Anda di halaman 1dari 4

Suara Pembaruan

Minggu, 17 Juni 2007


Menata Senja
Cerpen: Adek Alwi
Dua puluh tahun lalu ia tinggalkan kota itu. Dua puluh tahun setelah pergi dia balik ke situ.
Dilihatnya perempuan itu masih di tempat yang dulu; di lepau simpang tiga. Seperti dia
perempuan itu pun telah berangkat tua, walau belum setua perempuan tua yang selalu
kelihatan di lepau itu, dua puluh tahun lalu. Perempuan tua itu sendiri sekarang tak tampak
lagi. Lelaki tua suami perempuan tua itu pun tidak. Kini, seorang gadis dia lihat bergerak
lincah-riang di lepau itu, persis perempuan yang berangkat tua itu dua puluh tahun yang
lalu.
Ia menarik napas, seraya terus menatap ke lepau itu dari trotoar seberang alan. !ngin
bertiup perlahan, daun-daun tua luruh melayang dan selembar atuh menyentuh bahunya
seakan-akan menyapa. Lelaki berangkat tua itu bak diingatkan. Ia tersenyum, beralan
menyeberang alan. "ukan hanya daun yang berubah kuning dan menadi tua, bisiknya
sambil beralan. #api beda dengan daun-daun yang tetap cabik ataupun burik bahkan ketika
luruh, manusia dapat memperbaiki yang retak-retak sebelum sena tiba. Dia kembali
tersenyum sambil terus melangkah menyeberang alan.
Lelaki itu merasa tak perlu terlalu berhati-hati menyeberang. Kendaraan tidak bertambah
terlampau banyak di kota kecil itu walau dua puluh tahun berlalu. Dan uga warga kota,
yang menyeberang atau beralan di trotoar, dilihatnya masih seperti dulu. #etap tidak
banyak serta tenang- tenang saa bergerak, laiknya air di sungai kecil.
#ak lama ia tiba di seberang. Di trotoar yang apik uga teduh oleh pohonan. Di mukanya
kini terletak lepau itu. #anpa sadar ia menoleh lagi ke belakang, tetapi lekas-lekas berpaling
ke depan, bak memaklumi sekaligus tak ingin diikat oleh apa yang ada di belakang. "eda
dengan daun manusia dapat memperbaiki yang retak sebelum sena, ia berbisik kembali.
"ahkan seharusnya demikian, tambahnya tersenyum.
Lepau itu sekarang lebih elas terlihat, begitupun perempuan berangkat tua dan perempuan
muda gesit-riang itu. Lelaki itu memperhatikannya terus-menerus melalui kaca endela dan
pintu lepau yang terbuka, sambil berdiri di trotoar. $adis itu beralan kian kemari di dalam
lepau sedang perempuan berangkat tua itu duduk tenang-tenang di boks kasir, dengan
sandaran kursi rapat ke dinding. Ia menunduk, menulis sesuatu; sesekali mengangkat muka
dan bicara dengan si gadis. Ia tetap cantik walau dua puluh tahun berlalu. %aktu ustru
mematangkan kecantikannya, melahirkan keanggunan tak ubahnya permata.
&ati lelaki berangkat tua itu berdebar melihatnya. Ia menarik napas sekali lagi, lantas
meneguhkan langkah memasuki halaman. 'Selamat pagi( Silakan masuk, Pak(' "idadari
muda itu menyambut di muka pintu. Senyum menyemarakkan parasnya yang cantik.
Perempuan berangkat tua itu mengangkat muka, menatap sebentar, menunduk kembali.
!khirnya ia ke sini uga, pikirnya. Setelah dua hari tegak di trotoar seberang alan. &m.
!pa pula yang hendak ia katakan) Dia perbuat)
'#erima kasih.' Lelaki itu balas tersenyum dan melangkah ke dalam lepau. Ia pilih mea
dekat endela. *atahari memancar di luar. *atahari kota kecil pegunungan yang lembut.
*atahari yang dulu uga. Pagi membuka diri. !pa kiranya yang berubah di bawah
matahari)
#etapi ia tidak dapat berlama-lama merenung. $adis lincah rupawan itu sudah berdiri di sisi
meanya dan menawarkan+ '"apak mau kopi, makan ketupat, atau nasi goreng)' #ubuhnya
lampai, uga tangannya. Dan kulitnya kuning-langsat. Senyumnya tidak hilang-hilang dari
bibir sehingga mukanya yang sangat mirip dengan perempuan berangkat tua itu tampak
terus berseri, seperti pagi.
'Saya ingin kopi dulu.'
'Pakai susu, Pak)'
'#idak. ,angan.'
'"aik, kopi saa. -h, rasanya "apak tak warga kota ini, ya) &m, baiknya saya beri tahu.
Ketupat kami tersohor enak, Pak. Dari dulu( Seak nenek-buyut saya, nenek, terus ibu, dan
sekarang turun ke saya. $ulainya paku. !samnya belimbing, Pak('
'Percaya. !romanya tadi saya cium dari luar(' Lelaki itu tersenyum. Ia seperti melihat
dirinya waktu muda pada kelincahan gadis itu. '!kan saya coba nanti, setelah mengopi,'
tambahnya.
$adis itu tertawa. 'Saya buat sekarang kopi "apak,' katanya. 'Silakan cicipi penganannya,
Pak('
'.a, terima kasih.'
$adis itu pergi. Dan perempuan berangkat tua itu tetap menunduk, menulis. Ia mendengar
percakapan itu. /ung pulpennya terkadang terhenti. Ia merenung. Ia ingat ayah dan ibunya
yang sudah tiada. ,uga persoalan-persoalan lama. Dia menarik napas. Ia merasa, banyak
soal muncul lebih karena emosi, bukan akibat sesuatu yang bersi0at prinsip. 1amun paling
biak adalah menunggu, pikirnya. #oh selama ini aku terbiasa menunggu.
Lepau itu memang tak besar dan semua percakapan akan terdengar. &anya ada enam mea,
tuuh dengan yang ditempati laki-laki itu. Di setiap mea terhidang pisang goreng, pergedel
agung, rupa-rupa lepat, selain tisu, tusuk-gigi. #aplak mea plastik warna biru muda
bermoti0 bunga, tampak bersih, mengkilap. -ntah dari mana, boleh adi dari ruangan dalam
berkumandang lagu-lagu daerah. #ak kencang, hanya sekadar untuk menyemarakkan pagi.
Dan suami istri setengah baya berpakaian olahraga yang duduk di mea pook, berdiri;
selesai santap ketupat. Si istri melangkah ke boks kasir. Perempuan berangkat tua itu
menoleh, tersenyum. *ereka bercakap akrab. Semua orang saling sapa di kota kecil. Lalu
pasangan itu keluar. Perempuan berangkat tua itu menulis kembali, setelah melirik selintas
ke mea dekat endela.
Laki-laki itu tersenyum, menarik napas. Kini tinggal dia di lepau itu. *atahari terus
mendaki dan lepau itu biasa sunyi kalau am kantor serta sekolah sudah dimulai. #etapi
siang dan sore hari, malah hingga malam, lepau itu ramai kembali. Dulu orang-orangtua
uga main domino di situ, malam-malam; kawan lelaki tua suami perempuan tua yang kini
sudah tak kelihatan.
$adis lincah rupawan itu muncul kembali. *embawa baki berisi segelas kopi. 'Silakan,
Pak. #idak terlalu lama kan, Pak)' ucapnya gesit-riang.
'#idak, tidak.'
Ia masih berdiri di sisi mea. 'Silakan coba, Pak('
'.a.' Lelaki itu menyeruput sedikit. '&m.'
'Kurang manis, Pak)'
'Pas. #erima kasih.'
'#ampaknya "apak memang bukan warga kota ini, ya) "apak dari mana)'
',akarta.'
'2, dari ,awa(' $adis itu menarik kursi di depan lelaki itu, dibatasi mea. Lalu duduk. Dan
sambil senyum digesernya lepat nagasari ke depan laki-laki berangkat tua itu. 'Dalam
rangka apa kemari, Pak) Dinas)'
'Kemanakan saya hendak menikah dan....'
'&m. "apak seorang mamak yang baik kalau begitu. Di daerah ini ada pepatah adat khusus
untuk lelaki, Pak. "egini bunyinya+ kaluak paku kacang balimbiang, anak dipangku
kamanakan dibimbiang. !rtinya, kurang-lebih, se- orang laki-laki tidak hanya
memperhatikan anaknya tapi uga kemanakan, anak-anak saudara perempuannya. &m,
berat ya, Pak)' $adis itu tertawa. $iginya putih, rata.
#etapi lelaki itu tidak ikut tertawa atau tersenyum. Ia hanya manggut-manggut sambil
menatap gadis itu, seperti mencari sesuatu pada waahnya. Dan gadis itu tetap tertawa
polos. #idak merasa ada yang aneh, ataupun ganil.
Di mea kasir, perempuan berangkat tua itu mengangkat waahnya. Ia menoleh ke mea
dekat endela, tempat anaknya bercakap- cakap. Lalu menunduk lagi. &atinya berdebar-
debar. #api yang terbiak ialah menunggu, pikirnya. Dan didengarnya lelaki itu berkata
menawab komentar anaknya+ '#idak, 1ak. #idak berat. Sepatutnya malah memang seperti
itu.'
'2h. "apak memang orang yang baik. Lelaki baik('
'#idak uga, 1ak. *alah....'
'!h, "apak merendah. !nak "apak semua di ,akarta)'
'#idak. Saya tak punya di sana. Saya ustru hendak menemuinya kemari.'
'2, begitu.' Kini suara gadis itu tak lagi bercampur dengan nada riang. Ia uga menatap
lelaki itu dengan sungguh-sungguh. -ntah kenapa, ia merasa iba melihatnya. Seak tadi.
Seak kemunculan lelaki itu pertama kali.
'.a seperti itu, 1ak,' lelaki itu berkata lagi. 'Saya malah belum pernah umpa dengannya.
"elum pernah melihat anak saya. *asa muda adakalanya membuat orang hanyut oleh
emosi, gampang tersinggung, uga menadi egois. "ahkan pengecut. #api, saya kini telah
berangkat tua, sena saya di depan mata. Saya ingin sena saya menadi baik. Saya ingin
menemui anak saya, dan ibunya.'
'2 itu bagus Pak( !mat bagus sekali(' $adis lincah-rupawan itu mendapatkan
keriangannya kembali. Ia tersenyum cerah kepada laki-laki berangkat tua itu. 'Seperti
cerita, "apak akan menyelesaikannya dengan happy ending( .a, kan, Pak)'
'.a, begitulah(' balas lelaki itu bersemangat, terpengaruh keriangan gadis di depannya.
'Saya akan mengukir sena saya adi baik. Saya akan minta maa0('
'Kepada anak "apak dan ibunya)'
'.a. Kepadamu. Dan ibumu, 1ak.'
'Saya) Ibu)' $adis itu terbelalak. Ia bolak-balik melihat lelaki itu dan ibunya.
Perempuan di boks kasir itu tidak lagi duduk serta menulis menunduk. Ia tegak di belakang
mea, malah sudah seak tadi. Dia mendengarkan percakapan itu. Kini tak biak lagi
menunggu, pikirnya. Semua telah elas bagai siang. Lelaki itu sudah datang,
mengucapkannya. Dan perempuan itu bersuara, untuk pertama kalinya+ 'Dia ayahmu,
!rni(' Suaranya bergetar.
$adis itu masih memandang lelaki itu dengan mata yang membesar, serta bibir bergetar.
'!-ayah)' Ia tergagap. Dan lelaki itu makin yakin, bahwa beda dengan daun manusia dapat
memperbaiki yang retak sebelum sena tiba. Dia melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Ia
pun berucap perlahan+ '!rni namamu, 1ak) 2 maa0kan !yah. Lihat, malah namamu !yah
tak tahu.' Kilau-kemilau di mata gadis itu kini pecah meluapkan air, dan getar pada
bibirnya menyusun senyuman.333
,akarta 45 !pril 4667

Anda mungkin juga menyukai