Anda di halaman 1dari 35

0

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang
terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding
usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal
tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu (Ullah et al., 2009).
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi
intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi
Intestinal ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik
parsial atau total dari usus besar dan usus halus (Thompson, 2005).
2.2 Anatomi
Usus halus berbentuk tubuler, dengan prakiraan panjang sekitar 6
meter pada orang dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum,
jejunum, dan ileum. Duodenum, merupakan segmen yang paling proksimal,
terletak retroperitoneal berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus
pankreas.
Doudenum dipisahkan dari gaster oleh adanya pylorus dan dari
jejunum oleh batas Ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak di
intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterikum. Tak
1

ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara Jejunum dan Ileum;
40% panjang dari jejunoileal diyakini sebagai Jejunum dan 60% sisanya
sebagai Ileum. Ileum berbatasan dengan sekum di katup ileosekal (Whang et
al., 2005)
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis
atau valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan
ini juga terlihat secara radiografi dan membantu untuk membedakan antara
usus halus dan kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian
proksimal usus halus daripada bagian distal. Hal lain yang juga dapat
digunakan untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus halus ialah
sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak mesenterial
yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang. Pemeriksaan
makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya folikel limfoid. Folikel
tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut sebagai Peyer Patches. (Whang et
al., 2005)
2


Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar terdiri
atas segmen awal (sekum), dan kolom asendens, transversum, desendens, sigmoid,
rectum dan anus. Sisa makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam
usus halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik kuat otot muskularis
eksterna usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu berbentuk semi cair; saat
mencapai bagian akhir usus besar, residu ini telah menjadi semi solid sebagaimana
feses umumnya. Meskipun terdapat di usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar
jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang di usus halus. Sel goblet ini juga
bertambah dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar tidak memiliki plika
sirkularis maupun vili intestinales, dan kelenjar usus/intestinal terletak lebih dalam
3

daripada usus halus (Eroschenko, 2003).

Suplai Vaskuler
Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari Aorta tepat
dibawah A. Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali Duodenum
yang sebagian atasnya diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Superior, suatu
cabang dari A. Gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah Duodenum diperdarahi
oleh A. Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu cabang A. Mesenterika Superior.
4

Pembuluh - pembuluh darah yang memperdarahi Jejunum dan Ileum ini
beranastomosis satu sama lain untuk membentuk serangkaian arkade. Bagian Ileum
yang terbawah juga diperdarahi oleh A. Ileocolica. Darah dikembalikan lewat V.
Messentericus Superior yang menyatu dengan V. lienalis membentuk vena porta.
(Price, 2003).

Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memperdarahi belahan bagian
kanan (sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum) : (1)
ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika inferior
memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3)
rektalis superior (Whang et al., 2005).
Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe; 1.
Ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici
gastroduodenalis dan kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan 2. ke bawah,
melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici mesentericus
superior sekitar pangkal arteri mesenterica superior. Pembuluh limfe jejunum dan
ileum berjalan melalui banyak nodi lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai
nodi lymphatici mesentericus suprior, yang terletak sekitar pangkal arteri
mesentericus superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi
5

lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici msentericus
superior. Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe
yang terletak di sepanjang perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens dan
dua pertiga dari kolon transversum cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici
mesentericus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga distal kolon
transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici mesentericus
inferior (Snell, 2004).
Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus)
dari pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk jejunum dan
ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus
mesentericus superior (Snell, 2004). Rangsangan parasimpatis merangasang aktivitas
sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis menghambat pergerakan
usus. Serabut - serabut sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri, sedangkan
serabut - serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang terletak dalam
lapisan muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa (Price, 2003).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
pengecualian pada sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntary (Price,
2003). Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis
dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus superior. Pada kolon
6

transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf parasimpatis
nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesentericus superior dan
inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua pertiga proksimal
kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus
pelvikus. Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi serabut - serabut simpatis
dari pleksus saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell,
2004).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi,
serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis
mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003).
2.3 Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar
pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil sekresi tak
dapat melewati lumen intestinal karena adanya sumbatan yang menghalangi.
Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan oleh tiga
mekanisme ; 1. blokade intralumen (obturasi), 2. intramural atau lesi intrinsic dari
dinding usus, dan 3. kompresi lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari
intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal
biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu pertiga dari seluruh pasien yang
mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari satu faktor etiologi yang
ditemukan saat dilakukan operasi. (Thompson, 2005)
7








2.4 Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal
dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun aliran cairan
menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian besar cairan ini akan diabsorbsi di
intestinal bagian distal dan kolon. Ileus obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan
intestinal di proksimal daerah obstruksi disebabkan karena adanya gangguan
mekanisme absorbsi normal proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen
untuk mencapai daerah distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam
beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang
terus bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah
intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi, yang
akhirnya akan meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk menurunkan
8

kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator vasoaktif.
Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi
cairan ke dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi
normal. Distensi lumen menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen,
dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif.
Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolism bakteri.
Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen (12%), dan Karbon Dioksida
(8%), yang komposisinya mirip dengan udara bebas. Hanya karbon dioksida yang
memiliki cukup tekanan parsial untuk berdifusi dari lumen. Intestinal, normalnya,
berusaha untuk membebaskan obstruksi mekanik dengan cara meningkatkan
peristaltik. Periode yang terjadi ialah berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik,
intermittent quiescent interval, dan pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal
obstruksi segera menjadi kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan
menyebabkan penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas
gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon terhadap rangsangan.
Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga menyebabkan aliran
cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan sebaliknya aliran dari pembuluh
darah ke lumen meningkat. Perubahan yang serupa juga terjadi pada absorbsi dan
sekresi dari Natrium dan Khlorida.
9

Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme sekresi.
Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal, seperti
peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin, atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi intestinal di bagian
proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan muntah. Proses obstruksi
yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses absorbsi dan sekresi semakin ke
proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik ini mengarah pada peningkatan defisit
cairan intravaskular yang disebabkan oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan
intralumen, edema intramural, dan transudasi cairan intraperitoneal. Pemasangan
nasogastric tube malah memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss.
Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang
sering dari obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat
mengakibatkan terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian. Stagnasi isi
intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi bakteri. Bakteri Aerob dan
Anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni berlebihan dari bakteri dapat
merangsang absorbtif dan fungsi motorik dari intestinal dan menyebabkan terjadinya
translokasi bakteri dan komplikasi sepsis.



10

Obstruksi Gelung Tertutup
Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan sebab yang
paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran mesenterium.
Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga dapat menyebabkan terjadinya closed
loop bstruction jika katup ileocekal masih tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen
obstruksi meningkat, sekresi cairan ke dalam lumen meningkat sementara
absorbsinya menurun. Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini
ialah meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung
tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih dahulu bahkan
sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.
Obstruksi Parsial Intestinal
Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi merupakan
penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali mengakibatkan terjadinya
strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat menyebabkan terjadinya penebalan
dinding intestinal akibat hipertrofi otot.
Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi
merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan
kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan
terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.


11

Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan intestinal. Kolon
khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang terbatas pada absorbsi.
Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih lambat karena posisinya yang berada
paling distal dari saluran pencernaan dan karena sebagian besar cairan telah
diabsorbsi di usus halus. Distensi yang terjadi secara perlahan ini memungkinkan
kolon untuk beradaptasi dan dekompresi dapat terjadi karena katup ileocecal yang
inkompeten. Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan penipisan dinding
cecum akibat penambahan diameter dapat meningkatkan resiko terjadinya rupture.
Rupture dapat disebabkan oleh iskemia yang terjadi pada dinding kolon, diastasis dari
lapisan otot, ataupun karena invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon
12

berakibat pada motilitas abnormal namun tidak hiperperistaltik.

2.5 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga kelompok
(Yates, 2004) :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat & Jong,
2005):
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya
pembuluh darah.
13

2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis
atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh
toksin dari jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan
keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat
obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif dibagi
dua (Ullah et al., 2009):
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai
duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon,
sigmoid dan rectum.

2.6 Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).

14

Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan
ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala
penyerta yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah
obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering
dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi
intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus
kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark. (Whang et al., 2005)
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang
akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau
distensi bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus,
dan peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin
didapatkan leukositosis ringan. Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen
intestinal dan menjadi lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen
intestinal. Derajat muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang
15

lebih sering ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga
ditandai dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat
malodorus. (Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting
untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih
terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah
obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya
obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,
namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah.
Tanda awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa
yang teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun
strangulasi.
Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori :
loud, high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan tanda awal
terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat diartikan
bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau terjadinya infark.
Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda strangulasi mulai
tampak.
Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya hernia serta rectal
toucher untuk mengetahui adanya darah atau massa di rectum harus selalu
16

dilakukan. Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus,
demam, takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien
sehingga menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan.
Pada obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal,
demam, leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate
dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting
dicatat bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara
obstruksi sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.

2.7 Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus
ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus
dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera.
Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan
penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi
sebelumnya atau terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong, 2004). Pada ileus
obstruktif usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus
obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada ileus
17

obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif usus besar onset
muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan
turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya
distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Inspeksi pada penderita yang
kurus/sedang juga dapat ditemukan darm contour (gambaran kontur usus)
maupun darm steifung (gambaran gerakan usus), biasanya nampak jelas pada
saat penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan juga
pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu
serangan kolik.
b. Palpasi dan perkusi

Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi tympani yang
menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi
peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup defance musculair
involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal.
c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodic gemerincing
logam bernada tinggi dan gelora (rush) diantara masa tenang. Tetapi setelah
beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka
18

aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun
parah. Tidak adanya nyeri usus bias juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau
ileus obstruktif strangulata.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan
rectum dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan tonus sfingter
ani biasanya cukup namun ampula recti sering ditemukan kolaps terutama
apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi. Mukosa rectum dapat ditemukan
licin dan apabila penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada bagian
anorectum maka akan teraba benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah,
permukaan, konsistensi, serta jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen
yang dapat dilewati oleh jari. Nyeri tekan dapat ditemukan pada lokal maupun
general misalnya pada keadaan peritonitis. Kita juga menilai ada tidaknya feses
di dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif usus feses tidak teraba pada colok
dubur dan tidak dapat ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung tangan dapat
ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi intrinsik di dalam
usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi mekanik
dengan ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan antara obstruksi
parsial atau komplit dan membedakan obstruksi sederhana dengan strangulasi.
Hal penting yang harus diketahui saat anamnesis adalah riwayat operasi
abdomen (curiga akan adanya adhesi) dan adanya kelainan abdomen lainnya
19

(karsinoma intraabdomen atau sindroma iritasi usus) yang dapat membantu kita
menentukan etiologi terjadinya obstruksi. Pemeriksaan yang teliti untuk hernia
harus dilakukan. Feses juga harus diperiksa untuk melihat adanya darah atau
tidak, kehadiran darah menuntun kita ke arah strangulasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami obstruksi
intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood Urea Nitrogen,
kreatinin dan serum amylase. Obstruksi intestinal yang sederhana tidak akan
menyebabkan perubahan pada hasil laboratorium jadi pemeriksaan ini tak akan
banyak membantu untuk diagnosis obsruksi intestinal yang sederhana.
Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal dapat mendeteksi adanya
hipokalemia, hipokhloremia dan azotemia pada 50% pasien.
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau
posisi dekubitus) dan posisi tegak thoraks Temuan spesifik untuk
obstruksi usus halus ialah dilatasi usus halus ( diameter > 3 cm ), adanya
air-fluid level pada posisi foto abdomen tegak, dan kurangnya gambaran
udara di kolon. Sensitifitas foto abdomen untuk mendeteksi adanya
obstruksi usus halus mencapai 70-80% namun spesifisitasnya rendah.
Pada foto abdomen dapat ditemukan beberapa gambaran, antara lain:

20

1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara dan
gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.(Moses, 2008)
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran serupa dengan
obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat ditemukan pada pemeriksaan
radiologis ketika letak obstruksi berada di proksimal usus halus dan ketika lumen
usus dipenuhi oleh cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian
menghalangi tampaknya airfluid level atau distensi usus. Keadaan selanjutnya
berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat kekurangan
tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien
dengan obstruksi usus halus karena kegunaannya yang luas namun memakan
biaya yang sedikit.


21



22


23


24


25

b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga untuk
membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada foto polos
abdomen memperlihatkan gambaran normal namun dengan klinis menunjukkan
adanya obstruksi atau jika penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada
pemeriksaan ini juga dapat membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor
rekuren dan kerusakan akibat radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi
negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan
kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk
mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun perforasi.
Namun, penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya peritonitis dan
penggunaannya harus dihindari bila dicurigai terjadi perforasi. (Nobie, 2009)
26


c. CT-Scan

CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi strangulate
dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika klinis dan temuan
radiologis lain tidak jelas. CT-scan juga dapat membedakan penyebab obstruksi
intestinal, seperti adhesi, hernia karena penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan
penyakit Chron karena penyebab intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diametes usus
halus sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal menjadi bagian yang kolaps dengan
diameter sekitar 1 cm. (Nobie, 2009)
27

Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat spesifisitasnya
sekitar 70-905 untuk mendeteksi adanya obstruksi intestinal. Temuan berupa zona
transisi dengan dilatasi usus proksimal, dekompresi usus bagian distal, kontras
intralumen yang tak dapat melewati bagian obstruksi dan kolon yang mengandung
sedikit cairan dan gas. CT scan juga dapat memberikan gambaran adanya strangulasi
dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung tertutup diketahui melalui gambaran
dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat distribusi radial vasa mesenteric yang berpusat
pada tempat puntiran. Strangulasi ditandai dengan penebalan dinding usus, intestinal
pneumatosis (udara didinding usus), gas pada vena portal dan kurangnya uptake
kontras intravena ke dalam dinding dari bowel yang affected. CT scan juga digunakan
untuk evaluasi menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya mengetahui etiologi
dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang rendah
(<50%) untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi usus halus parsial. Zona
transisi yang tipis akan sulit untuk diidentifikasi. (Nobie, 2009)

d. CT enterography (CT enteroclysis)
Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan klinis.
Pemeriksaan ini merupakan pilihan pada ileus obstruksi intermiten atau pada pasien
dengan riwayat komplikasi pembedahan (seperti tumor, operasi besar). Pada
pemeriksaan ini memperlihatkan seluruh penebalan dinding usus dan dapat
28

dilakukan evaluasi pada mesenterium dan lemak perinerfon. Pemeriksaan ini
menggunakan teknologi CT-scan dan disertai dengan penggunaan kontras dalam
jumlah besar. CT enteroclysis lebih akurat disbanding dengan pemeriksaan CT biasa
dalam menentukan penyebab obstruksi (89% vs 50%), dan juga lokasi obstruksi
(100% vs 94%).(Nobie, 2009)
e. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi adanya obstruksi.
MRI juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologidari obstruksi. Namun, MRI
memiliki keterbatasan antara lain kurangterjangkau dalam hal transport pasien dan
kurang dapat menggambarkan massa dan inflamasi. (Nobie, 2009)

f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi
dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan ilues obtruksi, USG
dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang distensi. USG dapat dengan akurat
menunjukkan lokasi dari usus yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi yang lain,
USG dapat memperlihatkan peristaltic, hal ini dapat membantu membedakan
obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih murah dan mudah jika
dibandingkan dengan CT-scan, dan spesifitasnya dilaporkan mencapai 100%. (Nobie,
2009)

29

2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2009)
1. Ileus paralitik
2. Appensicitis akut
3. Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier
4. Konstipasi
5. Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium
6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease
7. Pancreatitis akut
2.9 Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus
di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl
harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan
elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk
menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal. (Evers, 2004)


30

Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk
dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk
mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena
muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen.
Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif dengan
resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan
sebesar 60 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi
operatif. Pendekatan non operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal
komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama
tak akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda
demam, takikardia, nyeri tekan atau leukositosis.
Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini dilakukan dengan erbagai
resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah obstruksi dan penundaan
terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya injury akan menyebabkan intestinal
menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12
24 jam masih dalam batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat diterapi
dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan
31

adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk
menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara
manual dari segmen hernia dan dilakukan penutupan defek. Penatalaksanaan pasien
dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat keganasan akan lebih rumit. Pada
keadaan terminal dimana metastase telah menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil,
merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi
komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada
obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata
non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian
usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan
sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujungujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon,
invaginasi strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang
dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun
32

karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula
dilakukan
kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah et
al., 2009).
2.10 Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat
menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).
2.11 Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi dapat
segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi
strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar
35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan
cepat (Nobie, 2009).







33

DAFTAR PUSTAKA





34

Anda mungkin juga menyukai