Anda di halaman 1dari 63

LI Memahami dan menjelaskan Hipertensi dalam kehamilan

1.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan yang berkelanjutan dalam
tekanan darah yaitu 140/90 mm Hg. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
hingga 73% dari pasien primipara mengalami peningkatan tekanan diastolik dalam darah yaitu
15 mm Hg di beberapa titik selama kehamilan normotensif tanpa peningkatan outcomes.
Hal ini merugikan namun, disarankan bahwa setiap wanita hamil dengan kenaikan
tekanan sistolik dalam darah 30 mm Hg atau tekanan darah diastolik dari 15 mmHg harus
dimonitor secara seksama.
1.2 Klasifikasi Hipertensi Selama Kehamilan
Menurut American College of Obstetri dan Ginekologi, hipertensi selama kehamilan
telah diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut:
1. Hipertensi kronis.
2. Hipertensi gestational.
3. Preeklamsia-eklamsia.
4. Preeklamsia-eklamsia yang dihubungkan pada hipertensi kronis.

1. Hipertensi kronis
Hipertensi kronis didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dari 140 mm Hg atau
tekanan darah diastolik dari 90 mm Hg sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu kehamilan,
atau hipertensi yang bertahan selama lebih dari 12 minggu pasca melahirkan.
Hipertensi diklasifikasikan sebagai ringan ketika tekanan darah dalam kisaran, untuk
sistolik 140-159 mmHg dan 90-99 mm Hg untuk diastolik. Hipertensi parah adalah hipertensi
dengan tekanan darah 160/100 mmHg dan berkaitan dengan akhir kerusakan pada organ.
Epidemiologi
Diperkirakan bahwa 3% dari wanita hamil di negara Amerika mempunyai hipertensi
kronis. Prevalensi hipertensi secara mencolok tinggi di antara perempuan kulit hitam (44%),
serta perempuan yang lebih tua (12,6% sampai di usia 35 sampai 44 tahun).
Penyebab
Penyebab utama dari hipertensi kronis adalah esensial hipertensi atau hipertensi primer
(90%), sedangkan penyebab hipertensi sekunder untuk sisanya (10%). Hipertensi sekunder
mungkin karena penyakit ginjal seperti glomerulonefritis, stenosis arteri ginjal, penyakit
pembuluh darah kolagen (lupus, skleroderma), gangguan endokrin atau (tirotoksikosis,
pheochromocytoma, hiperaldosteronisme).

Perubahan patofisiologi Hipertensi kronis
Tidak seperti adaptasi kehamilan normal, hipertensi kronis di wanita hamil yang ditandai
dengan resistensi pembuluh darah tetap tinggi. Indeks resistensi pembuluh darah sistemik
hipertensi kronis dan gelombang kecepatan nadi tetap tinggi selama kehamilan dibandingkan
dengan seluruh kehamilan yang sehat. Arteri kaku (yang diukur dengan rasio indeks stroke
tekanan nadi), bagaimanapun, adalah kurang dalam kronis hipertensi dibandingkan dengan
subyek preeklamsi.

Komplikasi Hipertensi kronis
Hipertensi kronis pada kehamilan dikaitkan dengan peningkatan kerugian yang terjadi
pada ibu dan janin seperti melapis preeklamsia, kematian perinatal, lepasnya plasenta, bayi lahir
rendah, pembatasan pertumbuhan berat badan, dan intrauterin (IUGR). Diperkirakan bahwa
sekitar 10% sampai 25% dari wanita hamil dengan hipertensi yang sudah ada sebelumnya
mengalami preeklamsia.
Dalam sebuah retrospektif besar kohort (penelitian), wanita dengan hipertensi yang sudah
ada sebelumnya lebih berisiko preeklamsia berat sebanyak 2,7 kali lipat dibandingkan dengan
wanita hamil tanpa hipertensi sebelumnya. Risiko ini bahkan lebih tinggi pada wanita dengan
hipertensi yang sudah ada sebelumnya yang parah serta hipertensi yang tidak terkontrol atau
pada wanita yang mempunyai penyakit kardiovaskular dan ginjal.
Diagnosis preeklamsia dapat dihubungkan pada pasien hipertensi yang sudah ada dengan
proteinuria. Namun, tiba-tiba meningkat menjadi 3 kali lipat peningkatan proteinuria, tekanan
darah akut seiring dengan keterlibatan sistem organ lain. Preeklampsi harus dibawah perhatian
dokter.
Hipertensi kronis dan proteinuria, terlepas dari pengembangan preeklamsia, terkait
dengan sekitar 3-kali lipat peningkatan kejadian prematur pengiriman
(35 minggu kehamilan) dan bayi yang kecil untuk usia kehamilan. Preeklampsia juga pada
wanita hamil dikaitkan dengan kejadian lepasnya plasenta dan kematian perinatal yang lebih
tinggi.

Manajemen Hipertensi Kronis
Tekanan darah yang optimal selama kehamilan masih belum diketahui dan tetap
kontroversial. Menurut Laporan Ketujuh Bersama Komite Nasional Pencegahan, Deteksi,
Evaluasi, dan Pengobatan Tekanan Darah Tinggi (JNC 7) melaporkan, ada linier peningkatan
morbiditas kardiovaskular dari tingkat tekanan darah rendah yaitu 115 mm Hg untuk sistolik dan
diastolik 75 mm Hg ke atas. Ini telah dimasukan oleh 7 JNC dalam klasifikasi baru prehipertensi
untuk tekanan darah dalam kisaran 120-139/80-89 mmHg.
Tujuan mengobati hipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas kardiovaskular, namun
efek yang paling diamati pada pengobatan yaitu
mencapai pengurangan berkelanjutan dalam tekanan darah lebih dari 10 tahun. Wanita hamil
dengan hipertensi ringan berbeda, bahwa manfaat pengobatan antihipertensi jangka pendek tidak
mendefinisikan dengan baik sebagai hasil potensial yang merugikan terhadap janin.
Tidak ada bukti yang meyakinkan pengobatan medis untuk hipertensi ringan
meningkatkan hasil ibu pada kehamilan. Selain itu, penggunaan obat-obatan
pada hipertensi ringan selama kehamilan dapat menyebabkan penurunan
yaitu adanya tekanan arteri dengan peningkatan risiko janin yang membatasi
pertumbuhan, terlepas dari jenis antihipertensi yang digunakan.
Dengan demikian, rekomendasi saat ini adalah bahwa obat antihipertensi
dimulai sebelum kehamilan harus disesuaikan dengan darah yang memadai untuk mengontrol
tekanan darah dan untuk menghindari risiko teratogenik.
Wanita hamil dengan hipertensi ringan (159/99 mm Hg) dan bukan pada
obat-obatan harus tetap diamati, obat tidak boleh dimulai kecuali tekanan darah 159/99 mm Hg
berlanjut, atau ada kejadian kerusakan organ. Pemantauan tekanan darah yang intensif dan
pengobatan antihipertensi dalam kasus ini adalah untuk mengurangi risiko kecelakaan ke
pembuluh darah di otak.



2. Hipertensi gestasional
Hipertensi kehamilan ini berlaku untuk wanita sudah memasuki trimester dua kehamilan,
dengan tidak adanya proteinuria. Ini mungkin termasuk pasien yang kemudian berkembang
menjadi preeklamsia, tetapi yang pada saat di diagnosis belum ada proteinuria.
Kejadian ini biasanya mempengaruhi wanita dalam waktu dekat, meskipun hipertensi
yang bentuknya parah yang timbul sebelumnya. Ketika hal ini terjadi, preeklamsia biasanya
mengikuti segera. Etiologi hipertensi kehamilan adalah
tidak jelas, meskipun tampaknya untuk mengidentifikasi wanita ditakdirkan untuk
mengembangkan hipertensi esensial di kehidupan nanti.
Tekanan darah kembali ke normal segera setelah melahirkan, tetapi kekambuhan
mungkin terjadi pada kehamilan berikutnya. Sering kali diagnosis hipertensi gestasional yang
benar hanya dapat dilakukan setelah melahirkan, ketika jelas bahwa pasien tidak dikembangkan
preeklamsia. Dan jika pasien hipertensi berlanjut, dia dianggap telah hipertensi kronis.
Penatalaksanaan Hipertensi Gestasional
Penatalaksanaan hipertensi gestasional perlu dilakukan dengan tujuan untuk mencegah jangan sampai
berlanjut menjadi eklamsia yang akan menimbulkan kelainan serius pada ibu dan mengganggu
kehidupan serta kesehatan janin dalam rahim.
Bila didapatkan hipertensi dalam kehamilan sebaiknya segera dipondokkan saja dirumah sakit dan
diberikan istirahat total. Istirahat total akan menyebabkan peningkatan aliran darah renal dan utero
placental. Peningkatan aliran darah renal akan meningkatkan diuresis (keluarnya air seni), menurunkan
berat badan dan mengurangnya oedema. Pada prinsipnya penatalaksanaan hipertensi ditujukan untuk
mencegah terjadinya eklamsia, monitoring unit feto-placental, mengobati hipertensi dan melahirkan
janin dengan baik.

Kiat Menurunkan Tekanan Darah
A. Turunkan Kelebihan Berat Badan
Diantara semua faktor resiko yang dapat dikendalikan, berat badan adalah salah satu yang paling erat
kaitannya dengan hipertensi. Dibandingkan dengan orang yang kurus, orang yang gemuk (kelebihan
berat badan) lebih besar peluangnya terkena hipertensi (Edward Price, M.D).
B. Olahraga
Olahraga sangat bermanfaat bagi kesehatan kardiovaskuler. Gerak fisik hingga taraf tertentu dibutuhkan
tubuh untuk menjaga mekanisme pengatur tekanan darah agar tetap bekerja sebagaimana mestinya.
Olahraga yang disarankan untuk ibu hamil seperti senam hamil, renang, atau gerakan statis (seperti
berjalan kaki).
C. Diet
1. Mengurangi asupan garam
Seperti kasus hipertensi pada umumnya, pada penderita hipertensi gestasional pengurangan asupan
garam dapat menurunkan tekanan darah secara nyata. Umumnya kita mengkonsumsi garam lebih
banyak garam daripada yang dibutuhkan oleh tubuh. Idealnya, kita cukup menggunakan sekitar satu
sendok teh saja atau sekitar 5 gram garam per hari.
2. Memperbanyak serat
Mengkonsumsi lebih banyak serat atau makanan rumahan yang mengandung banyak serat akan
memperlancar buang air besar dan menahan sebagian natrium. Sebaiknya ibu hamil yang mengalami
hipertensi menghindari makanan kalengan dan makanan siap saji dari restoran, yang dikuatirkan
mengandung banyak pengawet dan kurang serat. Dari penelitian ditemukan bahwa dengan
mengkonsumsi 7 gram serat per hari dapat membantu menurunkan tekanan darah sistolik sebanyak 5
poin. Serat pun mudah didapat dalam makanan, misalnya semangkuk sereal mengandung sekitar 7 gram
serat.
3. Memperbanyak asupan kalium
Penelitian menunjukkan bahwa dengan mengkonsumsi 3500 miligram kalium dapat membantu
mengatasi kelebihan natrium, sehingga dengan volume darah yang ideal dapat dicapai kembali tekanan
yang normal. Kalium bekerja mengusir natrium dan senyawanya. Sehingga lebih mudah dikeluarkan.
Sumber kalium mudah didapatkan dari asupan makanan sehari-hari. Misalnya, sebutir kentang rebus
mengandung 838 miligram sehingga 4 butir kentang (3352 miligram) akan mendekati kebutuhan
tersebut. Atau dengan semangkuk bayam yang mengandung 800 miligram kalium cukup ditambahkan
tiga butir kentang. Banyak jenis buah yang juga dapat menurunkan tekanan darah salah satunya pisang
merupakan sumber zat potasium yang dapat membantu menurunkan tekanan darah dan mengurangi
pembekuan cairan dalam tubuh. Selain pada buah pisang potasium juga bisa ditemui pada kismis,
yogurt, bit, Brussels sprout (sejenis kubis), alpukat, dan jeruk.
4. Penuhi kebutuhan magnesium
Ditemukan antara rendahnya asupan magnesium dengan hipertensi. Tetapi belum dapat dipastikan
berapa banyak magnesium yang dibutuhkan untuk mengatasi hipertensi. Kebutuhan magnesium
menurut kecukupan gizi yang dianjurkan atau RDA (Recommended Dietary Allowance) adalah sekitar
350 miligram. Kekurangan asupan magnesium terjadi dengan semakin banyaknya makanan olahan yang
dikonsumsi.
Sumber makanan yang kaya magnesium antara lain kacang tanah, kacang polong, dan makanan laut.
Kandungan asam lemak omega 3 dalam ikan dapat membantu melancarkan aliran darah dan melindungi
dari efek tekanan darah tinggi serta mengurangi peradangan. Saat mengkonsumsi ikan hindari jenis ikan
yang mengandung kadar merkuri tinggi seperti tuna, swordfish (ikan cucut), makarel, ikan halibut, serta
kakap putih. Sebaliknya pilihlah ikan yang mengandung kadar mercuri rendah seperti ikan anchovies,
ikan char, ikan flounder, ikan harring, ikan gindara, ikan salmon, dan ikan sturgeon.
5. Lengkapi kebutuhan kalsium
800 miligram kasium per hari (setara dengan tiga gelas susu) sudah lebih dari cukup untuk memberikan
pengaruh terhadap penurunan tekanan darah.
D. Relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau teknik yang bertujuan untuk mrngurangi ketegangan, kecemasan,
dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat rilek otot-otot di dalam tubuh. Teknik
relaksasi dapat dilakukan dalam hipnobirting, dimana dalam relaksasi ibu hamil duduk dengan tenang,
pikiran fokus, tidak menatap cahaya langsung kemudian ibu hamil dibimbing untuk melakukan relaksasi
pada kelompok otot-otot secara bertahap sampai keseluruh bagian tubuh.

3. Hipertensi Akhir Postpartum
Hipertensi akhir postpartum adalah sebuah kejadian yang tidak biasa yang
menggambarkan wanita dengan kehamilan normotensif yang mengembangkan hipertensi
beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah melahirkan. Hal ini jarang dan menyelesaikan
pada akhir dari year postpartum pertama. Sedikit yang diketahui tentang patofisiologi, kecuali
bahwa hal itu juga dapat memprediksi penting hipertensi di kemudian hari.

4. Preeklamsia-Eklampsia
Preeklamsia adalah penyakit eksklusif pada kehamilan. Hal ini ditandai oleh serangan
hipertensi dan proteinuria, biasanya setelah 20 minggu kehamilan, dan umumnya berhubungan
dengan edema,hiperurisemia, dan proteinuria. Ini mempengaruhi sekitar 5% dari seluruh
kehamilan, dan sekitar dua kali lebih umum pada kehamilan pertama sebagai dalam
multigravidas. Namun, itu adalah umum pada multigravida yang telah mitra baru, menunjukkan
bahwa paparan sebelum antigen paternal mungkin protective.
Sindrom ibu preeklampsia ditandai dengan tekanan darah, proteinuria, dan kerusakan
yang berbeda pada sistem organ termasuk hati, ginjal, otak, jantung, dan paru-paru.Spektrum
penyakit dapat bervariasi dari kasus ringan dengan sedikit keterlibatan sistemik (preeklampsia
ringan) untuk kegagalan multiorgan (preeklamsia berat).
Pada sekitar 30% dari kasus, penyakit ini dapat menyebabkan
insufisiensi plasenta cukup untuk menyebabkan IUGR atau kematian janin. Ketika serangan
kejang terjadi dalam pengaturan preeklamsia, itu disebut eklampsia. Eklampsia kejang dapat
terjadi pada antepartum, intrapartum, langsung di masa nifas, atau setelah terlambat melahirkan
(48 jam untuk 1 bulan kemudian). Anehnya, itu juga bisa terjadi pada wanita yang tidak
memiliki riwayat preeklamsia (sampai satu pertiga).

Patogenesis Preeklampsia
Cacat remodelling arteri spiralis pada saat invasi trofoblas adalah faktor predisposisi yang
paling dikenal luas untuk preeklamsia. Jauh sebelum munculnya klinis, preeklamsia, imunologi
dimediasi trofoblas yang abnormal invasi menyebabkan pembentukan plasenta di mana spiral
rahim arteri gagal untuk menjalani dinding otot yang menipis secara normal yang
memungkinkan terjadi peningkatan perfusi plasenta. Sebagai perfusi, hasilnya ruang intervili
terganggu, menyebabkan hipoksia plasenta.
Plasenta dari kehamilan preeklamsia dengan maju sering memiliki
banyak plasenta infarcts dan penyempitan arteriola sklerotik.Faktor predisposisi untuk
preeklampsia adalah sebelum ada hipertensi, penyakit ginjal kronis, obesitas, diabetes mellitus,
kehamilan multi, mola hidatidosa, dan thrombophilias (faktor V Leiden, sindrom antifosfolipid,
dan kekurangan antithrombin III).Juga, terjadi peningkatan sensitivitas terhadap efek vasopressor
dari angiotensin II, kemungkinan dihasilkan dari konsentrasi plasma meningkat angiotensin I /
reseptor B2 bradikinin heterodimers.
Faktor genetik tampaknya memainkan peran dalam patogenesis
preeklamsia.Angiotensinogen T235 varian gen dan faktor V Leiden mutasi telah dianggap
berhubungan dengan preeklamsia.Kejadian preeklampsia pada kehamilan yang rumit oleh
trisomi 13 telah terbukti secara signifikan lebih tinggi daripada
dengan kehamilan karyotypic yang normal.



Patofisiologi Multiorgan dan Patologi
Cardiopulmonary
Pada wanita dengan preeklamsia, ada peningkatan sistemik resistensi vaskular dan
penurunan patologis dalam hipervolemia dari kehamilan normal. Dengan kata lain, pengurangan
plasma volume dan hemokonsentrasi adalah keunggulan dari kondisi ini, dan sebanding dengan
tingkat keparahan penyakit perubahan hemodinamik. Perempuan dengan preeklamsia berat dan
eklampsia mempunyai fungsi hiperdinamik ventrikel kiri, normal tinggi meningkat untuk
resistensi pembuluh darah sistemik, normal atau meningkat tekanan baji kapiler paru, dan
tekanan rendah vena sentral. Wanita dengan preeklamsia melapis pada hipertensi kronis juga
memiliki resistensi pembuluh darah sistemik yang meningkat,
mengisi tekanan sisi kiri, dan meningkatnya stroke volume indeks di ventrikel kiri.
Morbiditas kardiovaskular akut pada preeklamsia termasuk pada kondisi berikut: edema
paru, paru-paru cedera akut/ sindrom gangguan pernapasan akut yang membutuhkan tekanan
positif mekanik ventilasi, infark miokard, dan kardiopulmoner
penangkapan.
Edema paru adalah cardiopulmonary paling umum yang merupakan komplikasi dari
preeklamsia. Seperti diketahui dari persamaan Starling,
penurunan tekanan onkotik, peningkatan tekanan hidrostatik, atau perubahan dalam
permeabilitas kapiler akan predisposisi ekstravasasi cairan dari kompartemen intravaskular.
Semua perubahan terjadi pada preeklamsia dan mungkin buruk setelah melahirkan.
Faktor-faktor yang mendukung pengembangan edema paru yaitu usia yang lebih tua,
multigravida, dan sebelum ada hipertensi kronis. Diagnosis yang cepat dan pengobatan sangat
penting sebagai morbiditas yang baik pada ibu dan janin dan kematian yang tinggi jika dibiarkan
tidak diobati. Terapi medis dengan furosemid, oksigen, morfin, bersama dengan pembatasan
garam dan cairan, harus dilembagakan sebagai dibutuhkan. Pengurangan dengan vasodilator
afterload mungkin diperlukan.
Infark miokard terjadi pada 1% kehamilan. Hannaford et al menemukan bahwa di Royal
College of General Practitionersa, wanita dengan riwayat preeklamsia memiliki signifikan risiko
tinggi infark miokard akut. Kejang koroner mungkin memainkan peran dalam ketiadaan faktor
risiko untuk penyakit jantung iskemik.
Kardiomiopati peripartum adalah komplikasi yang jarang terjadi
pada preeklamsia, meskipun sejarah preeklamsia telah dilaporkan sampai dengan 70%
perempuan yang mengalami kardiomiopati peripartum.
Ginjal
Kecepatan filtrasi glomerular ginjal dan aliran plasma ginjal secara seragam menurun
pada preeklamsia. Nitrogen urea darah dan serum kreatinin biasanya tetap dalam rentang normal
ketika tidak hamil.Pengukuran Serentak laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal
menunjukkan bahwa fraksi filtrasi lebih rendah selama preeklamsia dibandingkan pada wanita
normal selama trimester terakhir kehamilan.Sedimen urine biasanya lembut, namun sedikit
leukosit, eritrosit, atau gips selular dapat dilihat. Bila proteinuria berat, gips hialin dapat
ditemukan.Glomerular kerusakan yang mengakibatkan signifikan proteinuria merupakan fitur
penting dari preeklamsia.
Proteinuria pada preeklamsia adalah nonselektif.Tinggi berat molekul protein seperti
albumin, bersama dengan protein tubular, hilang dalam urine.Ada penurunan asam urat selama
preeklamsia.Tingkat elevasi serum asam urat berkorelasi dengan keparahan proteinuria,
perubahan patologis ginjal, dan kematian janin. Preeklamsi dalam kehamilan yang ditandai
dengan pengurangan dalam pecahan ekskresi kalsium dan hypocalciuria diucapkan bersama
dengan kadar plasma mengurangi dihydroxyvitamin D dan meningkat tingkat hormon paratiroid.
Dalam hal patologi, preeklamsia dikaitkan dengan glomerulus endotheliosis di ginjal.
Pada mikroskop cahaya, lumen kapiler glomerulus yang menyempit tampak berdarah,
danglomeruli yang diperbesar.
Endotheliosis preeklamsia adalah biasanya tidak disertai dengan trombi kapiler
terkemuka. Pada imunofluoresensi, tidak ada deposit imun dalam glomerulus
dan tingkat komplemen serum yang normal. Deposisi fibrinogen derivatif kadang-kadang dapat
terlihat. mikroskop elektron menunjukkan pelestarian relatif dari proses kaki podocytes, tapi ada
kehilangan fenestrae endotel, dan sel endotel
menjadi bengkak dan terpisah dari membran basal oleh elektron-Lucent material. Focal
segmental glomerulosclerosis menyertai glomerulus yang endotheliosis umum preeklampsia
pada hingga 50% dari cases.
Kekhususan endotheliosis untuk mendiagnosis preeklamsia telah dipertanyakan oleh
sebuah studi penting yang menunjukkan bahwa bahkan wanita dengan kehamilan nonproteinuric
hipertensi serta wanita hamil normal dipamerkan endotheliosis, meskipun forms ringan ini
menunjukkan endotheliosis yang merupakan spektrum terlihat pada kehamilan, dengan bentuk
parah yang sesuai dengan preeklamsia. Perubahan glomerulus biasanya hilang dalam 8 minggu
setelah persalinan, yang merupakan waktu yang sama ketika hipertensi dan proteinuria
menyelesaikan.
Central Nervous System
Komplikasi sistem saraf pusat pada preeklamsia adalah paling sering akibat perdarahan
otak, edema otak, trombotik microangiopathy, dan vasokonstriksi serebral.Hal ini
mengakibatkan mendadak kejang (eklampsia), bersama dengan sakit kepala, penglihatan kabur,
scotoma, dan kebutaan kortikal.Kebanyakan patologis deskripsi yang diperoleh dengan Sheehan
dan Lynch dari mereka nekropsi studi, yang mengungkapkan pendarahan otak kotor dan
berbagai tingkat petechiae, bersama dengan trombus dalam microvessels.Etiologi tepat dari
kejang tidak jelas, meskipun faktor-faktor angiogenik seperti sFlt-1 dan seng.
Patogenesis mungkin memainkan peran.Kejang grand mal biasanya,
dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk jika mereka terjadi lebih awal daripada 32
minggu kehamilan.Sayangnya, sulit untuk memprediksi risiko
kejang karena ada tampaknya tidak ada korelasi antara besaran kenaikan tekanan darah atau
derajat proteinuria.Anehnya, kejadian eklampsia setelah melahirkan terlambat meningkat
meskipun penurunan keseluruhan kejadian eklampsia.


Pengakuan Awal Preeklampsia
Penelitian ini sedang berlangsung untuk mengidentifikasi tes skrining unik yang akan
memprediksi risiko preeklamsia berkembang sebelum gejala muncul. Banyak penelitian telah
dilakukan untuk memverifikasi signifikan perubahan dalam faktor-faktor angiogenik seperti
PlGF, sFlt-1, atau seng sebelum imbulnya preeclampsia.
Perubahan dalam serum PlGF dilihat pada trimester pertama, sedangkan perbedaan dalam
sFlt-1 dan seng yang terlihat di trimester kedua. PlGF urin juga secara signifikan menurun pada
trimester kedua dibandingkan dengan normotensif controls. Selain itu, arteri yang abnormal
rahim Doppler velocimetry
pada trimester pertama dan kedua telah diusulkan sebagai barang skrining tes untuk memprediksi
preeclampsia. Menggabungkan 3 biomarker menjadi angiogenik, tunggal index atau dengan
arteri rahim Doppler 128-130 mungkin lebih prediktif daripada penanda tunggal saja. Apakah
biomarker angiogenik sensitif dan spesifik
cukup untuk penggunaan klinis luas masih harus dipelajari. Ini kemungkinan pertanyaan akan
dijawab oleh World Health ambisius Organisasi prospektif kohort studi terhadap lebih dari
12.000 perempuan, yang melibatkan negara-negara berkembang di 4 benua dalam penggunaan
angiogenik biomarker untuk penyaringan preeklamsia.

Podocyte Dan Preeclampsia
Meskipun laporan sebelumnya bahwa podocyte tersebut diawetkan dalam
preeklamsia, ada peningkatan bukti bahwa hal itu dipengaruhi.Podocyte adalah sel epitel khusus
yang melapisi viseral glomerular basement membran dalam glomerulus.Ini membantu untuk
membatasi kehilangan protein dengan kompleks celah diafragma-nya.Bersama-sama dengan
basement membran glomerulus dan endotelium fenestrated, mereka membentuk penghalang
filtrasi glomerulus.Sebuah hewan tengara studi oleh Eremina dkk menunjukkan bahwa ketika
salah satu alel dari VEGF adalah dihapus khususnya di podocyte, ginjal mengembangkan
patologis yang khas fitur preeclampsia.
Selanjutnya, sebuah studi kecil otopsi menunjukkan materi downregulation yang
podocyte-spesifik protein nephrin dan synaptopodin pada wanita dengan berat
preeclampsia.134 klinis, podocytes kemih (podocyturia) adalah ditemukan dalam jumlah yang
meningkat pada pasien dengan preeklamsia, menandakan
kelompok process menumpahkan kami juga mempelajari ekspresi podocyte-spesifik protein
synaptopodin dan podocin oleh immunofluoresence pada biopsi ginjal dari 20 pasien dengan
preeklamsia dalam waktu 4 minggu setelah persalinan. Berbeda dengan studi otopsi, kami
menemukan bahwa pada pasien dengan endotheliosis parah, synaptopodin ekspresi baik tidak
berubah atau hanya sedikit menurun, sedangkan ekspresi podocin adalah menurunkan regulasi
seragam (tidak diterbitkan
data).
Sebaliknya, pasien dengan endotheliosis ringan telah diawetkan
synaptopodin dan ekspresi podocin.Kami menyimpulkan bahwa podocytespecific
protein hanya terpengaruh pada preeklamsia berat. Selain itu,
kita mempelajari penggunaan podocyturia sebagai penanda diagnostik untuk preeklampsia pada
56 wanita dengan kehamilan berisiko tinggi, termasuk 28
dengan preeklamsia dan kondisi lain seperti hipertensi (gestasional atau kronis), diabetes
(gestational atau kronis), dan menemukan bahwa sensitivitas dan spesifisitas adalah 39%
podocyturia dan 79%, masing-masing (unpublished data). Jadi, kita menyimpulkan bahwa
podocyturia mungkin, berguna meskipun bukan alat klinis yang spesifik dalam mengevaluasi
preeklamsia.Namun, kami merasa bahwa penelitian ini perlu divalidasi dalam kohort yang lebih
besar.

Pencegahan preeklamsi
Selama beberapa dekade terakhir, baik besar dan kecil, klinis percobaan telah berusaha
untuk mengungkap sebuah obat yang dapat mencegah preeklamsia. Namun pencegahan primer
yang efektif terbukti sangat sulit ketika patogenesis tidak jelas.


1. Diuretik
Penyidik percaya sejak awal bahwa retensi natrium adalah penyebab edema dan
hipertensi pada preeklamsia, dan karena itu upaya dilakukan untuk profilaksis mengelola
diuretics. Sekarang diketahui bahwa volume plasma lebih rendah pada preeklamsia daripada di
keadaan normal dan ada kecenderungan hemokonsentrasi.
Dengan demikian, diuretik dapat memperburuk hipovolemia, yang pada gilirannya akan
merangsang sistem renin-angiotensin dan memperparah hipertensi. Jadi, diuretik tidak lagi
direkomendasikan.
2. Suplementasi Kalsium
Laporan awal dari hypocalciuria, peningkatan kepekaan terhadap angiotensin II, dan
menurunnya tingkat dihydroxyvitamin D pada wanita dengan preeklamsia
3. Aspirin
Karena preeklampsia dikaitkan dengan vasospasme dan aktivasi dari sistem koagulasi-
hemostasis, aspirin dosis rendah dianggap bermanfaat karena menghambat biosintesis
tromboksan platelet A2 dengan sedikit efek pada produksi prostasiklin vaskuler, sehingga
mengurangi dan kelainan koagulasi vasospasme. Dalam
1980-an dan 1990-an, beberapa percobaan dengan aspirin menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam kejadian hipertensi kehamilan dan preeklamsia.
4. Suplementasi vitamin C dan E
Salah satu penyebab disfungsi sel endotel ibu mungkin perfusi plasenta yang buruk
memulai pelepasan faktor untuk menginduksi stres oksidatif.Penggunaan vitamin C dan E untuk
mencegah preeklampsia pada wanita berisiko tinggi dan menemukan bahwa preeklamsia secara
signifikan rendah. Selain itu, dalam sebuah penelitian menunjukkan tingkat peningkatan pada
bayi lahir rendah. Pada saat ini, kami tidak merekomendasikan menggunakan vitamin C dan E
pada pencegahan preeklamsia.

Manajemen Preeklamsia
Penatalaksanaan
Tujuan penanganan preeklamsia adalah :
1. Untuk melindungi ibu dari efek meningkatnya tekanan darah dan mencegah
progresifitas penyakit menjadi eklampsia dengan segala komplikasinya.
2. Untuk mengatasi atau menurunkan resiko preeklamsia terhadap janin
termasuk terjadinya solusio plasenta, pertumbuhan janin terhambat dan
kematian janin intrauterine.
3. Untuk melahirkan janin dengan cara yang paling aman bila diketahui resiko
janin atau ibu akan lebih berat bila kehamilan dilanjutkan.
Terapi Preeklampsi berat4,6,13
Dasar pengelolaan preeklampsi berat pada ibu dengan penyulit apapun
dilakukan pengelolaan dasar sebagai berikut:
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulit yaitu terapi medikamentosa
dengan pemberian obat-obatan terhadap penyulit
b. Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya yang
tergantung pada umur kehamilannya dan perkembangan gejala-gejala
preeklampsia selama perawatan, yaitu;
1. Ekspektatif / konservatif: bila umur kehamilan kurang dari 37 minggu
artinya kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil
memberikan terapi medikamentosa
2. Aktif
Pemberian terapi medikamentosa2,6,12,14:
a. Segera masuk ke rumah sakit
b. Tirah baring miring kekiri secara intermitten
c. Infus ringer laktat
Universitas Sumatera Utara17
d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang
e. Pemberian MgSO4 dibagi:
- Loading dose (dosis awal ) : 4 gr MgSO4 40% IV secara perlahan
- Maintenance dose (dosis lanjutan) : 1gr MgSO4 40%/jam dalam 500 ml
RL
f. Anti hipertensi
Diberikan : bila tensi 180/110 atau MAP 126
Jenis obat nifedipin: 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit maksimal 120
mg dalam 24 jam, nifedipin tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa
lidah (sublingual) karena absorbsi terbaik adalah melalui saluran cerna,
desakan darah diturunkan secara perlahan penurunan awal 25 % dari
desakan sistol, desakan darah diturunkan mencapai < 160/105, MAP <
125. Beberapa jenis obat anti-hipertensi termasuk : methyl-dopa/clonidine,
labetalol, metoprolol dan hidralazine.8,15
g. Diuretikum tidak dibenarkan untuk diberikan secara rutin karena :
1. Memperberat penurunan perfusi plasenta
2. Memperberat hipovolemia
3. Meningkatkan hemokonsentrasi

Diuretikum hanya diberikan atas indikasi:
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka
Sikap terhadap Kehamilannya :
Perawatan konservatif / ekspektatif
a. Tujuan
1. Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
b. Indikasi: Kehamilan < 37 minggu tanpa dijumpai tanda-tanda gejala
impending eklampsi
c. Terapi medikamentosa:
Universitas Sumatera Utara18
Bila penderita sudah kembali menjadi preeklampsi ringan, maka masih
akan dirawat 2-3 hari lagi, baru diizinkan pulang
d. Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 minggu
selama 48 jam
e. Perawatan dirumah sakit:
1) Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik :
Nyeri kepala
Penglihatan kabur
Nyeri perut kuadran kanan atas
Nyeri epigastrium
Kenaikan berat badan dengan cepat
2) Menimbang berat badan ketika masuk rumah sakit dan diikuti setiap
harinya
3) Mengukur proteinuria ketika masuk rumah sakit dan diulangi setiap 2
hari
4) Pengukuran desakan darah dan pemeriksaan lab sesuai dengan
standard yang telah ditentukan
5) Pemeriksaan ultrasound sonography (USG) khususnya pemeriksaaan:
Ukuran biometrik janin
Volume air ketuban
6) Penderita boleh dipulangkan: Penderita dapat dipulangkan apabila 3
hari bebas gejalagejala preeklampsi berat
Perawatan Aktif
Perawatan aktif dilakukan dengan indikasi :
a. Ibu :
- Kehamilan > 37 minggu
- Impending Eklampsia
- Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu :
o Dalam waktu atau selama 6 jam sejak dimulai pengobatan
medisinal terjadi kenaikan TD
o Atau setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidak
ada perbaikan gejala-gejala.
b. Janin :
Universitas Sumatera Utara19
- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda IUFGR
c. Laboratorium :
- Adanya HELLP Syndrome
Diagram 1. Penatalaksanaan preeklamsia berat
Cara persalinan:
Sedapat mungkin persalianan diarahkan ke pervaginam6
:
1) Penderita belum inpartu;
- Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop lebih dari 8
- Bila perlu dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol, induksi
persalinan harus mencapai kala II dalam waktu 24 jam, bila tidak induksi
persalinan dianggap gagal, harus segera disusul dengan pembedahan
secara cesar.
Indikasi dilakukan pembedahan caesar:
- Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam
- Induksi persalinaan gagal
- Terjadi maternal distress
Universitas Sumatera Utara20
- Terjadi fetal distress
- Bila umur kehamilan < 33 minggu
2) Bila penderita sudah inpartu
- Perjalanan persalinan diikuti
- Memperpendek kala II
- Pembedahan caesar dilakukan apabila didapati maternal distress dan
fetal distress
- Primigravida direkomendsikan pembedahan caesar
Anastesia: regional anastesi dan epidural anastesi, tidak dianjurkan general
anastesi
Semua kasus dengan preeklampsia berat harus ditangani secara aktif. Simptom
dan tanda impending eklampsia (pandangan kabur, hiperrefleksia) adalah tidak
pasti dan penanganan ekspektatif belum ada rekomendasi.


a. Rujukan
Pengobatan yang paling dapat diandalkan preeklamsia adalah rujukan.Penghapusan
plasenta biasanya menghasilkan perbaikan yang cepat, meskipun dalam beberapa kasus, gejala
dapat bertahan selama beberapa hari setelah melahirkan.Keputusan untuk memberikan
melibatkan menyeimbangkan risiko memburuknya preeklamsia terhadap orang
prematuritas.Rujukan dijamin untuk wanita yang mengalami preeklamsia berat setelah 34
minggu kehamilan.
Dalam setiap wanita antara 32 sampai 34 minggu usia kehamilan dengan
preeklamsia berat, rujukan yang cepat harus dipertimbangkan, terutama jika
manajemen konservatif telah gagal. Wanita di bawah 28 minggu kehamilan yang
mengembangkan preeklamsia berat dapat dikelola secara konservatif jika ibu dan janin dipantau
secara ketat dalam tersier pusatperinatal.
Wanita yang memiliki preeklamsia ringan juga harus tetap dimonitor untuk tanda-tanda
kerusakan yang cepat.Jika tanda-tanda, seperti sakit kepala, nyeri epigastrium, perubahan visual,
atau hasil laboratorium abnormal, maka pasien harus dirawat di rumah sakit.Ketika elevasi
tekanan darah ringan, dengan hasil laboratorium normal dan evaluasi janin yang
menguntungkan, manajemen konservatif.Pasien dapat diobati secara rawat jalan atau rawat inap,
tergantung kepatuhan pasien.Pasien yang menjaga di tempat tidur istirahat dan dapat kembali
untuk pengujian nonstress janin dan penilaian pertumbuhan dapat dikelola sebagai pasien rawat
jalan.Jika tidak, mereka harus mengaku rumah sakit.Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah
kejang, tekanan darah rendah untuk menghindari akhir kerusakan organ ibu,sementara bertujuan
untuk sebagai kematangan janin sebanyak mungkin, dan untuk mempercepat rujukan saat ini.
b. Obat antihipertensi
Seperti disebutkan sebelumnya, tingkat kontrol tekanan darah optimal
dalam kehamilan dengan komplikasi hipertensi tidak diketahui. Kurang dari kontrol yang ketat
dapat menurunkan resiko kecil untuk bayi usia kehamilan, tetapi dapat meningkatkan risiko
pernapasan distres sindrom hipertensi, bayi yang baru lahir parah di ibu, dan hospitalisasi
antenatal.
Tujuan utama dari pengobatan hipertensi pada pasien jarak jauh
dari istilah ini untuk memperpanjang kehamilan. Tidak ada yang menarik studi yang
menunjukkan hasil klinis diperbaiki dengan pengobatan preeklampsia ringan dan obat-obatan
antihipertensi. Bahkan, studi yang telah menggunakan labetalol untuk mengobati wanita dengan
kehamilan yang ringan hipertensi atau preeklamsia telah menunjukkan tidak ada perbaikan
dalam perinatal hasil, dengan peningkatan kejadian bayi yang kecil untuk usia kehamilan.
Meskipun demikian, resiko: rasio manfaat untuk terapi obat pada wanita dengan preeklamsia
ringan tidak jelas.
Saat ini, tidak ada rekomendasi yang seragam untuk mengelola antihipertensi
obat untuk pasien dengan preeklamsia ringan.
Tujuan pengobatan untuk perempuan dengan hipertensi berat adalah untuk
menurunkan tekanan darah untuk mencegah pendarahan otak. Meskipun
rekomendasi tradisional didasarkan pada tekanan darah diastolik, sebuah Tinjauan retrospektif
dari 28 wanita dengan preeklamsia berat yang mengalami kecelakaan serebrovaskular
menunjukkan bahwa 90% memiliki sistolik tekanan darah 160 mm Hg, tetapi hanya 12,5%
memiliki darah diastolik tekanan 110 mmHg. Rekomendasi adalah bahwa antihipertensi terapi
harus diberikan untuk tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg, untuk
mencapai pengukuran sistolik dari 140-155 mmHg dan / atau pengukuran diastolik 90 sampai
105 mmHg.
c. Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat digunakan untuk mencegah kejang pada wanita dengan preeclampsia.
Itu telah dibuktikan dalam acak uji klinis neurologi terkemuka saat merasa bahwa tradisional
antiepileptics (fenitoin, diazepam) lebih baik akan mengontrol kejang. Percobaan ini
membuktikan bahwa magnesium sulfat parenteral lebih unggul baik fenitoin dan diazepam
dalam mencegah awal dan berulang
kejang, dan dalam menurunkan mortality ibu.
Namun, penggunaan magnesium sulfat masih kontroversial pada wanita dengan
preeklamsia ringan karena kejadian kejang pada populasi ini sangat rendah.Sebuah percobaan
prospektif besar yang melibatkan lebih dari 10.000 pasien menunjukkan bahwa penggunaan
profilaksis magnesium sulfat menurunkan risiko keseluruhan eclampsia. Namun, karena jumlah
besar diperlukan untuk mengobati, beberapa peneliti merasa bahwa seharusnya diberikan hanya
bila kondisi ini Namun "berat.", kita dan lainnya merasa bahwa karena keparahan preeklampsia
mungkin terduga, manfaat pengobatan lebih besar daripada risiko.Magnesium sulfat memiliki
manfaat tambahan mengurangi kejadian plasenta abruption.

Preeklamsia Dan Hasil Jangka Panjang Jantung / Stroke
Sejumlah studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa setelah
kehamilan dengan preeklamsia, seorang wanita memiliki risiko yang lebih tinggi konsekuensi
kardiovaskular. Masa depan ini mungkin karena berupa proses patofisiologis umum atau
subklinis kerusakan vaskular. Risiko penyakit jantung yang fatal serta iskemik yang fatal
merupakan peristiwa pada wanita dengan preeklamsia yaitu dua kali lebih yang lebih disukai.
Selanjutnya, risiko tinggi kejadian kardiak di masa depan baik primipara pada wanita dengan
preeklamsia serta mereka dengan preeklamsia dalam setiap kehamilan.
Waktu preeklamsia adalah penting karena preeklamsia sebelum 37 minggu dikaitkan
dengan peningkatan 8 kali lipat dari penyakit jantung iskemik untuk perempuan dibandingkan
dengan orang-orang dengan kehamilan normotensif setelah period ini. Risiko terkena penyakit
jantung iskemik juga dipengaruhi oleh
penyakit parah pasien dengan tekanan darah 160/110 mmHg dan keberadaan proteinuria
memiliki RR 3,65 dari iskemik penyakit jantung di kemudian hari dibandingkan dengan mereka
dengan preeklamsia ringan.
Serangan preeklamsia berat pada awal (sebelum 24 minggu) tampaknya berperilaku
sangat berbeda dari serangan akhir (setelah 24 minggu)
preeklamsia. Yang pertama memiliki morbiditas maternal dan perinatal tinggi
dan kesempatan 50% dari kekambuhan preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Mereka juga
menunjukkan hipertensi lebih kronis dan peningkatan mikroalbuminuria, tetapi tidak ada
perbedaan dalam kejadian tersebut dari ketidakpekaan insulin atau fitur lain dari sindrom
metabolik.
Seperti diketahui mikroalbuminuria menjadi prediktor kuat iskemik
penyakit jantung hipertensi pada individu dalam populasi umum, kelompok ini berada pada
risiko lebih tinggi terkena kardiovaskular. Data ini menunjukkan suatu patogenesis yang berbeda
untuk awal preeklamsia dibandingkan serangan terlambat, dengan vaskular hipertensi terkait
etiologi pada mereka dengan penyakit onset dini. Tampaknya ada risiko fatal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan fatal stroke setelah preeklamsia, dengan keseluruhan meningkat pada
wanita dengan preeklamsia serangan awal (37 minggu) (RR 5.0).
Singkatnya, wanita dengan preeklamsia memiliki 4 kali lipat peningkatan risiko
hipertensi dan risiko 2 kali lipat peningkatan iskemik penyakit jantung dan stroke. Mekanisme
yang tepat perlu dipahami. Namun, tampaknya ada cukup mengumpulkan bukti untuk
menunjukkan bahwa riwayat preeklampsia harus menjadi bagian dari sebuah awal evaluasi untuk
penyakit jantung iskemik pada wanita.

Ginjal
Ada juga bukti yang muncul bahwa preeklamsia terkait dengan mengembangkan
penyakit ginjal di kemudian hari.Meskipun glomerulus cedera selama periode preeklamsia, hal
itu diperkirakan sebelumnya preeklampsia yang tidak memiliki efek buruk pada ginjal dalam
jangka panjang.Sebuah studi sebelumnya yang diikuti pasien yang mengalami sindrom HELLP
selama 5 tahun atau lebih terungkap secara signifikan tinggi diastolik dan sistolik tekanan darah
tetapi tidak ada perbedaan dalam kreatinin clearance atau urin microalbumin / kreatinin ratio.
Demikian pula, wanita dengan preeklampsia dan kehamilan-induced hiperketegangan
yang diteliti selama 10 tahun itu ditemukan memiliki peningkatan risiko pengembangan
hipertensi kronis, tetapi tidak terpengaruh serum urea dan kreatinin levels. Namun, yang lebih
baru penelitian menunjukkan bahwa ada konsekuensi ginjal. Medical Kelahiran Registry
database Norwegia dari semua childbirths di Norwegia sejak 1967 mengungkapkan bahwa
wanita dengan preeklamsia yang melahirkan keturunan berat badan lahir rendah memiliki risiko
meningkat secara substansial di kemudian hari yang memiliki biopsy ginjal.
Selanjutnya, sejarah preeklamsia adalah terkait dengan terjadinya mikroalbuminuria
tinggi dan hipertensi, baik yang mungkin prediksi masa depan penyakit ginjal. Menariknya,
sejumlah besar wanita dengan preeklamsia yang kemudian dibiopsi dipamerkan focal segmental
glomerulosklerosis, ini menunjukkan bahwa glomerulosklerosis focal segmental mungkin
nefropati spesifik setelah preeklamsia. Paling mengejutkan, laporan terbaru oleh Vikse dkk
preeklamsia menunjukkan bahwa selama kehamilan pertama adalah terkait dengan RR 4,7
pengembangan penyakit ginjal stadium akhir. Wanita yang mengembangkan preeclampsia
selama kedua mereka pada kehamilan ketiga mereka meningkat RR sampai 15.5.
Para penulis menyimpulkan bahwa preeklamsia penanda peningkatan risiko berikutnya
stadium akhir penyakit ginjal.Tentu saja semua yang disebutkan di atas temuan dapat dikacaukan
oleh fakta bahwa wanita dengan preeklamsia memiliki ginjal yang tidak terdiagnosis penyakit
sebelum kehamilan mereka. Bahkan, sebuah penelitian di Jepang kecil menunjukkan bahwa
ketika antepartum klinis dan data postpartum adalah 19 dari 86 wanita, atau 22,1%, dikabarkan
mendasari penyakit ginjal. Namun demikian, kami menyimpulkan bahwa ada banyak bukti
bahwa preeklamsia mengarah ke faktor risiko untuk penyakit ginjal kronis
dan mungkin perkembangan stadium akhir penyakit ginjal.Namun, risiko absolut tetap kecil.
Pengertian Preeklampsia
Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg
setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal
terjadi.
Pre-eklampsia adalah salah satu kasus gangguan kehamilan yang bisa menjadi penyebab
kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan
berdampak pada ibu dan bayi.
Hipertensi (tekanan darah tinggi) di dalam kehamilan terbagi atas pre-eklampsia ringan,
preklampsia berat, eklampsia, serta superimposed hipertensi (ibu hamil yang sebelum
kehamilannya sudah memiliki hipertensi dan hipertensi berlanjut selama kehamilan). Tanda dan
gejala yang terjadi serta tatalaksana yang dilakukan masing-masing penyakit di atas tidak sama.

B. Etiologi Preeklampsia
Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.Secara teoritik urutan
urutan gejala yang timbul pada preeklamsi ialah edema, hipertensi, dan terakhir
proteinuri.Sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan diatas dapat dianggap bukan
preeklamsi.
Dari gejala tersebut timbur hipertensi dan proteinuria merupakan gejala yang paling
penting.Namun, penderita serinhkali tidak merasakan perubahan ini.Bila penderita sudah
mengeluh adanya gangguan nyeri kepala, gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium, maka
penyakit ini sudah cukup lanjut.

C. Faktor Risiko Preeklamsia
Kehamilan pertama
Riwayat keluarga dengan pre-eklampsia atau eklampsia
Pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya
Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
Wanita dengan gangguan fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal, migraine, dan tekanan
darah tinggi)
Kehamilan kembar

D. Gambaran Klinis Preeklampsia
a. Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini
sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia
akan timbul. Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah
meningkat.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan tekanan sistolik
30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat lebih dari
140/90mmHg.Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan
disertai kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan takikardia, takipnu,
edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak.

E. Patofisiologi Preeklampsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada
sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia.Wanita
dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai
substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan
agregasi platelet.Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat
yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.Nekrosis ginjal dapat
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria.Kerusakan hepar dari nekrosis
hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.Manifestasi
terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output
dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan
anemia dan trombositopeni.Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim. Perubahan pada organ-organ:

1) Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia dan
eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload
jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya
secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan
onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru.

2) Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak diketahui
penyebabnya.Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita preeklampsia dan
eklampsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi kronik.Penderita
preeklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.Hal ini
disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak
berubah.Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada
preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas
normal
3) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah.Selain itu dapat terjadi
ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk
melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda preeklampsia berat yang
mengarah pada eklampsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan
oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau di dalam
retina.
4) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks
serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan.
5) Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta, sehingga
terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin.Pada
preeklampsia dan eklampsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap
rangsangan, sehingga terjadi partus prematur.
6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya disebabkan oleh edema paru
yang menimbulkan dekompensasi kordis.Bisa juga karena terjadinya aspirasi pneumonia, atau
abses paru.

F. Diagnosis Preeklampsia
Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan
laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi dua
golongan yaitu;
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan
sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.
Proteinuria kuantitatif 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau
midstream.

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
Terdapat edema paru dan sianosis
Trombositopeni
Gangguan fungsi hati
Pertumbuhan janin terhambat

G. Penatalaksanaan Preeklampsia
Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan merupakan persyaratan
yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi. Persalinan merupakan pengobatan yang utama.
Setelah diagnosis ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal
terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan
dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus
memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama
pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang
tidak memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.
Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya preeklamsi, yaitu :
1. Preeklamsi ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi perjalanan
penyakit karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit
kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya
eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini memerlukan observasi ketat
yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam,
pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat,
elektrolit, dan serum albumin setiap minggu. Pada pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi
pembekuan seperti protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit.
Perkiraan berat badan janin diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2 minggu.
Perawatan jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan janin
baik. Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan, ekskresi
protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut
jantung janin 2x seminggu). Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala
pemburukan penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila
ada tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang dirawat di rumah sakit
dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum tentang induksi persalinan pada preeklamsi
ringan dan keadaan servik yang matang (skor Bishop >6) untuk menghindari komplikasi
maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi
ringan pada kehamilan muda. Saat ini tidak ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi
yang lama, penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah baring
umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi ringan. Keuntungan dari tirah baring adalah
mengurangi edema, peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan
meningkatkan outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan darah
melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan,
tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan karena
salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung vitamin K
dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan tirah baring
baik di rumah maupun di rumah sakit walaupun tirah baring di rumah menurunkan lamanya
waktu di rumah sakit. Sebuah penelitian menyatakan adanya progresi penyakit ke arah eklamsi
dan persalinan prematur pada pasien yang tirah baring di rumah. Namun, tidak ada penelitian
yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan kematian janin. Pada 10 penelitian acak yang
mengevaluasi pengobatan pada wanita dengan preeklamsi ringan menunjukkan bahwa efek
pengobatan terhadap lamanya kehamilan, pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan preterm
bervariasi antar penelitian. Oleh karena itu tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap
pengobatan preeklamsi ringan.

Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan NST dan USG
terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut
dengan profil biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio
lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan awal akibat indikasi ibu,
tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian kortikosteroid
dilakukan untuk mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi.
Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan secara
berkelanjutan karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.
2. Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol
tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika
preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau
terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu
dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik.
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif sehingga
menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan segera
direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila
terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi
terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga,
penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan
keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang.
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif pada wanita
dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini
dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin, penatalaksanaan konservatif
hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin.
Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus
memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan
keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu
dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi
kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi
berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
perinatal. Jika usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi
kehamilan.
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah
terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan
magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan
medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya
bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan
mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang lainnya menggunakan batasan
tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata
dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105
mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan
preeklamsi berat selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut
dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut
hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping
seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat
diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa
peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9
penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang
menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada hidralazin.
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika
hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain
dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian
hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post partum, labetalol oral
atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali
terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama
persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan
pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat
lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada
cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan
ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan
tersebut sehingga meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan pada wanita dengan
preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat
blokade simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena blokade
simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika teknik analgesi
telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki
vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu,
klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat
terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat
menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik
metode anestesi umum maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio
sesarea pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan yang
hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan bahwa
tidak ada keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan yang
dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada wanita dengan
hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi.
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm
3

- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah

b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
-Oligohidramnion


Diagnosis Hipertensi dalam Kehamilan

1
.

Hipertensi gestasional
y

Didapatkan tekanan darah sistolik 140 atau diastolik 90 mm Hg untuk pertama kalinya pada
kehamilan di atas 20 minggu
y

T
idak ada proteinuria
y

T
ekanan darah kembali normal sebelum 12 minggu postpartum
y

Diagnosis hanya dibuat pada postpartum
y

Mungkin memiliki tanda-tanda atau gejala preeklampsia, misalnya, tidak nyaman atau
trombositopenia epigastrika
2
.

Preeklampsia
Kriteria minimum

y

Didapatkan tekanan darah lebih atau sama dengan 140/90 mmHg setelahkehamilan 20 minggu
y

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1 + Dipstick
y

G
ejala menghilang setelah 12 minggu post partum.
Gejala yang mennambah ketepatan diagnosis

y

Didapatkan peningkatan tekanan darah sampai 160/110 mm Hg atau lebih
y

Proteinuria 2.0 g/24 dijam atau urine dipstick 2+

y

Peningkatan kreatinin serum >1.2 mg/dL kecuali kalau sebelumnya sudahmemiliki riwayat
gangguan ginjal.
y

T
rombosit < 100,000/L
y

Adanya anemia mikroangiopqti hemolisispeningkatan LDH
y

Peningkatam serum transaminaseAL
T
or AS
T

y

N
yeri kepala yang hebat dan atau gangguan visus
y

N
yeri epigastrik persisten
3
.

Eklampsia

y

Adanya kejang yang timbul pada penderita preeklampsia,
y

Atau didapatkan kejang pada usia kehamilan di atas 20 minggu.
4
.

Superimposed preeklampsia
y

T
imbulnya proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita yang telah memilikihipertensi kronik pada usia
kehamilan di atas 20 minggu
y

T
erjadi peningkatan mendadak dalam proteinuria atau tekanan darah atautrombosit <100,000 / L
pada wanita dengan hipertensi dan proteinuriasebelum gestasi 20 minggu
5
.

Hipertensi kronik

y

T
D sebelum kehamilan 140/90 mm Hg atau terdiagnosis sebelumkehamilan 20 minggu , tidak
timbul penyakit trofoblas gestasional o
y

G
ejala menetap setelah 12 minggu postpartumHipertensi didiagnosa secara empiris ketika
didapatkan tekanan darah tepatmelebihi 140 mm Hg sistolik atau diastolik 90 mm Hg. Korotkoff
tahap Vdigunakan untuk menentukan tekanan diastolik. Sebelumnya, telahdirekomendasikan
bahwa peningkatan nilai incremental saat hamil sebesar 30mmHg sistolik atau 15 mmHg
diastolik tekanan digunakan sebagai kriteriadiagnostik, bahkan ketika nilai-nilai mutlak berada di
bawah 140/90 mm Hg.Kriteria ini tidak lagi dianjurkan karena menunjukkan bukti bahwa
wanita tersebuttidak akan mengalami kehamilan yang menunjukkan gejala yang
merugikan(Levine dan rekan kerja, 2000; Utara dan rekan, 1999).


LI 2. Memahami dan menjelaskan Perdarahan antepartum

2.1 Definisi
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan diatas 28 minggu atau
lebih. Karena perdarahan antepartum terjadi pada umur kehamilan di atas 28 minggu maka
sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ketiga.


2.2 Klasifikasi
Perdarahan antepartum dikelompokkan sebagai berikut :
a. Perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan :
1) Plasenta previa
2) Solutio plasenta
3) Pecahnya sinus marginalis
4) Pecahnya vasa previa
b. Perdarahan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan :
1) Pecahnya varises vagina
2) Perdarahan polipus servikalis
3) Perdarahan perlukaan serviks
4) Perdarahan karena keganasan serviks.

Frekuensi perdarahan antepartum sekitar 3% sampai 4% dari semua persalinan. Sedangkan
kejadian perdarahan antepartum di rumah sakit lebih tinggi karena menerima rujukan.
Penangan perdarahan antepartum memerlukan perhatian karena dapat saling mempengaruhi
dan merugikan janin dan ibunya. Setiap perdarahan antepartum yang dijumpai oleh bidan,
sebaiknya dirujuk ke rumah sakit atau ke tempat dengan fasilitas yang memadai karena
memerlukan tatalaksana khusus.

1. Plasenta Previa

a. Definisi Plasenta Previa
Plasenta previa merupakan suatu bentuk kelainan letak pada plasenta, dimana plasenta
berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium
uteri internum. Implantasi plasenta yang normal adalah pada dinding depan, dinding belakang
rahim, atu di daerah fundus uteri.
Secara teoritis plasenta previa dibagi menjadi 4 derajat, yaitu :
1) Plasenta previa totalis yaitu plasenta menutupi seluruh osteum uteri internum.
2) Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum.
3) Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri
internum.
4) Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga
tepi bawahnya barada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih
dari 2 cm dianggap plasenta letak normal.
Derajat plasenta previa sebagian besar akan bergantung pada pembukaan serviks saat
diperiksa. Sebagai contoh, plasenta letak rendah pada pembukaan 2 cm dapat menjadi plasenta
parsialis pada pembukaan 8 cm karena servik yang berdilatasi mengakibatkan seolah-olah
plasenta juga ikut berpindah atau bergeser. Sebaliknya plasenta previa yang tampak total
sebelum ada pembukaan akan menjadi plasenta previa parsialis pada pembukaan 4 cm karena
serviks berdilatasi di luar tepi plasenta. Palpasi dengan jari untuk memastikan hubungan
perubahan antara tepi plasenta dan os interna sewaktu serviks membuka dapat memicu terjadinya
perdarahan hebat.

b. Etiologi Plasenta Previa
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang endometriumnya
kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang baiknya vaskularisasi desidua.
Keadaan ini bisa ditemukan pada:
1) Multipara, terutama jika jarak antara kehamilannya pendek sehingga endometrium bellum
sempat tumbuh.
2) Mioma uteri yang mengakibatkan perubahan endometrium
3) Kuretase yang berulang
4) Usia lanjut hal ini disebabkan oleh tumbuh endometrium yang kurang subur.
5) Perubahan inflamasi atau atrofi misalnya pada wanita perokok atau pemakai kokain.
Hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida akan dikompensasi dengan hipertrofi plasenta.
Hal ini terjadi terutama pada perokok berat.

Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi luas
untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutup
ostium uteri internum.
Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat implantasi
yang lebih baik yaitu di tempat yang rendah dekat ostium uteri internum.
Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar dan luas, seperti pada
eritroblastosis, diabetes melitus, atau kehamilan multipel.

c. Gambaran Klinis Plasenta Previa
Hal yang paling khas pada plasenta previa adalah perdarahan yang tidak nyeri. Darah
yang keluar berwarna merah segar . perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua
ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyakdan berhenti sendiri. Perdarahan kembali
terjadi tanpa suatu sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian. Perdarahan pada plasenta
previa bersifat berulang-ulang karena setelah terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding
rahim. Oleh karena itu regangan dinding rahim dan tarikan pada serviks berkurang, tetapi dengan
majunya kehamilan regangan bertambah lagi dan menimbulkan perdarahan baru. Pada setiap
pengulangan terjadi perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti mengalir. Pada plasenta letak
rendah plasenta baru terjadi pada waktu mulai persalinan. Perdarahan bisa sedikit sampai banyak
mirip pada solusio plasenta. Perdarahan diperhebat berhubung segmen bawah rahim tidak
mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim. Dengan demikian perdarahan bisa berlangsung
sampai pasca persalinan.servik dan segemen bawah rahim pada plasenta previa menjadi rapuh
sehingga memperbanyak terjadinya perdarahan.
Bagian terendah janin sangat tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah rahim
sehingga bagian terendah tidak dapat mendekati pintu atas panggul. Terdapat kelainan lletak
pada janin dimana letak janin tidak dalam letak memanjang. Pada palpasi abdomen tidak
membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak tegang.

d. Diagnosis Plasenta Previa
Anamnesis perdarahan tanpa keluhan, perdarahan berulang, warna darah merah segar.
Klinis kelainan letak dari perabaan fornises teraba bantalan lunak pada presentasi kepala.
Pemeriksaan dalam pada plasenta previa hanya dibenarkan billa dilakukan di kamar
operasi yang telah siap untuk melaukan opersai segera dan donor darah. Secara double set-up
ini hanya dilakukan apabila akan dilakukan terapi aktif yaitu apabila kehamilan akan diterminasi.
Diagnosis plasenta previa dengan perdarahan sedikit diterapi dengan cara ekspektatif
ditegakkan dengan pemeriksaan USG. Dengan bantuan USG diagnosis plasenta previa/letak
rendah seringkali sudah dapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamilan trimester ketiga. Namun,
dalam perkembangannya dapat terjadi migrasi plasenta. Sebenarnya buka plasenta yang
berpindah tetapi dengan semakin berkembangnya segmen bawah rahim, plasenta yang
berimplantasi pada tempat tersebut akan ikut naik menjauhi ostium uteri internum.

e. Komplikasi
Ibu hamil yang mengalami pllasenta previa dapat mengalami beberapa komplikasi, ada yang bisa
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan fatal yang disebabkan oleh :
1) Pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik maka pelepasan plasenta dari tempat
melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak serta perdarahan yang terjadi tidak
dapat dicegah sehingga penderita mengalami anemia bahkan syok.
2) Plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini yang tipis
mengakibatkan jaringan trofoblast dengan mudah menginvasi menerobos ke dalam miometrium
bahkan sampai ke perimetrium dan menjadi penyebab terjadinya plasenta inkreta atau bahkan
perkreta.
3) Serviks dan segemen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah sangat potensial
untuk robek disertai oleh perdarahan yang banyak.
4) Kelainan letak janin lebih sering terjadi.
5) Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak bisa dihindari. Hal ini disebabkan karena
tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan belum aterm. Pada
kehamilan kurang dari 37 minggu dapat dilakukan amniosentesis untuk mengetahui kematangan
paru janin dan pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin untuk
antisipasi.

f. Penatalaksanaan Plasenta Previa
Plasenta previa dengan perdarahan merupakan keadaan darurat kebidanan yang
memerlukan penanganan yang baik. Bentuk pertolongan pada plasenta previa adalah :
1) Segera melakukan operasi persalinan untuk dapat menyelamatkan ibu dan anak atau untuk
mengurangi kesakitan dan kematian. Dengan seksio sesarea juga dimaksudkan untuk
mengosongkan rahim hingga dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan, selain itu juga
dapat mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering terjadi pada persalinan pervaginam.
Seksio sesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika perdarahan
hebat.
2) Memecahkan ketuban di atas meja operasi selanjutnya pengawasan untuk dapat melakukan
pertolongan lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan pada plasenta letak rendah, plasenta previa
marginalis, dan plasenta previa lateralis yang menutupi sebagian dari ostium internum. Pada
plasenta previa lateralis yang plasentanya terletak di belakang lebih baik dilakukan seksio
sesarea, karena pada pemecahan ketuban kepala kurang menekan pada plasenta. Hal ini
disebabkan kepala tertahan di promontorium yang dilapisi oleh jaringan plasenta. Pemecahan
ketuban dapat menghentikan perdarahan karena :
a) Setelah pemecahan ketuban, uterus mengadakan retraksi hingga kepala anak menekan pada
plasenta.
b) Plasenta tidak tertahan lagi oleh ketuban dan dapat mengikuti gerakan dinding rahim
hingga tidak terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim.
Jika his tidak ada atau kurang kuat setelah pemecahan ketuban dapat diberikan infus pitosin.
Jika perdarahan tetap ada dilakukan seksio sesarea.
3) Bidan yang menghadapi perdarahan plasenta previa dapat mengambil sikap melakukan rujukan
ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai. Dalam melakukan rujukan penderita plasenta previa
sebaiknya dilengkapi dengan :
a) Pemasangan infus untuk mengimbangi perdarahan
b) Sedapat mungkin diantar oleh petugas
c) Dilengkapi keterangan secukupnya
d) Dipersiapkan donor darah untuk transfusi darah.

Beberapa bentuk pertolongan lainnya pada plasenta previa, antara lain :
1) Versi Braxton Hicks
Tujuan dari braxton hicks ialah untuk mengadakan tamponade plasenta dengan bokong
dan untuk menghentikan perdarahan dalam rangka menyelamatkan ibu.
Versi braxton hicks biasanya dilakukan pada anak yang sudah mati ataupun masih hidup.
Mengingat bahayanya yaitu robekan pada serviks dan pada segmen bawah rahim, perasat ini
tidak pernah dilakukan lagi pada rumah sakit yang besar. Akan tetapi, jika pasien berdarah
banyak, anak sudah meninggal dan kita mendapat kesulitan dalam memperoleh darah atau kamar
operasi maka cara braxton hicks dapat dipertimbangkan.
2) Cunam Willet Gauss
Tujuannya adalah untuk mengadakan tamponade plasenta dengan kepala. Dimana kulit
kepala janin dijepit dengan cunam willet gauss dan diberati dengan timbangan 500 gram. Perasat
ini sekarang tidak pernah dilakukan.

2. Solusio Plasenta
a. Definisi Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan implantasi normal
pada kehamilan trimester ketiga. Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan
timbunan darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat menimbulkan gangguan penyulit
terhadap ibu maupun janin.
Solusio plasenta lebih berbahaya daripada plasenta previa bagi ibu hamil dan janinnya. Pada
perdarahan tersembunyi yang luas dimana perdarahan retroplasenta yang banyak dapat
mengurangi sirkulasi utero-plasenta dan menyebabkan hipoksia pada janin. Selain itu,
pembentukan hematoma retroplasenta yang luas bisa menyebabkan koagulopati konsumsi yang
fatal bagi ibu.

b. Klasifikasi Solusio Plasenta
Solusio plasenta ada bermacam, diantaranya plasenta dapat terlepas pada pinggirnya saja
(ruptura sinus marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa
juga seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang
terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya
mengalir di bawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan
keluar melalui vagina. Namun dalam solusio plasenta ada kalanya darah tidak keluar melalui
vagina, jika :
1) Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim
2) Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
3) Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah karenanya.
4) Bagian terbawah janin umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah rahim.
Secara klinis solusio plasenta dibagi berdasarkan berat ringannya gambaran klinis dengan
luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio plasenta ringan, solusio plasenta sedang,
dan solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan biasanya baru diketahui setelah plasenta lahir
dengan adanya hematoma yang tidak luas pada permukaan maternal atau ada ruptur sinus
marginalis. Pembagian secara klinik ini baru definitif bila ditinjau retrospektif karena solusio
plasenta sifatnya berlangsung progresif yang berarti solusio plasenta yang ringan bisa
berkembang menjadi lebih berat dari waktu ke waktu. Keadaaan umum penderita bisa menjadi
buruk apabila perdarahannya cukup banyak pada kategori concealed hemorrhage.
1) Solusio plasenta ringan
a) Terlepasnya plasenta kurang dari luasnya
b) Tidak memberikan gejala klinik dan ditemukan setelah persalinan
c) Keadaan umum ibu dan janinnya tidak mengalami gangguan
d) Persalinan berjalan dengan lancar pervaginam.
2) Solusio plasenta sedang
a) Terlepasnya plasenta lebih dari bagian tetapi belum mencapai 2/3 bagian.
b) Dapat menimbulkan gejala klinik seperti : perdarahan dengan rasa sakit, perut tersa
tegang,
gerak janin berkurang, palpasi bagian janin sulit teraba, auskultasi jantung janin
dapat terjadi asfiksia ringan dan sedang.
c) Pada pemeriksaan dalam ketuban menonjol
d) Dapat terjadi ganguan pembekuan darah.
3) Solusio plasenta berat
a) Lepasnya plasenta lebih dari 2/3 bagian.
b) Terjadi perdarahan disertai nyeri.
c) Penyulit bagi ibu seperti :
(1) Terjadi syok dengan tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan
meningkat.
(2) Dapat terjadi gangguan pembekuan darah
(3) Pada pemeriksaan dijumpai turunnya tekanan darah sampai syok, tidak
sesuai
dengan perdarahan dan penderita tampak anemis.
(4) Pemeriksaan abdomen tegang, bagian jani sulit diraba, dinding perut terasa
sakit,
dan janin telah meninggal dalam rahim.
(5) Pemeriksaan dalam ketuban tegang dan menonjol
(6) Solusio plasenta berat dengan couvelaire uterus terjadi gangguan kontraksi
dan atonia uteri.

c. Penyebab solusio Plasenta
Solusio plasenta merupakan keadaan gawat kebidanan yang memerlukan perhatian karena
penyulit yang ditimbulkan terhadap ibu maupun janin.
Penyebab solusio plasenta antara lain :
1) Trauma langsung terhadap uterus hamil :
a) Terjatuh terutam tertelungkup
b) Tendangan anak yang sedang digendong
c) Atau trauma langsung lainnya
2) Trauma kebidanan artinya solusio plasenta terjadi karena tindakan kebidanan yang dilakukan :
a) Setelah versi luar
b) Setelah memecahkan ketuban
c) Persalinan anak kedua hamil kembar
3) Dapat terjadi pada kehamilan dengan tali pusat yang pendek
Faktor predisposisi terjadinya solusio plasenta adalah:
a) Hamil pada usia tua
b) Mempunyai tekanan darah tinggi
c) Bersamaan dengan preeklamsia dan eklamsia
d) Tekanan vena cava inferior yang tinggi
e) Kekurangan asam folat

d. Gambaran Klinis Solusio Plasenta
Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau luas
permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang klasiok dari solusio
plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina, rasa nyeri perut
dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus prematurus.
1) Solusio Plasenta Ringan
Pada solusio plasenta ringan tidak ada gejala kecuali hematoma yang berukuran beberapa
sentimeter terdapat pada permukaan maternal plasenta. Rasa nyeri pada perut masih ringan dan
darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar melalui vagina. Tanda-tanda vital dan
keadaan umum ibu ataupun janin masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai
kelainan kecuali pada palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuk hematom dan perut
sedikit tegang tapi bagian-bagian janin masih bisa teraba.
2) Solusio Plasenta Sedang
Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus
menerus, denyut jantung janin biasanya telah menunjukkan gawat janin, perdarahan tampak
keluar lebih banyak, taki9kardia, hipotensi, kulit dingi dan keringatan, oliguria mulai ada , kadar
fibrinogen berkurang antara 150 sampai 250 mg/100 ml dan mungkin kelainan pembekuan darah
dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada.
Rasa nyeri dan tegang perut jelas sehingga bagian-bagia janin sulit teraba. Rasa nyeri akut,
perdarahan pervaginam berwana kehitaman, penderita pucat karena mulai syok sehingga
keringat dingin.keadaan janin biasanya sudah gawat.
3) Solusio Plasenta Berat
Perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan disertai perdarahan yang berwarna
hitam. Sehingga palpasi bagian-bagian janin tidak mungkin lagi dilakukan. Fundus uteri lebih
tinggi daripada seharusnya hal ini terjadi karena penumpukan darah di dalam rahim. Jika dalam
masa observasi tinggi fundus betrtambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada
inspeksi rahim kelihatan membulat dan kulit diatasnya kencang dan berkilat. Pada auskultasi DJJ
tidak terdengar lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi plasenta. Keadaan umum menjadi
buruk disertai syok. Hipofibrinogemia atau rendahnya kadar fibrinogen di dalam darah dan
oliguria telah terjadi sebagai akibat komplikasi pembekuan darah intravaskular yang luas dan
gangguan fungsi ginjal. Kadar fibrinigen darah rendah yaitu kurang kurang dari 150 mg% dan
teoah ada trombositopenia.
Patofisiologi

Berbagai mekanisme patofisiologi yang terjadi pada solusio plasenta sudah diusulkan, termasuk
trauma vaskular setempat yang menyebabkan gangguan pembuluh darah desidua basalis,
peningkatan mendadak tekanan vena uteri yang menyebahkan pembesaran dan pemisahan ruang
intervilosa, faktorfaktor mekanis (misal, tali pusat pendek, trauma, kehilangan mendadak cairan
amnion) dan kemungkinan permulaan ekstrinsik kaskade koagulasi (misal, trauma dengan
pelepasan tromboplastin jaringan).
Perdarahan dapat terjadi ke dalam desidua basalis atau langsung retroplasenta dari arteri spiralis
yang ruptur.Pada kedua kasus ini terjadi perdarahan, terbentuk bekuan darah, dan permukaan
plasenta tidak memungkinkan terjadinya pertukaran antara ibu dan placenta. Bekuan darah akan
menekan plasenta yang berdekatan dan darah yang tidak membeku mengalir dari tempat
tersebut. Pada perdarahan tersembunyi ataupun tampak (eksternal), darah dapat keluar melalui
selaput ketuban atau plasenta.Keadaan ini memberikan makna penting karena mungkin
menunjukkan perdarahan ibu-janin, perdarahan fetomaternal, perdarahan ibu ke dalam cairan
amnion atau emboli cairan amnion.
Kadang-kadang perdarahan hebat dalam miometrium menyebabkan uterus berwarna keunguan,
ekimotik dan berindurasi (apopleksi uteroplasenta, uterus Couvelaire) dan kehilangan
kontraktilitas.
Pada pelepasan plasenta berat mungkin terjadi DIC.Secara klinis, diatesis perdarahan terdiri atas
petekie meluas, perdarahan aktif, syok hipovolemik dan kegagalan mekanisme pembekuan
darah. Meskipun tidak dapat diamati secara langsung, fibrin tertumpuk dalam kapiler kecil,
menyebabkan komplikasi yang menakutkan, misalnya: nekrosis tubular dan korteks ginjal, kor
pulmonale akut dan nekrosis hipofisis anterior (sindrom Sheehan).
Diagnosis Solusio Plasenta
Diagnosis solusio plasenta dapat ditegalkkan dengan melakukan :
1) Anamnesa
a) Terdapat perdarahan disertai rasa nyeri
b) Terjadi spontan atau karena trauma
c) Perut terasa nyeri
d) Diikuti penurunan sampai terhentinya gerakan janin dalam rahim

2) Pemeriksaan

a) Pemeriksaan fisik umum
(1) Keadaan umum penderita tidak sesuai dengan jumlah perdarahan
(2) Tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat
(3) Penderita tampak anemis

b) Pemeriksaan khusus
(1) Palpasi abdomen
a.) Perut tegang terus menerus
b.) Terasa nyeri saat palpasi
c.) Bagian janin sukar ditentukan
(2) Auskultasi
a.) Denyut jantung janin bervariasi dari asfiksia ringan sampai berat.
(3) Pemeriksaan dalam
a.) Terdapatnya pembukaan
b.) Ketuban tegang dan menonjol
c.) Pemeriksaan penunjang denga USG, dijumpai perdarahan antara plasenta dan dinding
abdomen.

f. Komplikasi Solusio Plasenta
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada solusio plasenta, sebagai berikut :
1) Penyulit komplikasi ibu
a) Perdarahan yang dapat menimbulkan variasi turunnya tekanan darah sampai keadaan syok,
perdarahan yang terjadi tidak sesuai dengan keadaan penderita anemis sampai syok, dan
kesadaran penderita dari baik sampai koma.
b) Gannguan pembekuan darah disebabkan karena masuknya tromboplastin ke dalam
sirkulasi darah
menyebabkan pembekuan darah intravaskular dan disertai hemolisis. Selain itu juga terjadi
penurunan fibrinogen sehingga hipofibrinogen dapat mengganggu pembekuan darah.
c) Oligouria, hal ini terjadi karena terdapatnya sumbatan glomerulus ginjal dan dapat
menimbulkan
produksi urin makin berkurang.
d) Perdarahan postpartum. Pada solusio plasenta se3dang sampai berat terjadi infiltrasi darah
ke otot
rahim, sehingga mengganggu kontraksi dan menimbulkan perdarahan karena atonia uteri,
dan kegagalan pembekuan darah dapat menambah beratnya perdarahan.

2) Penyulit pada janin
Perdarahan yang tertimbun dibelakan plasenta mengganggu sirkulasi dan nutrisi ke arah janin
sehingga dapat menimbulkan asfiksia ringan sampai berat dan kematian di dalam rahim.
Kematian janin tergantung dari seberapa bagian plasenta telah lepas dari implantasinya di fundus
uteri.

g. Penatalaksanaan Solusio Plasenta
Penanganan solusio plasenta harus dilakukan rawat inap di rumah sakit yang memadai.ketika
masuk segera dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk kadar Hb dan golongan darah serta
gambaran pembekuan darah. Jika diagnosis belum jelas dan janin masih hidup tanpa tanda-tanda
gawat janin observasi ketat dengan kesiagaan dan fasilitas yang bisa segera diaktifkan untuk
intervensi jika sewaktu-waktu muncul kegawatan.
Persalinan mungkin pervaginam atau juga mungkin perabdominal tergantung pada banyaknya
perdarahan, telah ada tanda-tanda persalinan spontan atau belum, dan tanda-tanda gawat janin.
Penanganan terhadap solusio plasenta bisa bervariasi sesuai berat ringannya penyakit, usia ibu,
serta keadaan ibu dan janinnya. Jika janin masih hidup dan cukup bulan serta belum ada tanda-
tanda persalinan pervaginam maka dilakukan bedah caesar. Pada perdarahan yang cukup banyak
segera lakukan resusitasi dengan pemberian transfusi darah dan kristaloid yang cukup diikuti
persalinan yang cepat untuk mengendalikan perdarahan dan menyelamatkan ibu dan janin.
Bedah caesar dilakukan pada kasus yang berat atau telah terjadi gawat janin.
Jika janin telah mati dalam rahim maka lebih sering dipilih persalinan pervaginam kecuali
jika ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi darah atau ada indikasi obstetrik
untuk melakukan persalinan perabdominal. Pada persalinan pervaginam diperlukan upaya
stimulasi miometrium secara farmakologikatau masase agar kontraksi miometrium baik. Hal ini
untuk mencegah terjadinya perdarahan sekalipun masih terjadi gangguan pembekuan darah.

3. Pecahnya Sinus Marginalis
Pecahnya sinus marginalis merupakan perdarahan yang baru diketahui setelah persalinan.
Pada waktu persalinan, perdarahan terjadi tanpa rasa sakit dan menjelang pembukaan lengkap
perlu dipikirkan adanya perdarahan karena sinus marginalis yang pecah. Bahya dari pecahnya
sinus marginalis tidak terlalu membahayakan janin dan ibu.

4. Perdarahan Karena Pecahnya Vasa Previa
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di dalam selaput
ketuban dan melewati ostium uteri internum kemudian sampai ke dalam insersinya pada tali
pusat. Perdarahan terjadi bila selaput ketuban yang melewati pembukaan serviks robek atau
pecah dan vaskular janin pun ikut terputus.
Faktor resiko antara lain pada plasenta bilobata, plasenta suksenturiata, plasenta letak
rendah, kehamilan pada vertilisasi in vitro, dan kemailan ganda terutama triplet. Secara teknis
keadaan ini dimungkinkan pada dua situasi yaitu pada insersio velamentosa, dan plasenta
suksenturiata. Pemeriksaan terbaik adalah dengan elektroforesis. Bila diagnosis dapat ditegakkan
sebelum persalinan maka tindakan terpilih untuk menyelamatkan janin adalah dengan seksio
sesarea.

GAWAT JANIN (FETAL DISTRESS)
1. Pengertian
Fetal Distress (Gawat janin) adalah gangguan pada janin dapat terjadi pada masa
antepartum atau intrapartum. Kegawatan janin antepartum menjadi nyata dalam bentuk retardasi
pertumbuhan intrauterin. Hipoksia janin peningkatan tahanan vaskular pada pembuluh darah
janin. (Nelson, Ilmu Kesehatan Anak)
Gawat janin terjadi bila janin tidak menerima Oksigen cukup, sehingga mengalami
hipoksia. (Abdul Bari Saifuddin dkk.2002 ). Secara luas istilah gawat janin telah banyak
dipergunakan, tapi didefinisi istilah ini sangat miskin. Istilah ini biasanya menandakan
kekhawatiran obstetric tentang obstetric tentang keadaan janin, yang kemudian berakhir dengan
seksio secarea atau persalinan buatan lainnya.
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ). Dan
memeriksa kemungkinan adanya mekonium didalam cairan amniom. Sering dianggap DJJ yang
abnormal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan hipoksia dan asidosis. Akan tetapi,
hal tersebut sering kali tidak benarkan . Misalnya, takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya
oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga oleh hipotemia, sekunder dari infeksi intra uterin.
Keadaan tersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau
asidosis.sebaliknya, bila DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak berkaitan
dengan meningkatnya insidensi asidosis janin. Untuk kepentingan klinik perlu ditetapkan criteria
apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin bila ditemukan bila denyut jantung
janin diatas 160 / menit atau dibawah 100 / menit, denyut jantung tidak teratur , atau keluarnya
mekonium yang kental pada awal persalinan.

2. Etiologi
Penyebab dari gawat janin yaitu:
a. Insufisiensi uteroplasenter akut (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu
singkat) :
1. Aktivitas uterus yang berlebihan, hipertonik uterus, dapat dihubungkan dengan pemberian
oksitosin.
2. Hipotensi ibu, anestesi epidural,kompresi vena kava, posisi terlentang.
3. Solusio plasenta.
4. Plasenta previa dengan pendarahan.
b. Insufisiensi uteroplasenter kronik (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu
lama) :
1. Penyakit hipertensi
2. Diabetes mellitus
3. Postmaturitas atau imaturitas
c. Kompresi (penekanan) tali pusat
1. Oligihidramnion
2. Prolaps tali pusat
3. Puntiran tali pusat
d. Penurunan kemampuan janin membawa oksigen
1. Anemia berat misalnya isomunisasi , perdarahan fetomaternal
2. Kesejahteraan janin dalm persalinan asfiksia intrapartum dan komplikasi
3. Skor APGAR 0-3 selam > 5 menit
4. Sekuele neorologis neonatal
5. Disfungsi multi organ neonatal
6. PH arteri tali pusat 7,0
3. Patofisiologi
Ada beberapa proses atau tahapan terjadinya peristiwa Fetal Distress, antara lain :
a. Perubahan pada kehamilan Postterm
Terjadi beberapa perubahan cairan amnion, plasenta dan janin pada kehamilan postterm. Dengan
mengetahui perubahan tersebut sebagai dasar untuk mengelola persalinan postterm.

b. Perubahan cairan amnion
Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak
pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu.
Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml , 250 ml, 160 ml
pada usia kehamilan 42 dan 43 minggu.
Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin yang berkurang. Dilaporkan bahwa
aliran darah janin menurun pada kehamilan postterm dan menyebabkan oligohidramnion.
Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion menjadi kental dan
keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi phosphilipid. Dengan
lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru janin dan perbandingan Lechitin terhadap
Spingomielin menjadi 4 : 1 atau lebih besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan
amnion menjadi hijau atau kuning.
Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian perinatal meningkat dengan
adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal
distress intra partum pada persalinan postterm.
Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat di ukur dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Metode empat kuadran sangat popular. Dengan mengukur diameter vertikal dari kantung paling
besar pada setiap kuadran. Hasil penjumlahan 4 kuadran disebut Amniotic Fluid Index ( AFI ).
Bila AFI kurang dari 5 cm indikasi oligrohidramnion. AFI 5 10 cm indikasi penurunan volume
cairan amnion. AFI 10 15 cm adalah normal. AFI 15 20 cm terjadi peningkatan volume
cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.

c. Perubahan pada plasenta
Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran gas antara maternal dan
fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka terjadi pula perubahan struktur plasenta.
Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter dan panjang villi
chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau di dahului dengan titik-titik penumpukan kalsium
dan membentuk infark putih. Pada kehamilan atterm terjadi infark 10 % - 25 % sedangkan pada
postterm terjadi 60% - 80 %. Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10
g / 100 g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2 3 g / 100 g jaringan
plasenta kering.
Secara histology plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark plasenta, kalsifikasi,
thrombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus, thrombosis arterial dan endarteritis arterial.
Keadaan ini menurunkan fungsi plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini
menyebabkan malnutrisi dan asfiksia.
Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan plasenta. Pada
kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut :
a. Piring korion : lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal.
b. Jaringan plasenta : berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu kotiledon (
ada darah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi, mungkin memberikan bayangan
akustik ) .
c. Lapisan basal : daerah basal dengan gema kuat dan memberikan gambaran bayangan
akustik. Keadaan plasenta ini di kategorikan tingkat 3.

d. Perubahan pada janin
Sekitar 45 % janin yang tidak di lahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus berlanjut tumbuh
dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami insufisiensi. Dengan penambahan berat
badan setiap minggu dapat terjadi berat lebih dari 4000 g. keadaan ini sering disebut janin besar.
Pada umur kehamilan 38 40 minggu insiden janin besar sekitar 10 % dan 43 minggu sekitar 43
%. Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan resiko persalinan traumatik.
Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput dan
vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan
amnion. Perubahan lain yaitu : rambut panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium.

4. Komplikasi
a. Pada Kehamilan
Gawat janin dapat menyebabkan berakhirnya kehamilan karena pada gawat janin, maka harus
segera dikeluarkan.
1. Pada persalinan
Gawat janin pada persalinan dapat menyebabkan :
a. Persalinan menjadi cepat karena pada gawat janin harus segera dikeluarkan
b. Persalinan dengan tindakan, seperti ekstraksi cunam, ekstraksi forseps, vakum ekstraksi,
ataupun bahkan dapat diakhiri dengan tindakan sectio saesarea (SC)

5. Diagnosa
Diagnosis gawat janin saat persalinan didasarkan pada denyut jantung janin yang abnormal.
Diagnosis lebih pasti jika disertai air ketuban hijau dan kental/ sedikit. Gawat janin dapat terjadi
dalam persalinan karena partus lama, Infuse oksitosin, perdarahan, infeksi, insufisiensi plasenta,
ibu diabetes, kehamilan pre dan posterm atau prolapsus tali pusat. Hal ini harus segera dideteksi
dan perlu penanganan segera.

6. Klasifikasi
Jenis gawat janin yaitu :
a. Gawat janin yang terjadi secara ilmiah
1. Gawat janin iatrogenic
Gawat janin iatrogenik adalah gawat janin yang timbul akibat tindakan medik atau kelalaian
penolong. Resiko dari praktek yang dilakukan telah mengungkapkan patofisiologi gawat janin
iatrogenik akibat dari pengalaman pemantauan jantung janin.
2. Posisi tidur ibu
Posisi terlentang dapat menimbulkan tekanan pada Aorta dan Vena Kava sehingga timbul
Hipotensi. Oksigenisasi dapat diperbaiki dengan perubahan posisi tidur menjadi miring ke kiri
atau semilateral.
3. Infus oksitosin
Bila kontraksi uterus menjadi hipertonik atau sangat kerap, maka relaksasi uterus terganggu,
yang berarti penyaluran arus darah uterus mengalami kelainan. Hal ini disebut sebagai
Hiperstimulasi. Pengawasan kontraksi harus ditujukan agar kontraksi dapat timbul seperti
kontrkasi fisiologik.
4. Anestesi Epidural
Blokade sistem simpatik dapat mengakibatkan penurunan arus darah vena, curah jantung dan
penyuluhan darah uterus. Obat anastesia epidural dapat menimbulkan kelainan pada denyut
jantung janin yaitu berupa penurunan variabilitas, bahkan dapat terjadi deselerasi lambat.
Diperkirakan ibat-obat tersebut mempunyai pengaruh terhadap otot jantung janin dan
vasokontriksi arteri uterina.

b. Gawat janin sebelum persalinan
c. Gawat janin kronik
Dapat timbul setelah periode yang panjang selama periode antenatal bila status fisiologi dari ibu-
janin-plasenta yang ideal dan normal terganggu.
d. Gawat janin akut
Suatu kejadian bencana yang tiba tiba mempengaruhi oksigenasijanin.
e. Gawat janin selama persalinan
Menunjukkan hipoksia janin tanpa oksigenasi yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan
varibilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia
menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun. (Kapita
Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekkologi, 1994 : 211-213)

7. Penatalaksanaan
a. Penanganan umum:
1. Pasien dibaringkan miring ke kiri, agar sirkulasi janin dan pembawaan oksigen dari obu ke
janin lebih lancer.
2. Berikan oksigen sebagai antisipasi terjadinya hipoksia janin.
3. Hentikan infuse oksitosin jika sedang diberikan infuse oksitosin, karena dapat
mengakibatkan peningkatan kontraksi uterus yang berlanjut dan meningkat dengan resiko
hipoksis janin.
4. Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah penanganan yang
sesuai.
5. Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin tetap abnormal sepanjang
paling sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam untuk mencari penyebab gawat janin:
Bebaskan setiap kompresi tali pusat
Perbaiki aliran darah uteroplasenter
Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan
indikasi.
Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada fakjtor-faktor etiologi,
kondisi janin, riwayat obstetric pasien dan jalannya persalinan.

b. Penatalaksanaan Khusus
1. Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk membebaskan kompresi
aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung dan aliran darah uteroplasenter.
Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat.
2. Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha untuk
meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
3. Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang
intervilli.
4. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % berbanding larutan laktat.
Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik.
5. Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalanan
persalinan.
6. Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko aspirasi
mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersihkan dari mekoneum
dengan kateter pengisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi
langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.

a. Prinsip Umum :
1. Bebaskan setiap kompresi tali pusat
2. Perbaiki aliran darah uteroplasenter
3. Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan
indikasi. Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada faktor-faktor
etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric pasien dan jalannya persalinan.
b. Penatalaksanaan Khusus:
1. Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk membebaskan kompresi
aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung dan aliran darah uteroplasenter.
Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat.
2. Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha untuk
meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
3. Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang
intervilli.
4. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % dalam larutan laktat. Transfusi
darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik.
5. Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalanan
persalinan.
6. Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko aspirasi
mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersihkan dari mekoneum
dengan kateter pengisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi
langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.(Abdul Bari
Saifuddin dkk.2002 )

c. Pengelolaan Antepartum
Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan. Menentukan umur
kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal menstruasi terakhir, atau dari hasil
pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 12-20 minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada
kehamilan postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan
volume cairan amnion (AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta.
Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40 minggu dengan pemeriksaan
Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk menditeksi terjadinya insufisiensi plasenta tetapi
tidak adekuat untuk mendiagnosis oligohidramnion, atau memprediksi trauma janin.
Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga menilai volume cairan
amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin. Pemeriksaan lain yaituOxytocin
Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan janin dengan serangkaian kejadian asidosis,
hipoksia janin dan deselerasi lambat.
Penilaian ini dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur kehamilan 41
minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali seminggu. Pemeriksaan tersebut juga untuk menentukan
Penulis lain melaporkan bahwa kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur
kehamilan 41 minggu. Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai dari umur
kehamilan 41 minggu.
Pemeriksaan amniosintesis dapat dikerjakan untuk menentukan adanya mekonium di dalam
cairan amnion. Bila kental maka indikasi janin segera dilahirkan dan memerlukan amnioinfusion
untuk mengencerkan mekonium.
Dilaporkan 92% wanita hamil 42 minggu mempunyai serviks tidak matang dengan Bishop score
kurang dari 7. Ditemukan 40% dari 3047 wanita dengan kehamilan 41 minggu mempunyai
serviks tidak dilatasi. Sebanyak 800 wanita hamil postterm diinduksi dan dievaluasi di Rumah
Sakit Parkland. Pada wanita dengan serviks tidak dilatasi, dua kali meningkatkan seksio cesarea
karena distosia.

d. Pengelolaan Intrapartum
Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya pada janin. Sebelum
menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah disporposi kepala panggul, profil biofisik
janin baik. Induksi kehamilan 42 minggu menjadi satu putusan bila serviks belum matang
denganmonitoring janin secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari tanda adanya fetal
compromise. Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan dua pengelolaan.
Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan dan monitoring janin. Dilakukan pemeriksaan
pola denyut jantung janin.
Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi tali pusat oleh karena
oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan memeriksa pola denyut jantung janin. Bila
ditemukan variabel deselerasi, satu atau lebih deselerasi yang panjang maka seksio cesarea
segera dilakukan karena janin dalam bahaya.


Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan terjadi aspirasi sangat
besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi paru berat dan kematian janin. Keadaan
ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat menghilangkan dengan penghisapan yang efektif pada
faring setelah kepala lahir dan sebelum dada lahir. Jika didapatkan mekonium, trakea harus
diaspirasi segera mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin memerlukan ventilasi.

Kardiotokografi
Alat kardiotokografi (KTG) merupakan alat bantu didalam pemantauan
kesejahteraan janin. Pada KTG ada tiga bagian besar kondisi yang dipantau
yaitu denyut jantung janin (DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin serta korelasi
diantara ketiga parameter tersebut. Peralatan KTG tersebut harus dipelihara
dengan baik, jangan sampai kabelnya rusak akibat sering dilepas dan dipasang
atau kesalahan dalam perawatan peralatan tokometer dan kardiometer.
Diperlukan seorang penanggung jawab untuk perawatan dan pengoperasionalan
KTG tersebut, juga pelatihan didalam menginterpretasikan hasil KTG tersebut.
Pada saat pemeriksaan KTG, posisi pasien tidak boleh tidur terlentang, tetapi
harus setengah duduk atau tidur miring (Gambar 1).7
Gambar 5. Posisi pasien saat pemeriksaan CTG
(Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html )
Syarat Pemeriksaan Kardiotokografi

2. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan).
3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui.
4. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada KTG
terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik.
Mekanisme Pengaturan DJJ
Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu :
1. Sistem Saraf Simpatis
Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam miokardium.
Stimulasi saraf simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik, akan
meningkatkan frekuensi DJJ, menambah kekuatan kontraksi jantung, dan
meningkatkan volume curah jantung. Dalam keadaan stress, system saraf
simpatis berfungsi mempertahankan aktivitas pemompaan darah. Inhibisi
saraf simpatis, misalnya dengan obat propranolol, akan menurunkan
frekuensi DJJ dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ.
2. Sistem saraf Parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yang
berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodus
VA, dan neuron yang terletak di antara atrium dan ventrikel jantung. Stimulasi
nervus vagus, misalnya dengan asetil kolin akan menurunkan frekuensi DJJ;
sedangkan inhibisi nervus vagus, misalnya dengan atropin, akan
meningkatkan frekuensi DJJ.
3. Baroreseptor
Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan darah
meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus8
glosofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas
jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah jantung.
Gambar 6. Baroreseptor dan kemoreseptor
4. Kemoreseptor
Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak di
daerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak di batang
otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan
karbondioksida dalam darah dan cairan serebro-spinal. Bila kadar oksigen
menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi refleks dari reseptor
sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan
memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan
kadar karbondioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan
mempengaruhi reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradikardia.
Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan
hipotensi.
5. Susunan Saraf Pusat
Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ dan
gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan
variabilitas DJJ-pun akan berkurang.
6. Sistem Pengaturan Hormonal
Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan
mengeluarkan epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan
takikardia, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan hipertensi.
7. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor,
stretchreceptors dan pusat pengaturan (Lauren Ferrara, Frank Manning, 2005).
Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satu tiga
sumber, yaitu (1) priprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan sendi;9
(2) serabut saraf nyeri yang terutama banyak terdapat di jaringan kulit; dan
(3) baroreseptor di aorta askendens dan arteri karotis, dan stretch receptors
di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke cardioregulatory center
(CRC) kemudian ke cardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya menuju
nodus sinoatrial sehingga timbullah akselerasi DJJ (lihat gambar 2 dan 3)3
.
Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi DJJ (Sumber : Lauren Ferrara, Frank Manning,
2005 http://contemporaryobgyn.mediwire.com/main/Default.aspx?
P=Content&ArticleID=145655)
Gambar 8. Hubungan gerak janin dengan akselerasi DJJ ( Sumber : Lauren Ferrara,
Frank Manning, 2005, http://contemporaryobgyn.mediwire.com/main/ Default.aspx?
P=Content&ArticleID=145655)
Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada
pemeriksaan KTG adalah : Akselerasi, Deselerasi dini, Deselerasi lambat, dan
Deselerasi variabel (Gambar 9).10
Gambar 9. KTG dengan deselerasi variabel
(Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html)
Interpretasi NST
1. Reassuring (Reaktif) :
Terdapat gerakan janin sedikitnya 2 kali dalam 20 menit, disertai
dengan akselerasi sedikitnya 15 dpm.
160 dpm.
25 dpm.
2. Non-reassuring (Non-reaktif) :
at gerakan janin dalam 20 menit, atau tidak terdapat
akselerasi pada gerakan janin.

160 dpm).

3. Meragukan:
20 menit, atau terdapat
akselerasi yang kurang dari 15 dpm.

5 dpm.
Hasil NST yang reaktif biasanya diikuti dengan keadaan janin yang baik
sampai 1 minggu kemudian (spesifisitas 95% - 99%). Hasil NST yang non-reaktif
disertai dengan keadaan janin yang jelek (kematian perinatal, nilai Apgar rendah,
adanya deselerasi lambat intrapartum), dengan sensitivitas sebesar 20%. Hasil
NST yang meragukan harus diulang dalam waktu 24 jam.11
Oleh karena rendahnya nilai sensitivitas NST, maka setiap hasil NST yang
non-reaktif sebaiknya dievaluasi lebih lanjut dengan contraction stress test
(CST), selama tidak ada kontraindikasi.
Interpretasi Contraction stress test (CST)
1. Negatif:



2. Positif :


selerasi variabel berat yang persisten pada setiap kontraksi.

3. Equivokal : terdiri dari mencurigakan, tidak memuaskan, dan
hiperstimulasi
a) Equivokal Mencurigakan (suspicious):
miten pada kontraksi yang adekuat.


b) Ekuivokal Tidak memuaskan (unsatisfactory):

atau gerakan janin yang berlebihan.

c) Ekuivokal Hiperstimulasi:

kontraksi lebih dari 90 detik.

Hasil CST negatif menggambarkan keadaan janin yang masih baik
sampai 1 minggu pasca pemeriksaan (spesifisitas 99%). Hasil CST positif
disertai dengan nasib perinatal yang jelek pada 50% kasus.
Hasil CST yang mencurigakan harus terus diobservasi secara ketat (CST
diulang setiap 30 60 menit); bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan pH
darah janin. Hasil CST yang tidak memuaskan harus diulang dalam waktu 24
jam. Bila terdapat hiperstimulasi, kontraksi harus segera dihilangkan (tokolisis)
dan kehamilan/persalinan diakhiri.12
Tatalaksana Berdasar Pemeriksaan Kardiotokografi
Indikasi Pemeriksaan KTG
Kehamilan Persalinan / OCT
Reaktif Non-reaktif Meragukan Negatif Positif Curiga Tidak memuaskan Hiperstimulasi
ANC Cari kausa
Cari kausa
Periksa ulang Ulangi Periksa ulang dalam 24 jam
dalam24 jam 1 minggu
Hasil masih TERMINASI HASIL ??
Meragukan ??
CST
Gambar 10. Penatalaksanaan kehamilan / persalinan berdasarkan KTG
Dokumentasi
Setiap rekaman KTG harus dibuat dokumentasi, bisa dalam bentuk hasil cetakan
printer atau direkam dalam disket komputer. Sebaiknya kedua hal tersebut
dilakukan bagi setiap pasien. Data dalam disket disimpan oleh rumah sakit,
sedangkan hasil cetakan diberikan kepada pasien. RCOG menganjurkan
Tindak Lanjut Hasil Pemantauan Kesejahteraan Janin
Paramedis ataupun tenaga medis harus mampu dengan cepat dan benar
melakukan interpretasi dari alat bantu pemantauan kesejahteraan janin tersebut
kemudian memilih rencana tindakan yang terbaik bagi pasiennya. Penjelasan
yang memadai yang dibarengi dengan kompetensi yang baik akan
meminimalkan kesalahan penatalaksanaan. Misalnya pada gambaran KTG
dijumpai deselerasi variabel, maka tindak lanjutnya adalah mencari kausa dari
kelainan tersebut. Tanyakan apakah gerak janin berkurang ? apakah ada cairan
ketuban yang keluar per vaginam ? kemudian lakukan pemeriksaan USG untuk
mendeteksi adanya lilitan atau kompresi tali pusat. Bila penyebabnya sudah
diketahui, barulah penatalaksanaan yang benar dan rasional dapat dilakukan.
Bagaimana bila tidak ada alat USG ? bila menungkinkan pasien dirujuk
kepusat pelayanan rujukan yang lebih tinggi, bila tidak mungkin merujuk, maka
pergunakan segala fasilitas yang ada dan berikan penjelasan yang baik kepada
pasien dan keluarga (informed consent). Jangan sampai pasien berharap terlalu
tinggi akibat ketidaktahuannya dan juga akibat ketidaksiapan kita melayaninya.
Beberapa alternatif pilihan yang dapat dilakukan dalam menindaklanjuti hasil
pemantauan kesejahteraan janin adalah melakukan penanganan yang memadai
ditempat kerja, merujuk pasien ke pusat pelayanan yang lebih tinggi, menambah
fasilitas peralatan kesehatan, meningkatkan kualitas SDM melalui pelatihan
kompetensi, dan memberikan pendidikan kepada masyarakat awam agar
mereka dapat memahami dengan baik kondisi pelayanan kesehatan yang ada.
Pelatihan PKJ di RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad dilakukan setiap bulan
Februari dan Juli selama dua hari. Materi ajar Pemantauan Kesejahteraan janin
terdiri dari :
1. Konsep dasar pemantauan kesejahteraan janin ( 30 menit)
2. Pemantauan gerak janin (30 menit)
3. Penerapan klinis partograf WHO terbaru (30 menit)
4. Dasar-dasar kardiotokografi (60 menit)
5. Penerapan klinis kardiotokografi (60 menit)
6. Diskusi kasus kardiotokografi (45 menit)
7. Bimbingan praktek (hands-on) pemeriksaan kardiotokografi dan demo
manfaat pemeriksaan USG dalam pemantauan kesejahteraan janin
8. Kompetensi perawat dalam pemantauan kesejahteraan janin (30 menit)
9. Kompetensi bidan dalam pemantauan kesejahteraan janin (30 menit)
10.Resusitasi intrauterin dan neonatus (30 menit)
11.Aspek etika dan medikolegal pemantauan kesejahteraan janin (30 menit)
12.Pembuatan laporan kardiotokografi (30 menit)
13.Pre dan pst test (60 menit)
Simpulan
Pemantauan kesejahteraan janin memegang peranan penting didalam
pengawasan kehamilan dan persalinan. Pemantauan ini seharusnya sudah15
dilakukan sejak kehamilan trimester pertama hingga trimemester ketiga dan saat
persalinan.
Metoda sederhana seperti pemantauan gerak janin dan mendengarkan
DJJ dapat membantu mendeteksi abnormalitas secara dini asalkan dilakukan
dengan benar. Alat bantu diagnostik canggih bukan merupakan sesuatu yang
harus disediakan karena masih banyak hal penting lain yang dapat dilakukan
untk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan janin serta kualitas pelayanan
kesehatan di Indonesia.
Pemeriksaan KTG saja tidak cukup untuk menilai kesejahteraan janin.
Penambahan pemeriksaan volume cairan amnion merupakan prasyarat minimal
yang harus ditambahkan pada pemeriksaan KTG. Pemeriksaan profil biofisik
telah terbukti meningkatkan ketepatan evaluasi kesejahteraan janin.
Mengingat dampak jangka panjang dari hipoksia intrauterin terhadap janin,
maka hasil pemeriksaan KTG beserta interpretasinya disarankan untuk disimpan
selama 25 tahun. Pelatihan pemantauan kesejahteraan janin yang
terstandarisasi akan meningkatkan kualitas pelayanan berbasis pendidikan dan
penelitian

Anda mungkin juga menyukai