Anda di halaman 1dari 6

REDESAIN EKONOMI (SYARIAH) ISLAM INDONESIA

Oleh: Aji Dedi Mulawarman


Staf Pengajar Program Doktor Ilmu Akuntansi FE Universitas Brawijaya
Direktur Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development, Jakarta
http://www.ajidedim.com

PENDAHULUAN
Akhir tahun seperti ini biasanya banyak bertebaran seminar, pertemuan, diskusi panel
dan tulisan-tulisan berkenaan dengan outlook ekonomi Indonesia tahun mendatang.
Tidak ketinggalan ekonomi Islam atau ekonomi syariah. Apabila sebelum tahun 2009,
optimisme para penggiat ekonomi Islam atau syariah terlihat dari prediksi-prediksi
yang menarik dan tajam. Tetapi akhir-akhir ini terjadi penurunan optimisme. Hal ini
bisa dilihat dari kinerja ekonomi Islam yang mulai stagnan dan mulai “kehabisan
nafas” karena “lari sprint”.
Lihat saja tahun 2009 terjadi penurunan pertumbuhan asset perbankan syariah
yang kemungkinan hanya mencapai 20% dan meleset dari perkiraan BI yang
mencapai 25% (Detik.com 7 Desember 2009). Kemudian NPF (Non Performing
Finance) perbankan syariah mencapai 5,72% (Oktober 2009) melampaui prosentase
NPL (Non Performing Loan) perbankan konvensional dan standar BI (kurang dari
5%). Belum lagi adanya laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang
menjelaskan bahwa Indonesia bukanlah tujuan investasi keuangan syariah dalam tiga
tahun mendatang (Kantor Berita Ekonomi Syariah 14 Desember 2009). Menurut EIU
Indonesia hanya diminati 1% para investor dan fund manager, tetangga kita Malaysia
dilirik 8%, sedangkan Dubai masih berada pada urutan pertama yaitu 31%.

POSITIVISTIK MAPPING
Penulis merasa bahwa selama ini yang dilakukan oleh para pengamat dan predictor
ekonomi Islam/Syariah mungkin belum lengkap, karena menggunakan Positivistic
Mapping, terlalu berorientasi pendekatan matematis dan kuantitatif, serta outward
looking. Positivistic Mapping tidak sesuai dengan “sense” ekonomi Islam yang
katanya “utuh” dan “integrated”. Sehingga lupa dengan “kenyataan” ekonomi Islam
berada di “bumi” Indonesia yang mayoritas petani dan UKM (inward looking). Sesuai

1
kaidah yang dipakai, melihat perkembangan ekonomi Indonesia termasuk ekonomi
Islam di Indonesia biasanya lebih familiar bila masuk dalam kerangka positivisme.
Positivistic Mapping mengedepankan model: to explain and to predict.
Perkembangan ekonomi Islam yang dipakai Positivistic Mapping sebagai tolok ukur
seperti desain blue print “top-down”, prospek-kendala kronologis, struktural
kelembagaan, pertumbuhan linier, dan lebih banyak pendekatan proyeksi statistik.
Coba saja kita lihat implementasi penggunaan Positivistic Mapping, yaitu
pada ukuran-ukuran untuk perkembangan ekonomi Islam, mulai dari pembenahan
struktur kelembagaan dengan pendekatan regulasi (perlunya UU), peraturan (MUI, BI
dan lainnya), untuk perbankan syariah misalnya terdapat program akselerasi dan
proyeksi market share 5% . Yang paling baru, karena market share perbankan syariah
tidak mengenai sasaran (hanya mencapai 2,2%, maksimal 2,5%; 51-60 Trilyun),
seperti telah saya prediksikan sejak 2007 lalu lewat berbagai tulisan. BI kemudian
misalnya menggunakan penekanan outlook 2009 dan sekarang 2010 lewat skenario
pertumbuhan nilai asset perbankan syariah (pesimis 26%-72 Trilyun; moderat 43%-97
Trilyun; dan optimis 81%-124 Trilyun). Kemudian juga berkenaan dengan prediksi
Pendirian Bank Islam per Juli 2009: 5 BUS, 26 UUS, 133 BPRS, Office Channeling
1680 outlet. Atau dilihat juga Proyeksi kebutuhan SDM Perbankan sampai dengan
2014 sebesar 42 ribu (dari 13.520 karyawan). Di luar perbankan syariah misalnya
terdapat Dana Reksadana Syariah 2003 66,9 Miliar dan pada 2008 menjadi 1 Trilyun,
Kantor Asuranasi Syariah per 2008 38 unit dengan nilai net premi 27 Trilyun.
Oustanding Sukuk Negara 2009 19,9 Trilyun, Outstanding Sukuk Korporasi 2009 5
Trilyun. Yang lebih umum misalnya, Proyeksi Pendidikan Perbankan Islam,
Pengembangan Pengajaran Ekonomi Islam, dan lain-lain.
Positivistic Mapping melihat desain ekonomi Islam Indonesia selalu
dikerangka dalam kronologi waktu dengan pencapaian-pencapaian linier dan tumbuh,
meningkat dan semuanya diarahkan pada logika umum ekonomi yaitu
pertumbuhan/growth, keuntungan dan ekuitas para penggiatnya. Kalaupun ada yang
namanya tujuan kesejahteraan itupun kelihatannya tidak berbeda dengan ekonomi
konvensional. Jangan lupa, kalau dilihat dari filosofi ekonomi konvensional,
Pemikiran Ekonomi Kapitalis, Sosialis, Lingkungan atau Ekonomi Baru selalu
mendiskusikan alternatif dari dua kata magis Kesejahteraan dan Keadilan menuju
Ekonomi Berhati Nurani (Michael Dua 2008). Tidak ada di dunia ini yang
mengatakan ekonomi itu tidak bertujuan pada kesejahteraan. Dan itu pula yang

2
kemudian dikritik bahwa ekonomi kesejahteraan Barat hanyalah kesejahteraan
bersifat pertumbuhan dan linieritas serta mekanistis. Pemikiran Ekonomi Baru ala
Tony Fritjof Capra atau Danah Zohar dan Ian Marshall kemudian mendekati Ekonomi
dalam koridor Spiritualitas yang memberi jiwa bagi kepentingan diri-sosial-alam.

POSITIONING MA’RIFAT EKONOMI


Apakah pengembangan seperti itu sudah cukup? Apakah pendekatan Positivisme
Perkembangan sudah cukup tepat untuk melihat konstruksi Ekonomi Islam ke depan?
Ada yang lebih urgen dari sekedar menderivasikan Ekonomi Islam secara positivistik
seperti itu. Di sini dinamakan dengan Pemetaan Konstruktif Ekonomi Islam
(Constructive Mapping on Islamic Economy). Pemetaan Konstruktif adalah bagian
dari Makrifat Ekonomi Islam dan memiliki dasar Qur’an Surat Rum ayat 30: Maka
hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah) atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia sesuai fitrahnya. Tidak ada perubahan bagi ciptaan
Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Ekonomi Islam semestinya tidak hanya mendekatkan kepentingan keadilan
dan kesejahteraan atau spiritualitas general an sich, tetapi perlu Beyond. Karena
prinsip Islam adalah Fitrah Kemanusiaan dari Fitrah Ketuhanan (QS 30:30). Ekonomi
Islam perlu kembali ke fitrah kemanusiaannya, fitrah alam semesta, Fitrah Ketuhanan,
Kesatuan Fitrah Kemerdekaan (fungsi khalifatullah fil ardh) sekaligus Kesucian
(fungsi abd’ Allah). Kesatuan Fitrah nampak pada Sirah Rasul mengedepankan
keseimbangan intermediasi-produksi-retail berbasis mikro ekonomi yang
mengendalikan makro ekonomi. Implementasinya adalah Trilogi Fitrah, Ma’isyah-
Rizq-Maal untuk mencapai Barakah.
Ma’rifat Ekonomi Islam tidak hanya melakukan pendekatan seperti
Positivistic Mapping. Positivistic Mapping melakukan interkoneksi model ekonomi
konvensional dengan ekonomi Islam tradisional kemudian dilakukan reinterpretasi
ulang berdasarkan landasan normative Islam, yaitu Tawhid. Pendekatan positivistic
model seperti itu sangat top-down dan tidak membumi.

3
Ma’rifat Ekonomi Islam menggunakan Constructive Mapping. Constructive
Mapping melakukan integrasi tiga komponen, yaitu model ekonomi Islam tradisional,
model ekonomi konvensional disertai dengan pendekatan empiris interaksi sosiologis
masyarakat Muslim yang bersifat bottom-up sekaligus top-down. Berdasarkan
integrasi tiga komponen tersebut dilakukan reinterpretasi ekonomi Islam berdasarkan
landasan normative Islam, yaitu Tawhid.

4
CONSTRUCTIVE MAPPING
Desain blue print dan positioning Ekonomi Islam saat ini (source dari Positivistic
Mapping) memang tidak serta merta ditolak dan dihapus. Desain yang “positivistic”
seperti itu” dan sudah ada perlu digunakan dan tetap dijadikan salah satu pijakan.
Tetapi itu hanyalah salah satu dari desain ekonomi Islam yang katakanlah di sini
disebut Constructive Mapping. Dalam Constructive Mapping, disamping melakukan
Positivistic Mapping, diperlukan pula kajian Non-Positivistic seperti poststrukturalis,
fenomenologis dan antropologis, serta genealogis bagi ekonomi Islam. Sinergi
diperlukan untuk titik temu ide dan metafisika dalam bentuk aksi “New Blue Print”.
Kajian Non Positivistic dalam Constructive Mapping dilakukan sebagai berikut.
Pertama, Pendekatan Genealogis merupakan agenda keseimbangan informasi
historis-prediktif-proyektif. Memotret ulang sejarah, masa kini dan masa depan
ekonomi Islam bukan dalam kronologi waktu dan tokoh saja. Sejarah Ekonomi Islam
harus bisa menempatkan dirinya dalam ruang kebersahajaan sebagai wacana dan aksi
yang memang didorong secara sinergis para tokoh, penggiat langsung, dan
masyarakat. Kedua, Pendekatan Postrukturalis merupakan positioning approach
untuk menemukan struktur kelembagaan kemasyarakatan, seperti Masyarakat Desa-
Kota, Lembaga Formal-Informal, Masyarakat Terdidik-Pekerja, Masyarakat Muslim-
Nonmuslim, Masyarakat Aktivis - Grass Root, Petani-Enterpreneur-Birokasi dan lain-
lain. Ketiga, Pendekatan Fenomenologis untuk menemukan metafisika masyarakat.
Menemukan metafisika berpikir dan batin pemetaan kelembagaan dan masyarakat
dari poststructural approach. Membuat database dasar berpikir dan beraktivitas
struktur kelembagaan dan masyarakat sesuai dengan latar belakang budaya dan
interaksi sosial kekinian. Keempat, Pendekatan Antropologis untuk melihat realitas
keseharian. Meneliti lebih jauh bagaimana metafisika berpikir dan batin masyarakat
kemudian membentuk aktivitas sosial-ekonomi dalam koridor everyday life.
Menjembatani kebijakan makro dan mikro ekonomi islam, mendekatkannya pada
ruang antropologis masyarakat.
Berdasarkan Non-Positivistic Approach di atas diperlukan sinergi dengan
Positivistic Mapping, yaitu Sinergi Emansipasi (Emancipation Approach). Sinergi
atas analisis kebijakan positivism dan nonpositivism dalam bentuk kerangka General
Idea dan Practical Content. Sinergi Ide dan Praktik untuk membuat kerangka
kebijakan Aksi yang konkrit. Kebijakan Aksi Ekonomi Islam ini tetap memberikan
keseimbangan informasi dan studi berbasis empiris kuantitatif dan kualitatif

5
sekaligus, empiris pikiran dan batin sekaligus, semua tetap dalam kerangka normatif
Tawhid, sebagai paradigma utamanya.

IMPLEMENTASI TEKNIS
Agenda beberapa tahun ke depan adalah merancang pemberdayaan mikro tanpa
meninggalkan pengembangan makro ekonomi. Artinya, saatnya memikirkan lebih
konkrit mekanisme yang menyentuh langsung pada sektor riil. Pertama, Menemukan
formulasi mikro ekonomi berasas mashlaha untuk semua. Mekanisme zakat, infaq dan
shadaqah bukan hanya kewajiban, tetapi perlu dielaborasi sebagai inti pendekatan
mikro yang berdampak ekonomi makro. Kedua, Menemukan dari bawah mekanisme
berdagang, berinvestasi, produksi dan melakukan pemasaran bagi ekonomi secara
luas dan berkeadilan. Ketiga, Mengembangkan akhlak bisnis berbasis spiritualitas
Islam itu sendiri. Keempat, Menggali dan mengangkat kearifan lokal berekonomi.
Konsekuensinya, menelusuri mekanisme manajemen, administrasi dan
keuangan/akuntansi ekonomi sesuai realitas Ke-Indonesia-an tanpa meninggalkan
batasan syari’ah. Kelima, Mensinergikan mikro dan makro ekonomi atas dasar
kepentingan ekonomi, sosial, lingkungan dalam bingkai ketundukan mewujudkan
mashalah. Keenam, Pengembangan teknis alternatif konsep pembiayaan, seperti salaf
atau qardh yang memang secara tradisional fiqh-nya dekat sistem
pinjaman/pembiayaan. Ketujuh, Perlu pengembangan sistem muzara’ah dan musaqah
yang memang dekat dengan realitas masyarakat Indonesia, yaitu pertanian. Perlu
pengembangan berbasis sistem tersebut karena lebih dekat dengan sistem investasi-
produktif, daripada sistem musyarakah atau mudharabah yang lebih dekat dengan
investasi-perdagangan

PENUTUP
Indahnya Islam adalah indahnya petani, peladang dan pekebun yang selalu menyeru
nama Allah, saat berinteraksi dalam harmoni alam semesta-Nya. Sejuknya Islam
adalah sejuknya para pedagang dan bankir yang selalu membersihkan jiwa, dengan
kejujuran dan kebaikan asali Nur Muhammad. Damainya Islam adalah damainya para
pemilik modal dan penambang dalam keikhlasan cipta-proses-saluran nilai tambah,
sembari menjunjung kebesaran-Mu. NIAT-kanlah untuk membangun...Back To
Nature Economics, Ekonomi Kembali Ke Fitrah.. Itulah Ekonomi Islam yang suci dan
penuh kilauan rahmat dan barakah Allah…Insya Allah….

Anda mungkin juga menyukai