LI Memahami dan menjelaskan Hipertensi dalam kehamilan
1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan yang berkelanjutan dalam tekanan darah yaitu 140/90 mm Hg. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa hingga 73% dari pasien primipara mengalami peningkatan tekanan diastolik dalam darah yaitu 15 mm Hg di beberapa titik selama kehamilan normotensif tanpa peningkatan outcomes. Hal ini merugikan namun, disarankan bahwa setiap wanita hamil dengan kenaikan tekanan sistolik dalam darah 30 mm Hg atau tekanan darah diastolik dari 15 mmHg harus dimonitor secara seksama. 1.2 Klasifikasi Hipertensi Selama Kehamilan Menurut American College of Obstetri dan Ginekologi, hipertensi selama kehamilan telah diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut: 1. Hipertensi kronis. 2. Hipertensi gestational. 3. Preeklamsia-eklamsia. 4. Preeklamsia-eklamsia yang dihubungkan pada hipertensi kronis.
1. Hipertensi kronis Hipertensi kronis didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dari 140 mm Hg atau tekanan darah diastolik dari 90 mm Hg sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu kehamilan, atau hipertensi yang bertahan selama lebih dari 12 minggu pasca melahirkan. Hipertensi diklasifikasikan sebagai ringan ketika tekanan darah dalam kisaran, untuk sistolik 140-159 mmHg dan 90-99 mm Hg untuk diastolik. Hipertensi parah adalah hipertensi dengan tekanan darah 160/100 mmHg dan berkaitan dengan akhir kerusakan pada organ. Epidemiologi Diperkirakan bahwa 3% dari wanita hamil di negara Amerika mempunyai hipertensi kronis. Prevalensi hipertensi secara mencolok tinggi di antara perempuan kulit hitam (44%), serta perempuan yang lebih tua (12,6% sampai di usia 35 sampai 44 tahun). Penyebab Penyebab utama dari hipertensi kronis adalah esensial hipertensi atau hipertensi primer (90%), sedangkan penyebab hipertensi sekunder untuk sisanya (10%). Hipertensi sekunder mungkin karena penyakit ginjal seperti glomerulonefritis, stenosis arteri ginjal, penyakit pembuluh darah kolagen (lupus, skleroderma), gangguan endokrin atau (tirotoksikosis, pheochromocytoma, hiperaldosteronisme).
Perubahan patofisiologi Hipertensi kronis Tidak seperti adaptasi kehamilan normal, hipertensi kronis di wanita hamil yang ditandai dengan resistensi pembuluh darah tetap tinggi. Indeks resistensi pembuluh darah sistemik hipertensi kronis dan gelombang kecepatan nadi tetap tinggi selama kehamilan dibandingkan dengan seluruh kehamilan yang sehat. Arteri kaku (yang diukur dengan rasio indeks stroke tekanan nadi), bagaimanapun, adalah kurang dalam kronis hipertensi dibandingkan dengan subyek preeklamsi.
Komplikasi Hipertensi kronis Hipertensi kronis pada kehamilan dikaitkan dengan peningkatan kerugian yang terjadi pada ibu dan janin seperti melapis preeklamsia, kematian perinatal, lepasnya plasenta, bayi lahir rendah, pembatasan pertumbuhan berat badan, dan intrauterin (IUGR). Diperkirakan bahwa sekitar 10% sampai 25% dari wanita hamil dengan hipertensi yang sudah ada sebelumnya mengalami preeklamsia. Dalam sebuah retrospektif besar kohort (penelitian), wanita dengan hipertensi yang sudah ada sebelumnya lebih berisiko preeklamsia berat sebanyak 2,7 kali lipat dibandingkan dengan wanita hamil tanpa hipertensi sebelumnya. Risiko ini bahkan lebih tinggi pada wanita dengan hipertensi yang sudah ada sebelumnya yang parah serta hipertensi yang tidak terkontrol atau pada wanita yang mempunyai penyakit kardiovaskular dan ginjal. Diagnosis preeklamsia dapat dihubungkan pada pasien hipertensi yang sudah ada dengan proteinuria. Namun, tiba-tiba meningkat menjadi 3 kali lipat peningkatan proteinuria, tekanan darah akut seiring dengan keterlibatan sistem organ lain. Preeklampsi harus dibawah perhatian dokter. Hipertensi kronis dan proteinuria, terlepas dari pengembangan preeklamsia, terkait dengan sekitar 3-kali lipat peningkatan kejadian prematur pengiriman (35 minggu kehamilan) dan bayi yang kecil untuk usia kehamilan. Preeklampsia juga pada wanita hamil dikaitkan dengan kejadian lepasnya plasenta dan kematian perinatal yang lebih tinggi.
Manajemen Hipertensi Kronis Tekanan darah yang optimal selama kehamilan masih belum diketahui dan tetap kontroversial. Menurut Laporan Ketujuh Bersama Komite Nasional Pencegahan, Deteksi, Evaluasi, dan Pengobatan Tekanan Darah Tinggi (JNC 7) melaporkan, ada linier peningkatan morbiditas kardiovaskular dari tingkat tekanan darah rendah yaitu 115 mm Hg untuk sistolik dan diastolik 75 mm Hg ke atas. Ini telah dimasukan oleh 7 JNC dalam klasifikasi baru prehipertensi untuk tekanan darah dalam kisaran 120-139/80-89 mmHg. Tujuan mengobati hipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas kardiovaskular, namun efek yang paling diamati pada pengobatan yaitu mencapai pengurangan berkelanjutan dalam tekanan darah lebih dari 10 tahun. Wanita hamil dengan hipertensi ringan berbeda, bahwa manfaat pengobatan antihipertensi jangka pendek tidak mendefinisikan dengan baik sebagai hasil potensial yang merugikan terhadap janin. Tidak ada bukti yang meyakinkan pengobatan medis untuk hipertensi ringan meningkatkan hasil ibu pada kehamilan. Selain itu, penggunaan obat-obatan pada hipertensi ringan selama kehamilan dapat menyebabkan penurunan yaitu adanya tekanan arteri dengan peningkatan risiko janin yang membatasi pertumbuhan, terlepas dari jenis antihipertensi yang digunakan. Dengan demikian, rekomendasi saat ini adalah bahwa obat antihipertensi dimulai sebelum kehamilan harus disesuaikan dengan darah yang memadai untuk mengontrol tekanan darah dan untuk menghindari risiko teratogenik. Wanita hamil dengan hipertensi ringan (159/99 mm Hg) dan bukan pada obat-obatan harus tetap diamati, obat tidak boleh dimulai kecuali tekanan darah 159/99 mm Hg berlanjut, atau ada kejadian kerusakan organ. Pemantauan tekanan darah yang intensif dan pengobatan antihipertensi dalam kasus ini adalah untuk mengurangi risiko kecelakaan ke pembuluh darah di otak.
2. Hipertensi gestasional Hipertensi kehamilan ini berlaku untuk wanita sudah memasuki trimester dua kehamilan, dengan tidak adanya proteinuria. Ini mungkin termasuk pasien yang kemudian berkembang menjadi preeklamsia, tetapi yang pada saat di diagnosis belum ada proteinuria. Kejadian ini biasanya mempengaruhi wanita dalam waktu dekat, meskipun hipertensi yang bentuknya parah yang timbul sebelumnya. Ketika hal ini terjadi, preeklamsia biasanya mengikuti segera. Etiologi hipertensi kehamilan adalah tidak jelas, meskipun tampaknya untuk mengidentifikasi wanita ditakdirkan untuk mengembangkan hipertensi esensial di kehidupan nanti. Tekanan darah kembali ke normal segera setelah melahirkan, tetapi kekambuhan mungkin terjadi pada kehamilan berikutnya. Sering kali diagnosis hipertensi gestasional yang benar hanya dapat dilakukan setelah melahirkan, ketika jelas bahwa pasien tidak dikembangkan preeklamsia. Dan jika pasien hipertensi berlanjut, dia dianggap telah hipertensi kronis. Penatalaksanaan Hipertensi Gestasional Penatalaksanaan hipertensi gestasional perlu dilakukan dengan tujuan untuk mencegah jangan sampai berlanjut menjadi eklamsia yang akan menimbulkan kelainan serius pada ibu dan mengganggu kehidupan serta kesehatan janin dalam rahim. Bila didapatkan hipertensi dalam kehamilan sebaiknya segera dipondokkan saja dirumah sakit dan diberikan istirahat total. Istirahat total akan menyebabkan peningkatan aliran darah renal dan utero placental. Peningkatan aliran darah renal akan meningkatkan diuresis (keluarnya air seni), menurunkan berat badan dan mengurangnya oedema. Pada prinsipnya penatalaksanaan hipertensi ditujukan untuk mencegah terjadinya eklamsia, monitoring unit feto-placental, mengobati hipertensi dan melahirkan janin dengan baik.
Kiat Menurunkan Tekanan Darah A. Turunkan Kelebihan Berat Badan Diantara semua faktor resiko yang dapat dikendalikan, berat badan adalah salah satu yang paling erat kaitannya dengan hipertensi. Dibandingkan dengan orang yang kurus, orang yang gemuk (kelebihan berat badan) lebih besar peluangnya terkena hipertensi (Edward Price, M.D). B. Olahraga Olahraga sangat bermanfaat bagi kesehatan kardiovaskuler. Gerak fisik hingga taraf tertentu dibutuhkan tubuh untuk menjaga mekanisme pengatur tekanan darah agar tetap bekerja sebagaimana mestinya. Olahraga yang disarankan untuk ibu hamil seperti senam hamil, renang, atau gerakan statis (seperti berjalan kaki). C. Diet 1. Mengurangi asupan garam Seperti kasus hipertensi pada umumnya, pada penderita hipertensi gestasional pengurangan asupan garam dapat menurunkan tekanan darah secara nyata. Umumnya kita mengkonsumsi garam lebih banyak garam daripada yang dibutuhkan oleh tubuh. Idealnya, kita cukup menggunakan sekitar satu sendok teh saja atau sekitar 5 gram garam per hari. 2. Memperbanyak serat Mengkonsumsi lebih banyak serat atau makanan rumahan yang mengandung banyak serat akan memperlancar buang air besar dan menahan sebagian natrium. Sebaiknya ibu hamil yang mengalami hipertensi menghindari makanan kalengan dan makanan siap saji dari restoran, yang dikuatirkan mengandung banyak pengawet dan kurang serat. Dari penelitian ditemukan bahwa dengan mengkonsumsi 7 gram serat per hari dapat membantu menurunkan tekanan darah sistolik sebanyak 5 poin. Serat pun mudah didapat dalam makanan, misalnya semangkuk sereal mengandung sekitar 7 gram serat. 3. Memperbanyak asupan kalium Penelitian menunjukkan bahwa dengan mengkonsumsi 3500 miligram kalium dapat membantu mengatasi kelebihan natrium, sehingga dengan volume darah yang ideal dapat dicapai kembali tekanan yang normal. Kalium bekerja mengusir natrium dan senyawanya. Sehingga lebih mudah dikeluarkan. Sumber kalium mudah didapatkan dari asupan makanan sehari-hari. Misalnya, sebutir kentang rebus mengandung 838 miligram sehingga 4 butir kentang (3352 miligram) akan mendekati kebutuhan tersebut. Atau dengan semangkuk bayam yang mengandung 800 miligram kalium cukup ditambahkan tiga butir kentang. Banyak jenis buah yang juga dapat menurunkan tekanan darah salah satunya pisang merupakan sumber zat potasium yang dapat membantu menurunkan tekanan darah dan mengurangi pembekuan cairan dalam tubuh. Selain pada buah pisang potasium juga bisa ditemui pada kismis, yogurt, bit, Brussels sprout (sejenis kubis), alpukat, dan jeruk. 4. Penuhi kebutuhan magnesium Ditemukan antara rendahnya asupan magnesium dengan hipertensi. Tetapi belum dapat dipastikan berapa banyak magnesium yang dibutuhkan untuk mengatasi hipertensi. Kebutuhan magnesium menurut kecukupan gizi yang dianjurkan atau RDA (Recommended Dietary Allowance) adalah sekitar 350 miligram. Kekurangan asupan magnesium terjadi dengan semakin banyaknya makanan olahan yang dikonsumsi. Sumber makanan yang kaya magnesium antara lain kacang tanah, kacang polong, dan makanan laut. Kandungan asam lemak omega 3 dalam ikan dapat membantu melancarkan aliran darah dan melindungi dari efek tekanan darah tinggi serta mengurangi peradangan. Saat mengkonsumsi ikan hindari jenis ikan yang mengandung kadar merkuri tinggi seperti tuna, swordfish (ikan cucut), makarel, ikan halibut, serta kakap putih. Sebaliknya pilihlah ikan yang mengandung kadar mercuri rendah seperti ikan anchovies, ikan char, ikan flounder, ikan harring, ikan gindara, ikan salmon, dan ikan sturgeon. 5. Lengkapi kebutuhan kalsium 800 miligram kasium per hari (setara dengan tiga gelas susu) sudah lebih dari cukup untuk memberikan pengaruh terhadap penurunan tekanan darah. D. Relaksasi Relaksasi adalah suatu prosedur atau teknik yang bertujuan untuk mrngurangi ketegangan, kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat rilek otot-otot di dalam tubuh. Teknik relaksasi dapat dilakukan dalam hipnobirting, dimana dalam relaksasi ibu hamil duduk dengan tenang, pikiran fokus, tidak menatap cahaya langsung kemudian ibu hamil dibimbing untuk melakukan relaksasi pada kelompok otot-otot secara bertahap sampai keseluruh bagian tubuh.
3. Hipertensi Akhir Postpartum Hipertensi akhir postpartum adalah sebuah kejadian yang tidak biasa yang menggambarkan wanita dengan kehamilan normotensif yang mengembangkan hipertensi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah melahirkan. Hal ini jarang dan menyelesaikan pada akhir dari year postpartum pertama. Sedikit yang diketahui tentang patofisiologi, kecuali bahwa hal itu juga dapat memprediksi penting hipertensi di kemudian hari.
4. Preeklamsia-Eklampsia Preeklamsia adalah penyakit eksklusif pada kehamilan. Hal ini ditandai oleh serangan hipertensi dan proteinuria, biasanya setelah 20 minggu kehamilan, dan umumnya berhubungan dengan edema,hiperurisemia, dan proteinuria. Ini mempengaruhi sekitar 5% dari seluruh kehamilan, dan sekitar dua kali lebih umum pada kehamilan pertama sebagai dalam multigravidas. Namun, itu adalah umum pada multigravida yang telah mitra baru, menunjukkan bahwa paparan sebelum antigen paternal mungkin protective. Sindrom ibu preeklampsia ditandai dengan tekanan darah, proteinuria, dan kerusakan yang berbeda pada sistem organ termasuk hati, ginjal, otak, jantung, dan paru-paru.Spektrum penyakit dapat bervariasi dari kasus ringan dengan sedikit keterlibatan sistemik (preeklampsia ringan) untuk kegagalan multiorgan (preeklamsia berat). Pada sekitar 30% dari kasus, penyakit ini dapat menyebabkan insufisiensi plasenta cukup untuk menyebabkan IUGR atau kematian janin. Ketika serangan kejang terjadi dalam pengaturan preeklamsia, itu disebut eklampsia. Eklampsia kejang dapat terjadi pada antepartum, intrapartum, langsung di masa nifas, atau setelah terlambat melahirkan (48 jam untuk 1 bulan kemudian). Anehnya, itu juga bisa terjadi pada wanita yang tidak memiliki riwayat preeklamsia (sampai satu pertiga).
Patogenesis Preeklampsia Cacat remodelling arteri spiralis pada saat invasi trofoblas adalah faktor predisposisi yang paling dikenal luas untuk preeklamsia. Jauh sebelum munculnya klinis, preeklamsia, imunologi dimediasi trofoblas yang abnormal invasi menyebabkan pembentukan plasenta di mana spiral rahim arteri gagal untuk menjalani dinding otot yang menipis secara normal yang memungkinkan terjadi peningkatan perfusi plasenta. Sebagai perfusi, hasilnya ruang intervili terganggu, menyebabkan hipoksia plasenta. Plasenta dari kehamilan preeklamsia dengan maju sering memiliki banyak plasenta infarcts dan penyempitan arteriola sklerotik.Faktor predisposisi untuk preeklampsia adalah sebelum ada hipertensi, penyakit ginjal kronis, obesitas, diabetes mellitus, kehamilan multi, mola hidatidosa, dan thrombophilias (faktor V Leiden, sindrom antifosfolipid, dan kekurangan antithrombin III).Juga, terjadi peningkatan sensitivitas terhadap efek vasopressor dari angiotensin II, kemungkinan dihasilkan dari konsentrasi plasma meningkat angiotensin I / reseptor B2 bradikinin heterodimers. Faktor genetik tampaknya memainkan peran dalam patogenesis preeklamsia.Angiotensinogen T235 varian gen dan faktor V Leiden mutasi telah dianggap berhubungan dengan preeklamsia.Kejadian preeklampsia pada kehamilan yang rumit oleh trisomi 13 telah terbukti secara signifikan lebih tinggi daripada dengan kehamilan karyotypic yang normal.
Patofisiologi Multiorgan dan Patologi Cardiopulmonary Pada wanita dengan preeklamsia, ada peningkatan sistemik resistensi vaskular dan penurunan patologis dalam hipervolemia dari kehamilan normal. Dengan kata lain, pengurangan plasma volume dan hemokonsentrasi adalah keunggulan dari kondisi ini, dan sebanding dengan tingkat keparahan penyakit perubahan hemodinamik. Perempuan dengan preeklamsia berat dan eklampsia mempunyai fungsi hiperdinamik ventrikel kiri, normal tinggi meningkat untuk resistensi pembuluh darah sistemik, normal atau meningkat tekanan baji kapiler paru, dan tekanan rendah vena sentral. Wanita dengan preeklamsia melapis pada hipertensi kronis juga memiliki resistensi pembuluh darah sistemik yang meningkat, mengisi tekanan sisi kiri, dan meningkatnya stroke volume indeks di ventrikel kiri. Morbiditas kardiovaskular akut pada preeklamsia termasuk pada kondisi berikut: edema paru, paru-paru cedera akut/ sindrom gangguan pernapasan akut yang membutuhkan tekanan positif mekanik ventilasi, infark miokard, dan kardiopulmoner penangkapan. Edema paru adalah cardiopulmonary paling umum yang merupakan komplikasi dari preeklamsia. Seperti diketahui dari persamaan Starling, penurunan tekanan onkotik, peningkatan tekanan hidrostatik, atau perubahan dalam permeabilitas kapiler akan predisposisi ekstravasasi cairan dari kompartemen intravaskular. Semua perubahan terjadi pada preeklamsia dan mungkin buruk setelah melahirkan. Faktor-faktor yang mendukung pengembangan edema paru yaitu usia yang lebih tua, multigravida, dan sebelum ada hipertensi kronis. Diagnosis yang cepat dan pengobatan sangat penting sebagai morbiditas yang baik pada ibu dan janin dan kematian yang tinggi jika dibiarkan tidak diobati. Terapi medis dengan furosemid, oksigen, morfin, bersama dengan pembatasan garam dan cairan, harus dilembagakan sebagai dibutuhkan. Pengurangan dengan vasodilator afterload mungkin diperlukan. Infark miokard terjadi pada 1% kehamilan. Hannaford et al menemukan bahwa di Royal College of General Practitionersa, wanita dengan riwayat preeklamsia memiliki signifikan risiko tinggi infark miokard akut. Kejang koroner mungkin memainkan peran dalam ketiadaan faktor risiko untuk penyakit jantung iskemik. Kardiomiopati peripartum adalah komplikasi yang jarang terjadi pada preeklamsia, meskipun sejarah preeklamsia telah dilaporkan sampai dengan 70% perempuan yang mengalami kardiomiopati peripartum. Ginjal Kecepatan filtrasi glomerular ginjal dan aliran plasma ginjal secara seragam menurun pada preeklamsia. Nitrogen urea darah dan serum kreatinin biasanya tetap dalam rentang normal ketika tidak hamil.Pengukuran Serentak laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal menunjukkan bahwa fraksi filtrasi lebih rendah selama preeklamsia dibandingkan pada wanita normal selama trimester terakhir kehamilan.Sedimen urine biasanya lembut, namun sedikit leukosit, eritrosit, atau gips selular dapat dilihat. Bila proteinuria berat, gips hialin dapat ditemukan.Glomerular kerusakan yang mengakibatkan signifikan proteinuria merupakan fitur penting dari preeklamsia. Proteinuria pada preeklamsia adalah nonselektif.Tinggi berat molekul protein seperti albumin, bersama dengan protein tubular, hilang dalam urine.Ada penurunan asam urat selama preeklamsia.Tingkat elevasi serum asam urat berkorelasi dengan keparahan proteinuria, perubahan patologis ginjal, dan kematian janin. Preeklamsi dalam kehamilan yang ditandai dengan pengurangan dalam pecahan ekskresi kalsium dan hypocalciuria diucapkan bersama dengan kadar plasma mengurangi dihydroxyvitamin D dan meningkat tingkat hormon paratiroid. Dalam hal patologi, preeklamsia dikaitkan dengan glomerulus endotheliosis di ginjal. Pada mikroskop cahaya, lumen kapiler glomerulus yang menyempit tampak berdarah, danglomeruli yang diperbesar. Endotheliosis preeklamsia adalah biasanya tidak disertai dengan trombi kapiler terkemuka. Pada imunofluoresensi, tidak ada deposit imun dalam glomerulus dan tingkat komplemen serum yang normal. Deposisi fibrinogen derivatif kadang-kadang dapat terlihat. mikroskop elektron menunjukkan pelestarian relatif dari proses kaki podocytes, tapi ada kehilangan fenestrae endotel, dan sel endotel menjadi bengkak dan terpisah dari membran basal oleh elektron-Lucent material. Focal segmental glomerulosclerosis menyertai glomerulus yang endotheliosis umum preeklampsia pada hingga 50% dari cases. Kekhususan endotheliosis untuk mendiagnosis preeklamsia telah dipertanyakan oleh sebuah studi penting yang menunjukkan bahwa bahkan wanita dengan kehamilan nonproteinuric hipertensi serta wanita hamil normal dipamerkan endotheliosis, meskipun forms ringan ini menunjukkan endotheliosis yang merupakan spektrum terlihat pada kehamilan, dengan bentuk parah yang sesuai dengan preeklamsia. Perubahan glomerulus biasanya hilang dalam 8 minggu setelah persalinan, yang merupakan waktu yang sama ketika hipertensi dan proteinuria menyelesaikan. Central Nervous System Komplikasi sistem saraf pusat pada preeklamsia adalah paling sering akibat perdarahan otak, edema otak, trombotik microangiopathy, dan vasokonstriksi serebral.Hal ini mengakibatkan mendadak kejang (eklampsia), bersama dengan sakit kepala, penglihatan kabur, scotoma, dan kebutaan kortikal.Kebanyakan patologis deskripsi yang diperoleh dengan Sheehan dan Lynch dari mereka nekropsi studi, yang mengungkapkan pendarahan otak kotor dan berbagai tingkat petechiae, bersama dengan trombus dalam microvessels.Etiologi tepat dari kejang tidak jelas, meskipun faktor-faktor angiogenik seperti sFlt-1 dan seng. Patogenesis mungkin memainkan peran.Kejang grand mal biasanya, dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk jika mereka terjadi lebih awal daripada 32 minggu kehamilan.Sayangnya, sulit untuk memprediksi risiko kejang karena ada tampaknya tidak ada korelasi antara besaran kenaikan tekanan darah atau derajat proteinuria.Anehnya, kejadian eklampsia setelah melahirkan terlambat meningkat meskipun penurunan keseluruhan kejadian eklampsia.
Pengakuan Awal Preeklampsia Penelitian ini sedang berlangsung untuk mengidentifikasi tes skrining unik yang akan memprediksi risiko preeklamsia berkembang sebelum gejala muncul. Banyak penelitian telah dilakukan untuk memverifikasi signifikan perubahan dalam faktor-faktor angiogenik seperti PlGF, sFlt-1, atau seng sebelum imbulnya preeclampsia. Perubahan dalam serum PlGF dilihat pada trimester pertama, sedangkan perbedaan dalam sFlt-1 dan seng yang terlihat di trimester kedua. PlGF urin juga secara signifikan menurun pada trimester kedua dibandingkan dengan normotensif controls. Selain itu, arteri yang abnormal rahim Doppler velocimetry pada trimester pertama dan kedua telah diusulkan sebagai barang skrining tes untuk memprediksi preeclampsia. Menggabungkan 3 biomarker menjadi angiogenik, tunggal index atau dengan arteri rahim Doppler 128-130 mungkin lebih prediktif daripada penanda tunggal saja. Apakah biomarker angiogenik sensitif dan spesifik cukup untuk penggunaan klinis luas masih harus dipelajari. Ini kemungkinan pertanyaan akan dijawab oleh World Health ambisius Organisasi prospektif kohort studi terhadap lebih dari 12.000 perempuan, yang melibatkan negara-negara berkembang di 4 benua dalam penggunaan angiogenik biomarker untuk penyaringan preeklamsia.
Podocyte Dan Preeclampsia Meskipun laporan sebelumnya bahwa podocyte tersebut diawetkan dalam preeklamsia, ada peningkatan bukti bahwa hal itu dipengaruhi.Podocyte adalah sel epitel khusus yang melapisi viseral glomerular basement membran dalam glomerulus.Ini membantu untuk membatasi kehilangan protein dengan kompleks celah diafragma-nya.Bersama-sama dengan basement membran glomerulus dan endotelium fenestrated, mereka membentuk penghalang filtrasi glomerulus.Sebuah hewan tengara studi oleh Eremina dkk menunjukkan bahwa ketika salah satu alel dari VEGF adalah dihapus khususnya di podocyte, ginjal mengembangkan patologis yang khas fitur preeclampsia. Selanjutnya, sebuah studi kecil otopsi menunjukkan materi downregulation yang podocyte-spesifik protein nephrin dan synaptopodin pada wanita dengan berat preeclampsia.134 klinis, podocytes kemih (podocyturia) adalah ditemukan dalam jumlah yang meningkat pada pasien dengan preeklamsia, menandakan kelompok process menumpahkan kami juga mempelajari ekspresi podocyte-spesifik protein synaptopodin dan podocin oleh immunofluoresence pada biopsi ginjal dari 20 pasien dengan preeklamsia dalam waktu 4 minggu setelah persalinan. Berbeda dengan studi otopsi, kami menemukan bahwa pada pasien dengan endotheliosis parah, synaptopodin ekspresi baik tidak berubah atau hanya sedikit menurun, sedangkan ekspresi podocin adalah menurunkan regulasi seragam (tidak diterbitkan data). Sebaliknya, pasien dengan endotheliosis ringan telah diawetkan synaptopodin dan ekspresi podocin.Kami menyimpulkan bahwa podocytespecific protein hanya terpengaruh pada preeklamsia berat. Selain itu, kita mempelajari penggunaan podocyturia sebagai penanda diagnostik untuk preeklampsia pada 56 wanita dengan kehamilan berisiko tinggi, termasuk 28 dengan preeklamsia dan kondisi lain seperti hipertensi (gestasional atau kronis), diabetes (gestational atau kronis), dan menemukan bahwa sensitivitas dan spesifisitas adalah 39% podocyturia dan 79%, masing-masing (unpublished data). Jadi, kita menyimpulkan bahwa podocyturia mungkin, berguna meskipun bukan alat klinis yang spesifik dalam mengevaluasi preeklamsia.Namun, kami merasa bahwa penelitian ini perlu divalidasi dalam kohort yang lebih besar.
Pencegahan preeklamsi Selama beberapa dekade terakhir, baik besar dan kecil, klinis percobaan telah berusaha untuk mengungkap sebuah obat yang dapat mencegah preeklamsia. Namun pencegahan primer yang efektif terbukti sangat sulit ketika patogenesis tidak jelas.
1. Diuretik Penyidik percaya sejak awal bahwa retensi natrium adalah penyebab edema dan hipertensi pada preeklamsia, dan karena itu upaya dilakukan untuk profilaksis mengelola diuretics. Sekarang diketahui bahwa volume plasma lebih rendah pada preeklamsia daripada di keadaan normal dan ada kecenderungan hemokonsentrasi. Dengan demikian, diuretik dapat memperburuk hipovolemia, yang pada gilirannya akan merangsang sistem renin-angiotensin dan memperparah hipertensi. Jadi, diuretik tidak lagi direkomendasikan. 2. Suplementasi Kalsium Laporan awal dari hypocalciuria, peningkatan kepekaan terhadap angiotensin II, dan menurunnya tingkat dihydroxyvitamin D pada wanita dengan preeklamsia 3. Aspirin Karena preeklampsia dikaitkan dengan vasospasme dan aktivasi dari sistem koagulasi- hemostasis, aspirin dosis rendah dianggap bermanfaat karena menghambat biosintesis tromboksan platelet A2 dengan sedikit efek pada produksi prostasiklin vaskuler, sehingga mengurangi dan kelainan koagulasi vasospasme. Dalam 1980-an dan 1990-an, beberapa percobaan dengan aspirin menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kejadian hipertensi kehamilan dan preeklamsia. 4. Suplementasi vitamin C dan E Salah satu penyebab disfungsi sel endotel ibu mungkin perfusi plasenta yang buruk memulai pelepasan faktor untuk menginduksi stres oksidatif.Penggunaan vitamin C dan E untuk mencegah preeklampsia pada wanita berisiko tinggi dan menemukan bahwa preeklamsia secara signifikan rendah. Selain itu, dalam sebuah penelitian menunjukkan tingkat peningkatan pada bayi lahir rendah. Pada saat ini, kami tidak merekomendasikan menggunakan vitamin C dan E pada pencegahan preeklamsia.
Manajemen Preeklamsia Penatalaksanaan Tujuan penanganan preeklamsia adalah : 1. Untuk melindungi ibu dari efek meningkatnya tekanan darah dan mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia dengan segala komplikasinya. 2. Untuk mengatasi atau menurunkan resiko preeklamsia terhadap janin termasuk terjadinya solusio plasenta, pertumbuhan janin terhambat dan kematian janin intrauterine. 3. Untuk melahirkan janin dengan cara yang paling aman bila diketahui resiko janin atau ibu akan lebih berat bila kehamilan dilanjutkan. Terapi Preeklampsi berat4,6,13 Dasar pengelolaan preeklampsi berat pada ibu dengan penyulit apapun dilakukan pengelolaan dasar sebagai berikut: a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulit yaitu terapi medikamentosa dengan pemberian obat-obatan terhadap penyulit b. Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya yang tergantung pada umur kehamilannya dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia selama perawatan, yaitu; 1. Ekspektatif / konservatif: bila umur kehamilan kurang dari 37 minggu artinya kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa 2. Aktif Pemberian terapi medikamentosa2,6,12,14: a. Segera masuk ke rumah sakit b. Tirah baring miring kekiri secara intermitten c. Infus ringer laktat Universitas Sumatera Utara17 d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang e. Pemberian MgSO4 dibagi: - Loading dose (dosis awal ) : 4 gr MgSO4 40% IV secara perlahan - Maintenance dose (dosis lanjutan) : 1gr MgSO4 40%/jam dalam 500 ml RL f. Anti hipertensi Diberikan : bila tensi 180/110 atau MAP 126 Jenis obat nifedipin: 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit maksimal 120 mg dalam 24 jam, nifedipin tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sublingual) karena absorbsi terbaik adalah melalui saluran cerna, desakan darah diturunkan secara perlahan penurunan awal 25 % dari desakan sistol, desakan darah diturunkan mencapai < 160/105, MAP < 125. Beberapa jenis obat anti-hipertensi termasuk : methyl-dopa/clonidine, labetalol, metoprolol dan hidralazine.8,15 g. Diuretikum tidak dibenarkan untuk diberikan secara rutin karena : 1. Memperberat penurunan perfusi plasenta 2. Memperberat hipovolemia 3. Meningkatkan hemokonsentrasi
Diuretikum hanya diberikan atas indikasi: 1. Edema paru 2. Payah jantung kongestif 3. Edema anasarka Sikap terhadap Kehamilannya : Perawatan konservatif / ekspektatif a. Tujuan 1. Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan 2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu b. Indikasi: Kehamilan < 37 minggu tanpa dijumpai tanda-tanda gejala impending eklampsi c. Terapi medikamentosa: Universitas Sumatera Utara18 Bila penderita sudah kembali menjadi preeklampsi ringan, maka masih akan dirawat 2-3 hari lagi, baru diizinkan pulang d. Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 minggu selama 48 jam e. Perawatan dirumah sakit: 1) Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik : Nyeri kepala Penglihatan kabur Nyeri perut kuadran kanan atas Nyeri epigastrium Kenaikan berat badan dengan cepat 2) Menimbang berat badan ketika masuk rumah sakit dan diikuti setiap harinya 3) Mengukur proteinuria ketika masuk rumah sakit dan diulangi setiap 2 hari 4) Pengukuran desakan darah dan pemeriksaan lab sesuai dengan standard yang telah ditentukan 5) Pemeriksaan ultrasound sonography (USG) khususnya pemeriksaaan: Ukuran biometrik janin Volume air ketuban 6) Penderita boleh dipulangkan: Penderita dapat dipulangkan apabila 3 hari bebas gejalagejala preeklampsi berat Perawatan Aktif Perawatan aktif dilakukan dengan indikasi : a. Ibu : - Kehamilan > 37 minggu - Impending Eklampsia - Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu : o Dalam waktu atau selama 6 jam sejak dimulai pengobatan medisinal terjadi kenaikan TD o Atau setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidak ada perbaikan gejala-gejala. b. Janin : Universitas Sumatera Utara19 - Adanya tanda-tanda fetal distress - Adanya tanda-tanda IUFGR c. Laboratorium : - Adanya HELLP Syndrome Diagram 1. Penatalaksanaan preeklamsia berat Cara persalinan: Sedapat mungkin persalianan diarahkan ke pervaginam6 : 1) Penderita belum inpartu; - Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop lebih dari 8 - Bila perlu dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol, induksi persalinan harus mencapai kala II dalam waktu 24 jam, bila tidak induksi persalinan dianggap gagal, harus segera disusul dengan pembedahan secara cesar. Indikasi dilakukan pembedahan caesar: - Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam - Induksi persalinaan gagal - Terjadi maternal distress Universitas Sumatera Utara20 - Terjadi fetal distress - Bila umur kehamilan < 33 minggu 2) Bila penderita sudah inpartu - Perjalanan persalinan diikuti - Memperpendek kala II - Pembedahan caesar dilakukan apabila didapati maternal distress dan fetal distress - Primigravida direkomendsikan pembedahan caesar Anastesia: regional anastesi dan epidural anastesi, tidak dianjurkan general anastesi Semua kasus dengan preeklampsia berat harus ditangani secara aktif. Simptom dan tanda impending eklampsia (pandangan kabur, hiperrefleksia) adalah tidak pasti dan penanganan ekspektatif belum ada rekomendasi.
a. Rujukan Pengobatan yang paling dapat diandalkan preeklamsia adalah rujukan.Penghapusan plasenta biasanya menghasilkan perbaikan yang cepat, meskipun dalam beberapa kasus, gejala dapat bertahan selama beberapa hari setelah melahirkan.Keputusan untuk memberikan melibatkan menyeimbangkan risiko memburuknya preeklamsia terhadap orang prematuritas.Rujukan dijamin untuk wanita yang mengalami preeklamsia berat setelah 34 minggu kehamilan. Dalam setiap wanita antara 32 sampai 34 minggu usia kehamilan dengan preeklamsia berat, rujukan yang cepat harus dipertimbangkan, terutama jika manajemen konservatif telah gagal. Wanita di bawah 28 minggu kehamilan yang mengembangkan preeklamsia berat dapat dikelola secara konservatif jika ibu dan janin dipantau secara ketat dalam tersier pusatperinatal. Wanita yang memiliki preeklamsia ringan juga harus tetap dimonitor untuk tanda-tanda kerusakan yang cepat.Jika tanda-tanda, seperti sakit kepala, nyeri epigastrium, perubahan visual, atau hasil laboratorium abnormal, maka pasien harus dirawat di rumah sakit.Ketika elevasi tekanan darah ringan, dengan hasil laboratorium normal dan evaluasi janin yang menguntungkan, manajemen konservatif.Pasien dapat diobati secara rawat jalan atau rawat inap, tergantung kepatuhan pasien.Pasien yang menjaga di tempat tidur istirahat dan dapat kembali untuk pengujian nonstress janin dan penilaian pertumbuhan dapat dikelola sebagai pasien rawat jalan.Jika tidak, mereka harus mengaku rumah sakit.Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah kejang, tekanan darah rendah untuk menghindari akhir kerusakan organ ibu,sementara bertujuan untuk sebagai kematangan janin sebanyak mungkin, dan untuk mempercepat rujukan saat ini. b. Obat antihipertensi Seperti disebutkan sebelumnya, tingkat kontrol tekanan darah optimal dalam kehamilan dengan komplikasi hipertensi tidak diketahui. Kurang dari kontrol yang ketat dapat menurunkan resiko kecil untuk bayi usia kehamilan, tetapi dapat meningkatkan risiko pernapasan distres sindrom hipertensi, bayi yang baru lahir parah di ibu, dan hospitalisasi antenatal. Tujuan utama dari pengobatan hipertensi pada pasien jarak jauh dari istilah ini untuk memperpanjang kehamilan. Tidak ada yang menarik studi yang menunjukkan hasil klinis diperbaiki dengan pengobatan preeklampsia ringan dan obat-obatan antihipertensi. Bahkan, studi yang telah menggunakan labetalol untuk mengobati wanita dengan kehamilan yang ringan hipertensi atau preeklamsia telah menunjukkan tidak ada perbaikan dalam perinatal hasil, dengan peningkatan kejadian bayi yang kecil untuk usia kehamilan. Meskipun demikian, resiko: rasio manfaat untuk terapi obat pada wanita dengan preeklamsia ringan tidak jelas. Saat ini, tidak ada rekomendasi yang seragam untuk mengelola antihipertensi obat untuk pasien dengan preeklamsia ringan. Tujuan pengobatan untuk perempuan dengan hipertensi berat adalah untuk menurunkan tekanan darah untuk mencegah pendarahan otak. Meskipun rekomendasi tradisional didasarkan pada tekanan darah diastolik, sebuah Tinjauan retrospektif dari 28 wanita dengan preeklamsia berat yang mengalami kecelakaan serebrovaskular menunjukkan bahwa 90% memiliki sistolik tekanan darah 160 mm Hg, tetapi hanya 12,5% memiliki darah diastolik tekanan 110 mmHg. Rekomendasi adalah bahwa antihipertensi terapi harus diberikan untuk tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg, untuk mencapai pengukuran sistolik dari 140-155 mmHg dan / atau pengukuran diastolik 90 sampai 105 mmHg. c. Magnesium Sulfat Magnesium sulfat digunakan untuk mencegah kejang pada wanita dengan preeclampsia. Itu telah dibuktikan dalam acak uji klinis neurologi terkemuka saat merasa bahwa tradisional antiepileptics (fenitoin, diazepam) lebih baik akan mengontrol kejang. Percobaan ini membuktikan bahwa magnesium sulfat parenteral lebih unggul baik fenitoin dan diazepam dalam mencegah awal dan berulang kejang, dan dalam menurunkan mortality ibu. Namun, penggunaan magnesium sulfat masih kontroversial pada wanita dengan preeklamsia ringan karena kejadian kejang pada populasi ini sangat rendah.Sebuah percobaan prospektif besar yang melibatkan lebih dari 10.000 pasien menunjukkan bahwa penggunaan profilaksis magnesium sulfat menurunkan risiko keseluruhan eclampsia. Namun, karena jumlah besar diperlukan untuk mengobati, beberapa peneliti merasa bahwa seharusnya diberikan hanya bila kondisi ini Namun "berat.", kita dan lainnya merasa bahwa karena keparahan preeklampsia mungkin terduga, manfaat pengobatan lebih besar daripada risiko.Magnesium sulfat memiliki manfaat tambahan mengurangi kejadian plasenta abruption.
Preeklamsia Dan Hasil Jangka Panjang Jantung / Stroke Sejumlah studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa setelah kehamilan dengan preeklamsia, seorang wanita memiliki risiko yang lebih tinggi konsekuensi kardiovaskular. Masa depan ini mungkin karena berupa proses patofisiologis umum atau subklinis kerusakan vaskular. Risiko penyakit jantung yang fatal serta iskemik yang fatal merupakan peristiwa pada wanita dengan preeklamsia yaitu dua kali lebih yang lebih disukai. Selanjutnya, risiko tinggi kejadian kardiak di masa depan baik primipara pada wanita dengan preeklamsia serta mereka dengan preeklamsia dalam setiap kehamilan. Waktu preeklamsia adalah penting karena preeklamsia sebelum 37 minggu dikaitkan dengan peningkatan 8 kali lipat dari penyakit jantung iskemik untuk perempuan dibandingkan dengan orang-orang dengan kehamilan normotensif setelah period ini. Risiko terkena penyakit jantung iskemik juga dipengaruhi oleh penyakit parah pasien dengan tekanan darah 160/110 mmHg dan keberadaan proteinuria memiliki RR 3,65 dari iskemik penyakit jantung di kemudian hari dibandingkan dengan mereka dengan preeklamsia ringan. Serangan preeklamsia berat pada awal (sebelum 24 minggu) tampaknya berperilaku sangat berbeda dari serangan akhir (setelah 24 minggu) preeklamsia. Yang pertama memiliki morbiditas maternal dan perinatal tinggi dan kesempatan 50% dari kekambuhan preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Mereka juga menunjukkan hipertensi lebih kronis dan peningkatan mikroalbuminuria, tetapi tidak ada perbedaan dalam kejadian tersebut dari ketidakpekaan insulin atau fitur lain dari sindrom metabolik. Seperti diketahui mikroalbuminuria menjadi prediktor kuat iskemik penyakit jantung hipertensi pada individu dalam populasi umum, kelompok ini berada pada risiko lebih tinggi terkena kardiovaskular. Data ini menunjukkan suatu patogenesis yang berbeda untuk awal preeklamsia dibandingkan serangan terlambat, dengan vaskular hipertensi terkait etiologi pada mereka dengan penyakit onset dini. Tampaknya ada risiko fatal yang lebih tinggi dibandingkan dengan fatal stroke setelah preeklamsia, dengan keseluruhan meningkat pada wanita dengan preeklamsia serangan awal (37 minggu) (RR 5.0). Singkatnya, wanita dengan preeklamsia memiliki 4 kali lipat peningkatan risiko hipertensi dan risiko 2 kali lipat peningkatan iskemik penyakit jantung dan stroke. Mekanisme yang tepat perlu dipahami. Namun, tampaknya ada cukup mengumpulkan bukti untuk menunjukkan bahwa riwayat preeklampsia harus menjadi bagian dari sebuah awal evaluasi untuk penyakit jantung iskemik pada wanita.
Ginjal Ada juga bukti yang muncul bahwa preeklamsia terkait dengan mengembangkan penyakit ginjal di kemudian hari.Meskipun glomerulus cedera selama periode preeklamsia, hal itu diperkirakan sebelumnya preeklampsia yang tidak memiliki efek buruk pada ginjal dalam jangka panjang.Sebuah studi sebelumnya yang diikuti pasien yang mengalami sindrom HELLP selama 5 tahun atau lebih terungkap secara signifikan tinggi diastolik dan sistolik tekanan darah tetapi tidak ada perbedaan dalam kreatinin clearance atau urin microalbumin / kreatinin ratio. Demikian pula, wanita dengan preeklampsia dan kehamilan-induced hiperketegangan yang diteliti selama 10 tahun itu ditemukan memiliki peningkatan risiko pengembangan hipertensi kronis, tetapi tidak terpengaruh serum urea dan kreatinin levels. Namun, yang lebih baru penelitian menunjukkan bahwa ada konsekuensi ginjal. Medical Kelahiran Registry database Norwegia dari semua childbirths di Norwegia sejak 1967 mengungkapkan bahwa wanita dengan preeklamsia yang melahirkan keturunan berat badan lahir rendah memiliki risiko meningkat secara substansial di kemudian hari yang memiliki biopsy ginjal. Selanjutnya, sejarah preeklamsia adalah terkait dengan terjadinya mikroalbuminuria tinggi dan hipertensi, baik yang mungkin prediksi masa depan penyakit ginjal. Menariknya, sejumlah besar wanita dengan preeklamsia yang kemudian dibiopsi dipamerkan focal segmental glomerulosklerosis, ini menunjukkan bahwa glomerulosklerosis focal segmental mungkin nefropati spesifik setelah preeklamsia. Paling mengejutkan, laporan terbaru oleh Vikse dkk preeklamsia menunjukkan bahwa selama kehamilan pertama adalah terkait dengan RR 4,7 pengembangan penyakit ginjal stadium akhir. Wanita yang mengembangkan preeclampsia selama kedua mereka pada kehamilan ketiga mereka meningkat RR sampai 15.5. Para penulis menyimpulkan bahwa preeklamsia penanda peningkatan risiko berikutnya stadium akhir penyakit ginjal.Tentu saja semua yang disebutkan di atas temuan dapat dikacaukan oleh fakta bahwa wanita dengan preeklamsia memiliki ginjal yang tidak terdiagnosis penyakit sebelum kehamilan mereka. Bahkan, sebuah penelitian di Jepang kecil menunjukkan bahwa ketika antepartum klinis dan data postpartum adalah 19 dari 86 wanita, atau 22,1%, dikabarkan mendasari penyakit ginjal. Namun demikian, kami menyimpulkan bahwa ada banyak bukti bahwa preeklamsia mengarah ke faktor risiko untuk penyakit ginjal kronis dan mungkin perkembangan stadium akhir penyakit ginjal.Namun, risiko absolut tetap kecil. Pengertian Preeklampsia Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi. Pre-eklampsia adalah salah satu kasus gangguan kehamilan yang bisa menjadi penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan bayi. Hipertensi (tekanan darah tinggi) di dalam kehamilan terbagi atas pre-eklampsia ringan, preklampsia berat, eklampsia, serta superimposed hipertensi (ibu hamil yang sebelum kehamilannya sudah memiliki hipertensi dan hipertensi berlanjut selama kehamilan). Tanda dan gejala yang terjadi serta tatalaksana yang dilakukan masing-masing penyakit di atas tidak sama.
B. Etiologi Preeklampsia Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.Secara teoritik urutan urutan gejala yang timbul pada preeklamsi ialah edema, hipertensi, dan terakhir proteinuri.Sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan diatas dapat dianggap bukan preeklamsi. Dari gejala tersebut timbur hipertensi dan proteinuria merupakan gejala yang paling penting.Namun, penderita serinhkali tidak merasakan perubahan ini.Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri kepala, gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium, maka penyakit ini sudah cukup lanjut.
C. Faktor Risiko Preeklamsia Kehamilan pertama Riwayat keluarga dengan pre-eklampsia atau eklampsia Pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun Wanita dengan gangguan fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal, migraine, dan tekanan darah tinggi) Kehamilan kembar
D. Gambaran Klinis Preeklampsia a. Gejala subjektif Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat. b. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan tekanan sistolik 30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat lebih dari 140/90mmHg.Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan disertai kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan takikardia, takipnu, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak.
E. Patofisiologi Preeklampsia Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia.Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet.Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria.Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni.Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim. Perubahan pada organ-organ:
1) Perubahan kardiovaskuler. Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.
2) Metabolisme air dan elektrolit Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak diketahui penyebabnya.Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita preeklampsia dan eklampsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi kronik.Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah.Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal 3) Mata Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah.Selain itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda preeklampsia berat yang mengarah pada eklampsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau di dalam retina. 4) Otak Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan. 5) Uterus Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin.Pada preeklampsia dan eklampsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi partus prematur. 6) Paru-paru Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya disebabkan oleh edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis.Bisa juga karena terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru.
F. Diagnosis Preeklampsia Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu; 1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut: Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal. Proteinuria kuantitatif 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut: Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+. Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam. Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium. Terdapat edema paru dan sianosis Trombositopeni Gangguan fungsi hati Pertumbuhan janin terhambat
G. Penatalaksanaan Preeklampsia Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan merupakan persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi. Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama. Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya preeklamsi, yaitu : 1. Preeklamsi ringan Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin setiap minggu. Pada pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat badan janin diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2 minggu. Perawatan jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang dirawat di rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum tentang induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang (skor Bishop >6) untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan muda. Saat ini tidak ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah baring umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi ringan. Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema, peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan meningkatkan outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung vitamin K dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan tirah baring baik di rumah maupun di rumah sakit walaupun tirah baring di rumah menurunkan lamanya waktu di rumah sakit. Sebuah penelitian menyatakan adanya progresi penyakit ke arah eklamsi dan persalinan prematur pada pasien yang tirah baring di rumah. Namun, tidak ada penelitian yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan kematian janin. Pada 10 penelitian acak yang mengevaluasi pengobatan pada wanita dengan preeklamsi ringan menunjukkan bahwa efek pengobatan terhadap lamanya kehamilan, pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan preterm bervariasi antar penelitian. Oleh karena itu tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap pengobatan preeklamsi ringan.
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter. 2. Preeklamsi berat Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik. Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang. Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin, penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan. Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada hidralazin. Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan. Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak. Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik metode anestesi umum maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi. Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu : a. Indikasi ibu - Usia kehamilan 38 minggu - Hitung trombosit < 100.000 sel/mm 3
- Kerusakan progresif fungsi hepar - Kerusakan progresif fungsi ginjal - Suspek solusio plasenta - Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan - Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin - IUGR berat - Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring -Oligohidramnion
Diagnosis Hipertensi dalam Kehamilan
1 .
Hipertensi gestasional y
Didapatkan tekanan darah sistolik 140 atau diastolik 90 mm Hg untuk pertama kalinya pada kehamilan di atas 20 minggu y
T idak ada proteinuria y
T ekanan darah kembali normal sebelum 12 minggu postpartum y
Diagnosis hanya dibuat pada postpartum y
Mungkin memiliki tanda-tanda atau gejala preeklampsia, misalnya, tidak nyaman atau trombositopenia epigastrika 2 .
Preeklampsia Kriteria minimum
y
Didapatkan tekanan darah lebih atau sama dengan 140/90 mmHg setelahkehamilan 20 minggu y
Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1 + Dipstick y
G ejala menghilang setelah 12 minggu post partum. Gejala yang mennambah ketepatan diagnosis
y
Didapatkan peningkatan tekanan darah sampai 160/110 mm Hg atau lebih y
Proteinuria 2.0 g/24 dijam atau urine dipstick 2+
y
Peningkatan kreatinin serum >1.2 mg/dL kecuali kalau sebelumnya sudahmemiliki riwayat gangguan ginjal. y
T rombosit < 100,000/L y
Adanya anemia mikroangiopqti hemolisispeningkatan LDH y
Peningkatam serum transaminaseAL T or AS T
y
N yeri kepala yang hebat dan atau gangguan visus y
N yeri epigastrik persisten 3 .
Eklampsia
y
Adanya kejang yang timbul pada penderita preeklampsia, y
Atau didapatkan kejang pada usia kehamilan di atas 20 minggu. 4 .
Superimposed preeklampsia y
T imbulnya proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita yang telah memilikihipertensi kronik pada usia kehamilan di atas 20 minggu y
T erjadi peningkatan mendadak dalam proteinuria atau tekanan darah atautrombosit <100,000 / L pada wanita dengan hipertensi dan proteinuriasebelum gestasi 20 minggu 5 .
Hipertensi kronik
y
T D sebelum kehamilan 140/90 mm Hg atau terdiagnosis sebelumkehamilan 20 minggu , tidak timbul penyakit trofoblas gestasional o y
G ejala menetap setelah 12 minggu postpartumHipertensi didiagnosa secara empiris ketika didapatkan tekanan darah tepatmelebihi 140 mm Hg sistolik atau diastolik 90 mm Hg. Korotkoff tahap Vdigunakan untuk menentukan tekanan diastolik. Sebelumnya, telahdirekomendasikan bahwa peningkatan nilai incremental saat hamil sebesar 30mmHg sistolik atau 15 mmHg diastolik tekanan digunakan sebagai kriteriadiagnostik, bahkan ketika nilai-nilai mutlak berada di bawah 140/90 mm Hg.Kriteria ini tidak lagi dianjurkan karena menunjukkan bukti bahwa wanita tersebuttidak akan mengalami kehamilan yang menunjukkan gejala yang merugikan(Levine dan rekan kerja, 2000; Utara dan rekan, 1999).
LI 2. Memahami dan menjelaskan Perdarahan antepartum
2.1 Definisi Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan diatas 28 minggu atau lebih. Karena perdarahan antepartum terjadi pada umur kehamilan di atas 28 minggu maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ketiga.
2.2 Klasifikasi Perdarahan antepartum dikelompokkan sebagai berikut : a. Perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan : 1) Plasenta previa 2) Solutio plasenta 3) Pecahnya sinus marginalis 4) Pecahnya vasa previa b. Perdarahan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan : 1) Pecahnya varises vagina 2) Perdarahan polipus servikalis 3) Perdarahan perlukaan serviks 4) Perdarahan karena keganasan serviks.
Frekuensi perdarahan antepartum sekitar 3% sampai 4% dari semua persalinan. Sedangkan kejadian perdarahan antepartum di rumah sakit lebih tinggi karena menerima rujukan. Penangan perdarahan antepartum memerlukan perhatian karena dapat saling mempengaruhi dan merugikan janin dan ibunya. Setiap perdarahan antepartum yang dijumpai oleh bidan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit atau ke tempat dengan fasilitas yang memadai karena memerlukan tatalaksana khusus.
1. Plasenta Previa
a. Definisi Plasenta Previa Plasenta previa merupakan suatu bentuk kelainan letak pada plasenta, dimana plasenta berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum. Implantasi plasenta yang normal adalah pada dinding depan, dinding belakang rahim, atu di daerah fundus uteri. Secara teoritis plasenta previa dibagi menjadi 4 derajat, yaitu : 1) Plasenta previa totalis yaitu plasenta menutupi seluruh osteum uteri internum. 2) Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum. 3) Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum. 4) Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga tepi bawahnya barada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap plasenta letak normal. Derajat plasenta previa sebagian besar akan bergantung pada pembukaan serviks saat diperiksa. Sebagai contoh, plasenta letak rendah pada pembukaan 2 cm dapat menjadi plasenta parsialis pada pembukaan 8 cm karena servik yang berdilatasi mengakibatkan seolah-olah plasenta juga ikut berpindah atau bergeser. Sebaliknya plasenta previa yang tampak total sebelum ada pembukaan akan menjadi plasenta previa parsialis pada pembukaan 4 cm karena serviks berdilatasi di luar tepi plasenta. Palpasi dengan jari untuk memastikan hubungan perubahan antara tepi plasenta dan os interna sewaktu serviks membuka dapat memicu terjadinya perdarahan hebat.
b. Etiologi Plasenta Previa Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa ditemukan pada: 1) Multipara, terutama jika jarak antara kehamilannya pendek sehingga endometrium bellum sempat tumbuh. 2) Mioma uteri yang mengakibatkan perubahan endometrium 3) Kuretase yang berulang 4) Usia lanjut hal ini disebabkan oleh tumbuh endometrium yang kurang subur. 5) Perubahan inflamasi atau atrofi misalnya pada wanita perokok atau pemakai kokain. Hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida akan dikompensasi dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terjadi terutama pada perokok berat.
Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutup ostium uteri internum. Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat implantasi yang lebih baik yaitu di tempat yang rendah dekat ostium uteri internum. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan luas, seperti pada eritroblastosis, diabetes melitus, atau kehamilan multipel.
c. Gambaran Klinis Plasenta Previa Hal yang paling khas pada plasenta previa adalah perdarahan yang tidak nyeri. Darah yang keluar berwarna merah segar . perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyakdan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa suatu sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian. Perdarahan pada plasenta previa bersifat berulang-ulang karena setelah terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim. Oleh karena itu regangan dinding rahim dan tarikan pada serviks berkurang, tetapi dengan majunya kehamilan regangan bertambah lagi dan menimbulkan perdarahan baru. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti mengalir. Pada plasenta letak rendah plasenta baru terjadi pada waktu mulai persalinan. Perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip pada solusio plasenta. Perdarahan diperhebat berhubung segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim. Dengan demikian perdarahan bisa berlangsung sampai pasca persalinan.servik dan segemen bawah rahim pada plasenta previa menjadi rapuh sehingga memperbanyak terjadinya perdarahan. Bagian terendah janin sangat tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah rahim sehingga bagian terendah tidak dapat mendekati pintu atas panggul. Terdapat kelainan lletak pada janin dimana letak janin tidak dalam letak memanjang. Pada palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak tegang.
d. Diagnosis Plasenta Previa Anamnesis perdarahan tanpa keluhan, perdarahan berulang, warna darah merah segar. Klinis kelainan letak dari perabaan fornises teraba bantalan lunak pada presentasi kepala. Pemeriksaan dalam pada plasenta previa hanya dibenarkan billa dilakukan di kamar operasi yang telah siap untuk melaukan opersai segera dan donor darah. Secara double set-up ini hanya dilakukan apabila akan dilakukan terapi aktif yaitu apabila kehamilan akan diterminasi. Diagnosis plasenta previa dengan perdarahan sedikit diterapi dengan cara ekspektatif ditegakkan dengan pemeriksaan USG. Dengan bantuan USG diagnosis plasenta previa/letak rendah seringkali sudah dapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamilan trimester ketiga. Namun, dalam perkembangannya dapat terjadi migrasi plasenta. Sebenarnya buka plasenta yang berpindah tetapi dengan semakin berkembangnya segmen bawah rahim, plasenta yang berimplantasi pada tempat tersebut akan ikut naik menjauhi ostium uteri internum.
e. Komplikasi Ibu hamil yang mengalami pllasenta previa dapat mengalami beberapa komplikasi, ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan fatal yang disebabkan oleh : 1) Pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik maka pelepasan plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak serta perdarahan yang terjadi tidak dapat dicegah sehingga penderita mengalami anemia bahkan syok. 2) Plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini yang tipis mengakibatkan jaringan trofoblast dengan mudah menginvasi menerobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke perimetrium dan menjadi penyebab terjadinya plasenta inkreta atau bahkan perkreta. 3) Serviks dan segemen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak. 4) Kelainan letak janin lebih sering terjadi. 5) Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak bisa dihindari. Hal ini disebabkan karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm. Pada kehamilan kurang dari 37 minggu dapat dilakukan amniosentesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin untuk antisipasi.
f. Penatalaksanaan Plasenta Previa Plasenta previa dengan perdarahan merupakan keadaan darurat kebidanan yang memerlukan penanganan yang baik. Bentuk pertolongan pada plasenta previa adalah : 1) Segera melakukan operasi persalinan untuk dapat menyelamatkan ibu dan anak atau untuk mengurangi kesakitan dan kematian. Dengan seksio sesarea juga dimaksudkan untuk mengosongkan rahim hingga dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan, selain itu juga dapat mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering terjadi pada persalinan pervaginam. Seksio sesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. 2) Memecahkan ketuban di atas meja operasi selanjutnya pengawasan untuk dapat melakukan pertolongan lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan pada plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, dan plasenta previa lateralis yang menutupi sebagian dari ostium internum. Pada plasenta previa lateralis yang plasentanya terletak di belakang lebih baik dilakukan seksio sesarea, karena pada pemecahan ketuban kepala kurang menekan pada plasenta. Hal ini disebabkan kepala tertahan di promontorium yang dilapisi oleh jaringan plasenta. Pemecahan ketuban dapat menghentikan perdarahan karena : a) Setelah pemecahan ketuban, uterus mengadakan retraksi hingga kepala anak menekan pada plasenta. b) Plasenta tidak tertahan lagi oleh ketuban dan dapat mengikuti gerakan dinding rahim hingga tidak terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim. Jika his tidak ada atau kurang kuat setelah pemecahan ketuban dapat diberikan infus pitosin. Jika perdarahan tetap ada dilakukan seksio sesarea. 3) Bidan yang menghadapi perdarahan plasenta previa dapat mengambil sikap melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai. Dalam melakukan rujukan penderita plasenta previa sebaiknya dilengkapi dengan : a) Pemasangan infus untuk mengimbangi perdarahan b) Sedapat mungkin diantar oleh petugas c) Dilengkapi keterangan secukupnya d) Dipersiapkan donor darah untuk transfusi darah.
Beberapa bentuk pertolongan lainnya pada plasenta previa, antara lain : 1) Versi Braxton Hicks Tujuan dari braxton hicks ialah untuk mengadakan tamponade plasenta dengan bokong dan untuk menghentikan perdarahan dalam rangka menyelamatkan ibu. Versi braxton hicks biasanya dilakukan pada anak yang sudah mati ataupun masih hidup. Mengingat bahayanya yaitu robekan pada serviks dan pada segmen bawah rahim, perasat ini tidak pernah dilakukan lagi pada rumah sakit yang besar. Akan tetapi, jika pasien berdarah banyak, anak sudah meninggal dan kita mendapat kesulitan dalam memperoleh darah atau kamar operasi maka cara braxton hicks dapat dipertimbangkan. 2) Cunam Willet Gauss Tujuannya adalah untuk mengadakan tamponade plasenta dengan kepala. Dimana kulit kepala janin dijepit dengan cunam willet gauss dan diberati dengan timbangan 500 gram. Perasat ini sekarang tidak pernah dilakukan.
2. Solusio Plasenta a. Definisi Solusio Plasenta Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan implantasi normal pada kehamilan trimester ketiga. Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan timbunan darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat menimbulkan gangguan penyulit terhadap ibu maupun janin. Solusio plasenta lebih berbahaya daripada plasenta previa bagi ibu hamil dan janinnya. Pada perdarahan tersembunyi yang luas dimana perdarahan retroplasenta yang banyak dapat mengurangi sirkulasi utero-plasenta dan menyebabkan hipoksia pada janin. Selain itu, pembentukan hematoma retroplasenta yang luas bisa menyebabkan koagulopati konsumsi yang fatal bagi ibu.
b. Klasifikasi Solusio Plasenta Solusio plasenta ada bermacam, diantaranya plasenta dapat terlepas pada pinggirnya saja (ruptura sinus marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa juga seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya mengalir di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina. Namun dalam solusio plasenta ada kalanya darah tidak keluar melalui vagina, jika : 1) Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim 2) Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim 3) Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah karenanya. 4) Bagian terbawah janin umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah rahim. Secara klinis solusio plasenta dibagi berdasarkan berat ringannya gambaran klinis dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio plasenta ringan, solusio plasenta sedang, dan solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan biasanya baru diketahui setelah plasenta lahir dengan adanya hematoma yang tidak luas pada permukaan maternal atau ada ruptur sinus marginalis. Pembagian secara klinik ini baru definitif bila ditinjau retrospektif karena solusio plasenta sifatnya berlangsung progresif yang berarti solusio plasenta yang ringan bisa berkembang menjadi lebih berat dari waktu ke waktu. Keadaaan umum penderita bisa menjadi buruk apabila perdarahannya cukup banyak pada kategori concealed hemorrhage. 1) Solusio plasenta ringan a) Terlepasnya plasenta kurang dari luasnya b) Tidak memberikan gejala klinik dan ditemukan setelah persalinan c) Keadaan umum ibu dan janinnya tidak mengalami gangguan d) Persalinan berjalan dengan lancar pervaginam. 2) Solusio plasenta sedang a) Terlepasnya plasenta lebih dari bagian tetapi belum mencapai 2/3 bagian. b) Dapat menimbulkan gejala klinik seperti : perdarahan dengan rasa sakit, perut tersa tegang, gerak janin berkurang, palpasi bagian janin sulit teraba, auskultasi jantung janin dapat terjadi asfiksia ringan dan sedang. c) Pada pemeriksaan dalam ketuban menonjol d) Dapat terjadi ganguan pembekuan darah. 3) Solusio plasenta berat a) Lepasnya plasenta lebih dari 2/3 bagian. b) Terjadi perdarahan disertai nyeri. c) Penyulit bagi ibu seperti : (1) Terjadi syok dengan tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat. (2) Dapat terjadi gangguan pembekuan darah (3) Pada pemeriksaan dijumpai turunnya tekanan darah sampai syok, tidak sesuai dengan perdarahan dan penderita tampak anemis. (4) Pemeriksaan abdomen tegang, bagian jani sulit diraba, dinding perut terasa sakit, dan janin telah meninggal dalam rahim. (5) Pemeriksaan dalam ketuban tegang dan menonjol (6) Solusio plasenta berat dengan couvelaire uterus terjadi gangguan kontraksi dan atonia uteri.
c. Penyebab solusio Plasenta Solusio plasenta merupakan keadaan gawat kebidanan yang memerlukan perhatian karena penyulit yang ditimbulkan terhadap ibu maupun janin. Penyebab solusio plasenta antara lain : 1) Trauma langsung terhadap uterus hamil : a) Terjatuh terutam tertelungkup b) Tendangan anak yang sedang digendong c) Atau trauma langsung lainnya 2) Trauma kebidanan artinya solusio plasenta terjadi karena tindakan kebidanan yang dilakukan : a) Setelah versi luar b) Setelah memecahkan ketuban c) Persalinan anak kedua hamil kembar 3) Dapat terjadi pada kehamilan dengan tali pusat yang pendek Faktor predisposisi terjadinya solusio plasenta adalah: a) Hamil pada usia tua b) Mempunyai tekanan darah tinggi c) Bersamaan dengan preeklamsia dan eklamsia d) Tekanan vena cava inferior yang tinggi e) Kekurangan asam folat
d. Gambaran Klinis Solusio Plasenta Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang klasiok dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina, rasa nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus prematurus. 1) Solusio Plasenta Ringan Pada solusio plasenta ringan tidak ada gejala kecuali hematoma yang berukuran beberapa sentimeter terdapat pada permukaan maternal plasenta. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar melalui vagina. Tanda-tanda vital dan keadaan umum ibu ataupun janin masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuk hematom dan perut sedikit tegang tapi bagian-bagian janin masih bisa teraba. 2) Solusio Plasenta Sedang Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung janin biasanya telah menunjukkan gawat janin, perdarahan tampak keluar lebih banyak, taki9kardia, hipotensi, kulit dingi dan keringatan, oliguria mulai ada , kadar fibrinogen berkurang antara 150 sampai 250 mg/100 ml dan mungkin kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada. Rasa nyeri dan tegang perut jelas sehingga bagian-bagia janin sulit teraba. Rasa nyeri akut, perdarahan pervaginam berwana kehitaman, penderita pucat karena mulai syok sehingga keringat dingin.keadaan janin biasanya sudah gawat. 3) Solusio Plasenta Berat Perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan disertai perdarahan yang berwarna hitam. Sehingga palpasi bagian-bagian janin tidak mungkin lagi dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada seharusnya hal ini terjadi karena penumpukan darah di dalam rahim. Jika dalam masa observasi tinggi fundus betrtambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi rahim kelihatan membulat dan kulit diatasnya kencang dan berkilat. Pada auskultasi DJJ tidak terdengar lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi plasenta. Keadaan umum menjadi buruk disertai syok. Hipofibrinogemia atau rendahnya kadar fibrinogen di dalam darah dan oliguria telah terjadi sebagai akibat komplikasi pembekuan darah intravaskular yang luas dan gangguan fungsi ginjal. Kadar fibrinigen darah rendah yaitu kurang kurang dari 150 mg% dan teoah ada trombositopenia. Patofisiologi
Berbagai mekanisme patofisiologi yang terjadi pada solusio plasenta sudah diusulkan, termasuk trauma vaskular setempat yang menyebabkan gangguan pembuluh darah desidua basalis, peningkatan mendadak tekanan vena uteri yang menyebahkan pembesaran dan pemisahan ruang intervilosa, faktorfaktor mekanis (misal, tali pusat pendek, trauma, kehilangan mendadak cairan amnion) dan kemungkinan permulaan ekstrinsik kaskade koagulasi (misal, trauma dengan pelepasan tromboplastin jaringan). Perdarahan dapat terjadi ke dalam desidua basalis atau langsung retroplasenta dari arteri spiralis yang ruptur.Pada kedua kasus ini terjadi perdarahan, terbentuk bekuan darah, dan permukaan plasenta tidak memungkinkan terjadinya pertukaran antara ibu dan placenta. Bekuan darah akan menekan plasenta yang berdekatan dan darah yang tidak membeku mengalir dari tempat tersebut. Pada perdarahan tersembunyi ataupun tampak (eksternal), darah dapat keluar melalui selaput ketuban atau plasenta.Keadaan ini memberikan makna penting karena mungkin menunjukkan perdarahan ibu-janin, perdarahan fetomaternal, perdarahan ibu ke dalam cairan amnion atau emboli cairan amnion. Kadang-kadang perdarahan hebat dalam miometrium menyebabkan uterus berwarna keunguan, ekimotik dan berindurasi (apopleksi uteroplasenta, uterus Couvelaire) dan kehilangan kontraktilitas. Pada pelepasan plasenta berat mungkin terjadi DIC.Secara klinis, diatesis perdarahan terdiri atas petekie meluas, perdarahan aktif, syok hipovolemik dan kegagalan mekanisme pembekuan darah. Meskipun tidak dapat diamati secara langsung, fibrin tertumpuk dalam kapiler kecil, menyebabkan komplikasi yang menakutkan, misalnya: nekrosis tubular dan korteks ginjal, kor pulmonale akut dan nekrosis hipofisis anterior (sindrom Sheehan). Diagnosis Solusio Plasenta Diagnosis solusio plasenta dapat ditegalkkan dengan melakukan : 1) Anamnesa a) Terdapat perdarahan disertai rasa nyeri b) Terjadi spontan atau karena trauma c) Perut terasa nyeri d) Diikuti penurunan sampai terhentinya gerakan janin dalam rahim
2) Pemeriksaan
a) Pemeriksaan fisik umum (1) Keadaan umum penderita tidak sesuai dengan jumlah perdarahan (2) Tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat (3) Penderita tampak anemis
b) Pemeriksaan khusus (1) Palpasi abdomen a.) Perut tegang terus menerus b.) Terasa nyeri saat palpasi c.) Bagian janin sukar ditentukan (2) Auskultasi a.) Denyut jantung janin bervariasi dari asfiksia ringan sampai berat. (3) Pemeriksaan dalam a.) Terdapatnya pembukaan b.) Ketuban tegang dan menonjol c.) Pemeriksaan penunjang denga USG, dijumpai perdarahan antara plasenta dan dinding abdomen.
f. Komplikasi Solusio Plasenta Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada solusio plasenta, sebagai berikut : 1) Penyulit komplikasi ibu a) Perdarahan yang dapat menimbulkan variasi turunnya tekanan darah sampai keadaan syok, perdarahan yang terjadi tidak sesuai dengan keadaan penderita anemis sampai syok, dan kesadaran penderita dari baik sampai koma. b) Gannguan pembekuan darah disebabkan karena masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi darah menyebabkan pembekuan darah intravaskular dan disertai hemolisis. Selain itu juga terjadi penurunan fibrinogen sehingga hipofibrinogen dapat mengganggu pembekuan darah. c) Oligouria, hal ini terjadi karena terdapatnya sumbatan glomerulus ginjal dan dapat menimbulkan produksi urin makin berkurang. d) Perdarahan postpartum. Pada solusio plasenta se3dang sampai berat terjadi infiltrasi darah ke otot rahim, sehingga mengganggu kontraksi dan menimbulkan perdarahan karena atonia uteri, dan kegagalan pembekuan darah dapat menambah beratnya perdarahan.
2) Penyulit pada janin Perdarahan yang tertimbun dibelakan plasenta mengganggu sirkulasi dan nutrisi ke arah janin sehingga dapat menimbulkan asfiksia ringan sampai berat dan kematian di dalam rahim. Kematian janin tergantung dari seberapa bagian plasenta telah lepas dari implantasinya di fundus uteri.
g. Penatalaksanaan Solusio Plasenta Penanganan solusio plasenta harus dilakukan rawat inap di rumah sakit yang memadai.ketika masuk segera dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk kadar Hb dan golongan darah serta gambaran pembekuan darah. Jika diagnosis belum jelas dan janin masih hidup tanpa tanda-tanda gawat janin observasi ketat dengan kesiagaan dan fasilitas yang bisa segera diaktifkan untuk intervensi jika sewaktu-waktu muncul kegawatan. Persalinan mungkin pervaginam atau juga mungkin perabdominal tergantung pada banyaknya perdarahan, telah ada tanda-tanda persalinan spontan atau belum, dan tanda-tanda gawat janin. Penanganan terhadap solusio plasenta bisa bervariasi sesuai berat ringannya penyakit, usia ibu, serta keadaan ibu dan janinnya. Jika janin masih hidup dan cukup bulan serta belum ada tanda- tanda persalinan pervaginam maka dilakukan bedah caesar. Pada perdarahan yang cukup banyak segera lakukan resusitasi dengan pemberian transfusi darah dan kristaloid yang cukup diikuti persalinan yang cepat untuk mengendalikan perdarahan dan menyelamatkan ibu dan janin. Bedah caesar dilakukan pada kasus yang berat atau telah terjadi gawat janin. Jika janin telah mati dalam rahim maka lebih sering dipilih persalinan pervaginam kecuali jika ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi darah atau ada indikasi obstetrik untuk melakukan persalinan perabdominal. Pada persalinan pervaginam diperlukan upaya stimulasi miometrium secara farmakologikatau masase agar kontraksi miometrium baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya perdarahan sekalipun masih terjadi gangguan pembekuan darah.
3. Pecahnya Sinus Marginalis Pecahnya sinus marginalis merupakan perdarahan yang baru diketahui setelah persalinan. Pada waktu persalinan, perdarahan terjadi tanpa rasa sakit dan menjelang pembukaan lengkap perlu dipikirkan adanya perdarahan karena sinus marginalis yang pecah. Bahya dari pecahnya sinus marginalis tidak terlalu membahayakan janin dan ibu.
4. Perdarahan Karena Pecahnya Vasa Previa Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di dalam selaput ketuban dan melewati ostium uteri internum kemudian sampai ke dalam insersinya pada tali pusat. Perdarahan terjadi bila selaput ketuban yang melewati pembukaan serviks robek atau pecah dan vaskular janin pun ikut terputus. Faktor resiko antara lain pada plasenta bilobata, plasenta suksenturiata, plasenta letak rendah, kehamilan pada vertilisasi in vitro, dan kemailan ganda terutama triplet. Secara teknis keadaan ini dimungkinkan pada dua situasi yaitu pada insersio velamentosa, dan plasenta suksenturiata. Pemeriksaan terbaik adalah dengan elektroforesis. Bila diagnosis dapat ditegakkan sebelum persalinan maka tindakan terpilih untuk menyelamatkan janin adalah dengan seksio sesarea.
GAWAT JANIN (FETAL DISTRESS) 1. Pengertian Fetal Distress (Gawat janin) adalah gangguan pada janin dapat terjadi pada masa antepartum atau intrapartum. Kegawatan janin antepartum menjadi nyata dalam bentuk retardasi pertumbuhan intrauterin. Hipoksia janin peningkatan tahanan vaskular pada pembuluh darah janin. (Nelson, Ilmu Kesehatan Anak) Gawat janin terjadi bila janin tidak menerima Oksigen cukup, sehingga mengalami hipoksia. (Abdul Bari Saifuddin dkk.2002 ). Secara luas istilah gawat janin telah banyak dipergunakan, tapi didefinisi istilah ini sangat miskin. Istilah ini biasanya menandakan kekhawatiran obstetric tentang obstetric tentang keadaan janin, yang kemudian berakhir dengan seksio secarea atau persalinan buatan lainnya. Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ). Dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium didalam cairan amniom. Sering dianggap DJJ yang abnormal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan hipoksia dan asidosis. Akan tetapi, hal tersebut sering kali tidak benarkan . Misalnya, takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga oleh hipotemia, sekunder dari infeksi intra uterin. Keadaan tersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau asidosis.sebaliknya, bila DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin. Untuk kepentingan klinik perlu ditetapkan criteria apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin bila ditemukan bila denyut jantung janin diatas 160 / menit atau dibawah 100 / menit, denyut jantung tidak teratur , atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan.
2. Etiologi Penyebab dari gawat janin yaitu: a. Insufisiensi uteroplasenter akut (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu singkat) : 1. Aktivitas uterus yang berlebihan, hipertonik uterus, dapat dihubungkan dengan pemberian oksitosin. 2. Hipotensi ibu, anestesi epidural,kompresi vena kava, posisi terlentang. 3. Solusio plasenta. 4. Plasenta previa dengan pendarahan. b. Insufisiensi uteroplasenter kronik (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu lama) : 1. Penyakit hipertensi 2. Diabetes mellitus 3. Postmaturitas atau imaturitas c. Kompresi (penekanan) tali pusat 1. Oligihidramnion 2. Prolaps tali pusat 3. Puntiran tali pusat d. Penurunan kemampuan janin membawa oksigen 1. Anemia berat misalnya isomunisasi , perdarahan fetomaternal 2. Kesejahteraan janin dalm persalinan asfiksia intrapartum dan komplikasi 3. Skor APGAR 0-3 selam > 5 menit 4. Sekuele neorologis neonatal 5. Disfungsi multi organ neonatal 6. PH arteri tali pusat 7,0 3. Patofisiologi Ada beberapa proses atau tahapan terjadinya peristiwa Fetal Distress, antara lain : a. Perubahan pada kehamilan Postterm Terjadi beberapa perubahan cairan amnion, plasenta dan janin pada kehamilan postterm. Dengan mengetahui perubahan tersebut sebagai dasar untuk mengelola persalinan postterm.
b. Perubahan cairan amnion Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml , 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan 42 dan 43 minggu. Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan postterm dan menyebabkan oligohidramnion. Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru janin dan perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4 : 1 atau lebih besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi hijau atau kuning. Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada persalinan postterm. Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat di ukur dengan pemeriksaan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat popular. Dengan mengukur diameter vertikal dari kantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil penjumlahan 4 kuadran disebut Amniotic Fluid Index ( AFI ). Bila AFI kurang dari 5 cm indikasi oligrohidramnion. AFI 5 10 cm indikasi penurunan volume cairan amnion. AFI 10 15 cm adalah normal. AFI 15 20 cm terjadi peningkatan volume cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.
c. Perubahan pada plasenta Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran gas antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka terjadi pula perubahan struktur plasenta. Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau di dahului dengan titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada kehamilan atterm terjadi infark 10 % - 25 % sedangkan pada postterm terjadi 60% - 80 %. Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10 g / 100 g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2 3 g / 100 g jaringan plasenta kering. Secara histology plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark plasenta, kalsifikasi, thrombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus, thrombosis arterial dan endarteritis arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini menyebabkan malnutrisi dan asfiksia. Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut : a. Piring korion : lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal. b. Jaringan plasenta : berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu kotiledon ( ada darah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi, mungkin memberikan bayangan akustik ) . c. Lapisan basal : daerah basal dengan gema kuat dan memberikan gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini di kategorikan tingkat 3.
d. Perubahan pada janin Sekitar 45 % janin yang tidak di lahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat lebih dari 4000 g. keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur kehamilan 38 40 minggu insiden janin besar sekitar 10 % dan 43 minggu sekitar 43 %. Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan resiko persalinan traumatik. Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu : rambut panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium.
4. Komplikasi a. Pada Kehamilan Gawat janin dapat menyebabkan berakhirnya kehamilan karena pada gawat janin, maka harus segera dikeluarkan. 1. Pada persalinan Gawat janin pada persalinan dapat menyebabkan : a. Persalinan menjadi cepat karena pada gawat janin harus segera dikeluarkan b. Persalinan dengan tindakan, seperti ekstraksi cunam, ekstraksi forseps, vakum ekstraksi, ataupun bahkan dapat diakhiri dengan tindakan sectio saesarea (SC)
5. Diagnosa Diagnosis gawat janin saat persalinan didasarkan pada denyut jantung janin yang abnormal. Diagnosis lebih pasti jika disertai air ketuban hijau dan kental/ sedikit. Gawat janin dapat terjadi dalam persalinan karena partus lama, Infuse oksitosin, perdarahan, infeksi, insufisiensi plasenta, ibu diabetes, kehamilan pre dan posterm atau prolapsus tali pusat. Hal ini harus segera dideteksi dan perlu penanganan segera.
6. Klasifikasi Jenis gawat janin yaitu : a. Gawat janin yang terjadi secara ilmiah 1. Gawat janin iatrogenic Gawat janin iatrogenik adalah gawat janin yang timbul akibat tindakan medik atau kelalaian penolong. Resiko dari praktek yang dilakukan telah mengungkapkan patofisiologi gawat janin iatrogenik akibat dari pengalaman pemantauan jantung janin. 2. Posisi tidur ibu Posisi terlentang dapat menimbulkan tekanan pada Aorta dan Vena Kava sehingga timbul Hipotensi. Oksigenisasi dapat diperbaiki dengan perubahan posisi tidur menjadi miring ke kiri atau semilateral. 3. Infus oksitosin Bila kontraksi uterus menjadi hipertonik atau sangat kerap, maka relaksasi uterus terganggu, yang berarti penyaluran arus darah uterus mengalami kelainan. Hal ini disebut sebagai Hiperstimulasi. Pengawasan kontraksi harus ditujukan agar kontraksi dapat timbul seperti kontrkasi fisiologik. 4. Anestesi Epidural Blokade sistem simpatik dapat mengakibatkan penurunan arus darah vena, curah jantung dan penyuluhan darah uterus. Obat anastesia epidural dapat menimbulkan kelainan pada denyut jantung janin yaitu berupa penurunan variabilitas, bahkan dapat terjadi deselerasi lambat. Diperkirakan ibat-obat tersebut mempunyai pengaruh terhadap otot jantung janin dan vasokontriksi arteri uterina.
b. Gawat janin sebelum persalinan c. Gawat janin kronik Dapat timbul setelah periode yang panjang selama periode antenatal bila status fisiologi dari ibu- janin-plasenta yang ideal dan normal terganggu. d. Gawat janin akut Suatu kejadian bencana yang tiba tiba mempengaruhi oksigenasijanin. e. Gawat janin selama persalinan Menunjukkan hipoksia janin tanpa oksigenasi yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan varibilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun. (Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekkologi, 1994 : 211-213)
7. Penatalaksanaan a. Penanganan umum: 1. Pasien dibaringkan miring ke kiri, agar sirkulasi janin dan pembawaan oksigen dari obu ke janin lebih lancer. 2. Berikan oksigen sebagai antisipasi terjadinya hipoksia janin. 3. Hentikan infuse oksitosin jika sedang diberikan infuse oksitosin, karena dapat mengakibatkan peningkatan kontraksi uterus yang berlanjut dan meningkat dengan resiko hipoksis janin. 4. Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah penanganan yang sesuai. 5. Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin tetap abnormal sepanjang paling sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam untuk mencari penyebab gawat janin: Bebaskan setiap kompresi tali pusat Perbaiki aliran darah uteroplasenter Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan indikasi. Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada fakjtor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric pasien dan jalannya persalinan.
b. Penatalaksanaan Khusus 1. Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk membebaskan kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung dan aliran darah uteroplasenter. Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat. 2. Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal. 3. Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang intervilli. 4. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % berbanding larutan laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik. 5. Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalanan persalinan. 6. Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.
a. Prinsip Umum : 1. Bebaskan setiap kompresi tali pusat 2. Perbaiki aliran darah uteroplasenter 3. Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan indikasi. Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric pasien dan jalannya persalinan. b. Penatalaksanaan Khusus: 1. Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk membebaskan kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung dan aliran darah uteroplasenter. Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat. 2. Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal. 3. Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang intervilli. 4. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % dalam larutan laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik. 5. Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalanan persalinan. 6. Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.(Abdul Bari Saifuddin dkk.2002 )
c. Pengelolaan Antepartum Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan. Menentukan umur kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal menstruasi terakhir, atau dari hasil pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 12-20 minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion (AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta. Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40 minggu dengan pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk menditeksi terjadinya insufisiensi plasenta tetapi tidak adekuat untuk mendiagnosis oligohidramnion, atau memprediksi trauma janin. Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga menilai volume cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin. Pemeriksaan lain yaituOxytocin Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan janin dengan serangkaian kejadian asidosis, hipoksia janin dan deselerasi lambat. Penilaian ini dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali seminggu. Pemeriksaan tersebut juga untuk menentukan Penulis lain melaporkan bahwa kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur kehamilan 41 minggu. Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 41 minggu. Pemeriksaan amniosintesis dapat dikerjakan untuk menentukan adanya mekonium di dalam cairan amnion. Bila kental maka indikasi janin segera dilahirkan dan memerlukan amnioinfusion untuk mengencerkan mekonium. Dilaporkan 92% wanita hamil 42 minggu mempunyai serviks tidak matang dengan Bishop score kurang dari 7. Ditemukan 40% dari 3047 wanita dengan kehamilan 41 minggu mempunyai serviks tidak dilatasi. Sebanyak 800 wanita hamil postterm diinduksi dan dievaluasi di Rumah Sakit Parkland. Pada wanita dengan serviks tidak dilatasi, dua kali meningkatkan seksio cesarea karena distosia.
d. Pengelolaan Intrapartum Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya pada janin. Sebelum menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah disporposi kepala panggul, profil biofisik janin baik. Induksi kehamilan 42 minggu menjadi satu putusan bila serviks belum matang denganmonitoring janin secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari tanda adanya fetal compromise. Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan dua pengelolaan. Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan dan monitoring janin. Dilakukan pemeriksaan pola denyut jantung janin. Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi tali pusat oleh karena oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan memeriksa pola denyut jantung janin. Bila ditemukan variabel deselerasi, satu atau lebih deselerasi yang panjang maka seksio cesarea segera dilakukan karena janin dalam bahaya.
Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan terjadi aspirasi sangat besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi paru berat dan kematian janin. Keadaan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat menghilangkan dengan penghisapan yang efektif pada faring setelah kepala lahir dan sebelum dada lahir. Jika didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin memerlukan ventilasi.
Kardiotokografi Alat kardiotokografi (KTG) merupakan alat bantu didalam pemantauan kesejahteraan janin. Pada KTG ada tiga bagian besar kondisi yang dipantau yaitu denyut jantung janin (DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin serta korelasi diantara ketiga parameter tersebut. Peralatan KTG tersebut harus dipelihara dengan baik, jangan sampai kabelnya rusak akibat sering dilepas dan dipasang atau kesalahan dalam perawatan peralatan tokometer dan kardiometer. Diperlukan seorang penanggung jawab untuk perawatan dan pengoperasionalan KTG tersebut, juga pelatihan didalam menginterpretasikan hasil KTG tersebut. Pada saat pemeriksaan KTG, posisi pasien tidak boleh tidur terlentang, tetapi harus setengah duduk atau tidur miring (Gambar 1).7 Gambar 5. Posisi pasien saat pemeriksaan CTG (Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html ) Syarat Pemeriksaan Kardiotokografi
2. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan). 3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui. 4. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada KTG terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik. Mekanisme Pengaturan DJJ Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu : 1. Sistem Saraf Simpatis Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam miokardium. Stimulasi saraf simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik, akan meningkatkan frekuensi DJJ, menambah kekuatan kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curah jantung. Dalam keadaan stress, system saraf simpatis berfungsi mempertahankan aktivitas pemompaan darah. Inhibisi saraf simpatis, misalnya dengan obat propranolol, akan menurunkan frekuensi DJJ dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ. 2. Sistem saraf Parasimpatis Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yang berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodus VA, dan neuron yang terletak di antara atrium dan ventrikel jantung. Stimulasi nervus vagus, misalnya dengan asetil kolin akan menurunkan frekuensi DJJ; sedangkan inhibisi nervus vagus, misalnya dengan atropin, akan meningkatkan frekuensi DJJ. 3. Baroreseptor Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan darah meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus8 glosofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah jantung. Gambar 6. Baroreseptor dan kemoreseptor 4. Kemoreseptor Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak di daerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak di batang otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan serebro-spinal. Bila kadar oksigen menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi refleks dari reseptor sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan kadar karbondioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradikardia. Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan hipotensi. 5. Susunan Saraf Pusat Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan variabilitas DJJ-pun akan berkurang. 6. Sistem Pengaturan Hormonal Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan takikardia, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan hipertensi. 7. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor, stretchreceptors dan pusat pengaturan (Lauren Ferrara, Frank Manning, 2005). Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satu tiga sumber, yaitu (1) priprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan sendi;9 (2) serabut saraf nyeri yang terutama banyak terdapat di jaringan kulit; dan (3) baroreseptor di aorta askendens dan arteri karotis, dan stretch receptors di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke cardioregulatory center (CRC) kemudian ke cardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya menuju nodus sinoatrial sehingga timbullah akselerasi DJJ (lihat gambar 2 dan 3)3 . Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi DJJ (Sumber : Lauren Ferrara, Frank Manning, 2005 http://contemporaryobgyn.mediwire.com/main/Default.aspx? P=Content&ArticleID=145655) Gambar 8. Hubungan gerak janin dengan akselerasi DJJ ( Sumber : Lauren Ferrara, Frank Manning, 2005, http://contemporaryobgyn.mediwire.com/main/ Default.aspx? P=Content&ArticleID=145655) Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada pemeriksaan KTG adalah : Akselerasi, Deselerasi dini, Deselerasi lambat, dan Deselerasi variabel (Gambar 9).10 Gambar 9. KTG dengan deselerasi variabel (Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html) Interpretasi NST 1. Reassuring (Reaktif) : Terdapat gerakan janin sedikitnya 2 kali dalam 20 menit, disertai dengan akselerasi sedikitnya 15 dpm. 160 dpm. 25 dpm. 2. Non-reassuring (Non-reaktif) : at gerakan janin dalam 20 menit, atau tidak terdapat akselerasi pada gerakan janin.
160 dpm).
3. Meragukan: 20 menit, atau terdapat akselerasi yang kurang dari 15 dpm.
5 dpm. Hasil NST yang reaktif biasanya diikuti dengan keadaan janin yang baik sampai 1 minggu kemudian (spesifisitas 95% - 99%). Hasil NST yang non-reaktif disertai dengan keadaan janin yang jelek (kematian perinatal, nilai Apgar rendah, adanya deselerasi lambat intrapartum), dengan sensitivitas sebesar 20%. Hasil NST yang meragukan harus diulang dalam waktu 24 jam.11 Oleh karena rendahnya nilai sensitivitas NST, maka setiap hasil NST yang non-reaktif sebaiknya dievaluasi lebih lanjut dengan contraction stress test (CST), selama tidak ada kontraindikasi. Interpretasi Contraction stress test (CST) 1. Negatif:
2. Positif :
selerasi variabel berat yang persisten pada setiap kontraksi.
3. Equivokal : terdiri dari mencurigakan, tidak memuaskan, dan hiperstimulasi a) Equivokal Mencurigakan (suspicious): miten pada kontraksi yang adekuat.
b) Ekuivokal Tidak memuaskan (unsatisfactory):
atau gerakan janin yang berlebihan.
c) Ekuivokal Hiperstimulasi:
kontraksi lebih dari 90 detik.
Hasil CST negatif menggambarkan keadaan janin yang masih baik sampai 1 minggu pasca pemeriksaan (spesifisitas 99%). Hasil CST positif disertai dengan nasib perinatal yang jelek pada 50% kasus. Hasil CST yang mencurigakan harus terus diobservasi secara ketat (CST diulang setiap 30 60 menit); bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan pH darah janin. Hasil CST yang tidak memuaskan harus diulang dalam waktu 24 jam. Bila terdapat hiperstimulasi, kontraksi harus segera dihilangkan (tokolisis) dan kehamilan/persalinan diakhiri.12 Tatalaksana Berdasar Pemeriksaan Kardiotokografi Indikasi Pemeriksaan KTG Kehamilan Persalinan / OCT Reaktif Non-reaktif Meragukan Negatif Positif Curiga Tidak memuaskan Hiperstimulasi ANC Cari kausa Cari kausa Periksa ulang Ulangi Periksa ulang dalam 24 jam dalam24 jam 1 minggu Hasil masih TERMINASI HASIL ?? Meragukan ?? CST Gambar 10. Penatalaksanaan kehamilan / persalinan berdasarkan KTG Dokumentasi Setiap rekaman KTG harus dibuat dokumentasi, bisa dalam bentuk hasil cetakan printer atau direkam dalam disket komputer. Sebaiknya kedua hal tersebut dilakukan bagi setiap pasien. Data dalam disket disimpan oleh rumah sakit, sedangkan hasil cetakan diberikan kepada pasien. RCOG menganjurkan Tindak Lanjut Hasil Pemantauan Kesejahteraan Janin Paramedis ataupun tenaga medis harus mampu dengan cepat dan benar melakukan interpretasi dari alat bantu pemantauan kesejahteraan janin tersebut kemudian memilih rencana tindakan yang terbaik bagi pasiennya. Penjelasan yang memadai yang dibarengi dengan kompetensi yang baik akan meminimalkan kesalahan penatalaksanaan. Misalnya pada gambaran KTG dijumpai deselerasi variabel, maka tindak lanjutnya adalah mencari kausa dari kelainan tersebut. Tanyakan apakah gerak janin berkurang ? apakah ada cairan ketuban yang keluar per vaginam ? kemudian lakukan pemeriksaan USG untuk mendeteksi adanya lilitan atau kompresi tali pusat. Bila penyebabnya sudah diketahui, barulah penatalaksanaan yang benar dan rasional dapat dilakukan. Bagaimana bila tidak ada alat USG ? bila menungkinkan pasien dirujuk kepusat pelayanan rujukan yang lebih tinggi, bila tidak mungkin merujuk, maka pergunakan segala fasilitas yang ada dan berikan penjelasan yang baik kepada pasien dan keluarga (informed consent). Jangan sampai pasien berharap terlalu tinggi akibat ketidaktahuannya dan juga akibat ketidaksiapan kita melayaninya. Beberapa alternatif pilihan yang dapat dilakukan dalam menindaklanjuti hasil pemantauan kesejahteraan janin adalah melakukan penanganan yang memadai ditempat kerja, merujuk pasien ke pusat pelayanan yang lebih tinggi, menambah fasilitas peralatan kesehatan, meningkatkan kualitas SDM melalui pelatihan kompetensi, dan memberikan pendidikan kepada masyarakat awam agar mereka dapat memahami dengan baik kondisi pelayanan kesehatan yang ada. Pelatihan PKJ di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad dilakukan setiap bulan Februari dan Juli selama dua hari. Materi ajar Pemantauan Kesejahteraan janin terdiri dari : 1. Konsep dasar pemantauan kesejahteraan janin ( 30 menit) 2. Pemantauan gerak janin (30 menit) 3. Penerapan klinis partograf WHO terbaru (30 menit) 4. Dasar-dasar kardiotokografi (60 menit) 5. Penerapan klinis kardiotokografi (60 menit) 6. Diskusi kasus kardiotokografi (45 menit) 7. Bimbingan praktek (hands-on) pemeriksaan kardiotokografi dan demo manfaat pemeriksaan USG dalam pemantauan kesejahteraan janin 8. Kompetensi perawat dalam pemantauan kesejahteraan janin (30 menit) 9. Kompetensi bidan dalam pemantauan kesejahteraan janin (30 menit) 10.Resusitasi intrauterin dan neonatus (30 menit) 11.Aspek etika dan medikolegal pemantauan kesejahteraan janin (30 menit) 12.Pembuatan laporan kardiotokografi (30 menit) 13.Pre dan pst test (60 menit) Simpulan Pemantauan kesejahteraan janin memegang peranan penting didalam pengawasan kehamilan dan persalinan. Pemantauan ini seharusnya sudah15 dilakukan sejak kehamilan trimester pertama hingga trimemester ketiga dan saat persalinan. Metoda sederhana seperti pemantauan gerak janin dan mendengarkan DJJ dapat membantu mendeteksi abnormalitas secara dini asalkan dilakukan dengan benar. Alat bantu diagnostik canggih bukan merupakan sesuatu yang harus disediakan karena masih banyak hal penting lain yang dapat dilakukan untk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan janin serta kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Pemeriksaan KTG saja tidak cukup untuk menilai kesejahteraan janin. Penambahan pemeriksaan volume cairan amnion merupakan prasyarat minimal yang harus ditambahkan pada pemeriksaan KTG. Pemeriksaan profil biofisik telah terbukti meningkatkan ketepatan evaluasi kesejahteraan janin. Mengingat dampak jangka panjang dari hipoksia intrauterin terhadap janin, maka hasil pemeriksaan KTG beserta interpretasinya disarankan untuk disimpan selama 25 tahun. Pelatihan pemantauan kesejahteraan janin yang terstandarisasi akan meningkatkan kualitas pelayanan berbasis pendidikan dan penelitian
AmarahBenci Serakah Dengki IriEgois Dendam Nafsu KebohonganHarta Korupsi Kekuasaan Kehormatan Malas Takut Cemburu Sombong Licik Keras Kepala KasarDusta Penggoda Kekerasan Brengsek IndividualismeHedonisme Lalai Mater
AmarahBenci Serakah Dengki IriEgois Dendam Nafsu KebohonganHarta Korupsi Kekuasaan Kehormatan Malas Takut Cemburu Sombong Licik Keras Kepala KasarDusta Penggoda Kekerasan Brengsek IndividualismeHedonisme Lalai Mater