Anda di halaman 1dari 5

Kilas Balik Ekonomi Tahun 2009

Memang Republik Neoliberal!

Oleh :
Firdaus Cahyadi
Knowlegde Sharing Officer (KSO)
OneWorld, Indonesia

www.satudunia.net Page 1
Memang Republik Neoliberal!

“Siapa pun pemenang pemilihan Presiden 2009,


neoliberal yang berkuasa!” ujar Pengamat Kebijakan
Publik Ichsanuddin Noorsy 21 Mei 2009 yang lalu.

Neoliberal (neolib). Sebuah kosa kata yang


mendadak popular pada tahun 2009. Terutama saat
kampenye pemilihan presiden.

Lantas apa itu neoliberal?

Menurut Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Revrisond Baswir, ekonomi
neoliberal adalah bentuk baru liberalisme yang pada dasarnya sangat memuliakan
mekanisme pasar. Dalam sistem ekonomi neoliberal campur tangan negara, walaupun
diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman
bekerjanya mekanisme pasar.

Sistem neoliberal itu pada akhirnya menempatkan negara hanya sebagai pelayan
korporasi besar daripada melindungi keselamatan warganya.

Benarkah Indonesia merupakan republik neoliberal?

Tuntasnya Agenda Liberalisasi


September 2009 mungkin adalah salah satu hari bersejarah bagi Republik Indonesia.
Pasalnya pada bulan September 2009, DPR berhasil mengesahkan Undang Undang (UU)
Kelistrikan yang mengamanatkan liberalisasi ketenagalistrikan nasional. Disahkannya
UU Kelistrikan itu sebagai pertanda tuntasnya serangkaian proses liberalisasi sektor-
sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak di negeri ini.

Dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami kecanduan neoliberal. Betapa tidak
setelah sebelumnya, sektor minyak dan gas (migas) serta pendidikan telah lebih dulu
diliberalisasi, kini giliran listrik yang diliberalisasi. Mekanisme pasar seakan telah
menjadi berhala baru di negeri ini.

Dengan tuntasnya proses liberalisasi itu maka sejatinya sistem ekonomi Pancasila yang
berlandaskan asas keadilan telah berubah menjadi sistem ekonomi neoliberal yang
berlandaskan pasar bebas. Di dalam sistem neoliberal, peran negara untuk melindungi
rakyat diamputasi, karena peran itu akan berpotensi menganggu mekanisme pasar.

Akibatnya, tentu saja rakyat hanya diposisikan sebagai konsumen. Hak politik, sosial dan
ekonomi rakyat yang sebelumnya melekat sebagai warga negara pun hilang. Sementara
negara diposisikan hanya sebagai regulator dan pengawas dalam sistem pasar bebas.

www.satudunia.net Page 2
Celakanya, karena kewenangan negara sudah
diamputasi terlebih dahulu maka fungsi
pengawasan negara hanya ditujukan agar
mekanisme pasar tidak terganggu bukan
untuk melindungi kepentingan publik.

Akses warga negara terutama yang dalam


katagori miskin akan semakin terpinggirkan
dan tidak dapat perlindungan dari negara
sama sekali. Hal itu disebabkan penentuan
tariff listrik akan didasarkan pada harga
pasar. Hal yang menjadi pertimbangan dalam
penentuan tariff listrik adalah seberapa jauh tariff tersebut mampu memberikan
keuntungan bagi korporasi yang bergerak di sektor kelistrikan. Kemampuan warga
miskin untuk ‘membeli’ listrik tidak menjadi pertimbangan utama.

Bukan tidak mungkin nantinya, sebuah keluarga miskin akan menggunakan penerangan
lilin karena tidak mampu ‘membeli’ produk listrik. Atau jika dipaksakan membeli produk
listrik, keluarga miskin tersebut harus memangkas anggaran untuk pendidikan dan
kesehatan keluarganya.

Jika demikian halnya maka, rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) pada tahun
2010 pun harus dilihat dalam rangka menyukseskan scenario liberalisasi
ketenagalistrikan. Terlebih Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil di sebuah media massa
nasional mengungkapkan bahwa penaikan TDL akan terus berlanjut hingga tariff listrik
mencapai harga keekonomian. Pasalnya, jika masih ada subsidi atau tariff listrik belum
mencapai harga keekonomian maka, tidak akan ada investor yang akan masuk ke sektor
kelistrikan.

Tarif listrik di kawasan Jawa-Madura-Bali (Jamali), yang nantinya sudah tidak disubsidi
atau dikurangi subsidinya, akan menjadi daya tarik bagi investor untuk berinvestasi di
sektor ketenagalistrikan. Kawasan Jamali nantinya akan menjadi semacam pilot project
pertama bagi liberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia.

Sementara tariff listrik di kawasan lain, akan mengacu pada tariff listrik di kawasan
Jamali. Sebisa mungkin, tariff listrik di luar Jamali pun nantinya berada pada kisaran
tertentu yang memungkinkan investor swasta masih tetap dapat berinvestasi secara
menguntungkan di sektor ketenagalistrikan. Dalam jangka panjang, perlahan-lahan tariff
di kawasan lain akan disamakan dengan tariff listrik di kawasan Jamali. Di saat itulah
harga listrik di seluruh Indonesia akan diserahkan kepada mekansime pasar secara total.

Upaya meliberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional ini tentu saja mendapat dukungan
dari lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional yang selama ini giat mempromosikan
sistem ekonomi neoliberal. Bentuk dukungan mereka dengan cara menjerat negara ini
melalui proyek utang.

www.satudunia.net Page 3
Pada awal 1990-an misalnya, Bank Dunia dan
USAID mengucurkan dana untuk studi
kebijakan sektor ketenagalistrikan di
Indonesia. Sementara pada tahun 1999,
kucuran dana sebesar US$ 1 miliar juga
diterima dari Bank Pembangunan Asia (ADB)
dan JBIC untuk program restrukturisasi sektor
ketenagalistrikan di Indonesia.

Upaya liberalisasi itu tidak hanya berhenti


sampai di situ. Pada tahun 1994, status PLN
diubah dari perusahaan umum (perum)
menjadi perseroan terbatas (PT). Tahun 2005,
didirikanlah dua anak perusahaan PT PLN
yaitu PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) I dan
PJB II. Puncaknya tentu saja pada bulan
September 2009 itu, ketika DPR
mengesahkan UU ‘liberalisasi’ Kelistrikan.

Kemenangan para pengusung sistem


neoliberal dalam pengesahan UU Kelistrikan
ini tentu saja mengundang pertanyaan
kemanakah partai-partai politik yang pada
kampanye pemilu 2009 lalu mengklaim anti-neoliberal?

Pengesahan UU ‘liberalisasi’ Kelistrikan ini seakan membuka topeng para politisi kita.
Para politisi kita, baik yang berasal dari partai yang mengaku nasionalis dan agama,
ternyata memang tidak secara sungguh-sungguh membela kepentingan rakyat. Mereka
tidak peduli terhadap nasib rakyat yang semakin menderita akibat himpitan sistem
ekonomi neoliberal.

Rakyat hanya diminta untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum lima tahun
sekali. Setelah pemilu usai, rakyat kembali ditinggalkan. Janji untuk melindungi
kepentingan rakyat pun dengan mudah dilupakan. Racun neoliberal telah merasuk ke
relung jiwa para elite politik kita saat ini hingga secara sadar mereka menempatkan
kepentingan rakyat di bawah keserakahan para pemilik modal. Ya, Indonesia memang
sebuah republic neoliberal!

Dari Republik Neoliberal ke Republik Korporatokrasi Indonesia

Republik Korporatokrasi! Itu ungkapan yang sering muncul di kalangan aktivis tak lama
setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Budiono dilantuk menjadi Presiden dan
Wakil Presiden Republik (Neoliberal) Indonesia.

www.satudunia.net Page 4
Apa lagi itu korporatokrasi?

Istilah korporatokrasi dipopularkan oleh


John Perkins dalam bukunya yang berjudul
Confession of an Economic Hit Man. Istilah
korporatokrasi digunakan untuk
menggambarkan sebuah kondisi ketika
kebijakan-kebijakan politik negara
diarahkan untuk melayani kepentingan
korporasi besar.

Kenapa kalangan aktivis menjuluki negeri


ini sebagai Republik Korporatokrasi tak
lama setelah Presiden SBY dan Wapres
Budiono dilantik?

Harian ekonomi Bisnis Indonesia menuliskan berita bahwa (Kabinet Indonesia Bersatu)
KIB jilid II akan mengadopsi hampir 100% roadmap Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia mengenai pembangunan ekonomi 2009-2014 sebagai program 100 hari
kabinet.

Namun pernyataan itu kemudian dibantah. Di Majalah Tempo edisi 2-8 November 2009,
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa membantah bahwa pemerintah terlalu
mengadopsi Roadmap Ekonomi milik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

“Bukan begitu. Sebelumnya, pemerintah sudah merumuskan masalah dan program


prioritas yang akan dijalankan, di samping merumuskan target dan upaya untuk
meraihnya, ” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, “Nah, ketika Kadin
menyampaikan paparan, apa yang mereka katakan itu 90 persen sudah menjadi program
kami. Jadi jangan dibalik. Kami sudah jauh hari mempersiapkan itu”

Pertanyaannya kemudian adalah jika tidak akan mengadopsi 100% roadmap Kadin,
lantas mengapa Kadin jadi sponsor tunggal dari kegiatan National Summit atau rembug
nasional? National Summit adalah agenda penggodokan program 100 hari dan 5 tahunan
pemerintah periode 2009-2014.

Dalam situs www.vivanews.com, Wakil Ketua Umum Kadin John A Prasetio sebagai OC
kegiatan acara ini mengatakan Kadin adalah sponsor tunggal acara.

Kontan saja penyelenggaraan National Summit itu menuai kecaman dari para aktivis
sosial. Mantan Direktur Walhi Chalid Muhammad seperti dikutip harian Kompas, 31
Oktober 2009, menyatakan, ”National summit menunjukkan bahwa pemerintah telah
takluk kepada korporatokrasi.” Sementara Yudi Latif dari Lima mengingatkan, ”Republik
ini bukan urusan pemerintah dan investor saja. Jika hanya itu, kepentingan privat dan
investor yang terpenuhi saja.”

www.satudunia.net Page 5

Anda mungkin juga menyukai