BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan
sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah
mengenali makanan yang sudah busuk dan yang masih segar dengan mudah
hanya dengan mencium aroma makanan tersebut. Di dalam hidung kita
terdapat banyak sel kemoreseptor untuk mengenali bau.
Hidung berfungsi sebagai indera pembau. Ujung-ujung saraf pembau
terletak pada selaput lender rongga hidung bagian atas, kerang hidung atas
dan permukaan atas kerang hidung yang tengah. Pada ujung saraf pembau
terdapat selaput lender yang berfungsi sebagai pelembab. Bau yang busuk
pada rongga hidung waktu kita menarik napas ditangkap oleh ujung saraf
kemudian dibawa ke pusat pembau di otak sehingga kita dapat menerima
rangsang bau.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi hidung ?
2. Bagaimana peredarah darah dalam hidung ?
3. Bagaimana persyarafan hidung ?
4. Bagaimana anatomi sinus paranasal ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi hidung ?
2. Untuk mengetahui Bagaimana peredarah darah dalam hidung ?
3. Untuk mengetahui Bagaimana persyarafan hidung ?
4. Untuk mengetahui Bagaimana anatomi sinus paranasal ?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi hidung
Secara anatomi, hidung adalah penonjolan pada vertebrata yang
mengandung nostril, yang menyaring udara untuk pernafasan. Hidung
sebagai suatu istilah, dapat juga digunakan untuk menunjukkan ujung
sesuatu, seperti hidung pada pesawat terbang. Hidung adalah bagian yang
paling menonjol di wajah, yang berfungsi menghirup udara pernafasan,
menyaring udara, menghangatkan udara pernafasan, juga berperan dalam
resonansi suara.
1. Anatomi Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ;
struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah
tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
a. Pangkal hidung (bridge),
b. Batang hidung (dorsum nasi),
c. Puncak hidung (hip),
d. Ala nasi,
e. Kolumela, dan
f. Lubang hidung (nares anterior).
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks, agak ke atas dan
belakang dari apeks disebut batang hidung atau dorsum nasi, yang
berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi, yang
disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior
bagian tengah bibir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum.
3
Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar
hidung.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari :
a. Tulang Hidung (Os Nasal) ,
b. Prosesus Frontalis Os Maksila Dan
c. Prosesus nasalis os frontal ;
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
a. Sepasang Kartilago Nasalis Lateralis Superior,
b. Sepasang Kartilago Nasalis Lateralis Inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor dan
c. Tepi anterior kartilago septum.
Gambar 1. Kerangka hidung luar
4
Pada gambar 1 tampak kerangka luar hidung yang terdiri dari dua
tulang hidung (6), processus frontal tulang maksila (5), kartilago lateralis
superior, sepasang kartilago lateralis inferior dan tepi anterior kartilago
septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan
kartilago septum nasi dan tepi atas melekat erat dengan permukaan
bawah tulang hidung serta processus frontal tulang maksila. Tepi bawah
kartilago lateralis superior terletak di bawah tepi atas kartilago lateralis
inferior. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua per lima bagian atasnya
terdiri dari tulang dan tiga per lima di bawahnya tulang rawan.
Gambar 2. Tulang dan tulang rawan hidung
2. Anatomi Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh
septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka
inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan
5
meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.
Gambar 3. Anatomi hidung dalam
a. Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid,
bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan
kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer,
krista maksila, Krista palatine serta krista sfenoid.
6
Gambar 4. Septum nasi
b. Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
1) Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila
dan prosesus horizontal os palatum.
2) Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid,
dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk
oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen.
Olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
3) Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka
media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior,
lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus
medial.
7
4) Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah
konka ; celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut
meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus
superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan
konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan
konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum.
c. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka
media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus
superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi.
Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.
d. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini
terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus
etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus
medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang
dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum
maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
8
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-
kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum.
e. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira
antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
f. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi
dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan
kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh
lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas
oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat
sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid.
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara
lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks
prosesus zygomatikus os maksilla.
B. Peredaran darah hidung
Pembuluh darah hidung terdiri dari :
1. Arteri palatina, bercabang dua yaitu arteri nasalis posterior lateralis dan
arteri nasalis posterior septi.
2. Arteri nasalis anterior, berasal dari arteri oftalmika yang mempunyai
cabang anteriores lateralis dan anteriores nasalis anterior septi.
3. Vena hidung kribrosa. Jaringan pada daerah konka yang dikelilingi oleh
serabut otot sirkuler dan longitudinal, bermuara pada:
a. Pleksus venosus pterigoideus vena kanalis
b. Vena fasialis mengikuti cabang arteri alviolaris sup,
9
c. Vena oftalmika
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri
Etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari
a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari
cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang
cabang a.fasialis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-
vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.
C. Persarafan hidung
Pembuluh saraf yang terdapat di hidung antara lain :
1. Nervus olfaktorius saraf sensible (saraf pembau): masuk melalui lubang-
lubang di lamina kribrosa etmoidalis.
2. Nervus trigeminus: mempunyai cabang nervus oftalmikus dengan ranting
nervus nasalis posterior superior dan nervus nasalis anterior superior
untuk dinding lateralis kavum nasi superior dan konka nasalis media.
3. Nervus etmoidalis anterior: cabang dari oftalmikus masuk ke dalam
kavum nasi melalui lubang frontal di lamina kribrosa ossis etmoidalis.
4. Nervus palatinus anterior: masuk ke dalam kavum nasi melalui lubang
dalam pars perpendikularis ossis palatine.
Nervus.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris,
yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
10
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-
2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
D. Anatomi sinus paranasal
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh
pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium
dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus
paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan
dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila,
yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis
kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan
lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung
melalui ostium masing-masing.
1. Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang
dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada
11
saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya
menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus
zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina
vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris
konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuarke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata
sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun
31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan
infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium
maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus.
Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya
berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini
mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah :
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang
juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi
tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa
saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya
dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam
rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang
terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus
melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini
12
dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis.
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari
sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.
2. Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali
juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya,
kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal
kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya
dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3
cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml.
Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal
yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
3. Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi
dan akhir- akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan
13
fokus infeksi bagi sinus- sinus lainnya. Sel-sel etmoid, mula-mula
terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan
suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior.
Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang
sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada
orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume
sinus kira-kira 14 ml. Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian
lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial
orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada
bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di
bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
4. Sinus sfenoid
Letak sinus sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus
etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan
14
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebaagai
indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan
sinuskavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hidung merupakan salah satu dari panca indra yang berfungsi sebagai
indra pembau. Hidung adalah bagian yang paling menonjol di wajah, yang
berfungsi menghirup udara pernafasan, menyaring udara, menghangatkan
udara pernafasan, juga berperan dalam resonansi suara. Secara anatomi,
hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam.
Peredaran darah dalam hidung diperdarai oleh arteri palatina, arteri nasalis
anterior, vena hidung kribrosa. Sedangkan pembuluh saraf pada hidung
adalah nervus olfaktorius, nervus trigeminus, nervus etmoidalis anterior, dan
nervus palatinus anterior.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Ada empat pasang (delapan) sinus
paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan
dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila,
yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis
kanan dan kiri.ari panca indra yang berfungsi sebag
16
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L, dkk. 1997. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC.
Iskandar, Nurbaiti. 1997 Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan,
Edisi III. Jakarta: FKUI.
Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan edisi
2. Jakarta: Salemba Medika.