TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelainan Bawaan
2.1.1. Definisi
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak
lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang
mempelajari kelainan bawaan disebut dismorfologi (Effendi, 2006 dalam
Neonatologi IDAI 2008).
2.1.2. Patogenesis
Berdasarkan patogenesisnya, Effendi (2006) dalam Neonatologi IDAI
(2008) membedakan kelainan kongenital sebagai berikut:
1. Malformasi
Malformasi adalah suatu proses kelainan yang disebabkan oleh kegagalan
atau ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis. Perkembangan
awal dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti, melambat atau menyimpang
sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur yang menetap. Kelainan
ini mungkin terbatas hanya pada satu daerah anatomi, mengenai seluruh organ,
atau mengenai berbagai sistem tubuh yang berbeda.
2. Deformasi
Deformasi terbentuk akibat adanya tekanan mekanik yang abnormal
sehingga mengubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian dari tubuh yang semula
berkembang normal, misalnya kaki bengkok atau mikrognatia (mandibula yang
kecil). Tekanan ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam uterus
ataupun faktor ibu seperti primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus
seperti uterus bikornus, kehamilan kembar.
Universitas Sumatera Utara
3. Disrupsi
Defek struktur juga dapat disebabkan oleh destruksi pada jaringan yang
semula berkembang normal. Berbeda dengan deformasi yang hanya disebabkan
oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau
perlekatan. Kelainan akibat disrupsi biasanya mengenai beberapa jaringan yang
berbeda. Perlu ditekankan bahwa bahwa baik deformasi maupun disrupsi biasanya
mengenai struktur yang semula berkembang normal dan tidak menyebabkan
kelainan intrinsik pada jaringan yang terkena.
4. Displasia
Patogenesis lain yang penting dalam terjadinya kelainan kongenital adalah
displasia. Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan (kelainan struktur)
akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam jaringan di
seluruh tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini terdapat penyimpangan biokimia di
dalam sel, biasanya mengenai kelainan produksi enzim atau sintesis protein.
Sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal
secara intrinsik, efek klinisnya menetap atau semakin buruk. Ini berbeda dengan
ketiga patogenesis terdahulu. Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan
efek dalam kurun waktu yang jelas, meskipun kelainan yang ditimbulkannya
mungkin berlangsung lama, tetapi penyebabnya relatif berlangsung singkat.
Displasia dapat terus menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup
(Neonatologi IDAI, 2008).
2.2. Kelainan Jantung Bawaan
2.2.1. Definisi
Menurut Prof. Dr. Ganesja M. Harimurti, Sp.J P (K), FASCC, dokter
spesialis jantung dan pembuluh darah di Rumah Sakit Harapan Kita, mengatakan
bahwa Penyakit J antung Bawaan (PJ B) adalah penyakit yang dibawa oleh anak
sejak ia dilahirkan akibat proses pembentukan jantung yang kurang sempurna.
Proses pembentukan jantung ini terjadi pada awal pembuahan (konsepsi). Pada
waktu jantung mengalami proses pertumbuhan di dalam kandungan, ada
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung pada janin
ini terjadi pada usia tiga bulan pertama kehamilan karena jantung terbentuk
sempurna pada saat janin berusia 4 bulan (Dhania, 2009).
2.2.2. Etiologi & Faktor Risiko
Penyebab PJ B belum diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasus
dipengaruhi banyak faktor, terutama kombinasi faktor genetik dan lingkungan.
Beberapa kasus PJ B terkait dengan abnormalitas kromosom, terutama trisomi 21,
13, dan 18 serta sindrom Turner (Bernstein, 2007).
Faktor resiko PJ B dapat berupa ibu yang tidak mengkonsumsi vitamin B
secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali risiko bayi dengan PJ B.
Merokok secara signifikan sebagai faktor risiko bagi PJ B 37,5 kali. Faktor risiko
lain secara statistik tidak berhubungan (Harimurti,1996).
2.2.3 Jenis-Jenis Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit J antung Bawaan dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi besar, yaitu
PJ B sianotik dan asianotik (Bernstein, 2007).
A. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit J antung Bawaan Asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi
jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di
sekat jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup
jantung dan penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa
adanya lubang di sekat jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi
klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya
kelainan serta tahanan vaskuler paru (Roebiono,2003).
Menurut Soeroso dan Sastrosoebroto (1994), berdasarkan ada tidaknya
pirau, kelompok asianotik terbagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok dengan pirau
dari kiri ke kanan dan kelompok tanpa pirau.
Universitas Sumatera Utara
Kelompok dengan pirau kiri ke kanan adalah sebagai berikut:
1. Defek Septum Ventrikel
Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah lesi kongenital pada jantung berupa
lubang pada septum yang memisahkan ventrikel sehingga terdapat
hubungan antara antar rongga ventrikel (Ramaswamy, et al. 2009). Defek
ini dapat terletak dimanapun pada sekat ventrikel, baik tunggal atau
banyak, serta ukuran dan bentuk dapat bervariasi (Fyler, 1996).
Insidensi DSV terisolasi adalah sekitar 2 6 kasus per 1000 kelahiran
hidup dan terjadi lebih dari 20% dari seluruh kejadian PJ B. Defek ini lebih
sering terjadi pada wanita daripada pria (Ramaswamy, et al. 2009).
Klasifikasi DSV dibagi berdasarkan letak defek yang terjadi, yaitu:
Perimembranasea, merupakan lesi yang terletak tepat di bawah katup
aorta. Defek Septum Ventrikel tipe ini terjadi sekitar 80% dari seluruh
kasus DSV (Rao, 2005).
Muskular, merupakan jenis DSV dengan lesi yang terletak di otot-otot
septum dan terjadi sekitar 5 20% dari seluruh angka kejadian DSV
(Ramaswamy, et al. 2009).
Gejala klinis DSV cukup bervariasi, mulai dari asimtomatis, gagal jantung
berat, ataupun gagal tumbuh. Semua ini sangat bergantung kepada
besarnya defek serta derajat piraunya sendiri, sedangkan lokasi defek
sendiri tidak mempengaruhi derajat ringannya manifestasi klinis yang akan
terjadi (Soeroso and Sastrosoebroto,1994). Pada DSV kecil dengan pirau
kiri-ke-kanan dan tekanan arteri pulmonalis yang normal, pasien biasanya
tidak menunjukkan gejala dan kelainan ditemukan ketika pemeriksaan
fisik. Pada defek berukuran besar dengan peningkatan aliran darah paru
dan hipertensi pulmonalis, pasien dapat mengalami dispnea, kesulitan
makan, gangguan pertumbuhan, infeksi paru berulang, dan gagal jantung
pada awal masa bayi (Bernstein, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2. Defek Septum Atrium
Defek Septum Atrium (DSA) adalah anomali jantung kongenital yang
ditandai dengan defek pada septum atrium akibat gagal fusi antara ostium
sekundum, ostium primum, dan bantalan endokardial. Defek Septum
Atrium dapat terjadi di bagian manapun dari septum atrium, tergantung
dari struktur septum atrium yang gagal berkembang secara normal
(Bernstein, 2007).
Insidensi DSA adalah 1 per 1000 kelahiran hidup dan terhitung 7% dari
seluruh kejadian PJ B. Prevalensi DSA pada wanita lebih tinggi daripada
pria dengan perbandingan 2:1 (Carr and King, 2008).
Klasifikasi DSA dibagi menurut letak defek pada septum atrium, yaitu:
Ostium Primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium primum
dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek di dasar septum.
Kejadian DSA Ostium Primum pada wanita sama dengan pria dan
terhitung sekitar 20% dari seluruh kasus PJ B (Bernstein, 2007).
Ostium Sekundum, merupakan tipe lesi DSA terbanyak (70%) dan jumlah
kasus pada wanita 2 kali lebih banyak daripada pria (Vick and Bezold,
2008).
Sinus Venosus, merupakan salah satu jenis DSA yang ditandai dengan
malposisi masuknya vena kava superior atau inferior ke atrium kanan.
Insidensi defek ini diperkirakan 10% dari seluruh kasus DSA (Vick and
Bezold, 2008).
Defek yang terjadi dapat berbagai jenis, mulai dari yang berukuran kecil
sampai sangat besar dan menyebabkan pirau dari atrium kiri ke atrium
kanan dengan beban volume lebih banyak di atrium dan ventrikel kanan.
Gejala pada anak dan neonatus umumnya asimtomatis, namun bila pirau
cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak nafas dan sering
Universitas Sumatera Utara
mengalami infeksi paru. Gagal jantung sangat jarang ditemukan (Soeroso
and Sastrosoebroto, 1994). Pada anak dengan pirau kiri-ke-kanan
berukuran besar biasanya mengeluhkan cepat lelah dan dispnea. Gagal
tumbuh jarang didapati (Emmanouilides, et al. 1998).
3. Defek Septum Atrioventrikularis
Defek Septum Atrioventrikularis (DSAV) ditandai dengan penyatuan DSA
dan DSV disertai abnormalitas katup atrioventrikular (Bernstein, 2007).
Defek Septum Atrioventrikularis terhitung 4 5% dari seluruh kasus PJ B.
Predileksi defek ini antara pria dan wanita sama banyaknya
(Emmanouilides, et al. 1998).
Gejala dapat timbul pada minggu pertama dan gagal jantung pada bulan-
bulan pertama kelahiran (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Riwayat
intoleransi olahraga, cepat lelah, dan Pneumonia berulang dapat
ditemukan, terutama pada bayi dengan pirau kiri-ke-kanan dan mitral
insufisiensi mitral yang berat (Bernstein, 2007).
4. Duktus Arteriosus Persisten
Seperti namanya, Duktus Arteriosus Persisten (DAP) disebabkan oleh
duktus arteriosus yang tetap terbuka setelah bayi lahir (Soeroso and
Sastrosoebroto, 1994). J ika duktus tetap terbuka setelah penurunan
resistensi vaskular paru, maka darah aorta dapat bercampur ke darah arteri
pulmonalis (Bernstein, 2007).
Kelainan ini merupakan 7% dari seluruh PJ B dan sering dijumpai pada
bayi BBLR (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Gejala klinis yang muncul tergantung ukuran duktus. Duktus berukuran
kecil tidak menyebabkan gejala dan biasanya diketahui jika terdapat suara
murmur saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien dengan DAP
berukuran besar, pasien akan mengalami gejala gagal jantung. Gangguan
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan fisik dapat menjadi gejala utama pada bayi yang menderita
DAP besar (Bernstein, 2007).
Kelompok tanpa pirau meliputi :
1. Stenosis Pulmonalis
Obstruksi aliran keluar ventrikel kanan, baik dalam tubuh ventrikel kanan,
pada katup pulmonalis, atau dalam arteri pulmonalis, diuraikan sebagai
Stenosis Pulmonalis (SP).
Stenosis Pulmonalis terjadi sekitar 7.1 8.1 per 100.000 kelahiran hidup.
Defek ini cenderung terjadi pada wanita (Fyler, 1996).
Gejala klinis umumnya asimtomatis meskipun stenosis cukup besar. Anak
bisa saja tampak sehat, tumbuh kembang normal dengan wajah moon face,
dapat berolahraga seperti normal, dan tidak terdapat infeksi saluran nafas
yang berulang (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Walaupun demikian,
pasien yang awalnya tidak menunjukkan gejala dalam perkembangan
penyakitnya dapat timbul gejala yang bervariasi dari dispnea ringan saat
olahraga sampai gejala gagal jantung, tergantung keparahan obstruksi dan
tingkat kompensasi myokardium. Obstruksi sedang-berat dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah paru selama berolahraga sehingga
terjadi kelelahan yang diinduksi olahraga, sinkop, atau nyeri dada (Keane
and St. J ohn Sutton, 2008).
2. Stenosis Aorta
Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan aorta yang dapat terjadi pada
tingkat subvalvular, valvular, atau supravalvular. Kelainan mungkin tidak
terdiagnosis pada masa anak-anak karena katup berfungsi normal, hanya
saja akan ditemukan bising sistolik yang lunak di daerah aorta dan baru
diketahui pada masa dewasa sehingga terkadang sulit dibedakan apakah
stenosis aorta tersebut merupakan penyakit jantung bawaan atau didapat
(Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Insidensi SA pada anak mendekati 5% dari seluruh kejadian PJ B
(Bernstein, 2007). Defek ini lebih sering terjadi pada pria (Emmanouilides,
et al. 1998).
Gejala klinis asimtomatis, namun pada gejala yang cukup berat dapat
ditemukan nyeri substernal, sesak nafas, pusing, atau sinkop pada saat
bekerja atau olahraga (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Bayi dengan
SA terisolasi dapat disertai denga gagal jantung kronik pada beberapa
bulan awal kehidupan dan menunjukkan tanda dan gejala klasik gagal
jantung, berupa dispnea, kesulitan makan, dan berat badan tidak
bertambah (Emmanouilides, et al. 1998)
3. Koarktasio Aorta
Koarktasio Aorta (KoA) adalah suatu obstruksi pada aorta desendens yang
terletak hampir selalu pada insersinya duktus arteriosus (Fyler, 1996).
Prevalensi KoA di Amerika Serikat adalah sebesar 6 8% dari seluruh
kasus PJ B dan prevalensinya di Asia (<2%) lebih rendah daripada di
Eropa dan negara Amerika Utara. Rasio kejadian defek ini pada pria dan
wanita adalah 2:1 (Rao and Seib, 2009).
Gejala yang tampak pada masa neonatus umumnya merupakan jenis
koarktasio yang berat. Gejala dapat hilang timbul mendadak. Tanda klasik
KoA adalah nadi brakhialis yang teraba normal atau meningkat, nadi
femoralis serta dorsalis pedis teraba kecil atau tidak teraba sama sekali dan
harus ditekankan pemeriksaan tekanan darah pada keempat ekstremitas
(Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Pasien dapat menunjukkan gejala di
beberapa minggu awal kehidupan berupa kesulitan makan, takipnea, dan
letargia. Gejala dapat memburuk menjadi gagal jantung dan syok (Rao and
Seib, 2009).
Universitas Sumatera Utara
B. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik
Sesuai dengan namanya, manifestasi klinis yang selalu terdapat pada
penyakit jantung sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah kebiruan pada mukosa
yang disebabkan oleh terdapatnya lebih dari 5 gr/dl hemoglobin tereduksi dalam
sirkulasi. Dibandingkan dengan pasien PJ B non sianotik, jumlah pasien PJ B
sianotik lebih sedikit. Walaupun jumlahnya lebih sedikit, PJ B sianotik
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada PJ B non
sianotik (Prasodo, 1994).
1. Tetralogi Fallot
Tetralogi Fallot (TF) merupakan kombinasi 4 komponen, yaitu Defek
Septum Ventrikel (DSV), over-riding aorta, Stenosis Pulmonal (SP), serta
hipertrofi ventrikel kanan. Komponen paling penting untuk menentukan
derajat beratnya penyakit adalah SP yang bersifat progresif (Prasodo,
1994).
Tetralogi Fallot merupakan PJ B jenis sianotik dengan angka kejadian
terbanyak dengan insidensi 1 3 kasus per 1000 kelahiran hidup
(Ramaswamy and Pflieger, 2008).
Manifestasi klinis TF mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru
lahir biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh. J ari
tabuh pada sebagian besar pasien sudah mulai tampak setelah berumur 6
bulan. Salah satu manifestasi yang penting pada TF dalah terjadinya
seranga sianotik (cyanotic spells, hypoxic spells, paroxysmal hyperpnea)
yang ditandai oleh timbulnya sesak nafas mendadak, nafas cepat dan
dalam, sianosis bertambah, lemas, bahkan dapat pula disertai kejang atau
sinkop (Prasodo, 1994).
Pertumbuhan dan perkembangan dapat terhambat pada pasien TF yang
berat dan tidak terobat, terutama jika saturasi oksigen kurang dari 70%
(Bernstein, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2. Transposisi Arteri Besar
Transposisi Arteri Besar (TAB) ditandai dengan aorta yang secara
morfologi muncul dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis muncul dari
ventrikel kiri. Pada 60% pasien, aorta berada di bagian anterior kanan dari
arteri pulmonalis walaupun di beberapa kasus aorta dapat berada di bagian
anterior kiri dari arteri pulmonalis.
Insidensi TAB yang tercatat adalah 20 30 per 10.000 kelahiran hidup.
Defek ini lebih dominan terjadi pada pria dengan persentase 60 70% dari
seluruh kasus. (Charpie and Maher, 2009).
Gejala klinis dapat berupa sianosis, penurunan toleransi olahraga, dan
gangguan pertumbuhan fisik, mirip dengan gejala pada TF; walaupun
begitu, jantung tampak membesar (Bernstein, 2007). Sianosis biasanya
terjadi segera setelah lahir dan dapat memburuk secara progresif. Gejala
gagal jantung kongestif mulai tampak dalam 2 6 minggu
(Emmanouilides, et al. 1998).
3. Atresia Pulmoner dengan Septum Ventrikel Utuh
Pada Atresia Pulmoner dengan Septum Ventrikel Utuh (APSVU), daun
katup pulmonalis berfusi secara lengkap sehingga membentuk membran
dan tidak terdapat jalan keluar (outflow) ventrikel kanan. Tidak terdapat
aliran darah di ventrikel kanan karena tidak adanya hubungan
antarventrikel (Bernstein, 2007).
Defek ini terjadi 7.1 8.1 per 100.000 kelahiran hidup dengan persentase
0.7 3.1% dari seluruh kasus PJ B di Amerika Serikat (Charpie , 2009).
Sianosis telah jelas tampak dalam hari-hari pertama pascalahir. Bayi sesak
dengan gejala gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik, tidak terdengar
bising, atau terdengar bising pansistolik insufisiensi trikuspid, atau
terdengar bising duktus arteriosus (Prasodo, 1994).
4. Ventrikel Kanan dengan J alur Kedua Ganda
Ventrikel Kanan dengan J alan Keluar Ganda (VKAJ KG), yang dalam
kepustakaan barat disebut Double Outlet Right Ventricle (DORV), adalah
kelainan jantung yang ditandai dengan malposisi arteri-arteri besar,
Universitas Sumatera Utara
septum outlet, atau keduanya, yang menyebabkan kedua arteri besar
muncul dari ventrikel kanan (Hoffman, 2009).
Defek ini terjadi 1 1.5% dari seluruh kejadian PJ B (Prasodo, 1994).
Presentasi klinis VKAJ KG sangat bervariasi, bergantung kepada kelainan
hemodinamiknya; defek ini dapat mirip DSV, TAB, atau TF. Oleh karena
itu, diagnosis tidak mungkin ditegakkan atas dasar gambaran klinis saja
(Prasodo, 1994). J ika defek ini disertai dengan SP, terjadi penurunan aliran
darah paru sehingga terjadi sianosis yang cukup berat seperti gejala TF.
Pasien VKAJ KG tanpa SP memiliki gejala yang sama dengan DSV, yaitu
peningkatan aliran darah paru sehingga terjadi takipnea dan kardiomegali
(Emmanouilides, et al. 1998).
5. Atresia Trikuspid
Istilah Atresia Trikuspid (AT) menggambarkan agenesis katup trikuspid
kongenital dan merupakan jenis PJ B sianotik terbanyak setelah TF dan
TAB (Rao, 2009). Pada defek ini, tidak terdapat aliran dari atrium kanan
menuju ventrikel kanan sehingga seluruh aliran balik vena sistemik masuk
ke bagian kiri jantung melalui foramen ovale atau jika terdapat defek pada
septum atrium (Bernstein, 2007).
Insidensi AT diperkirakan 1 per 10.000 kelahiran hidup dengan estimasi
prevalensi AT dari seluruh kasus PJ B adalah 2.9% dari autopsi dan 1.4%
dari penegakkan diagnosis setelah dilakukan pemeriksaan berulang. (Rao,
2009).
Sianosis biasanya muncul segera setelah lahir, dengan penyebaran yang
dipengaruhi oleh tingkat keterbatasan aliran darah pulmonal (Bernstein,
2007). Apabila aliran darah paru berkurang maka pasien akan tampak
sianotik; semakin sedikit darah ke paru maka semakin jelas sianosis yang
terjadi (Prasodo, 1994).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Penatalaksanaan
Dewasa ini telah terjadi peningkatan dan kemajuan teknologi, baik dalam
diagnosis, teknik pembedahan, serta perbaikan perawatan yang menyebabkan
terjadi peningkatan harapan hidup pada pasien dengan PJ B pascabedah jika
dibandingkan tidak dilakukan pembedahan sehingga tidak jarang teknik
pembedahan sering dilakukan sebagai suaru penatalaksanaan pada pasien PJ B.
Pada pasien-pasien PJ B, dapat terjadi berbagai kelainan, baik pada otot jantung,
paru, atau keduanya, yang apabila tidak dikoreksi kelainan yang terjadi dapat
bersifat ireversibel. Oleh karena itu, sebaiknya pasien PJ B diperiksa secara
menyeluruh dan dilakukan penatalaksanaan berupa pembedahan atau operasi
pascabedah pada saat yang tepat.
Terdapat 2 unsur utama yang diharapkan dalam tindakan pembedahan
pada kasus PJ B, yaitu tindakan bedah dengan risiko mortalitas yang rendah serta
peningkatan harapan hidup layaknya orang normal lainnya.
Bedah jantung merupakan bagian integral dalam pelayanan kardiologi
anak. Kemajuan bedah jantung berlangsung sangat pesat dalam 2 dasawarsa
terakhir. Perkembangan teknologi dalam mendeteksi kelainan jantung pada bayi
baru lahir memudahkan dalam aspek pembedahan jantung itu sendiri. Kemajuan
teknologi dalam mendeteksi adanya kelainan jantung pada anak telah bergeser
hingga ke arah neonatus (Rahmad and Rachmat, 1994).
2.3. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat
badan lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2.500 gram. Dahulu neonatus
dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram atau sama dengan 2.500 gram
disebut prematur. Pada tahun 1961 oleh WHO semua bayi yang baru lahir dengan
berat lahir kurang dari 2.500 gram disebut Low Birth Weight Infants (BBLR)
(Yushananta,2001).
Universitas Sumatera Utara
Penyakit jantung bawaan jauh lebih umum di kalangan bayi
dengan berat badan lahir rendah dalam populasi neonatal keseluruhan. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa penyakit jantung bawaan pada bayi berat
badan lahir rendah mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Tingginya insiden
penyakit jantung bawaan pada bayi berat badan lahir rendah juga mungkin
berhubungan dengan faktor intrauterin yang menyebabkan keterbatasan
pertumbuhan atau kelahiran prematur.
Universitas Sumatera Utara