Anda di halaman 1dari 24

CAMPAK

( Morbili )

Definisi
Campak adalah penyakit infeksi virus akut yang menular dan disebabkan oleh virus campak, yang
ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalesensi.

Etiologi
Campak adalah virus RNA dari Famili Paramixoviridae, genus Morbillivirus. Hanya satu tipe
antigen yang diketahui. Virus morbili yang diketahui terdapat dalam sekret nasofaring, urin dan darah
selama masa prodormal sampai 24 jam setelah timbul ruam atau bercak-bercak. Infeksi ini ditularkan
secara droplet melalui udara (airbone) dan kontak.

Epidemiologi
Campak merupakan endemik pada sebagian besar dunia. Campak sangat menular, sekitar 90%
kontak keluarga yang rentan mendapat penyakit. Biasanya timbul pada masa anak usia sekolah yang
belum diimunisasi dan menyebabkan kekebalan seumur hidup.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita campak atau imunisasi akan mendapat
kekebalan secara pasif (melalui plasenta) hingga umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan
akan berkurang sehingga si bayi dapat menderita campak. Bila si ibu belum pernah menderita campak
maka bayi yang dilahirkan tidak mempunyai kekebalan terhadap campak dan dapat menderita penyakit
ini setelah ia dilahirkan.
Bila seorang wanita menderita campak ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan
akan mengalami abortus spontan, bila ia menderita pada trimester pertama, kedua, atau ketiga maka ia
mungkin akan melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau anak dengan BBLR atau lahir mati
atau anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.

Patologi
Lesi ensensial campak terdapat di kulit, membrana mukosa nasofaring, bronkus, saluran cerna, dan
konjungtiva. Eksudat serosa dan proliferasi sel mononuklear dan beberapa sel polimorfonuklear terjadi
sekitar kapiler. Biasanya ada hiperplasia jaringan limfoid, terutama pada apendiks, di mana sel raksasa
(giant cells) multinukleus berdiameter sampai 100 m (sel raksasa retikuloendotelial Warthin-Finkeldey)
dapat ditemukan. Di kulit, reaksi terutama menonjol sekitar kelenjar sebasea dan folikel rambut. Bercak
koplik (kopliks spot) terdiri dari eksudat serosa dan proliferasi sel endotel serupa dengan bercak pada lesi
kulit. Reaksi radang menyeluruh pada mukosa bukal dan faring meluas ke dalam jaringan limfoid dan
membrana mukosa trakeobronkial. Pneumonitis interstitial akibat dari virus campak mengambil bentuk
pneumonia sel raksasa Hecht. Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder. Selain
peradangan pada paru, juga terdapat oedema, bendungan, dan perdarahan pada otak. Virus dapat berbiak
juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinis ensefalomielitis. Pada kasus
ensefalomielitis yang mematikan, terjadi demielinasi perivaskuler pada daerah otak dan medulla spinalis.

Gejala klinis
Masa tunas sekitar 10 20 hari
Gejala klinis penyakit campak dibagi dalam 3 stadium :
1. Stadium kataral (prodormal)
Berlangsung selama 4 5 hari disertai demam ringan sampai sedang, malaise, batuk, pilek, farings
merah, nyeri telan, fotofobia, stomatitis, konjungtivitis dan koriza.
Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema (bintik-bintik merah) pada
palatum durum dan molle, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi campak, tetapi sangat
jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh
eritema, kadang-kadang hemoragik. Lokasinya di mukosa bukal berhadapan dengan molar bawah,
dan jarang ditemukan di bibir bawah tengah, palatum, dan caruncula (caruncle) lakrimal. Bercak
koplik ini muncul dan menghilang dengan cepat, biasanya dalam 12 18 jam (sebelum stadium
erupsi). Ketika menghilang, bintik-bintik perubahan warna merah mukosa mungkin tetap. Radang
konjungtiva dan fotofobia dapat mengesankan campak sebelum muncul bercak koplik. Terutama,
garis melintang radang konjungtiva, batas tegas sepanjang tepi kelopak mata, dan ketika seluruh
konjungtiva terlibat, garis ini menghilang.
Kadang-kadang, fase prodormal dapat berat, ditunjukkan dengan demam tinggi mendadak, kadang
dengan kejang dan bahkan pneumonia. Secara klinis, gambaran penyakit ini menyerupai influenza
dan sering didiagnosis sebagai influenza. Biasanya koryza, demam, dan batuk semakin bertambah
berat sampai waktu ruam telah merata di seluruh tubuh.

2. Stadium erupsi
Pada stadium ini, koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di palatum
durum dan palatum mole kadang-kadang terlihat pula bercak koplik. Suhu badan naik mendadak
ketika ruam berbentuk makula-papula mucul dan sering mencapai suhu 40 40,5C (104 - 105F).
Pada kasus tidak terkomplikasi, ketika ruam muncul pada tungkai dan kaki, pada sekitar 2 hari
gejala-gejala menghilang dengan cepat, proses pengurangan biasanya termasuk penurunan suhu
mendadak. Penderita sampai saat ini mungkin tampak sangat sakit, tetapi dalam 24 jam setelah
suhu turun, mereka pada dasarnya tampak baik.
Di antara makula terdapat kulit yang normal. Ruam biasanya mulai sebagai makula tidak jelas
yang mula-mula muncul di belakang telinga, bagian atas lateral leher, sepanjang garis
pertumbuhan rambut dan bagian posterior pipi. Lesi sendiri-sendiri menjadi semakin
makulopapuler sebagai ruam yang menyebar dengan cepat pada seluruh muka, leher, lengan atas
dan bagian atas dada pada sekitar 24 jam pertama. Selama 24 jam berikutnya ruam menyebar ke
seluruh bagian punggung, abdomen, seluruh lengan dan paha. Ketika ruam akhirnya mencapai
kaki pada hari ke 2-3, ruam mulai menghilang dari muka. Kadang-kadang terdapat perdarahan
ringan pada kulit dan rasa gatal. Hilangnya ruam menuju ke bawah pada urutan yang sama dengan
ketika ruam muncul. Keparahan penyakit secara langsung dihubungkan dengan luas dan
menyatunya ruam. Pada kasus yang ringan ruam cenderung tidak menyatu, jika ada, lesi pada
kaki. Sedangkan pada kasus yang berat ruam menyatu, kulit tertutup secara sempurna termasuk
telapak tangan dan kaki, dan muka membengkak.
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah leher belakang. Pula
terdapat sedikit splenomegali. Tidak jarang disertai diare dan muntahh. Variasi dari campak yang
biasa ialah black measles yaitu campak yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung, dan
traktus digestivus.

3. Stadium konvalesensi
Stadium konvalesensi ditandai dengan berkurangnya stadium erupsi yang meninggalkan bekas
berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan hilang sendiri dalam 7 10 hari.
Selain hiperpigmentasi, pada anak juga sering ditemukan kulit yang bersisik. Proses tersebut
disebabkan pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit. Hiperpigmentasi
ini merupakan gejala patognomonik untuk campak. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali
bila ada komplikasi.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis, tanda klinis dan tanda yang patognomonik
- Pemeriksaan serologis atau virologi yang positif

Anamnesis
Demam tinggi terus-menerus 38,5C atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah,
fotofobia (silau bila terkena cahaya), disertai diare. Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam kulit,
didahului suhu yang meningkat lebih tinggi dari semula. Pada saat itu, anak dapat mengalami kejang
demam. Saat ruam timbul, batuk dan diare bertambah parah sehingga anak mengalami sesak nafas
atau dehidrasi.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan gejala klinis dari tiga stadium penyakit campak.

Pemeriksaan penunjang
Darah tepi : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri.
Pemeriksaan antibodi IgM anti campak.
Pemeriksaan untuk komplikasi :
1. Ensefalopati / ensefalitis : dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinalis, kadar elektrolit dan
analisis gas darah.
2. Enteritis : feses lengkap.
3. Bronkopneumonia : dilakukan pemeriksaan foto thoraks dan analisis gas darah.

Diagnosis Banding
1. German measles. Pada penyakit ini tidak ada bercak koplik, tetapi ada pembesaran kelenjar di
daerah subocipital, posterior servikal, belakang telinga.
2. Roseola infantum (eksantema subitum). Ruam akan timbul bila demam menghilang.
3. Rubella dan infeksi enterovirus. Ruam cenderung kurang mencolok daripada ruam campak.
4. Infeksi ricketsia. Walaupun ada batuk, namun ruam tidak melibatkan muka.
5. Penyakit serum atau ruam karena obat.
6. Meningokoksemia. Disertai ruam yang agak serupa dengan ruam campak, tetapi biasanya tidak
ada batuk dan konjungtivitis. Ruam khas purpura petekiae.
7. Demam skarlet. Ruam papuler halus difus dengan susunan daging angsa di atas dasar
eritematosa relatif mudah dibedakan.

Komplikasi
Pada penyakit campak terdapat resisttensi umum yang menurun sehingga dapat terjadi anergi (uji
tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif). Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi
komplikasi seperti otitis media akut, ensefalitis, dan bronkopneumonia. Noma pipi dapat terjadi pada
keadaan yang jarang. Gangren muncul di mana-mana akibat purpura fulminan atau koagulasi
intravaskuler tersebar.
Bronkopneumonia karena invasi bakteri sekunder dapat disebabkan oleh virus campak sendiri atau
oleh Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus dan Haemophilus influenza. Bronkopneumonia ini
dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda, anak dengan malnutrisi energi protein, penderita
penyakit menahun (misal tuberkulosis), leukimia, dan lain-lain.
Komplikasi neurologis pada campak dapat berupa ensefalitis, hemiplegia, paraplegia, afasia,
gangguan mental dan neuritis optika.
Ensefalitis campak dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang menderita campak atau
dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin virus campak hidup (ensefalitis campak
akut), penderita yang sedng mendapat pengobatan imunosupresif (immunosuppesive measles
encephalopathy) dan sebagai subacute sclerosing panencephalitis (SSPE). Jarang, ensefalitis dilaporkan
bersama campak yang dimodifikasi gama globulin, keterlibatan ensefalitis tampak sebelum stadium
erupsi, tetapi lebih sering mulai terjadi 2 5 hari setelah munculnya ruam. Angka kematian karena
ensefalitis campak rendah dan sisa defisit neurologis sedikit. Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi
campak ialah 1 : 1.000 kasus, sedang ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus campak hidup adalah 1,16
tiap 1.000.000 dosis. Ensefalitis yang mematikan terjadi pada anak yang sedang mendapat pengobatan
imunosupresif untuk keganasan.
Panensefalitis sklerotikans subakut (SSPE) disebabkan oleh virus campak. SSPE adalah suatu
proses degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat. Penyakit ini progresif dan fatal serta ditemukan
pada anak dan orang dewasa, yang ditandai dengan gejala yang terjadi secara tiba-tiba seperti kekacauan
mental, disfungsi motorik, kejang, dan koma. Perjalanan klinis lambat dan sebagian besar penderita
meninggal dunia dalam 6 bulan 3 tahun setelah terjadi gejala pertama. Penyebab SSPE tidak jelas, tetapi
ada bukti bahwa virus campak memegang peranan dalam patogenesisnya. Biasanya anak menderita
campak sebelum umur 2 tahun sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7 tahun setelah campak. SSPE yang
terjadi setelah vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian.
Immunosuppresive measles encephalopathy didapatkan pada anak dengan campak yang sedang
menderita defisiensi imunologik karena keganasan atau karena pemakaian obat-obatan imunosupresif.
Komplikasi lain yang juga dapat terjadi pada penderita campak yaitu diare dengan disertai dehidrasi
dan campak yang menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak yang lebih kecil.

Pengobatan
i. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
1. Pemberian cukup cairan
2. Kalori dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan komplikasi
3. Suplemen nutrisi
4. Antipiuretika apabila suhu tinggi
5. Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder
6. Antikonvulsi apabila terjadi kejang
7. Pemberian vitamin A
8. Pelembaban ruangan dengan mempertahankan suhu ruangan hangat daripada dingin
9. Perlindungan dari pajanan cahaya yang kuat selama masa fotofobia.
ii. Indikasi rawat inap : hiperpireksia ( suhu > 39,0C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau ada
komplikasi.
iii. Campak tanpa komplikasi :
1. Hindari penularan
2. Tirah baring di tempat tidur
3. Vitamin A 100.000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1.500 IU tiap hari
4. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat
kesadaran pasien dan komplikasi
iv. Campak dengan komplikasi :
1. Ensefalitis / ensefalopati
a. Antibiotik bila diperlukan, antivirus dan lainnya sesuai dengan PDT ensefalitis
b. Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PDT ensefalitis
c. Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan
elektrolit
2. Bronkopneumonia
a. Antibiotik sesuai dengan PDT pneumonia
b. Oksigen nasal atau dengan masker
c. Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, gas darah dan elektrolit
3. Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat.
4. Pada kasus campak dengan komplikasi bronkopneumonia dan gizi kurang, perlu dipantau
terhadap infeksi TB laten. Pantau gejala klinis serta lakukan uji tuberkulin setelah 1 3 bulan
penyembuhan.
5. Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang / buruk.

Prognosis
Baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis buruk bila keadaan umum
buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis atau bila ada komplikasi.

Pencegahan
Imunisasi aktif
Dilakukan dengan pemberian live attenuates measles vaccine dengan strain Schwarz dan Moraten.
Imunisasi campak awal dapat diberikan pada usia 12 15 bulan, tetapi mungkin diberikan lebih awal
pada daerah di mana penyakit terjadi. Dianjurkan untuk memberikan vaksin campak pada anak usia
15 bulan karena sebelum usia tersebut anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena
masih ada antibodi dari ibu. Dan pada anak yang tinggal di daerah endemis campak dan terdapat
banyak tuberkulosis diberikan pada usia 6 bulan dan revaksinasi dilakukan pada usia 15 bulan.
Karena angka serokonversi pasca imunisasi tidak 100% dan mungkin ada beberapa makin lama
imunitasnya berkurang, imunisasi kedua campak biasanya diberikan sebagai campak-parotitis-rubella
(measles-mumps-rubella [MMR]). Dosis ini dapat diberikan ketika anak masuk sekolah atau pada
saat masuk sekolah menengah. Remaja yang memasuki perguruan tinggi juga harus mendapat
imunisasi campak yang kedua. Vaksin campak tidak boleh diberikan pada wanita hamil, anak dengan
tuberkulosis yang tidak diobati, penderita leukimia dan anak yang sedang mendapat pengobatan
imunosupresif.

Imunisasi pasif
Imunisasi pasif dengan kumpulan serum orang dewasa, kumpulan serum konvalesen, globulin
plasenta, atau gamma globulin kumpulan plasma adalah efektif untuk pencegahan dan pelemahan
campak. Campak dapat dicegah dengan menggunakan imunoglobulin serum (gamma globulin)
dengan dosis 0,25 mL/kg diberikan secara intramuskuler dalam 5 hari sesudah pemajanan, tetapi
lebih baik sesegera mungkin. Pelemahan mungkin disempurnakan dengan penggunaan gamma
globulin dosis 0,05 mL/kg. Sesudah hari ke 7-8 inkubasi, jumlah antibodi yang diberikan harus
ditambah pada setiap proteksi.


RUBELLA
( Campak Jerman atau Campak Tiga-Hari )

Definisi
Rubella adalah penyakit anak menular yang lazim ditandai dengan gejala-gejala utama ringan, ruam
serupa campak ringan atau demam skarlet, dan pembesaran serta nyeri limfonodi pascaoksipital,
retroaurikuler dan servikalis posterior. Pada anak yang lebih tua dan dewasa, terutama wanita dewasa,
infeksi kadang-kadang dapat berat, dengan manifestasi keterlibatan sendi dan purpura.
Rubella pada awal kehamilan dapat menyebabkan anomali kongenital berat. Sindrom rubella
kongenital adalah penyakit menular aktif dengan keterlibatan multisistem, spektrum ekspresi klinis luas,
dan periode infeksi aktif pascalahir dengan pelepasan virus yang lama.

Etiologi
Rubella disebabkan oleh virus yang mengandung RNA pleomorfik, pada famili Togaviridae, genus
Rubivirus. Virus biasanya diisolasi pada biakan jaringan, dan keberadaannya diperagakan oleh
kemampuan sel ginjal kera hijau Afrika ( African green monkey kidney [AGMK]) terinfeksi rubella
menahan tantangan dengan enterovirus. Selama penyakit klinis virus berada dalam sekresi nasofaring,
darah, tinja, dan urin. Virus telah ditemukan dari nasofaring 7 hari sebelum eksantem dan 7 8 hari
sesudah menghilangnya. Penderita dengan penyakit subklinis juga terinfeksi.

Epidemiologi
Manusia adalah satu-satunya hospes alamiah rubella, yang disebarkan secara droplet oral atau
transplasenta melalui infeksi kongenital. Antibodi ibu adalah protektif selama usia 6 bulan pertama. Anak
laki-laki dan perempuan sama-sama terkena. Pada populasi yang rapat seperti institusi dan asrama tentara,
hampir 100% dari individu yang rentan dapat terinfeksi. Pada kelompok keluarga penyebaran virus
kurang: 50 60% anggota keluarga yang rentan mendapat penyakit.
Rubella sukar didiagnosis secara klinis karena ruam enterovirus dan ruam yang lain dapat
menghasilkan penampakan yang serupa. Satu serangan biasanya memberikan imunitas permanen.
Epidemi terjadi setiap 6 9 tahun sebelum vaksin tersedia. Bayi dengan rubella merupakan sumber
infeksi untuk anak yang lebih tua yang tidak imun dan orang dewasa nonimun, termasuk wanita hamil
dan personel ruang perawatan.

Gejala klinis
Masa inkubasi rubella adalah 14-21 hari. Fase prodormal gejala kataral ringan adalah lebih pendek
daripada fase prodormal campak dan mungkin sangat ringan sehingga tidak diperhatikan. Tanda yang
paling khas adalah adenopati retroaurikuler, servikal posterior, dan di belakang oksipital. Tidak ada
penyakit lain yang menyebabkan pembesaran nyeri limfonodi sampai sebesar limfonodi rubella. Enantem
mungkin muncul tepat sebelum mulainya ruam kulit. Ruam ini terdiri dari bintik-bintik merah tersendiri
pada palatum molle yang dapat menyatu menjadi warna kemerahan dan meluas pada rongga belakang
mulut.
Limfadenopati jelas pada sekitar 24 jam sebelum ruam muncul dan dapat tetap selama 1 minggu
atau lebih. Eksantemnya lebih bervariasi daripada eksantem campak. Eksantem mulai pada muka dan
menyebar dengan cepat. Evolusinya sangat cepat sehingga ruam dapat menghilang pada muka pada saat
ruam lanjutannya muncul pada badan. Makulopapula tersendiri ada pada sejumlah besar kasus, ada juga
daerah kemerahan yang luas yang menyebar dengan cepat ke seluruh badan, biasanya dalam 24 jam.
Ruam dapat menyatu, terutama pada muka. Selama hari kedua ruam dapat mempunyai gambaran sebesar
ujung jarum, terutama di seluruh tubuh, menyerupai ruam demam skarlet. Dapat terjadi gatal ringan.
Erupsi biasanya jelas pada hari ketiga dan terjadi deskuamasi minimal.
Mukosa faring dan konjungtiva sedikit meradang. Berbeda dengan rubeola, tidak ada fotofobia.
Demam ringan atau tidak ada selama ruam dan menetap selama 1, 2, atau kadang-kadang 3 hari. Suhu
jarang melebihi 38,4C (101F). Anoreksia, nyeri kepala, dan malaise tidak biasa, dan limpa sering sedikit
membesar. Angka sel darah putih normal atau sedikit menurun, jarang terjadi trombositopeni dengan atau
tanpa purpura. Terutama pada wanita yang lebih tua dan wanita dewasa, poliartritis dapat terjadi dengan
artralgia, pembengkakan, nyeri, dan efusi tetapi biasanya tanpa sisa apapun. Setiap sendi dapat terlibat,
tetapi sendi-sendi kecil tangan paling sering terkena. Lamanya bisa mencapai beberapa hari, namun
jarang menetap selama berbulan-bulan.

Diagnosis Banding
Karena gejala serupa dan ruam dapat terjadi pada banyak infeksi virus yang lain, rubella merupakan
penyakit yang sukar didiagnosis secara klinis kecuali bila penderita ditemukan selama epidemi. Riwayat
telah mendapat rubella atau vaksin rubella tidak dapat dipercaya, imunitas harus ditentukan dengan uji
untuk antibodi. Terutama pada bentuk lebih berat, rubella dapat terancukan dengan tipe demam skarlet
dan rubeola ringan.
Roseola infantum (eksantema subitum) dibedakan dari rubella oleh keparahan demamnya dan
munculnya ruam pada akhir episode demam, bukan pada saat gejala-gejala dan tanda-tandanya sedang
naik.
Ruam karena obat mungkin sangat sukar dibedakan dengan rubella. Pembesaran khas limfonodi
sangat mendukung diagnosis rubella.
Mononukleosis infeksiosa, ruam dapat terjadi menyerupai ruam rubella, dan pembesaran limfonodi
pada setiap penyakit dapat menimbulkan kerancuan. Tanda-tanda hematologik mononukleosis infeksiosa
akan cukup membedakan dua penyakit tersebut. Infeksi enterovirus yang disertai ruam dapat dibedakan
dari beberapa keadaan pada manifestasi pernapasan atau saluran cerna dan tidak adanya adenopati
retroaurikuler.
Uji diagnostik meliputi isolasi virus dari berbagai jaringan dan uji serologis. Antibodi
hemaglutinasi-inhibisi (HI) merupakan metode penentuan imunitas biasa terhadap rubella. Beberapa uji
yang lebih baru termasuk aglutinasi lateks, imunoassay enzim, dan imunoassay fluorescen sensitivitasnya
tampak sama atau lebih baik daripada uji HI. IgM spesiifik rubella dapat ada dalam darah bayi baru lahir
yang terkena.

Komplikasi
Komplikasi relatif tidak lazim pada anak. Neuritis dan artritis kadang-kadang terjadi. Resistensi
terhadap infeksi bakteri sekunder tidak berubah. Ensefalitis serupa dengan ensefalitis yang ditemukan
pada rubeola yang terjadi pada sekitar 1/6.000 kasus.

Pengobatan
Bila tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simtomatis. Adamantanamin hidroklorida
(amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel
yang telah dibiakkan. Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita rubella kongenital dengan
obat ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil, penggunaannya sangat
terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan dengan hasil yang terbatas.

Prognosis
Prognosis rubella pada anak adalah baik, sedang prognosis rubella kongenital bervariasa menurut
keparahan infeksi. Hanya sekitar 30% bayi dengan ensefalitis tampak terbebas dari defisit neuromotor,
termasuk sindrom autistik.

Pencegahan
Pada orang yang rentan, proteksi pasif dari atau pelemahan penyakit dapat diberikan secara
bervariasi dengan injeksi intramuskuler globulin imun serum (GIS) dengan dosis besar 0,25-0,50 mL/kg
atau 0,12 0,20 mL/lb dalam 7 8 hari pasca pemajanan. Efektivitas globulin tegantung pada kadar
antibodi produk yang digunakan dan pada faktor yang belum diketahui.
Vaksin virus hidup RA 27/3 (fibroblas paru embrional manusia deretan WI-38) telah digunakan
hanya pada imunisasi aktif terhadap rubella. Vaksin RA 27/3 mempunyai banyak manfaat melebihi
vaksin rubella lain yang dahulu digunakan karena menghasilkan antibodi nasofaring dan berbagai variasi
antibodi serum, memberikan proteksi yang lebih baik terhadap reinfeksi, dan sangat lebih menyerupai
proteksi yang diberikan oleh infeksi alamiah. Vaksin sensitif terhadap panas dan cahaya, karenanya
vaksin harus disimpan dalam lemari es suhu 4C dan digunakan segera. Vaksin diberikan sebagai satu
injeksi subkutan.
Antibodi berkembang pada sekitar 98% dari mereka yang divaksinasi. Walaupun mungkin virus
menetap, terutama pada nasofaring, dan pelepasan terjadi dari 18 25 hari sesudah vaksinasi, penularan
nampaknya tidak merupakan masalah.
Lama persistensi antibodi rubella pasca vaksinasi dengan RA 27/3 tidak tentu tetapi mungkin
seumur hidup. Cara-cara pencegahan adalah paling penting untuk perlindungan janin. Vaksinasi terutama
penting sehingga wanita mempunyai imunitas terhadap rubella sebelum mencapai usia subur, dengan
penularan penyakit alamiah atau dengan imunisasi aktif. Status imun dapat dievaluasi dengan uji
serologis yang tepat.
Program vaksinasi rubella mengharuskan untuk imunisasi semua laki-laki dan wanita usia 12 dan
15 bulan serta pubertas dan wanita pasca pubertas tidak hamil. Imunisasi adalah efektif pada usia 12
bulan tetapi mungkin tertunda sampai 15 bulan dan diberikan sebagai vaksin MMR. Imunisasi rubella
harus diberikan pada wanita pasca pubertas yang kemungkinan rentan pada setiap kunjungan perawatan
kesehatan. Untuk wanita yang mengatakan bahwa mereka mungkin hamil, imunisasi harus ditunda. Uji
kehamilan tidak secara rutin diperlukan, tetapi harus diberikan nasihat mengenai sebaiknya menghindari
kehamilan selama 3 bulan setelah imunisasi. Namun imunisasi ini tidak mengakibatkan penurunan
persentase wanita usia subur yang rentan terhadap rubella.
HERPESVIRUS 6 MANUSIA
(Roseola Infantum, Eksantem Subitum)

Definisi
Tahun 1986 virus baru diisolasi dari sel mononuklear darah perifer beberapa penderita sindrom
imunodefisiensi didapat (AIDS), atau penyakit limfoproliferatif. Pada mulanya, diberi nama virus
limfotropik sel-B manusia, penandaan lebih lanjut menunjukkan ia merupakan herpesvirus baru yang
sekarang dikenal sebagai herpesvirus 6 manusia (human herpesvirus 6 [HHV-6]). Pada tahun-tahun sejak
penemuannya, infeksi primer pada bayi telah dihubungkan dengan raseola infantum (eksantema subitum)
atau penyakit demam nonspesifik.

Etiologi
HHV-6 merupakan salah satu dari tujuh herpes virus manusia. Virus ini besar (185-200 nm), berselubung,
virus DNA helai ganda sekitar 170 kilobasa. Pada mulanya diisolasi dari sel darah perifer manusia,
bereplikasi pada sel T manusia (baik sel CD4 maupun CD8), monosit, megakariosit, sel pembuluh
alamiah, sel glia, dan sel epitel serta sel salivarius. Virus menghasilkan pengaruh sitopatik seperti balon
dan sel lisis dalam leukosit mononuklear yang dirangsang mitogen. Varian A lebih sering diisolasi dari
penderita orang dewasa dengan AIDS atau penyakit limfoproliferatif. Varian B tampak menyebabkan
infeksi HHV-6 primer paling bergejala pada bayi. HHV-6 paling erat terkait dengan sitomegalovirus
manusia (CMV). Hubungan molekuler dan antigenik menjelaskan beberapa tingkat reaktivitas silang
serologis dengan CMV.

Epidemiologi
Seroepidemiologi infeksi HHV-6 paralel dengan epidemiologi klinis roseola. Kebanyakan (70-95%) bayi
baru lahir adalah seropositif untuk HHV-6, menggambarkan antibodi transplasenta. Frekuensi seropositif
turun antara usia 4 dan 6 bulan (5-50%), disertai dengan antibodi didapat cepat. Pada usia 1-2 tahun.
Lebih dari 90% bayi adalah seropositif. Hampir semua orang dewasa muda adalah seropositif, walaupun
titer HHV-6 mungkin lebih rendah daripada pada anak. Pada masa dewasa akhir, prevalensi antibodi
terhadap HHV-6 menurun sampai sekitar 60%. Gambaran prevalensi antibodi cocok dengan prevalensi
klinis roseola, suatu penyakit yang tidak jarang pada usia 3 bulan pertama (walaupun jarang pada
neonatus) dengan insiden puncak pada 6-12 bulan dan 90% terjadi dalam usia 2 tahun pertama. Sekitar
sepertiga anak mengalami roseola klinis. Infeksi terjadi secara sama pada kedua jenis kelamin dan terjadi
di seluruh musim dalam setahun dengan insiden agak lebih tinggi pada akhir musim semi dan awal
musim panas. Beberapa kasus roseola musiman dapat karena enterovirus, yang bila tidak ada diagnosis
virologis spesifik, menyerupai penyakit seperti roseola. Wabah kecil roseola diperantarai HHV-6 terdata
pada populasi yang rapat seperti panti asuhan. Masa inkubasi yang terkesan dari wabah kecil dan infeksi
eksperimental adalah 5-15 hari.

Patogenesis
Cara mendapatkan HHV-6 belum diketahui, tetapi virus sering terdeteksi dalam saliva manusia sehat
memberi kesan penyebaran horizontal dengan pelepasan virus oral. Infeksi primer dapat disertai dengan
tanda klinis dan gejala-gejala atau dapat tidak bergejala, walaupun frekuensi yang kedua belum diketahui.
Viremi dapat didokumentasi pada 4-5 hari pertama roseola klinis dengan rata-rata sel terinfeksi 10
3
per
10
6
sel mononuklear. Jumlah virus dalam darah dihubungkan secara langsung dengan keparahan
penyakit.
Ada respon imun kompleks yang tersusun dari induksi berbagai sitokin (interferon alfa dan gamma,
interleukin-beta, faktor nekrosis tumor alfa), respon antibodi, dan reaktivitas sel T. Hilangnya viremi
primer, demam, dan munculnya ruam biasanya dihubungkan dengan munculnya antibodi anti-HHV-6
neutralisasi serum dan mungkin menaikkan aktivitas sel pembunuh alami. Antibodi transplasenta tampak
melindungi bayi muda dari infeksi. Infeksi sel sumsum tulang in vitro menekan diferensiasi sel pendahulu
dari semua deretan sel. Infeksi HHV-6 in vitro menghambat respon limfoproliferatif sel mononuklear
darah peerifer manusia.
Kadar antibodi tinggi pada orang dewasa, seiring pelepasan virus dalam ludah, dan deteksi asam nukleat
virus dalam kelenjar ludah dan sel mononuklear darah perifer pada anak yang seropositif dan orang
dewasa mendukung keadaan latensi HHV-6 yang hidup lama. Sel yang tepat yang mengandung HHV-6
latent belum diketahui, tetapi leukosit dan sel kelenjar ludah mungkin merupakan calon. Sifat reaktivasi
penyakit pada anak yang lebih tua dan orang dewasa, terutama mereka yang terganggu imun, baru saja
dikenali. Karena kebanyakan individu mempunyai antibodi, defek pada imunitas seluler, seperti yang
ditemukan pada penderita transplan atau mereka yang dengan AIDS, dapat memberi kecenderungan pada
reaktivasi bergejala.

Manifestasi Klinis
- Roseola Infantum (Eksantema Subitum)
HHV-6 adalah agen etiologi pada sekurang-kurangnya 80-92% kasus. Mulainya mendadak, dengan
demam setinggi 39,4 41,2C (103 106F), fontanella anterior mencembung atau kejang-kejang
dapat terjadi pada saat ini atau nanti. Bila kejang-kejang terjadi (5 35% kasus), mereka kejang-
kejang pada stadium pra-eruptif roseola. Walaupun mukosa faring mungkin sedikit meradang dan
mungkin sedikit koryza, tidak ada tanda-tanda diagnosik. Biasanya anak tampak relatif baik walaupun
ada demam.
Demam turun dengan krisis pada hari ke 3-4. Ketika suhu kembali normal, erupsi makular atau
makulopapular tampak di seluruh tubuh, mulai pada badan, menyebar ke lengan dan leher, dan
melibatkan muka dan kaki sampai beberapa tingkat. Ruam menghilang dalam 3 hari, deskuamasi
jarang, dan biasanya tidak ada pigmentasi. Kadang-kadang, limfonodi terutama di daerah servikal
membesar tetapi tidak meluas seperti ruam rubella. Kurang sering, penyakit ini mungkin ada tanpa
demam yang khas. Sebelum penurunan demam dan muncul ruam, diagnosis terkesan
mengesampingkan sebab-sebab demam tinggi biasa yang lain pada usia ini, sepeerti otitis media,
pielonefritis akut, pneumonia, meningitis dan bakteremia pneumokokus.

- Demam pada Bayi tanpa roseola khas
Uji diagnostik spesifik untuk HHV-6 telah memungkinkan penegasan jumlah sindrom terkait HHV-6.
Kisaran usia anak ini 9,5 9,9 bulan, mereka irritabel dan demam (rata-rata suhu 39,7C), dan 47
62% mengalami radang membrana timpani dengan beberapa tanda setempat lain. 13% mengalami
kejang demam, demam berakhir rata-rata 4 hari. Hanya 9% mempunyai ruam seperti roseola,
walaupun 17-33% mempunyai ruam selama atau sesudah periode demam. HHV-6 dapat merupakan
sebanyak 50% dari sakit demam pertama dari kehidupan anak.

- Infeksi tersebar pada bayi dan orang dewasa
Jarang dilaporkan kasus HHV-6 menyebabkan penyakit tersebar berat atau mematikan pada bayi sehat
lainnya. Keadaan ini terjadi sebagai sakit demam akut yang kadang-kadang menyerupai sindrom
mononukleosus infeksiosa (limfadenopati, hepatosplenomegali, ruam makulopapular) atau hepatitis
fulminan. HHV-6 juga terkait dengan sedikit jumlah kasus intusussepsi pada bayi, dengan satu atau
berulang kejang demam, kasus jarang meningoensefalitis atau ensefalopati, eksaserbasi purpura
trombositopeni idiopatik, dan sindrom hemofagositik mematikan.
Pada orang dewasa sehat, infeksi primer HHV-6 kadang-kadang disertai dengan sindrom seperti
mononukleosis, hepatitis fulminan, atau penyakit yang lebih ringan dengan malaise dan limfadenopati
servikal. HHV-6 dapat disertai limfadenitis Kikuchi (limfadenitis dan demam remitten) dan histiosis
sinus dengan limfadenopati masif (penyakit Rosai Dorfman).

- Infeksi pada gangguan imun
HHV menyebabkan penyakit reaktivasi pada individu terganggu imun. Keadaan ini tampak merupakan
kasus dengan HHV-6 juga, walaupun spektrum penuh sindrom ini dan frekuensinya baru dijelaskan.
Pada penderita transplantasi sumsum tulang, viremia HHV-6 dihubungkan dengan demam tidak
terjelaskan dan supressi sumsum tulang. Pada seri kecil penderita dengan transplantasi sumsum tulang
atau AIDS telah dihubungkan dengan pneumonitis interstitial idiopatik. Penemuan ini harus dipandang
hati-hati karena infeksi HHV-6 hampir universal pada penderita ini dan hubungannya dengan
reaktivasi penyakit pada setiap penderita tertentu sukar.
HHV-6 menginfeksi banyak sel-sel yang sama seperti HIV, transaktivasi promotor HIV in vitro, dan
pada beberapa keadaan menambah replikasi HIV. Infeksi HHV-6 sel T CD8 manusia dan sel
pembunuh alami memicu ekspresi CD4 dan kerentanan untuk infeksi HIV in vitro.

Tanda laboratorium
Pada roseola, selama beberapa hari pertama demam, angka sel darah putih rata-rata 8.000/mm
3
, dengan
kenaikan neutrofil. Pada demam hari ke 3-4, angka sel darah putih turun sampai rata-rata 6.000/mm
3
,
kadang-kadang dengan neutropenia absolut dan limfositosis yang dapat setinggi 90%. Kadang-kadang
sejumlah besar monosit ada. Cairan serebrospinal biasanya normal, walaupun DNA HHV-6 mungkin
terdeteksi dengan reaksi rantai polimerase (RRP) pada cairan serebrospinal dari beberapa bayi yang
jarang dengan ensefalopati yang diperantarai HHV-6. Penderita dapat juga mempunyai pleositosis cairan
serebrospinal ringan.

Diagnosis
Diagnosis pesifik infeksi HHV-6 tergantung pada isolasi virus selama infeksi primer, peragaan produksi
antibodi terhadap HHV-6, atau lokalisasi HHV-6 pada jaringan yang terinfeksi dengan metode molekuler.
Pada kasus roseola, virus dapat ditemukan dari leukosir darah perifer pada 3-4 hari pertama sakit dengan
penanaman bersama dengan sel mononuklear darah talipusat manusia yang diobati-mitogen atau deretan
sel T tertentu. Sel terinfeksi membentuk pengaruh sitopatik balon, mengalami lisis, dan menghasilkan
antigen yang dapat dideteksi. Virus tidak ditemukan dari darah anak atau orang dewasa normal, sehat,
seropositif, tetapi dapat ditentukan dari individu terganggu imun tidak bergejala.
Sesudah infeksi primer minggu pertama, produksi antibodi dapat diperagakan dengan berbagai assay
termasuk imunofluoresensi, neutralisasi, imunoblot, dan imunoassay enzim. Antibodi IgM muncul awal
dan menurun ketika antibodi IgG dihasilkan, yang berakhir juga sampai masa dewasa. Walaupun
serokonversi (respon antibodi negatif menjadi positif) merupakan petunjuk infeksi primer, kenaikan
empat kali dapat menunjukkan infeksi primer atau reaktivasi virus. Antibodi IgM dapat juga muncul
kembali selama reaktivasi virus. Pada penderita terganggu imun, kadar antibodi yang rendah atau
menurun dapat dihubungkan dengan penyakit tetapi bukan diagnostik yang dapat dipercaya. Kenaikan
antibodi HHV-6 yang jelas mungkin akibat infeksi CMV karena ada reaktivitas silang antigenik antara
virus herpes yang terkait. Diagnosis pasti infeksi HHV-6 dengan metode serologis perlu
mengesampingkan infeksi CMV primer.
Antigen HHV-6 atau kadar tinggi DNA virus terdeteksi dengan teknik imunohistokimia atau RRP pada
jaringan hospes terganggu imun, yang merupakan satu-satunya cara untuk menggabungkan penyakit
tertentu dengan HHV-6, karena perubahan antibodi tidak dapat dipercaya dan penemuan virus dari
leukosit darah atau saliva tidak jarang, walaupun tidak ada sindrom yang dikenali. Kebanyakan anak dan
orang dewasa yang seropositif mempunyai DNA virus yang terdeteksi dengan RRP pada sel darah
perifernya, mungkin menunjukkan keadaan virus laten.

Diagnosis Banding
Anak dengan roseola datang dengan diagnosis banding demam yang tidak diketahui sebabnya sampai
suhu turun dengan cepat dan ruam muncul. Manifestasi prodormal lain dari rubella dan menetapnya
demam sesudah ruam tampak biasanya membedakannya dari roseola. Rubeola dan dengue dapat
dibedakan terutama dengan waktu penampakan ruamnya dalam hubungannya dengan demam dan tanda-
tanda klinis lain.
Pada rubeola, walaupun biasanya ada demam berbagai tingkat selama 3-4 hari tepat sebelum ruam, suhu
dengan mendadak naik sampai 39,4-40C (103-104F) pada saat ruam tampak dan tetap tinggi selama 2
hari berikutnya, ketika ruam menghilang dengan cepat. Tidak adanya bercak koplik, koryza berat, dan
konjungtivitis juga membantu membedakan roseola dengan rubeola.
Bakteremia pneumokokus dapat datang dengan demam tinggi dan anak tampak sehat. Angka sel darah
putih seringkali naik, dan biakan darah positif untuk Pneumococcus. Membedakan roseola dengan
penyakit enterovirus dan adenovirus dan reaksi obat sukar.
Infeksi HHV-6 merupakan penyebab tidak lazim sindrom mononukleosis infeksiosa heretofil negatif dan
hepatitis serta harus dibedakan dari virus lain yang menyebabkan sindrom ini. Pada hospes terganggu
imun, penyakit ini merupakan bagian dari diagnosis banding pneumonitis interstitial dan kegagalan
sumsum tulang bersama dengan sitomegalovirus, Pneumocystis carinii dan hospes dari agen lain yang
kurang lazim.

Pengobatan
Tidak ada metode untuk pemendekan perjalanan roseola atau untuk profilaksis yang diketahui. Pada bayi
dan anak muda yang cenderung untuk konvulsi, pemberian sedatif ketika mulai muncul demam roseola
tajam mungkin efektif sebagai profilaksis terhadap kejang-kejang yang demikian. Antipiuretik mungkin
membantu dalam mengurangi sebagian demam dan menenangkan kegelisahan. HHV-6 in vitro rentan
pada gansiklovir dan foskarnet dan jauh kurang pada asiklovir. Tidak ada penelitian terkendali yang
menggunakan agen ini pada terapi untuk kasus infeksi HHV-6 berat yang amat jarang pada hospes normal
yang lainnya atau terganggu imun.

Prognosis
Prognosis roseola adalah baik kecuali pada penderita yang jarang menderita hiperpireksia ekstrem,
kejang-kejang menetap, ensefalitis berat, atau hepatitis mematikan. Indikasi pendahuluan pada hospes
terganggu imun memberi kesan bahwa pneumonia interstitial akibat HHV-6 mempunyai prognosis lebih
baik daripada pneumonia interstitial yang disebabkan CMV.
VIRUS HERPES SIMPLEKS

Virus Herpes Simpleks (HSV) lazim ada pada manusia dan mempunyai berbagai manifestsi klinis yang
melibatkan kulit, membrana nukosa, mata, sistem saraf sentral, dan saluran genital. Virus ini juga
menyebabkan penyakit sistemik menyeluruh. Manifestasi penyakit sebagian besar ditentukan oleh
kemampuan imun hospes. Dua strain virus dikenali : HSV-1, biasanya menginfeksi kulit dan membrana
mukosa di atas pinggang; dan HSV-2 terutama menginfeksi genitalia dan neonatus.
Dua tipe infeksi yang diketahui :
1. Infeksi primer adalah pengalaman pertama hospes rentan dengan virus, yang pada kebanyakan
keadaan merupakan infeksi subklinis, yang lain biasanya merupakan lesi superfisial lokal disertai
dengan berbagai tingkat reaksi sistemik. Pada bayi baru lahir dan bayi malnutrisi berat, infeksi
sistemik serius, sering tanpa lesi superfisial, dapat terjadi. Sirkulasi antibodi dan respon seluler
berkembang pada kasus neonatus.
2. Lesi herpes berulang menggambarkan reaktivasi infeksi laten pada hospes imun dengan sirkulasi
antibodi. Reaktivasi menyertai rangsangan nonspesifik demikian seperti perubahan dalam lingkungan
eksternal (misal dingin, sinar ultra violet) atau lingkungan internal (misal menstruasi, demam, atau
stres emosi). Lesi cenderung terlokalisasi dan biasanya tidak disertai dengan reaksi sistemik. Infeksi
virus dapat terjadi pada tidak adanya kumat klinis, menimbulkan pelepasan virus tidak bergejala.

Etiologi
HSV adalah DNA helai ganda yang mengandung virus terselubung. Core protein ikosakedral dikelilingi
oleh selubung lipid yang membungkus sejumlah glikoprotein virus yang menyebabkan interaksi sel
sasaran virus dan infeksi. Glikoprotein ini juga merupakan kunci sasaran untuk respon imun humoral dan
seluler hospes. HSV tumbuh dengan cepat pada deretan sel manusia dan bukan manusia dan
menghasilkan perubahan sitopatik khas. HSV-1 dan HSV-2 dapat dibedakan dengan analisis DNA
(analisis pembatasan endonuklease) dan secara komersial oleh reaktivitas dengan antibodi monoklonal
spesifik tipe pada berbagai assay fluorescen dan imunosorben terkait enzim (ELISA). Beberapa enzim
yang penting untuk sintesis DNA virus, seperti timidin kinase dan polimerase DNA, merupakan sasaran
berguna untuk agen antivirus.

Epidemiologi
Virus mengembangkan hubungan yang sangat cocok dengan hospesnya. Pada sekitar 85% keadaan
infeksi adalah subklinis. Walaupun manifestasi klinis ada, hospes jarang mengalami gangguan secara
serius. Kadang-kadang infeksi primer atau berulang dapat menyebabkan wabah stomatitis institusi atau
keluarga. HSV dapat juga ditularkan melalui infeksi jari-jari (paronikhia), selama kontak olahraga seperti
rugbi atau gulat (herpes gladiatorum), dan jarang pada kelompok rumah sakit. Masa inkubasi adalah 2-12
hari (rata-rata 6 hari). Penyebaran infeksi tampak ditentukan oleh dua faktor yaitu kontak tubuh erat dan
trauma seperti tumbuh gigi atau kerusakan pada kulit.
Insiden antibodi HSV lebih tinggi pada kelompok sosioekonomi yang lebih rendah berkorelasi dengan
keadaan kehidupan yang padat. Epidemiologi berbeda untuk dua tipe HSV. Penelitian serologis rinci telah
dilakukan terutama pada kelompok berpenghasilan rendah, di mana kebanyakan bayi mempunyai
antibodi transplasenta selama umsia sekitar 6 bulan pertama. Dari usia 1-4 tahun ada kenaikan antibodi
yang tajam terhadap HSV-1 dan kemudian kecepatan mendapatkannya jauh lebih lambat sampai usia 14
tahun. Pada saat ini, ada kenaikan tajam kedua pada antibodi, terutama pada HSV-2. Pada antibodi HSV
orang dewasa ditemukan pada sebagian besar dalam kelompok sosioekonomi lebih rendah. Antibodi
HSV-1 ditemukan pada 30% mahasiswa universitas dan antibodi HSV-2 ditemukan sampai 60% pada
orang dewasa dengan status sosioekonomi yang lebih rendah. Insiden antibodi tipe 2 pada kelompok
sosioekonomi yang lebih tinggi pada sekitar 10-30%.
Bila terinfeksi, sebagian besar orang terus membawa virus pada stadium laten dan mempertahankan
kestabilan kadar antibodi dalam sirkulasi. Kadar awal antibodi yang dicapai sesudah infeksi primer
mungkin turun, dan beberapa reinfeksi subklinis dapat terjadi sebelum kadar antibodi stabil dibentuk.
Pengidap mungkin menyebarkan virus tanpa mempunyai suatu lesi yang nampak. Virus herpes simpleks
dapat diisolasi dari faring sekitar 5% orang dewasa yang tidak bergejala.

Patologi
Perubahan patologis bervariasi menurut jaringan yang terinfeksi. Pada umumnya, lesi spesifik ditandai
adanya benda inklusi intranuklear, massa homogen yang terletak di tengah nukleus yang sangat hancur di
mana kromatin dasar telah ditepikan ke membran nukleus. Sekitar lesi spesifik selalu ada bukti reaksi
radang akut. Pada kulit dan membrana mukosa lesi khas adalah vesikel unilokuler. Pada kulit vesikula
tegang. Sel epitel balon yang berisi inklusi intranukler dapat dilihat paling baik pada tepi vesikula. Cairan
vesikula mengandung sel epitel yang terinfeksi, termasuk sel raksasa multinuklear dan leukosit. Dalam
dermis tidak ada nekrosis, tetapi kapiler dilatasi, dan infiltrasi sel mononuklear dan polimorfonuklear.
Dalam membrana mukosa, karena maserasi, ada kebocoran awal cairan vesikuler yang menyebabkan
vesikel kollaps, terutama yang terisi fibrin. Sel atas yang edema membentuk membrana abu-abu di atas
lesi.
Pada orang yang sehat, lesi terbatas pada kulit dan membrana mukosa. Penyebaran virus melalui aliran
darah dengan akibat penyakit tersebar luas ditemukan terutama pada bayi baru lahir, anak malnutrisi
berat, orang-orang dengan penyakit kulit seperti eksem, dan penderita dengan defek imunitas seluler.
Pada penderita ini, virus menyebar secara hematogen dari tempat masuk ke organ-organ yang rentan.
Virus bertambah dalam organ ini dan terjadi viremia sekunder dengan bukti adanya penghancuran sel
yang luas.

Manifestasi klinis
HSV khas menghasilkan lesi vesikuler. Hanya jarang ada penyebaran viremi yang menyebabkan penyakit
sistemik luas atau penularan neurogenik yang menyebabkan meningoensefalitis. Walaupun kejadian lesi
primer dan berulang adalah khas diterima pada infeksi herpes, perbedaannya secara klinis sering tidak
mungkin tanpa informasi ada atau tidaknya antibodi serum pada penderita.
- Lesi Kulit Dan Membrana Mukosa
Pada kulit lesi terdiri atas kumpulan vesikula dinding tipis di atas dasar eritematosa. Robekan ini,
terinfeksi dan menyembuh dalam 7-10 hari tanpa parut kecuali sesudah serangan ulangan atau infeki
bakteri kedua; depigmentasi sementara dapat terjadi pada kulit hitam. Lesi lokal mungkin didahului
dengan iritasi ringan atau luka bakar pada tempat lokal dan dengan nyeri neuralgik berat di daerah ini.
Pada anak vesikula sering terinfeksi sekunder, memasukkan impetigo kontagiosa menjadi diagnosis
banding. Lesi cenderung kumat pada tempat yang sama, terutama pada sambungan mukokutan, tetapi
dapat terjadi di mana-mana.
Infeksi primer, terutama pada penderita terganggu imun, mungkin tidak bisa menimbulkan erupsi
vesikuler menyeluruh di mana lesi kecil mungkin terus tampak selama masa 2-3 minggu. Jika
manifestasi sistemik ringan, infeksi harus dibedakan dengan varisella.
Lesi traumatis kulit dapat terinfeksi oleh HSV. Lesi primer dapat juga pada kulit yang tampak tidak
pecah, seperti misalnya pada dagu bayi yang berair liur dengan stomatitis herpes, padanya tampak
vesikel tersebar sendiri-sendiri, berbeda dengan vesikel serangan ulang yang berkelompok. Bila kulit
tungkai terinfeksi, vesikel tampak pada 2-3 hari di tempat trauma. Sering ada penyebaran sentripetal
sepanjang saluran limfa, menyebabkan pembesaran limfonodi regional dan vesikel tersebar pada
semua kulit yang tidak rusak. Gambaran klinis akhir mungkin terkelirukan dengan gambaran klinis
herpes zoster, terutama jika disertai dengan nyeri neuralgik, kecuali jika lesi dikenali karena tidak
terbatas pada dermatoma. Lesi sembuh perlahan-lahan, sering memerlukan waktu 3 minggu; berulang
pada tempat trauma lokal adalah lazim dan dapat memberikan gambaran bullosa. Pegulat dan personal
kedokteran cenderung untuk terkena infeksi herpes dari abrasi superfisial (herpes gladiatorum dan
herpes bernanah). Pada yang kedua, infeksi trauma minor sekitar kuku menimbulkan nyeri yang
sangat, lesi dalam yang menyebar dengan vesikula yang sembuh secara spontan dalam 2-3 minggu.
Lesi yang serupa terjadi pada jari-jari pengisap jempol yang sedang menderita ginggivostomatitis
herpes. Lesi tidak boleh diiris.
- Ginggivostomatitis Herpes Akut (Ginggivostomatitis Infeksius Akut, Stomatitis Kataralis,
Stomatitis Ulseratif, Stomatitis Vincent)
Infeksi primer ini paling sering menyebabkan stomatitis pada anak usia 1-3 tahun, dapat juga terjadi
pada anak yang lebih tua dan orang dewasa. Gejala-gejala mungkin muncul mendadak, dengan nyeri
dalam mulut, berludah, mulut bau, menolak makan, dan demam setinggi 40-40,6C (104-105F).
Mulainya mungkin tersembunyi, dengan demam dan irritabilitas mendahului lesi oral 1-2 hari. Lesi
awal adalah vesikel, yang jarang ditemukan karena robeknya awal. Lesi sisa adalah berdiameter 2-10
mm dan tertutup dengan membran kuning keabu-abuan. Bila membran ini mengelupas, ulkus yang
sebenarnya tetap. Walaupun lidah dan pipi paling sering terlihat, tidak ada bagian batas oral yang
terbebas. Kecuali pada bayi yang tidak bergigi, ginggivitis akut merupakan penyakit yang khas dan
dapat mendahului munculnya vesikel mukosa. Limfadenitis submaksillaris adalah lazim. Fase akut
berakhir 4-9 hari dan sembuh sendiri. Nyeri cenderung hilang 2-4 hari sebelum penyembuhan ulkus
sempurna. Pada beberapa keadaan daerah tonsil terlibat awal dan tampak eksudatif, dan tonsilitis akut
karena bakteri atau herpangina akibat enterovirus dapat dicurigai. Biakan negatif Streptococcus dan
bakteri patogen lain dan kegagalan lesi berespon terhadap terapi antibiotik membedakan dengan
infeksi bakteri. Penyebaran vesikulasi ke mukosa bukal dan bagian anterior mulut adalah khas untuk
herpangina.
- Stomatitis Berulang Dan Herpes Labialis
HSV berulang oral khas adalah satu atau beberapa kelompok vesikel pada sambungan mukokutan.
Lesi biasanya disertai dengan nyeri lokal, perih atau gatal dan berakhir 3-7 hari. Gejala-gejal sistemik
tidak biasa. Lesi terlokalisasi dapat terjadi kurang sering pada palatum sehubungan dengan sakit
demam atau pada mukosa yang berdekatan dengan lesi pada bibir. Namun ulkus aftosa berulang tidak
disebabkan oleh HSV. Pada beberapa orang, stomatitis menyeluruh kumat secara tetap 7-10 hari
sesudah lesi herpes berulang pada bibir atau di mana-mana dan sering disertai lesi kulit eritema
multiforme.
- Eksema Herpes (Erupsi Variselliform Kaposi, Juliusberg Pustulosis Vaksiniformis Akut)
Kelainan ini manifestasi herpes traumatik yang paling srius, akibat dari penyebaran dan biasanya
infeksi primer kulit eksematosa dengan HSV. Keparahan dari komplikasi bervariasi, lesi mungkin
begitu ringan sehingga terlewati, atau mungkin mematikan. Pasa serangan primer berat khas, vesikel
berkembang dengan mendadak dalam jumlah yang besar pada daerah kulit eksematosa. Mereka terus
tampak dalam kelompok selama 7-9 hari. Mula-mula tersendiri, kemudian mereka menjadi
berkelompok dan dapat terjadi pada daerah kulit normal yang berdekatan dan terjadi pengikisan
epidermis. Akhirnya kudis terbentuk, dan terjadi epitelialisasi. Reaksi sistemik bervariasi, tetapi suhu
39,4-40,6C (103-105F) selama 7-10 hari adalah sering. Serangan ulang terjadi pada lesi kulit atopik
kronis. Kematian dapat akibat dari gangguan fisiologis yang berat karena kehilangan cairan, elektrolit,
dan protein melalui kulit, dan penyebaran virus ke otak dan organ lain, atau dari invasi bakteri
sekunder. Diferensiasi dari eksema vaksinatum biasanya dapat dibuat dengan menentukan kepastian
yang masuk akal bahwa anak tidak dipajankan pada vaksinia dan oleh terjadinya kelompok-kelompok
vesikel pada hospes. Diagnosis dapat secara tepat ditegakkan dengan pemeriksaan cairan vesikuler
dengan teknik diagnostik virus cepat.
- Lesi Okuler
Konjungtivitis dan keratokonjungtivitis dapat terjadi sebagai manifestasi infeksi primer atau berulang.
Konjungtiva tampak kongesti dan membengkak, tetapi hanya ada sedikit kotoran purulen. Pada infeksi
primer nodus preaurikuler biasanya membesar dan nyeri. Katarak, uveitis, dan korioretinitis terjadi
pada bayi baru lahir dan bayi yang terganggu imunnya.
Lesi kornea mungkin superfisial, dalam bentuk ulkus dendritik, atau sebagai keratitis dissiform yang
dalam. Keratitis dendritik adalah unik pada keterlibatan mata HSV. Diagnosis dikesankan oleh adanya
vesikel herpes pada kelopak mata, yang ditegakkan dengan isolasi virus. Keratokonjungtivitis
epidemik yang sangat menular (konjungtivitis galangan kapal) disebabkan oleh salah satu dari
beberapa serotip, harus dipertimbangkan pada diagnosis banding. Infeksi kornea berulang dapat
menyebabkan parut kornea dan gangguan penglihatan.
- Herpes Genital
Infeksi genital dengan herpes virus terjadi paling sering pada remaja dan orang dewasa muda, biasanya
karena HSV-2, menyebar karena aktivitas seksual. Walaupun infeksi tangan sampai genital dan
autoinokulasi mungkin, herpes genital atau rektal pada anak muda memerlukan pemeriksaan yang
sensitif dan teliti terhadap kemungkinan penyiksaan anak. 10-25% kasus herpes genital primer
disebabkan oleh HSV-1, dan hampir semua kasus herpes genital berulang adalah karena HSV-2. Pada
infeksi genital primer, ketika penderita tidak mempunyai antibodi terhadap salah satu tipe herpes
(sekitar 30% kasus), gejala sistemik seperti demam, adenopati regional, dan disuria, lebih mungkin
terjadi. Pada wanita dewasa, vulva dan vagina mungkin terlibat dengan vesikel dan ulkus, tetapi
serviks merupakan tempat primer infeksi. Infeksi berulang jarang terjadi, baik penyakit primer maupun
berulang seringkali subklinis, tetapi virus yang dilepaskan selama waktu ini dapat menginfeksi mitra
seksnya atau bayi selama melewati saluran lahir.
Pada orang laki-laki vesikel atau herpes biasanya terlihat pada glans penis, prepusium, atau batang
penis. Skrotum kurang sering terlibat. HSV genital merupakan faktor risiko untuk infeksi HIV.
- Infeksi Sistemik
Pada hospes terganggu imun, infeksi HSV dapat terjadi pada berbagai hospes termasuk bayi baru lahir,
malnutrisi berat, dan anak dengan keganasan atau keadaan lain yang memerlukan terapi imunosupresi,
dengan virus AIDS, luka bakar,, atau dengan penyakit imunodefisiensi primer yang terutama
mengganggu imunitas seluler. Pada anak yang sedang mendapat terapi kanker atau transplantasi organ,
risiko infeksi HSV berat bersamaan dengan waktu imunosupresi maksimum. Sindrom yang paling
sering adalah penyakit mukokutan lokal dan kronis. Lesi dapat menyerupai vesikel dan ulkus khas atau
memburuk menjadi erosi nyeri nekrosis atau eksofitik atipik, lesi seperti kutil. Mukositis, esofagitis,
proktitis dan pneumonitis kurang sering. Manifestasi paling berat, biasanya akibat infeksi primer pada
anak yang terganggu imun, merupakan penyakit yang tersebar luas yang melibatkan hati, paru,
kelenjar adrenal dan sistem saraf pusat. Penderita ini mempunyai sindrom seperti sepsis dengan
leukopenia, koagulopati intravaskuler tersebar, demam atau hipotermia dan memburuk sampai mati.
Lesi kulit mungkin terlokalisasi sampai di membrana mukosa, tersebar luas, menyerupai infeksi
varisella atau tidak ada.
- Infeksi Sistem Saraf Sentral
HSV mempunyai kecenderungan menginfeksi sistem saraf. Baik tipe 1 maupun tipe 2 dapat
menyebabkan meningoensefalitis sebagai bagian dari infeksi neonatus. Pada penderita dengan herpes
genital primer, biasanya akibat dari HSV-2, sindrom meningitis aseptik dapat mempersulit perjalanan
penyakit. Cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis limfositik, dan virus mungkin dibiakkan
darinya pada penderita dengan sindrom yang sembuh sendiri. HSV-1 adalah penyebab ensefalitis
sporadis mematikan yang paling lazim. Ada kecenderungan yang tajam untuk melibatkan daerah
frontal dan parietal. Tanda-tanda dan gejala-gejala khas meliputi demam, perubahan kesadaran, nyeri
kepala, perubahan kepribadian, kejang-kejang, disfagia, dan tanda-tanda neurologis setempat. Jika
tidak diobati, angka mortalitas tampak 75%, dengan sekuele berat pada yang bertahan hidup. HSV
adalah penyebab beberapa kasus meningitis aseptik berulang, atas dasar peragaan DNA HSV dalam
cairan serebrospinal dengan reaksi rantai polimerase (RRP).

Data laboratorium
Pemeriksaan mikroskopis kerokan lesi (pewarnaan Tzanck) menunjukkan sel raksasa multinuklear dan
inklusi intranukelar sekitar 50% dari waktunya. Metode deteksi antigen spesifik seperti ELISA dan teknik
imunofluorescen yang dipakai pada spesimen ini dapat berguna dengan cepat dalam mendignosis infeksi
herpes dan dalam membedakan dua tipe herpes. Virus dapat dengan mudah diisolasi dari vesikel dan dari
pulasan konjungtiva pada 1-4 hari. Cairan serebrospinal positif untuk virus pada sekitar sepertiga
neonatus yang terinfeksi tetapi jarang positif pada anak yang lebih tua dengan ensefalitis. Biopsi otak
diperlukan untuk diagnosis yang pasti dan mengesampingkan bentuk lain yang dapat diobati. RRP
memungkinkan deteksi DNA virus pada cairan serebrospinal dan jika positif akan menyebabkan tidak
perlu biopsi otak.
Leukositosis polimorfonuklear sedang, terjadi pada ginggivostomatitis herpes, eksem herpes, dan
meningoensefalitis. Pada meningoensefalitis sering ada sel darah merah dalam cairan serebrospinal dan
penambahan limfosit, biasanya lebih sedikit daripada 100 tetapi kadang sampai mencapai 1000/mm
3
,
kadar protein naik dan gula biasanya dalam batas normal. EEG dan citra resonansi magnetik (MRI) dapat
memperagakan lesi lobus temporalis

pada ensefalitis awal. Scan tomografi terkomputasi (CT scan)
mungkin normal pada awal ensefalitis tetapi menjadi abnormal ketika penyakit memburuk.
Trombositopeni dan kenaikan uji fungsi hati sering terjadi pada infeksi sistemik.

Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada setiap dari dua hal berikut :
1. Gambaran klinis yang cocok
2. Isolasi virus
3. Perkembangan antibodi spesifik
4. Peragaan sel-sel khas, perubahan histologi, antigen virus atau DNA HSV pada bahan kerokan atau
biopsi.
Kenaikan antibodi HSV dalam cairan serebrospinal terjadi pada ensefalitis HSV, tetapi kenaikan ini pada
akhir penyakit dan hanya berguna untuk diagnosis retrospektif. Perubahan serologis HSV (kenaikan
empat kali atau serokonversi dari negatif ke positif) biasanya terjadi sesudah masa kritis untuk diagnosis
dan terapi. Penyakit akibat HSV berulang tidak dapat memperagakan kenaikan serologis diagnostik, dan
neonatus atau individu terganggu imun berat dapat gagal menghasilkan antibodi selama infeksi primer.
Isolat virus HSV-1 dan HSV-2 dapat dibedakan dengan berbagai antigen yang telah tersedia (ELISA,
antibodi fluorescen) dan teknik molekuler. Isolat HSV yang tidak terkait secara epidemiologis semuanya
sedikit berbeda pada kadar asam nukleat, sebagaimana dilihat dengan analis restriksi endonuklease DNA.
Teknik ini dapat memperkuat infeksi dari satu individu ke yang lain dan memperagakan wabah
nosokomial atau pemindahan virus yang menggambarkan kumpulan kasus tidak terkait, yang sangat
penting untuk nasihat dan alasan medikolegal.

Perjalanan dan Prognosis
Infeksi terlokalisasi primer dengan HSV pada hospes normal sembuh sendiri, biasanya berakhir 1-2
minggu. Angka mortalitas tinggi pada bayi baru lahir yang juga menderita infeksi sistemik dan pada bayi
yang lebih tua yang sangat ternggagu imun dan mal nutrisi. Pada penderita dengan meningoensevalitis
prognosismya untuk bertahan hidup atau penyembuhan tanpa residu permanen yang serius adalah hati-
hati. Hasil akhir diperbaiki dengan diagnosis dan terapi awal.
Serangan mungkin berulang, tetapi jangan menyebabkan rasa tidak nyaman kecuali pada mata, diamana
dapat menyababkan parut kornea dan kebutaan. Lesi herpes berulang dapat merupakan masalah yang
berarti pada penderita pengganggu imun. Penyakit genital berulang dapat disertai rasa tidak nyaman yang
berarti dan morbiditas psikologis. Komplikasi utama dari setiap bentuk infeksi HSV genital pada wanita
adalh infeksi pada bayi baru lahir.
Pengobatan
Asiklovir adalah sandaran utama terapi HSV. Timidin kinase virus akan menvosvorilase asiklovir, yang
kemudian ditrifosforilase oleh enzim seluler untuk berperan sebagai indibitor polimerasa dan penghenti
rantai DNA. Isolat HSV timidin kinase negatif resisten terhadap asiklovir. Asiklovir topikal dapat
mengurangi masa pelepasan virus tetapi mempunyai sedikit pengaruh pada gejala herpes oral atau genital.
Trifluorotimidin, vidarabin dan idoksuridin topikal biasanya semuanya efektif dalam mengobati keratitis
herpes tetapi tidak mengurangi angka infeksi ulang. Kortikosteroid topikal dapat menambah keterlibatan
mata, jika digunakan sendirian dan harus hanya digunakan dengan terapi antivirus.
Penderita dengan infeksi genital primer yang diobati dengan asiklovir oral 200 mg 5X/hari selama 5 hari
menderita nyeri, gatal-gatal, dan waktu pengerasan yang kurang berarti, lama pelepasan lebih pendek dan
lebih sedikit lesi baru dibanding dengan penderita kontrol. Dosis 800 mg 2x/hari tampak efektif dan
ditoleransi dengan baik serta lebih mudah diberikan. Mereka dengan infeksi genital berulang yang diobati
serupa dengan asiklovir oral mengalami lama pelepasan virus yang lebih pendek dan sembuh lebih cepat.
Terapi serangan pertama tidak mencegah kumat, namun pemberian profilaksis oral asiklovir harian dapat
mengurangi jumlah kumat dan dapat diresepkan jika kumat sering atau berat. Pada penelitian sedikit,
asiklovir oral mempunyai pengaruh paling sedang pada anak dengan ginggivostomatitis primer dengan
mengurangi pengeluaran air liur, pembengkakan gusi, nyeri, dan pembentukan lesi baru dibanding dengan
plasebo. Terapi herpes oral berulang dengan asiklovir oral mempunyai pengaruh terbatas. Asiklovir tidak
mempunyai pengaruh pada eritema multiforme akibat HSV. Supresi infeksi HSV dengan terapi
profilaksis seperti untuk penyakit genital mencegah eritema multiform berulang. Terapi asiklovir oral
berguna untuk mengobati bisul herpes berulang dan herpes rektum.
Asiklovir yang diberikan secara intravenosa 10 mg/kg/dosis selama 1 jam setiap 8 jam selama 14-21 hari
merupakan pengobatan pilihan untuk ensefalitis herpes. Obat tersebut ditoleransi dengan baik. Hasil yang
paling baik diperoleh bila pengobatan dimulai awal. Penderita sebelum usia 30 tahun dan mereka yang
hanya letargi dibandingkan dengan mereka yang memburuk sampai koma mempunyai prognosis yang
lebih baik. Perawatan pendukung untuk meminimalkan kenaikan tekanan intrakranial, aktivitas kejang,
dan pernapasan terganggu memerlukan wujud perawatan intensif dan tim ahli. Asiklovir intravena 5-10
mg/kg/dosis selama 1 jam setiap 8 jam (lamanya tergantung pada respon klinis) adalah terapeutik untuk
infeksi HSV pada hospes terganggu imun. Dosis yang lebih besar digunakan untuk infeksi berat dan
sistemik. Dosis yang lebih rendah dapat digunakan untuk penyakit mukokutan lokal. Bila penderita
berespon, terapi dapat dipindah ke rute oral. Asiklovir oral, seperti yang digunakan pada penyakit genital,
dapat digunakan untuk menekan HSV berulang pada penderita seropositif selama masa imunosupresi
maksimal sesudah transplantasi organ atau sumsum tulang atau selama terapi induksi untuk leukemia,
limfoma, atau tumor padat. Penderita imunosupresi dengan infeksi HSV sering berulang, seperti mereka
yang dengan AIDS atau imunodefisiensi primer, mendapat manfaat terapi supresif oral yang lama. Pada
neonatus semua bentuk HSV diobati dengan dosis tinggi (10-20 mg/kg/dosis setiap 8 jam) asiklovir
selama 14-21 hari.
HSV resisten-asiklovir jarang pada hospes normal tetapi terjadi pada hospes terganggu imun yang diobati
dengan pemberian asiklovir berulang-ulang, intermitten. Bila penderita terganggu imun menderita infeksi
HSV yang tidak berespon atau memburuk meskipun dengan terapi asiklovir, virus harus dibawa ke
laboratorium rujukan untuk uji kerentanan obat. Obat pilihan untuk HSV resisten-asiklovir adalah
foskarnet intravenosa (asam fosfonoformat), 40 mg/kg/dosis setiap 8 jam. Obat ini mempunyai efek
samping serius (azotemia, gangguan elektrolit, anemia, granulositopenia) dosis asiklovir atau foskarnet
harus dimodifikasi pada penderita dengan gangguan ginjal.
Terapi simtomatik dan pendukung adalah sangat penting. Pada bayi terutama, eksema herpes dan
stomatitis dapat menyebabkan dehidrasi berat, syok, dan hipoproteinemia, memerlukan penggantian
cairan, elektrolit dan protein.
Irigasi oral harus digunakan untuk perawatan mulut; ceeprin 1 : 4.000 atau zeviran 1 : 1.000 mungkin
berguna. Analgesik lokal, seperti lidokain pekat atau lozenge benzokain, tidak didukung karena obat-obat
ini dapat menyebabkan bagian mulut anak mudah pecah dan teranastesi. Lesi genital dapat dibuat kurang
nyeri dengan menggunakan sitz baths. Agen pengering lokal memperlama penyembuhan dan dapat
menambah infeksi sekunder. Analgesik harus digunakan secara sistemik bila diperlukan. Antibiotika
berguna hanya pada pengobatan infeksi bakteri sekunder.
Masukan makanan dan cairan akan dipermudah dengan menyetujui gagasan anak. Cairan es dingin, es
cairan salju, atau semisolid sering diterima bila makanan lain ditolak.
Anak atau remaja dengan herpes oral atau genital berulang yang mungkin mempunyai masalah psikologis
yang berat dan mungkin mendapat manfaat dari bimbingan yang bersifat mencegah atau nasihat resmi.
Penyakit genital harus diobati dan praktik-praktik seks yang lebih aman ditekankan. Orang tua anak
dengan kebanyakan tipe infeksi HSV, seperti ginggivostomatitis atau infeksi kulit, harus diyakinkan
kembali bahwa infeksi HSV masa anak yang biasa tidak terkait dengan aktivitas atau penyalahgunaan
seksual.

Pencegahan
Asiklovir yang diberikan selama masa risiko tinggi pada hospes terganggu imun dan secara kronis pada
individu dengan penyakit genital atau oral yang sering berulang, menurunkan dengan jelas frekuensi
berulang. Asiklovir diberikan sebelum faktor pemicu diketahui, seperti cahaya matahari yang kuat,
biasanya mencegah kumat.
Penyebaran HSV dapat dibatasi dengan metode pengendalian infeksi standar. Lesi terbuka pada kulit,
tangan, dan membrana mukosa harus ditutup dengan baik. Pegulat dengan kemungkinan lesi kulit HSV
harus dikeluarkan dari latihan dan kompetisi sampai lesi-lesi sembuh. Lapisan lantai untuk bergulat harus
dibersihkan dengan larutan pembersih sekurang-kurangnya setiap hari. Anak-anak dengan
imunodefisiensi atau penyakit kulit kronis yang memberi kecenderungan pada infeksi HSV berat tidak
boleh dirawat oleh orang-orang dengan bisul herpes atau demam berlepuh aktif yang tidak tertutup. Lesi
herpes aktif yang dapat ditutup tidak merupakan alasan untuk mengeluarkan anak dari aktivitas perawatan
harian atau sekolah.
Ada penelitian aktif untuk mengembangkan vaksin untuk mencegah infeksi HSV. HSV dapat dicegah
pada beberapa model binatang, dengan vaksin virus hidup yang dilemahkan atau subunit partikel virus.
Beberapa vaksin glikoprotein HSV yang dimurnikan adalah antigenik pada manusia, namun belum
diketahui apakah dapat mencegah penyakit atau memperbaiki HSV berulang.

Anda mungkin juga menyukai