Anda di halaman 1dari 10

Pelaksanaan Pilkada di Indonesia Dan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-

V/2007 Tentang Di Bolehkannya Calon Independen





A. Latar Belakang
Semasa orde baru hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD tidak seimbang. DPRD
sangat kuat karena dapat mengusulkan pengangkatan kepada Presiden serta dapat
memberhentikan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh DPRD yang
dianggap sebagai representasi rakyat di daerah. DPRD dapat menunjuk kepala daerah yang
dianggap layak dan mampu memimpin daerah.
Pada tataran konsep, prinsip perwakilan seperti ini sangat bagus dan efektif. Namun melihat
kenyataan di Indonesai bahwa sebagian besar orang yang duduk dalam pemerintahan adalah
orang yang cenderung menyalahgunakan jabatannya.
Bangsa Indonesia memberi pelajaran bahwa pemimpin pemerintahan yang kurang
demokratis atau bahkan otoriter cenderung dapat menyelenggarakan program pembangunan
dengan baik sehingga perekonomian meningkat, dan sebaliknya pemimpin pemerintahan yang
mempertahankan aturan main yang demokratis menghadapi masalah ketidakmampuan
pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuannya.
1

Sebagian ilmuwan politik menyetujui pandangan tersebut, sebagian lain ada yang percaya
bahwa ada peluang bagi pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan
demokratis. Dengan demikian akan muncul dua persoalan, yakni bagaimana menciptakan
pemerintahan yang efektif dan bagaimana pula membuat pemerintahan yang demokratik?
Dikaitkan dengan kepemimpinan, pertanyaan itu diubah menjadi bagaimana menciptakan kepala
pemerintahan yang efektif dan kepala pemerintahan yang demokratik? Dalam konteks lokal
(daerah) pertanyaan tersebut diubah menjadi bagaimana menciptakan kepala daerah yang efektif
dan kepala daerah yang demokratik? Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya menciptakan

1
Joko Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema.Penerapan di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 200.
kepala daerah yang efektif dan demokratik adalah bahwa sistem pemilihan kepala daerah yang
digunakan bersifat tidak langsung sehingga jarak antara rakyat dan pemimpin pemerintah di
daerah terasa jauh.
B. Permasalahan
Suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat itu adalah: terdiri dari
banyak bagian-bagian, bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung, dan
mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-
sistem lain.
2

Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan
sistem sekunder (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral
process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan
mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengingat dan menjadi pedomanbagi
penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral
process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang
merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun bersifat teknikal.
Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis,
administratif, atau pidana. Ketiga bagian pilkada langsung tersebut sangat menentukan sejauh
mana kapasitas sistem dapat menjembatin pencapaian tujuan dan proses awalnya. Masing-
masing bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang
komplementer.
3

Mekanisme, prosedur, dan tata cara dalam pilkada langsung merupakan dimensi electoral
regulation. Secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan tata cara dalam sistem adalah yang
terukur (measurable). Ben reilly mengonstatasikan 3 ukuran tersebut yang menurutnya juga
komplementer dan tak dapat dipisah-pisahkan, yaitu:
4



2
Mohtar Masoed dan Colin Mac Andrews, Pengantar Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1991, hal. xii.
3
Joko Prihatmoko, Op.Cit. hal. 201.
4
Ben Reilly, Reformasi Pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan, dalam Almanak Parpol Indonesia,
Yayasan API, Jakarta, 1999, hal. 18-19.
1. sistem pemilihan menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan menjadi
kursi;
2. sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat
menagih tanggung jawab pemimpin yang mereka pilih;
3. sistem pemilihan yang memberikan dorongan terhadap pihak-pihak yang saling bersaing
pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.

Dengan demikian, untuk memperoleh hasil pilkada langsung yang demokratis, proses yang
dilalui pun harus demokratis pula, yang didalamnya mengandung aspek keadilan, keterbukaan,
dan kejujuran. Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu langkah maju
dalam mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal. kebangkitan demokrasi politik di Indonesia
yang diawali oleh pilkada langsung ini merupakan upaya membangun pondasi demokrasi di
Indonesia (penguatan demokrasi di aras lokal).
Pelaksanaan pilkada langsung tentunya tidak lepas dari adanya terobosan politik dalam
pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004. Pemberian otonomi ini
memiliki korelasi perspektif dengan teori-teori dasar tentang desentralisasi dan politik lokal.
Desentralisasi secara umum dapat dilihat dalam dua perspektif yaitu administratif dan politik.
Berdasarkan perspektif administratif, desentralisasi didefinisikan sebagai the transfer of
administrative responsibilitiy from central to local government. Artinya dalam perspektif
otonomi daerah yang berlaku di Indonesia, desentralisasi administratif ini diartikan sebagai
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sedangkan perspektif
politik, Smith mengatakan desentralisasi sebagai the transfer of power, from top level to lower
level, in a territorial hierarchy, which could be one of goverments within a state, or office within
a large organization (perpindahan kekuasaan, dari level tertinggi ke level yang lebih rendah,
dalam sebuah daerah hirarki, yang dapat menjadi sebuah pemerintahan di dalam negara, atau
kantor di dalam sebuah organisasi yang besar).
5

Dalam pandangan yang lain Mawhood mengatakan bahwa desentralisasi politik adalah
devolution of power from central government to local government. Mawhood juga meletakkan

5
Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah:
Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: DIA FISIP UI, 2006, hal. 32.
konteks desentralisasi politik sebagai esensi dasar otonomi bagi daerah yaitu a freedom which
isassumed by local government in both making and implementing its own decision.
6

Pelaksanaan pilkada langsung yang saat ini adalah merupakan bentuk penyerahan kewenangan
dari pemerintah pusat kepada daerah untuk memilih secara langsung kepala daerahnya, sehingga
konteks aturan yang berlaku dalam pilkada merupakan jabaran atau turunan dari aturan yang
berlaku dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam
perspektif desentralisasi politik, dengan adanya pilkada, maka kekuasaan tidak lagi
terkonsentrasikan pada pemerintah pusat, tetapi dapat didistribusikan kepada daerah-daerah.
Dengan demikian, daerah memiliki posisi yang jauh lebih kuat untuk mengatur dan menentukan
urusan rumah tangganya sendiri sesuai kewenangan yang dimilikinya tersebut. Dalam perspektif
ini pula, maka menjadi hal wajar apabila pemberikan desentralisasi politik dan pelaksanaan
pilkada ini berada dalam ranah pemerintahan daerah, karena konteks sistemik dari pemberian
kekuasaan kepada daerah untuk memiliki pemimpin daerah sendiri secara langsung merupakan
pemberian dari pemerintah pusat. Selain itu pula dalam konteks bingkai negara kesatuan yang
dipilih menjadi bentuk negara berdasarkan konstitusi ini harus tetap menjaga keterpautan yang kuat
antara hubungan pusat dan daerah. Mengingat pergolakan arus gerakan antara putaran sentrifugal dan
sentripetal yang menarik hubungan daerah ke dalam lingkaran pusat dan sebaliknya, harus dijaga
dinamisasinya agar tidak saling tertarik terlalu dalam antara salah satu arus tersebut.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal yang telah terjadi di sejumlah negara
maupun yang berlaku selama ini di Indonesia, sebenarnya terdapat tiga varian model dalam
menentukan atau memiliki kepala daerah. Ketiga varian tersebut adalah pertama kepala daerah
dipilih secara langsung, kedua dipilih secara tidak langsung oleh sebuah dewan atau council, dan
ketiga ditunjuk oleh pemerintah pusat.
7
Di Indonesia, ketiga varian tersebut sudah pernah
dijalankan berdasarkan ketentuan yang diatur oleh UU tentang Pemerintah Daerah semenjak
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai UU No. 32 tahun 2004.
Berdasarkan ketentuan UU No. 32 tahun 2004, Perpu No. 3 tahun 2005, PP No. 6 tahun 2005
dan PP No. 17 tahun 2005, model penyelenggaraan pilkada langsung dapat dilihat dari berbagai

6
Ibid, hal. 63.
7
Fitriyah, Sistem dan Proses Pilkada Secara Langsung, Analisis CSIS, Vol. 34, No. 3, 2005, hal. 41.
konteks, meliputi pertama konteks sistem, kedua kelembagaan penyelenggara dan pengawasan
pilkada, ketiga aspek kesiapan teknis pendukung pilkada dan keempat sistem penegakan hukum
pilkada.
Hal penting yang perlu dibahas adalah pertama calon harus dari partai politik atau
gabungan partai politik, dan kedua persyaratan pengajuan calon oleh parpol atau gabungan
parpol. Dalam hal pertama berkenaan dengan calon dari parpol, problem yang muncul saat ini
timbul gejala yang sebenarnya wajar terjadi bahwa partai mendorong pemilih untuk memilih
kader partainya saja atau parpol membuka kesempatan kepada calon non-kader untuk dapat
menggunakan kendaraan politik berupa parpol dengan uang sewa kendaraan yang akan mahal.
Tentu sebagai suatu political cost hal ini wajar dilihatnya, namun dengan besaran kompensasi
politik yang nilainya teramat besar ini maka akan tercipta wujud politik oligarki partai atau
bahkan politik uang yang semakin menggila.
8

Dikhawatirkan dengan beban political cost yang tinggi ini, sang calon apabila kelak
memenangkan pilkada akan berpikir sedemikian rupa untuk mengembalikan modal politik yang
diberikan ketika pencalonannya tersebut. Kekhawatiran ini nantinya akan berujung pada
performance yang buruk dari kepala daerah karena konsentrasi kerjanya diarahkan untuk
mengembalikan modal politik ini dan bukan untuk membangun rakyatnya. Belum lagi
kemungkinan korporasi korupsi yang mungkin terjadi baik yang diperuntukkan untuk
mengembalikan modal politik pribadi calon atau penyerahan kompensasi dukungan dari pihak
ketiga yang membantu permodalan calon dalam memenangkan pilkada. Bahkan tindakan aji
mumpung dari segelintir oknum partai yang hendak memperkaya diri sendiri atau untuk membiayai
kegiatan politik dari parpol yang bersangkutan. Potensi politik uang dalam proses pencalonan ini
tidak bisa diawasi dan ditindak karena mengingat UU tidak mengatur mengenai masalah ini dan
prosesnya sendiri merupakan kejadian internal yang sangat sulit untuk dapat diakses. Untuk itu perlu
dipikirkan secara mendalam untuk membuat alternatif asal calon yaitu selain berasal dari parpol atau
gabungan parpol juga membuka kesempatan bagi adanya calon non-parpol atau calon independen.
Calon non-parpol ini ialah warga negara yang dapat mencalonkan menjadi pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan mengajukan bukti dukungan dari
masyarakat yang senilai dengan besaran pencalonan apabila menggunakan jalur parpol. Kejadian
pilkada di Aceh, cukup memberikan pelajaran bagi bangsa ini, bahwa ada antusiasme dan

8
http://kormonev.menpan.go.id/ebhtml/joomla/index2.php?option=com_content&do_ pdf=1&id=10 65.
Diakses pada tanggal 7 Juni 2009.
harapan yang tinggi dari masyarakat terhadap calon independen untuk dapat diberikan mandat
memimpin daerah. Di tingkat provinsi dan sejumlah kabupaten/kota di Aceh, sejumlah kandidat
dari calon independen memenangkan pilkada, bahkan dengan perolehan suara mutlak. Upaya
untuk membuka peluang ini sudah dilakukan oleh sejumlah pihak baik melalui jalur hukum
maupun jalur politik, salah satu bentuknya tercermin melalui keluarnya putusan Mahkamah
Konstitusi 5/PUU-V/2007.
9


C. Pembahasan

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 telah membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan untuk maju sebagai calon kepala daerah di dalam
pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia (bukan hanya di provinsi Aceh). Mahkamah Konstitusi
(MK) menilai, pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah membatasi hak-hak berpolitik setiap warga negara sebagaimana dijamin UUD 1945,
terutama kesamaan hakwarga negara untuk memperoleh kesempatan dalam pemerintahan yang
dijamin pasal 28D ayat (1) dan (3). Dengan demikian maka pencalonan perorangan tanpa melalui
mekanisme partai politik dalam Pilkada mendapatkan landasan konstitusinya melalui keputusan
MK tersebut. Dipertimbangkannya kehadiran calon perorangan semestinya dapat dipandang
sebagai penyempurnaan sistem politik Indonesia. Karena pembatasan calon perorangan di luar
partai politik merupakan reduksi amat sangat yang menghilangkan hak-hak konstitusional warga
negara. Politik akan dikatakan sehat jika pencalonan secara perorangan dapat diakomodir, karena
juga merupakan hak politik setiap warga negara.
Dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan dalam
Pemilihan Kepala Daerah tersebut, maka secara otomatis mengharuskan dilakukannya perubahan
terhadap pasal yang mengatur tentang pencalonan kepala daerah yang dimuat di dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004. Oleh karena itu, dibentuklah Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008 yang notabene mengatur tentang materi pencalonan kepala daerah dalam proses Pemilihan
Kepala Daerah.

9
http://www.alumnigmni.org/download/quovadiscalonindependent.pdf. diakses pada tanggal 7 Juni 2009.
Terbentuknya norma hukum baru ini disebabkan perubahan pada norma hukum dalam UU
Pemerintahan Daerah misalnya pada pasal 59 ayat (1) yang semula mengandung arti bahwa
pengusulan pasangan calon kepala daerah hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik menjadi norma hukum yang mengandung arti pengusulan pasangan calon
kepala daerah tidak hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Pembentukan norma hukum baru pasca putusan MK ini juga terlihat dari pertimbangan MK
dalam putusan No. 5/PUU-V/2007 (halaman 57) yang berbunyi,
Mahkamah bukanlah pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-
undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun
demikian, Mahkamah dapat menghilangkan kata-kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan
undang-undang supaya norma yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang
sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk
undang-undang untuk merumuskannyaApabila diperhatikan secara seksama, pertimbangan
hukum diatas bisa diartikan bahwa norma hukum baru telah terbentuk dari norma hukum yang
bertentangan dengan UUD 1945 menjadi norma hukum yang tidak lagi bertentangan dengan
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi memang tidak dapat melakukan pembentukan aturan-aturan
hukum baru karena tidak mempunyai kewenangan legislasi namun dapat menciptakan norma
hukum baru dengan putusannya. Dengan karakteristik putusan MK yang final dan mengikat,
pembentukan norma hukum baru ini sudah seharusnya dijadikan dasar bagi KPU dan KPUD
untuk tidak menutup kesempatan bagi pasangan calon yang bukan berasal dari pengusulan partai
politik atau gabungan partai politik.Dengan ini terlihat dengan jelas bahwa disatu pihak
Mahkamah Konstitusi menciptakan norma baru dengan membuka kesempatan bagi pasangan
calon perseorangan selain yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik,
sedangkan di lain pihak telah terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dikarenakan
keterbatasan kewenangan MK yang tidak dapat membentuk aturan-aturan hukum baru. Hal ini
dipertegas dengan kenyataan bahwa KPUD Kabupaten Tulangbawang menyatakan menolak
pasangan calon independen disebabkan tidak adanya aturan hukum yang mengaturnya. Untuk
mengatasi kekosongan hukum ini, peran KPU atau KPUD disini begitu vital.
Derap langkah desentralisasi dalam perwujudan otonomi daerah di Indonesia akan sangat
bergantung pada sejauh mana konsolidasi demokrasi dan penciptaan good governance dapat
dicapai dan dalam hal ini figur kepala daerah akan memberikan warna tersendiri bagi pencapaian
tersebut. Norma hukum mengisyaratkan sesuatu yang seyogyanya (ought to) sebagaimana telah
diisyaratkan oleh ahli hukum Hans Kelsen dengan the pure theory of law-nya. Dalam hal
menyikapi Putusan MK mengenai calon independen ini, sudah sangat jelas bagaimana peran
KPU dan KPUD dalam proses ini diharapkan dapat menciptakan sesuatu yang seyogyanya
tersebut.
D. Kesimpulan
Pilkada adalah upaya demokrasi untuk mencari pemimpin daerah yang berkualitas dengan
cara-cara damai, jujur, dan adil. Salah satu prinsip demokrasi yang terpenting adalah pengakuan
terhadap perbedaan dan penyelesaian perbedaan secara damai.Dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945
dinyatakan gubernur, bupati, walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Demokratis tersebut diartikan sebagai
pemilihan langsung sebagaimana prinsip one man one vote dalam praktek demokrasi.
Salah satu ciri sistem pilkada yang demokratis dapat dilihat dari asas-asas yang dianut. Asas
adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk sesuatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk
menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang dikehendaki. 15Asas pilkada adalah
pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Dengan kata lain, asas pilkada merupakan
prinsip-prinsip atau pedoman yang harus mewarnai proses penyelenggara. Asasa pilkada juga
merupakan jalan atau sarana agar pilkada terlaksanakan secara demokrasi. Dengan demikian,
asas-asas pilkada harus tercemin dalam tahapan-tahapan kegiatan atau terjemahkan secara teknis
dalam elemen-elemen kegiatan pilkada.
Asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama persis dengan pilkada yang dipakai dalam
pemilu 2004, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-asas
pilkada langsung tertuang dalam pasal 56 ayat (1) Undang-undang No. 32/2004 dan ditegaskan
kembali dalam pasal 4 ayat (3) PP No. 6/2005. Selengkapnya pasal 56 ayat (1) berbunyi:
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilah dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung,umum,bebas, adil dan jujur.
Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa pilkada langsung di Indonesia telah
digunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekrutmen pejabat publik atau pejabat
politik yang terbuka. Adapun pengertian asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung
sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2. Umum
Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung
makna menjamin kesempatan yang berlaku
3. Bebas
Setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan
paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga Negara dijamin
keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pemilihannya tidak akan diketahui
oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. Surat suara dengan tidak diketahui oleh
orang lain kepada siapapun suaranya diberikan.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam UU Pemerintahan Daerah pada pasal 56.
Sebelumnya Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun ada keinginan dari masyarakat
untuk memilih kepala daerah tanpa harus melalui partai politik. Masyarakat menilai kinerja
partai politik seelama ini sangat mengecewakan. Keinginan masyarakat tersebut akhirnya
melalui Lalu Ranggalawe diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materil
terhadap Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ranggalawe
mengangap bahwa undang-undang tersebut membatasi hak warganegara untuk duduk dala
pemerintahan.

Pengaturan tentang pemilihan kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia sebelum reformasi diatur melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah. Setelah reformasi diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Calon
independen dalam pemilihan kepala daerah lahir karena beberapa faktor, yakni keinginan
masyarakat yang kecewa terhadap kinerja partai politik, Pilkada DKI Jakarta yang menyuarakan
diberlakukannya calon independen dan faktor undang-undang tentang Pemerintahan Aceh yang
di dalamnya memperbolehkan calon independen dalam Pilkada di Provinsi Aceh. Pelaksanaan
calon perseorangan (independen) dalam Pemilihan Kepala Daerah di beberapa daerah telah
terlaksana sesuai dengan apa yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang calon independen. Namun jika dikaitkan dengan hasil diperoleh oleh calon
independen, masih jauh tertinggal dengan hasil perolehan calon dari partai politik dalam
pemenangan pilkada di daerah. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 telah
membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan untuk maju sebagai calon
kepala daerah di dalam pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia (bukan hanya di provinsi Aceh).
Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah membatasi hak-hak berpolitik setiap warga negara sebagaimana dijamin UUD
1945, terutama kesamaan hakwarga negara untuk memperoleh kesempatan dalam pemerintahan yang
dijamin pasal 28D ayat (1) dan (3). Dengan demikian maka pencalonan perorangan tanpa melalui
mekanisme partai politik dalam Pilkada mendapatkan landasan konstitusinya melalui keputusan MK
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai