Makalah untuk Kuliah Presentasi Mahasiswa KNB Angkatan XIX Program Intensif Kelas Lanjut
Indonesian Language and Culture Learning Service (INCULS) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2014
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Lantar Belakang Dewasa ini isu krisis energi menjadi topik yang semakin serius. Misalnya, penggunaan bahan bakar fosil atau minyak bumi dalam jumlah besar, ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi sangatlah besar, baik untuk kebutuhan rumah tangga, transportasi, maupun industri. Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa minyak bumi semakin lama semakin cenderung menurun dan mungkin habis pada masa datang. Penggunaan minyak bumi tanpa dikontrol manusia dapat menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan dunia, bahkan juga memicu perubahan iklim dan pemanasan global (global warming). Hal ini semakin membuat negara-negara seluruh dunia mulai menyadari akibat tersebut, lalu mulai mempelajari dan meneliti energi alternatif atau energi terbarukan yang bisa menjadi solusi kebutuhan energi pada masa datang serta bisa mengurangi polusi di lingkungan (ramah lingkungan) dan risiko pemanasan global. Bahan bakar fosil atau minyak bumi merupakan energi yang tidak bisa diperbarui. Penggunaan minyak bumi selain meningkatkan karbon dioksida (CO 2 ), juga meningkatkan jumlah sulfur dioksida (SO 2 ) di udara. Gas polutan ini merupakan penyebab penting timbulnya hujan asam. Hal ini semakin menjadi alasan mengapa para peneliti mulai mempelajari dan meneliti energi alternatif atau energi terbarukan. Biodiesel sudah menjadi perhatian para peneliti untuk menghasilkan energi alternatif atau energi terbarukan serta bisa menjadi solusi terbaik bagi krisis energi pada masa datang, karena biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang mempunyai sifat dalam proses pembakaran serupa dengan diesel, tidak meningkatkan karbon dioksida (CO 2 ) di atmosfer, dan tidak menimbulkan pencemaran udara karena tidak mengandung sulfur, khususnya
1 2
sulfur dioksida (SO 2 ) yang menyebabkan hujan asam. Selain itu, biodiesel dapat diperbaharui/berkelanjutan. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang menjanjikan, yang dapat diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang, atau minyak bekas melalui proses kimiawi. Berbagai tumbuhan nabati bisa digunakan sebagai bahan bakar biodiesel seperti jagung, kelapa, kelapa sawit, dan kedelai. Salah satu tumbuhan nabati sudah menjadi perhatian para peneliti bahwa bisa menjadi sumber energi alternatif dan solusi terbaik bagi krisis energi pada masa datang, yakni mikroalga. Mikroalga kemungkinan akan menjadi sumber energi alternatif. Mikroalga merupakan salah satu organisme yang dapat dinilai ideal dan potensial untuk dijadikan sebagai bahan baku produksi biofuel (Li, et al., 2008 ; Raja, et al., 2008 ; Gouveia and Oliveira, 2009). Kandungan lemak dan minyak dalam mikroalga bisa mencapai 50%, yang bisa digunakan sebagai bahan baku produksi biodiesel. Mikroalga tidak beracun karena dalam proses pertumbuhannya, mikroalga menyerap karbon dioksida (CO 2 ) yang bisa mengurangi risiko pemanasan global dan tidak mengandung sulfur sehingga ramah lingkungan. Demikianlah mikroalga sudah menjadi perhatian para peneliti dalam penelitian cara menghasilkan biodiesel dari mikroalga serta bisa menjadi solusi terbaik bagi krisis energi pada masa datang.
3
BAB II ANALISIS
2.1 Biodiesel 2.1.1 Pengertian Biodiesel Biodiesel adalah bahan bakar untuk mesin diesel (solar) yang dihasilkan dari minyak nabati (vegetable oil), lemak binatang atau minyak bekas melalui proses kimiawi menjadi metil ester (methyl ester) atau etil ester (ethyl ester) yang mempunyai sifat serupa dengan minyak diesel. Biodiesel adalah bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable), yang dapat digunakan untuk mengganti minyak diesel secara langsung atau mencampurinya dengan minyak diesel, lalu digunakan pada mesin diesel yang tidak usah memodifikasi mesin diesel lagi. Biodiesel dapat dihasilkan dari berbagai jenis tumbuhan. Saat ini yang umum digunakan adalah penggunaan minyak kelapa sawit, jarak, kedelai, jagung dan juga mikroalga sebagai campuran solar. Bahan bakar biodisel lebih ramah lingkungan karena tingkat pencemarannya rendah dan bebas polutan sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx) serta timbal dalam bahan bakar minyak, CO 2 hasil pembakaran biodiesel akan dikomsumsikan kembali oleh tanaman untuk kebutuhan proses fotosintesisnya (siklus karbon) atau terurai secara biologis.
Gambar 2.1 Struktur Molekul Biodiesel 3
4
Biodiesel terbagi atas 3 jenis berikut ini. 1. Minyak nabati atau minyak lemak. Biodiesel jenis ini dihasilkan dari minyak nabati sejati atau lemak binatang seperti minyak kelapa, minyak kelapa sawit, minyak kedelai, dan lemak babi. Minyak ini dapat digunakan untuk mesin diesel, tidak usah mencampurinya atau menambah zat-zat kimia dan mengubah sifatnya. Akan tetapi, minyak ini mempunyai sifat yang terbatas dalam penggunaan karena sifatnya agak berbeda dengan minyak diesel seperti pembakaran di dalam mesin tidak sempurna, dan mesin tidak berkelanjutan. 2. Biodiesel tipe campuran. Biodiesel jenis ini merupakan campuran minyak nabati atau minyak lemak dengan minyak tanah, minyak diesel, atau apa pun supaya menjadi biodiesel yang mempunyai sifat serupa dengan minyak diesel seperti Coco-diesel yang merupakan campuran minyak kelapa dan minyak tanah. 3. Biodiesel tipe ester. Biodiesel jenis ini harus melalui proses kimiawi, yang disebut reaksi transesterifikasi (transesterification). Proses ini adalah reaksi kimia yang bereaksi antara trigliserida (triglycerides) yang dihasilkan dari bervariasi minyak nabati atau lemak seperti minyak kelapa, dan minyak kedelai dengan alkohol (metanol atau etanol) dengan cara menggunakan asam, atau alkali (basa) sebagai katalisator. Hasilnya adalah metil ester atau biodiesel. Biodiesel jenis ini mempunyai sifat tersamai dengan minyak diesel, pembakaran di dalam mesin lebih sempurna daripada minyak diesel, rendah karbon monoksida (CO), dan tidak mengandung sulfur seperti sulfur dioksida (SO 2 ), serta tidak beracun sehingga ramah lingkungan.
5
2.1.2 Metode Produksi Biodiesel Ada beberapa jenis metode produksi biodiesel yang telah dikembangkan dan diaplikasikan untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan kebutuhan energi untuk konversi bahan baku menjadi biodiesel. kebanyakan di tingkat industri adalah reaksi kimia seperti berikut ini. 1. Secara langsung atau mencampur (direct used and blending) adalah mengekstrak (extract) minyak dari tanaman nabati dengan cara memeras minyak dari bibit atau buahnya, lalu langsung digunakan pada mesin diesel. 2. Mikroemulsi (microemulsion) merupakan salah satu upaya untuk menurunkan viskositas minyak nabati. Metode ini dilakukan dengan melarutkan minyak nabati ke dalam larutan metanol, etanol atau 1-butanol sehingga dapat menaikkan volatilitas dan menurunkan titik nyala. 3. Perengkahan termal (thermal cracking or pyrolysis) adalah proses dekomposisi minyak nabati atau perubahan struktural kimia melalui cara mempertinggi pemanasan (high temperature). Keuntungan produk biodiesel dari metode ini adalah adanya kemiripan dengan struktur bahan bakar diesel dari minyak bumi, tetapi kelemahan metode ini adalah karena prosesnya tidak boleh terdapat oksigen, maka bahan bakar yang dihasilkan tidak teroksigenasi dan peralatan yang digunakan pada metode ini relatif mahal. 4. Reaksi transesterifikasi (transesterification) adalah metode yang paling umum dan dianggap sebagai metode terbaik dalam menghasilkan biodiesel di tingkat industri. Metode transesterifikasi tidak hanya sederhana tetapi juga lebih hemat dari segi biaya. Metode ini adalah reaksi kimia yang bereaksi antara trigliserida (triglycerides) yang dihasilkan dari bervariasi minyak nabati atau lemak seperti minyak kelapa dan minyak kedelai dengan alkohol (metanol atau etanol) dengan 6
cara menggunakan asam, atau alkali (basa) sebagai katalisator. Hasilnya adalah metil ester atau biodiesel dan gliserol (glycerol) sebagai produk sampingan. Gliserol yang dihasilkan dari proses ini dapat digunakan di industri pangan dan obat.
Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi dalam Produksi Biodiesel
2.2 Mikroalga (Microalga) Alga merupakan tumbuhan uniseluler (bersel satu) ataupun multiseluler (bersel banyak) yang tidak memiliki organ dengan perbedaan fungsi yang nyata. Alga bahkan dapat dianggap tidak memiliki organ seperti yang dimiliki tumbuhan pada umumnya seperti akar, batang, dan daun sehingga disebut juga dengan tanaman tingkat rendah. Alga dapat tumbuh hampir di seluruh perairan mana pun di belahan dunia, baik air tawar maupun air asin, bahkan air yang tercemar limbah industri. Alga memiliki berbagai zat warna (pigment) seperti zat hijau (Chlorophyll) yang berperan dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air.
Persamaan Reaksi Fotosintesis 6 CO 2 + 12 H 2 O C 6 H 12 O 6 + 6 O 2 + 6 H 2 O Trigliserida Metanol Metil ester Gliserol 7
Alga secara morfologi dapat terbagi menjadi dua golongan berikut ini. 1. Makroalga disebut juga ganggang laut merupakan alga multiseluler yang mudah dilihat dengan mata telanjang tanpa menggunakan mikroskop, dapat hidup di perairan tawar dan laut seperti alga hijau spesies Spirogyra, alga coklat seperti Macrocystis atau Kelps. Makroalga pada umumnya digunakan untuk produksi makan, obat-obatan, dan industri kimia liannya. Selain itu, kebanyakan makroalga adalah alga laut (seaweed) yang tidak umum digunakan untuk memproduksi biodiesel karena kurang mempunyai minyak dalam sel serta memerlukan tempat lebih banyak untuk budi dayanya. 2. Mikroalga atau fitoplankton adalah alga yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, beruniseluler, dan berkoloni. Mikroalga merupakan tumbuhan yang berklorofil dan mempunyai pigmen tumbuhan yang dapat menyerap cahaya matahari melalui proses fotosintesis. Dalam proses pertumbuhannya, mikroalga menyerap karbon dioksida (CO 2 ) dalam jumlah besar dan bisa tumbuh di segala jenis air, bahkan air limbah. Mikroalga tidak beracun dan tidak mengandung sulfur sehingga ramah lingkungan. Selain itu, mikroalga berpotensi untuk menghasilkan biomassa dan minyak dalam jumlah signifikan dan dapat dikonversi menjadi biodiesel. Menurut Kong et al. (2011) mikroalga merupakan sumber yang potensial untuk menghasilkan biodiesel.
Gambar 2.3 Sel Mikroalga dengan Mikroskop Elektron 8
2.3 Potensi Mikroalga Sebagai Bahan Baku Biodiesel Mikroalga memiliki kandungan minyak yang komposisinya mirip seperti tanaman darat lain, bahkan untuk jenis tertentu mempunyai kandungan minyak cukup tinggi melebihi kandungan minyak tanaman darat seperti kelapa, kelapa sawit, kedelai, dan jarak. Produksi biodiesel dari mikroalga telah diakui sebagai pilihan yang paling cocok dan memiliki keunggulan sebagai bahan baku biodiesel, jika dibandingkan dengan tanaman nabati lainnya seperti terlihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.1 Perbandingan Potensi Beberapa Bahan Baku Biodiesel Bahan baku Produktivitas (Liter/Hektar/Tahun) Kedelai 450 Camelina 581 Bunga matahari (sunflower) 956 Jarak (jatropha) 1.893 Kelapa sawit 5.950 Mikroalga 50.000 120.000 Sumber : Chisti, 2007 Menurut tabel di atas, terlihat bahwa mikroalga dapat memproduksi bahan bakar hingga 100 kali lebih banyak dibandingkan dengan kedelai ataupun bahan baku lain dalam luas lahan yang sama. Semua jenis mikroalga memiliki komposisi kimia sel yang terdiri dari protein, karbohidrat, asam lemak (fatty acids), dan nucleic acids. Ada jenis mikroalga yang memiliki komponen fatty acids lebih dari 40%. Komponen fatty acids inilah yang akan diekstraksi dan diubah menjadi biodiesel. Kandungan lipid dalam biomassa mikroalga kering spesies tertentu dapat mencapai di atas 50% 9
dengan pertumbuhan yang sangat cepat (Hossain, et al, 2008 ; Hu, et al, 2008 ; Massinggil, 2009). Beberapa jenis mikroalga berpotensi sebagai sumber minyak seperti terlihat pada tabel berikut ini. Kandungan minyak mikroalga bervariasi tergantung jenis mikroalganya. Tabel 2.2 Kandungan Minyak Beberapa Spesies Mikroalga Spesies mikroalga Kandungan minyak (% biomassa) Botryococcus braunii 25-75 Chlorella sp. 28-32 Nannochloropsis sp. 31-68 Neochloris oleoabundans 35-54 Schizochytrium sp. 50-77 Sumber : Chisti, 2007 Mikroalga menawarkan banyak manfaat dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lain seperti kedelai dan kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku biofuel. Mikroalga dapat dijadikan sebagai bahan baku biodiesel. Biodiesel dari mikroalga tidak beracun dan tidak mengandung sulfur sehingga ramah lingkungan karena bersifat terurai di alam (biodegradable) dan nilai emisinya rendah. 2.4 Proses Produksi Biodiesel dari Mikroalga (Ariyanti et al. 2011 ) Dalam proses pembuatan biodiesel dengan bahan baku mikroalga ada beberapa tahapan proses yang harus dilakukan yaitu proses pembudidayaan mikroalga, proses pemanenan mikroalga, proses ekstraksi minyak mikroalga, dan terakhir proses transesterifikasi untuk menghasilkan biodiesel dari mikroalga. 10
2.4.1 Proses pembudidayaan (kultivasi) Untuk proses kultivasi alga, ada dua metode yang dapat dipilih yaitu menggunakan kolam terbuka (open pond) dan fotobioreaktor (photobioreactor). 1. Kolam terbuka (open pond) Kolam terbuka merupakan sistem budidaya mikroalga tertua dan paling sederhana. Sistem tersebut sering dioperasikan secara kontinu (continuous). Umpan segar (mengandung nutrisi termasuk nitrogen, phosphor, dan garam inorganic) ditambahkan di depan paddlewheel dan setelah beredar melalui loop-loop mikroalga tersebut dapat dipanen di bagian belakang dari paddlewheel. Paddlewheel digunakan untuk proses sirkulasi dan proses pencampuran mikroalga dengan nutrisi. Beberapa sumber limbah cair dapat digunakan sebagai kultur dalam budidaya mikroalga. Pemilihan sumber limbah cair tersebut berdasarkan pemenuhan kebutuhan nutrisi dari mikroalga. Mikroalga laut dapat menggunakan air laut atau air dengan tingkat salinitas tinggi sebagai media kultur. Biaya operasional sistem kolam terbuka lebih rendah dibandingkan dengan sistem fotobioreaktor, namun sistem tersebut memiliki beberapa kelemahan. sistem kolam terbuka mengalami evaporasi akut, dan penggunaan karbon dioksida (CO 2 ) menjadi tidak efisien. Produktivitas mikroalga juga dibatasi oleh kontaminasi dari mikroalga atau mikroorganisme yang tidak diinginkan.
Gambar 2.4 Sistem kolam Terbuka (open pond) 11
2. Fotobioreaktor (photobioreactor) Fotobioreaktor dikembangkan untuk mengatasi permasalahan kontaminasi dan evaporasi yang sering terjadi dalam sistem kolam terbuka. Sistem tersebut terbuat dari material tembus pandang dan umumnya diletakkan di lapangan terbuka untuk mendapatkan cahaya matahari. Pada dasarnya, terdapat dua tipe fotobioreaktor, yaitu tipe flat plate dan tipe tubular. Apabila dibandingkan, tipe tubular lebih cocok untuk aplikasi di luar ruangan karena luasnya permukaan untuk proses iluminasi. Namun, flat plate fotobioreaktor juga sering digunakan karena tipe ini dapat meratakan intensitas penyinaran sehingga sel yang dihasilkan memiliki densitas yang lebih tinggi. Tipe flat plate fotobioreaktor lebih disukai karena: (1) konsumsi energi lebih rendah dan kapasitas transfer massa tinggi; (2) efisiensi fotosintetis tinggi; dan (3) tidak terdapat ruang yang tidak terkena cahaya. Desain dari tipe ini juga beragam mulai dari tipe gelas hingga PVC transparan dan tebal. Fotobioreaktor memiliki rasio luas permukaan dan volume yang besar. Produktivitas mikroalga menggunakan fotobioreaktor dapat mencapai 13 kali lipat total produksi dengan menggunakan sistem kolam terbuka
Gambar 2.5 Sistem Fotobioreactor 12
2.4.2 Proses Pemanenan Mikroalga (Harvesting) Pemanenan mikroalga merupakan faktor utama yang harus diatasi dalam tujuan penggunaan mikroalga sebagai sumber bahan bakar. Teknik-teknik seperti flokulasi (flocculation), filtrasi (filtration), dan sentrifugasi (centrifugation) biasa digunakan untuk pemanenan mikroalga. Teknik-teknik ini dapat dikombinasikan, bergantung pada ukuran mikroalga dan kualitas produk yang diinginkan, untuk menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi. 1. Flokulasi (flocculation) Flokulasi adalah proses dimana partikel zat terlarut dalam larutan membentuk agregat yang disebut flok. Proses flokulasi terjadi saat partikel zat terlarut saling bertumbukan dan menempel satu sama lain. Bahan kimia yang biasa disebut flokulan ditambahkan ke dalam sistem untuk membantu proses flokulasi. Sel mikroalga umumnya berukuran 5-50 m. Sel mikroalga dapat membentuk suspensi cukup stabil dengan bahan kimia yang memiliki muatan negatif pada permukaannya. Terdapat dua tipe flokulan yang digunakan yaitu: flokulan inorganik dan flokulan polimer organik/ polielektrolit. flokulasi dapat digunakan sebagai tahap awal untuk mempermudah proses selanjutnya. 2. Filtrasi (filtering) Metode pemisahan ini melibatkan media yang permeabel untuk melewatkan cairan sekaligus menahan padatan sehingga kedua komponen ini terpisah. Proses filtrasi memerlukan pressure drop untuk mendorong cairan melewati media filter. Pressure drop yang umum digunakan adalah gravitasi, vakum, tekanan atau sentrifugal. Menurut penelitian yang dilakukan, proses filtrasi yang paling efektif diaplikasikan untuk proses pemanenan mikroalga dengan ukuran sel yang besar adalah filtrasi bertekanan atau filtrasi vakum. Namun proses filtrasi tidak cocok untuk operasi 13
pemanenan mikroalga yang memiliki ukuran sel yang kecil seperti spesies Dunaliella. Gambar 2.6 menunjukkan skematik sistem filtrasi aliran tangensial. Kultur mikroalga dan retentat hasil proses filtrasi dipompakan ke modul filter. Filtrat dialirkan ke proses selanjutnya, sedangkan retentat dikembalikan lagi ke tangki umpan sehingga lama kelamaan mikroalga dalam tangki akan semakin terkonsentrasi.
Gambar 2.6 Skematik Sistem Filtrasi Aliran Tangensial
3. Sentrifugasi (centrifugation) Sentrifugasi merupakan proses yang biasa digunakan untuk memperoleh mikroalga dalam jumlah besar. Efisiensi dari proses ini bergantung pada jenis mikroalga yang digunakan, proses ini merupakan proses pemisahan yang menggunakan gaya sentrifugal sebagai driving force untuk memisahkan padatan dan cairan. Proses pemisahan ini didasarkan pada ukuran partikel dan perbedaan densitas dari komponen yang akan dipisahkan. proses sentrifugasi dengan kecepatan tinggi secara efektif dapat memisahkan mikroalga dari cairan medianya. Walaupun proses sentrifugasi efektif digunakan secara teknis, proses ini juga memiliki kelemahan terutama pada investasi alat yang tinggi dan biaya operasional yang tinggi.
14
2.4.3 Proses Ekstraksi Minyak Mikroalga Terdapat dua metode yang paling umum digunakan untuk mengekstraksi minyak dari mikroalga berikut ini. 1. Ekstraksi minyak menggunakan pelarut (Chemical solvent oil extraction) Minyak mikroalga dapat diekstraksi menggunakan senyawa kimia. Benzena dan eter dapat digunakan sebagai pelarut, namun senyawa kimia yang paling sering digunakan adalah heksana dengan titik didih yang berada antara 65-69 o C, yang relatif lebih murah. Ekstraksi menggunakan pelarut dibandingkan dengan ekstraksi secara mekanis memiliki kelebihan yaitu menghasilkan minyak yang lebih banyak (hampir 99%) dan membutuhkan biaya operasi yang lebih kecil. 2. Ekstrasi minyak dengan CO 2 superkritis (Supercritical Fluid Extraction) Metode ekstraksi ini menggunakan CO 2 superkritis sebagai pelarut. Sebuah senyawa dikatakan berada dalam keadaan superkritis ketika senyawa tersebut telah melewati suhu dan tekanan kritisnya. Untuk CO 2 , titik kritisnya berada pada suhu 304.1 K dan tekanan 73.8 bar. Diluar batas titik kritisnya, sebuah senyawa tidak dapat dikatakan sebagai gas atau cair, viskositas, konstanta dielektrik dan kapasitas panas, bersama dengan sifat-sifat lain berbeda jauh dari sifat pada fasa uap atau cairnya. Perubahan- perubahan ini yang memberikan CO 2 superkritis sifat pelarut dan ekstraksinya. 2.4.4 Proses Transesterifikasi Untuk mensintesis minyak mikroalga menjadi biodiesel dilakukan dengan proses transesterifikasi dengan bantuan katalis untuk mempercepat reaksi. Secara garis besar ada 3 macam transesterifikasi dengan katalis yang dapat digunakan, yaitu: 1) Transesterifikasi Katalis Basa 2) Transesterifikasi Katalis Asam dan 3) Transesterifikasi Menggunakan Enzim. 15
Proses transesterifikasi menggunakan katalis basa merupakan proses yang paling umum digunakan di industri sampai saat ini. Selain itu, proses ini juga menghasilkan biodiesel dengan kualitas cukup baik untuk digunakan sebagai bahan bakar. Dari sisi teknologi, banyak sekali teknologi yang berkembang untuk proses transesterifikasi ini, mulai dari proses perlakuan awal bahan baku (pretreatment), proses transesterifikasi, proses pemisahan biodiesel dan gliserol, proses pemisahan dan recovery metanol, proses pemisahan gliserol, hingga proses purifikasi biodiesel dengan air untuk meningkatkan kemurnian biodiesel.
16
BAB III PENUTUP
Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatif yang terbuat dari minyak nabati yang merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan bisa menjadi solusi terbaik bagi krisis energi pada masa depan. Dengan beragam tumbuhan yang ada di bumi dapat dilakukan banyak penelitian terhadap tanaman yang berkemungkinan memiliki potensi dalam menghasilkan biodiesel. Mikroalga adalah salah satu tumbuhan nabati yang memiliki potensi terbesar yang dapat digunakan sebagai tumbuhan alternatif untuk menghasilkan biodiesel. Akan tetapi, untuk membuat biodiesel dari mikroalga, telah diakui oleh konsumen umum perlu dipelajari dan dikembangkan untuk memperoleh informasi lengkap tentang produksi seperti teknik budi daya untuk meningkatkan jumlah sel, teknik untuk mengekstrak minyak dari sel mikroalga, dan kondisi optimum reaksi transesterifikasi dalam produksi biodiesel dari mikroalga. Bahkan, kualitas biodiesel dari mikroalga harus berstandar sama dengan biodiesel yang dihasilkan dari minyak nabati lain, termasuk jumlah biaya dalam produksi serta cara untuk mengurangi biaya produksinya. Masalah ini menjadi soal yang menantang bagi para peneliti dan akademisi dalam mempelajari dan meneliti untuk menghasilkan biodiesel dari mikroalga serta mengembangkan dan memperluas produksi di tingkat industri selanjutnya.
16 17
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, Handayani. 2011. Mikroalga Sebagai Sumber Biomassa Terbarukan : Teknik Kultivasi dan Pemanenan. METANA Journal. 06 : 35-40. Chisti, Y., 2007. Biodiesel from Microalgae, Biotechnology Advances. 25 : 293-306. Hossain ABMS, Salleh A, Boyce AN, Chowdhury P, and Naqiuddin M., 2008. Biodiesel Fuel Production From Algae As Renewable Energy, American Journal of Biochemistry and Biotechnology. 4 : 250254. Hu Q, Sommerfeld M, Jarvis E, Ghirardi M, Posewitz M, Seibert M., 2008. Microalgal Triacylglycerols As Feedstocks For Biofuels Production: Perspectives And Advances. The Plant Journal. 54 : 621639. Gouveia L, and Oliveira AC., 2009. Microalgae as A Raw Material For Biofuels Production. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. 36 : 269274. Li Y, Horsman M, Wu N, Lan C.Q, and Dubois-Calero N., 2008. Biofuels From Microalgae. Biotechnology Progress. 24 : 815820. Massinggil, M. J., 2009. 15 Years of Experience Producing microalgae Feedstock and Resulting Co-Products. Kent Bioenergy Corporation. San Diego. Raja R, Hemaiswarya S, Kumar NA, Sridhar S. and Rengasamy R., 2008. A Perspective On The Biotechnological Potential of Microalgae. Critical Reviews in Microbiology. 34 : 7788.