Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta 2014 I. TUJUAN : Mengisolasi 31 terpenoid dari kulit buah mahkota dewa
PENDAHULUAN Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa Boerl) merupakan tanaman obat yang sudah dikenal dan saat ini semakin diminati masyarakat. Tanaman yang berasal dari Papua berkhasiat untuk mengobati luka, diabetes, lever, flu, alergi, sesak nafas, desentri, penyakit kulit, diabetes, jantung, ginjal, kanker, darah tinggi, asam urat, penambah stamina, ketergantungan narkoba, dan pemicu kontraksi rahim. Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa Boerl) termasuk dalam famili Thymelaece. Tanaman ini bisa ditemukan ditanam di pekarangan sebagai tanaman hias atau di kebun-kebun sebagai tanaman peneduh. Asal tanaman mahkota dewa masih belum diketahui. Menilik nama botaninya (Phaleria papuana), banyak orang yang memperkirakan tanaman ini populasi aslinya dari tanah papua Irian Jaya. Disana memang bisa ditemukan tanaman ini. Mahkota dewa tumbuh subur ditanah yang gembur dan subur pada ketinggian 10-1200 mdpl.Tanaman mahkota dewa berupa perdu menahun yang tumbuh tegak dengan tinggi 1-2,5 m. Batangnya bulat, permukaannya kasar, warnanya cokelat, berkayu dan bergetah, percabangan simpodial. Daunnya tunggal, letaknya berhadapan, bertangkai pendek, bentuknya lanset atau jorong, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin, warnya hijau tua, panjang 7-10 cm, lebar 2-5 cm. Bunga keluar sepanjang tahun, letaknya tersebar di batang atau ketiak daun, bentuk tabung, berukuran kecil, berwarna putih dan harum. Buah mahkota dewa bentuknya bulat dengan diameter 3-5 cm. Permukaan buah licin, dan beralur. Ketika muda, warna buah hijau dan setelah masak, warnanaya berubah menjadi merah. Daging buah berwarna putih, berserat dan berair. Biji bulat, keras, berwarna cokelat. Berakar tunggang dan berwarna kuning kecoklatan. Perbanyakan dengan cangkok dan bijinya.
I. Morfologi Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]
Tumbuhan mahkota dewa ini umumnya berupa pohon perdu. Tajuk pohon bercabang-cabang, ketinggian pohonnya sekitar 1,5 2,5 m. Namun, jika dibiarkan bisa mencapai 5 m. Mahkota dewa bisa sampai berumur puluhan tahun. Tingkat produktivitasnya mampu dipertahankan sampai usia 10 hingga 20 tahun. Pohon mahkota dewa terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan buah. Akarnya berupa akar tunggang, panjang akar bisa mencapai 100 cm. Akar ini belum terbukti bisa digunakan untuk pengobatan (Lisdawati, 2002).
1. Kulit dan daging buah Saat masih muda, kulitnya berwarna hijau. Namun, saat sudah tua warnanya berubah menjadi merah marun. Ketebalan kulit sekitar 0,1 1 mm. Daging buah berwarna putih. Ketebalan daging bervariasi tergantung pada ukuran buah. Dalam pengobatan, kulit dan daging buah tidak dipisahkan. Jika dimakan langsung akan menimbulkan bengkak di mulut, sariawan, mabuk bahkan keracunan. Pemanfaatan kulit dan daging buah dianjurkan dengan cara merebusnya terlebih dahulu.
2. Cangkang buah Cangkang buah adalah batok pada biji. Jadi, cangkang ini bagian buah yang paling dekat dengan biji. Cangkang buah berwarna putih, ketebalannya mencapai 2 mm. Rasa cangkang buah juga sepet-sepet pahit, tetapi lebih pahit daripada kulit dan daging. Pemanfaatannya juga dianjurkan dengan cara merebusnya. Cangkang ini lebih berkhasiat dibandingkan dengan kulit dan daging buah.
3. Biji Seperti bentuk buah, biji juga bulat, warnanya putih dan diameternya mencapai 2 cm. Biji ini sangat beracun, jika tergigit akan menyebabkan lidah kaku, mati rasa dan meriang. Oleh karena itu biji hanya digunakan untuk obat luar yaitu sebagai obat oles. Pemanfaatan biji dilakukan dengan cara mengeringkan dan menyangrainya sampai gosong.
II. Klasifikasi Tanaman : Tanaman mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] secara taksonomi diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub-diviso : Angiospermae Kelas : Dcotyledoneae Ordo : Mytales Famili : Thymelaeaceae Genus : Phaleria Species : Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]
III. Manfaat dan Tujuan Bagian tanaman mahkota dewa yang dimanfaatkan sebagai obat adalah daun, daging, dan kulit buahnya. Daun dan kulit buah bisa digunakan segar atau yang telah dikeringkan, sedangkan daging buah digunakan setelah dikeringkan. Dr. Regina Sumastuti, Farmakolog dari Fakultas Kedokteran UGM, menemukan kandungan zat kimia dalam mahkota dewa antara lain zat anti histamin yang mampu mencegah alergi seperti biduran, gatal-gatal, salesma dan sesak nafas. Di samping itu, mahkota dewa mengandung zat oxytosin dan sintosinon yang merangsang kerja otot rahim yang memudahkan proses melahirkan persalinan. 2)
Sementara itu menururt hasil penelitian Dra. Vivi Lisdawati Msi,Apt dari FMIPA Universitas Indonesia, membuktikan bahwa kandungan senyawa kimia golongan alkaloid, terpenoid, lignin (polifenol), flavanoid dan juga senyawa resin dalam mahkota dewa adalah golongan senyawa kimia yang berkaitan dengan aktivitas anti kanker dan antioksidan. Namun demikian, menurut Dra. Vivi Lisdawati Msi,Apt, berdasarkan hasil pengujian ekstrak mahkota dewa memiliki toksisitas yang sangat tinggi sehingga pemanfaatannya sebagai obat tradisional harus dengan takaran yang sangat berhati-hati. 4)
Dari beberapa pengujian tersebut diatas, telah dapat dibuktikan bahwa mahkota dewa memiliki khasiat sebagai anti oksidan dan anti kanker. Oleh karena itu, dapat memperkuat data-data empiris yang ada sehingga pemanfaatan mahkota dewa sebagai suatu obat alternatif sitostatika dapat menjadi lebih optimal. 5)
Cara Pemakaian Simplisia : 1. Pemakaian Oral Belah 3 buah Mahkota dewa segar, buang bijinya, lalu iris tipis-tipis dan jemur sampai kering. Rebus simplisia ini dengan 1 liter air dengan api besar. Setelah mendidih, kecilkan api dan rebus sampai airnya tersisa -nya. Setelah dingin, saring dan minum airnya sehari 2 kali. 1)
Rebus kulit buah mahkota dewa yang sudah dikeringkan (15 g) dengan 2 gelas air sampai mendidih selama 15 menit. Setelah dingin, saring dan minum airnya sekaligus. Lakukan 2-3 kali sehari. 3)
2. Pemakaian topikal / luar Cuci daun mahkota dewa segar secukupnya, lalu giling sampai halus. Tempelkan pada bagian yang sakit, lalu balut. Ganti 2-3 kali dalam sehari. 3)
Kegunaan Mahkota dewa meliputi: Menurut Harmanto (2001) buah mahkota dewa mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, dan polifenol dan ekstrak daunnya dapat memberikan efek antihistamin (Siswono, 2001). Daging buah mahkota dewa mempunyai efek hipoglikemik (dapat menurunkan kadar gula dalam darah). Berdasarkan hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa daging buah mahkota dewa menghasilkan efek antihipoglikemik dengan dosis 241,35 mg/kg berat badan (Primsa, 2002).
Menurut Sumastuti (2002) daun serta buah mahkota dewa mengandung saponin dan flavonoid yang mempunyai efek antihistamin. Secara invitro dan metode Magnus yang dimodifikasi pada berbagai ekstrak daun buah muda, buah tua mahkota dewa mampu menurunkan kontraksi histamin murni pada ileum marmot terisolasi. Mahkota dewa juga memberikan efek terhadap uterus, efek sitosik pada sel kanker rahim, efek hipoglikemik, hepatoprotektor, antiinflamasi, histopatologik pada hati, ginjal, lambung, ovarium, uterus, pankreas, serta antibakteri. Secara in vitro dan in vivo juga dapat memberikan efek hipoglikemik sebagai inhibitor -Glucosidase, terutamaa pada ekstrak n-butanol buah muda dan yang sudah masak, ekstrak etil asetat, dan metanol (Sugiwati, 2006). Ekstrak kloroform, petroleum eter, etanol, dan air memberikan efek toksisitas akut pada Larva Artemia salina Leach yang diduga kuat merupakan senyawa terpenoid, saponin, dan flavonoid (Puspaningsih, 2003). Lisdawati (2002) juga telah melakukan pengujian terhadap kadar toksisitas ekstrak daging buah dan kulit biji dengan melihat tingkat kematian terhadap larva Artemia salina Leach setelah diinkubasi selama 24 jam. Hasil menunjukan bahwa toksisitas yang sangat tinggi yang menyebabkan kematian 50% larva udang (LC50) berkisar antara 0,161511,8351 g/mL. Ekstrak mahkota dewa juga mampu menghambat pertumbuhan sel Leukimia L1210 sebesar 50 % setelah masa inkubasi 48 jam (IC50) sangat rendah, yaitu <10 g/mL (4,997,71 b/mL). Secara klinis fraksi air dan etil asetat daging buahnya mampu meningkatkan kelarutan kalsium pada batu ginjal hingga 1,50 mg/mL (Damayanti, 2004). Ekstrak air juga memberikan efek angiogenik. Hasil uji toksisitas terhadap hasil fraksinasi ekstrak kloroform biji mahkota dewa pada Artemia salina Leach dapat ditunjukkan bahwa senyawa antikanker yang ditemukan termasuk senyawa alkaloid, terpenoid, dan polifenol (Mursiti, 2002). Menurut Utami (2003), pada ekstrak metanol biji mahkota dewa ditemukan senyawa flavonoid dari golongan khalkon. Biji mahkota dewa juga mengandung 3 asam lemak yang terdiri dari asam palmitat, asam oleat, dan asam linoleat (Astuti, 2006). Sedangkan Kulit buahnya mengandung flavonoid dan ekstrak kloroformnya juga ditemukan senyawa alkaloid dan terpenoid.
IV. Komposisi dan Kandungan Kimia Di dalam kulit buah mahkota dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, dan ekstrak kloroformnya juga ditemukan senyawa terpenoid (Gotawa dkk., 1999). Buah mahkota dewa dilaporkan mengandung anti-histamin (Sumastuti, 2002). Sedangkan daging buah dan cangkang biji mengandung zat-zat aktif seperti : Alkaloid : berfungsi sebagai detoksifikasi yang dapat menetralisir racun-racun di dalam tubuh. Saponin : 1. Menjadi sumber anti-bakteri dan anti-virus 2. Meningkatkan sistem kekebalan tubuh 3. Meningkatkan vitalitas 4. Mengurangi kadar gula dalam darah 5. Mengurangi penggumpalan darah
Flavanoid : o Melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh dan mencegah terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah. o Mengurangi kandungan kolesterol serta mengurangi penimbunan lemak pada dinding pembuluh. o Mengurangi kadar resiko penyakit jantung koroner. o Mengandung anti-inflamasi (anti-radang)
Steroid : Meningkatkan metabolisme hormonal tubuh Polifenol : Berfungsi sebagai anti-histamin
V. Teori: Secara umum, kandungan metabolit sekunder dalam bahan alam hayati dikelompokkan berdasarkan sifat dan reaksi khas tertentu suatu metabolit sekunder dengan pereaksi tertentu. Atas dasar ini, kandungan metabolit sekunder dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Alkaloid 2. Triterpenoid/ steroid 3. Flavonoid 4. Fenolik 5. Saponin 6. Kumarin 7. Zat warna kuinon
1. Alkaloid Kelompok senyawa yang mengandung nitrogen dalam bentuk gugus fungsi amin. Pada umumnya, alkaloid mencakup senyawa bersifat basah yang mengandung 1/ lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya beracun, jadi banyak digunakan dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tanwarna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tapi hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Alkaloid yang paling umum adalah asam amino, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Pada umumnya, alkaloid tidak sering terdapat dalam gymospermae, paku-pakuan, lumut dan tumbuhan rendah. Sebagai basa, alkaloid biasanya diekstrasi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah (HCL/ H 2 SO 4 ) kemudian diendapkan dengan amonia pekat. Suatu sampel yang mengandung alkaloid setelah drx akan berwarna merah.
2. Triterpenoid/Steroid Kelompok senyawa turunan asam nevalonat. Yang merupakan kerangka dasarnya adalah sistem cincin siklopentana. Dahulu steroid terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu), tetapi sekarang banyak ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Steroid umumnya terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai glukosa sederhana. Steroid tersebar luas dalam biji-bijian. Golongan-golongan dari steroid ini : - Saponin, merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun - Glikosida jantung, contohnya Oleandrin, racun daun nerium oleander. 3. Flavonoid Kelompok senyawa fenil propanoid dengan kerangka karbon C6-C3-C6. Fenil propaniod adalah senyawa fenol alam yang mempunyai cincin aromatik dengan rantai samping terdiri atas 3 atom karbon. Senyawa ini turunan asam amino protein aromatik, yaitu fenil propanoid, yang merupakan fenil propanoid adalah Hidrogsikumarin, fenil propena dan lignan. 4. Fenolik Kelompok senyawa aromatik dengan gugs fungsi hidroksil. Fenol ini sangat peka terhadap oksidasi enzimdan hilang pada proses isolasi akibat kerja enzim fenolase dalam tumbuh-tumbuhan. Semua senyawa fenol merupakan senyawa aromatik sehingga semuanya menunjukkan sarapan kuat didaerah spektrum UV. 5. Saponin Kelompok senyawa dalam bentuk glikosida terpenoid/steroid. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstrasi tumbuhan/waktu memekatnya ekstrak tumbuhan merupakan bukti adanya saponin. Bila dalam tumbuhan terdapat banyak saponin sukar untuk memekatkan ekstrak alkohol air dengan baik, walaupun dengan penguap putar, karena itu uji saponin yang sederhana adalah mengocok ekstrak alkohol air dari tumbuhan tersebut. Saponin kadang-kadang menimbulkan keracunan pada ternak atau karena rasanya manis (gliserin) dari akar manis. Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponi yang mempunyai satuan gula sampai 5 komponen yang umumnya glukuronat. 6. Kumarin Kelompok senyawa fenil propanoid dengan kerangka benzen dan piron C6-C3. Kumarin biasanya terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi dan digunakan sebagai obat- obatan. 7. Zat warna Kuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzo kuinon, yang terdiri atas 2 gugus karbonil dan berkonyugasi dengan ikatan rangkap. Warna pigmen kuinon beragam muali dari kuning pucat sampai hampir hitam, pigmen ini sering terdapat dalam kulit, akar atau dalam jaringan lain (daun).
METODA EKSTRAKSI Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Hasil dari ekstraksi disebut ekstrak. Teknik yang digunakan dalam ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara : a) Ekstraksi cara dingin Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi berlangsung, Tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa yang dimaksud rusak karena pemanasanan. Jenis ekstraksi dingin adalah : 1. Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau dengan beberapa kali pengocokan pada suhu ruangan. Pada dasarnya metoda ini dengan cara merendam sample dengan sekali-sekali dilakukan pengocokan. Umumnya perendaman dilakukan 24 jam dan selanjutnya pelarut diganti dengan pelarut baru. Ada juga maserasi kinetik yang merupakan metode maserasi dengan pengadukan secara sinambung tapi yang ini agak jarang dipakai. 2. Perkolasi merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Prosesnya terdiri dari tahap pengembangan bahan, maserasi antara, perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak yang jumlahnya satu sampai lima kali volume bahan.
b) Ekstraksi cara panas. Metoda ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses penyarian dibandingkan cara dingin. Metodanya adalah: 1. Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan pada titik didih pelarut tersebut, selama waktu tertentu dan sejumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor). Umumnya dilakukan tiga sampai lima kali pengulangan proses pada residu pertama, sehingga termasuk proses ekstraksi sempurna, ini bahasa buku lagi. Prosedurnya: masukkan sampel dalam wadah, pasangkan kondensor, panaskan. Pelarut akan mengekstraksi dengan panas, terus akan menguap sebagai senyawa murni dan kemudian terdinginkan dalam kondensor, turun lagi ke wadah, mengekstraksi lagi dan begitu terus. Proses umumnya dilakukan selama satu jam. 2. Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor). Disini sampel disimpan dalam alat Soxhlet dan tidak dicampur langsung dengan pelarut dalam wadah yang di panaskan, yang dipanaskan hanyalah pelarutnya, pelarut terdinginkan dalam kondensor dan pelarut dingin inilah yang selanjutnya mengekstraksi sampel. 3. Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) yang dilakukan pada suhu lebih tinggi dari suhu ruangan, secara umum dilakukan pada suhu 40 o C 50 o C. 4. Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus sample (khusunya simplisia) pada suhu 90 o C 5. Dekok adalah infuse pada waktu yanglebih lama ( sekitar 30 menit) dan temperature sampai titik didih air.
PELARUT
Pelarut yang umumnya digunakan adalah air dan pelarut organic. Pelarut organic dibagi berdasarkan kepolaranya, antara lain n-Heksan (non-polar) , petroleum eter, Kloroform, etil asetat (semi polar), methanol, etanol, butanol (polar). Masing masing kelompok senyawa kimia memiliki kelarutan yang berbeda, pelarut polar melarutkan senyawa yang polar dan pelarut non polar melarutkan senyawa yang non polar.
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
Kromatografi adalah prosedur pemisahan zat terlarut melalui proses migrasi diferensial dinamis yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat-zat tersebut menunjukkan adanya perbedaan mobilitas yang disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Proses kromatografi terdiri dari dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media hingga terpisah dari zat terlarut lainnya yang terelusi lebih awal atau akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melalui media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai penyerap seperti silika gel dan resin penukar ion, atau dapat bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase gerak. Penetapan letak bercak yuang dihasilkan kromatografi kertas atau lapis tipis letaknya dapat ditetapkan dengan: 1. Pengamatan visual 2. Pengamatan dengan cahaya UV 3. Disemprot/penampak noda yang sesuai 4. Pancacah Gelger Muller atau teknik autodiografi atau terdapat zat radioaktif.
PENAPISAN FITOKIMIA
Penapisan fitokimia dilakukan terhadap senyawa kimia golongan alkaloid, flavonoid, fenol, saponin, tannin dan sterol-triterpenoid, serta lemak dan glikosida. No. Reaksi U ji Identifikasi Teori Gambar Percobaan
Endapan putih Endapan jingga Endapan coklat 4 Pemeriksaan Emodol: Sari etil asetat dipekatkan kemudian dinginkan, tambahkan NH4OH 25%, kocok Warna Merah
5 Pemeriksaan Flavonoid: Sari etil asetat tambahkan HCl P tambahkan logam Mg terbentuk warna merah, dinginkan. Tambahkan amil alkohol dikocok: - Warna merah, naik ke atas - Warna merah tetap di bawah Flavonoid Tannin
6 Pemeriksaan Kumarin: Ekstrak diuapkan sampai kering tambahkan air panas, dinginkan. Bagi menjadi dua bagian tabung. Tabung ke 1 sebagai pembanding Ke 2. ditambahkan amonia 10 % Lihat dibawah uv Terdapat fluoresensi kehijauan/kebiruan 7 Pemeriksaan Steroid dan Triterpenoid: Sari etilasetat diuapkan sampai kering ditambahkan asam asetat anhidrat dan CHCl3 tambahkan H2SO4 P melalui dinding tabung reaksi.
Ekstrak dalam plat tetes tambahkan H2SO4 P tambahkan asam asetat anhidrat. Steroid: Cincin hijau/ biru Terpen: Cincin hijau/merah
- Simplisia kulit buah mahkota dewa yang telah dihaluskan - Pelarut heksan, kloroform, methanol. - Pereaksi mayer, dragendroff, bouchardad, HCl (p)
VIII. Pembuatan serbuk/simplisia kulit buah mahkota dewa
Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] diambil kulit buahnya kemudian cuci dengan air mengalir sampai bersih dari kotoran, kemudian dipotong menjadi ukuran lebih kecil. Proses pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 40 o C 60 o C, kemudian dihaluskan hingga menjadi serbuk menggunakan blender dan diayak dengan pengayak nomor 22 atau pengayak nomor 60 sehingga didapat serbuk agak kasar.
* Proses pengeringan dimaksudkan untuk mengurangi kadar air, menghentikan reaksi enzimatis, dan mencegah tumbuhnya jamur atau cendawan sehingga dapat disimpan lebih lama dan tidak mudah rusak sehingga komposisi kimianya tidak mengalami perubahan. * Bahan kering yang diperoleh digiling dengan blender sehingga diperoleh serat halus kulit buah mahkota dewa. Ukuran bahan yang akan diekstrak dapat mempengaruhi efisiensi ekstraksi. Ukuran bahan yang terlalu besar mengakibatkan kontak antara komponen yang akan dipisahkan lebih kecil. Jika ukuran bahan lebih kecil, maka pelarut lebih mudah berinteraksi dengan komponen yang akan dipisahkan.
IX. CARA KERJA
1. Skrining fitokimia 2. Isolasi metoda soklet a) Timbang sebanyak 30 gr simplisia kulit buah mahkota dewa yang sudah dalam bentuk serbuk. Masukan kedalam alat sokhlet yang telat dilapisi kertas saring, lalu masukkan pelarut heksana sebanyak 300 ml kedalam labu alas bulat 500 ml dan dipanaskan sampai diperoleh pelarut heksan yang jernih. b) Ampas mahkota dewa hasil ekstraksi heksan disokhlet lagi dengan pelarut etil asetat, dengan cara yang sama. c) Proses ekstraksi dilakukan sampai 8 kali dengan cara yang sama. d) Pekatkan sari etil asetat mahkota dewa dengan rotary evaporatory sampai diperoleh ekstrak kental. e) Hitung rendamen.
3. Kromatografi lapis tipis, dengan berbagai eluen 4. Kromatografi kolom Tujuan: Untuk mencari noda warna yang sama guna untuk pemurnian.
X. Pembahasan
Ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan pelarut n-heksana dimaksudkan untuk memisahkan senyawa-senyawa non polar yang terdapat dalam kulit buah mahkota dewa. Pelarut ini termasuk pelarut non polar, sehingga dapat melarutkan senyawa- senyawa non polar yang terdapat di dalam kulit mahkota dewa. Pelarut n-heksana yang digunakan untuk memisahkan senyawa non polar sebanyak 300 mL. Ekstraksi berlangsung terus-menerus sampai fraksi n-heksana menjadi tidak berwarna. Ekstraksi berlangsung selama 5 jam atau 8 kali dengan cara yang sama. Agar pemisahan lebih optimal, ekstrak didiamkan selama satu malam. Pemanasan dihentikan ketika soxhlet mendekati penuh, sehingga pada saat didiamkan selama 1 malam residu dalam keadaan terendam n-heksana. Karena sifat pelarut n-heksana adalah non polar bisa menarik senyawa non polar pada kulit mahkota dewa sehingga komponen Terpenoid pada kulit mahkota dewa bisa diesktraksi secara sempurna.
a. Perhitungan rendamen Nilai rendemen didaptkan dengan cara membagi bobot ekstrak kental dengan bobot awal simplisia. Dari perhitungan rendamen ini dapat diketahui nilai kesetaraan tiap g ekstrak kental simplisia. Nilai rendamen dihitung dengan cara: Rendamen ekstrak (%) =
x 100%
b. Susut pengeringan ekstrak Susut pengeringan ekstrak merupakan suatu metode pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen. Parameter ini untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Uji susut pengeringan dilakukan dengan cara ditimbang seksama 2 g ekstrak dalam krus yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu penetapan 105C selama 30 menit dan telah ditara. Ekstrak dalam krus diratakan dengan menggoyangkan krus hingga merupakan lapisan yang rata kemudian dimasukan dalam oven, dibuka tutupnya, keringkan beserta tutupnya pada suhu 105C selama satu jam. Krus harus segera ditutup jika oven dibuka. Krus dimasukan eksikator selama 30 menit, biarkan dingin, kemudian ditimbang. Pengeringan dilanjutkan pada 105C sampai bobot tetap (Depkes, 2000:13). Uji KLT digunakan untuk mencari noda warna yang sama guna untuk pemurnian. Fase diam yang digunakan adalah Silika Gel F 254. Tiap sampel dan pembanding ditotolkan pada plat KLT sebanyak 10 totol. Pembanding digunakan untuk memastikan bahwa senyawa sampel yang diuji mengandung senyawa atau gugus dasar yang sama dengan pembanding jarak elusi. Prinsip pemisahan dengan menggunakan metode KLT ini yaitu didasarkan pada distribusi senyawa yang akan dipisahkan terhadap fase gerak dan fase diamnya. Distribusi ini bergantung pada kepolaran dari masing-masing komponen dimana masing-masing komponen memiliki polaritas yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30132/4/Chapter%20II.pdf 2. http://digilib.unila.ac.id/102/8/BAB%202.pdf 3. EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria papuana) SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP Streptococcus mutans SECARA In Vitro Nur Permatasari, Sri Winarsih, Dyah Ayu Larasati 4. JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2008, hal. 23-28 Vol. 6, No. 1 ISSN 1693-1831 Identifikasi senyawa kimia dalam buah Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), Thymelaceae,PARTOMUAN SIMANJUNTAK.Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Jalan Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911.Diterima 28 Januari 2008, Disetujui 1 April 2008 5. Dalimartha Setiawan, 2003, ATLAS Tumbuhan Obat Indonesia, jilid 3, Puspa swara, hal 64. 6. Harmanto Ning,2004, Mahkota Dewa panglima Penakluk Kanker, Agromedia Pustaka. 7. Anonim,2006, serial tanaman Obat Mahkota dewa, Badan Pengawas Obat dan Makanan Deputi bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Direktorat Obat Asli Indonesia. 8. Winarto, W.P. 2003, Mahkota Dewa Budidaya dan Pemanfaatan Untuk Obat, penerbit Swadaya 9. Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jakarta: Direktorat. Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan.