Anda di halaman 1dari 9

KINERJA APARATUR PEMERINTAH

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja aparatur Kinerja merupakan penampilan


hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa
penampilan kerja perorangan maupun kelompok (Ilyas, 1993). Kinerja organisasi
merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu
dalam organisasi. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja
individu, perlu dilakukan pengkajian terhadap teori kinerja. Secara umum faktor fisik
dan non fisik sangat mempengaruhi. Berbagai kondisi lingkungan fisik sangat
mempengaruhi kondisi karyawan dalam bekerja. Selain itu, kondisi lingkungan fisik
juga akan mempengaruhi berfungsinya faktor lingkungan non fisik. Pada
kesempatan ini pembahasan kita fokuskan pada lingkungan non-fisik, yaitu kondisi-
kondisi yang sebenarnya sangat melekat dengan sistem manajerial. Menurut
Prawirosentono (1999) kinerja seorang pegawai akan baik, jika pegawai mempunyai
keahlian yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan
mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: variabel individu, variabel
organisasi dan variabel psikologis. Menurut Gibson (1987). Kelompok variabel
individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan
demografis. Menurut Gibson (1987), variabel kemampuan dan ketrampilan
merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu.
Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung.
Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian,
belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1987) banyak dipengaruhi oleh
keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis.
Kelompok variabel organisasi menurut Gibson (1987) terdiri dari variabel sumber
daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Menurut Kopelman
(1986), variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada
akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu. Penelitian Robinson dan
Larsen (1990) terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia
menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap kinerja pegawai dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi.
Menurut Mitchell dalam Timpe (1999), motivasi bersifat individual, dalam arti bahwa
setiap orang termotivasi oleh berbagai pengaruh hingga berbagai tingkat. Mengingat
sifatnya ini, untuk peningkatan kinerja individu dalam organisasi, menuntut para
manajer untuk mengambil pendekatan tidak langsung, menciptakan motivasi melalui
suasana organisasi yang mendorong para pegawai untuk lebih propduktif. Suasana
ini tercipta melalui pengelolaan faktor-faktor organisasi dalam bentuk pengaturan
sistem imbalan, struktur, desain pekerjaan serta pemeliharaan komunikasi melalui
praktek kepemimpinan yang mendorong rasa saling percaya. 2. Kinerja
kelembagaan/organisasi Menurut Brown dan Coulter (1983:50) ada dua pendekatan
berbeda yang umum digunakan dalam menganalisis dan mengukur kinerja
organisasi publik. Pendekatan pertama adalah mengukur kinerja dengan
menggunakan data dan informasi yang berasal dari dalam organisasi pemerintah
yang diukur tersebut. Seringkali dihubungkan dengan model produksi seperti pada
Gambar 1, pendekatan pertama ini dikenal sebagai pengukuran objektif dengan dua
indikator utama yaitu efisiensi dan efektivitas (Carter dkk. 1992:35; Downs dan
Larkey 1986:5; Brown dan Coulter 1983:50). Efisiensi dan efektivitas dapat
dikatakan sebagai dua istilah yang paling populer digunakan dalam pengukuran
kinerja organisasi pemerintah walaupun kedua istilah ini seringkali digunakan secara
tidak tepat (Mulreany 1991:7). Secara umum efisiensi didefinisikan dan diukur dari
perbandingan input dan output atau rasio di mana input diubah menjadi output
(Carter dkk. 1992:37; Mulreany 1991:8; Boyle 1989:19; Gleason dan Barnum
1982:380). Berdasarkan definisi ini, efisiensi organisasi dapat dicapai dengan
meminimalkan input dan mempertahankan output atau dengan mempertahankan
input tetapi memaksimalkan output atau secara bersamaan meminimalkan input dan
memaksimalkan output. Namun, banyak yang berpendapat bahwa penggunaan
istilah efisiensi umumnya hanya dilihat satu sisi yaitu dalam arti meminimalkan input
atau mengurangi biaya untuk menghasilkan sejumlah tertentu output (input
efficiency). Istilah efisiensi jarang digunakan dalam arti memaksimalkan output atau
meningkatkan pelayanan dengan menggunakan sejumlah tertentu input (output
efficiency) (McGowan 1984:19; Boyle 1989:19; Carter, Klein dan Day 1992:38).
Dalam kajian-kajian ilmu ekonomi, memaksimalkan output dan mempertahankan
input (output efficiency) lebih dikenal sebagai produktivitas (Pass dkk. 1993:436-7).
Sumber: Boyle, R., 1989. Managing Public Sector Performance: a comparative study
of performance monitoring systems in the public and private sector, Institute of
Public Administration, Dublin:17. Selain itu, dalam kajian-kajian menyangkut kinerja
organisasi dikenal juga istilah efisiensi produksi dan efisiensi distrbusi (Mulreany
1991). Efisiensi produksi atau disebut juga efisiensi teknis, efisiensi X, efisiensi
manajerial, atau efisiensi internal tercapai apabila organisasi dapat menghasilkan
output dengan biaya semurah mungkin. Dengan kata lain, efisiensi produksi inilah
sebenarnya yang dimaksudkan dengan efisiensi (Goldsmith 1996:26). Selanjutnya,
efisiensi alokasi (allocative efficiency) tercapai apabila semua output organisasi
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebaliknya, akan terjadi inefisiensi alokasi apabila
output organisasi pemerintah tidak dimanfaatkan oleh masyarakat seperti rumah-
rumah guru sekolah yang dibangun tetapi tidak dimanfaatkan atau tangki-tangki air
bersih yang dibangun tetapi tidak digunakan karena kering. Jika dibandingkan
dengan efisiensi, definisi efektivitas lebih problematik dan membingungkan. Pada
organisasi publik, tujuan organisasi yang kurang jelas dan sering saling
bertentangan sehingga semakin menyulitkan untuk menyepakati definisi efektivitas
yang dapat diterima secara luas. Meskipun demikian, menurut Cameron (1981a:45)
sedikitnya ada empat pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan dan
mengukur efektivitas organisasi. Pertama dan paling umum digunakan adalah
mengukur efektivitas dengan sejauh mana sebuah organisasi mencapai tujuan atau
target yang sudah ditetapkan yang disebut dengan Goal Model (Mulreany 1991:19;
Boyle 1989:19-20; Downs dan Larkey 1986:7; Gleason dan Barnum 1982:380).
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa tujuan-tujuan organisasi jelas dan dapat
diukur (clear and measurable objectives) serta semakin banyak tujuan dan target
organisasi dapat dicapai maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Tetapi karena
tidak semua organisasi publik memiliki tujuan yang jelas dan terukur maka
pencapaian tujuan dianggap kurang relevan untuk mengukur efektivitas organisasi
pemerintah. Pendekatan kedua mengukur efektivitas organisasi, menurut Cameron
(1981b:4), disebut System-Resource Model yaitu suatu organisasi dapat dikatakan
efektif apabila organisasi tersebut mampu memperoleh semua sumber daya yang
dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan organisasi tersebut. Semakin banyak
sumber daya yang dapat dikumpulkan oleh sebuah organisasi dari lingkungannya
maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Dengan kata lain, kalau pendekatan
Goal Model menekankan pada output maka pendekatan System-Resource Model
mengutamakan pada input. Pendekatan ketiga untuk mengukur efektivitas
organisasi disebut Internal Process Model yang menekankan pada proses dan
mekanisme kerja dalam organisasi. Menurut model ini, sebuah organisasi dapat
dikatakan efektif apabila proses dan mekanisme kerja di dalam organisasi tersebut
berlangsung damai. Hal ini ditandai dengan adanya saling percaya di antara
pegawai dan lancarnya arus informasi horizontal dan vertikal di dalam organisasi
(Cameron 1981b:4). Pendekatan keempat dan terakhir dalam mengukur efektivitas
organisasi adalah Stategic-Constituencies Model yang mengukur efektivitas suatu
organisasi dengan sejauh mana organisasi tersebut dapat memuaskan stakeholder-
nya. Stakeholder ini terdiri dari orang-orang yang menyediakan input untuk
organisasi atau yang menggunakan output dari organisasi atau yang memiliki
kerjasama dengan organisasi atau individu yang peranannya sangat penting bagi
kelangsungan hidup organisasi (Cameron 1981b:4). 3. Kinerja kepegawaian/SDM
Kepegawaian dalam era otonomi daerah merekomendasikan manajemen
kepegawaian yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pada era otonomi
daerah ini ditegaskan sistem pembinaan karir tertutup dalam arti negara. Dengan
demikian Pegawai Negeri Sipil dilihat sebagai satu kesatuan, yang hanya berbeda
tempat pekerjaannya. Dalam sistem ini dimungkinkan perpindahan dari suatu
departemen/lembaga/provinsi/ kabupaten/kota ke
departemen/lembaga/provinsi/kabupaten/kota lainnya Kebijakan pengembangan
sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan saja untuk menghadapi
berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional, tetapi terlebih lagi
untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya langkah kebijakan
tersebut berintikan pada pembangunan SDM aparatur negara yang professional,
netral dari pengaruh kekuatan politik, berwawasan global, bermoral tinggi, serta
mempunyai kemampuan berperan sebagai perekat kesatuan dan persatuan
bangasa serta Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). -Hambatan dan
Tantangan Sistem Kepegawaian Dalam perkembangan keadaan saat ini,
diperkirakan akan timbul berbagai masalah yang menyangkut kepegawaian sebagai
dampak berlakunya otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan
menonjol berbagai persoalan utama yang meliput: (a) Dengan adanya desentralisasi
kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada kemungkinan jumlah dan struktur
PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi bila dalam pengangkatan pegawai
baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti prinsip merit sistem tetapi lebih
pada marriage sistem (sistem kekeluargaan) yang dianut oleh pemerintah pusat
selama ini. Karena sulit meninggalkan paradigma lama yang telah berakar selama
33 tahun itu, kewenangan yang besar kepada daerah tersebut dimungkinkan dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 yang memungkinkan
Gubernur, Bupati dan Walikota mengangkat dan memberhentikan PNS di daerahnya
mulai dari pangkat I/a sampai dengan golongan IV/e, Pembina Utama. Suatu
kewenangan yang sebelum terbit Peraturan Pemerintah ini, hanya dimiliki oleh
Presiden dan dilakukan secara terpusat. (b) Kualitas PNS daerah akan sangat
bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Akibat dari kewenangan
dalam butir (a) tersebut. Apalagi kalau mobilitas PNS antar daerah terhambat
sebagai akibat dari Daerah sentrisme. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas
yang tidak dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah
terjaga dan terjamin baik, kemungkinan besar akan terkorbankan. Apalagi dengan
pemerintahan koalisi yang multi partai, pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan
terlepas dari sindrom kepartaian. (c) Dalam waktu lima tahun kedepan, manajemen
kepegawaian di daerah masih perlu banyak pembenahan. Namun sebagai akibat
dari butir (b) tersebut kapasitas kelembagaan daerah untuk menyelenggarakan
manajemen kepegawaian ini masih menjadi pertanyaan besar. Karena manajemen
kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan yang netral, tidak
terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu kekuatan politik. Ditambah
dengan daya serap daerah yang masih sangat terbatas, kerancuan dan kekacauan
manajemen kepegawaian diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi
dan desentralisasi, apabila manajemen dan administrasi kepegawaian tidak
dikembalikan terpusat. Paling tidak untuk lima tahun kedepan. Akar permasalahan
buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal
penting: (1) persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan
eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian negara. Dan
situasi problematis terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat
dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian negara.
Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian dan
reward, (3) pengukuran kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan
pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem tersebut
telah melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral
hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan
tanggungjawabnya (lack of competencies). Persoalan rekrutmen merupakan
persoalan utama bagi manajemen kepegawaian di Indonesia. Rekrutmen yang tidak
tepat akan berakibat pada pemborosan anggaran dan menghambat kinerja
organisasi untuk waktu yang akan datang. Sistem penggajian dan reward juga
memegang peran yang penting bagi sinergitas organisasi pada umumnya dan
kinerja instansi pada khususnya. Apalagi dengan adanya standar penilaian kinerja
yang harus di-up to date, dalam arti standar penilaian yang sudah ada (DP3) sudah
tidak relevan lagi digunakan untuk seluruh satuan kerja instansi pemerintah dalam
semua lingkup kerja. Standar penilaian kerja perlu diperbaharui agar sesuai dengan
tuntutan dan kemajuan dunia kerja. Promosi jabatan dengan netralitas kepegawaian
sehingga berakibat rasa keadilan bagi seluruh PNS merupakan salah satu upaya
yang dapat mewujudkan kinerja kepegawaian yang maksimal. Dan persoalan yang
tidak kalah penting adalah persoalan pengawasan. Dalam manajemen
kepegawaian, pengawasan dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya iklim
kerja yang kondusif dan responsif terhadap segala jenis perubahan baik perubahan
dari lingkungan internal maupun lingkungan eksternal organisasi. -Isu Putra Daerah
Isu Putra daerah merupakan isu yang paling mengemuka dalam sistem
kepegawaian di Indonesia pasca kebijakan desentralisasi diberlakukan di Indonesia.
Putra daerah mengandung makna bahwa setiap daerah biasanya melakukan suatu
sistem rekrutmen kepegawaiannya dengan mendasarkan pada asal seseorang
calon pegawai tersebut dari daerah yang bersangkutan. Hal ini mensyaratkan
adanya kepemilikan KTP daerah tertentu untuk dapat melamar suatu pekerjaan,
khususnya pada instansi pemerintah. Kebijakan putra daerah ini tentu saja
mempunyai nilai positif dan negarif. Nilai positifnya, ketika warga dalam suatu
daerah tersebut bisa memperoleh pekerjaan dan pengangguran di suatu daerah
akan berkurang. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang sangat populis ketika
diterapkannya otonomi daerah, apalagi dengan adanya pemekaran wilayah yang
merupakan surga bagi para pencari kerja bagi masyarakat di daerah yang
bersangkutan. Nilai negatifnya adalah bahwa terkadang pola rekrutmen di suatu
daerah kurang memperhatikan standar kompetensi calon pelamar sehingga tentu
saja akan berakibat pada kompetensi masing-masing calon pencari kerja. Akibat
lebih lanjut adalah pemborosan biaya karena harus mengeluarkan anggaran untuk
meng-up grade calon pegawai tersebut agar sesuai dengan standar kompetensi di
daerah lain. Implikasi lebih lanjut adalah kinerja organisasi menjadi kurang optimal.
Inilah yang menjadi Pekerjaan Rumah yang berat bagi pemerintah baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah agar dalam pemberdayaan putra daerah tersebut
tetap memperhatikan standar kompetensi pegawai. Desentralisasi mensyaratkan
pola rekrutmen berada di tangan pemerintah daerah. Namun, hal itu tentu saja tidak
dapat berjalan dengan mulus karena adanya permasalahan yang ada di daerah.
Kesiapan dari daerah merupakan kunci utama untuk menjalankan sistem
kepegawaian yang diserahkan langsung kepada pemerintah daerah. Di sini, daerah
harus bekerja ekstra keras untuk menggali potensi yang ada di daerahnya terutama
potensi sumber daya manusia daerah. Pemerintah daerah harus jeli melihat peluang
dan tantangan yang kemungkinan muncul di suatu daerah tertentu.

Anda mungkin juga menyukai