Pembimbing : Dr. Dwi Antono, Sp.THT-KL Dr. Willy Yusmawan, Sp.THT-KL, MSi.Med Dr. Dina Suryaningrum, Sp.THT-KL, MSi.Med
DEPARTEMEN IKTHTKL FK UNDIP / SMF KTHTKL RSUP Dr. KARIADI Semarang 2014 1
PENDAHULUAN The International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai perasaan sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi atau digambarkan seperti mengalami kerusakan jaringan. 1 Nyeri merupakan salah satu keluhan yang sering dijumpai pada pasien dengan keganasan, meskipun masih banyak gejala lainnya. Keluhan nyeri pada kanker sering dianggap paling penting. Nyeri yang tidak teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup dan menurunkan kemampuan dalam menjalani terapi untuk kembali sehat ataupun untuk mendapatkan proses kematian yang tenang. 2
Prevalensi nyeri pada kanker diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang baru didiagnosis, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi dan 75% pada stadium akhir. Nyeri kronik pada pasien kanker yang sudah menjalani terapi diperkirakan sekitar 33%. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri kronik pada pasien kanker adalah kemoterapi, radioterapi dan pembedahan. World Health Organization (WHO) dan komunitas nyeri internasional sudah mengidentifikasi nyeri pada kanker sebagai masalah kesehatan global. 2
Masa tumor yang bertambah besar akan menekan saraf, tulang, dan organ lain yang ada di sekitarnya sehingga menimbulkan nyeri. Nyeri dapat juga disebabkan oleh adanya metastasis, prosedur tindakan diagnostik dan komplikasi terapi. 3 Nyeri bersifat subyektif karena ambang nyeri setiap individu berbeda-beda. Ambang nyeri akan turun pada saat kita merasa lelah, cemas, sedih, marah, depresi, bosan, takut, dan terisolasi. Keadaan tidur, istirahat, rasa empati, diversi, dan pengertian akan meningkatkan ambang nyeri. 4, 5
Tatalaksana nyeri merupakan salah satu bagian dari terapi paliatif. Terapi paliatif adalah terapi yang bertujuan untuk menghilangkan gejala atau keluhan, baik yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri maupun sebagai komplikasi dari terapi kuratif, agar pasien mendapatkan kualitas hidup yang terbaik menjelang hari-hari terakhirnya. Seringkali dokter terlalu menitikberatkan pada terapi kuratif sehingga 2
melupakan aspek paliatif dalam tata laksana keganasan. Terapi paliatif seharusnya mulai dipertimbangkan pada saat terapi kuratif tidak memberikan perbaikan. 6
Tatalaksana nyeri mencakup terapi farmakologis dan non farmakologis. WHO telah memberikan pedoman terapi farmakologis untuk nyeri yang digambarkan sebagai stepladder (anak tangga). 7 Pada nyeri ringan, digunakan obat anti inflamasi non steroid (AINS) dan parasetamol. Jika nyeri tidak teratasi, maka dapat diberikan opioid lemah, seperti tramadol dan AINS. Jika nyeri tetap tidak teratasi, maka perlu dipertimbangkan pemberian opiod seperti morfin. 5, 8
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui gambaran nyeri dan pengobatan yang diberikan pada pasien keganasan kepala dan leher di RSUP Dr. Kariadi Semarang antara bulan Juli Agustus 2015. METODE Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif-retrospekstif terhadap kasus- kasus nyeri pada keganasan kepala dan leher di RSUP Dr. Kariadi Semarang selama bulan Juli Agustus 2014. Instrumen yang dipakai adalah Pain Assesment Tool, yang terdiri dari 6 pertanyaan sebagai berikut : 1. Apakah pasien mengalami rasa nyeri? a. Ya b. Tidak 2. Apakah pasien memiliki penyakit penyerta seperti : a. Hipertensi b. Riwayat serangan jantung atau penyakit jantung lainnya c. Riwayat stroke d. Diabetes e. Gastritis / Ulkus peptikum f. Gangguan ginjal g. Penyakit lainnya, seperti : ............. h. Tidak ada penyakit penyerta 3. Berapa lama nyeri yang telah pasien rasakan? 3
a. < 1 minggu b. 1 2 minggu c. 2 - 4 minggu d. > 4 minggu 4. Seberapa nyerikah, nyeri yang saat ini pasien rasakan?
5. Apakah saat ini pasien sedang mengkonsumsi obat penghilang nyeri? a. Ya b. Tidak Jika YA, apakah golongan obat penghilang nyeri dan sudah berapa lama dikonsumsi ? Golongan obat : a. AINS b. COXIB c. Paracetamol d. Opioid lemah (Tramadol / Kodein) e. Opioid kuat (Morfin / Fentanil) f. Golongan lainnya Lama mengkonsumsi (dalam minggu) ................... 6. Apakah dalam 1 minggu terakhir pasien pernah atau sering terbangun dari tidur karena nyeri yang dirasakan ? a. Ya b. Tidak 4
HASIL DAN BAHASAN Berikut adalah tabel karakteristik pasien keganasan kepala dan leher selama bulan Juli Agustus 2014, didapatkan sebanyak 46 pasien sebagai berikut : Tabel 1. Hasil penelitian Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah pasien 46 100% Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
16,7% 11,1% 44,4% 16,7% 11,1% Gangguan tidur Ya Tidak
3 15
17% 83%
Selama bulan Juli Agustus 2014 didapatkan subyek keganasan kepala dan leher (KKL) sebanyak 46 pasien. Pasien laki-laki sebanyak 36 pasien (78%) dan pasien perempuan 10 pasien (22%), dengan rentang usia pasien adalah 40 th : 14 pasien (30,4%), 40-60 th: 24 pasien (52,2%), 60 th : 8 pasien (17,4%). Jenis KKL yang paling banyak adalah karsinoma nasofaring (24 pasien / 52,2%), diikuti karsinoma laring (12 pasien / 26,1%), karsinoma sinonasal (5 pasien / 10,9%) dan karsinoma kavum oris (2 pasien / 4,2%). Hal ini sesuai dengan data yang menunjukkan bahwa mayoritas KKL terdiagnosis pada usia lanjut, dengan rasio penderita pria yang mencapai 4:1. Kejadian KKL terkait erat dengan faktor resiko berupa paparan rokok dan konsumsi alkohol yang biasanya terkait dengan gaya hidup laki-laki. Beberapa jenis kanker juga berhubungan dengan infeksi virus (seperti virus Ebstein-Barr yang berkaitan dengan kanker nasofaring) dan faktor pekerjaan (seperti serbuk gergaji pada adenokarsinoma nasal), dan paparan lingkungan (seperti paparan ultraviolet pada kanker bibir dan buah pinang pada kanker buccal).
6
Diagram 1. Distribusi stadium KKL Diagram 2. Distribusi nyeri pada KKL Diagram 1 diatas menunjukkan bahwa mayoritas KLL terdiagnosis pada stadium lanjut ( stadium 3). Hal ini berpengaruh pada prognosis penyakitnya, dimana semakin lanjut stadiumnya mempunyai prognosis yang buruk. Selain itu juga akan menimbulkan gejala yang lebih banyak, salah satunya nyeri. Diagram 2 menunjukkan distribusi nyeri pada KKL, yaitu sebanyak 57% pasien KKL tidak mengeluhkan nyeri, sedangkan sisanya 43% mengeluh nyeri dengan berbagai derajat. Sebanyak 70% keluhan nyeri terjadi pada KKL stadium 4. Hasil ini sesuai dengan pernyataan sebelumnya dimana prevalensi nyeri pada kanker diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang baru didiagnosis, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi dan 75% pada stadium akhir. Nyeri kronik pada pasien kanker yang sudah menjalani terapi diperkirakan sekitar 33%. 2
Survei dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center menunjukkan bahwa nyeri pada penderita kanker biasanya merupakan akibat langsung dari tumor (75- 80% kasus) dan sisanya disebabkan baik oleh karena pengobatan antikanker (15- 19)%) maupun nyeri yang tidak berhubungan dengan kanker atau dengan pengobatannya (3-5%). Penderita dengan nyeri kanker bisa mengalami nyeri akut, intermiten, atau kronik pada berbagai stadium penyakitnya. Terbanyak adalah nyeri yang berhubungan dengan kanker bersifat kronik. 9
Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Nyeri kronis mempunyai onset yang sulit ditetapkan secara tepat dan sering tidak memberikan respon terhadap I 4% II 9% III 44% IV 43% Stadium Ya 43% Tidak 57% Nyeri 7
pengobatan. Sedangkan nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu singkat dan berakhir kurang dari enam bulan. Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada patah tulang atau pembedahan abdomen. 10
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang dokter harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri, karena penting dalam memilih terapi nyeri yang efektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri antara lain: (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) pengalaman masa lalu dengan nyeri, (4) ansietas, (5) budaya, (6) keluarga dan dukungan sosial. 2
Diagram 3. Distribusi durasi nyeri Diagram 4. Distribusi derajat nyeri Diagram diatas menunjukkan bahwa sebagian besar nyeri pada pasien KKL telah berlangsung selama > 4 minggu, seiring dengan semakin berat stadium penyakitnya. Sebanyak 45% pasien mengeluh nyeri derajat 4, dan 25% nyeri derajat 5 menurut skala Wong-Baker. Selama survey, hanya didapatkan seorang pasien mengalami derajat nyeri paling berat yaitu skala 7, ini didapatkan pada pasien kanker sinonasal stadium lanjut yang sudah infiltrasi ke intrakranial. Keganasan kepala dan leher sering menimbulkan keluhan nyeri kepala, terutama pada kanker nasofaring dan sinonasal. Nyeri kepala merupakan keluahan yang umum pada masyarakat dan sifatnya sangat subyektif dan sulit diukur secara obyektif. Untuk menegakan diagnosis sangat tergantung kejelian para dokter untuk anamnesis sebab-sebab nyeri kepala. Karsinoma nasofaring akan menimbulkan < 1 minggu 0% 1 - 2 minggu 10% 2 - 4 minggu 15% > 4 minggu 75% Durasi 0% 10% 5% 45% 25% 10% 5% 0% 0% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Derajat Derajat 8
keluhan nyeri kepala apabila sudah terjadi infiltrasi ke endokranium melewati foramen-foramen yang terdapat pada basis kranii. Terutama foramen laserum dan ovale. Patofisiologi nyeri kepala pada karsinoma nasofaring karena telah terjadi infiltrasi ke endokranium menyebabkan tekanan intrakranial meningkat atau telah menekan bangunan-bangunan peka nyeri. Bangunan-bangunan peka nyeri adalah : 11, 12
1. Sinus venosus dan vena kortikal. 2. Arteri pada basis kranii 3. Pembuluh darah yang membetuk sirkulus arteriosus Wilisi. 4. Pembuluh darah besar bagian proksimal 5. Duramater. 6. N.V, IX dan X serta nervi spinalis servikalis Pada keganasan, nyeri yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor disebut nyeri nosiseptif; sedangkan nyeri yang ditimbulkan oleh gangguan pada sistem saraf disebut nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif terjadi akibat kerusakan jaringan yang potensial yang dapat disebabkan oleh penekanan langsung tumor, trauma, inflamasi, atau infiltrasi ke jaringan yang sehat dan dapat berupa nyeri somatik maupun viseral. 13
Nyeri neuropatik sering dijumpai pada pasien keganasan dan umumnya sulit untuk ditangani. Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat kompresi saraf oleh masa tumor, trauma saraf pada prosedur diagnostik atau pembedahan, serta cedera sistem saraf akibat efek samping kemoterapi atau radioterapi. Karakteristik nyeri neuropatik adalah hiperalgesia (respon berlebihan terhadap stimulus yang menimbulkan nyeri) dan alodinia (nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menyebabkan nyeri). 14
9
Diagram 5. Distribusi minum obat Diagram 6. Jenis obat Diagram diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (90%) pada pasien KKL yang mengalami nyeri mengkonsumsi obat untuk mengurangi keluhan, terutama pada pasien KKL stadium lanjut. Mayoritas keluhan nyeri masih bisa diatasi dengan obat golongan AINS (50%) dan paracetamol (28%), sedangkan sisanya menggunakan obat opioid (22%) untuk menanggulangi nyeri derajat berat. Tujuan utama tatalaksana keganasan pada adalah menyembuhkan pasien dengan menitikberatkan pada terapi kuratif. Jika keganasan bertambah berat dan terapi kuratif tidak menunjukkan respon yang baik, maka terapi paliatif harus mulai dipertimbangkan. 15 Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan terapi farmakologis dan non farmakologis. Sekitar 80-90% pasien keganasan dengan keluhan nyeri dapat diatasi dengan pemberian analgesik, terutama morfin. 2 Strategi penanganan nyeri secara farmakologis yang digunakan saat ini berpedoman pada guideline yang dikeluarkan oleh WHO, sebagai berikut : 5, 7
- By the clock. Terapi harus diberikan dengan jadwal tertentu untuk mencegah awitan nyeri. - By the appropriate route. Terapi harus diberikan dengan cara yang mudah dan dapat diterima oleh pasien. - By the patient. Pemberian dosis terapi harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Analgesik harus diberikan berdasarkan derajat nyeri pasien. Untuk mengatasi nyeri pada kanker, WHO menerapkan a three step ladder yaitu 3 langkah bertahap sesuai dengan derajat nyeri yang dialami pasien (Gambar 1). Ya 90% Tidak 10% Minum obat NSAID 50% Paracet amol 28% Opioid lemah 11% Opioid kuat 11% Jenis obat 10
Gambar 1. WHO Analgesic Ladder. 16
Terapi Farmakologis Analgesik non opioid Anti inflamasi non steroid bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mengganggu konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator nyeri. Obat ini umumnya bekerja di perifer, kecuali parasetamol yang bekerja di susunan saraf pusat dengan menghambat sintesis prostaglandin di hipotalamus. 17
Berdasarkan rekomendasi WHO, AINS sebagai analgesik tunggal efektif untuk mengatasi nyeri kanker ringan. Untuk nyeri sedang dan berat, AINS dapat diberikan untuk meningkatkan efek analgesik opioid. Anti inflamasi non steroid mempunyai ceiling effect, yaitu pemberian dosis yang lebih tinggi dari dosis maksimal, namun tidak menyebabkan bertambahnya efek analgesik. Penggunaan AINS jangka panjang memberikan banyak efek samping. 14, 17
Analgesik opioid Opioid merupakan pilihan utama pada nyeri keganasan sedang berat. Terdapat 2 jenis opioid, yaitu opioid lemah seperti kodein dan tramadol; sedangkan opioid kuat yaitu morfin, metadon, fentanil, dan heroin. Opioid sedapat mungkin diberikan dalam bentuk oral, dan sebaiknya diberikan secara rutin agar tercapai kadar 11
opioid plasma yang stabil. Opioid tidak memiliki standar dosis dan ceiling effect. Dosis yang diberikan sebaiknya dititrasi sesuai dengan rasa nyeri yang dialami pasien. Opioid sering menimbulkan efek samping, seperti sedasi, konstipasi, mual, muntah, dan depresi pernapasan. Pada anak usia kurang dari 1 tahun, pemberian opioid harus dilakukan secara hati-hati karena dosis standar untuk anak sering menyebabkan depresi pernapasan. Pemberian opioid dapat menyebabkan ketergantungan, adiksi dan toleransi, namun adiksi jarang terjadi pada anak. 3, 14, 17
Terapi ajuvan Obat ajuvan dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu obat yang bekerja sebagai ko-analgesik (meningkatkan kerja analgesik) dan obat yang mengurangi efek samping atau toksisitas analgesik. Obat ko-analgesik, mencakup anti depresan (seperti amitriptilin), anti konvulsan (seperti karbamazepin dan diazepam), dan kortikosteroid. 4
Terapi Non Farmakologis Intervensi non farmakologis yang sesuai umur dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri. Tindakan ini tidak dapat mengganti peran analgesik, melainkan meningkatkan efektivitas terapi farmakologis. Distraksi atau mengalihkan perhatian dapat dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri yang disebabkan tindakan medis, seperti pemasangan infus atau pemberian sitostatik. Teknik lain yang dapat menenangkan adalah dengan memegang, memijat dan mengelus. 13
RINGKASAN Pasien KKL terbanyak adalah karsinoma nasofaring (52,2%), laring (26,1%) dan sinonasal (10,9%). Pasien yang mengeluh nyeri sebanyak 43,5% dan biasanya terjadi pada karsinoma nasofaring dan sinonasal stadium lanjut. Mayoritas nyeri yang diderita adalah derajat 4 (45%) dan 5 (25%) menurut skala Wong-Baker, dengan derajat nyeri paling tinggi adalah 7. Nyeri pada pasien KKL sebagian besar masih bisa ditangani dengan AINS, hanya 11% pasien yang memerlukan obat opioid kuat. i
DAFTAR PUSTAKA
1. The International Association for the Study of Pain. 2014 [cited 2014 10/7]; Internet]. Available from: http://www.iasp- pain.org/Education/Content.aspx?ItemNumber=1698&navItemNumber=5 76. 2. Paice JA, Ferrell B. The management of cancer pain. CA Cancer J Clin. 2011;61(3):157-82. 3. Hartmann LC, Zahasky KM, Grendahl DC. Management of cancer pain. Safe, adequate analgesia to improve quality of life. Postgraduate medicine. 2000;107(3):267-72, 75-6. 4. Ripamonti C, Bandieri E, Roila F. Management of cancer pain: ESMO clinical practice guidelines. Annals of oncology. 2011;22(suppl 6):vi69- vi77. 5. Cormie P, Nairn M, Welsh J. Guidelines: Control of Pain in Adults with Cancer: Summary of SIGN Guidelines. BMJ: British Medical Journal. 2008:1106-9. 6. Masera G. Guidelines for assistance to terminally ill children with cancer. Istanbul: SIOP; 1997. 7. WHO. Cancer pain relief and palliative care. Geneva: WHO; 1996. 8. Stjernswrd J, Colleau SM, Ventafridda V. The World Health Organization cancer pain and palliative care program past, present, and future. Journal of pain and symptom management. 1996;12(2):65-72. 9. Djanzi S, Nuhonni S, Toha M, Yunihastuti E. Penanggulangan nyeri kanker dalam perawatan paliatif. Bebas Nyeri Pada Penyakit Kanker. 10. Tamsuri A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2006. 11. Witte M, Neel III H. Nasopharyngeal cancer. In: Bailey B, editor. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1998. p. 1413-26. 12. Chusid JG. Correlative neuroanatomy & functional neurology. Ann Arbor: Lange Medical Publications; 1985. 13. Runtuwene T. Nyeri kanker. In: Meliala K, Suryamiharja A, Purba J, Sadeli H, editors. Nyeri neuropatik : patofisiologi dan penatalaksanaan. Jakarta: Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI; 2001. p. 121-8. 14. Kurnianda J. Etiologi dan patogenesis nyeri kanker. Berkala Neuro Sains. 2003;4(2):45-50. 15. Wolfe J, Grier HE, Klar N, Levin SB, Ellenbogen JM, Salem-Schatz S, et al. Symptoms and suffering at the end of life in children with cancer. N Engl J Med. 2000;342(5):326-33. 16. Singapore MoH. Clinical practice guidelines: cancer pain. Singapore: Ministry of Health; 2003. 17. Wilmana P. Analgesik-antipiretik : analgesik antiinflamasi non steroid dan obat pirai. In: Ganiswarna S, Setiabudy R, Suyatna F, Purwantyastuti, Nafrialdi, editors. Farmakologi dan terapi. 4 ed. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI; 1995. p. 207-22. ii