Anda di halaman 1dari 190

1

BAB I
PENDAHULUAN

1. Permasalahan.
1.1 Latar Belakang Masalah.
Pembangunan nasional pada hakekatnya adalah rangkaian perubahan yang
dilakukan secara menyeluruh terarah dan berencana dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat yang memiliki keseimbangan antara
kebutuhan lahiriah dan bathiniah. Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia baik materiil maupun spiritual,
yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok sandang (pakaian), pangan (makanan),
dan papan (rumah) yang layak.
1

Oleh karena itu pembangunan nasional mesti mengacu pada konsep
pembangunan yang utuh menyeluruh dan melibatkan peran aktif masyarakat. Tanpa
peran aktif masyarakat, maka pembangunan nasional akan mengalami hambatan dan
bahkan kegagalan.
Pengalaman membangun pada masa yang lalu dan timbulnya krisis yang
berkepanjangan dapat digunakan sebagai pelajaran bahwa disamping keberhasilan
mencapai tujuan pembangunan, proses dan cara mewujudkan tujuan pembangunan
ekonomi tersebut tidak kalah pentingnya. Pembangunan pada bidang ekonomi
merupakan penggerak utama pembangunan, namun pembangunan ekonomi ini harus


1
Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1
2



disertai upaya saling memperkuat, terkait, serta terpadu dengan pembangunan bidang
lainnya.
2
Secara normative, untuk membangun perekonomian yang kuat, sehat dan
berkeadilan, pembangunan ekonomi harus dilaksanakan berlandaskan aturan main
yang jelas, etika dan moral yang baik, serta nilai-nilai yang menjungjung tinggi hak
asasi manusia serta persamaan derajat, hak dan kewajiban warga negara setiap rakyat
Indonesia.
Apabila dikaji perjalanan pembangunan di Negara Indonesia, titik berat
pembangunan adalah di bidang ekonomi, dengan maksud apabila pembangunan
ekonomi berhasil, maka akan berakibat kepada bidang-bidang pembangunan lainnya.
Oleh karena itu maka untuk menjamin adanya pembangunan ekonomi yang baik
maka diperlukan adanya aturan hukum yang jelas, dan untuk mewujudkan hal
tersebut maka sudah sepantasnya para ahli hukum diajak secara aktif integrative
untuk merumuskan berbagai kebijakan di segala bidang pembangunan.
3

Berkembangnya perekonomian dalam suatu negara sangat ditunjang oleh
kemajuan yang dialami oleh suatu perusahaan yang ada di negara tersebut, oleh
karena itu organisasi dalam sebuah perusahaan merupakan komponen yang sangat
menunjang untuk tercapainya visi dan misi perusahaan dalam menghadapi dan
mengantisipasi berbagai persaingan, baik ditingkat lokal maupun global.
4



2
Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern,
Penerbit Refika Adi Tama, Bandung, hal.23

3
Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan
Terbatas, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal.53

4
Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum,
Penerbit Refika Adi Tama, bandung, hal.1
3



Berkembangnya berbagai perusahaan tersebut berdasarkan kepada konsep
ekonomi yaitu mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran
yang serendah-rendahnya. Sejak lama dunia usaha percaya bahwa satu-satunya
tanggung jawab mereka adalah membuat keuntungan bagi pemodalnya, banyak
anggota masyarakat ataupun pemerintah yang mendirikan perusahaan hanya
mengejar target mencari keuntungan, dan mengabaikan aspek-aspek lain yang
sebenarnya sangat vital bagi perusahaan terkadang diabaikan, misalnya hak-hak
karyawan perusahaan, upah karyawan yang murah dijadikan alasan untuk mendirikan
perusahaan, sumber daya alam yang melimpah diolah tanpa memperhatikan aspek-
aspek lingkungan hidup. Dengan mengabaikan berbagai aspek tersebut perusahaan
bisa meraih keuntungan yang maksimal, artinya tanggung jawab ekonomi dari
perusahaan dapat dikatakan berhasil.
Untuk menjaga kesinambungan hidup perusahaan, perlu diterapkan prinsip
Good Corporate Governance (GCG) yaitu seperangkat aturan yang dijadikan acuan
manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan secara baik, benar, dan penuh
integritas, serta membina hubungan dengan para stakeholders, guna mewujudkan
visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, yang menekankan pada prinsip akuntabilitas
(accountability), kemandirian (independency) transparansi (transparansy),
4



pertanggungjawaban (responsibility) dan kewajaran(fairness), karena dengan
tercapainya GCG perusahaan dapat menciptakan lingkungan kondusif terhadap
pertumbuhan usahanya yang efesien dan berkesinambungan.
5

Sebenarnya tanggung jawab perusahaan tidak hanya berupa tanggung jawab
ekonomi saja, akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab sosial (Corporate social
responsibility/ CSR) yang berkaitan dengan segala aspek yang menunjang berhasilnya
perusahaan tersebut. Tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu
kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha
sendiri berdasarkan prinsip-prinsip saling menguntungkan (kemitraan). Tanggung
jawab sosial perusahaan memberikan implikasi positif bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan, pembangunan
pemerintah, memperkuat investasi dunia usaha, serta semakin kuatnya jaringan
kemitraan, antara masyarakat , pemerintah, dengan dunia usaha.
6

Konsep awal CSR secara akademisi diperkenalkan oleh Howard R. Bowen
melalui karyanya yang berjudul Social Responsibilities of the Businessmen Bowen
telah memberikan landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk
menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Bowen mengacu kepada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan
kebijakan, keputusan dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai


5
Johannes Ibrahim, Op. Cit. hal.70

6
Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Penerbit In- Trans
Publishing, hal. 15
5



nilai dalam suatu masyarakat
7
.
Berkembangnya konsep awal CSR tidak terlepas dari pemikiran para pemimpin
perusahaan yang pada zaman itu menjalankan usahanya dengan mengindahkan pada
konsep Derma (charity) dan prinsip perwalian(stewardship principle). Kemudian
periode awal tahun 1970-an mencatat babak penting perkembangan konsep CSR
ketika para pimpinan perusahaan terkemuka di Amerika Serikat membentuk
Committee for Economic Development (CED). Dalam salah satu pernyataan CED
menyatakan bahwa kontrak sosial antara masyarakat dan pelaku usaha telah
mengalami perubahan yang substansial dan penting. Pelaku bisnis dituntut untuk
memikul tanggung jawab yang lebih luas kepada masyarakat dibandingkan waktu-
waktu sebelumnya serta mengindahkan beragam nilai-nilai manusia. Perusahaan
diminta untuk memberikan kontribusi lebih besar bagi kehidupan bangsa Amerika
dan bukan sekedar memasok sejumlah barang dan jasa.
8

Praktek perusahaan-perusahaan di Eropah dan Amerika Serikat (perusahaan
transnasional) menunjukan bahwa norma-norma CSR dicantumkan dalam Code of
conduct, dan merupakan satu tipe regulasi internal yang mampu diterapkan dan
diberlakukan pada perusahaan yang globalised. Konsep CSR atau
pertanggungjawaban sosial di negara-negara maju seperti Eropah dan Amerika
Serikat diberlakukan dan bersifat sukarela


7
Ibid. hal.19

8
Ismail Solihin,2008, Corporate Social Responsibility, from Gharity to Sustainability, Penerbit
Salemba Empat, Bandung, hal. 21
6



atau voluntary.
9

Berlakunya secara voluntair CSR di negara-negara maju tentu saja menjadi
wajar-wajar saja dan tidak terlalu istimewa, terutama jika praktek tersebut dikaitkan
dengan berbagai difinisi tentang CSR yang dapat dijumpai dalam beberapa literatur.
Word Bank mendifinisikan CSR sebagai the commitment of business to contribute to
sustainable economic development working with employees and their representatives
the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are
both and good for business development
Wineberg dan Rudolph, Corporate Social Responsibility What Every In
House Counsel Should Know mengatakan bahwa CSR adalah The countribution
that a company make in society trough its core business activities, its social
investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy
10

Dari difinisi tersebut terdapat adanya konsep Corporate Philanthropy (CP)
yaitu kedermawanan perusahaan dan komitmen perusahaan dalam memberi
kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat,
sehingga wajar jika praktek penerapan CSR di Negara-negara maju ditetapkan secara
sukarela atau voluntary.
Perkembangan CSR di manca negara saat ini sangat popular. Di beberapa
negara CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah


9
Ibid.

10
Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2009, A Hybrid Framework Suatu Alternative Pendekatan CSR
(Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, Makalah Dalam DISEMINASI REKOMENDASI
BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi Hukum Nasional RI dengan
FH UNUD BALI, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November 2009, hal 3
7



perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan
perusahaan yang bersangkutan.
Krisis finansial global yang melanda dan melumpuhkan sendi-sendi
perekonomian global hampir keseluruh negara di dunia, mengakibatkan menurunnya
laju globalisasi dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu sangat penting
khususnya bagi kelangsungan pembangunan perekonomian Indonesia untuk
mewujudkan suatu system perekonomian yang berpihak kepada rakyat. Untuk ini
pemerintah telah melakukan penguatan pada dasar-dasar kebijakan, khususnya dalam
bentuk peraturan di bidang ekonomi untuk menjaga keseimbangan dunia usaha agar
para pelaku usaha dapat bersaing dengan sehat , dan adil tanpa menimbulkan
kerugian dan kesengsaraan bagi rakyat dan kerusakan lingkungan sekitarnya.
CSR telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di
Indonesia. Umumnya kepatuhan dalam pelaksanaan CSR dikaitkan dengan program
Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development).
11
Namun masih banyak perusahaan yang
tidak mau menjalankan CSR, hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan
tersebut hanya melihatnya sebagai pengeluaran (beban) biaya. CSR dianggap tidak
akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan
perusahaan di masa mendatang. Disisi lain investor juga ingin agar investasinya dan
kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata


11
Mardjono Reksodiputro, 2005, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan
Dengan HAM, Penerbit Refika Aditama, hal. 73
8



masyarakat umum. Oleh karena itu program CSR lebih tepat bila digolongkan
sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.
Gerakan CSR yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir
akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat
global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi
memaksimalkan laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis,
dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikatagorikan sebagai kejahatan korporasi.
12

Secara yuridis pengaturan soal CSR secara eksplisit dalam hukum Indonesia
dimulai ketika pemerintah memberlakukan UU No.25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, yang dalam Pasal 15 menyebut bahwa setiap Penanam Modal
(perseorangan atau perusahaan, berbadan hukum ataupun bukan badan hukum)
berkewajiban untuk:
a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik,
b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Kemudian perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 menjadi Undang-
Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, telah membawa perubahan
penting bagi dunia usaha di Indonesia. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari
kalangan pengusaha adalah Corporate Social Responsibility (CSR), karena CSR
akhir-akhir ini telah menjadi salah satu faktor penilaian bagi investor asing yang akan
menanamkan modalnya di Indonesia. CSR menjadi salah satu kewajiban yang harus


12
Robert Khuana, 2009, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Tuntutan dan Kenyataan,
Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November
2009, hal.2
9



dilaksanakan oleh sebuah perusahaan sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 74 UUPT
No.40 Tahun 2007, yang menyatakan:
(1). Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
(2). Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dari kedua undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa tampaknya konsep
CSR di Indonesia dinamakan dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(TJSP) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan (TJSLP).
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat
keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar
stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program
pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan
perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan
stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Di
Indonesia perkembangan CSR masih sangat dini, namun cukup pesat.
Sebenarnya konsep CSR sudah tampak dalam budaya yang ada pada
masyarakat, seperti budaya gotong royong yang merupakan nilai-nilai luhur dari
bangsa Indonesia patut dipertahankan. Makna semangat gotong royong yang
10



menjiwai setiap warga masyarakat terlebih pada masyarakat industri/modern patut
dicermati.
Di Pulau Bali terdapat filosofis pola keserasian dan keseimbangan hubungan
yang harmonis yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana (Tiga hal untuk
mencapai kesejahteraan hidup). Konsep Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal
yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. Tampaknya konsep
CSR dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung dalam
Tri Hita Karana yang berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan hubungan antara
manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan sesama (unsur
Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan).
Keyakinan masyarakat adat Bali terhadap alam dan lingkungan dilandaskan
pada suatu keyakinan bahwa manusia dan alam semesta diciptakan oleh Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dari unsur-unsur yang sama. Pandangan
ini melihat kesamaan unsur pada manusia selaku isi alam (mikrokosmos) terdiri atas
unsur-unsur Tri Hita Karana : jiwa (atma), tenaga (prana) dan badan wadah
(anggasarira). Demikian pula pada alam selaku wadah makrokosmos terdiri atas
unsur-unsur jiwa (parama atma), tenaga (prana : segenap himpunan tenaga alam) dan
wujud fisik (angga-sarira). Pandangan kesamaan (kesetaraan) ini, manusia dengan
isi alam lainnya atau lingkungan maupun manusia dengan alam, maka manusia
mempunyai kewajiban untuk menghormati ataupun menjaga keharmonisan dengan
landasan sikap dan perilaku tat twam asi dalam interaksinya. Kewajiban ini bagi
masyarakat adat Bali lebih banyak diwujudkan dalam suatu perbuatan sebagai wujud
11



terima kasih.
13

Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana
(Pawongan dan Palemahan) berkaitan erat dengan kewajiban perusahaan
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 74 UU No.40 Tahun 2007. Sumber inspirasi Tri
Hita Karana berasal dari Pustaka Suci Agama Hindu yang dikenal dengan nama:
Bhagawad Gita. Konsep CSR yang berkait erat dengan tanggungjawab sosial
perusahaan yang dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan,
berfungsi sebagai subsistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam
hak dan kewajiban. Kemudian konsep CSR yang bersentuhan dengan unsur
palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan,
baik terhadap kondisi lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di
sekitarnya (di luar perusahaan).
14

Perkembangan dunia usaha pada era global dewasa ini demikian pesatnya,
sehingga semangat gotong royong itu tampaknya menjadi beban bagi pengusaha.
Padahal CSR adalah komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk
berprilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya
meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya serta komunitas
lokal dan masyarakat luas pada umumnya.
Disisi lain anggota masyarakat merasakan bahwa konsep CSR yang diterapkan


13
Chidir Ali,1997, Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia, Jakarta :
Pradnya Paramita, Hal 219.

14
Wiryawan I Wayan, 2009, Makalah Tanggapan/komentar atas penyaji rekomendasi dari
Mardjono Reksodiputro, tanggal 16 Nopember 2009, hal. 5
12



oleh perusahaan dianggap sebagai hak bagi masyarakat yang bersangkutan, sehingga
masyarakat tersebut meminta kepada perusahaan seolah-olah sebagai suatu kewajiban
bagi perusahaan dan disisi lain merupakan hak bagi masyarakat, sehingga terdapat
adanya disharmoni antara perusahaan dengan masyarakat.
Dalam menerapkan CSR perlu adanya konsep yang dapat memadukan adanya
aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita
Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada
sisi lainnya Tri Hita Karana juga di dasari oleh semangat gotong royong yang
mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan. Dengan
demikian dalam konteks ini diharapkan adanya satu konsep sehingga dapat
mengintegrasikan kedua konsep tersebut ke dalam suatu konsep yang disebut dengan
integrated balance harmony. Dengan konsep ini diharapkan adanya keterkaitan dan
keterpaduan dari kedua konsep tersebut, yaitu konsep CSR dengan konsep Tri Hita
Karana, sehingga budaya gotong royang masih relepan diterapkan dalam dunia bisnis,
terlebih dengan situasi yang terjadi di era global seperti zaman sekarang ini.
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas maka disajikan
satu karya tulis yang berupa tesis diberi judul: Pengembangan Tanggung Jawab
Sosial Perseroan (Coorporate Social Responsibility) Dikaitkan Dengan Konsep
Tri Hita Karana ( Studi Di Propinsi Bali ).
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang diajukan dalam penulisan ini adalah:
13



1. Bagaimanakah model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan sehingga
terjadi harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana yang terdapat di Bali?
2. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab sosial yang diterapkan oleh perusahaan
dalam pengimplementasiannya di masyarakat?
1.3 Ruang Lingkup Masalah.
Untuk menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok
permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini, maka dipandang perlu
mengadakan pembatasan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya bias terfokus pada
pokok permasalahan yang diajukan sebelumnya.
Dalam penulisan tesis ini ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan
adalah sebatas pengaturan dan penerapan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
(UUPT) yaitu mengenai penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan
(CSR) sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) yang menyatakan Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Ketentuan tentang CSR tersebut dihubungkan dengan konsep Tri Hita Karana
yang mendasari kehidupan masyarakat Adat Bali. Bagaimana penerapan CSR
perusahaan di Bali, terutama dari segi model, serta bentuk yang diterapkan , sehingga
terjadi keharmonisan antara konsep CSR dengan konsep Tri Hita Karana di
masyarakat.
2.Tujuan Penelitian.
2.1 Tujuan Umum
14



Secara umum penelitian atas beberapa permasalahan yang telah dikemukakan
diatas bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau untuk menambah khasanah
pengetahuan dibidang Hukum Bisnis khususnya dalam bidang Hukum Organisasi
Perusahaan yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang pada
zaman sekarang di Indonesia perkembangannya sudah mulai mendapat perhatian dari
perusahaan.
2.2 Tujuan Khusus.
Sehubungan dengan tujuan umum itu, maka tujuan khusus yang ingin dicapai
lebih lanjut adalah:
1. Untuk mengetahui model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan yang ada
di Bali terhadap daerah sekitar perusahaan.
2. Untuk mengetahui bentuk Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sehingga terjadi
harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana, dan tercapai adanya Integrated
Balance Harmony.
3. Manfaat Penelitian
Mengenai manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua pokok
permasalahan diatas terdiri dari dua manfaat, yaitu:
3.1 Manfaat Teoritis.
1 Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan yang
berkembang di Bali khususnya terhadap beberapa perusahaan yang berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas, bagaimana model serta bentuk CSR dalam
15



penerapannya didalam masyarakat.
3.2 Manfaat Praktis.
1. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menimbulkan
kesadaran hukum masyarakat khususnya terhadap para pengusaha untuk tetap
memperhatikan lingkungan sekitarnya sehingga terdapat keharmonisan antara
perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, disamping itu penerapan CSR juga
merupakan tuntutan dunia Internasional dalam era perdagangan bebas
2 Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan untuk
lebih mengintensifkan penerapan Tanggung Jawab Sosial Perseoan terutama
di daerah yang termasuk kategori daerah miskin.
4 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir.
4.1 Landasan Teoritis
Penerimaan kalangan perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility
laksana bola salju yang menggelinding semakin besar. Penerapan CSR di perusahaan
menjadi semakin penting dengan munculnya konsep sustainable development yang
dirumuskan oleh The Word Comission on Environment and Development , sehingga
konsep CSR pun mengalami penyesuaian dan dikembangkan dalam bingkai
sustainable development. Hal ini tercermin dari difinisi CSR yang diberikan oleh The
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai:
businesss contribution to sustainable development and that corporate behavior must
not only ensure returns to shareholders, wavegs to employess, and product and
16



service to consumers, but they respond to societal and environmental concerns and
value
15

Kotler dan Lee memberikan pengertian CSR sebagai berikut:
corporate social responsibility is a commitment to improve community well
being through discretionary business practices and contribution of corporate
resources
Kotler dan Lee berpendapat bahwa CSR semata-mata merupakan komitmen
perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan
bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang-
undangan seperti kewajiban membayar pajak atau kepatuhan perusahaan terhadap
undang-undang ketenagakerjaan.
16

CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam
pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab
social perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap
aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.
17

Di Indonesia, secara formal dalam Tata Hukum Indonesia konsep CSR telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
dalam Pasal 1 butir 3 menentukan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
adalah komitmen Perseroan untuk berperan dalam pembangunan ekonomi


15
Peter Van Den Bossche, 2008, The Law And Policy of the Word Trade Organization, Cambridge
University Press, page 71

16
Ibid, hal. 5

17
Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Sosial Responsibility, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
hal.1
17



berkelalanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat
pada umumnya.
Dengan mencermati bunyi Pasal 74 UUPT dan konsep CSR di Negara-negara
maju, maka dapat dilihat terjadi adanya perubahan konsep CSR dari tanggung jawab
sosial (social responsibility) menjadi kewajiban hukum (legal obligation). Dengan
demikian bukan merupakan sesuatu hal yang aneh jika dalam penerapannya di
Indonesia konsep CSR berubah dari social responsibility menjadi legal obligation,
karena dengan konsep tersebut lebih dapat mengakomodir tidak hanya kepentingan
perusahaan, akan tetapi juga seluruh masyarakat yang ada disekitarnya.
18
Dengan
kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam
modal mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam modal
dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan
pihak lain yang terkait.
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat merubah
pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai
sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang
harus dilaksanakan. Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi
sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari
lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan
adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke


18
Supasti Darmawan, I. Ketut, Op. Cit, hal. 5
18



depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat
voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena
disertai dengan sanksi. Ketentuan Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 itulah yang akan
diteliti pada tingkat implementasi (pelaksanaannya) di lapangan oleh para pelaku
usaha khususnnya yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.
Seperti diketahui bahwa ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books
dan studi law in action, sebagaimana disimpulkan dari uraian Roman Tomasic
berikut: the focues of the sociology of law however it is defined, need to be seen as
the study of the law in action rather than the traditional lawyers concern with
the law in book
19

Dalam membahas permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan, maka akan
digunakan beberapa teori-teori, yang pada hakekatnya adalah seperangkat konstruksi
(konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang
fenomena dengan merinci hubungan antar variable, dengan tujuan menjelaskan dan
memprediksikan gejala itu. Teori juga berarti serangkaian asumsi, konsep, difinisi
dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan
cara merumuskan hubungan antar konsep.
20
Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang
paling sederhana suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang


19
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.197


20
Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19
19



telah diuji kebenarannya.
21

Dalam penulisan ini digunakan beberapa teori yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang diajukan. Teori Talcott Parsons tentang Hukum itu Mekanisme
Integrasi, kemudian teori hukum keseimbangan (harmoni) yang diajukan oleh Roscoe
Pound yang dilanjutkan dengan teori tentang law as a tool social engineering.
Kemudian teori dari Von Savigny bahwa hukum itu Jiwa Rakyat (volkgeist).
Menurut Roscou Pound hukum itu keseimbangan kepentingan, yang cendrung
menghindari kontruksi-kontruksi teori yang terlalu abstrak. Hukum tidak boleh
dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis analitis ataupun tenggelam dalam
ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya hukum itu
harus didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan
kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.
Pada dasarnya kondisi awal struktur suatu masyarakat selalu berada dalam
kondisi yang kurang imbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang
terpinggirkan. Untuk menciptakan dunia yang beradab perlu ditata ulang
ketimpangan-ketimpangan struktural tersebut, dengan keseimbangan yang
proporsional. Hukum dengan tipe yang abstrak tidak mampu untuk merubah keadaan
paling-paling hanya mengukuhkan keadaan. Oleh karena itu perlu langkah progresif
dalam memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering)
Menyikapi kondisi yang ada, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak


21
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal.30
20



selamanya merupakan conditio sine qua non bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal
ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk
mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat,
oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama adalah
social engineering.
Dalam konsep Social engenering Pound mengharapkan pada para praktisi
hukum (khususnya pengacara) hendaknya mampu untuk mencampur kekakuan
hukum untuk menyesuaikan pada tujuannya. Dalam proses penafsirannya, seorang
pengacara harus membuat penyesuaian-penyesuaian dalam hukum agar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Tujuan social engenering adalah untuk mengupayakan
pengacara berfikir berdasarkan pada perubahan atau penyesuaian hukum.
A Lawyer should be able to mould the clay of law to duit the porpose in hand. In
the process of interpretation, a lawyer has to make adjustments in the law to suit the
need of the society. The purpose of social engineering is to enable the lawyer to
think in terms of changing or moulding the law.
22


Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest
balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang
diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan
masyarakat terdapat hubungan yang fungsional.
23
Dalam doktrin ini di sebutkan
bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial.
Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam


22
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, Percetakan Turbo, hal. 198

23
Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publising, Yogyakarta, hal. 161
21



masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan umum.24
Kebebasan seseorang merupakan kepentingan individu, tetapi juga kepentingan
sosial karena masyarakat juga tertarik memberikan kebebasan bagi suatu individu.
Pound ingin melihat setiap kepentingan dari sudut pandang sosial. Dalam kasus
konflik, kita melihat pada konflik kepentingan dari sudut pandang individu, negara
dan masyarakat. Karenanya Pound menyatakan harus dapat menyeimbangkan
masyarakat.
Personal liberty is an individual interest but it is also a social interest because
society is also interested in giving liberty to the individual. In other woeds, Pound
wants us to look at every interest from the point of view of the society. In case of
conflict, we look at the conflicting interest from the pointof view of the individual, of
the state and of the society. Thus, Pound says, we can balance them.
25


Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk
membangun masyarakat (law is a tool social engineering), sehingga hukum itu
mengarahkan masyarakat kearah yang lebih maju.
26

Teori Talcott Parsons tentang Hukum itu Mekanisme Integrasi, yang
menyatakan bahwa hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang
lebih besar. Di samping hukum terdapat sub sistem lain yang memiliki logika dan
fungsi yang berbeda-beda. Sub sistem tersebut adalah budaya, politik dan ekonomi.
Setiap sub sistem ini memiliki logika, mekanisme dan tujuan yang berbeda. Sub
sistem budaya cendrung konservatif dan serta merta mempertahankan pola-pola ideal,


24
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke
Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, hal.. 68.

25
Hari Chand, Op. Cit. hal. 198.

26
Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Fiksafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.131.
22



Pada sisi lain sub sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan
terobosan-terobosan baru yang bisa saja asing dan liar dari ukuran pola-pola ideal
budaya, sedangkan sub sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk
mencapai tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola
budaya dan realitas sumberdaya materiil itu.
Keadaan yang rentan benturan tersebut harus ditangani oleh hukum lewat
fungsi pengintegrasiannya agar setiap sub sistem berjalan serasi dan sinergis demi
lestarinya sistem. Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem.
Teori Von Savigny menyatakan Hukum itu Jiwa Rakyat (volkgeist). Menurut
Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu
bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu hukum adat yang
tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum
kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, tetapi harus ditemukan.
Kemudian dalam Teori Tiga Komponen Sistem Hukum yang diajukan oleh
L.M. Friedman mengatakan bahwa bekerjanya system hukum itu merupakan suatu
proses interaksi tiga komponen system hukum, yaitu berinteraksinya komponen
struktural, substansial dan komponen kultural.
Tujuan sistem dapat dicapai apabila ketiga komponen itu bekerja dengan serasi
dan saling mendukung. Kelemahan pada salah satu komponen saja akan berakibat
sistem hukum itu tidak berjalan dengan semestinya. Oleh Friedman komponen
struktural itu dirumuskan sebagai kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum
23



itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem
hukum itu.
Komponen substansial adalah merupakan segi out put, dari segi hukum yang
dapat berupa norma-norma hukum baik berupa doktrin-doktrin, keputusan-keputusan
sejauh norma itu dipakai baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.
Komponen substansial tidak terikat pada bentuk formalitas tertentu, dalam arti dapat
berbentuk undang-undang ataukah kebiasaan-kebiasaan yang belum terekplisitkan
dalam bentuk yang formal, yang dipentingkan disini adalah apakah ia digunakan di
dalam masyarakat.
Komponen kultural adalah hal-hal yang menyangkut sikap-sikap dan nilai-nilai
yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif
maupun negatif.
The term legal cultural had been used to suggest the whole range ideas which
exists in particular societies and varies from one society to another about law and
its place in the social order.These ideas inform legal practices citizens attitudes to
law and their willingness or unwillingness to litigate, anr the relative significance of
law in informing wider currents of thought and behavior beyond the specifis
practices and forms of discourse associated with legal institutions.
27

Dengan dasar teori ketiga komponen sistem hukum dari L.W. Friedman ini
akan dianalisis tentang bekerjanya sistem hukum UU No.40 Tahun 2007 khususnya
Pasal 74. Dari segi struktural bagaimana berfungsinya Lembaga Pemerintah yang
mengawasi pelaksanaan ketentuan Pasal 74 UUPT Tahun 2004. Begitu pula aspek
substansial yang menyangkut peraturan hukum itu sendiri (UU PT khususnya Pasal


27
Friedman, Lawrence.M, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, New York,
Russel Sage Foundation, page. 37
24



74). Yang tidak kalah pentingnya juga dari aspek kultural mengenai perilaku
masyarakat dengan konsep pemikiran yang dilandasi dengan konsep Tri Hita Karana
dalam menerima hasil dari undang-undang tersebut, khususnya perilaku masyarakat
terhadap keberadaan perusahaan yang bersangkutan, sehingga terjadi adanya
pengembangan konsep CSR yang diberikan oleh perusahaan ke dalam konsep Tri
Hita Karana , yang sama-sama menonjolkan unsur moral.
Teori tanggung jawab sosial lahir karena tuntutan dari tanggung jawab itu
sendiri. Tanggung jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak
sama dengan hukum. Moral dalam tanggung jawab sosial lebih mengarah pada
tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap bathiniah, sikap inilah yang
dikenal dengan moralitasyaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa
pamerih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada kesesuaian sikap
lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersebut secara obyektif tidak salah,
barangkali baik dan sesuai dengan pandangan moral, hukum, dan nilai-nilai budaya
masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak bisa dijadikan dasar untuk
menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang
mendasarinya.
Bila teori tanggung jawab sosial dikaitkan dengan aktivitas perusahaan, maka
dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian
perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada sekedar
kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial
lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan
25



usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat, dan lingkungan
dimana perusahaan tersebut melakukan aktivitas usahanya. Secara negatif hal ini
bermakna bahwa perusahaan harus menjalankan aktivitas usahanya sedemikian rupa,
sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat.
Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus
menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat
yang lebih baik dan sejahtera
28
.
Stakeholder theory yang di motori oleh Kenneth Andrews berpandangan bahwa
keberadaan perusahaan bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan
pemegang saham (shareholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak
lainnya (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup
jelas bahwa masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan
begitu juga sebaliknya, sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan
diantara kedua belah pihak.
29

Istilah stakeholders saat ini sudah sangat populer dan telah digunakan oleh
banyak pihak dalam hubungannya dengan berbagai konteks disiplin ilmu, misalnya
manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumber daya alam, sosiologi,
hukum dan sebagainya. Lembaga-lembaga publik pun juga telah menggunakan secara
luas istilah stakeholders ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi


28
Isa Wahyudi, Busyra, Op. Cit. hal.18

29
Coelho, Philip R.P, Mc. Clure, James E.& Spry, John A, 2003, The Social Responsibility of
Corporate Management, A Classical Critique, Mid America Journal of Business, Vo. 18. No.1 Hal. 16
dalam Isa Wahyudi , Op. Cit. Hal.69
26



keputusannya. Secara sederhana stakeholders sering dinyatakan sebagai para pihak,
lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu, kepentingan dan atau
rencana tertentu.
Stakeholders mempunyai pengertian sebagai sebagian anggota komuniti, atau
kelompok individu, masyarakat (tidak semua) yang berasal dari wilayah korporat
tersebut berdiri, wilayah negara dan bisa juga negara lain (global) yang mempunyai
pengaruh terhadap jalannya suatu korporat. Kelompok individu tersebut juga
mempunyai suatu kepentingan antara satu dengan lainnya, atau dengan kata lain
pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan mempengaruhi terhadap jalannya suatu
korporat.
30

Dalam dunia usaha yang global dan sangat kompetitif sekarang ini, banyak
pihak yang dapat menjadi stakeholders perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan
ada beberapa orang atau sekelompok orang yang secara pasti dapat digolongkan
sebagai stakeholders perusahaan, yaitu mereka yang memiliki legitimasi, kepentingan
langsung, atau hak dalam kegiatan perusahaan.
31

David Wheeler dan Maria Sillanpaa dalam bukunya The Stakeholder
Corporation: A Blueprint for Maximizing Stakeholder Value, menggolongkan
stakeholders dalam dua kategori yaitu:
a. Stakeholders primer meliputi pemegang saham, investor, karyawan, pelanggan,


30
Arif Budimanta et. al.,2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan
Indonesia, Jakarta: ICSD, hal. 27.

31
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan
Tanpa CSR, Jakarta, Penerbit Forum Sahabat, hal. 48.
27



komunitas lokal, pemasok dan rekanan bisnis. Stakeholders primer memiliki
kepentingan langsung dalam sebuah perusahaan dan sangat mempengaruhi sukses
atau tidaknya perusahaan tersebut. Oleh karena itu, stakeholders primer ini sangat
penting bagi perusahaan.
b. Stakeholders sekunder meliputi pemerintah, institusi sipil, LSM, pers, pesaing
usaha, asosiasi pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Stakeholders sekunder
juga dapat menjadi sangat berpengaruh, terutama dalam hal yang menyangkut
reputasi perusahaan dan dukungan masyarakat terhadap perusahaan, walaupun
sebenarnya mereka tidak memiliki kepentingan langsung dalam kegiatan inti
perusahaan.
Teori Triple Bottom Line
Teori triple bottom line untuk menganalisa konsep-konsep serta model yang
melatarbelakangi perusahaan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial
(CSR). Teori ini dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya
Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business.
Elkington mengembangkan teori triple bottom line dalam istilah economic prosperity,
environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika
sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan
tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan
juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat
(people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan
28



(planet).
32
Perusahaan dalam kegiatan usahanya dengan mengharmonisasikan aspek
ekonomi, lingkungan dan masyarakat akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu
sendiri.
4.2 Kerangka Berpikir.









Penjelasan.


Penjelasan:
Konsep CSR pada intinya adalah menjaga kelangsungan pembangunan
perekonomian Indonesia untuk mewujudkan suatu sistem perekonomian yang
berpihak kepada rakyat dan untuk menjaga keseimbangan dunia usaha agar pelaku
usaha dapat bersaing dengan sehat, dan adil tanpa menimbulkan kerugian bagi rakyat


32
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit. hal. 33.
TANGGUNG
JAWAB SOSIAL
PERSEROAN
(CSR)
UU 40 Th. 2007

KONSEP
TRI HITA KARANA

MENJAGA
KELANGSUNGAN
PEMBANGUNAN
PEREKONOMIAN
RAKYAT
MEJAGA
KELESTARIAN
LINGKUNGAN
MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT
HUBUNGAN
MANUSIA DENGAN
TUHAN
(PARAHYANGAN)
HUBUNGAN
MANUSIA DENGAN
MANUSIA
(PAWONGAN)
HUBUNGAN
MANUSIA DENGAN
LINGKUNGAN
(PALEMAHAN)

TEORI
TEORI
TALCOTT
PARSONS
TEORI
ROSCOU
POUND
VON
SAVIGNY
STAKE
HOLDER
THEORY
TRIPLE
BOTTEM
THEORY
L.M.FRIE
DMAN
INTEGRATED
BALANCE
HARMONY
29



dan kerusakan lingkungan sekitarnya.
CSR sejatinya mempunyai tujuan yang sangat penting di dalam menjaga
pembangunan perekonomian berkelanjutan. Pada prinsipnya CSR adalah suatu upaya
sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan
memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan
dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan. Disamping itu penerapan CSR bertujuan agar perusahaan dapat
memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat. Pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum
Perseroan Terbatas, diharapkan bersama-sama dengan Pemerintah mewujudkan
kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu ketentuan tentang CSR ini dituangkan
dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, khususnya dalam Pasal 1 butir 3
dan Pasal 74.
Di Pulau Bali ada filosofi yang diikuti oleh masyarakat (Hindu) dalam
menjalani kehidupannya agar bisa hidup selaras baik dengan Tuhan, sesama manusia,
maupun alam lingkungannya, yang dikenal dengan konsep TRI Hita Karana.
Dari segi terminologi Konsep Tri Hita Karana ini terdapat dalam Pustaka Suci
agama Hindu yaitu dalam Bhagawadgita, sloka III.10 yang bunyi slokanya sebagai
berikut:
Sahayajnah prajah srishtva
Puro vacha prajapatih
Anena prasavishya dhvam
Esha vostv ishta kamadhuk
30



artinya: Dahulu kala Prajapati mencipta manusia bersama bakti persembahannya dan
berkata: dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapi
perahanmu.
33

Dari segi etimologi Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita
artinya baik, senang, gembira, lestari, dan Karana berarti sebab-musabab, atau
sumbernya sebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga (3) buah unsur yang
merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan.
34
Tampaknya
konsep CSR itu dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang
terkandung di dalam Tri Hita Karana yang berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan
hubungan antara manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan
sesama (unsur Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur
Palemahan).
Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana
(Pawongan dan Palemahan) menjadi fokus dalam kajian ini dengan tidak
mengabaikan unsur pertamanya yakni Parahyangan. Kedua unsur tersebut berkait erat
dengan apa yang menjadi kewajiban perusahaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal
74 UU No. 40 Tahun 2007. Filosofi Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal
yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. Implementasi
dari konsep Tri Hita Karana di Bali terdapat pada beberapa Peraturan Daerah Bali
dipergunakan sebagai landasan filosofisnya, misalnya dalam Peraturan Daerah


33
Pudja.G, 1982, Bhagawadgita, Jakarta, Penerbit Maya Sari, hal.76

34
Suasthawa I. Made, I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali, Penerbit Upada Sastra,
hal. 6
31



(Perda) No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali
(RTRWP), Perda tentang Pariwisata Budaya Bali dan perda yang lainnya.
Konsep CSR yang berkaitan erat dengan tanggungjawab sosial perusahaan yang
dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai
subsistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan
kewajiban. Konsep CSR yang bersentuhan dengan unsur palemahan, berfungsi
sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Dalam pembahasan tesis ini akan dibahas bagaimana konsep yang harus
diterapkan sehingga dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR
dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh
budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada sisi yang lainnya Tri Hita Karana
mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan. Dengan
demikian dalam penulisan ini diusulkan untuk menerapkan satu konsep yang disebut
dengan Konsep: integrated balance harmony Dengan konsep ini diharapkan
adanya keterkaitan dan keterpaduan diantara kedua konsep tersebut, yaitu konsep
CSR dengan konsep Tri Hita Karana.
5. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologi dan sistematis.
Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah sedangkan
32



sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk karya
ilmiah.
35

Penelitian hukum merupakan penomena yang relatif baru. Penelitian hukum
menjadi penting sejak sejumlah jurusan bidang hukum semakin intensif dan
bermunculan karier akademis yang baru telah menggantikan praktisi-praktisi yang
awalnya berfikir tidak mungkin memasuki profesi tersebut.
Legal research is a relatively new phenomenon. It has become more important as
the number of University Law Schools has inteased, and a new breed of career
academic has replaced the preactitioners who previoualy taught those entering the
profession.
36


Oleh karena itu dalam mengadakan penelitian terlebih dahulu harus dipahami
tentang metode. Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu
permasalahan,oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu apa yang
dicari.
37
Agar dapat dipercaya kebenarannya suatu penelitian ilmiah harus disusun
dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau
tata kerja untuk dapat memahami obyek menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang
bersangkutan.
5.1 Jenis Penelitian
Soetandyo Wignyosoebroto mengemukakan ada lima konsep hukum,
sebagimana yang dikutip oleh Setiono, konsep hukum tersebut yaitu:
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan


35
Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 4

36
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon NSW,
Page.7

37
Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju, hal. 1
33



berlaku universal.
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematis
sebagai judge made law.
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variabel sosial yang empirik.
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial
sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.
38

Penelitian dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan mengikuti pendapat
Soetandyo Wignyosoebroto tentang 5 (lima) konsep hukum yang berlaku pada saat
ini dan sesuai dengan konsep hukum keempat yaitu hukum adalah pola-pola perilaku
sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik.
Ada dua jenis penelitian yang dikemukaan oleh Soerjono Soekanto,yaitu
penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis.
39

Penelitian mengenai Pengembangan Coorporate Social Responsibility Dalam Kaitan
Dengan Konsep Tri Hita Karana ( Studi Di Propinsi Bali ) adalah penelitian hukum
emperis dengan jenis yuridis sosiologis yang berbasis pada ilmu hukum normatif
(peraturan perundangan) menggunakan data sekunder sebagai data awal untuk
kemudian dilanjutkan dengan data lapangan. Ini berarti penelitian yuridis tetap


38
Soetandyo Wignyosoebroto dalam Setiono, 2001, Op. Cit. hal. 3

39
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali,
Jakarta, h.al 147.

34



bertumpu premis normative dimana difinisi operasionalnya dapat diambil dari
peraturan perundang-undangan, tetapi bukan mengkaji sistem norma yang ada dalam
suatu peraturan, melainkan mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika norma
tersebut bekerja di masyarakat (law in action).
40
Dalam konsep emperis hukum
adalah fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai.
41

5.2 Sifat Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan
antara gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
5.3 Jenis dan Sumber Data.
5.3.1 Jenis Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder, dan data
tersier. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan, sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan hukum primer yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, dan data yang bersumber
pada bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku ilmiah dan tulisan-tulisan
hukum.
42
. Bahan Hukum Tersier menurut Peter Mahmud Marzuki adalah berupa


40
Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis,
Yogyakarta, Penerbit Pustaka Belajar, hal.47


41
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Mandar
Maju, hal. 81.

42
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.202.
35



bahan non hukum, yang berupa literarur yang berasal dari non hukum, misalnya
literatur dari ekonomi yang membahas tentang CSR.
43

5.3.2 Sumber Data
1) Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari
sumber asalnya yang pertama belum diolah dan diuraikan oleh orang lain.
44

2) Data sekunder, adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan
(library research). Data sekunder ini adalah data yang mempunyai
kekuatan kedalam yang terdiri dari:
a Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat,
yaitu:
1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
3 UU No.07 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
4 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
5 Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali Tahun 2009-2029
b Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, yaitu yang meliputi buku-buku literatur, artikel,
makalah, yang berhubungan dengan tanggung jawab social perusahaan atau
tanggung jawab lingkungan perusahaan.


43
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 143

44
Hilman Hadikusuma. H, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, hal.65
36



c Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu
berupa Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.
5.4 Teknik Pengumpulan Data.
5.4.1 Teknik Pengumpulan Data Sekunder.
Dilakukan dengan cara studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkaian
usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi,
mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada
relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut
kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi
dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-
konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan
dengan permasalahan penelitian.
5.4.2 Teknik Pengumpulan Data Primer.
Dilakukan dengan cara studi lapangan yaitu dengan cara mengadakan
wawancara (interview) dengan para responden dan informan. Interview adalah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan meminta keterangan dan penjelasan-penjelasan
sambil menilai jawaban-jawabannya. Didalam mendapatkan data yang diperlukan
digunakan metode wawancara bebas terpimpin yang bersifat komprehensif
(mendalam) dengan menggunakan alat tulis.

37



5.5 Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel.
5.5.1 Lokasi Penelitian.
Lokasi penelitian dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini adalah di beberapa
kabupaten yang ada di Pulau Bali. Pemilihan lokasi penelitian ini di dasarkan atas
pertimbangan bahwa Pulau Bali pada saat sekarang perkembangan perdagangan dan
industrinya sangat pesat, yang salah satunya ditandai dengan semakin banyak
tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas,
baik yang ada di Kota Denpasar atau yang ada di kabupaten-kabupaten. Di beberapa
kota di Bali banyak ada perusahaan perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas
yang mulai beroperasi jauh sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Adapun lokasi penelitian sebagaimana dimaksud adalah di Kota
Denpasar, di Kantor PT Federal International Finance yang berlokasi di Jalan Gatot
Subroto 18 B Denpasar, dan beberapa perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas
yang ada di kabupaten di Bali.
5.5.2. Teknik Pengambilan Sampel.
Pengambilan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian
yang representative dari suatu populasi. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan
obyek dengan karakter yang sama. Di dalam Encyclopedia of Educational Evaluation
dijelaskan: population is a set (or collection) of all elements possessing one or
more attributes of interest. Jadi polulasi adalah seluruh obyek, seluruh individu,
seluruh gejala atau seluruh kejadian termasuk waktu, tempat, gejala-gejala, pola
sikap, tingkah laku yang mempunyai cirri atau karakter yang sama dan merupakan
38



unit satuan yang diteliti.
45
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah
perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang ada di Bali, dengan sub polulasi
adalah Perusahaan yang berbentuk PT yang telah melaksanakan CSR. Untuk dapat
memilih sampel yang representative, maka diperlukan teknik sampling. Cara
pengambilan sample dari populasi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Probabilitas sampling atau random sampling
2. Nonprobabilitas sampling atau nonrandom sampling.
Dalam penelitian ini digunakan teknik non probability sampling atau
nonrandom sampling dengan menggunakan jenis purposive sampling. Dalam hal ini
berarti bahwa sampel dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi sebelumnya,
yang bertindak sebagai informan kunci. Dari informasi kunci tersebut penelitian akan
dilanjutkan kepada para responden, yaitu para pelaku usaha khususnya usaha yang
berbadan hukum Perseroan Terbatas, yang telah dipilih sebelumnya dan dapat
mewakili populasi.
5.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data.
Dari data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder,
kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis deskriftif
kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan
peristiwa hukumnya dengan mempertautkan antara data primer dengan data sekunder.
Setelah itu, data tersebut disajikan secara deskriftif analisis dengan menguraikannya
secara sistematis dan komprehensif, sehingga dapat menjawab permasalahan.


45
Inderson, 1975, dalam Bahder Johan Nasution, Op. Cit. Hal.145.
39



BAB II
TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN PADA
PERSEROAN TERBATAS DALAM PERSPEKTIF TRI HITA KARANA

2.1 Pengertian CSR dan Dasar Hukum
Terminologi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bukanlah hal yang
relative baru dalam dunia usaha, evolusi konsepnya sendiri sudah berlangsung pada
beberapa dekade. Pada sisi lain istilah CSR sendiri juga mengalami perubahan sejalan
dengan perkembangan dunia usaha, politis dan pembangunan sosial serta hak asasi
manusia (HAM).
Selain itu terminologi CSR juga dipengaruhi oleh dampak globalisasi dan
perkembangan teknologi informasi, dan semua itu akan mencerminkan pemahaman
terhadap pengertian CSR dalam kontek lokal.
46

Corporate Social Responsibility dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
tanggungjawab sosial perusahaan sedangkan di Amerika, konsep ini seringkali
disamakan dengan corporate citizenship. Pada intinya, keduanya dimaksudkan
sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan kepedulian terhadap masalah sosial
dan lingkungan dalam kegiatan usaha dan juga pada cara perusahaan berinteraksi
dengan stakeholder yang dilakukan secara sukarela. Selain itu, tanggungjawab sosial
perusahaan diartikan pula sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan,


46
Saidi, Zaim, 2002, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta, Penerbit Piramida, hal. 97
40



keluarga karyawan dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan
kualitas kehidupan.
Mulai pada saat terminologi CSR diperkenalkan tahun 1920 sampai saat ini
belum ada difinisi tunggal mengenai pengertian dari CSR. Berikut ini adalah definisi-
definisi dari CSR yang antara lain:
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), yang
merupakan lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih
dari 180 perusahaan multinasional yang berasal dari 35 negara memberikan definisi
CSR sebagai "continuing commitment by business to behave ethically and contribute
to economic development while improving the quality of life of the workforce and
their families as well as of the local community and society at large".
47

Apabila diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk
terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk
peningkatan ekonomi,bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan.
Definisi lain mengenai CSR juga dilontarkan oleh World Bank yang
memandang CSR sebagai "the commitment of business to contribute to sustainable
economic development working with amployees and their representatives the local
community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good
for business and good for development".
Kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk
memberikan sumbangan guna menopang bekerjanya pembangunan ekonomi bersama


47
Isa Wahyudi, Op. Cit. hal. 29
41



karyawan dan perwakilan-perwakilan mereka dalam komunitas setempat dan
masyarakat luas untuk meningkatkan taraf hidup, intinya CSR tersebut adalah baik
bagi keduanya, untuk dunia usaha dan pembangunan.
CSR forum juga memberikan definisi, "CSR mean open and transparent
business practise that are based on ethical values and respect for employees,
communities and environment". Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR berarti
keterbukaan dan transparan dalam pelaksanaan usahanya yang dilandasi oleh nilai-
nilai etika dan penghargaan kepada karyawan-karyawan, masyarakat setempat, dan
lingkungan hidup.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri mengenai CSR. Yaitu dari
European Union atau Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) sebagai lembaga
perhimpunan Negara-negara di benua Eropa mengemukakan bahwa "CSR is a
concept where by companies integrate social and environmental concerns in their
business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary
basic". Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR adalah suatu konsep untuk
integritas sosial perusahaan dan memperhatikan masalah lingkungan dalam
operasional usahanya dan melakukan hubungan interaksi dengan stakeholders yang
didasari kesukarelaan.
Howard R Bowen melalui karyanya yang diberi judul Social Responsibilities
of the Bussinessmen. Bowen merumuskan CSR sebagai berikut: t refers to the
obligations of businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to
42



follow those lines of action which are desireable interms of the objectives and values
of our society
48

Yusuf Wibisono, CSR didifinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan kepada
para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan
memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan
49
.
Suhandari M. Putri, mendifinisikan CSR adalah komitmen perusahaan atau
dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan
dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada
keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.
50

UUPT juga mengatur ketentuan mengenai CSR. Pengertian CSR diatur di
dalam Pasal 1 butir (3) UUPT, dalam hal ini CSR disebut sebagai tanggung jawab
sosial dan lingkungan (TJSL) yang berarti komitmen Perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat,
maupun masyarakat pada umumnya.
Pelaksanaan CSR ini harus dimuat di dalam laporan tahunan perseroan yang
disampaikan oleh direksi dan ditelaah oleh dewan komisaris yang mengharuskan


48
Bowen. R, dalam Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.16

49
Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility,
Penerbit Salemba Empat, hal. 10

50
Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal.25.
43



memuat laporan pelaksanaan tangung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 66 ayat (2)
huruf c UUPT). Dalam hal ini, UUPT mewajibkan bagi setiap perseroan yang
menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam
untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Hal ini ditegaskan juga dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam
hal ini, tanggung jawab sosial dan lingkungan menipakan kewajiban perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran (Pasal 74 ayat (2) UUPT).
Selanjutnya, dinyatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 74 ayat
(3) UUPT).
51

Tanggungjawab sosial perusahaan terkait dengan nilai dan standar yang
dilakukan berkenaan dengan beroperasinya sebuah perusahaan (corporate), maka
CSR didefinisikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi
secara legal, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari karyawan dan
keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.
Dalam berbagai wacana Corporate Social Responsibility dapat diartikan secara
luas dan universal seperti berikut:
1. World Business Council for Sustainable Development


51
Yusuf Wibisono,Op. Cit. hal.8
44



Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan
memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas
kehidupan karyawan dan keluargnya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas
pada umumnya.
2. International Finance Corporation
Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan
ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka,
komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka
melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.
52

4. European Commission
A concept whereby companies decide voluntarily to contribute to a better
society and a cleaner environment.
53

Kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah sebagai berikut:
Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap
sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan
para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.
5. CSR Asia
Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan
prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam


52
Arif Budimanta ,2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan
Indonesia, Jakarta, Penerbit ICSD, Hal. 67

53
http://www.business.curtin.edu.au/files/GSB_Working_Paper_No._62_Corp_Social_Resp_A_defin
ition_Thomas___Nowak.pdf, page. 17
45



kepentingan para stakeholders.
6. ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility
Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-
keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan
harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-
norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara
menyeluruh (draft 3, 2007).
Tanggungjawab sosial merupakan Pasal yang tidak dapat dipisahkan dari good
corporate governance karena pelaksanaan Corporate Social Responsibility
merupakan Pasal dari salah satu prinsip yang berpengaruh dalam good corporate
governance. Sampai dengan sekarang belum ada kata sepakat tentang definisi dari
good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik. Akan tetapi, pada
umumnya GCG dipahami sebagai suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti
sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi
demi tercapainya tujuan perusahaan, sedangkan dalam arti luas, GCG digunakan
untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders secara proporsional dan
mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan
sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki
46



dengan segera.
54

Dalam keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan
Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No. Kep-23/MPM.PBUMN/2000, tanggal 31
Mei 2000, tentang pengembangan praktik Good Corporate Governance dalam
perusahaan persero, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan GCG adalah prinsip
perusahaan yang sehat dan diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang
dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka
mencapai maksud dan tujuan perusahaan.
55

Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para
shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini
dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak
lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab
pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan diperusahaan haruslah dapat
dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah
bagi shareholders lainnya. Oleh karena itu, fokus utama di sini terkait dengan proses


54
Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Governnance, Yogyakarta, Genta Press,
hal. 67

55
Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance, Yogyakarta, Penerbit
Total Media, hal. 54
47



pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency,
responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Di Indonesia istilah GCG biasa diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang
baik. Dalam hal ini, GCG kemudian didefinisikan sebagai suatu pola hubungan,
sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai
tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang,
dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, dengan berlandaskan
peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku. Dari definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa GCG merupakan:
1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan
komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya.
2) Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian
perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang
salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian,
berikut pengukuran kinerjanya.
56

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG antara lain:
1) Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam
mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang


56
Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT Tatanusa,
hal.231
48



cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholdersnya.
2) Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas berarti adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara
efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta
tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.
3) Responsibility (Pertanggungjawaban)
Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap
peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial,
kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara
lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan
menerapkan prinsip ini diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam
kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk
bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders lainnya.
4) Independency (kemandirian)
Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada
benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak
stakeholders sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
49



berlaku.
57

Prinsip yang berkaitan erat dengan CSR adalah Responsibilitas yang
merupakan aspek pertanggungjawaban dari setiap kegiatan perusahaan untuk
melaksanakan prinsip corporate social responsibility karena dalam berusaha, sebuah
perusahaan tidak akan lepas dari masyarakat sekitar, ditekankan juga pada signifikasi
filantrofik yang diberikan dunia usaha kepada kepentingan pihak-pihak eksternal
dimana perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholder perusahaan,
menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa, dan memelihara
kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Diluar itu, lewat prinsip
responsibility diharapkan membantu pemerintah dalam mengurangi kesenjangan
pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan
manfaat dari mekanisme pasar.
58

Corporate Social Responsibility sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi
dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada single bottom line yaitu nilai
perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya
(financial saja) tetapi harus berpijak pada triple bottom lines, dimana bottom lines
selain financial juga sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi diungkapkan dengan
Profit, asfek sosial diungkapkan dengan people, dan aspek lingkungan diungkapkan
dengan Planet. Kondisi keuangan saja tak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh
secara berkelanjutan (sustainable). Menurut Archie B. Carrol disebut dengan


57
Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, Op. Cit. hal.7

58
Arif Budimanta, Op. Cit. Hal. 25
50



piramida CSR. Kemudian teori ini pada tahun 1997 dipopulerkan oleh John Elkington
melalui bukunya yang berjudul Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of
Twentieth Century Business.
1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi
yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia.
Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa
bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan,
penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang
berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.
3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hayati. Beberpa program CSR
yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup,
penyediaan sarana pengembangan pariwisata (ekoturisme).
Triple P(Profit, People, Planet) merupakan tiga aspek yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Apabila perusahaan dalam mengimplementasikannya, hanya
menekankan hanya pada salah satu aspek saja, maka perusahaan akan dihadapkan
pada berbagai macam resestensi baik yang bersifat internal maupun eksternal,
sehingga perusahaan akan sulit bahkan tidak akan mampu beraktivitas secara
berkelanjutan.
59

Berdasarkan standar dari Bank Dunia maka CSR meliputi beberapa komponen


59
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 34
51



utama yakni (1) perlindungan lingkungan (2) jaminan kerja (3) Hak Asasi Manusia
(4) interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat (5) standar usaha (6)
pasar (7) pengembangan ekonomi dan badan usaha (8) perlindungan kesehatan (9)
kepemimpinan dan pendidikan (10) bantuan bencana kemanusiaan. Bagi perusahaan
yang berupaya untuk membangun citra positif perusahaannya, maka kesepuluh
komponen tersebut harus diupayakan pemenuhannya.
Dampak dari pendirian perusahaan oleh pemilik modal yang tergabung dalam
sebuah corporation salah satunya adalah muncul kesenjangan antara pihak
perusahaan (corporate) dengan masyarakat setempat yang dapat mempengaruhi
kestabilan negara, disisi lain pemerintah terkadang tidak bisa berbuat banyak dalam
memenuhi semua tuntutan masyarakat yang merasa hak-hak atas daerahnya dilanggar
termasuk hak asasi seperti terusiknya tempat tinggal dan berkurangnya mata
pencarian anggota masyarakat disekitar perusahaan. Dalam meminimalisir akibat
tersebut, peran dari program corporate social responsibility sangat besar.
60

Dengan dipenuhinya kewajiban-kewajiban ini maka perusahaan telah
melakukan kegiatannya secara berkelanjutan dan tidak merugikan kepentingan para
stakeholdernya. Perusahaan dalam mencari laba diperbolehkan, tetapi jangan pula
mengabaikan hak-hak yang terkandung dan dimiliki oleh konsumen, investor dan
masyarakat. Lebih dari itu ketika pembangunan perusahaan telah sesuai dengan
kawasan peruntukannya, maka pengusaha perlu melaksanakan berbagai kewajiban
untuk meminimalisir kerugian yang dialami konsumen, karyawan, investor, maupun


60
Khairandy, Ridwan& Malik Camelia,Op. Cit. Hal. 9
52



kerusakan kualitas lingkungan hidup antara lain :
a. Kewajiban terhadap konsumen
1. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan produk yang aman.
2. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang spesifikasi
produk yang dijual perusahaan, antara lain dengan mencantumkan label yang
benar.
3. Konsumen memiliki hak untuk didengarkan, perusahaan dapat membuka
kontak pelanggan melalui kotak pos atau nomor telepon.
4. Konsumen memiliki hak untuk dapat dapat memilih barang yang mereka beli.
5. Kolusi dalam penetapan harga yang merugikan konsumen tidak dilakukan.
6. Kampanye iklan tidak dilakukan secara berlebihan.
7. Kampanye iklan diikuti oleh produksi dan distribusi produk sesuai dengan
pesan-pesan iklan.
8. Kampanye iklan perlu memperhatikan faktor berikut ini: tidak menayangkan
materi iklan yang menonjolkan anak-anak sedang merokok, mencantumkan
kandungan kalori lemah kolesterol dalam makanan, komponen vitamin, dan
unsur-unsur minuman kesehatan, menayangkan dengan gencar produk
konsumsi yang tidak layak dan tidak halal untuk dikonsumsi, memberikan
iming iming hadiah jika membeli produk dengan gencar, materi iklan dan film
yang tidak baik untuk ditonton oleh anak-anak dan bersifat pornografi.
b. Kewajiban terhadap karyawan
1. Melakukan proses seleksi dan penempatan pegawai secara transparan dengan
53



mengajak para calon pegawai dari sekitar komunitas untuk berpartisipasi.
2. Memberikan posisi jabatan dan balas jasa gaji dan pengupahan, serta promosi
jabatan tanpa memandang agama, gender, suku bangsa, senioritas dan asal
negara.
3. Mematuhi peraturan dan UU ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah.
c. Kewajiban terhadap investor
1. Meniadakan berbagai potensi kecurangan yang mungkin timbul di perusahaan
terhadap investor.
2. Menghindari praktek pembuatan laporan keuangan yang disemir dan tidak
sesuai dengan standar pelaporan akuntansi yang berlaku.
3. Tidak melakukan perbuatan ilegal seperti mengeluarkan cek kosong dan proses
pencucian uang (money laundry).
4. Tidak melakukan proses insider trading dalam menjual surat berharga
perusahaan.
5. Mematuhi ketentuan tentang GAAP (Generally Accepted Accounting Practices),
ketentuan pasar modal bagi para emiten dan pedoman GCG yang diberlakukan
perusahaan.
d. Kewajiban terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup
1. Menjalankan program community social responsibility, khususnya yang
berkaitan dengan pelestarian kualitas lingkungan hidup.
54



2. Memperhitungkan dampak lintas sektor dalam proses produksi dengan
memanfaatkan bahan baku alam secara berkelanjutan.
3. Menerapkan prinsip SIDEC, Sustainabilitas, Interdependence, Diversitas,
Equity, Cohesion dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan alam.
4. Mengembangkan pola hidup kekitaan ketimbang keakuan (Emil Salim).
5. Menghasilkan proses produksi dengan mengoptimalkan upaya renewable
resources, daur ulang non-renewable resources, mengupayakan zero-waste
clean technology; dan pemanfaatan tataruang dan proses produksi dengan
sedikit limbah dan polusi.
61

Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membentuk departemen khusus
tersendiri yang bertugas menjalankan konsep CSR sehingga upaya ini dapat
dilakukan dengan fokus dan terarah, dan last but not least adanya prioritas di bidang
kesehatan juga merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan, sehingga CSR tidak
hanya sebatas konsep untuk mendapatkan kesan baik atau citra positif semata
melainkan benar-benar merupakan realisasi dari niat baik perusahaan sebagai parner
dari masyarakat
2.2 Sejarah CSR
Perkembangan dunia dewasa ini menyebabkan masyarakat hidup bagai dalam
dimensi ruang yang tak bersekat. Berbagai bidang kehidupan dipengaruhi oleh proses
yang secara langsung telah membentuk tatanan baru dalam lingkup pergaulan dunia
dimana negara maju cenderung mendominasi diantara negara berkembang dan negara


61
Emrizon, Joni, Op. Cit. Hal. 76-78
55



miskin yang lazim dikenal sebagai globalisasi. Globalisasi tidak hanya mencakup
bidang eksternal seperti perdagangan tetapi juga merambah bidang-bidang privat
negara yang bersangkutan seperti regulasi dan kebijakan yang mana kadang berkesan
abu-abu karena tidak berkonsep dari masyarakat itu sendiri.
Indonesia sebagaimana negara berkembang cenderung meratifikasi kebijakan
global yang berembrio dari negara maju seperti berbagai produk peraturan di bidang
ekonomi yang terkesan dipaksakan pembuatan dan pemberlakuannya demi
memenuhi prasyarat untuk boleh berpartisispasi dalam perkembangan ekonomi
dunia.
Ekonomi secara signifikan berkembang seiring dengan globalisasi mengarah
pada perubahan citra dalam dunia usaha dan industri. Berawal dari Earth Summit di
Rio de Jeneirio Brazilia tahun 1992 dan program ekonomi berkelanjutan di
Yohannesburg tahun 2002, hubungan perusahaan dengan obyek diluar industri mulai
mengalami pergeseran, dimulai dengan Corporate Relation yang berkembang
menjadi Community Development dan Corporate Social Responsibility. Kegiatan atau
program Corporate Social Responsibility merupakan suatu bentuk solidaritas sosial
perusahaan bagi masyarakat, sekaligus bermanfaat dalam membentuk citra
perusahaan melalui publikasi yang tepat akan sangat membantu membangun
menggalang kerjasama antara masyarakat dengan perusahaan.
62

Misi untuk mencapai profitabilitas dan kesinambungan pertumbuhan dapat
ditempatkan sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan sehingga ada


62
Isa Wahyudi, Op. Cit. Hal. 87
56



keselarasan antara kebutuhan masyarakat dan perusahaan untuk tumbuh bersama.
Konsep seperti ini lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau
Corporate Social Responsibility.
Konsep CSR memberikan wajah baru bentuk kepedulian perusahaan terhadap
masyarakat dengan alasan bahwasanya kegiatan produksi langsung maupun tidak
membawa dampak for better or worse bagi kondisi lingkungan dan sosial ekonomi
disekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya
shareholders (komponen yang terkait dengan internal perusahaan) yakni para
pemegang saham melainkan pula stakeholders, yaitu semua pihak diluar pada
pemegang saham yang terkait dan berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.
Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok,
masyarakat disekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media
massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif
berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tergantung pada core
bisnis perusahaan yang bersangkutan.
63

Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto yang menempatkan
masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya.
Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produsen produk konsumen
seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.
Pemberlakuan CSR notabene memperkuat posisi perusahaan di sebuah
kawasan, melalui jalinan kerjasama antara stakeholder yang difasilitasi oleh


63
Arif Budimanta , Op. Cit. hal. 27.
57



perusahaan melalui penyusunan berbagai program pengembangan masyarakat sekitar,
atau dalam pengertian, kemampuan perusahaan beradaptasi dengan lingkungan,
komunitas dan stakeholder yang terkait dengan perusahaan, baik lokal, nasional
maupun global, karena pengembangan corporate social responsibility kedepan
mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development).
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970 an dan
semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple
Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic
growth, environmental, protection, dan social equity, yang digagas oleh the World
Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report
(1987), Elkington mengemas CSR dalam fokus 3P, merupakan singkatan dari profit,
planet dan people dimana perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan
ekonomi (profit) belaka melainkan memiliki pula kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
64

Pada saat industri berkembang setelah terjadinya revolusi industri, kebanyakan
perusahaan masih memfokuskan tujuan perusahaan hanya sekedar untuk mencari
keuntungan belaka. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat kemudian
menuntut perusahaan untuk bertanggungjawab sosial. Hal ini dikarenakan selain
terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat di sekitarnya,
kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif,


64
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 35
58



misalnya eksploitasi sumber daya alam dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi
perusahaan. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR
yang paling primitif, dalam hal ini adalah kedermawanan yang bersifat karitatif.
Gema CSR semakin terasa pada tahun 1950-an. Hal ini dikarenakan persoalan-
persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula tidak mendapat perhatian,
mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Dengan
diterbitkannya buku yang bertajuk "social responsibilities of the businessman" karya
Howard R Bowen tahun 1953 yang merupakan litertur awal, maka menjadikan tahun
tersebut sebagai tonggak sejarah modern CSR. Di samping itu, pada dekade ini juga
diramaikan oleh buku legendaris yang berjudul "silent spring" yang ditulis oleh
Rachel Carson, seorang ibu rumah tangga biasa yang mengingatkan kepada
masyarakat dunia akan bahaya yang mematikan dari pestisida terhadap lingkungan
dan kehidupan. Melalui buku Rachel Carson ingin menyadarkan bahwa tingkah laku
perusahaan mesti dicermati sebelum berdampak pada kehancuran.
65

Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah "the limits to Growth" yang merupakan hasil
pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Dalam hal
ini, buku ini ingin mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita
pijak mempunyai keterbatasan daya dukung. Oleh karena itu, eksploitasi alam mesti
dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Pada dasawarsa ini, kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam
kemasan philantropy dan community development serta pada masa ini terjadi


65
Ismail Solohin , Op. Cit. Hal. 75
59



perpindahan penekanan dari fasilitas dan dukungan pada sektor-sektor produktif ke
arah sektor-sektor sosial.
Pada era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep
philantropisnya ke arah community development. Intinya kegiatan kedermawanan
yang sebelumnya kental dengan kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang
kearah pemberdayaan masyarakat, misalnya pengembangan kerja sama, memberikan
keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti plasma, dan sebagainya.
Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam
pendekatan seperti integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society.
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak awal tahun 1990-an.
Beberapa perusahaan sebenarnya telah melakukan CSA (Corporate Social Activity)
atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun berbeda secara gramatikal, secara
faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk peran serta
dan kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep
investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat
sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan
melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Tuntutan sosial yang
muncul sejak abad ke 19 ini, berkembang hingga kini melalui beberapa tahapan
seperti berikut:
1. Entrepeneurial Era
a) Dunia bisnis pada abad ke 19 ditandai dengan bangkitnya semangat
kewirausahaan
60



yang berfilosofi pada mekanisme pasar bebas (dipelopori oleh Rockefeller,
Morgan dan Vanderbilt).
b) Banyak terjadi pelanggaran hak-hak pekerja dan cara berbisnis yang baik sebagai
aplikasi dari filosofi pasar bebas.
c) Beberapa negara mulai membuat peraturan (Undang-Undang) untuk membatasi
praktek kecurangan dalam bisnis.
2. The Great Depression
a) Tahun 1930 banyak pihak menduga kegagalan pasar didorong oleh faktor
ketamakan perusahaan dalam mengejar keuntungan/laba.
b) Mulai timbul kesadaran akan perlunya suatu Undang-Undang yang mengatur
perlindungan terhadap pekerja, konsumen, dan masyarakat.
3. The Era of Social Activism
a) Dimulai tahun 1960-1970 dimana kalangan bisnis dicurigai berkolaborasi dengan
pemerintah dengan memanfaatkan berbagai kesempatan bisnis untuk merugikan
masyarakat. Sebagai contoh adalah produksi rokok.
b) Masyarakat menuntut adanya UU tentang pembatasan merokok dan UU tentang
perlindungan lingkungan.
4. Contemporary Social Consciousness
a) Sejak tahun 1990 mulai berkembang kesadaran dari berbagai pihak bahwa dunia
bisnis perlu memberikan perhatian pada aspek sosial, yang didorong oleh
perkembangan globalisasi dan kerusakan lingkungan.
61



b) Mulai diperkenalkannya konsep CSR dan berbagai peraturan tentang lingkungan
hidup kepada khalayak. Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi
(Earth Summit). KTT yang diadakan di Rio de Jenairo Brazil ini menegaskan
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas
perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang
mesti dilakukan. Terobosan besar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John
Elkington melalui konsep "3P" (Profit, people, and planet) yang dituangkan dalam
bukunya "Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business" yang dirilis pada tahun 1997. la berpendapat bahwa jika perusahaan ingin
sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan cuma profit yang diburu.
Namun, juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people), dan
ikut aktif dalam menjaga lingkungan (planet).
Selanjutnya, gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World
Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika
Selatan. Sejak saat inilah, definisi CSR mulai berkembang.
66

2.3 Prinsip-Prinsip CSR
Salah seorang pakar tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yaitu Alyson
Warhurst dari University Of Bath Inggris, pada tahun 1998 menjelaskan ada 16 (enam
belas) prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Adapun prinsip-prinsip itu


66
Ismail Solihin,2009, Corporate Social Responsibility: From Charity to Sustainability, Jakarta,
Salemba Empat, Hal. 124
62



adalah sebagai berikut:
67

1. Prioritas korporat. Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi
korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan, dengan begitu
korporat bisa membuat kebijakan, program, dan praktek dalam menjalankan
operasi bisnisnya dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial.
2. Manajemen terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke
dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam semua
fungsi manajemen.
3. Proses perbaikan. Secara bersinambungan memperbaiki kebijakan, program
dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir dan memahami
kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional.
4. Pendidikan karyawan. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta
memotivasi karyawan.
5. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau
proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi
pabrik.
6. Produk dan jasa. Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak
negatif secara sosial.
7. Informasi publik. Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik
pelanggan, distributor, dan publik tentang penggunaan yang aman,



67
Yusuf Wibisono, Op. Cit., hlm. 39-41.
63



transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan
jasa.
8. Fasilitas dan operasi. Mengembangkan, merancang dan mengoperasikan
fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian
dampak sosial.
9. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku,
produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan
penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif.
10. Prinsip pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan
produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah
dampak sosial yang bersifat negatif.
11. Kontraktor dan pemasok. Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung
jawab sosial korporat yaang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok,
disamping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktik bisnis
yang dilakukan kontraktor dan pemasok.
12. Siaga menghadapi darurat. Menyusun dan merumuskan rencana mennghadapi
keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerja sama dengan
layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal. Sekaligus
mengenali potensi bahaya yang muncul.
13. Transfer best practice. Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik
bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor
publik.
64



14. Memberi sumbangan. Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan
kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen
pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran
tentang tanggung jawab sosial.
15. Keterbukaan. Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja
dan publik, mengantisipasi dan memberi respons terhadap potencial hazard,
dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa.
16. Pencapaian dan pelaporan. Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit
sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat
dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut
pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik.
Pada sisi lain, Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) pada saat pertemuan para menteri anggota OECD di Prancis tahun 2000 juga
menyepakati pedoman bagi perusahaan multinasional. Pedoman tersebut berisikan
kebijakan umum yang meliputi:


1. Memberi kontribusi untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan
berdasarkan pandangan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
(sustainable development).
2. Menghormati hak-hak asasi manusia yang dipengaruhi oleh kegiatan yang
dijalankan perusahaan tersebut, sejalan dengan kewajiban dan komitmen
pemerintah di negara tempat perusahaan beroperasi.
65



3. Mendorong pembangunan kapasitas lokal melalui kerja sama yang erat
dengan komunitas lokal. Termasuk kepentingan bisnis. Selain
mengembangkan kegiatan perusahaan di pasar dalam dan luar negeri sejalan
dengan kebutuhan praktek perdagangan.
4. Mendorong pembentukan human capital, khususnya melalui penciptaan
kesempatan kerja dan memfasilitasi pelatihan bagi karyawan.
5. Menahan diri untuk tidak mencari atau pembebasan di luar yang dibenarkan
secara hukum yang terkait dengan lingkungan, kesehatan dan keselamatan
kerja, perburuhan, perpajakan, insentif finansial dan isu-isu lainnya.
6. Mendorong dan memegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate
Governance (GCG) serta mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek
tata kelola perusahaan yang baik.
7. Mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek sistem manajemen yang
mengatur diri sendiri (self-regulation) secara efektif guna menumbuh
kembangkan relasi saling percaya diantara persahaan dan masyarakat
setempat di mana perusahaan beroperasi.
8. Mendorong kesadaran pekerja yang sejalan dengan kebijakan perusahaan
melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan-kebijakan itu pada
pekerja termasuk melalui program-program pelatihan.
9. Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tebang pilih (discrimination)
dan indisipliner.
66



10. Mengembangkan mitra bisnis, termasuk para pemasok dan sub-kontraktor,
untuk menerapkan aturan perusahaan yang sejalan dengan pedoman tersebut.
11. Bersikap abstain terhadap semua keterlibatan yang tak sepatutnya dalam
kegiatan-kegiatan politik lokal.
Pada era global ini, prinsip-prinsip tersebut seharusnya juga menjadi prinsip-
prinsip yang harus dipatuhi oleh semua perusahaan (perseroan terbatas) dalam
mengimplentasikan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
68

2.4 CSR Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007)
Di beberapa Negara kegiatan CSR sudah lazim dilakukan oleh suatu
perusahaan, hal ini bukan karena diatur oleh pemerintah, melainkan untuk menjaga
hubungan baik dengan stakeholders. Berbeda dengan di Indonesia dalam sistem
perekonomiannya menganut ekonomi berasaskan kekeluargaan dan berdasarkan
demokrasi ekonomi, serta pelaksanaan pengaturan CSR sebenarnya tidak terlepas dari
makna Pancasila itu sendiri yang merupakan landasan filosofi. Dalam konstitusi ,
prinsip CSR ini berkaitan dengan maksud dan tujuan bangsa dan bernegara
sebagaimana yang termaktub dalam preambul UUD 1945 yang menegaskan bahwa
...........Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,.......
Selain dalam pembukaan UUD 1945 juga terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan

68
Ismail Solihin, Op. Cit. Hal. 75
67



(4) yang berbunyi :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
Oleh karena itu sifat CSR yang ada di Indonesia yang pada mulanya bersifat
sukarela menjadi wajib bagi perusahaan-perusahaan untuk menjalankan program
CSR. Dan tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak melaksanakan prinsip CSR
dalam aktivitas usahanya. Sehinga agar kewajiban ini bersifat imperatif maka harus
disertai dengan adanya regulasi sehingga pada tanggal 20 Juli 2007 DPR mengetuk
palu tanda disetujuinya RUUPT menjadi UUPT maka muncullah UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas yang memasukkan klausul CSR dalam Pasal 74
UU PT, meskipun sebelumnya telah dimasukkan dalam Undang-Undang
Penanaman Modal.
69

Ketentuan mengenai CSR dalam UUPT di atur pada pasal 74 yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
(2). Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.


69
Habib Adjie, Op. Cit. hal. 97.
68



(3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
70

Dengan dicantumkannya CSR dalam UU PT yang baru ini, ada beberapa
pendapat yang tidak setuju tentang pengaturan CSR dalam UUPT tersebut, dengan
berbagai alasan, antara lain:
1. CSR adalah kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary) bukan bersifat kewajiban
(mandatory). Jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga
akan member beban baru kepada dunia usaha, karena menggerus keuangan suatu
perusahaan.
2. CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah
3. diterapkan dalam perundang-undangan formal, seperti ketertiban usaha, pajam atas
keuntungan dan standar lingkungan hidup.
4. CSR di Negara Negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang dari
Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama
dan hati-hati. Bahkan European Union sebagai kumpulan Negara yang paling
menaruh perhatian terhadap CSR telah menyatakan sikapnya bahwa CSR bukan
sesuatu yang akan diatur.
5. Lingkup dan pengertian CSR yang dimaksud dalam Pasal 74 UUPT berbeda
dengan pengertian CSR dalam pustaka maupun difinisi resmi, baik yang
dikeluarkan oleh Word Bank maupun International Organization for


70
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Penerbit Nada Umbara, hal.
15
69



Standardization (ISO) 26000 Guidance on Social Responsibility .
6. Pasal 74 telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya
makna dasar CSR, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan
bertindak.
71

Dari berbagai argumentasi yang menolak CSR sebagai suatu kewajiban hanya
melihat CSR pada tataran kewajibannya saja. Para pelaku usaha tidak mengindahkan
dasar filosofisnya dan dampak dari pembangunan yang berlangsung selama ini. Jika
dilihat dari law making process-nya, konsep mengenai CSR dalam UUPT yang baru
disahkan ini tidak terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Pada saat sekarang dapat dirasakan semakin deras dinamika
sosial masyarakat, serta semakin turun peran pemerintah dan semakin vitalnya peran
swasta dalam pembangunan. Fakta menunjukkan semakin berkurangnya tanggung
jawab dari perusahaan baik nasional maupun multinasional yang beroperasi di
Indonesia dalam mengelola lingkungan.
Fakta yang lain menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang hanya melakukan
kegiatan operasionalnya tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap
kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat disekitarnya, seperti kasus buyat atau
yang paling terbaru adalah lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, telah membuka mata
para pebisnis dan pejabat pemerintah tentang pentingnya CSR. Selama seminar
nasional tentang CSR yang dilaksanakan oleh IBL tahun 2006 para peserta
memastikan jika CSR akan meningkat, tingkat kepentingan pada bisnis dalam kurun


71
Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.185
70



waktu 5 tahun berikutnya, juga terdapat indikasi kuat bahwa investasi pada CSR
dengan kegiatan yang berkaitan telah meningkat pada tahun 2006.
Furthermore, the incidents such as the Buyat case (Newmont Minahasa), the Papua
case (Freeport) or most recently the Sidoarjo hot-mud case (Lapindo Brantas)
opened the eyes of business leaders and the general public about the importance of
CSR. During the course of a national conference on CSR hosted by IBL in 2006, the
participants confirmed that CSR would become increasingly important to business
over the next five years. There is also strong indication that investment into CSR
related activities has increased in 2006. Theare a of business ethics and corporate
governance is likely to see an increase
72


Atas dasar argumentasi tersebut, CSR yang semula adalah tanggung jawab
non hukum (responsibility) diubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Untuk
itu, CSR harus dimaknai sebagai instrument untuk mengurangi praktek bisnis yang
tidak etis.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-
2009, CSR diatur dalam sistem perundang-undangan di bidang hukum perusahaan.
Hal ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian
yang berlandaskan pada prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Atas pertimbangan tersebut, maka UUPT merumuskan CSR sebagai bagian dari
kewajiban perusahaan dalam melakukan aktivitas kegiatannya di Indonesia.
Kemudian dalam penjelasan UUPT ditegaskan bahwa ketentuan mengenai CSR ini

72
http://www.aseanfoundation.org/seminar/gcsg/papers/Yanti%20Koestoer%20%20Paper%2
02007.pdf, page. 3

71



dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perusahaan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat
setempat.
Dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT 2007, menegaskan bahwa perseroan yang
bergerak dalam bidang sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab social
dan lingkungan. Substansi pasal ini menegaskan dan kewajiban hanya kepada
perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan dalam bidang usaha sumber
daya alam saja berkewajiban untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
73

Substansi pasal 74 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007 sangat sempit, yaitu hanya
perseroan yang bergerak dalam bidang usaha (mengolah) sumber daya alam yang
berkewajiban untuk mempunyai tanggungjawab sosial dan lingkungan. Seharusnya
kewajiban tanggungjawab sosial dan lingkungan, bukan hanya untuk perseroan dalam
bidang usaha sumber daya alam saja, tetapi juga untuk semua perseroan, dan sempit
dalam pengertian tanggungjawab sosial yang dikaitkan dengan lingkungan saja.
Tanggungjawab sosial mempunyai makna atau pengertian yang luas tidak hanya
terhadap lingkungan saja, tetapi juga berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat
di sekitarnya, apakah kehadiran sebuah perseroan di suatu tempat dapat memberikan
dampak positif kepada masyarakat, misalnya dapat menaikkan taraf hidup masyarakat
di sekitarnya atau malah menghancurkannya.
Dalam ayat (2) UUPT, bahwa tanggungjawab sosial merupakan kewajiban


73
Habib Adjie, Op. Cit. hal. 72.
72



perseroan yang wajib dianggarkan dalam anggaran (keuangan) perseroan. Dengan
kewajiban seperti ini, tanggungjawab sosial bagi setiap perusahaan wajib menghitung
dengan cermat setiap pengeluaran perseroan sehingga keuntungan yang diperoleh
merupakan keuntungan bersih (netto) yang tidak perlu dikurangi kewajiban lainnya.
Ketentuan dalam Pasal 74 ayat (2) UUPT ini perlu penyebaran lebih lanjut,
terutama berkaitan dengan makna kewajiban perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan. Berdasarkan ketentuan ini, setiap
Perseroan harus merancang kegiatan CSR sejak awal suatu perusahaan beroperasi.
Secara teoritis aturan ini sudah pasti memberatkan perusahaan, karena sejak awal
perusahaan sudah mengeluarkan biaya untuk kegiatan CSR, padahal belum diketahui
apakah perusahaan itu akan profit atau lost out dalam tahun anggaran yang
bersangkutan. Oleh karena itu harus jelas makna kewajiban perseroan yang
dianggarkan tersebut. Apakah dianggarkan sejak perusahaan beroperasi atau setelah
beberapa waktu perusahaan itu beroperasi.
Ketentuan mengenai dana yang dianggarkan untuk kegiatan CSR ini berkaitan
dengan ketentuan Pasal 63 UUPT yang menegaskan:
a. Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang
akan datang.
b. Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran
tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang.
CSR merupakan bagian dari rencana tahunan yang dianggarkan dari biaya
perusahaan, maka dengan sendirinya CSR tersebut akan menjadi bagian dari laporan
73



tahunan suatu perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) poin c
UUPT. Berkaitan dengan hal tersebut maka sudah barang tentu kegiatan CSR yang
dianggarkan mempunyai implikasi tertentu, baik dari segi pendapatan Negara
maupun kelembagaan. Implikasi tersebut antara lain berkaitan dengan:
a. Biaya CSR merupakan bagian dari pengeluaran suatu perusahaan dan tidak
merupakan bagian dari persentase keuntungan. Oleh karena itu pemerintah harus
memberikan kompensasi tertentu kepada perusahaan, kompensasi ini dapat
diberikan dalam bentuk insentif dalam bidang perpajakan, apakah dalam bentuk
pajak penghasilan, atau pajak pertambahan nilai, atau yang lain.
b. Apabila pemerintah tidak memberikan insentif dalam bentuk tertentu, maka
dengan penerapan CSR ini yang timbul adalah penambahan biaya produksi (cost
product). Tingginya cost product, maka yang menanggung adalah konsumen,
sehingga konsumen dalam membeli produk barang tertentu yang di bayar
bukanlah biaya riil, tetapi berdasarkan harga cost produc. Maka biaya yang
dikeluarkan produsen untuk CSR justru dibebani kepada konsumen. Kalau hal ini
terjadi maka hilanglah makna esensial CSR itu, sehingga CSR hanyalah sebagai
slogan bagi perusahaan untuk strategi bisnisnya.
c. CSR sebagai kegiatan yang dianggarkan dan bagian dari biaya perusahaan.
Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika perusahaan yang bersangkutan
mengalami kerugian? Apakah perusahaan tersebut tetap melaksanakan kegiatan
CSR-nya pada tahun yang bersangkutan atau menunda sampai perusahaan tersebut
memperoleh keuntungan. Kemudian bagaimana terhadap kewajiban pajak yang
74



harus dibayar oleh perusahaan tersebut?, apakah perusahaan tersebut tetap
mendapat insentif? Kalau regulasinya tidak jelas insentif yang diberikan justru
akan jadi alasan bagi perusahaan nakal untuk menghindari dari kewajiban
membayar pajak.
d. Apabila CSR telah menjadi bagian dari rencana kerja dan laporan tahunan suatu
perusahaan, maka harus ada lembaga yang pasti yang berhak melakukan
pengawasan dan atau sertifikasi
74

2.5 Pengertian Konsep Tri Hita Karana.
Manusia dipahami sebagai mahluk individual, mahluk sosial, mahluk religius
dan mahluk simbolik. Dalam keberadaannya sebagai mahluk yang serba dimensional
itu, manusia menunjukkan hubungan tergantung secara mikrokosmos dan
makrokosmos. Manusia menempatkan dirinya sesuai dengan system nilai yang ada
dan berlaku dalam hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan sesamanya,
dan hubungannya dengan lingkungan alamnya.
Ketergantungan yang melekat di dalam diri manusia tidak bersifat statis, karena
di dalam dirinya pula melekat sifat-sifat dinamis yang diekpresikan ke dalam perilaku
berkarya (konsep rwa-bhineda). Keterpaduan dua sisi inilah melahirkan adanya
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan yang tampak sebagai keteraturan gerak
menuju kehidupan yang sejahtera. Manusia sebagai mahluk relegius mengakui
adanya yang esa, yang gaib, yang maha sempurna yang mengatur kehidupan alam


74
Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit
Harvarindo,hal. 89

75



semesta (bhuwana agung). Dalam dimensi ini manusia menyadari akan keterbatasan
waktu dan ruang gerak, sehingga berusaha menempatkan dirinya dalam hubungannya
dengan yang maha sempurna.
Untuk kelestarian hubungannya dengan yang maha sempurna itu, maka
manusia berusaha menciptakan berbagai perangkat spiritual keagamaan berdasarkan
kepercayaan dan ketulusannya (sradha dan bhakti) kepada kekuatan alam semesta.
Bukan saja keterikatannya dengan dunia spiritual yang abstrak (Niskala), tetapi
manusia berupaya bagaimana hidup dalam keteraturan pada kehidupan nyata (skala).
Manusia hidup bermasyarakat, bersosial dengan yang lainnya, dalam upaya
menemukan dirinya dan mengisi kebutuhan dirinya secara sendiri dan bersama-sama.
Kebersamaan ini tidak saja dalam hubungan pribadi ataupun dalam kontak sosial
(mikrokosmos) juga dalam ikatannya dengan kehidupan makrokosmos. Dalam upaya
untuk memenuhi kepentingan hidupnya manusia beradaptasi dan mengolah
lingkungannya baik fisik maupun non fisik. Dalam dimensi ini manusia berusaha
menciptakan keseimbangan dan keharmonisan, karena alam lingkungannya disadari
memberi makna bagi kehidupannya.
Dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup (makrokosmos/skala dan
niskala), maka kondisi yang hendaknya diciptakan oleh setiap individu terciptanya
keseimbangan yang harmonis, serasi dan selaras antara kehidupan niskala
(transenden yang abstrak) dengan kehidupan skala (imanen yang nyata).
Keberpihakan kepada satu dari kedua sisi tersebut (skala dan niskala) akan
menunjukkan ketidakseimbangan sehingga akan melahirkan pribadi yang tidak
76



harmonis. Sebaliknya melalui sarana yadnya (upacara/upakara) kedua sisi tersebut
akan dipadukan secara seimbang sehingga dapat melahirkan pribadi yang laras, dan
di dalam kondisi itu tujuan hidup akan dapat tercapai.
Pandangan seperti itu bagi manusia atau masyarakat Bali (Hindu)
dikongkritisisr sebagai suatu Bhawa mahurip (alam yang hidup) yang digerakkan
oleh kekuatan rokh (jiwa), sehingga hubungan yang diciptakan tidak bersifat sepihak,
tetapi ketergantungan satu sama lain dipertahankan secara utuh. Sifat hubungan
seperti itu terkonsepsualisasikan dalam Tri Hita Karana.
Konsep yang telah melembaga demikian kuat di dalam kehidupan masyarakat
adat di Bali, selalu menghendaki tetap terjaganya keseimbangan dan keharmonisan
antara tiga faktor yakni buana alit (diri sendiri), buana agung (alam semesta), Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Konsep pemikiran tersebut telah
menjadi nilai budaya, sehingga keyakinan tersebut telah demikian membudaya
dengan kuat ke dalam tatanan kehidupan masyarakat adat di Bali.
75

Secara etimologi Tri Hita Karana mengandung pengertian tri berarti tiga, hita
berarti kemakmuran dan karana berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana
berarti tiga penyebab atau tiga unsur yang dapat melahirkan kemakmuran atau
kesejahteraan yaitu Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang mana ketiga unsur
itu mempunyai makna dan fungsi saling terkait yang melahirkan substansi


75
Legawa I. Made, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar Pembangunan
Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Bali
Dengan Universutas Mahasaraswati Denpasar, hal. 6
77



masyarakat Bali (Hindu) yang hidup dalam pola interaksi simbolik. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Parhyangan yang berasal dari kata Hyang yaitu Tuhan. Parhyangan atau
kahyangan berarti Ketuhanan atau Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi adalah suatu
kekuatan Maha Pencipta(Prima Causa), sumber dari pada segala yang ada di alam
semesta ini (Phurusah Parikirtitah). Beliaulah kekuatan yang sangat esa, yang satu
yang tiada duanya, sebagai awal atau asal dan akhir dari kehidupan, karena itu
oleh masyarakat Bali (Hindu) Parhyangan diwujudkan dalam berbagai Kahyangan
(bangunan suci) untuk menyembah Tuhan. Bangunan suci (kahyangan)
dipersepsikan sebagai tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Bhatara-
bhatari ataupun Hyang leluhur untuk memberikan kehidupan dan kesejahteraan
serta sebagai obyektivasi kolektif bagi masyarakat Bali (Hindu).
2. Pawongan, berasal dari kata wong yang berarti orang, sehingga aspek pawongan
dimaksudkan hubungan manusia dengan manusia di dalam kehidupan bersama,
dimana organisasi atau kelembagaan baik kedinasan maupun adat, organisasi
komunitas dan keluarga sebagai wadah interaksinya. Dalam hubungan ini
dipahami sebagai tindakan yang berdasarkan atas hubungan sosial yang diikat oleh
nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Nilai sosial kemasyarakatan dalam masyarakat
Bali (Hindu) terkonsepsikan dengan ajaran Trikaya Parisuda yaitu bertindak
(kayika), berkata (wacika) dan berfikir (manacika) yang baik dari setiap individu
dalam ikatan bersama.
78



Sebagai ilustrasi dari terapan konsep Tri Hita Karana dapat dipahami dari
perilaku masyarakat yang terorganisir ke dalam sistem Desa Adat/Desa Pekraman,
dan Subak. Kedua organisasi sosial ini sangat kental dengan nilai-nilai adat,
budaya dan agama Hindu. Keterikatan anggota subak dalam kegiatan di sawah
ataupun dalam hubungannya dengan pelaksanaan upacara ritual di subak tampak
sangat kental. Kehidupan seperti itu telah mewarnai kehidupan sehari-hari dari
krama subak di Bali. Mekanisme interaksi antara anggota subak telah diatur dalam
ikatan organisasi yang tampaknya sangat sederhana, tetapi mempunyai nilai sangat
fungsional. Pola prilaku anggota masyarakat subak atau desa pakraman telah
diatur, disepakati, dan dilaksanakan bersama dengan semangat selunglung
sebayantaka (sehidup semati), saling asah, asuh, lan asih. Setiap tindakan krama
subak atau banjar tentu berkonskuensi adanya ganjaran ataupun sanksi yang telah
diatur dan dituangkan dalam awig-awig (aturan pokok), dan pararem (aturan
pelaksanaan) subak atau banjar.
Aspek pawongan mempunyai makna lebih luas dari suatu hubungan yang
komunal, karena dalam organisasi subak atau banjar adat tata hubungan diatur
pula dalam struktur organisasi yang jelas. Organisasi subak mempunyai struktur
yang cukup sederhana tetapi fungsional untuk menyelesaikan masalah yang
berhubungan dengan aktivitas sosial relegius. Fungsionalnya suatu organisasi
dapat dilihat dari terintegrasinya dengan baik berbagai unsure, fungsi dan peranan
yang ada dalam struktur organisasi tersebut.
79



3. Palemahan yang berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan berarti
bhuwana atau alam. Dalam hal ini palemahan dimaksudkan suatu wilayah
pemuliman atau lingkungan tempat tinggal. Masyarakat Desa Pekraman dan subak
memahami atas dasar sradha yaitu sikap percaya (kadangkala pemahaman tanpa
pengetahuan keilmuan ataupun kealaman mereka percaya dan melaksanakan,
karena didasari oleh sifat gugontuwon yaitu percaya karena diakui memang sudah
begitu adanya), hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Krama desa
sebagai kelompok manusiayang bermasyarakat memerlukan bhuwana atau
palemahan sebagai alam tempatnya berpijak, karena disadari manusia tidak bias
hidup tanpa alam dan dari alam.
76

Dalam kaitan hal tersebut diatas maka konsep waktu diinsyafi dan memacu
manusia untuk berbuat bagaimana hidup dan menghidupi alam ini. Waktu
dikonsepsikan ke dalam tiga dimensi yaitu masa lampau (atita), masa sekarang
(nagata) dan masa akan dating (wartamana), yang berarti adanya proses
keseimbangan dari masa lalu ke masa akan datang di dasarkan atas keadaan masa
sekarang. Dari tatanan nilai inimasyarakat desa adat atau pakraman dan juga subak
dihadapkan kepada konsekuensi pemikiran dalam perspektif ke depan. Dikaitkan
dengan upaya pelestarian tampak masyarakat desa adat atau pekraman dan subak
mengusahakan menciptakan kesejahteraan hidup bukan hanya untuk sesaat, tetapi
kesejahteraan dapat diwariskan kepada pewarisnya.


76
Raka, I Gusti Putu, dkk, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Denpasar MPLA
Dati I Bali, hal. 89
80



Manusia wajib melakukan bhuta hita atau mensejahterakan alam
lingkungannya. Dalam Lontar Purana Bali diungkapkan untuk menjaga
kelestarian alam lingkungan, hendaknya berpegang pada Sad Kerti yaitu Samudra
Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang artinya kita wajib membangun kelestarian
samudra, hutan dan danau atau sumber-sumber air. Upaya umtuk memelihara
keberlangsungan alam lingkungan dilakukan melalui perbuatan nyata di samping
pelaksanaan yadnya baik pelaksanaan Rerahinan Tumpek (Tumpek Uduh, atau
pengatag) maupun kegiatan upacara yadnya lainnya seperti mecaru dalam Bhuta
Yadnya yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar
tumbuh kesadaran dirinya melaksanakan upaya pelestarian kesejahteraan alam.












81



BAB III
PENGEMBANGAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN DALAM
KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI.


3.1 Konsep Tanggung Jawab Sosial Dalam Relevansinya Dengan Konsep Tri
Hita Karana.
3.1.1 Konsep Tri Hita Karana.
Tatanan nilai budaya yang mendasari kehidupan masyarakat Bali
terkonseptualisasikan ke dalam Tri Hita Karana bukan lagi menjadi milik seseorang
sebagai penggagas atau pemilik ide, tetapi telah menjadi suatu bagian dari kehidupan
masyarakat Bali, sehingga telah menjadi identitas kolektif bagi masyarakat Bali.
Pengakuan masyarakat Bali (Hindu) sebagai pendukung dan pengagum Tri Hita
Karana telah memberi acuan dalam setiap tindakan masyarakat Bali, sehingga oleh
mereka dirasakan hidup dalam tatanan Tri Hita Karana telah memberi harapan lebih
dinamis untuk mencapai tujuan hidupnya.
Tri Hita Karana sebagai nilai budaya yang berakar pada ajaran suci Agama
Hindu, mempunyai kesamaan secara kualitas dengan pandangan Kluckholn bahwa
semua sistem nilai budaya mengandung unsur yang berkaitan dengan masalah:
a. Mengenai hakekat dari hidup manusia.
b. Mengenai hakekat dari karya manusia
c. Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
82



d. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya
e. Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
77

Konsepsi Tri Hita Karana bukan saja dimaknakan untuk memahami persoalan
tata ruang, tetapi lebih dari itu menyangkut prilaku masyarakat Bali yang dapat dikaji
dari sifat hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya,
dan manusia dengan lingkungan alamnya. Intensitas hubungan dari tiga unsur
tersebut dapat melahirkan keadaan yang bercirikan keseimbangan, keberlanjutan,
keteladanan, dan toleransi, sehingga dapat memberi manfaat dalam usaha untuk
menjaga keutuhan dan kelestarian Bali di masa depan.
a. Nilai Keseimbangan.
Upaya untuk menjaga adanya keseimbangan lahir bathin ataupun keseimbangan
hidup individual dan sosial, merupakan kewajiban yang patut disikapi dan disiasati
dengan bijaksana, sehingga dengan bijaksana dapat memberikan porsi yang
seimbang, yang berarti sikap untuk menjadikan diri lebih dominan atau berkuasa
dapat dijauhkan. Dalam hal ini aspek pengetahuan, dan afektif memberi kontribusi
yang sangat efektif. Pemikiran semacam itu dalam kehidupan serba berbeda sangat
penting, sehingga dengan demikian tidak akan terjadi benturan-benturan yang
mengarah untuk meniadakan pihak-pihak tertentu. Makna keseimbangan dalam
konteks budaya Bali dapat dipahami dari beberapa konsep, yaitu:
1. Konsep Skala-Niskala


77
Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit PT
Gramedia, hal. 67
83



Dalam konsep dualisme melahirkan pemikiran masyarakat Bali memahami
bahwa kehidupan manusia dihadapkan kepada kekuatan skala-niskala. Kesadaran
skala yang bersifat nyata (immanent-horizontal) dan kesadaran niskala yang abstrak
dan ideal (transeden-vertikal) menjadikan dirinya selalu dalam keadaan terbagi
ataupun memilih. Untuk menjaga keseimbangan tersebut dilakukan dengan
pelaksanaan yadnya (korban suci). Melalui yadnya keseimbangan niskala dan skala
dapat dipertahankan secara serasi dan selaras.
2. Konsep Tri Kona
Keseimbangan dapat pula kepada konsep Tri Kona yaitu pemahaman mengenai
ajaran lahir, hidup, dan mati. Putaran keabadian ini tetap mengikuti perjalanan
mahluk di dunia ini. Konsep Tri Kona inipun oleh masyarakat Bali (Hindu)
dilaksanakan dengan pelaksanaan yadnya.
3. Ajaran Tri Kaya Parisudha
Ajaran Tri Kaya Parisudha mengajarkan kepada manusia dapat selalu
menserasikan apa yang difikirkan, dapat diucapkan dan dilaksanakan dengan
seimbang akan memberikan bobot terhadap kualitas subyeknya.
4. Ajaran Kiwa-Tengen.
Sesuai dengan paham dualism, maka konsep ajaran kiwe-tengen memberi
makna keseimbangan yang harus menjadi pertimbangan di dalam melaksanakan
sesuatu kegiatan. Kiwa (arah kiri) dan tengen (arah kanan), dapat dimaknai sebagai
kekuatan yang memiliki sifat berbeda (lanang-istri/laki perempuan, hitam putih) yang
harus dihayati, dilaksanakan dengan keseimbangan, dan keserasian. Untuk
84



keseimbangan inipun dilakukan melalui yadnya yaitu pengorbanan yang tulus iklas,
tanpa memihak kepada salah satu bagian tersebut.
b. Nilai Keberlanjutan.
Proses pembangunan mengandung makna adanya pewarisan hasil
pembangunan kepada generasi penerusnya. Untuk itu diperlukan adanya usaha-usaha
nyata untuk proses pewarisan tersebut berlangsung pada setiap generasi. Sebab pada
hakekatnya pembangunan bukan untuk dinikmati oleh generasi pelaksana dari
pembangunan ini, tetapi bagaimana proses pembangunan dan hasil-hasilnya dapat
dilaksanakan dan dinikmati oleh generasi penerusnya. Demikian pula bagaimana
proses penyadaran tentang pembangunan berkelanjutan dapat diwariskan kepada
generasi penerus. Pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai prilaku positif untuk
mempertahankan dan meningkatkan kelestarian hidup dengan upaya peningkatan
kesadaran mengenai hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan. Sehingga
dengan upaya itu diharapkan kesejahteraan akan berlangsung kekal abadi.
Makna keberlanjutan sebagaimana terkonsep dari ajaran Tri Hita Karana, dapat
dipahami sebagai berikut:
1. Pendalaman terhadap tatwa (ajaran/filsafat).
Upaya pewarisan nilai akan sangat terkait dengan usaha yang dilakukan oleh
pendukung nilai tersebut untuk memahami, menginternalisasi, dan selanjutnya
mengaktualisasikan dalam kehidupannya. Usaha pemahaman itu akan lebih intensif
jika didasarkan kepada sumber-sumber yang jelas dan diajungkan bagi pendukung
sistem nilai itu.
85



Dalam konteks ini tentunya berbagai nilai budaya yang menjadi sumber aspirasi
dan pedoman tingkah laku masyarakat Bali sebagai pendukung nilai budaya Bali,
akan dapat bertahan atau terwariskan secara berkelanjutan apabila diperoleh
berdasarkan atas tatwa dari ajaran Wedha yang diagungkan oleh masyarakat Bali
(Hindu). Tatwa diartikan sebagai filsafat atau makna (kesuksman).
78

2. Sawinih.
Sawinih dimaknai sebagai iuran wajib dalam bentuk natura (hasil bumi) yang
dilakukan oleh anggota subak atau petani untuk jaminan sosial sederhana kepada
pemangku atau pengurus pura.
79
Dalam perkembangannya sawinih tidak semata
untuk prajuru pura, tetapi diberikan kepada anak-anak anggota subak atau
petani(terutama dikaitkan dengan anak atau orang tua asuh). Perilaku yajnya berupa
sawinih dilakukan sebagai pengungkapan tasa syukur atas karunia Tuhan . Sawinih
berasal dari kata winih, binih, benih berarti bibit. Dalam konteks modern dimaknai
sebagai generasi, pelanjutan atau pewarisan, jarena dikaitkan dengan usaha untuk
menjamin kelangsungan dari kehidupan pewaris subak atau petani.
3. Tri Semaya Kala
Pengkajian nilai budaya Bali memiliki perspektif ke depan, karena perilaku
masyarakat Bali selalu dikaitkan dengan hukum karma, yang berkonsekuensi akan
adanya punarbawa, kehidupan setelah mengalami kematian. Kesadaran dan


78
Purwita, Ida Bagus Putu, 1995, Butir-Butir Mutiara Pembinaan Desa Adat Di Bali, Denpasar,
MPLA Dati I Bali, hal. 35

79
Kaler, I. Gusti Ketut, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar, Penerbit Kayu
Mas Agung, hal. 77
86



keyakinan itu melahirkan kesadaran masyarakat Bali (Hindu) memiliki dimensi
waktu yang dikonsepsikan ke dalam kehidupan masa lalu (attita), menuju kehidupan
masa akan datang (anagata), berdasarkan kepada kehidupan di masa kini
(wartamana).
c. Nilai Toleransi
Ajaran yang maha mulia tentang toleransi menurut Hindu yaitu tat wam
asiyang dimaknai dengan ku adalah engkau dan engkau adalah akumemberikan
penyadaran betapa besarnya keeratan antara manusia dalam memaknai hidup ini.
Nilai toleransi dapat dipahami dari konsep-konsep yaitu:
1. Desa Kala Patra, Desa Mawacara ataupun adat mawacara.
Desa Kala Patra, Desa Mawacara dan adat mawacara mengisyaratkan
pengakuan adanya keragaman yang ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat
Bali. Desa, kala dan adat bersifat amat dinamis, fleksibel, dan otonomi sesuai ruang
dan waktu, sehingga kepadanya mendapat keleluasaan dalam bertindak dan
mengambil keputusan.
80

Dalam kehidupan masyarakat yang amat kompleks dan frekuensi untuk
melakukan interaksi relative tinggi memerlukan sikap untuk saling memahami,
menghargai, dan menghormati keunikan masing-nasing. Dalam hal ini amat
diperlukannya toleransi.
2. Salunglung Sabayan Taka, dan Asah, Asuh lan Asih.
Salunglung Sabayan Taka, dan Asah, Asuh lan Asih , merupakan nilai budaya


80
Mirsha, I Gusti Ngurah, 1994,Wrhaspati Tatwa, Penerbit Upada Sastra, hal. 55
87



Bali yang hidup dan memberi kehidupan pada masyarakat Bali untuk penuh kohesi
yang bersifat guyub. Bentuk nyata dari nilai ini tampak pada masyarakat Bali dalam
melaksanakan yajnya (korban suci/ upacara) Gotong royong, ketulusan hati,
kepasrahan, tingkeb wakul, kerik tingkih, memberi nuansa dalam melaksanakan
yajnya yang dibungkus oleh jiwa salunglung sebayan taka dan asah, asuh lan asih
tersebut. Dalam perspektif perubahan zaman, maka nilai ini patut tetap diabadikan
dalam perilaku masyarakat Bali, dimulai dari bagaimana secara pisik Bali dijaga
untuk selalu mengandung nilai ini. Bangunan yang tinggi dengan tembok pagar
penyekat tanpa kompromi, menjauhkan masyarakat Bali dari jiwa suka duka yang
melekat dan membantu dalam pribadi masyarakat Bali. Hal ini tidak saja untuk
melestarikan nilai budaya tat wam asi semata, tetapi juga keberlanjutan atau
kelestarian Bali di era perubahan yang serba dimensional.
d. Nilai Keteladanan.
Keteladanan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah ada nilai yang
dipergunakan atau dilihat sebagai sumber asuhan (contoh) dalam mengembangkan
sikap, cara berfikir, bertingkah laku, dan atau tindakan-tindakan yang bersifat
normatif, etis, sehingga masih tetap menunjukkan perilaku dalam kerangka sistem
nilai budaya Bali. Hal ini dapat dipahami dari beberapa konsep yang bernuansakan
nilai keteladanan untuk diterjemahkan ke dalam perilaku ataupun yang pisik, antara
lain:
1. Prinsip Luwan Teben.
Luwan atau hulu dan teben atau hilir memberi petunjuk akan posisi yang serba
88



memiliki struktur etika yang dapat dijadikan pedoman dalam menempatkan
sesuatu yang dibedakan atas pemaknaan sacral dan profane, bersih atau suci dan kotor
(sebel). Dengan demikian ada nilai yang tinggi atau utama dan ada yang dipahami
sebagai sesuatu yang bernilai rendah atau di bawah.
Dalam konteks makrokosnos dan mikrokosmos dikenal pembagian yang serba
terbagi tiga. Secara makrokosmos Tri Loka terdiri dari; bhur, bhwah, shwah, dan
dalam kajian mikrokosmos dikenal adanya Tri Angga yaitu kepala, badan, dan kaki.
Kedua tataran itu menunjukkan adanya tingkatan nilai yaitu nista (rendah), madya
(sedang), dan utama (tinggi). Tri Angga pada manusia dan Tri Loka pada alam raya
nyata menampakkan diri secara fisik tersusun vertikal dari bawah ke atas.
81

2. Loka Pala Sraya.
Ketekadanan dapat juga diungkapkan dari term Loka Pala Sraya yang
mengandung arti layanan kepada masyarakat. Loka berarti alam, dunia, tempat, dan
Pala berarti mengatur, menuntun, membimbing, membina, serta Sraya berarti
membantu, melayani, mengabdi. Secara spesifik diartikan sebagai pelayanan kepada
umat di bidang keagamaan atau spiritual.
Dalam perspektif lebih luas dapat diartikan pelayanan oleh petugas pemerintah,
atau yang bertugas melayani masyarakat. Seorang yang sudah melaksanakan loka
pala sraya ini tidak dapat lepas dari kewajibannya, bahkan tidak sekedar
melaksanakan swadarma, tetapi telah mengandung wewenang yang bernilai hukum.
Tidak seorangpun dapat menggantikan wewenangnya, sebagaimana tampak dalam


81
Kaler, Op. Cit. Hal.
89



kehidupan beragama, tidak seorangpun yang berani menggantikan pendeta yang
sedang melaksanakan loka pala sraya dalam memberikan tirta pamuput (air suci
dalam menyelesaikan upacara) kepada seseorang yang sedang melaksanakan korban
suci (yajnya).
3.1.2 Konsep Tanggung Jawab Sosial Perseroan.
Perkembangan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat dunia saling
berkait, selain saling bersaing, juga saling membutuhkan nasib satu sama lain. Saling
keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang
berlaku.Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan
main yang berkembang dalam sistem GATT/WTO. Setelah Indonesia meratifikasi
persetujuan Internasional di bidang perdagangan dalam organisasi internasional yang
dinamakan Word Trade Organization (WTO) tersebut, maka Indonesia harus
mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi semua Negara anggota WTO dengan
segala konsekuensinya.
82

Pengaruh globalisasi ekonomi di bidang hukum tampak sekali pada kontrak-
kontrak bisnis internasional, karena negara-negara maju membawa transaksi baru ke
negara berkembang, sehingga mitra mereka di negara berkembang harus menerima
model-model kontrak bisnis internasional tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena
sebelumnya mereka tidak mengenal model tersebut, atau dapat juga dikarenakan
posisi tawar (bargaining position) yang lemah.


82
Syarip Hidayat, 2008, Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional
Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 11
90



Undang-undang Perseroan Terbatas di berbagai negara, baik di negara Civil
Law maupun Common Law berisikan substansi yang sama. Hal ini terjadi karena
dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat dengan waktu dan batas-
batas Negara. Sejalan dengan ini maka muncullah tuntutan untuk melaksanakan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance/GCG dengan baik serta proporsional,
yaitu keterbukaan (tranparancy), akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi,
Kesetaraan dan Kewajaran (fairness), terutama di dalam praktek dan kegiatan usaha
serta perekonomian dunia. Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC)
maka konsep CSR sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan GCG.
83

Di Indonesia perubahan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
menjadi UU No.40 Tahun 2007, telah membawa perubahan penting bagi dunia usaha
di Indonesi. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari kalangan pengusaha
adalah tentang CSR tersebut, karena akhir-akhir ini CSR telah menjadi salah satu
faktor penilaian bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.
CSR menjadi salah satu kewajiban yang harus dilaksankana oleh perusahaan sesuai
dengan ketentuan Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT. Dengan dimuatnya
CSR di dalam UUPT No. 40 Tahun 2007 diharapkan dapat mendorong perseroan
bukan saja untuk peduli pada daerah sekitar, tetapi juga bertanggung jawab atas
kemajuan masyarakat sekitarnya.
Konsep CSR telah dikenal sejak tahun 1970, yang secara umum diartikan


83
Mardjono Reksodiputro, 2007, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan
Dengan HAM, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 1
91



sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stake holder,
nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta
komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara
berkelanjutan. Konsep CSR ini sebenarnya muncul sebagai akibat dari gelombang
besar globalisasi perdagangan internasional dan gerakan politik demokrasi yang
ukuran-ukuran prinsip pelaksanaannya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat
Indonesia tetapi belum mampu dijalankan secara teratur oleh pejabat negara dan
pemerintah Indonesia.
Apabila dilihat dari sejarah perkembangan CSR maka konsep CSR dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Konsep CSR periode 1920-1959.
Konsep CSR adalah kesadaran moral dan keikhlasan untuk membantu masyarakat
melalui kegiatan derma dan kecintaan kepada sesama oleh pelaku usaha. Konsep
yang melandasi CSR pada periode ini adalah CSR merupakan suatu tanggung jawab
moral dari pelaku usaha melalui kegiatan kedermawanan dan kecintaan manusia
kepada sesamanya.
2. Konsep CSR periode 1960-1969.
Konsep CSR adalah harga diri pengusaha itu sendiri berupa tanggung jawab atas
terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat. Konsep CSR dalam periode ini
adalah CSR yang sebelumnya merupakan kewajiban moral yang bersifat
kedermawanan berkembang menjadi suatu tolok ukur harga diri dari pengusahanya
dengan mewujudkan nilai-nilai masyarakat.
92



3. Konsep CSR periode 1970-1979.
Konsep CSR adalah tanggung jawab dunia usaha dalam peningkatan sektor
lingkungan sosial di masyarakat dalam berbagai aspek. Konsep CSR di periode ini
adalah CSR yang sebelumnya mewujudkan nilai-nilai masyarakat berkembang ke
peningkatan sektor lingkungan hidup dan aspek-aspek lainnya yaitu ekonomi,
etika, hukum dan perusahaan yang bijaksana.
4. Konsep CSR periode 1980-1989.
Konsep CSR adalah proses menambah value perusahaan adalah tergantung pada
stakeholders operasional perusahaan. Konsep CSR dalam periode ini mulai
berkembangnya teori stakeholders (para pemangku kepentingan) dalam
melakukan CSR untuk meningkatkan nilai perusahaan.
5. Konsep CSR periode 1990-1999.
Konsep CSR adalah peningkatan ekonomi dan komunitas dalam masyarakat
secara keberlanjutan melalui harmonisasi dari lingkungan, ekonomi dan
masyarakat. Konsep CSR dalam periode ini berkembang ke konsep keberlanjutan
dalam pelaksanaan CSR yang didasari aspek ekonomi, lingkungan, dan
masyarakat.
6. Konsep CSR periode 2000-saat ini.
Konsep CSR adalah perhatian terhadap nilai-nilai masyarakat secara
berkelanjutan. Perkembangan berikutnya Konsep CSR adalah pembangunan
berkelanjutan dari segala aspek oleh para pemangku kepentingan. Konsep CSR
adalah strategi bisnis untuk pembangunan berkelanjutan. Konsep CSR adalah
93



pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan lingkungan dan kualitas hidup.
Perkembangan pemikiran terus terjadi terhadap konsep tersebut sehingga
perkembangan berikutnya konsep CSR adalah keberlanjutan aktivitas sosial
perusahaan kepada pemangku kepentingan. Konsep CSR adalah kejelasan sistem
dari tindakan perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan. Konsep CSR
adalah kepedulian secara sukarela kepada para pemangku kepentingan. Konsep
CSR adalah tanggung jawab perusahaan ke segala aspek dan para pemangku
kepentingan
Konsep CSR dalam periode 2000 sampai saat ini adalah CSR selain dilandasi
oleh teori stakeholders juga dilandasi oleh konsep pembangunan berkelanjutan
melalui pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan lingkungan dan kualitas hidup.
Dari pemaparan perkembangan konsep CSR dari waktu ke waktu dapatlah
ditarik benang merahnya yaitu pada awalnya CSR itu dilandasi atas konsep
kedermawanan yang kemudian berkembang menjadi suatu harga diri dari
pengusahanya, kemudian dilandasi teori triple bottom line yaitu CSR berkembang
tidak hanya pada peningkatan sektor lingkungan hidup saja, tetapi juga ke berbagai
aspek ekonomi dan masyarakat. CSR kemudian berkembang didasari oleh teori
stakeholders dimana perusahaan berhubungan baik dengan stakeholders perusahaan
sehingga meningkatkan nilai perusahaan. Saat ini konsep CSR yang selain dilandasi
teori stakeholders juga dilandasi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dimana CSR itu dilakukan secara berkelanjutan untuk pengembangan
masyarakat yang merupakan salah satu stakeholder perusahaan.
94



Perkembangan CSR telah membuat suatu perusahaan yang pada awalnya
bertujuan mencari keuntungan semata kini harus memperhatikan aspek lingkungan
dan masyarakat khususnya di wilayah perusahaan itu beroperasi. Pada prinsipnya
seorang direksi perusahaan tidak hanya bertugas semata-mata untuk menjalankan
bisnis perusahaan sehari-hari, membuat laporan keuangan, mengikuti seluruh aturan
hukum yang berlaku, tetapi juga mengharapkan agar direksi dapat memenuhi
kehendak masyarakat di lingkungannya, dan memenuhi kepentingan seluruh
pemegang kepentingan bukan saja pemegang saham.
84

Dalam rangka mempraktekan kaidah-kaidah pengelolaan perusahaan yang baik,
perusahaan-perusahaan dianjurkan untuk membuat suatu Corporate Code of Conduct
(CCC) yang pada dasarnya memuat nilai-nilai etika bisnis, sebagai basis menuju
praktik CSR Conduct harus singkat dan jelas, tetapi cukup rinci guna memberikan
arahan perihal pelaku etika bisnis. Contohnya perlakuan yang adil terhadap pemegang
saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu
(transparancy) serta fungsi dan kewenangan RUPS, Komisaris dan Direksi
(accountability). Dalam prinsip responsibility atau tanggung jawab, perusahaan harus
menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders, yang
lebih mencerminkan stakeholders-driven concept.
85

3.2 Standarisasi Pelaksanaan CSR
Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk


84
Hendra Setiawan Boen, 2008, Bianglala Business Judment Rule, Jakarta, Penerbit Tatanusa,
hal. 87.

85
Hendrik Budi Untung, Op. Cit, hal. 24.
95



berinspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis
Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial
terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan
usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut
keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk
memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.
Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru
tentang pentingnya melaksanakan CSR. Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa
korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja
sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat
mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi
kultural dengan lingkungan sosialnya.
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun
hubungan harmonis dengan masyarakat tempatnya berusaha. CSR memandang
perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan
harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam
sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai
suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip
moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang
atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin
diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan
96



prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
86

Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua
puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil
dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah
perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang
tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai
kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan
jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.
Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT
Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development
(pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh
negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin
menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry
Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun
1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-
perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan
semata.
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de
Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan


86
Hendra Setiawan Boen, Op. Cit. hal. 75
97



dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah
dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder.
Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah
(1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)
terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5)
mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia
memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya
yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi
perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social
Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7
Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru
dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung
jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social
responsibility.
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat
keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar
stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program
pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan
perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan
stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya
98



pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang
berkelanjutan.
Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi
masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya
dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk
mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai
kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya
tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan,
pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas
saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-
masing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara
komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan
pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari
implementasi CSR akan di emban secara bersama.
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada
tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan
(corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja.
Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini
bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena
kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara
berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila,
99



perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi
fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul
ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek
sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif
mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang
membidangi lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang
diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada
pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu
organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu Rio Earth Summit
on the Environmenta tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development
(WSSD) tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO
meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan
Standar Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut
mengadopsi laporan COPOLCO mengenai pembentukan Strategic Advisory Group
on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-
conference dan conference bagi negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun
2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh
negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29
100



negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi
perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social
Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut
komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000
diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik
swasta maupun publik.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai
tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan
publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju.
Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung
jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara:
1. mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan
isunya
2. menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-
kegiatan yang efektif; dan
3. Memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan
untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang
menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara
konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup
7 isu pokok yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat
101



2. Konsumen
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan
5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia
7. Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
1. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
2. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik
kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan
demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya
seperti aspek lingkungan, maka perusahaan tersebut sesungguhnya belum
melaksanakan tanggung jawab sosial. Misalnya suatu perusahaan sangat peduli
terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan
pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan
102



gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut
sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh.
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan
kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:
1. Kepatuhan kepada hukum
2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional
3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya
4. Akuntabilitas
5. Transparansi
6. Perilaku yang beretika
7. Melakukan tindakan pencegahan
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun
2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006, penyusunan
draf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 pada bulan
September 2008 dan seluruh tugas tersebut rampung pada tahun 2009.
Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320
orang dari 55 negara dan 26 organisasi internasional itu, telah disepakati bahwa ISO
26000 ini hanya memuat panduan (guidelines) saja dan bukan pemenuhan terhadap
persyaratan karena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem
103



manajemen dan tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO
lainnya.
Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara
menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR
itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam
penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan
(guideline) atau dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku
umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk
Indonesia.
3.3 Manfaat CSR Bagi Perusahaan.
Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di
dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen,
investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung
perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang
pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang
menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan
pertumbuhan yang meningkat.
Memang saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan
praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha
yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi
usaha, karena mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya
yang mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang
104



sebagai investasi jangka panjang. Karena dengan melakukan praktek CSR yang
berkelanjutan, perusahaan akan mendapat tempat di hati dan ijin operasional dari
masyarakat, bahkan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan
berkelanjutan.
CSR kini semakin meroket dan marak diselenggarakan di berbagai belahan
dunia. Menguatnya terpaan prinsip Good Corporate Governance telah mendorong
CSR semakin menyentuh jantung hati dunia bisnis. Di Indonesia, CSR sekarang
dinyatakan lebih tegas lagi dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Pendapat Milton
Friedman yang menyatakan bahwa tujuan utama korporasi adalah memperoleh profit
semata semakin ditinggalkan. Sebaliknya konsep triple bottom line (profit, planet,
people) yang digagas oleh John Elkington semakin masuk ke mainstream etika
bisnis.
87

CSR sudah diyakini sebagai suatu kewajiban bagi perusahaan, maka dengan
sendirinya perusahaan telah melaksanakan investasi sosial. Sebagai investasi sosial
tentu saja perusahaan akan memperoleh keuntungan dalam bentuk manfaat yang
diperoleh. Karena CSR bersifat investasi sosial sudah barang tentu manfaat
tersebut tidak seketika, tetapi baru dipetik dikemudian hari. Gurvey Kavei, pakar
manajemen dari Universitas Manchester, Inggris menegaskan bahwa setiap
perusahaan yang mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya akan
mendapatkan 5 (lima) manfaat utama sebagai berikut:


87
Suharto, Edi, 2007, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri Memperkuat Tanggungjawab Sosial
Perusahaan/Corporate Sosial Responsibility), Bandung, Penernit Refika Aditama, hal. 73
105



a. Meningkatkan profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya
lewat efesiensi lingkungan.
b. Meningkatkan akuntabilitas, assessement dan komunitas investasi.
c. Mendorong komitmen karyawan, karena mereka diperhatikan dan dihargai.
d. Menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas dan Mempertinggi reputasi
dan corporate branding.
88

A.B. Susanto mengemukakan dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam) manfaat
yang dapat diperoleh dari aktifitas CSR, yaitu:
a. Mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima
perusahaan.
Perusahaan yang melaksanakan CSR secara konsisten akan mendapat dukungan
luas dari komunitas yang merasakan manfaat dari aktivitas yang dijalankannya.
CSR akan mengangkat citra perusahaan, yang dalam rentang waktu yang panjang
akan meningkatkan reputasi perusahaan.
b. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan
dampak buruk yang diakibatkan oleh suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah
perusahaan produsen consumer goads yang beberapa waktu yang lalu dilanda isu
adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karena
perusahaan tersebut dianggap konsisten menjalankan CSR nya maka masyarakat
menyikapinya dengan tenang sehingga relative tidak mempengaruhi aktivitas dan
kinerjanya.


88
. Ibid. hal. 85
106



c. Keterlibatan dan kebanggaan karyawan.
Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi
yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Kebanggan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas sehingga
mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan
perusahaan.
d.CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan
mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholdersnya.
Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki
kepedulian terhadap pihak-pihak yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai
aktivitas serta kemajuan yang mereka raih.
e. Meningkatkan penjualan.
Konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang
secara konsisten menjalankan CSR nya sehingga memiliki reputasi yang baik.
f.Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus
lainnya.
89

Menurut Y Wibisono perusahaan mendapat beberapa keuntungan karena
menerapkan CSR yaitu:
a. Untuk mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image


89
Susanto. AB, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan
Strategic Management Dalam CSR Jakarta, Erlangga Group, hal. 98.
107



perusahaan. Perbuatan destruktif pasti akan menurunkan reputasi perusahaan.
Begitupun sebaliknya, kontribusi positif pasti juga akan mendongkrak reputasi
dan image positif perusahaan. Inilah yang menjadi modal non finansial utama
perusahaan bagi stakeholders-nya yang menjadi nilai tambah bagi perusahaan
untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.
b. Layak mendapatkan izin untuk beroperasi (social license to operate)
Masyarakat sekitar perusahaan merupakan kornunitas utama perusahaan. Ketika
mereka mendapatkan benefit dan keberadaan perusahaan, maka pasti dengan
sendirinya mereka ikut merasa memiliki perusahaan. Sehingga imbalan yang diberikan
ke perusahaan paling tidak adalah keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda
bisnisnya di wilayah tersebut. Jadi program CSR diharapkan menjadi bagian dan
asuransi sosial (social insurance) yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi
positif dan masyarakat terhadap eksistensi perusahaan.
c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan
Mengelola resiko di tengah kompleksnya permasalahan perusahaan merupakan
hal yang esensial untuk suksesnya usaha. Perusahaan mesti menyadari bahwa
kegagalan untuk memenuhi ekspektasi stakeholders pasti akan menjadi bom
waktu yang dapat memicu resiko yang tidak diharapkan. Misalnya disharmoni
dengan stakeholders hingga pernbatalan atau penghentian operasi, yang
ujungnya akan merusak dan menurunkan reputasi bahkan kinerja perusahaan.
Bila hal itu terjadi, maka disamping rnenanggung opportunity loss, perusahaan
juga mesti mengeluarkan biaya yang mungkin justru berlipat besarnya
108



dibanding biaya untuk mengimplementasikan CSR. Karena itu, menempuh
langkah antisipatif dan preventif melalui penerapan CSR merupakan upaya
investatif yang dapat menurunkan resiko bisnis perusahaan.
d. Melebarkan akses ke sumber daya.
Track record yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan keunggulan
bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu untuk memuluskan jalan
menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan.
e. Membentangkan akses menuju market
Investasi yang di tanamkan untuk program CSR ini dapat menjadi tiket bagi
perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar. Termasuk didalamnya
akan memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar baru. Sudah
banyak bukti akan resistensi konsumen terhadap produk-produk yang tidak
comply pada aturan dan tidak tanggap terhadap isu sosial dan lingkungan.
f. Memperbaiki hubungan dengan stakehokders
Implementasi program CSR tentunya akan menambah frekwensi komunikasi
dengan stakeholders. Nuansa seperti itu dapat membentangkan karpet merah
bagi terbentuknya trust kepada perusahaan.
g. Memperbaiki hubungan dengan regulator
Perusahaan yang menerapkan program CSR pada dasarnya merupakan upaya
untuk meringankan beban pemerintah sebagai regulator. Sebab pemerintahlah
yang menjadi penanggungjawab utama untuk mensejahterakan masyarakat dan
109



melestarikan lingkungan. Tanpa bantuan dan perusahaan, umumnya terlalu
berat bagi pemerintah untuk menanggung beban tersebut
h. Mereduksi biaya.
Banyak contoh yang dapat menggambarkan keuntungan perusahaan yang
didapat dan penghematan biaya yang merupakan buah dan implementasi dan
penerapan program tanggung jawab sosialnya. Hal yang mudah dipahami
adalah upaya untuk mereduksi limbah melalui proses daur ulang (recycle)
kedalam siklus produksi. Disamping mereduksi biaya, proses ini tentu juga
mereduksi buangan ke luar sehingga menjadi lebih aman.
i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan.
Kesejahteraan yang diberikan para pelaku CSR umumnya sudah jauh melebihi
standar normatif kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan. Oleh
karenanya wajar bila karyawan menjadi terpacu untuk meningkatkan
kinerjanya. Disamping itu reputasi perusahaan yang baik dimata stakeholders
juga merupakan vitamin tersendiri bagi karyawan untuk meningkatkan
motivasi dalam berkarya.
j. Peluang mendapatkan penghargaan. Banyak reward ditawarkan bagi penggiat
CSR. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan penghargaan mempunyai
peluang yang cukup tinggi.
Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan selain mempunyai manfaat kepada
perusahaan juga bermanfaat bagi masyarakat. Manfaat yang diterima masyarakat dari
110



kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari manfaat jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang, sebagai berikut:
90

Dalam jangka pendek, aktivitas CSR yang bertujuan memperkuat kerekatan
sosial memberi manfaat kepada masyarakat dalam beberapa bentuk, tergantung dari
bentuk aktivitas itu sendiri. Untuk aktivitas CSR yang memang dirancang untuk
secara langsung mengurangi kesenjangan sosial atau meningkatkan kerekatan sosial,
dampak langsung yang tercipta adalah meningkatkan interaksi antar kelompok-
kelompok masyarakat yang biasanya mungkin jarang berinteraksi. Manfaat jangka
pendek lain yang biasanya terbangun dari aktivitas CSR adalah tersedianya layanan-
layanan sosial/publik yang selama ini sulit diperoleh kelompok masyarakat tertentu.
Dalam jangka menengah, manfaat yang tercipta adalah meningkatnya
kemampuan atau kapasitas masyarakat untuk bekerja sama. Hal ini dapat terbangun
dari aktivitas-aktivitas CSR yang mengharuskan terjadinya kerja sama antar anggota
masyarakat. Manfaat jangka menengah lainnya adalah terciptanya jejaring yang
dibutuhkan oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk mengembangkan aktivitas
ekonominya maupun untuk meningkatkan kondisi kehidupannya.
Dalam jangka panjang, aktivitas CSR tertentu dapat memberi manfaat berupa
meningkatnya modal sosial dan kerekatan sosial pada masyarakat. Misalnya, interaksi
antar kelompok yang tercipta dengan katalis aktivitas CSR dapat meningkatkan rasa
keakraban, kekompakan, saling percaya, dan saling mendukung antar kelompok-


90
Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, 2008, CSR untuk Penguatan Kohesi Sosial,Jakarta,
Indonesia Business Links, hal. 94-96.
111



kelompok masyarakat selain itu, kesenjangan antar kelompok juga dapat berkurang
sehingga tumbuhlah suasana yang lebih bermoral, beretika, saling menghargai,
berbagi, dan berkompetensi secara sehat. Semua ini akan memberi kontribusi pada
meningkatnya kualitas hidup masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
Tiga lembaga internasional independen, yaitu Environics International
(Kanada), Conference Board (AS), dan Prince of Wales Business Leader Forum
(Inggris) melakukan survey tentang hubungan antara CSR dan citra perusahaan.
Survey dilakukan terhadap 25 ribu konsumen di 23 negara yang dituangkan dalam
The Millenium Poll on CSR . Hasil survey menunjukkan mayoritas responden (60 %)
menyatakan bahwa CSR seperti etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan,
dampak terhadap lingkungan, merupakan unsur utama mereka dalam menilai baik
atau tidaknya suatu perusahaan. Sedangkan faktor fundamental bisnis seperti kinerja
keuangan, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen, hanya dipilih
oleh 30 % responden. Sebanyak 40 % responden bahkan mengancam akan
menghukum perusahaan yang tidak melakukan CSR. Separo responden berjanji
tidak akan mau membeli produk perusahaan yang mengabaikan CSR. Lebih jauh
mereka akan merekomendasikan hal ini kepada konsumen lain.
Jika dikelompokkan, ada 4 (empat) manfaat CSR terhadap perusahaan, yaitu:
1. Brand differentiation. Dalam persaingan yang kian kompetitif, CSR bisa
memberikan citra perusahaan yang khas, baik dan etis di mata public yang pada
gilirannya menciptakan customer loyalty.
112



2. Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan
baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat wawancara calon karyawan
yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya soal CSR dan
etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi
staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam
bekerja.
3. License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong
pemerintah dan publik memberi ijin atau restu bisnis. Karena dianggap telah
memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat
luas.
4. Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap
perusahaan.
Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh
skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun
budaya doing the right thing berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-
resiko bisnis. Ada kecenderungan perkembangan CSR kini bergeser dari
underestimate ke overestimate.
Jika pada masa lalu pandangan terhadap CSR lebih banyak dipengaruhi Milton
Friedman yang cenderung memusuhi CSR. Kini, pandangan terhadap CSR lebih
positif, bahkan terkadang overestimate. Seakan-akan CSR adalah panacea yang bisa
menyembuhkan penyakit apa saja. Padahal, manfaat CSR terhadap perusahaan
tidaklah taken for granted dan otomatis.
113



Tokoh yang kritis terhadap CSR adalah David Vogel, penyandang Solomon Lee
Professor of Business Ethics pada Haas School of Business dan Professor of Political
Science di University of California Berkeley. Menurutnya, perkembangan literatur
CSR memiliki kelemahan yang seragam, yakni tidak menimbang dengan hati-hati
apa yang dapat dan tidak dapat dicapai oleh dan melalui CSR
91
.
Berdasarkan hasil studinya, Vogel menemukan bahwa tesis yang menyatakan
bahwa CSR akan meningkatkan keuntungan perusahaan merupakan keyakinan yang
kurang didukung data empiris. Investasi dalam CSR mirip belanja iklan, yang belum
tentu mendongkrak keuntungan perusahaan.
92

Namun, ini tidak berarti bahwa melakukan CSR sama sekali tidak memberikan
keuntungan. Bukti-bukti empiris yang ada menyaksikan bahwa pada kondisi-kondisi
tertentu CSR berperan melejitkan keuntungan perusahaan. CSR bukanlah strategi
generik. CSR mungkin cocok pada kondisi tertentu, tetapi tidak pada kondisi lainnya.
Karenanya, menurut Vogel, argumen mengenai hubungan positif antara kinerja sosial
dengan kinerja finansial perusahaan harus dilihat secara lebih kontekstual.
93

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dibeberapa perusahaan yang ada di
Bali ditemukan bahwa perusahaan melakukan CSR manfaatnya sangat dirasakan
oleh perusahaan yang bersangkutan. Berdasarkan pengakuan dari pimpinan


91
Jalal, 2006, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Penerbit Rekayasa Sains,
Bandung, hal. 75


92
CSR2008/suharto@policy.hukum. Hal. 8

93
Jalal, Op. Cit. hal. 85
114



perusahaan PT Bali Timur Mandiri yang beralamat di Jalan Pahlawan No. 12 Bangli,
Bapak Oka Pradipta mengatakan bahwa manfaat yang diperoleh dengan pelaksanaan
CSR tersebut yang paling utama adalah stabilitas dalam bidang pendapatan
perusahaan dapat terjaga. Walaupun pada saat sekarang di Bangli telah banyak
tumbuh perusahaan yang berkecimpung dalam penjualan sepeda motor, tetapi PT
Bali Timur Mandiri, tidak terpengaruh pendapatannya akibat banyaknya perusahaan
dengan jenis usaha yang sama, di daerah Bangli. Keberlangsungan perusahaan yang
dirasakan dalam tahap aman, karena dukungan masyarakat sekitar masih dirasakan
untuk kemajuan perusahaan tersebut. Kemudian manfaat yang kedua yang diperoleh
adalah dukungan masyarakat atas keberadaan perusahaan di masyarakat Bangli,
sehingga dirasakan sampai saat ini PT Bali Timur Mandiri tetap eksis di masyarakat.
(Wawancara dengan Direktur PT Bali Timur Mandiri tanggal 2 Februari 2011).
Demikian juga yang dilakukan oleh PT Sumber Alam Semesta yang beralamat
di Jalan Sudamala , Desa Sedit Bebalang Bangli. Perusahaan ini mulai beroperasi
sejak tahun 2005 telah peduli terhadap lingkungan di sekitar perusahaan tersebut baik
terhadap manusia, alam lingkungan dan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Meskipun istilah CSR baru dipopulerkan dengan berlakunya UU PT yang baru yaitu
UU No. 40 Tahun 2007, namun perusahaan tersebut sudah dapat dikatagorikan
melaksanakan CSR sejak tahun 2005.
Menurut Bapak Ketut Suyasa, yang menjabat sebagai Kepala Produksi
mengatakan bahwa manfaat yang paling dirasakan melaksanakan CSR adalah dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan perusahaan. Dengan pelaksanaan CSR ini
115



masyarakat mengenal produk dari perusahaan, apalagi dalam penyerahan CSR
dilakukan pada saat upacara keagamaan yang dilakukan di daerah dimana perusahaan
berdomisili, maka CSR tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat. Disamping itu
manfaat pelaksanaan CSR yang lain adalah eksistensi dari perusahaan di masyarakat
menjadi lebih mapan, karena mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya.(
Wawancara dengan Bapak Ketut Suyasa tanggal 5 Februasri 2011)
Menurut Bapak Alit Putrawan yang menjabat sebagai Inventary General
Support Section Head Di PT Federal Internasional Finance (FIF) yang beralamat
kantor di Jalan Gatot Subroto No. 18 Denpasar mengatakan bahwa FIF telah
melaksanakan CSR sejak tahun 2005 jauh sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2007
tentang PT yang menggantikan UU No. 1 Tahun 1995. Hal tersebut tidak terlepas
dari keberadaan PT Astra Internasional sebagai Holding Company dari FIF yang telah
merasakan manfaat melaksanakan CSR terutama terhadap eksistensi perusahaan
tersebut di mata internasional. Oleh karena itu PT FIF cabang Denpasar telah
melaksanakan CSR sejak tahun 2005.
Manfaat yang diperoleh dengan melaksanakan CSR adalah kelangsungan bisnis
perusahaan bisa lebih terjamin, disamping itu dengan pelaksanaan CSR perhatian
pemerintah lebih fokus terhadap kegiatan perusahaan , hal ini terbukti dengan adanya
penghargaan Pemerintah Kota Denpasar terhadap pelaksanaan CSR oleh FIF
tersebut.(Wawancara dengan Bapak Alit Putrawan, tanggal 18 Februari 2011).
Beberapa perusahaan yang diwawancarai pada intinya mengatakan bahwa
banyak manfaat yang diperoleh dengan menerapkan CSR di perusahaan, seperti
116



menjaga stabilitas pendapatan perusahaan, dukungan masyarakat atas keberadaan
perusahaan di masyarakat (eksistensi perusahaan di masyarakat).
Kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat sesuai dengan Teori
Stakeholder. Menurut Teori stakeholder bahwa yang menjadi latar belakang dari
suatu perusahaan untuk menerapakan CSR sebagai salah satu strategi bisnisnya. teori
tersebut lebih mendasari perusahaan melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial
terhadap masyarakat dimana perusahaan itu menjalankan kegiatannya. Dimana hal
tersebut diatur dalam Undang-undang maupun Guideline/Standar yang mengharuskan
perusahaan untuk membuat laporan keuangan yang memenuhi Triple Bottom Line
sebagai pertanggung jawaban terhadap lingkungan dan sosial masyarakat.
Pada dasarnya pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan bertujuan untuk
memperlihatkan kepada masyarakat aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan
dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dilihat dari satu sisi, tujuan ini memiliki
maksud yang baik. Namun penjelasan teori atas pengungkapan sosial ini
menunjukkan bahwa terdapat banyak motivasi yang bertitik tolak dari kepentingan
manajer ataupun perusahaan. Bahwa tujuan akhir dari adanya pengungkapan sosial
perusahaan adalah tidak lain untuk menunjang tujuan utama perusahaan dalam usaha
mendapatkan profit maksimum. Selanjutnya akan kembali pada peningkatan
kesejahteraan pemilik.
Perusahaan melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial sebagai upaya
untuk memenuhi harapan atau permintaan stakeholders. Namun demikian perusahaan
tetap melakukan identifikasi atas stakeholders tersebut dalam artian stakeholders yang
117



mana yang memiliki pengaruh lebih besar serta yang paling mungkin mengganggu
kelangsungan hidup perusahaan jika harapannya tidak terpenuhi, maka pengungkapan
akan dilakukan berdasarkan harapan stakeholders tersebut. Dalam hal ini keamanan
perusahaan yang pada akhirnya juga berujung pada kepentingan pemilik perusahaan
merupakan motivasi utama manajer melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial-
lingkungan.
3.4 Model Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perseroan (CSR) Dalam
Kaitannya Dengan Konsep Tri Hita Karana Di Bali.
Kegiatan usaha tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan
keuntungan semata, melainkan juga melaksanakan tanggung jawab terhadap sosial
dan lingkungan. Menggantungkan perusahaan hanya semata-mata pada kesehatan
finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi
terkait lainnya, termasuk dimensi sosial dan lingkungan.
Menghadapi perkembangan tersebut, perusahaan mulai memperhatikan dengan
serius pengaruh dimensi sosial, dan lingkungan pada setiap aktivitas bisnisnya,
karena aspek-aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan
beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan.
Mereka juga meyakini bahwa program tanggung jawab sosial merupakan
investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability)
perusahaan, artinya tanggung jawab sosial bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya
(cost center) melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang.
118



Tanggung jawab sosial adalah kewajiban perusahaan untuk merumuskan kebijakan,
mengambil keputusan, dan melaksanakan tindakan yanng memberikan manfaat
kepada masyarakat.
94

Untuk melindungi perusahaan dari berbagai risiko tuntutan hukum, kehilangan
partner bisnis maupun risiko terhadap citra perusahaan (brand risk) tidak cukup
hanya taat kepada peraturan perundang-undangan. Tekanan secara nasional dan
internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk mempengaruhi perilaku bisnis
korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang saham, LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat), partner bisnis (terutama dari negara yang komunitas bisnisnya
peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan publik (public
inter- est lawyers). Untuk menghindari tekanan yang bersifat glonal tersebut, maka
perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan masyarakat disekitarnya, dengan
melaksanakan CSR tersebut.
CSR merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi
dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung
jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian
terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan
95

Secara implementatif, perkembangan CSR di Indonesia masih membutuhkan
banyak perhatian bagi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat luas dan
perusahaan. Di antara ribuan perusahaan yang ada, diindikasikan belum semua


94
Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit
Harvarindo, hal. 1.

95
Hendrik Budi Untung , Op. Cit. hal. 1
119



perusahaan benar-benar menerapkan konsep CSR dalam kegiatan perusahaannya.
CSR masih merupakan bagian lain dari manejemen perusahaan, sehingga
keberadaannya dianggap tidak memberikan kontribusi positif terhadap kelangsungan
perusahaan. Padahal sesuai dengan UU yang ada, keberadaan CSR melekat secara
inherent dengan manajemen perusahaan, sehingga bidang kegiatan dalam CSR pun
masih dalam kontrol manejemen perusahaan.
Lebih jauh lagi dalam lingkungan bisnis perusahaan, masyarakat di sekitar
perusahaan pada dasarnya merupakan fihak yang perlu mendapatkan apresiasi. Apre-
siasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan hidup mereka
melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh kegiatan CSR peru-
sahaan. Hal ini karena perusahaan dan masyarakat pada dasarnya merupakan kesatu-
an elemen yang dapat menjaga keberlangsungan perusahaan itu sendiri.
96

Hal tersebut tentunya sangat jauh dari harapan dan tujuan ideal dari peranan
CSR perusahaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut Kim praktek CSR
perusahaan dapat diidentifikaskan dalam berbagai tujuan, yakni hukum, ekonomi,
moral, dan filantropi. Namun demikian, tujuan tersebut masih dapat dikembangkan
sesuai dengan kondisi aktual di masyarakat terkait dengan tekanan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Salah satu tujuan CSR yang sangat urgen khususnya di negara
sedang berkembang adalah peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Oleh karena
itu penerapan CSR di Indonesia pada dasarnya dapat diarahkan pada penguatan


96
Dwi Kartini, 2008, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability
Management dan Implementasi di Indonesia, Malang: In-Tans Publishing, hal. 6.
120



ekonomi rakyat yang berbasis usaha kecil dan menengah serta peningkatan kualitas
SDM masyarakat melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.
Di Daerah Bali dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya
pakta bahwa kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan mengarah kepada hal
tersebut di atas, seperti yang dilakukan oleh PT. Federal Internasional Finance
(PT.FIF) cabang Denpasar merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam
bidang pembiayaan roda dua, khususnya pembiayaan sepeda motor Honda,
pembiayaan sepeda motor bekas dan pembiayaan elektronik (Spektra). Sejak
didirikan pada tahun 1989, kini PT. FIF telah mampu membuktikan diri sebagai
perusahaan pembiayaan terbesar dan terbaik di Indonesia terbukti dengan diraihnya
berbagai penghargaan dari dunia usaha.
Sadar akan tugas dan tanggung jawab sosial seperti yang telah diamanatkan
dalam Undang-Undang, PT. FIF cabang Denpasar secara kontinyu dan terprogram
telah menerapkan konsep CSR dalam implementasi manajemen usahanya yang pada
saat sekarang menjadi suatu nama program bagi PT Astra Internasional Tbk. Sebagai
induk perusahaan. Program tersebut dibuat suatu system yang diberi nama Astra
Friendly Company (AFC). Secara garis besar, strategi pelaksanaan CSR PT. FIF
mencakup beberapa wilayah yang ada di sekitar perusahaan. Cakupan wilayah ini
dibagi ke dalam 3 ring (zona), yakni ring I meliputi daerah-daerah di sekitar
perusahaan, ring II meliputi daerah-daerah di luar ring I, dan ring III meliputi daerah-
daerah di luar ring I dan ring II. Strategi pengembangan berdasarkan wilayah ini juga
ditunjang oleh berbagai jenis kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan
121



masing-masing daerah, seperti layanan publik di bidang kesehatan,kebudayaan dan
pendidikan.
Namun demikian disadari bahwa dinamika perkembangan lingkungan
perusahaan berjalan sedemikan cepat, sehingga membutuhkan berbagai inovasi dan
kreasi kegiatan CSR yang mampu dirasakan secara optimal oleh masyarakat.
Dinamika lingkungan perusahaan tersebut seperti adanya tuntutan otonomi daerah,
sehingga harapan/cita-cita kesejahteraan masyarakat menjadi semakin tinggi. Padahal
kemampuan pemerintah daerah masih dibatasi oleh keterbatasan anggaran daerah
untuk pembangunan secara menyeluruh. Di sinilah peran CSR perusahaan, khususnya
PT. FIF, untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial di luar kegiatan pokok perusahaan,
agar kepentingan masyarakat luas dapat terpenuhi semaksimal mungkin, sehingga
kesejahteraan hidup mereka dapat mengalami kenaikan. Salah satu elemen penting
dalam kesejahteraan hidup tersebut adalah adanya kegiatan pemberdayaan
masyarakat sekitar perusahaan. Dalam hal ini peran manajemen sangat penting dalam
upaya untuk memformulasikan berbagai program dan kegiatan dalam CSR PT. FIF,
sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara perusahaan dan masyarakat
luas. Pada akhirnya berbagai program kegiatan dalam kegiatan CSR PT. FIF
diharapkan dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat.
Model atau pola CSR yang dilakukan oleh PT FIF adalah dilakukan secara
langsung oleh perusahaan, yaitu dengan membentuk departemen khusus yang
menangani masalah CSR tersebut. Di PT FIF struktur manajemen dibawah Branch
Manager, ada bagian yang disebut dengan PIC ESR. Kemudian dibawahnya terdapat
122



bagian Inspektur, Strategi, Process, Sumber Daya Manusia dan Produk. CSR berada
di bagian PIC ESR yang dikomandoi oleh I Made Alit Putrawan. CSR termasuk
dalam ESR (Environment and Social Responsibility), yang dibagi dalam 3 bagian,
yaitu Astra Friendly Company (AFC) yang fokus dalam bidang pendidikan,
pemberdayaan ekonomi masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup.
Astra Green Company meliputi aspek lingkungan, kesehatan dan keselamatan
Kerja (LK3) disamping itu juga membidangi masalah kesejahteraan karyawan,
limbah, penghematan sumber daya alam dalam hal ini adalah pemakaian listrik dan
kertas. Strategi implementasi program ini dilakukan dengan cara bersinergi secara
eksternal dan internal dengan Ikatan Karyawan PIF (ikaFIF), Koperasi FIF (kopFIF),
Astra Internasional dan anak perusahaan Astra Group, Organisasi/Yayasan/Institusi
Sosial, Customer, dan supplier.
Program yang ketiga adalah Sistem Manajemen Keamanan (Security Corporate
Responsibility) membuat standar pengelolaan security dilingkungan perusahaan
dalam rangka mencapai sustainable business dengan semangat good corporate
governance. Pengelolaan security ditujukan untuk memberikan rasa aman dan
menjadi fungsi yang tak terpisahkan dalam kegiatan operasional bisnis seperti bidang
lainnya, yakni meraih profitabilitas dan mereduksi resiko bisnis.
Demikian juga terhadap penelitian yang dilakukan di Kabupaten Bangli yang
dilakukan di PT Sumber Alam Semesta yang usahanya bergerak dalam bidang air
minum dalam kemasan, dan penelitian yang dilakukan di PT Bali Timur Mandiri
yang bergerak dalam bidang perdagangan sepeda motor, model yang diterapkan pada
123



kedua perusahaan tersebut adalah Perusahaan melaksanakan program CSR secara
langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan
sumbangan ke masyarakat tanpa perantara (wawancara dengan Ketut Suyasa Kepala
Produksi PT Sumber Alam Semesta tanggal 2 Februari 2011) Untuk menjalankan
tugas ini, perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, untuk terjun
langsung kepada masyarakat.
Ada sedikit perbedaan dengan yang diterapkan di PT Bali Timur Mandiri, yaitu
beberapa perusahaan bergabung dalam sebuah konsorsium untuk secara bersama-
sama menjalankan CSR. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau
mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak
konsorsium yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan
secara proaktif mencari kerja sama dari berbagai kalangan dan kemudian
mengembangkan program yang telah disepakati. Untuk acara yang besar maka model
CSR yang diterapkan oleh PT ini adalah bergabung dengan seluruh perusahaan yang
bergerak dalam bidang yang sama yaitu yang menjual sepeda motor yang ada di
seluruh Bali, dan bantuan yang diberikan ditujukan pada permasalahan yang lebih
besar, misalnya dalam membantu korban Gunung Merapi, Jawa Tengah, bencana
Wasior di Irian Jaya. Bisa juga bergabung dengan Finance untuk memberikan
bantuan kepada masyarakat, sesuai dengan situasi dan keuntungan yang diperoleh
oleh perusahaan.(wawancara dengan Oka Pradipta PIC PT Bali Timur Mandiri,
tanggal 2 Februari 2011).
124



Model yang diterapkan oleh PT Jabato Tour & Travel melaksanakan secara
langsung kepada masyarakat dana CSR tersebut (wawancara dengan Bapak Roby
Napitupulu Acc Manager & General Affair PT Jabato tanggal 2 Maret 2011).
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Badung, di PT Asuna dan PT 18 Jaya
pada intinya Model yang diterapkan adalah sama, yaitu memberikan dana CSR
kepada masyarakat secara langsung tanpa melalui perantara badan atau perusahaan
lain (wawancara dengan I. Wayan Rajendra Direktur PT Asuna, dan AA Kt Trisna
Guna, Manager PT 18 Jaya)
Di Daerah Gianyar penelitian dilakukan di PT BPR Suadana pada intinya
model yang diterapkan di perusahaan tersebut adalah sama dengan perusahaan di
daerah lain, yaitu melaksanakan CSR secara langsung kepada masyarakat.
Sebenarnya aturan untuk memberikan timbal balik perusahaan kepada
stakeholder sudah diterapkan oleh kebanyakan perusahaan yang ada di Bali sebelum
UU No. 40 Tahun 2007 muncul. Hal tersebut sudah merupakan suatu bentuk
moralitas yang terbentuk dalam hukum di masyarakat bahwa bila suatu perusahaan
arogan kepada stakeholder disekitarnya maka otomatis stakeholder tersebut akan
tidak menjamin keamanan dan keberlangsungan hidup perusahaan. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan di empat kabupaten yang ada di Bali,
pada umumnya semua responden menyatakan telah melaksanakan prinsip CSR dari
sejak mereka berdiri, walaupun istilah CSR belum mereka pahami sampai saat ini
setelah empat tahun dirubahnya UU No. 1 Tahun 1995, hal ini membuktikan bahwa
125



kesadaran hukum para pengusaha akan penerapan CSR terhadap masyarakat disekitar
perusahaan sangat tinggi.
Di dalam ilmu hukum, kadang kala dibedakan antara kesadaran hukum dengan
perasaan hukum. Perasaan hukum sering diartikan sebagai penilaian hukum yang
timbul dari masyarakat dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Kesadaran
hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian
tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya
merupakan kesadaran yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan ada. Bila demikian kesadaran hukum menekankan
pada nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh
hukum dalam masyarakat.
Kesadaran hukum juga sering dihubungkan dengan konsep kebudayaan hukum
(legal culture). Apabila ajaran ajaran tentang kesadaran hukum dibandingkan dengan
kebudayaan hukum maka konsepsi kebudayaan hukum lebih luas ruang lingkupnya.
Hal ini disebabkan karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan, maka hukum
tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir dari masyarakat yang mendukung
kebudayaan tersebut. Di bawah term volkgeist Savigny mengkontruksi teori tentang
hukum, yaitu hukum itu jiwa rakyat. Menurut Savigny terdapat hubungan organik
antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan
dari volkgeist oleh karena itu hukum yang tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri
merupakan hukum yang sejati, dan hukum yang sejati adalah hukum yang tidak di
126



muat tetapi ditemukan di dalam masyarakat. Legislasi hanya penting selama ia
memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.
Bila hukum dianggap sebagai konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat, maka suatu keadaan yang dicita citakan adalah
adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai
tersebut. Konsekuensinya adalah perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti
dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai
sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut.
Dari uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa apabila indikator -indikator
kesadaran hukum dipenuhi maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula
sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah maka derajat ketaatan
terhadap hukum juga rendah.
97

Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan
suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:
1. Pengetahuan hukum
2. Pemahaman hukum
3. Sikap hukum
4. Pola perilaku hukum
Ad.1 Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku
yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang


97
Otje Salman, 2008, Teori Hukum, Penerbit Reflika Aditama, hal. 50-51

127



dilarang ataupun perilaku yang dibolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum
erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu
peraturan manakala peraturan tersebut diundangkan.
Ad.2 Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang
mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman
hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan
dalam suatu hukum, tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi pihak-
pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.
Ad.3 Sikap hukum (legal attitude) adalah: a dispotition to accept some legal norm
or precept because it deserve respect as valid piece of law
Dengan demikian sikap hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima
hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang
bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati.
Ad. 4 Pola perilaku hukum adalah merupakan hal utama dalam kesadaran hukum
karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam
masyarakat.
98

Pada umumnya kesadaran hukum dihubungkan dengan ketaatan hukum atau
efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah
ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat.
99

Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum


98
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, JakartaPenerbit Rajawali,
hal. 180

99
Otje Salman, Op. Cit, hal. 51
128



tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Adanya hubungan antara
kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terlihat dalam pernyataan berikut ini:
A strong legal consciousness is some times considered the cause of adherence to
law (sometimes it is just another word for that) while a weak legal consciousness
is considered the cause of crime and evi
Apabila hal ini dikaitkan dengan indikator kesadaran hukum maka termasuk pada
indikator yang keempat. Apabila tujuan hukum tercapai yaitu apabila warga
masyarakat berprilaku sesuai dengan yang diharapkan atau yang dikehendaki oleh
hukum maka hal ini dinamakan hukum tersebut efektif.
Soerjono Soekanto menyatakan ada empat faktor seseorang berprilaku tertentu,
yaitu:
1. Memperhitungkan untung rugi
2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa
3. Sesuai dengan hati nuraninya, dan
4. Ada tekanan-tekanan tertentu.
100

Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan
daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat
terhadap hukum. Efektifitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang
harus memenuhi syarat, yaitu:
a. Berlaku secara yuridis


100
Sooerjono Soekanto, 1985, Efektiviras Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung, Penerbit Remaja
Karya, hal. 19
129



b. Berlaku secara sosiologis
c. Berlaku secara filosofis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam masyarakat,
yaitu a. kaidah hukum/peraturan itu sendiri,
b. petugas/penegak hukum,
c. sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum dan
d. kesadaran masyarakat.
Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum dapat berfungsi dengan baik, maka
setiap kaidah hukum harus memenuhi 3 unsur yaitu kaidah hukum berlaku secara
yuridis dalam arti kaidah tersebut dalam pembentukannya didasarkan pada kaidah
yang lebih tinggi, atau dibentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Kemudian kaidah
hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut berlakunya dapat
dipaksakan di masyarakat, atau kaidah tersebut berlaku karena adanya pengakuan dari
masyarakat. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.
Penegak hukum atau orang yang bertugas menegakkan hukum, dalam
melaksanakan tugas-tugas menegakkan hukum petugas harus mempunyai suatu
pedoman, diantaranya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya.
Sarana/fasilitas amat penting untuk mengefektifkan hukum. Yang diutamakan
dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai factor pendukung. Contoh
perlunya adanya kertas, computer dalam melakukan penyidikan bagi seorang polisi.
130



Warga masyarakat adalah merupakan salah satu faktor yang mengefektifkan
suatu peraturan. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi semua
peraturan perundang-undangan yang kerap disebut derajat kepatuhan,. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
101

Lawerence M. Fridman melihat hukum sebagai proses mengemukakan ada 3
komponen yang berpengaruh terhadap bekerjanya sistem hukum (legal system) yaitu:
1. Substansi hukum (Legal Substance): aturan hukum itu sendiri yang berupa
undang-undang, doktrin, statuta yang dipakai untuk memerintah dan
diperintah.
2. Struktur hukum (Legal Structur) yaitu institusi atau lembaga itu sendiri
termasuk segala tipe,bentuk jumlah tak terkecuali dalam setiap negara.
3. Budaya Hukum (Legal Cultural) : adalah nilai-nilai, sikap dan tingkah laku
yang merupakan budaya masyarakat itu sendiri termasuk budaya hukum
Idealnya suatu produk hukum mengakomodir sistem hukum sebagaimana
dikemukakan oleh Friedman agar dalam penerapannya tidak bermasalah baik
dari substansi, struktur dan budaya hukumnya sesuai dengan pola hidup dari
masyarakat, sehingga hukum tersebut akan efektif. Efektivitas hukum sangat
dipengaruhi oleh budaya hukum masyarakat, karena respon terhadap hukum
dibatasi oleh faktor budaya.
102


101
Zainuddin Ali. H, 2008, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 62.

102
Lawrence Friedman, Op. Cit. hal. 98
131



Konsep CSR yang dikembangkan di Indonesia berasal dari budaya hukum
masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bali pada khususnya, yaitu
budaya gotong royong. Nilai gotong royong yang merupakan nilai-nilai luhur dari
bangsa Indonesia patut dipertahankan. Makna semangat gotong royong yang
menjiwai setiap warga masyarakat terlebih pada masyarakat industri/modern patut
dicermati, karena perkembangan dunia usaha pada era global sangat pesat.
Konsep CSR pada prinsipnya adalah suatu upaya sungguh-sungguh dari entitas
bisnis meminimumkan dampak negativ dan memaksimumkan dampak positif
operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan
lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Mengacu pada filosofis pola keserasian dan keseimbangan hubungan yang
harmonis yang dikenal dengna Tri Hita Karana tampaknya konsep CSR dapat
berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam Tri Hita
Karana yang berintikan unsur nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan
Tuhan (Parhyangan), antara manusia dengan sesamanya (unsur Pawongan) dan
antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan).
Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana
(Pawongan dan Palemahan) berkaitan erat dengan apa yang menjadi kewajiban
perusahaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007. Konsep
CSR yang berkait erat dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dalam Tri Hita
Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai sub sistem sosial,
sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan kewajiban. Konsep CSR
132



yang bersentuhan dengan unsur Palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan
meningkatkan kualitas lingkungan. Komitmen perusahaan dikembangkan dalam
rencana aksi (action plan) yang kemudian dilaksanakan secara nyata, baik terhadap
kondisi lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di sekitar perusahaan.
Dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa pengembangan CSR
oleh perusahaan yang ada di Bali bukan hanya terhadap dua hal sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007, melainkan dalam pelaksanaan
CSR di perusahaan unsur Parhyangan sangat menonjol diterapkan di masyarakat.
Dari paparan tersebut diatas maka dipandang perlu adanya suatu konsep yang
dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang
terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong
pada satu sisi, dan pada sisi lainnya Tri Hita Karana mencerminkan adanya pola
keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungan.
Untuk pengembangan CSR ke dalam Konsep Tri Hita Karana maka diperlukan
adanya suatu konsep yang dapat mengintegrasikan kedua konsep tersebut ke dalam
satu konsep sehingga terjadi adanya keharmonisan antara konsep CSR yang secara
teori muncul di negara barat, yang pada saat sekarang telah diadopsi ke dalam UU
Perseroan Terbatas (UU No.40 Tahun 2007) dan konsep Tri Hita Karana yang
merupakan pola pikir dan pola hidup masyarakat Hindu Bali. Konsep yang
dimaksud adalah konsep integrated balance harmony yang didasari oleh teori
133



Harmoni yang diajukan oleh Roscou Pound yang kemudian melahirkan teori law as
a tool of social engineering
Hukum adalah suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim. Pound mengemukakan idenya
tentang hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat dimana
hukum tidak pasif tetapi harus mampu digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan
kondisi tertentu kearah yang dituju sesuai dengan kemauan masyarakat.
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest
balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang
diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan
masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Tujuan utama dalam social
engeneering adalah mengarahkan kehidupan sosial kearah yang lebih maju. Hukum
tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya melegitimasi atas kepentingan manusia
untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.
Dengan konsep ini diharapkan adanya suatu keterkaitan dan keterpaduan dari
dua konsep antara konsep Tri Hita Karana dengan konsep CSR, sehingga dapat
dikatakan bahwa budaya gotong royong sangat relevan untuk diterapkan oleh
perusahaan pada dunia usaha, karena sesuai dengan budaya hukum masyarakat
Indonesia.
Konsep Tri Hita Karana yang sudah mendarah daging dalam kehidupan
masyarakat Hindu di Bali perlu adanya legitimasi dari pemerintah. Implementasi dari
pendapat Roscou Pound dalam kehidupan di Indonesia pada umumnya terhadap
134



konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dalam UU No. 40 Tahun 2007, khususnya Pasal
74, yang menekankan perlunya perusahaan untuk ikut peduli terhadap kehidupan
sosial, serta peduli terhadap lingkungan. Kemudian di Bali implementasi dari konsep
Tri Hita Karana terdapat pada beberapa Peraturan Daerah Bali dipergunakan sebagai
landasan Filosofisnya, misalnya dalam Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, Perda tentang
Pariwisata Budaya Bali, dan Perda tentang Persyaratan Arsitektur dan Bangunan
Gedung.
Apabila dikaji dari substansi hukumnya mencakup isi norma-norma hukum
beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi
pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Sebenarnya ketentuan CSR sudah diatur
secara jelas dalam UU No. 40 Tahun 2007, tetapi sampai saat ini peraturan
pelaksanaannya (PP) belum ada, sehingga sampai saat ini belum ada acuan yang pasti
bagi perusahaan dalam melaksanakan CSR.
Struktur hukum mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut, misalnya
mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga
tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan
bahwa semua perusahaan yang ada di Bali khususnya perusahaan yang tidak
mempunyai hubungan keluar negeri tidak mempunyai lembaga yang khusus
menangani tentang CSR kecuali di PT FIF, PT Asuna Bali yang Presdirnya orang
Jepang juga tidak mempunyai lembaga khusus yang menangani tentang CSR.
Kemudian dalam kenyataannya di masyarakat berdasarkan penelitian yang dilakukan
135



di empat kabupaten, masih banyak para direktur yang tidak memahami istilah CSR
tersebut, tetapi yang menarik disini adalah dalam kegiatan bisnisnya perusahaan
perusahaan tersebut telah melaksanakan CSR dengan baik karena sesuai dengan
budaya masyarakat, bahkan jauh sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007.
Bertolak dari principle of effectiveness dari Hans Kelsen, realita hukum artinya
orang seharusnya bertingkahlaku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau
dengan kata lain realita hukum adalah hukum dalam tindakan. Keharusan dan
kewajiban mentaati hukum, karena telah ditentukan demikian (yuridis formal), bukan
karena nilai yang terkandung dalam materi hukum itu sendiri.
103

Menurut Eugen Erlich, hukum positif hanya akan efektif jika selaras dengan
hukum yang hidup di masyarakat (living law). Erlich membandingkan living law
dengan hukum untuk keputusan, makna adalah hukum yang diterapkan dalam
keputusan perselisihan oleh pengacara dan pengadilan. Erlich berharap bahwa dalam
keputusan pengadilan hendaknya menggabungkan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Earlich contrasted this living law with law for decisionmeaning thereby the law
applied in the decision of disputes by lawyers and court.He was willingto
concedethat law for decision might coincide in content with living law, but he
expected that even this would be unusual and sometimes undesirable.
104

Tujuan pokok teori-teori yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang aturan-
aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-aturan tersebut merupakan
norma sosial aktual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang olehnya


103
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit. Hal. 135

104
Geoffrey Sawer, 1980, Law In Society, Butterworth & Co (Publishers) Ltd, page 175
136



disebut sebagai hukum yang hidup (living law). Yang dimaksudkannya dengan
hukum yang hidup adalah hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai
hukum yang diterapkan oleh Negara.
105

Ehrlich juga mengemukakan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan
sosial tertentu. Hukum tidak mungkin akan efektif oleh karena ketertiban terletak
pada pengakuan sosial terhadap hukum dan bukan pada penerapannya secara resmi
oleh Negara. Bagi Ehrlich tertib sosial didasarkan fakta diterimanya hukum yang
didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum.
106

Kalau mengacu kepada pendapat Eugen Ehrlich, dalam kaitannya dengan
berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 khususnya Pasal 74 yang mengatur tentang CSR,
menurut pendapat penulis UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT dapat dinyatakan
efektif, karena ada pengakuan sosial terhadap hukum, norma-norma hukum berasal
dari kenyataan sosial, dan kenyataan ini melahirkan hukum, yang menyangkut hidup
bermasyarakat, hidup sosial. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketentuan
tentang CSR dalam UU PT dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (living law) di
masyarakat, khususnya masyarakat Bali karena ketentuan tersebut dari segi
historisnya memang merupakan konsep asli dari masyarakat adat Bali, atau
merupakan sesuatu yang eksistensial dari sejarah hidup masyarakat Bali. Ketentuan
CSR yang didasari oleh semangat gotong royong merupakan hukum yang
diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Menurut Ehrlich


105
Otje Salman, Op. Cit. hal. 38

106
Bernard L. Tanya, Op. Cit. Hal. 141
137



hukum yang hidup itu dinamakan dengan Rechtsnormen (norma-norma hukum).
CSR adalah merupakan cerminan dari pola hidup masyarakat khususnya
masyarakat adat di Bali. Di Bali dalam kehidupan masyarakat adatnya tidak ada
perbuatan tanpa persembahan, baik persembahan kepada Tuhan, kepada sesama,
maupun kepada lingkungan. Pada dasarnya konsep CSR sudah dilaksanakan oleh
perusahaan-perusahaan yang ada di Bali, sejak sebelum dituangkan ke dalam undang-
undang hanya saja dalam bentuk dan penamaan yang berbeda, karena CSR yang tidak
jauh berbeda dengan budaya gotong royong yang merupakan norma sosial yang ada
di Bali. Dalam pelaksanaan CSR oleh perusahaan tidak terlepas dari konsep Tri Hita
Karana, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bentuk sumbangan yang diberikan
oleh perusahaan kepada masyarakat, kalau ada upacara di pura sumbangan yang
utama dalam bentuk dana punia, yang kalau dikaji dari konsep CSR hal ini tidak
termasuk ke dalamnya, tetapi tidak bisa terlepas dari pola pikir masyarakat hukum
adat Bali yang bersifat religiomagis. Konsep CSR dalam hubungannya dengan
masyarakat sangat berkaitan erat dengan konsep pawongan dalam Tri Hita Karana,
yaitu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, yang dalam
CSR dimaksudkan menjaga keharmonisan antara pengusaha dengan masyarakat
sekitar, sehingga kalau sudah tercapai keharmonisan masyarakat dengan perusahaan
maka kelangsungan perusahaan bisa terjaga dan keuntungan bias tercapai.
Konsep lingkungan dalam CSR sangat berhubungan dengan unsur palemahan
dalam Tri Hita karana, yaitu menjaga alam tetap lestari, sehingga bisa berguna bagi
anak cucu dikemudian hari.
138



CSR adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang
bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu
lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif, lalu kehidupan berjalan
dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh
kewibawaan Negara. Ia tidak tergantung pada kompetensi penguasa dalam Negara,
khususnya dari segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tergantung
dari anggota-anggota kelompok itu.
Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang CSR
dalam UU No. 40 Tahun 2007 berlaku secara efektif di masyarakat dan dalam
implemetasi CSR dapat berjalan secara harmonis dengan konsep Tri Hita Karana
yang terdapat di Bali, hal tersebut bisa dilihat dalam realisasi CSR tidak terlepas dari
tiga konsep Tri Hita Karana, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan.










139




BAB IV
BENTUK TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN YANG
DITERAPKAN OLEH PERUSAHAAN DI BALI


4.1 Konsep Tanggung Jawab Dalam Makna Responcibility dan Liability.
Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tema yang hangat dibicarakan
pada saat sekarang di berbagai forum. Pada saat mendengar atau membaca kata CSR
maka yang timbul dalam pemikiran adalah suatu tanggung jawab perusahaan yang
bersifat kesukarelaan (voluntary) dan tidak ada sanksi yang bersifat memaksa bagi
para pihak yang tidak melaksanakannya. Bahkan dengan adanya kata sosial maka
persepsi orang terhadap CSR justru terfokus pada aktivitas sosial, seperti
kedermawanan (philanthropy), kemurahan hati (charity), bantuan terhadap bencana
alam, dan kegiatan sosial lainnya. Dengan kata lain CSR tidak lebih dari moralty
saja.
107

Sebenarnya dasar dari suatu tanggung jawab pada awal-awal penerapan hukum
di dunia ini adalah bentuk perbuatan pidana (delik) dan wanprestasi kontrak. Jika ada
tanggung jawab tanpa kesalahan hal tersebut tergolong ke dalam kuasi kontrak. Apa
yang dikenal dengan perbuatan melawan hukum (perdata) dalam pengertiannya pada


107
Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.3
140



saat sekarang dahulunya masih belum dikenal.
108

Berbicara tentang tanggung jawab yang berkaitan dengan perusahaan, maka
paling tidak ada 2 (dua) pemaknaan tanggung jawab itu sendiri, yaitu tanggung
jawab dalam makna responcibility atau tanggung jawab moral atau etis, dan yang
kedua adalah tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis atau
hukum.
4.1.1 Konsep Tanggungjawab Dalam Makna Responcibility.
Burhanuddin Salam dalam bukunya yang berjudul Etika Sosial dinyatakan
bahwa tanggung jawab itu adalah: responcibilityis having the caracter of a free
moral agent; capable of determining ones acts; capable deterred by consideration
of sanction or consequences
109

Dari pengertian tersebut dapat dicatat dua hal penting, yaitu:
1. Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sesuatu perbuatan.
2. Harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu perbuatan.
Kalau dimaknai kata having the character tampaknya ada semacam tuntutan
berupa suatu keharusan atau kewajiban yang didalamnya sekaligus mengandung
makna pertanggungan moral atau karakter. Karakter disini merupakan sesuatu yang
mencerminkan nilai dari suatu perbuatan. Selanjutnya konsekuensi dari perbuatan
dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan yang hanya terdapat 2 (dua) alternative
penilaian yaitu tahu bertanggung jawab atau tidak tahu bertanggung jawab.


108
Munir Fuady, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, hal.73

109
Salam, Baharuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial Manusia,
Jakarta, Renika Cipta, hal.28
141



Sedangkan makna tanggung jawab itu sendiri dalam filsafat hidup dijadikan sebagai
salah satu kriteria kepribadian (personality) seseorang (perusahaan).
110

Bila kata tanggung jawab di lihat dari segi filosofinya, maka terdapat 3 (tiga)
unsur yang harus dipahami, yaitu:
1. Kesadaran (ewareness)
Berarti tahu, kenal, mengerti, dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada
soal akibat perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Dengan kata lain bahwa
seseorang (perusahaan) baru dapat dimintai pertanggungjawabannya bila yang
bersangkutan sadar tentang apa yang dilakukannya.
2. Kecintaan atau kesukaan (affiction).
Berarti suka, menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban.
Rasa cinta timbul atas dasar kesadaran, apabila tidak ada kesadaran bererti rasa
kecintaan tidak akan muncul. Jadi cinta muncul atas dasar kesadaran, atas
kesadaran inilah lahirnya rasa tanggung jawab.
3. Keberanian (bravery).
Merupakan suatu rasa yang didorong keikhlasan, tidak ragu-ragu dan tidak takut
dengan segala rintangan. Suatu keberanian mesti disertai dengan perhitungan,
pertimbangan, dan kewaspadaan atas segala kemungkinan. Dengan demikian
keberanian itu timbul atas dasar tanggung jawab.
Pinto menegaskan bahwa responcibility ditujukan bagi adanya indikator
penentu atas lahirnya suatu tanggung jawab, yakni suatu standar yang telah


110
Salam, Baharuddin, 1997, Ibid. hal.28
142



ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati.
111

Pada prinsipnya tanggung jawab dalam arti responcibility lebih menekankan
pada suatu perbuatan yang harus atau wajib dilakukan secara sadar dan siap untuk
menanggung segala resiko dan atau konsekuensi apapun dari perbuatan yang
didasarkan atas moral tersebut. Dengan kata lain responcibility merupakan tanggung
jawab yang hanya disertai sanksi moral. Sehingga tidak salah apabila pemahaman
sebagian pelaku usaha dan atau perusahaan tergadap CSR hanya sebatas tanggung
jawab moral yang mereka ujudkan dalam bentuk philanthropy maupun charity.
4.1.2 Tanggung Jawab Dalam Makna Liability.
Berbicara tentang tanggung jawab dalam makna liability, berarti berbicara
tentang tanggung jawab dalam konteks hukum, dan biasanya diwujudkan dalam
bentuk tanggung jawab keperdataan. Menurut Pinto, liability menunjuk kepada
akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar tersebut,
sedangkan bentuk tanggung jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan
pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian.
112

Dalam hukum keperdataan prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Adanya Unsur Kesalahan (Liability based
on fault).
Sejarah lahirnya prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan pada mulanya


111
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan antara DPRD dan
Kepala Daerah, Bandung, Alumni. hal.105

112
Dwi Kartini , Op. Cit. hal.105
143



dikenal dalam budaya Babylonia kuno. Kemudian dikembangkan pada masa Romawi
dalam doktrin culpa dalam lex Aquila dimana setiap kerugian baik sengaja
maupun tidak sengaja harus selalu diberikan santunan. Kemudian prinsip ini menjadi
hukum Romawi modern sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1382 Code
Civil Prancis yang berbunyi any act whatever done by a man which cause damage to
anather obliges him by whose faultthe damage was cause to repair it
Kemudian Belanda sebagai Negara jajahan Prancis mengadopsi pasal tersebut,
yang dituangkan dalam Pasal 1401 BW. Sedangkan di Indonesia diberlakukan prinsip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan adalah atas dasar asas konkordansi. Ketentuan
tanggung jawab atas kesalahan ini dituangkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang
berbunyi: tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerudian tersebut
113

Sesungguhnya ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tidak merumuskan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) tetapi hanya mengemukakan unsur
unsur yang harus dipenuhi agar sesuatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai
perbuatan melawan hukum. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah
sebagai berikut:
a. Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat.
b. Perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya.
c. Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat kesalahan tersebut.


113
Munir Fuady, Op. Cit. hal. 79
144



1. Makna perbuatan melawan hukum disini, bukan hanya dalam arti positif tapi
juga meliputi negative, yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu yang seharusnya
menurut hukum orang harus berbuat. Sedangkan makna kesalahan disini adalah
dalam pengertian umum, yaitu baik karena kesengajaan maupun karena
kelalaian. Dalam penerapan Pasal 1365 KUH Perdata ini adanya keharusan
dimana si penggugat membuktikan adanya kerugian tersebut, sebagai akibat dari
perbuatan si tergugat.
2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga (Presumption of Liability).
Menurut prinsip presumption of liability, tergugat (perusahaan) dianggap
bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul, tetapi tergugat dapat
membebaskan diri dari tanggung jawabnya, apabila ia dapat membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah (absence of fault), tetapi dengan menekankan pada
pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof) kepada pihak
tergugat.
Apabila prinsip ini ditarik pada tanggung jawab perusahaan, jika ada
masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu perusahaan, baik sebagai akibat
aktifitas perusahaan ataupun karena keberadaannya. Dalam hal ini masyarakat bisa
langsung menggugat perusahaan dan pihak perusahaanlah nantinya yang dibebankan
untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialami masyarakat bukanlah karena
kesalahan pihak perusahaan yang dimaksud.
114

2. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability atau Strict Liability).


114
Ibid. hal. 187
145



Yang dimaksud dengan tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah suatu
tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum
tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu
mempunyai unsur kesalahan atau tidak. Dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan
tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukannya itu, dia tidak
melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian,
kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan.
115

Pada prinsipnya, lahirnya tanggung jawab mutlak tidak terlepas dari doktrin
onrechtmatige daad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perd. yang
mengedepankan adanya unsur kesalahan (fauld). Dalam arti kata harus ada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Pada fakta emperis, tidak semua
unsur fault dapat dibuktikan, bahkan ada yang tidak dapat dibuktikan sama sekali.
Untuk dapat mengatasi keterbatasan fault based liability tersebut, maka
dikembangkanlah asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
116

Perkembangan teori tentang strict liability dalam hukum timbul dan tenggelam.
Semula dalam masyarakat yang premitif hanya dikenal tanggung jawab mutlak, tanpa
melihat ada tidaknya unsur kesalahan. Inilah model strict liability dalam bentuknya
yang premitif. Selanjutnya berkembang pemikiran dalam hukum dimana setiap
tindakan yang dengan sengaja merugikan orang lain merupakan tindakan yang tercela
dalam masyarakat beradab dan merupakan tindakan anti sosial sehingga perbuatan


115
Munir Fuady, Op. Cit. Hal.96

116
Sentosa, Mas Achmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta,: ICEL.
Hal.301
146



tersebut merupakan tindakan melawan hukum, yang dalam Hukum Romawi disebut
dengan istilah dolus
117

Perkembangan selanjutnya adalah berkembangnya doktrin strict liability dalam
bentuk yang modern. Perkembangan ini diawali oleh tanggung jawab mutlak dari
benda-benda yang mempunyai sifat yang dapat keluar dari teritori pemiliknya, seperti
tanggung jawab mutlak pemilik waduk air, penyulut api, pemilik ternak, pemelihara
binatang buas, bahkan terakhir juga pembuat/pengguna reaktor nuklir.
118

Strict liability merupakan bentuk pertanggung jawaban perdata yang tidak
memerlukan pembuktian unsur fault, sebagai unsur utama dalam pertanggung
jawaban perdata dalam hal terjadinya fault based (perbuatan melawan hukum).
Dengan demikian beban pembuktian penggugat menjadi ringan karena tidak dibebani
pembuktian adanya unsur fault. Namun demikian penggugat tetap dibebani untuk
membuktikan kerugian (injured party) yang dialaminya sebagai akibat dari aktivitas
pihak si tergugat.Hal ini diistilahkan dengan pembuktian kausalitas (causal link).
Perkembangan tanggung jawab mutlak, selain dalam bentuk strict liability juga
dikenal terminologi absolute liability.
119

Menurut Bin Cheng, ada perbedaan makna antara Strict liability dengan
Absolute liability. Dalam Strict liability tuntutan atas perbuatan yang menyebabkan
kerugian itu harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Dengan kata lain,


117
Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya
Paramita, hal.70

118
Munir Fuady, Op. Cit. hal.97

119
Sentosa, Mas Achmad, Op. Cit. Hal.303
147



dalam strict liability harus ada causa link antara orang (perusahaan) yang benar-benar
bertanggung jawab dengan kerugian tersebut. Selain itu dalam Strict liability semua
hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab (usual defence) tetap diakui,
kecuali terhadap hal-hal yang mengarah pada pernyataan tidak bersalah (absence of
faulty), karena unsur kesalahan tidak diperlukan lagi.
120

Absolute liability adalah tanggung jawab akan timbul kapan saja tanpa
mempermasalahkan oleh siapa dan bagaimana terjadinya kerugian tersebut. Dalam
Absolute liability tidak diperlukan adanya kausalitas, dan hal-hal yang dapat
membebaskan tanggung jawab sepanjang dinyatakan secara tegas. Beberapa contoh
konvensi yang dapat membebaskan tanggung gawab, yaitu:
a. Konvensi Roma 1952 (Damage Caused by Foreign Air Craft to Third Parties
on the Surface).
b. Konvensi Brussels 1962 (The Liability of Operators of Nuclear Ships).
c. Konvensi Wina 1963 (Civil Kiability for Nuclear Damage).
d. Konvensi Montreal 1966 (Interim Agreement).
121

Dalam perkembangan selanjutnya muncul konsep-konsep strict liability dalam
bidang yang lain yang bercampur dengan perkembangan doktrin pembuktian terbalik
(shifted burden of proof), seperti dalam bidang lingkungan hidup, product liability,
penyebab bahaya terhadap kesehatan dan keamanan sebagaimana seperti yang


120
Cheng, Bin, 1981, A Reply to Charges of Having Inter Alia Misure the Term Absolut
Liability in Relation to the 1996 Inter-Carrier Agreement in My for an Integreted System of Aviation
Liability, Annals of Air and Space law, Hal.3, Dalam Khairandy Ridwan, Op. Cit. Hal.191.

121
Khairandy, Ridwan, Op. Cit. Hal. 297
148



terdapat dalam the Pure Food and Drug Acts di Amerika Serikat.
122

Khusus terhadap gugatan keperdataan yang berkaitan dengan hukum
lingkungan, ada beberapa konsep tanggung jawab lainnya yang bisa dijadikan sebagai
acuan yaitu sebagai berikut:
a. Market Share Liability.
Konsep ini dimaksudkan untuk mengantisipasi persoalan dimana penggugat
menderita kerugian akibat pencemaran dari sejumlah industri. Di dalam konsep ini
penggugat diharuskan menghadirkan sejumlah industri sebagai pihak yang diduga
sebagai kontributor substansial (substantial share) zat-zat pencemar. Beban
pembuktian dalam konsep ini berpindah pada tergugat untuk membuktikan bahwa
tergugat tidak melepaskan zat-zat pencemar seperti yang dituduhkan penggugat.
b. Risk Contribution.
Tujuan pengembangan konsep ini tidak jauh berbeda dengan maksud dan
tujuan dari konsep Market Share Liability, yaitu mengatasi permasalahan, dimana
penggugat mengalami kerugian yang disebabkan pencemaran, tetapi tidak dapat
diidentifikasi secara pasti penyebab kerugian tersebut.Penggugat hanya berhasil
mengidentifikasi zat-zat pencemar serta kadar yang dikonsumsi penggugat. Dalam
hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan pada satu industry/produsen dari bahan
kimia zat berbahaya tersebut. Kemudian tergugat bertanggung jawab memasukkan
pihak ketiga lainnya yang dianggap sebagai kontributor terhadap timbulnya kerugian
terhadap penggugat.
123



122
Munir Fuady, Op. Cit. Hal.99
149



c. Concert of Action
Konsep ini muncul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kemungkinan
terlibatnya pihak-pihak lain yang membantu dan bekerja sama dengan pencemar,
sehingga perbuatan pencemarandapat dilaksanakan dengan sempurna. Melalui konsep
ini pihak konsultan yang memberikan advis untuk tidak mengoperasikan alat
pembuangan limbah dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami
oleh penggugat. Berdasarkan konsep ini, pemerintah dapat juga dituntut sebagai
pihak yang memberikan persetujuan atas kerugian yang dialami penggugat.
d. Alternative Liability.
Timbulnya Alternative liability didasarkan atas pertimbangan bahwa sangat
tidak adil apabila tergugat mesti dibebaskan hanya karena penggugat tidak dapat
membuktikan secara pasti satu dari sekian banyak pihak yang bertanggung jawab atas
perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain.
e. Enterprise Liability.
Konsep ini merupakan perluasan pengertian dari konsep Market Share
Liability. Konsep ini diterapkan pada situasi dimana penggugat tidak dapat secara
spesifik menunjuk pelaku pencemaran dari sekian banyak perusahaan-perusahaan
yang potensial menjadi penyebab, ternyata telah memenuhi standar dan petunjuk
yang telah ditetapkan. Dalam konsep ini penggugat dibolehkan melibatkan seluruh
perusahaan yang dianggap potensial menyebabkan kerugian penggugat, serta pihak-
pihak yang terlibat dalam pemberian Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan


123
Siahaan,N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Pancuran Alam, Hal. 331
150



Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) serta perizinan.
124

4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Corporate Social
Responsibility.
Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering
diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang
mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan
pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal
yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat
menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja
dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai
perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya
dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga
masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna
dan bermanfaat. Kepedulian kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan
sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi
dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya
kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya
sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam
pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan
akibatnya terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder) perusahaan,
termasuk lingkungan hidup. Jadi CSR juga dilihat dalam lingkup stakeholders atau


124
Ibid. hal. 337
151



lingkungan dimana perusahaan tersebut berada. Selama ini CSR sering dihitung
berdasarkan besarnya uang yang telah dikeluarkan. Sebenarnya bukan hanya dilihat
dari segi keuangan saja tetapi ada nilai intangible yang sangat penting, artinya ada
sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang. Nilai intangible artinya sampai sejauh
mana perusahaan aktif dan proaktif terhadap lingkungan.
Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara
kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan
pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
Kepentingan internal menyangkut transparansi sehingga ada yang namanya Good
Corporate Governance. Dikalangan publik diukur dengan keterbukaan informasi.
CSR internal menyangkut lingkungan tempat perusahaan, yang meliputi polusi,
limbah, maupun partisipasi lainnya. Stakeholders diluar dapat dikatagorikan ada
masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun pemerintah. Tujuan CSR
bukan untuk memanja masyarakat, karena akan terjadi pembodohan masyarakat
Tujuan CSR adalah untuk pemberdayaan masyarakat, bukan memperdayai
masyarakat. Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan masyarakat mandiri. Kata
sosial pada CSR sering diinterpretasikan dengan kedermawanan. Program CSR
jauh lebih besar dari kedermawanan yang biasanya lebih karena bencana alam. CSR
terkait dengan sustainability dan acceptability, artinya diterima dan berkelanjutan
untuk bekerja di suatu tempat, dan pihak pengusaha menginginkan usahanya
berkelanjutan dalam jangka panjang.
152



Menurut Princes of Wales Foundation ada lima faktor penting yang dapat
mempengaruhi implementasi CSR, yaitu:
a. Human capital atau pemberdayaan manusia.
b. Environments yang berbicara tentang lingkungan.
c. Good Corporate Governance.
d. Social Cohesion, artinya dalam melaksanakan CSR jangan sampai
menimbulkan kecemburuan sosial
e. Economic strength atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di
bidang ekonomi.
125

4.3 Bentuk Tanggung Jawab Sosial Perseroan yang Diterapkan oleh
Perusahaan yang Berbentuk PT Di Bali.
Dalam perkembangan di era globalisasi dan persaingan bebas saat ini,
perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisisensi berkeadilan, berkelanjutan, berawawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional, pada akhirnya untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Bahwa salah satu pilar pembangunan perekonomian di Indonesia yang
dapat diharapkan untuk membantu terwujudnya kesejahteraan rakyat tersebut adalah
perusahaan.
Dalam Pasal 1 huruf b, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib


125
Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam
Masyarakat:Studi Kasus Empat Perusahaan, Jakarta, Penerbit YAPPIKA, IDSS. Hal.27
153



Daftar Perusahaan yang dimaksud dengan perusahaan yaitu:
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha
yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta
berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh
keuntungan dan atau laba.

Molengraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara
terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara
memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan
perjanjian-perjanjian perdagangan.
126

Dalam Blacks Law Dictionary, dinyatakan bahwa Perusahaan (Corporation)
adalah:
An Entity (usu a business) having authority under law to act as a single person
distinct from the shareholders who own it and having Rights to issue stock and exist
indefinitely.
127

(Sebuah entitas (dalam bisnis) yang memiliki kewenangan berdasarkan hukum
sebagai orang perorangan dari pemegang saham yang memiliki hak mengedarkan
saham tanpa batas waktu )

Keberadaan perusahaan sangat berperan dalam memajukan suatu masyarakat,
daerah dan negara. Sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
adanya suatu perusahaan di suatu daerah, maka akan dapat menyerap tenaga kerja.
Dalam menjalankan usahanya suatu perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban
secara ekonomis saja tetapi mempunyai kewajiban yang bersifat etis. Adanya suatu
etika bisnis yang merupakan tuntunan perilaku bagi dunia usaha untuk bisa


126
Abdul Rasyid Saliman, et al., 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,
Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 82.

127
Bryan A Garner, 1999, Blacks Law Dictionary, Seventh Edition, West Publicing C.O, Page
341
154



membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Dalam pemenuhan etika dalam berbinis memang tidak hanya profit yang menjadi
tujuan utama, akan tetapi pemberdayaan masyarakat sekitar juga harus menjadi tujuan
utama bagi perusahaan. Dikarenakan hal itu merupakan salah satu perwujudan dari
Good Corporate oleh perusahaan terhadap Stakeholder.
Kemudian jika merujuk dalam dokumen Global Compact PBB tahun 1999,
dalam poin kedelapan dinyatakan mengambil inisiatif mempromosikan
tanggungjawab lingkungan yang lebih besar. Kemudian agar perusahaan memiliki
tanggungjawab dan kewajiban untuk memajukan, menghormati dan melindungi
HAM sebagaimana diakui dalam hukum internasional maupun hukum nasional
termasuk hak dan kepentingan dari indigenous people dan kelompok rentan lain telah
diserukan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum : Ny.E/CN.4/Sub.2/2003/12/
Rev.2 tahun 2003.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan yaitu
melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) . CSR pada 1990-an, menjadi
suatu gagasan yang menyita banyak kalangan, dari masyarakat akademik, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), sampai para pelaku bisnis. Tidak mengherankan jika
laporan tahunan beberapa perusahaan multinasional yang telah melakukan praktek
CSR keberhasilan meraih keuntungan tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya
alat ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan.
Di kalangan sebagian dunia usaha, sudah tumbuh pengakuan bahwa
keberhasilan ekonomi dan finansiil mereka berkaitan erat dengan konsidi sosial dan
155



lingkungan dimana perusahaan mereka beroperasi. Untuk mewujudkan tanggung
jawab semacam itu, dunia usaha diharapkan memperhatikan dengan sungguh-
sungguh CSR dalam aktivitas usahanya.
Kotler dan Lee dalam bukunya Corporate Social Responsthility: Doing The
Most Good For Your Cornpany and Your Cause, mengidentifikasikan 6 (enam)
pilihan program bagi perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan inisiatif dan
aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah masalah sosial sekaligus juga
sebagai wujud komitmen dan CSR, yaitu:
128

1. Cause promotion adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk memberikan
kontribusi berupa dana dan penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran
akan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.
2. Cause related marketing adalah bentuk kontribusi perusahaan dengan menyisihkan
beberapa persen dan pendapatan yang diperoleh perusahaan sebagai donasi bagi
permasalahan sosial tertentu, untuk periode tertentu atau produk tertentu.
3. Corporate social marketing adalah upaya untuk membantu mengembangkan dan
sekaligus juga mengimplementasikannya dalam bentuk kampanye dengan fokus
mengubah perilaku tertentu yang mempunyal pengaruh negatif.
4. Corporate philantrophy adalah inisiatif dari perusahaan dengan memberikan
kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, baik dalam bentuk donasi
ataupun sumbangan tunai.


128
Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Op. cit., hlm. 56.
156



5. Community voluntering adalah bentuk kegiatan yang dilakukan langsung oleh
perusahaan dalam memberikan bantuan dan mendorong karyawan serta mitra
bisnisnya untuk secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat.
6. Socially responsible business practices adalah inisiatif perusahaan untuk
mengadopsi dan melakukan praktek bisnis tertentu serta investasi yang ditujukan
untuk meningkatkan kualitas sebuah komunitas dan melindungi lingkungan.
Menurut Pearlie Koh dan Victor Yeo menetapkan 4 (empat) kategori social
responsibility yang menjadi sasaran perusahaan-perusahaan di Singapura, yaitu:
129

a. Pekerjaaan yang bersifat amal (charitable works);
b. Kesejahteraan karyawan;
c. Perlindungan lingkungan;
d. Masalah moral.
Di Indonesia, istilah CSR semakin popular digunakan sejak tahun 1990-an.
Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan corporate social activity atau
aktifitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual,
aksinya mendekati konsep CSR yang mempresentasikan bentuk peran serta dan
kepedulianperusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dibeberapa perusahaan yang ada di Bali
menunjukkan banyak para Direktur dari perusahaan yang berbentuk PT yang belum
memahami tentang istilah CSR tersebut. tetapi perusahaan tersebut telah


129
Cornelius Simanjutak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta, Penerbit
Sinar Grafika, hlm. 99.
157



melaksanakan secara aktif CSR tersebut, seperti PT Bali Timur Mandiri yang
beralamat di Jalan Pahlawan No. 12 Bangli. Perusahaan yang berbentuk PT ini
didirikan tahun 1996, yang bergerak dalam penjualan sepeda motor, dalam
kenyataannya telah berperan aktif melaksanakan CSR dengan peduli terhadap
lingkungan sekitar perusahaan, yaitu dengan membantu masyarakat sekitar
perusahaan tersebut dengan memberikan bantuan kepada masyarakat berupa Dana
Punia (amal) ke tempat suci (pura) apabila ada upacara keagamaan yang ada di
lingkungan perusahaan tersebut.
Melihat aktifitas yang dilakukan oleh PT Bali Timur Mandiri dapat dikatakan
bahwa bentuk CSR yang diterapkan di perusahaan tersebut adalah dalam bentuk
Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai kegiatan amal
perusahaan. Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi dukungan finansial
dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh
kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang kegiatan bisnis
perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat menuai citra yang
positif (corporate image), seperti memberikan sumbangan pada upacara-upacara
keagamaan yang dilakukan di pura di sekitar perusahaan tersebut dalam bentuk dana
punia, bantuan berupa Pesawat Televisi kepada masyarakat, baju kaos, kemudian
sumbangan juga disampaikan ke sekolah Menengah Atas (SMA) apabila SMA
tersebut mengadakan pertandingan antar sekolah yang ada di Bangli. Jadi perusahaan
ini telah peduli terhadap lingkungan masyarakatnya, walaupun pimpinan perusahaan
tersebut masih merasa asing terhadap istilah CSR, namun dalam kenyataannya
158



semenjak perusahaan tersebut didirikan pada tahun 1996 telah peduli terhadap
lingkungannya.
Disamping melaksanakan CSR keluar perusahaan, PT Bali Timur Mandiri juga
melaksanakan CSR ke dalam perusahaan itu sendiri, yaitu dengan mengadakan
penataan tempat kerja, sehingga karyawan lebih betah dalam melaksanakan kerja,
sehingga profit yang diterima perusahaan bisa lebih banyak, disamping itu juga
diperhatikan kesejahteraan karyawan dan keluarganya.
Dana CSR dalam perusahaan ini terlepas dari dana promosi untuk perusahaan
yang bersangkutan. Dana CSR nya diambil dari keuntungan yang diterima oleh
perusahaan tersebut, sehingga besar kecilnya dana tersebut sangat tergantung dari
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut, sehingga tidak ada prosentase
tertentu dalam pelaksanaan CSR tersebut, tetapi pelaksanaan CSR di PT Bali Timur
Mandiri berkelanjutan sampai sekarang. (Wawancara dengan Bapak Oka Pradipta,
PIC PT Bali Timur Mandiri tanggal 2 Februari 2011).
Masih dalam daerah yang sama, penelitian juga dilakukan di PT Sumber Alam
Semesta yang bergerak dalam produksi dan penjualan Air Minum dengan Merek
Shita. Bentuk CSR yang diterapkan adalah dengan memberikan bantuan materiil ke
Pura (tempat suci agama Hindu) yang berupa produk dari perusahaan, yaitu berupa
air minum dalam bentuk box, disamping itu juga dalam bentuk dana (uang). Bantuan
juga diberikan kepada Yayasan Guru Kula, yayasan ini memelihara anak-anak yang
kurang mampu atau anak-anak yang terlantar. (Wawancara dengan Doddy Wirayoga,
Konsultan PT Sumber Alam Semesta, tanggal 2 Februari 2011)
159



CSR juga diberikan kepada masyarakat disekitar perusahaan, yaitu memberikan
air secara cuma-cuma kepada anggota masyarakat disekitar perusahaan atau air gratis
setiap hari untuk keperluan konsumsi. CSR juga rutin diberikan kepada Banjar
Bebalang, Banjar Petak, dan Banjar Kubu yang ada disekitar perusahaan. Prosentase
CSR yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar 3,5 % dari keuntungan yang
diterima oleh perusahaan tersebut.(Wawancara dengan Bapak Ketut Suyasa, Kepala
Produksi PT Sumber Alam Semesta tanggal 2 Februari 2011).
Kalau melihat pendapat Kotler dan Lee maka PT Sumber Alam Semesta dalam
pelaksanaan CSR mengambil bentuk Cause related marketing yaitu bentuk kontribusi
perusahaan dengan menyisihkan beberapa persen dari pendapatan yang diperoleh
perusahaan sebagai donasi bagi permasalahan sosial tertentu, untuk periode tertentu
atau produk tertentu.
Di samping itu bentuk CSR yang diterapkan adalah merupakan Kemitraan
antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Kemitraan ini
diwujudkan secara umum dalam program community development untuk membantu
peningkatan kesejahteraan umum masyarakat setempat dalam kurun waktu yang
cukup panjang, yaitu dengan memberikan sumbangan air minum secara berkelanjutan
setiap hari kepada masyarakat di lingkungan perusahaan. Melalui program ini,
diharapkan masyarakat akan menerima manfaat keberadaan perusahaan yang
digunakan untuk menopang kemandiriannya bahkan setelah perusahaan berhenti
beroperasi.
160



Di Kota Denpasar penelitian dilakukan di PT Federal Internasional Finance (PT
FIF). Dari beberapa responden perusahaan yang diwawancarai, baru PT FIF Cabang
Denpasar yang sudah membentuk bagian khusus di dalam manajemen perusahaannya
untuk menangani masalah CSR.
PT FIF Cabang Denpasar merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang
pembiayaan roda dua khususnya sepeda motor Honda, pembiayaan sepeda motor
bekas dan pembiayaan elektronik (spektra). Pelaksanaan CSR di PT FIF Cabang
Denpasar diharapkan akan terjadi keseimbangan antara ekspektasi bisnis, ekonomi,
dan sosial. Dengan pelaksanaan hal tersebut maka PT FIF akan mampu bersaing dan
sustainable bisnis akan tercapai. Di PT FIF penerapan CSR sangat sistematis karena
masalah CSR telah diatur oleh departemen tersendiri. PT FIF telah melaksanakan
CSR sejak tahun 2005 jadi sebelum diatur dalam UU PT 40 Tahun 2007, dan yang
berlaku di Indonesia pada saat itu, adalah UU No. 1 Tahun 1995
Bentuk CSR yang diterapkan di PT FIF adalah Pengelolaan lingkungan kerja
secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan lingkungan yang aman dan nyaman,
sistem kompensasi yang layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan
keluarganya.
Sebagai salah satu anak perusahaan Astra, FIF Cabang Denpasar sangat
menyadari bahwa karyawan merupakan salah satu asset yang sangat berharga bagi
perusahaan. Oleh karenanya pengeloaan SDM menjadi perhatian utama perusahaan
baik dari segi Knowledge & Skill sehingga apa yang menjadi visi dan misi perusahaan
dapat tercapai. Dengan terciptanya sikap saling toleransi dan menjaga kebersamaan
161



antar karyawan sangat diharapkan menjadi motor perusahaan dalam meraih
performance maksimal untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi.
Program yang dilakukan untuk memenuhi harapan stakeholder antara lain
meningkatkan kepedulian sosial karyawan dan keluarganya dengan kegiatan donor
darah, memotifasi semangat belajar anak-anak karyawan dengan bea siswa anak
karyawan, berkaitan dengan keselamatan kerja karyawan meliputi pelatihan
Argonomi, Safety Ridding, Safety Lifting, pelatihan pemadam kebakaran dan evakuasi
keadaan darudat. Kemudian untuk meningkatkan kerohanian karyawan dan
keluarganya dilakukan doa bersama ke pura dan buka puasa bersama. Dalam bidang
kesehatan secara rutin dilakukan karyawan melalui olah raga, dan selalu aktif dalam
POR ASTRA, peningkatan pengetahuan karyawan dilakukan dengan training dan
ilearning dan kegiatan Reward dan punishment juga sebagai bagian dari peningkatan
disiplin karyawan.
Bentuk CSR yang lain dari PT FIF adalah Penanganan kelestarian lingkungan
perusahaan sendiri, termasuk melakukan penghematan penggunaan listrik, air, kertas,
dan yang lainnya, sampai penanganan limbah akibat kegiatan perusahaan, agar tidak
mencemari lingkungan sekitar kantor, pabrik dan atau lahan.
Penentuan supplier FIF Denpasar dilakukan melalui proses tender, dimana pada
saat tender juga dilakukan review dan inspeksi langsung ke lokasi supplier, untuk
memastikan apakah supplier telah menerapkan LK3 dalam proses produksinya.
Dalam kaitan dengan Customer, PT FIF Cabang Denpasar selalu berusaha
memberikan pelayanan terbaik, terutama pada hari pelanggan, dengan memberikan
162



bingkisan pada beberapa konsumen yang beruntung, dan oleh karena konsumen PT
FIF adalah pengguna sepeda motor, maka kegiatan CSR diarahkan untuk
memberikan penyuluhan akan pentingnya keselamatan dalam bersepeda motor
dengan melakukan pembuatan SIM keliling.
Terhadap masyarakat disekitar perusahaan, PT FIF Cabang Denpasar dalam
upaya untuk memenuhi harapan stakeholder masyarakat sekitar perusahaan,
melakukan beberapa hal antara lain:
1. Donasi yang dilakukan di Ring 1 sampai dengan ring 3, yang meliputi:
a. Pemberian bea siswa kepada sekolah sekolah yang ada di sekitar perusahaan,
serta sumbangan Perpustakaan binaan PT FIF.
b. Support PT FIF dalam bidang kesehatan (pos yandu dan puskesmas).
c. Support dalam lomba menyanyi untuk anak sekolah dasar se kota Denpasar
d. Support untuk kegiatan anak-anak autis se Bali.
2. Donasi dalam kegiatan Aspek Pendekatan Budaya di ring 1 sampai 2, meliputi:
a. Melatih anak-anak karyawan belajar menari
b. Pentas budaya karyawan FIF Dps pada perayaan HUT FIF se Bali
c. Support penyelenggaraan lomba.
d. Menyumbang tempat sampah kepada Kepala Taman Budaya Art Centre
Denpasar dan Kepala Pesta Kesenian Bali (PKB) dan support kaos berlogo FIF
untuk pedagang di area PKB
3. Income Generated Activity (IGA) di ring 1, meliputi pembinaan dan
pengembangan usaha masyarakat di sekitar perusahaan yaitu dengan membantu
163



memberikan bantuan mesin Photo copy, dan pada saat sekarang telah mengalami
perkembangan dengan membuka out let di Jalan Setiabudi dan pada saat ini telah
memiliki 4 mesin photo Copy.
Bentuk CSR yang lain dari FIF adalah partisipasi terhadap lingkungan, yaitu
dengan menjaga lingkungan yang bersih dan sehat, karena hal ini sudah menjadi
komitmen seluruh karyawan FIF Denpasar. PT FIF secara konsisten melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan kebersihan lingkungan naik di kantor maupun di luar
kantor, melalui lomba kebersihan dan kerapian di meja kerja masing-masing
karyawan sampai sampai kerja bakti di sekitar lingkungan kantor, bahkan sampai
tempat-tempat umum, misalnya di Pura Jagatnatha, dan Wihara Budha, sambil
menyumbang tempat sampah.
Kegiatan konservasi lingkungan juga aktif dilakukan mengingat PT FIF sebagai
perusahaan yang bergerak dibidang pembiayaan sepeda motor, dimana sepeda motor
Honda di bilang ramah lingkungan dan hemat BBM, namun disadari sehemat apapun
hal tersebut tetap mencemari lingkungan hidup, oleh karena itu PT FIF Denpasar
tetap melakukan penghijauan sebagai salah satu tanggung jawab terhadap lingkungan
yang lestari. PT FIF berpasrtisipasi dalam konservasi Lingkungan Hidup dan
Penghijauan di Pulau Serangan pada hari Lingkungan Hidup, yang juga merupakan
program dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar.
PT Jabato Tour & Travel yang bergerak dalam bidang pariwisata yang khusus
menangani wisatawan Jepang, Pada intinya juga menerapkan tanggung jawab sosial
perusahaan. Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Roby Napitupulu Acc
164



Manager & General Affair PT Jabato mengatakan bahwa PT jabato secara rutin
memberikan sumbangan kepada Banjar yang ada di lingkungan kantor PT Jabato,
baik dalam hubungannya dengan upacara keagamaan, atau kegiatan yang dilakukan
oleh para pemuda dalam upaya untuk meningkatkan kreatifitas pemudanya, misalnya
kegiatan oleah raga, atau dalam rangka ulang tahun sekehe teruna teruni. Jadi
bentuknya berupa Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai
kegiatan amal perusahaan. Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi
dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang
dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang
kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat
menuai citra yang positif (corporate image)
Di samping itu PT Jabato juga menerapkan bentuk CSR yang lain, yaitu berupa
Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan
lingkungan yang aman dan nyaman, misalnya dengan pemasangan AC disetiap
ruangan, sehingga karyawan merasa nyaman dalam melaksanakan tugasnya sehari
hari. Disamping itu juga menerapkan sistem kompensasi yang layak dan perhatian
terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya.
Di Kabupaten Badung penelitian dilakukan di PT Asuna Bali yang beralamat di
Jalan BY Pas I. Gusti Ngurah Rai Nusa Dua. Perusahaan ini bergerak dalam bidang
property yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing yang berbentuk
Perseroan Terbatas,. Perusahaan ini dimotori oleh warga negara Jepang yang bernama
165



Norihiro Hayakawa sebagai Presiden Direktur, dan I Wayan Rajendra sebagai
Direktur.
Perusahaan ini berdiri pada tahun 2004 dan mulai melaksanakan CSR sejak
tahun 2005, sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007. PT Asuna Bali secara rutin
memberikan bantuan langsung kepada Yayasan Darus yang beralamat di daerah Nusa
Dua, kemudian bantuan juga diberikan kepada Panti Asuhan Harapan Anak (Hope
Children Home), kemudian juga memberikan bantuan kepada Panti Asuhan Darma
Jati, berupa makanan, pakaian, gula, beras. Kemudian dana CSR juga diberikan
kepada Panti Asuhan Tat Twam Asi.
Bantuan ini secara rutin diberikan setiap 3 bulan sekali, bahkan Presdir
mempunyai rencana untuk memberikan dana CSR nya kepada panti asuhan tersebut
setiap bulan tergantung pada keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut.
Presdir dari PT Asuna sangat tertarik terhadap CSR tersebut karena dalam usahanya
tersebut sangat berkaitan sekali dengan alam lingkungan dan masyarakat disekitar
perusahaan tersebut, yaitu dalam pembangunan property. Di samping itu PT Asuna
marketnya lebih banyak berorientasi kepada orang asing, sehingga penerapan CSR
sangat dirasakan sekali manfaatnya terhadap keberlangsungan perusahaan, baik
terhadap masyarakat lokal maupun masyarakat mancanegara.
Orang asing akan tertarik apabila perusahaan yang bersangkutan melaksanakan
CSR, karena hal tersebut dikatakan sebagai daya tarik baik untuk mendapatkan
tambahan modal ataupun pemasaran produk PT Asuna Bali tersebut. Oleh karena itu
PT Asuna sangat konsen dalam memberikan dana CSR kepada masyarakat. Jadi
166



bentuk CSR yang diterapkan disini lebih mengarah kepada tindakan amal perusahaan
terhadap lingkungan. (Wawancara dengan Norihiro Hayakawa Presdir PT Asuna Bali
tanggal 22 Februari 2011).
Bentuk CSR yang lain adalah berupa sumbangan dana kepada klub sepakbola
yang ada di daerah sekitar perusahaan, kemudian juga sumbangan kepada masyarakat
sekitar perusahaan, yaitu masyarakat di Mumbul, Nusa Dua. Sumbangan rutin setiap
tahun dapat berupa sumbangan kepada pemuda dalam menyambut perayaan Hari
Raya Nyepi yaitu sumbangan untuk membuat Ogoh- ogoh. Jadi kalau memakai
pendapat dari Kotler dan Lee sebenarnya PT Asuna telah melaksanakan Corporate
philantrophy yaitu inisiatif dari perusahaan dengan memberikan kontribusi langsung
kepada suatu aktivitas amal, baik dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai.
Menurut Direktur PT Asuna menyatakan merasakan manfaat dari pemberian
dana tersebut kepada masyarakat, salah satu manfaat yang dirasakan adalah dukungan
masyarakat akan keberlangsungan perusahaan tersebut sangat besar, sehingga
perusahaan merasa nyaman dalam melaksanakan aktifitasnya setiap hari.
Di samping itu kedalam perusahaan khususnya terhadap karyawan, PT Asuna
Bali melaksanakan CSR intern berupa penataan lingkungan kerja, sehingga para
karyawan merasa nyaman dalam melaksanakan tugas sehari hari, melakukan
penghematan listrik, misalnya pemakaian AC dalam waktu tertentu, penghematan
penggunaan kertas, serta peningkatan servis terhadap karyawan untuk waktu-waktu
tertentu, misalnya melakukan persembahyang bersama ke pura yang ada di Bali
terutama yang beragama Hindu, pemberian bonus pada waktu ulang tahun sebanyak
167



Rp.500.000 kepada setiap orang pegawai, perayaan Natal dan Tahun Baru.
(Wawancara dengan Bapak I Wayan Rajendra, tanggal 22 Februari 2011)
Di Kabupaten Badung penelitian juga dilakukan di PT 18 Jaya yang beralamat
di Jalan Sun Set Road No. 18 Kuta Badung. Perseroan Terbatas ini didirikan pada
tahun 2003 dan bergerak dalam bidang Property, khususnya dalam penjualan Vila
dan juga perumahan. Wawancara yang dilakukan dengan Manajer PT 18 Jaya pada
tanggal 25 Februari 2011 pada intinya Direktur PT 18 Jaya belum begitu akrab
dengan istilah CSR, tetapi di sisi lain PT ini sudah secara rutin melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaannya kepada masyarakat sekitar perusahaan, ataupun
masyarakat disekitar proyek yang sedang dibangun. CSR yang diberikan kepada
masyarakat dapat berupa uang atau dana, atau dapat juga beruapa barang-barang yang
sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat, misalnya sumbangan seperangkat
computer kepada sekolah yang ada di sekitar proyek perusahaan. Dana CSR juga
dalam bentuk yang lain yaitu memberikan sumbangan kepada pura(tempat suci)
dalam bentuk dana punia yang dilakukan secara rutin, baik terhadap pura yang ada di
sekitar perusahaan, maupun pura yang ada di kabupaten yang lain, misalnya di Pura
Batur Sari yang ada di Kabupaten Tabanan.
Di samping sumbangan diberikan ke pura-pura yang berupa dana punia yang
berhubungan dengan Ketuhanan, dana CSR juga disalurkan untuk kepentingan
kemanusiaan, misalnya memberikan sumbangan kepada panti asuhan yang ada di
Denpasar atau di Kabupaten Badung, kemudian memberikan sumbangan hari raya
kepada masyarakat sekitar, dan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar
168



perusahaan, maka PT 18 Jaya mengajak anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi
dalam pemasaran Vila atau perumahan yang menjadi proyek perusahaan, apabila ada
anggota masyarakat yang mampu untuk menjual Vila atau rumah yang dibikin oleh
PT 18 Jaya maka diberikan prosentase dari penjualan vila tersebut, dan hal ini
dilakukan secara berkelanjutan dimana PT 18 Jaya membangun Vila atau perumahan.
Kemudian dalam merekrut karyawan PT 18 Jaya berusaha untuk mengangkat warga
dari sekitar proyek yang sedang ditangani, misalnya sebagai Satuan Pengaman
(Satpam) Vila atau perumahan yang dikembangkan.
Dalam hubungan dengan lingkungan PT 18 Jaya melakukan penataan
lingkungan di sekitar Vila atau perumahan, kemudian membantu masyarakat apabila
ada bencana baik yang ada di Bali atau di luar Bali, misalnya memberikan bantuan
terhadap korban Gunung Merapi, dan untuk menjaga keamanan khususnya di
pedesaan, PT 18 Jaya memberikan bantuan sebuah Mobil Kijang kepada Desa
Pakraman Pecatu Ungasan untuk menjaga keamanan desa (jaga baya). (Wawancara
dengan A.A Ketut Trisna Guna, Manager PT 18 Jaya, tanggal 28 Februari 2011).
PT 18 Jaya memisahkan antara dana promosi dengan dana CSR, dan tidak ada
standar tertentu untuk memberikan dana CSR kepada masyarakat, sangat tergantung
terhadap keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan, tetapi penyaluran dana CSR
tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan Presdir PT 18 Jaya sangat
memegang konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan baik di perusahaan maupun
dalam kehidupan pribadinya, dimana hubungan manusia dengan Tuhan, dengan
manusia dan dengan lingkungan harus dilakukan secara seimbang, sehingga dalam
169



memberikan dana CSR kepada masyarakat selalu diperhatikan keseimbangan
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan
hubungan manusia dengan alam lingkungan, sehingga terjadi keseimbangan
kehidupan, apabila telah tercapai keseimbangan tersebut, maka keberlangsungan
kehidupan perusahaan bias dicapai. (Wawancara dengan A.A Ketut Trisna Guna,
Manager PT 18 Jaya, tanggal 28 Februari 2011).
Di samping memberikan dana CSR ke masyarakat (CSR extern) PT 18 Jaya
juga melakukan CSR intern, yang hampir sama dengan dengan perusahaan yang ada
di kabupaten yang lain sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan sebelumnya,
misalnya melakukan penataan terhadap penggunaan listrik, yang sebelumnya listrik
menyala 24 jam di kantor, sekarang dikurangi tergantung pada keperluan dari
perusahaan.
Di Daerah Gianyar penelitian di lakukan di PT BPR Suadana yang beralamat
di Desa Pakraman Celuk Sukawati Gianyar. PT BPR Suadana didirikan pada tahun
1996, tepatnya pada tanggal 10 Juni 1996. Pada intinya Direktur Utama (Dirut) PT
BPR Suadana masih asing terhadap istilah tanggung jawab sosial perusahaan yang
diatur dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Setelah diberikan penjelasan lebih lanjut
tentang keberadaan UU No. 40 Tahun 2007 serta pemahaman tentang CSR, ternyata
PT BPR Suadana sudah sejak dari pendiriannya melaksanakan CSR kepada
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari pola hidup dan pola pikir dari masyarakat adat
yang ada di Bali.
170



Menurut Dirut PT BPR Suadana menyatakan alau sampai menolak untuk
memberikan sumbangan kepada anggota masyarakat, apabila ada anggota masyarakat
yang datang ke kantor untuk meminta sumbangan baik untuk kepentingan agama
(berupa dana punia) atau untuk kepentingan kemanusiaan, misalnya sumbangan
untuk pelaksanaan lomba, yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun oleh
pemuda Banjar Abasan Singapadu Gianyar. Sumbangan yang lain diberikan untuk
keperluan pelaksanaan Kejuaraan Volly Merpati Cup yang diselenggarakan oleh
Pemuda di Desa Singapadu.
Dana CSR yang bersifat tetap dilakukan oleh PT Bank Suadana adalah
memberikan bantuan dana pendidikan 5% dari keuntungan perusahaan kepada anak-
anak karyawan PT BPR Suadana, hal ini dilakukan untuk menggali potensi yang
dimiliki oleh anak anak karyawan, sehingga anak-anak bisa berlomba untuk
mendapatkan dana tersebut.
PT BPR Suadana tidak memiliki bagian khusus yang menangani tentang CSR,
walaupun demikian jauh sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 PT BPR
Suadana sudah peduli terhadap masyarakat dan lingkungan, yang dikenal pada saat
sekarang dengan sebutan CSR. Dana CSR di PT BPR Suadana tidak terpisah dengan
dana promosi, jadi dilaksanakan secara bersama-sama tanpa melihat situasi
perusahaan, sepanjang perusahaan masih bisa eksis, maka sumbangan tetap
dilaksanakan, hal ini menandakan kesadaran hukum PT BPR Suadana cukup tinggi
kepeduliannya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Dari penelitian yang telah dilakukan tersebut diketahui bahwa perusahaan
171



dalam melaksanakan usahanya tidak hanya berorientasi kepada keuntungan semata-
mata, tetapi juga peduli terhadap masyarakat , dan alam lingkungan yang ada
disekitar perusahaan, sehingga pendapat Milton Friedmen yang menyatakan bahwa
tujuan utama perusahaan adalah semata-mata mencari keuntungan (profit) bukan
merupakan budaya masyarakat Bali, dan semua responden dalam melaksanakan CSR
tersebut sesuai dengan teori yang diajukan oleh John Elkington pada tahun 1997 teori
triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social
justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus
memperhatikan 3P. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus
memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan
turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
130

Perusahaan dalam kegiatan usahanya dengan mengharmonisasikan aspek
ekonomi, lingkungan dan masyarakat akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu
sendiri. Dalam teori ini dapat dijabarkan tiga unsur yang ada didalamnya yaitu:
1. Profit (Keuntungan)
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi fokus utama dari setiap
kegiatan usaha. Tak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan
adalah mengejar keuntungan atau meningkatkan harga saham setinggi-tingginya baik
secara langsung ataupun tidak langsung. Inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang
paling utama terhadap pemegang saham.


130
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit. hal. 33.
172



Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat
digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas
yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan
produktivitas dan melakukan efesiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai
keunggulan yang kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal
mungkin.
2. People (Masyarakat)
Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu
stakeholder penting perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat
diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan,
maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan,
perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-
besarnya kepada masyarakat. Selain itu juga perlu disadari bahwa operasi perusahaan
berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar, karenanya pula
perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan
masyarakat.
Memang tak bisa dipungkiri adanya anggapan bahwa tanggung jawab sosial
bukanlah aktivitas utama pelaku bisnis. Fokus utama bisnis adalah mendongkrak
laba. Namun diyakini, penganut aliran pemikiran ini kian sedikit karena tidak masuk
akal dan tidak sesuai kenyataan. Dampak yang diakibatkan bisnis kepada masyarakat,
173



juga perlu diantisipasi dan diperhitungkan.
131

Pemikiran yang hanya memfokuskan perusahaan pada peningkatan laba untuk
masa sekarang tidak relevan lagi, karena kondisi keuangan saja tidak cukup
menjamin nilai perusahaan tumbuh secara keberlanjutan (sustainable). Keberlanjutan
perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi terkait
lainnya termasuk dimensi sosial.
Menghadapi tren tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi
sosial, dari setiap aktivitas bisnisnya, karena aspek tersebut bukanlah suatu pilihan
yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan
operasi perusahaan.
3. Planet (Lingkungan)
Unsur ketiga yang perlu diperhatikan juga adalah planet atau lingkungan. Jika
perusahaan ingin eksis dan akseptabel maka harus disertakan pula tanggung jawab
kepada lingkungan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Hubungan
manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana jika manusia
merawat lingkungan maka lingkungan pun akan memberikan manfaat kepada
manusia.


131
Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit., hal. 34.
174



Berpijak dari teori Triple Bottom Line (3BL) yang kemudian oleh John
Elkington diumpamakan menjadi triple P (3P) yakni profit, people dan planet. Ketiga
komponen itu saling terkait satu sama lainnya. Apabila salah satu komponen
ditinggalkan, maka akan menimbulkan berbagai dampak sosial, ekonomi dan
lingkungan. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus mengubah paradigmanya
menjadi corporate image. Sehingga akan berdampak pada jaminan kelangsungan dan
keberlanjutan aktivitas usaha suatu perusahaan.
Teori Triple Bottom Line (3BL) yang dipopulerkan dengan istilah 3 P,
nampaknya sangat relevan sekali apabila dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana
yang terdapat di Bali, khususnya P yang kedua yaitu people (masyarakat) berkaitan
erat dengan unsur pawongan dalam Tri Hita Karana, dan P yang ketiga adalah planet
(lingkungan) sangat berkaitan erat dengan unsur Palemahan.
Dari hasil Penelitian yang dilakukan ternyata pengembangan CSR yang
dilakukan oleh perusahaan yang ada di Bali semua mengkaitkan dengan konsep Tri
Hita Karana tersebut. Bentuk CSR yang dilakukan oleh perusahaan di Bali pada
umumnya dilakukan secara langsung oleh perusahaan yang bersangkutan, kemudian
dalam melaksanakan CSR tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk unsur
Parahyangan dilakukan dengan melakukan dana punia ke pura pura (persembahan
berupa uang ke tempat suci umat Hindu), kemudian unsur Pawongan dilaksanakan
dengan memberikan bantuan atau berupa sumbangan ke masyarakat, baik untuk
kepentingan kelembagaan, maupun untuk kegiatan yang bersifat sosial, dan unsur
Palemahan dilakukan dengan melakukan penanaman pohon atau penataan lingkungan
175



yang ada di sekitar perusahaan tersebut.
Konsep CSR yang pada awalnya muncul di negara barat pada intinya hanya
menekankan pada dua hal pokok, yaitu peduli terhadap masyarakat sekitar dan
terhadap lingkungan. Penelitian yang dilakukan di Bali menunjukkan adanya
perbedaan implementasi CSR, dimana perusahaan dalam melaksanakan CSR bukan
hanya berorientasi pada masyarakat dan lingkungan (People dan Planet ) tetapi ada
satu hal yang tidak ditekankan di negara barat adalah masalah ketuhanan, yang kalau
di Bali mendapat perhatian yang paling utama. Kalau mengkaji kepada Pasal 74 ayat
(1) UU PT, CSR yang diikuti berorientasi pada konsep CSR yang terdapat di negara
barat. Sedangkan disisi lain konsep kehidupan yang ada di Bali mengarah kepada tiga
hal, yaitu ketuhanan, manusia dan lingkungan. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk
masa yang akan datang bagaimana konsep ketuhanan yang ada di Bali bisa masuk
dalam salah satu unsur dari CSR yang berlaku di Indonesia, sehingga dalam
pelaksanaan CSR tersebut sangat harmonis dengan konsep Tri Hita Karana yang ada
di Bali.
Disinilah pentingnya peran hukum sebagai mekanisme integrasi, seperti yang
diajukan oleh Talcot Parson. Indonesia yang dikenal sebagai Negara religius di dunia,
hendaknya mempunyai satu konsep tersendiri yaitu konsep CSR Indonesia, dengan
memasukkan unsur agama ke dalam konsep CSR, sehingga dalam memberlakukan
UU PT tersebut sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia dan masyarakat adat
Bali pada khususnya. Sarana untuk mengintegrasikan kepentingan tersebut adalah
hukum.
176



Parson menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial
yang lebih besar. Disamping hukum terdapat sub-sistem yang lain yang mempunyai
logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sistem yang dimaksud adalah budaya,
politik, dan ekonomi.
Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh
karena itu mesti dipertahankan. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan
main bersama (rule of the game) dan fungsi utama sub system ini adalah
mengkordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main.
Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Sedangkan ekonomi
menunjuk pada sumber daya materiil yang dibutuhkan menopang hidup sistem.
Posisi hukum begitu sentral disini. Hukum harus mampu menjinakkan susb-sub
sistem yang lain agar bisa berjalan sinergis tanpa saling berbenturan. Setiap sub
sistem mempunyai logika, mekanisme dan tujuan yang berbeda. Disatu sisi sub
sistem budaya cendrung konservatif serta mempertahankan pola-pola ideal yang
terdapat di masyarakat. Masyarakat terkadang kurang memahami makna dari
penerapan CSR, dan sering menimbulkan benturan dalam masyarakat. Contoh
masyarakat minta sumbangan yang cukup besar kepada perusahaan dengan suatu
anggapan bahwa itu hak dari masyarakat untuk mendapat sumbangan itu, dan
perusahaan wajib untuk membayarnya.
Pada sisi lain, sub sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan
terobosan-terobosan baru yang bisa saja asing dan liar dari ukuran pola-pola ideal
budaya. Dari sisi ekonomi tujuan perusahaan yang utama adalah mencari keuntungan
177



yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya, dan hal itu
merupakan prinsip yang bersifat universal di dunia. Tetapi dalam hubungan
masyarakat adat di Bali prinsip tersebut tidak berlaku secara utuh demikian juga
perkembangan pola pikir yang terjadi pada saat sekarang sudah menggeser pemikiran
tersebut dengan lahirnya konsep CSR ini. Perusahaan mau memperhatikan
masyarakat, lingkungan sekitar perusahaan untuk ikut memberikan kontribusi dari
keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Sedangkan sub sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk mencapai
tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan
realitas sumberdaya materiil itu.
Keadaan yang rentan benturan tersebut harus ditangani oleh hukum lewat
fungsi pengintegrasiannya agar setiap sub sistem berjalan serasi dan sinergis demi
lestarinya sistem. Perusahaan mau peduli terhadap masyarakat sekitar perusahaan
tersebut, kemudian masyarakat ikut menjaga keberlangsungan perusahaan tersebut,
sehingga terjadi adanya keharmonisan antara perusahaan dengan masyarakat. Oleh
karena itu Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem.
Hidup matinya sebuah masyarakat ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap sub-
sistem sesuai tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukumlah yang ditugaskan
menata keserasian dan gerak sinergis dari tiga susb-sistem yang lain itu.



178



BAB V
PENUTUP


5.1 Simpulan.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, maka
dapat diajukan simpulan sebagai berikut:
1. Model atau pola CSR yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di
Bali pada umumnya adalah CSR dilaksanakan secara langsung oleh perusahaan.
Perusahaan melaksanakan program CSR secara langsung dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke
masyarakat tanpa perantara dengan tetap berorientasi pada tiga hal yaitu
parahyangan, pawongan dan palemahan.
2. Bentuk CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan yang berbentuk PT yang ada di
Bali adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan
lingkungan yang aman dan nyaman(unsur palemahan), sistem kompensasi yang
layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya (unsur
pawongan)
b. Kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal.
Kemitraan ini diwujudkan secara umum dalam program community
179



development untuk membantu peningkatan kesejahteraan umum masyarakat
setempat dalam kurun waktu yang cukup panjang dan hal ini merpakan
realisasi dari unsur pawongan.
c. Penanganan kelestarian lingkungan perusahaan sendiri, termasuk melakukan
penghematan penggunaan listrik, air, kertas, dan yang lainnya, sampai
penanganan limbah akibat kegiatan perusahaan, agar tidak mencemari
lingkungan sekitar kantor, pabrik dan atau lahan (unsur palemahan)
d. Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai kegiatan amal
perusahaan yang pada dasarnya diarahkan pada tiga hal, yaitu dana punia ke
parahyangan, amal sesama manusia (masyarakat) dan pada lingkungan alam
(unsure palemahan). Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi
dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan
yang dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan
menunjang kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi
sosial akan dapat menuai citra yang positif (corporate image).
5.2 Saran.
1. Perlu diadakan sosialisasi lebih intensif tentang berlakunya UU No. 40 Tahun
2007 khususnya tentang pemahaman CSR, karena masih banyak para
pengusaha yang belum mengetahui tentang tanggung jawab sosial perseroan,
tetapi mereka sudah melaksanakan prinsip CSR yang sesuai dengan pola
hidup masyrakat adat di Bali.
180



2. Untuk lebih mengefektifkan berlakunya UU PT khususnya ketentuan tentang
CSR, Pemerintah agar segera menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang
tanggung jawab sosial perseroan (CSR) agar setiap dan semua pengusaha
mempunyai kepastian hukum di dalam melaksanakan hak dan kewajibannya
secara seimbang dan harmonis berdasarkan konsep Tri Hita Karana untuk
menciptakan iklim bisnis yang sehat.
3. Disarankan kepada para pengusaha untuk membentuk departemen khusus
tersendiri yang bertugas menjalankan CSR sehingga upaya ini dapat
dilakukan dengan fokus dan terarah dan bantuan yang diberikan tersebut
benar-benar bermanfaat bagi masyarakat disekitar perusahaan.












181



DAFTAR PUSTAKA

I. Buku
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Abdul Rasyid Saliman, et al., 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan
Contoh Kasus, Jakarta, Penerbit Kencana.

Adi Sulistiyono, 2008, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, Dan Paradigma Moral,
Penerbit Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan
Percetakan UNS (UNS Press), Surakarta.

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit
Harvarindo.

Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Adiministrasi Negara, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit
Mandar Maju.

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y.Hage, 2010, Teori Hukum, Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Yogyakarta

Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Bryan A Garner, 1999, Blacks Law Dictionary, Seventh Edition, West Publicing
C.O,

Chidir Ali,1997, Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia,
Jakarta : Pradnya Paramita.

Cornelius Simanjutak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta, Penerbit
Sinar Grafika.

182



Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Fiksafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya
Paramita.

Dwi Kartini, 2008, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability
Management dan Implementasi di Indonesia, Malang: In-Tans Publishing.

Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Governnance, Yogyakarta,
Genta Press

Friedman, Lawrence.M, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, New York,
Russel Sage Foundation

Geoffrey Sawer, 1980, Law In Society, Butterworth & Co (Publishers) Ltd

Gunawan Widjaja, 2008, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT,
Penerbit Forum Sahabat

Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab
Sosial Perseroan Terbatas, Bandung, Penerbit Mandar Maju.

Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT
Tatanusa.

Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, Percetakan Turbo

Hendra Setiawan Boen,2008, Bianglala Business Judment Rule, Jakarta, Tatanusa.

Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Sosial Responsibility, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta.

Hilman Hadikusuma. H, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Penerbit Im
Trans Publishing.

Ismail Solihin, 2008, Corporate Social Responsibility From Gharity to
Sustainability, Bandung, Salemba Empat.

183



Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan
Hukum, Penerbit Refika Adi Tama, Bandung.

Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia
Modern, Bandung, Penerbit Refika Adi Tama.

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan antara DPRD
dan Kepala Daerah, Bandung, Alumni.

Kaler, I. Gusti Ketut, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar,
Penerbit Kayu Mas Agung.

Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance,
Yogyakarta, Penerbit Total Media.

Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit
PT Gramedia

Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar
ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta.
Mardjono Reksodiputro, 2005, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum
Dalam Kaitan Dengan HAM, Penerbit Refika Aditama.

Mirsha, I Gusti Ngurah, 1994,Wrhaspati Tatwa, Penerbit Upada Sastra.

Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Emperis, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Belajar.

Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, 2008, CSR untuk Penguatan Kohesi
Sosial,Jakarta, Indonesia Business Links

Munir Fuady, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti.

Otje Salman, 2008, Teori Hukum, Penerbit Reflika Aditama

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Kencana.

184



Peter Van Den Bossche, 2008, The Law And Policy of the Word Trade Organization,
Cambridge University Press

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, PT Bina
Ikmu , Surabaya.

Purwita, Ida Bagus Putu, 1995, Butir-Butir Mutiara Pembinaan Desa Adat Di Bali,
Denpasar, MPLA Dati I Bali

Raka, I Gusti Putu, cs, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup,
Denpasar MPLA Dati I Bali

Saidi, Zaim, 2002, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta, Penerbit Piramida.

Salam, Baharuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial
Manusia, Jakarta, Renika Cipta

Sentosa, Mas Achmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta,:
ICEL.

Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar
Maju

Siahaan,N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Pancuran Alam.

Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.

Suharto, Edi, 2007, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri Memperkuat Tanggungjawab Sosial
Perusahaan/Corporate Sosial Responsibility), Bandung, Penerbit Reflika Aditama.

Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam
Masyarakat:Studi Kasus Empat Perusahaan, Jakarta, Penerbit YAPPIKA,
IDSS

Susanto. AB, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan Strategic
Management Dalam CSR Jakarta, Erlangga Group.

Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika

Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, JakartaPenerbit
Rajawali

185



------------------------, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali, Jakarta.

------------------------, 1985, Efektiviras Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung,
Penerbit Remaja Karya,

-------------------------, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Sri Rejeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Penerbit Mandar Maju,
Bandung.

Syarip Hidayat, 2008, Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi
Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Jakarta,
Penerbit Sinar Grafika.

Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon
NSW.

Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social
Responsibility, Penerbit Salemba Empat.

Zainuddin Ali,2008, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.


II. Peraturan Perundang- undangan.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Bali Tahun 2009-2029


Makalah.

Legawa I. Made, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar
Pembangunan Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Propinsi Bali Dengan Universutas Mahasaraswati
Denpasar
186




Robert Khuana, 2009, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Tuntutan dan
Kenyataan, Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di
Indonesia, tanggal 16 November 2009.

Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2009, A Hybrid Framework Suatu Alternative Pendekatan CSR
(Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, Makalah Dalam DISEMINASI
REKOMENDASI BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi
Hukum Nasional RI dengan FH UNUD BALI, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November
2009.

Suryatin Lijaya, 2009, CSR (Corporate Social Responsibility) Dalam Peraturan
Perundang-undangan , Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan
Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November 2009.

Wiryawan I Wayan, 2009, Makalah Tanggapan/komentar atas penyaji rekomendasi
dari Mardjono Reksodiputro, tanggal 16 Nopember 2009



Internet

Gail Thomas, 2006, Corporate Social Responsibility, A Difinision.
http://www.business.curtin.edu.au/files/GSB_Working_Paper_No._62_

Yanti Triwadiantini Koester, 2007, Corporate Social Responsibility in Indonesia,
http://www. asean foundation .org/seminar/paper.














187



DAFTAR RESPONDEN


1. N a m a : I Ketut Suyasa
Umur : 46 Tahun
Jabatan : Kepala Produksi
Perusahaan : PT Sumber Alam Semesta Bangli.
Alamat : Jalan LC Aya Bangli.
2. N a m a : Dody Wirayoga
Umur : 27 Tahun
Jabatan : Konsultan
Perusahaan : PT Sumber Alam Semesta Bangli.
Alamat : Jalan Kartini Klungkung.
3. N a m a : Oka Pradipta
Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Jabatan : Direktur PT Bali Timur Mandiri Bangli.
Alamat : Jalan Gunung Agung Gang II/26 Denpasar.
4. N a m a : Ani Fanawatie
Umur : 50 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Jabatan : Branch Manager PT Federal International Finance
188



Alamat : Jalan Gatot Subroto No. 18 D Denpasar.
5. N a m a : I Made Alit Putrawan
Umur : 43 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Jabatan : Inventory General Support Section Head PT Federal International
Finance
Alamat : Jalan Gatot Subroto No. 18 D Denpasar.
6. N a m a : Roby Nugroho
Umur : 50 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Jabatan : Branch Manager PT Jabato Tour & Travel
Alamat : Jalan Irawadi Perum Grahalia II No.3 Denpasar.
7. N a m a : Wayan Rajindra
Umur : 40 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Jabatan : Direktur PT Asuna International
Alamat : Jalan Raya Pemogan Gang Dewi Sri No.9 Denpasar
8. N a m a : I. Ketut Sandi. SH.MM
Umur : 58 Tahun
Pekerjaan : Pegawai Negeri
Jabatan : Direktur Utama PT BPR Suadana Gianyar
Alamat : Jalan Raya Celuk Sukawati Gianyar
189



9. N a m a : A.A Ketut Trisna Guna.
Umur : 35 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Jabatan : Manager PT 18 Jaya Kuta Badung
Alamat : Jalan Sun Set Road No.18 Kuta Badung
































190

Anda mungkin juga menyukai