Anda di halaman 1dari 15

1

PEMBAHASAN

Akad Nikah Melalui Telepon dan Media Komunikasi Elektronik Lainnya.

A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dalam islam, islam mengatur
tentang tata cara kehidupan berkeluarga agar terbentuk keluarga sakinah,
mawadah wa rahmah. Karena hal tersebut pada dasarnya merupakan dambaan
serta tujuan dari setiap perkawinan yang dilangsungkan.
Dilain pada itu pernikahan juga merupakan akad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang bukan mahram
1
. Dengan menikah seseorang dapat
menundukan pandangannya dan menjaga kemaluannya, sehingga tidak terjatuh
dalam berbagai bentuk kemaksiyatan dan perzinahan, dengan menikah seseorang
dapat menjaga kehormatan dan akhlaknya, tidak mengikuti nafsu syahwatnya.
Maka Islam memberi peringatan kepada para pemuda untuk segera menikah,
untuk menjaga mereka dari berbagai macam kerusakan moral. Sebagai mana
Rosulllah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :




) (


1
Rahman Ghozali, Abdul. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.2003.Cet.I, Hal. 29

2
Dari Abdullah bin masud ia berkata kepada kami bahwa Rasulullah saw
bersabda : Hai sekalian pemuda. Barang siapa di antara kamu yang sanggup
kawin. Maka ia hendaklah kawin. Karena kawin itu menghalangi pandangan
(terhadap yang dilarang agama) dan memelihara faraj. Dan barang siapa yang
tidak sanggup maka hendaknya ia berpuasa. Karena puasa itu perisai baginya.
(HR. Bukhori dan Muslim)
2

Dari penjelasan diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa hakikat
perkawinan tidak lain dari aturan yang diletakkan oleh syari guna menyalurkan
tabiat kemanusiaan yang memiliki syahwat atau nafsu birahi, secarah sah
berkaitan dnegan hal ini, sebagaimana yang diketahui bahwa sebelum aqad nikah
maka perbuatan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan adalah zina yang
diharamkan.
Dalam hal ini para ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap
sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan kabul antara wanita
yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang
nmenggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-
mata berdasarkan suka sama suka tanpa ada akad.
3

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa ijab dan kabul merupakan
salah satu rukun yag menjadi syarat sahnya suatu pernikahan. Berkenaan hal ini
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, yang mengakibatkan
banyaknya penemuan-penemuan dibidang komunikasi; sebagai contohnya adalah
Internet, telepon, teleconference, handphone/hp, telegram, telegrap, Faximile dan
lain sebagainya. Di balik perkembangan dan menigkatnya pengaruh globalisasi
ada suatu hal menarik yang muncul dan menjadi suatu persoalan serta menjadi
perbincangan belakangan ini yaitu aqad nikah via telepon
Melalui makalah ini penulis bermaksud menganalisis persoalan diatas
melalui pendapat-pendapat para fuqaha tentang sah atau tidaknya suatu akad

2
Imam Muslim, Shohih Muslim Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992, hlm.
1018-1019
3
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab : Jafaria, Hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Jakarta : Lentera, 2011, Cet.I, Hal.309

3
nikah melalui telepon yang tentunya dengan dasar dan alasan mereka masing-
masing.

B. Rukun dan Syarat Perkawinan
Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas
dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama terjadi
perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun
pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari
rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah, Syafiiyyah, dan
Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali
Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan.
Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya ilan (pemberitahuan) pernikahan
kepada halayak umum.
4

Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun pernikahan yang
lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya pembahasan secara mendetail
dan mendasar untuk dapat menjawab dan menghukumi pernikahan via
telekomference. Sebab pernikahan via telekomference erat sekali hubungannya
dengan masalah shighat dan saksi.

C. Kedudukan Ijab dan Qabul dalam Akad Nikah
Ijab ialah lafaz yang diucapkan oleh wali atau wakilnya, sedangkan Qabul
ialah lafaz yang diucapkan oleh calon suami atau walinya5. Akad nikah adalah
suatu yang didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela oleh
karena itu akad nikah di jadikan manifestasinya adalah ijab dan Kabul. Ijab dan
Kabul adalah unsur mendasar bagi keabsahan akad nikah.

4
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab : Jafaria, Hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Jakarta : Lentera, 2011, Cet.I, Hal.313-314
5
Ibrahim, Hosen. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq_Rujuk, dan Hukum
Kewarisan. Jakarta : Balai Percetakan Perputsakaan Islam Yayasan Ihja. Cet.I.
Hal.96

4
Dengan ini, dapatlah diketahui bahwa esensi aqad nikah terdiri atas tiga
faktor : ijab, qabul, dan ikatan yang timbul atas akibat terlaksananya ijab qabul
tersebut.
Menurut Abu Zahrah menjelaskan nikah atau perkawinan sebagai satu akad
yang menimbulkan hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi halal,
tolong-menolong dan menyatukan hak-hak dan kewajiban keduanya. Hak dan
kewajiban disini ialah sesuatu ketentuan yang telah digariskan oleh syari.
Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-fiqh ala Mazahib al-Arbaan
menukil kesepakatan ulama mujatahid mensyaratkan bersatu majelis (satu tempat)
bagi ijab dan kabul. Dengan demikian apabila
tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan
kabulnya, maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah.
Menurut para ulama Hanafiah, bahwa dalam satu majelis jika kedua belah
pihak hadir. Jika ijab dan kabul tersebut dilakukan dalam majelis yang berbeda
maka akad belum terlaksana. Menurut Hanafiah bahwa sekedar berdiri dan
berjalan saja dapat mengubah majelis. Dan apabila pihak pertama meninggalkan
majelis setelah mengucapkan ijab, lantas pihak kedua mengucapkan kata qabul di
dalam majelis di saat pihak pertama tidak ada atau setelah kembalinya, maka itu
juga tidak sah. Akan tetapi tidak disyariaatkan untuk menyegerakan pengucapan
kalimat qabul setelah kalimat ijab. Akad nikah tetap sah sekalipun majelis akad
dilangsungkan dalam waktu yang lama. Akad juga sah sekalipun majelis akad
dilangsungkan dalam waktu yang lama. Akad juga sah jika kedua belah pihak
melakukankannya di atas kapal layar, karena kapal layar dianggap sama dengan
atu tempat.
Hanafia lanjut menjelaskan bahwa patokan utamanya dalam batasan antara
satu majelsi dengan beda majelis itu adalah adat-istiadat. Tindakan apa pun yang
oleh adat dianggap telah berpaling dari akad atau pemisah antara kalimat ijab dan
qabul, dapa mengubah status majelis akad. Sedangkan apapun yang tidak

5
diangggap berpaling dari akad atau pemisah antara kalimat ijab dan qabul, maka
tidak mengubah status majelis
6
.
Sedangkan menurut Jumhur disyariaatkan untuk menyegerakan pengucapan
kalimat qabul, sekiranya tidak ada jeda waktu yang lama antara pengucapan
kalimat ijab dan pengucapan kalimat qabul. Para ulama Syafiiah mengatakan,
disyaratkannya agar jeda waktu antara ijab dan qabul tidak lama. Jika jedanya
lama dapat meusak akad. Karena jeda yang lama dapat mengeluarkan kalimat
qabul dari koridor sebagai jawaban atas kalimat ijab.
Adapun ketika dalam kondisi salah satu pihak tidak bisa hadir dalam majelis
akad, dan akad dilakukan dengan perantara tulisan atau utusan, maka ulama
Imamiyah, Hambali, dan Syafii berpendapat : akad dengan tulisan (surat,dan
Sebagainya) tidak sah. Sedangkan Hanafi menyatakannya sah manakala orang
yang dilamar dan melamar tidak berada di satu tempat (yang sama)
7
. Itu
dikarenakan Hanafi menganggap bahwa majelis akad adalah majelis pembacaan
tulisan atau mendengar perkataan seorang utusan di depan para saksi. Oleh karena
itu masih dianggap satu majelis. Karena menurut Hanafi tulisan sederajat dengan
perkataan dengan orang yang mmenuliskannya dan perkataan sama dengan
perkataan dengan orang yang mengutusnya
8
.
Dari urai diatas dapat ditarik dua penafsiran terhadap apa yang dimaksud
dengan ittihad (bersatu) majelis, yaitu :
Pertama, ittihad al-majelis ialah bahwa ijab dan kabul harus dilakukan dalam
jarak waktu yang terdapat dalam upacara akad nikah, bukan dilakukan dalam dua
jarak waktu secara teripsah, dalam arti bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara,
kemudian setelah upacara ijab bubar, kabul diucapkan pula pada upacara
berikutnya. Dalam hal ini yang disebut terakhir ini, meskipun dua acara bertutut-

6
Az- Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam 9 wa Adillatahu : Penerjemah,Abdul Hayyie Al-
Kattani (Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-illa, Lian, masa Iddah). Jakarta: Gema
Insani, 2011. Cet.I. Hal.56
7
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab : Jafaria, Hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Jakarta : Lentera, 2011, Cet.I, Hal.312
8
Az- Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam 9 wa Adillatahu : Penerjemah,Abdul Hayyie Al-
Kattani (Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-illa, Lian, masa Iddah). Jakarta: Gema
Insani, 2011. Cet.I. Hal.56

6
turut secara terpisah bisa jadi dilakukan dalam satu tempat yang sama, namun
karena kesinambungan antara ijab dan kabul itu terputus, maka akad nikah
tersebut tidak sah
9
.
Bersatu mejelis bagi ijab dan kabul, menekankan kapada pengertian tidak
boleh terputusnya antara ijab dan kabul. Dan apabila salah seorang dari dua belah
pihak yang melakukan akad nikah gaib (tidakbisahadir), maka jalan keluarnya
ialah mengutus wakil atau dengan menulis surat kepada pihak lain untuk
menyampaikan akad nikahnya. Dan jika menyetujui isi surat, hendaklah
mengahdirkan para saksi didepan redaksi surat itu dibacakan. Menurutnya praktek
seperti ini adalah sah (Said Sabiq dalam kitabnya fiqh as-sunnah).
Dari penjelasan diatas, bahwa esensi dari persyaratan bersatu majelis adalahm
enyangkut masalah keharusan kaitannya antara ijab dan kabul. Jadi ijab dan kabul
itu benar-benar atas kerelaan dari kedua belah pihak untuk mengadakan akad
nikah.
Kedua, Ittihad al-majelis ialah disyaratkan, karena ada kaitan yang erat
hubungannya dengan tugas dua orang saksi. Seperti diketahui bahwa diantara
syarat sah suatu akad nikah, yang dihadiri dua orang saksi. Tugasnya kedua orang
saksi itu memastikan secara keabsahan ijab dan Kabul, bagi dari segi redaksinya
maupun segi kepastiannya dari yang diucapkan kedua belah pihak.
Kepastian inilah yang sejalan dengan pendapat dikalangan ulama-ulama
mujtahid terdahulu, terutama kalangan Syafiiyah. Menurutnya kesaksian orang
buta tidak dapat diterima untuk akad nikah. Dan untuk selalu bersifat berhati-hati
(ihtiyat) dalam menetapkan suatu hukum.
Sedangkan menurut pendapat yang shahih dari Ulama syafiiyyah, ijab qabul
tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi
muamalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul
adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridha akan adanya
transaksi, dan ridha tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu,

9
M. Zein, Satria Effendi. Problematika Hukum keluarga islam Kontemporer. Jakarta:
Jakarta. 2004. Cet.I, Hal.3

7
surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi
persengketaan tentang akad tersebut
10
.
Dengan demikian, persyaratan bersatunya majelis akad menyangkut keharusan
dan berkesinambungan antara ijab dan kabul (kesatuan akad), bukan menyangkut
kesatuan tempat. Karena, meskipun tempat upacara akad dilakukan dalam satu
tempat/ ruangan yang sama, tetapi pengucapannya ijab dan kabul dilakukan dalam
dua waktu dan dalam upacara yang terpisah, maka kesinambungan anatara
pelaksanaan ijab dan kabul tidak terwujud. Oleh karenanya, maka akad nikahnya
dianggap tidak sah.

D. Akad Nikah Melalui Telepon dalam Pandangan Islam.
Dari uraian mengenai ijab dan qabul sebagaimana diatas, maka dapat
diapahami mengapa para fuqaha sepakat mensyaratkan pelaksanaan akad nikah itu
hendaklah dalam satu majelis, artinya baik wali maupun yang mewakilinya,
maupun calon suami ataupun yang mewakilinya dan kedua orang saksi semuanya
dapat terlibat langsung dengan pelaksanaan jiab dan kabul. Dari permasalahan
inilah dapat menarik sebuah pertanyaan, bahwa bagaimana dengan kehadiran
suara saja dalam proses ijab bagi calon suami maupun qabul bagi wali atau yang
mewakilinya, apakah merupakan suatu hal yang menyimpang dari pengertian satu
majelis ?
Dimaklumi bahwa keabsahan suatu redaksi dapat dipastikan dengan cara
mendengarkannya. Akan tetapi, bahwa redaksi itu benar-benar asli diucapkan dari
kedua orang yang sedang melakukan akad meskipun jaminanannya lebih jika
terlihat. Dalam kenyataan dapat dialami oleh siapa saja yang yang tak menegrti
selak beluk teknologi telepon, bahwa telepoon ataupun komunikasi lainnya dapat
menyampaikan suara dari jarak jauh, sebagaimana dari sumber suara itu berasal.
Bahkan walaupun oleh orang jarak jauh telepo dapat mengirimkan suara itu
dengan cepat, bahkan dapat sebanding dengan suara ketika berbicara langsung
secara berhadap-hadapan.

10
M. Zein, Satria Effendi. Problematika Hukum keluarga islam Kontemporer. Jakarta:
Jakarta. 2004. Cet.I, Hal. 5-6

8
Dengan arti lain, pemalsuan suara dalam telepon hanya mungkin terjadi
apabila dilakukan perekaman dengan menggunakan alat rekam seperti, tap
rekorder, rekaman kaset dan alat lainnya. Selama dapat diketahui bahwa sumber
suara tersebut benar-benar dari orang yang berbicara secara langsung, maka tidak
perlu hawatir dan diragukan akan terjadi penyamaran.
Untuk memastikan apakah suara yang ada dalam telepon itu benar-benar
suara wali atau wakilnya yang bertindak mengijabkan, maka disyaratkan calon
suami harus mengenalnya terlebih dahulu sebelumnya. Dan untuk meyakinkan
lebih dalam lagi sebelum ijab dimulai harus dilakukan tanya jawab tentang
kebenaran identitas masing-masing sekaligus mencek suara, untuk
mencocokkannya dengan suara dalam ijab dan qabul. Demikian pula sebaliknya,
wali yang mengijabkan disyratkan sebelumnya sudah mengenal bbetul suara calon
suami, agaar dalam qabul diperoleh kepastian bahwa yang menyatakan itu
memang bukan orang lain. Maksud dari mengenal suara disini ialah telah terjadi
keakraban kedua belah pihak sebelum terjadi akad.
Adapun syarat bisa dilakukannya akad melalui telepon kaitannya dengan
jarak yang memisahkan kedua calon suami-istri, jika keduanya tinggal pada
negara yang berbeda karena disebabkan menunaikan hajat pokok dalam waktu
lama yang ditentukan oleh pihak luar, maka hal itu dapat membolehkan
dilaksankannya nikah tetepon. Tentu jika hal tersebut kedua calon sama-sama
menghendaki untuk itu dengan dasar keinginan yang sesuai dengan syara
sebagaimana tercantum pada penjelasan sebelumnya.
Kemudian mengenai saksi dalam aqad, imam Abu Hanifah berpendapat boleh
saksi itu terdiri dari dua orang laki-laki yang fasiq, karena menurut beliau
kesaksian dalam nikah itu hanyalah berfungsi sebagai li al-ilan yakni menyiarkan
saja
11
. Sedangkan menurut Syafiiyah yang selalu bersikap hati-hati (ihtiyat)
dalam menetapkan sesuatu hukum, lebih-lebih dalam masalah akad nikah, yang
berfungsi sebagai penghalalan dari suatu yang tadinya diharamkan, maka untuk
keabsahan kesaksian akad nikah, ada satu target keyakinan yang harus

11
Huzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta : Penerbit Pustaka firdaus, Cet. I, Hlm. 112-113.

9
diwujudkan oleh para saksi dalam kesaksiannya. Redaksi dapat diketahui siapa
pembicaranya, namun bobot tidak akan sampai tingkat keyakinan apabila
pengungkapannya tidak disaksikan oleh mata.
Oleh karena itu kesaksian harus didasarkan atas pendengaran dan
penglihatan, menurut pandangan ini ijab dan kaul melalui surat tanpa mewakilkan,
tidak sah. Oleh karena itu pula mengapa Imam Nawawi dalam kitabnya al-
Majmu mejelaskan, apabilah salah seorang dari dua belah pihak yang melakukan
akad nikah mengucapkan ijabnya dengan jalan berteriak dari tempat yang tidak
dapat dilihat, dan teriakan itu dengar oleh pihak lain, dan pihak yang terakhiir ini
langsung mengucapkan kabulnya, akad nikah seperti itu tidak sah.

E. Analisis Terhadap Kasus Akad Nikah Melalui Telepon
Peristiwa akad nikah lewat telepon itu mengundang reaksi yang cukup luas
dari masyarakat contohnya pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak
jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di
kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami
drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belaar di program pasca sarjana Indiana
University AS, sedangkan calon istri adalah dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN
Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama
belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga
sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan
alasan tiadanya beaya perjalanan pulang pergi AS- Jakarta dan studinya agar tidak
terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan
adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang
yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat
taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka
Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu
yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain
dengan melengkapi pesawat telepon dirumahnya dengan alat pengeras suara

10
(mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat
pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah
Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di AS itu bisa mengikuti
upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat
yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab
dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-
laki ; sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti
otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil
dari calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka
kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya
dan tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya
belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau
wakilnya
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat,
artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua
manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual
sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah
lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi
kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu
tidak sah secara mutlak
12
.
Dari pembahsan makalah ini, ada segi-segi kesamaan dengan apa yang
pernah dilakukan Nabi Muhammad s.a.w., ketika beliau mengawini Ummu
Habibah binti Abu Sufyan. Kesamaan itu paling tidak dari segi tehnis, di mana
Nabi mewakilkan Umar bin Umayyah Al-Dlammy untuk menerima nikahya.
Barangkali berdasarkan riwayat ini pulah para ulama menetapkan sahnya berwakil
dalam aqad. Walaupun belum diperoleh keterangan lebih lanjut tentang mengapa
Nabi SAW, mewakilkan pelaksanaan aqad nikah itu, akan tetapi yang bisa

12
http://santrisalik.blogspot.com/2010/09/pelaksanaan-akad-nikah-melalui-
via.html/ 22.20


11
dipastikan ialah pertama, kalaupun berwakil itu karena Nabi berhalangan maka
penghalang itu pasti karena sesuatu yang baik. Kedua, Al-Dlamiry yang medapat
kepercayaan dari Nabi SAW, pastilah orang baik yang memang bisa dipercaya
oleh beliau. Ketiga, tidak mungkin Nabi melaksanakan pernikahan tersebut
disebabkan Nabi khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus melakukan
perbuatan keji sehingga oleh karenanya nikah tidak bisa ditunda pelaksanaannya
walaupun dengan berwakil
13
.
Oleh karena itu, alasan untuk kapan boleh dilaksanakan nikah telepon
seperti diatas, tidaklah keluar dari maksud syara. Demikian pula dari segi tehnis,
dalam keadaan berwakil pelaksanaan aqad nikah itu calon suami sama sekali tidak
berada dalam majelis aqad, baik fisik maupun suara saja, melainkan semata-mata
terwakili oleh orang lain. Sedangkan dalam telepon suara sang calon suami dapat
mengadakan hubungan langsung dengan pihak wali dan para saksi melalui
telepon.


13
Huzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta : Penerbit Pustaka firdaus, Cet. I, Hlm. 116-117

12
KESIMPULAN
1. Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dalam islam, islam mengatur
tentang tata cara kehidupan berkeluarga agar terbentuk keluarga sakinah,
mawadah wa rahmah. Karena hal tersebut pada dasarnya merupakan
dambaan serta tujuan dari setiap perkawinan yang dilangsungkan.
2. Perkawinan jarak jauh khususnya lewat media telepon telah dikukuhkan
oleh sebuah putusan pengadilan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan No.1751/P/1989. Penggunaan media komunikasi teleconference dan
telepon sebagai sarana yang memungkinkan dan bersifat otentifikasi untuk
ijab kabul perkawinan jarak jauh
3. Apabila dilihat dari kacamata pendapat Syafiiyah, maka jelas praktek akad
nikah melalui telepon itu tidak sah. Dengan alasan ;
a. Tugas para saksi harus dapat melihat kedua orang yang mengakadkan
nikah, berhadap-hadapan secara fisik
b. Dua orang saksi menyaksikan calon suami saja, dan dua orang saksi
hanya menyaksikan pihak wali perempuan, meskipun dengan itu bisa
menjamin bahwa ijab dan kabul diucapkan kedua belah pihak yang
berakad, dan harus mengandung taabbud, dalam pelaksanaannya harus
mencontoh kepada pola yang diwariskan oleh Rasulullah
4. Bagi pemakala jika aqad nikah secara biasa sulit dilakukan, sedangkan
kedua calon pasangan calon suami-istri telah sepakat untuk menikah, maka
dengan mengambil alternatif lain tanpa melanggar mengensampingkan hal
baik menurut syara maka dapat dilakukan demi masa depan yang baik dan
bersifat hajat hidup pokok. Namun apabila hal tersebut dilakukan namun
menimbulkan keraguan dan ketidak yakinan yang mutlak sekiranya dapat
utuk tidak dilaksanakan.


13
DAFTAR PUSTAKA

Az- Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam 9 wa Adillatahu : Penerjemah,Abdul Hayyie Al-Kattani
(Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-illa, Lian, masa Iddah). Jakarta: Gema Insani,
2011
Huzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta : Penerbit Pustaka firdaus
Ibrahim, Hosen. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq_Rujuk, dan Hukum
Kewarisan. Jakarta : Balai Percetakan Perputsakaan Islam Yayasan Ihja. Cet.I.
http://santrisalik.blogspot.com/2010/09/pelaksanaan-akad-nikah-melalui-via.html/ 22.20
Imam Muslim, Shohih Muslim Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992,
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab : Jafaria, Hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Jakarta : Lentera, 2011
M. Zein, Satria Effendi. Problematika Hukum keluarga islam Kontemporer. Jakarta:
Jakarta. 2004
Rahman Ghozali, Abdul. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.2003.Cet.I


14
Lampiran
Sumber lain Penunjang Pemakalah dalam menentukan boleh tidaknya melakukan
akad melalui via telpon dan komnukasi elektronik lainnya.
Titik tumpuh yang lainnya pemakalah anggap ialah nikah lewat telepon itu
tidak sah dan kemungkinan tidak dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain
terdapat kelemahan/ kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun
nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-
dalil syara sebagai berikut :
1. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang
mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang
berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-nissa: 21 :


Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah
bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.
2. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya
penyalahgunaan atau penipuan (gharar/ khida), dan dapat pula menimbulkan
keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun
dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai
dengan hadist Nabi/kaidah fiqih

Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.
Dan Hadis Nabi:



15
Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan
sesuatu yang tidak meragukan engkau.


Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik
(mencari) maslahah Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta.
3. kemahiran dalam meniru ucapan dan menyerupai vokal suara seseorang
sampai-sampai seseorang bisa untuk berperan menjadi orang banyak baik
sebagai laki-laki, wanita, anak kecil dan dewasa yang ia berpura-pura menjadi
mereka dalam vokal suara dan logat mereka yang menjadikan seseorang yang
mendengar mengira bahwa yang sedang berbicara adalah orang banyak,
padahal hanya satu orang saja
14
.




14
http://santrisalik.blogspot.com/2010/09/pelaksanaan-akad-nikah-melalui-
via.html/ 22.20

Anda mungkin juga menyukai