan pemerintah pusat bukan
gerakan endogen (dari dalam masyarakat sendiri). Hal
tersebut diterima secara luas oleh sistem kejuaraan produk
dengan gradasi bintang lima. Namun, hal ini berubah pada
proses desentralisasinya dan sangat dibantu oleh
penggunaan TIK termasuk pemasaran berbasis situs web
dan pertukaran teknologi.
Sementara OVOP Jepang didasarkan pada strategi
pembangunan jangka panjang yang bertahap, OTOP
Thailand bertujuan pada perkembangan kewirausahaan
masyarakat. Diantara langkah-langkah yang dipromosikan
dalam rangka mencapai hal tersebut adalah sebutan
periodik pada individu atau kelompok tertentu sebagai
'OTOP Village Champion' dan menugaskan yang 'nomor
satu' atau yang berstatus bintang lima pada produk tertentu
berdasarkan kriteria seleksi yang ditetapkan pemerintah
untuk penambahan nilai produk. Produk OTOP ditujukan
untuk pasar nasional dan eksternal daripada untuk
konsumsi atau penggunaan masyarakat setempat, yang
merupakan perbedaan penting dengan OVOP Oita
(Jepang).
OTOP Thailand berfokus untuk menghasilkan produk
yang luar biasa yang dapat bersaing dengan sukses di
pasar perkotaan dan eksternal. Partisipasi masyarakat
dalam produksi produk OTOP dianggap tidak begitu
penting, tidak seperti dalam kasus OVOP Jepang. Pada
OTOP, individu dan kelompok masyarakat yang dapat
Tugas Paper 2 - Mata Kuliah E-Government (Sumardi 1406596750 - 2014A)
menghasilkan produk tersebut dianggap lebih penting.
Sehingga kemandirian masyarakat dan kreativitas yang
menjadi bagian penting pada OVOP Jepang, menjadi
kepentingan sekunder untuk OTOP Thailand.
Singkatnya, perbedaan yang esensial antara OVOP di
Thailand (OTOP) dan OVOP Jepang adalah bahwa OTOP
sangat mengutamakan unsur ekonomi dalam pandangan
dan niat, yang menargetkan pasar perkotaan dan eksternal,
dan kurang peduli dengan perkembangan masyarakat
setempat. Gerakan OTOP Thailand memiliki masalah
karena 3 penyebab sebagai berikut:
1) Konsentrasi Pasar Global.
Kebijakan OTOP pada praktiknya kebanyakan
berkonsentrasi di tingkat pasar global. Mengabaikan basis
pasar pada pasar lokal dan pasar nasional, tempat pasar
OTOP pernah stabil.
2) Mengandalkan Pemerintah.
Gerakan OTOP adalah kebijakan Top-Down dari
pemerintah Thaksin, tetapi setelah perubahan kebijakan
pemerintah OTOP tidak lagi dipedulikan. Pengusaha
individu yang tergantung pada pemerintahan menderita
kegagalan pasar karena dari awal pemerintah selalu
menawarkan mereka dengan mencari dukungan pasar.
Tanpa skema dukungan kebijakan, gerakan OTOP menjadi
beku. Seorang pengusaha individu harus memainkan peran
lebih untuk kemandirian agar tidak tergantung pada
dukungan pemerintah.
3) Kurangnya kesesuaian Pengetahuan.
Tampaknya ini terpengaruh karena terlalu
mengandalkan pemerintah diatas. Sebagai contoh, salah
satu prinsip adalah untuk membawa teknologi internet ke
desa-desa dan berharap bahwa ini akan menjadi titik awal
dari Proyek Internet Tambon. Tetapi tidak ada sumber
daya manusia yang tahu bagaimana menggunakan internet
di banyak Tambon. Oleh karena itu, fenomena ini adalah
masalah tentang kesesuaian pengetahuan untuk
menggunakan teknologi

Kesimpulannya, Karakteristik proyek OTOP Thailand
merupakan kebijakan Top-Down tidak seperti kebijakan
OVOP Jepang yang Bottom-Up. Selain itu, ada titik lemah
dalam konsep OVOP yang disesuaikan dengan usaha
masyarakat Thailand. Ini adalah pemerintah dengan
kekuasaan atas orang. Kekuatan ini didasarkan pada
program konkret dalam transformasi kebijakan kampanye
partai politik yang memprakarsai OTOP. Tujuan dari
proyek ini adalah untuk memperoleh suara dalam pemilu
berikutnya. Proyek OTOP dianggap sebagai kebijakan
populis.
Hasil dari proyek OTOP tidak memperkuat
masyarakat. Sebaliknya, berfokus pada produktivitas dan
bukan untuk memperkuat masyarakat. Dengan demikian,
kegagalan proyek One Tambon One Product (OTOP) dari
Thailand disebabkan oleh tiga unsur yaitu tidak
memahami filsafat dan pendekatan yang benar dari proyek
OVOP Jepang, masalah kebijakan Top-Down, dan kualitas
sumber daya manusia, yang merupakan hasil yang sama
sebagai alternatif pembangunan masyarakat di Indonesia.
Belajar dari hal tersebut diatas, pemerintah Indonesia
perlu lebih mengembangkan penerapan OVOP pada level
bawah sehingga tidak tergantung pada pemerintah.
Kemandirian dari UMKM akan sangat dibutuhkan dalam
rangka kesuksesan program OVOP. Layanan E-
marketplace juga tidak akan cukup efektif apabila tidak
didukung dari masyarakat khususnya UMKM di daerah.
Maka dari itu, OVOP E-marketplace akan berhasil apabila
ada koordinasi yang baik antara masyarakat dengan
pemerintah, maupun stakeholder dengan stakeholder yang
berkepentingan. Stakeholder dari pemerintah yang terkait
pengembangan UMKM di Indonesia antara lain Kamar
Dagang dan Industri (Kadin), Kementerian Koperasi dan
UKM, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian
Perdagangan. Diantara stakeholder tersebut harus
bekerjasama dalam rangka peningkatan produktifitas
UMKM sehingga tidak diselesaikan secara parsial pada
masing-masing stakeholder. Tanpa koordinasi yang baik,
niscaya keberhasilan pengembangan OVOP E-
marketplace akan sulit terwujud.

KESIMPULAN
Kehadiran dan perkembangan e-commerce sebagai
media transaksi tentunya menguntungkan banyak pihak,
baik pihak konsumen, maupun pihak produsen dan penjual
(retailer). Dengan menggunakan internet, proses
perniagaan dapat dilakukan dengan menghemat biaya dan
waktu. Salah satu fitur kunci dari e-commerce adalah
penyediaan transaksi business-to-business (B2B) untuk
memajukan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)
karena mayoritas transaksi e-commerce berlangsung di e-
commerce B2B yaitu E-marketplace.
E-marketplace adalah suatu layanan yang
mempertemukan penjual dan pembeli dalam suatu wadah
online. Perkembangan E-marketplace di Indonesia dewasa
ini cukup pesat ditandai dengan munculnya website-
website marketplace yang cukup banyak. One Village One
Product (OVOP) adalah suatu gerakan pengembangan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang diadopsi dari
Jepang. Penerapan E-marketplace bagi Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) melalui program One Village
One Product (OVOP sangat diperlukan untuk membantu
promosi dan pemasaran produk unggulan UMKM agar
dapat menjangkau pasar global. OVOP di Indonesia masih
perlu banyak perbaikan, terutama terkait konsentrasi
pengembangan produk, ketergantungan kepada
pemerintah, dan sumber daya manusia.
Belajar dari pelaksanaan OTOP di Thailand yang
terlalu berkonsentrasi pada pasar global, terlalu
mengandalkan pemerintah, dan kurangnya pengetahuan
SDM, pemerintah Indonesia perlu lebih mengembangkan
penerapan OVOP pada level bawah sehingga tidak
tergantung pada pemerintah. Kemandirian dari UMKM
akan sangat dibutuhkan dalam rangka kesuksesan program
OVOP. OVOP E-marketplace akan berhasil apabila ada
koordinasi yang baik antara masyarakat dengan
pemerintah, maupun antar instansi pemerintah yang
berkepentingan.




Tugas Paper 2 - Mata Kuliah E-Government (Sumardi 1406596750 - 2014A)
REFERENSI

[1]. Deputi Menteri Bidang Pengkajian Sumberdaya
UKMK Kementerian Koperasi dan UKM Republik
Indonesia. 2014. Pengembangan Produk Unggulan
Daerah Melalui Pendekatan OVOP (One Village One
Product)
[2]. Dana Indra Sensuse. 2014, Modul 3-3-1, lecture notes
distributed in Magister Information Technology at
The University of Indonesia, on 30 September 2014
[3]. Gregory J. Brush. (2009). Factors influencing E-
marketplace adoption in agricultural micro-enterprises
[Online].
[4]. Yan Jianyuan et al. (2009). An Empirical Study on
influence factors for organizations to adopt B2B E-
marketplace in China [Online].
[5]. Yongrok Choi. (2012). The Drives of E-marketplace
Adoption in China: The Mediation Effect of Trust
[Online].
[6]. Yoopin Claymone. (2007). A Study on One Village
One Product Project (OVOP) in Japan and Thailand
as an Alternative of Community Development in
Indonesia: A Perspective on Japan and Thailand
[Online].
[7]. Hui Peng. (2001). A Review of The emarketplace:
Strategies for Success in B2B eCommerce (By
Warren D. Raisch, McGraw Hill, New York, NY
[Online].
[8]. Reinny Patrisina dan Benni Harma. Analisis Aspek
Teknis Dan Keuangan Pendirian Distribution Centre
Untuk Program One Village One Product (OVOP).

Anda mungkin juga menyukai