Anda di halaman 1dari 3

PARADIGMA SEHAT, MODEL MENEJERIAL ASPIRATIF

Oleh : Muhamad Nizar, SKM.,MM*

Paradigma sehat bertujuan mewujudkan masyarakat sehat. Menurut anggapan orang


awam, masyarakat sehat berarti tidak ada lagi yang sakit. Padahal yang dimaksud
paradigma sehat adalah menjaga yang sehat tetap sehat dan yang sakit supaya menjadi
sehat. Yang identik dengan motto, “Pencegahan lebih baik daripada mengobati?”
Ironisnya, pernyataan di atas belum mengalir di sanubari pengambil keputusan, hal ini
karena banyak factor yang mempengaruhinya, sehingga hambatan dan kesalahan demi
kesalahan yang kurang aspiratif terus saja bergulir tanpa ada upaya perbaikan. Alhasil
masyarakat dan stakeholder pun terlena dikungkung lingkungan yang tidak sehat.
Mungkinkah kita berdiam diri, atau apatis!.

Fenomena di atas sebagai dasar pemikiran kita untuk peduli mewujudkan

masyarakat sehat, sebagaimana yang dicanangkan Presiden RI, BJ Habibi, pada tanggal 1

Maret 1999, Indonesia Sehat 2010. Mungkinkah cita-cita luhur ini terwujud? Semuanya ini

kembali kepada kita, bila kita berpegang dengan mutiara Bung Hatta, “Berikan saya 10

orang pemuda, niscaya akan saya goncangkan dunia ini”. Makna yang terkandung dalam

pemikiran saya, dengan potret pendekatan sistem secara benar dan utuh, beliau memiliki

skill management by objectives (MBO), karena memiliki visi yang jelas.

Seharusnya warisan Bung Hatta, tertanam disanubari setiap aparatur, stakeholder

dan masyarakat untuk membangun negeri ini. Sebelumnya, keterampilan MBO hanya

terdokumentasi dengan baik dalam pemikiran, dan tidak memiliki kemampuan

mengaplikasiannya karena takut dengan benturan yang tajam, sehingga terasa sulit untuk

menata dan menyusun kembali idealisme yang terpatri dalam sanubari.

Demikian juga, paradigma sehat yang ditopang dengan empat pilar strategi yakni,

pembangunan berwawasan sehat, profesionalisme, desentralisasi dan jaringan pengaman

kesehatan masyarakat (JPKM) belum signifikans mewujudkan derajat kesehatan yang

optimal. Karena kondisi di Indonesia sekarang dilaporkan angka kematian Ibu masih
tergolong tinggi bila dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Brunai dan Thailan.

Tingginya angka kematian tersebut menggambarkan rendahnya kualitas hidup Bangsa

Indonesia seperti rendahnya tingkat pengetahuan Ibu mengenai kesehatan, sehingga

diperlukan peran petugas kesehatan untuk membimbing ibu berperilaku hidup kesehatan.

Akan tetapi sampai sekarang jumlah tenaga kesehatan belum sesuai dengan harapan

misalnya Bidan termasuk Bidan PTT, idealnya untuk menurunkan kondisi di atas

diperlukan seorang Bidan melayani seribu penduduk, namun kenyataannya melayani 2000

penduduk. Begitu juga Sarjana Kesehatan Masyarakat standarnya seorang SKM melayani

5000 penduduk, namun nyatanya masih melayani diatas seratus ribu jiwa. Kondisi seperti

ini dari tahun ketahun tidak menunjukkan perubahan yang bermakna. Ironisnya, seoalah-

olah pemerintah lepas tangan, termasuk tenaga kesehatan yang lain. Karena hal ini

disebabkan kemampuan dan keterampilan manajemen aspiratif bagi aparatur belum

membudaya.

Menyikapi permasalahan di atas perlu dikembangkan sebuah pertanyaan,

“Seriuskah pemerintah menangani masalah kesehatan masyarakat?”.

Selama paradigma sehat belum dipahami secara benar dan utuh, kemampuan dan

keterampilan memahami kesenjangan data dan fakta yang akurat belum trampil, jelas

sangat mempengaruhi kinerja kelembagaan. Oleh karena itu diperlukan aparatur yang

mampu dan terampil, berorientasi pada permasalahan yang actual (problems based

approach).

Jadi. Untuk mewujudkan masyarakat sehat 2008, diperlukan pemahaman

paradigma sehat secara benar melalui model keterampilan manajemen aspiratif. Pertama,

Memiliki kemampuan menetapkan sasaran pokok dengan tepat, jelas, terukur, objektif dan

realistis (MBO). Walaupun pada pelaksanaannya masih ditemui ketimpangan keterampilan


MBO terutama bagi pengambilan keputusan kepala daerah kab/kota, DPRD dalam

menetapkan kerangka sasaran pokok pembangunan yang terpadu antara dinas/instansi dan

stakeholder. Secara jujur pemerintah belum mengimplementasikan kerangka pembangunan

tersebut, tetapi masih terpragmentasi walau berorientasi paradigma lintas sector tetapi

hanya bersifat kordinasi. Padahal tujuan atau sasaran pokok pemerintah bila dirumuskan

dalam kerangka pembangunan yang terpadu dan terarah mampu melahirkan program yang

efisien, efektif produktif sinergis dan komparatif yang significans. Kedua, Memiliki

kemampuan berpikir sistem. Artinya berkemampuan menganalisis permasalahan,

(problems based approach) yang mengedepankan cara pikir menelusuri sistem, mampu

mengidentifikasi persoalan dan penyebabnya secara benar dan utuh, memberikan alternatif

pemecahan persoalan yang baik. Ketiga, monitoring. Merupakan aspek yang selama ini

menjadi kelemahan, karena monitoring hanya bersifat pemantauan dan pelaporan tanpa ada

tindak lanjut. Ironisnya berbagai kendala atau kesalahan pun terus bergulir tanpa ada upaya

perbaikan. Padahal monitoring merupakan unsur pengawasan internal yang menerapkan

metode pemecahan permasalahan (problems solving) sehingga berhasil-guna dan dapat

ditindak lanjuti.

Ketiga keterampilan inilah yang harus dimiliki aparatur untuk mengatur dan

mengelola aspirasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Dengan

kemampuan dan ketrampilan manajerial aspiratif, diharapkan partisipasi stakeholder dan

masyarakat dalam membangun negeri ini akan terwujud, karena ringan sama dijinjing dan

berat sama dipikul untuk menggapai tujuan yang telah disepakati bersama dengan demikian

terciptalah budaya gotong royong asli Indonesia. Amien.

Penulis,
PNS Dinkes Kab Musi Rawas dan
Aktivis LSM Sosial di Kab/Kota Lubuk Linggau

Anda mungkin juga menyukai