Anda di halaman 1dari 21

LATAR BELAKANG

Setiap tindakan pembedahan memerlukan tindakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang
disebut anestesi. Tindakan anestesia umum dibagi menjadi 4 stadium, dimulai dengan stadium
awal (analgesia), stadium II (eksitasi), stadium III (pembedahan), dan stadium IV (depresi
medulla oblongata). (farmakologi UI). Tahapan anestesi umum dipengaruhi oleh obat anestesi
yang digunakan, dosis, dan keadaan klinis yang dialami. (Katzung)
Kriteria obat anestesi yang baik adalah mulai kerja yang cepat tanpa efek samping dan
tidak merangsang mukosa dengan efek pemulihan yang harus cepat dan tanpa efek sisa. Karena
tidak dikenal obat yang memiliki sifat tersebut, diperlukan tindakan pemberian obat-obat tertentu
untuk dikombinasikan dengan obat anestesi yang digunakan. Tindakan ini disebut tindakan
premedikasi. (Tjay, 2007). Premedikasi adalah tahapan pemberian obat-obatan tertentu yang
diberikan kurang lebih 1 jam sebelum tindakan anestesia yang bertujuan untuk membantu proses
induksi. Tahap premedikasi dapat mengurangi rasa takut dan kecemasan pasien sebelum
anestesi. (Tjay, 2007; Arjun M Desai, General Anesthesia 2011 emedicine).
Salah satu tujuan premedikasi adalah untuk mengurangi rasa takut dan kecemasan pasien,
dan obat premedikasi yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepine. (Coerrsen et all,
1988). Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di sistem saraf pusat, terutama di
korteks serebral. Contoh obat premedikasi golongan benzodiazepine yang biasa digunakan dalam
anestesi adalah diazepam dan midazolam. Kedua obat ini merupakan golongan benzodiazepine
yang bersifat sedative, amnestic, dan anxiolytic yang dapat mengurangi kegelisahan akut.
(katzung).
Diazepam digunakan untuk mengurangi kecemasan dan menghasilkan efek sedatif,
penghilang nyeri yang ringan, dan amnesia sementara. (American Society of Health System
Pharmacists; AHFS Drug Information 2010. Bethesda, MD. (2010), p. 2576].
Midazolam merupakan obat premedikasi yang sering digunakan sebelum tindakan
anestesi. Kain et al menyatakan bahwa lebih dari 85% ahli anestesi di Atlanta menggunakan
midazolam sebagai obat premedikasi. Di Amerika Serikat 50% pasien anak diberikan
premedikasi midazolam sebelum pembedahan (Bergendhal et al, 2005).

Parenterally administered diazepam may cause hypotension and/or
respiratory depression, particularly if the drug is administered too
rapidly IV. Cardiovascular: bradycardia, cardiovascular
collapse, hypotension. (November 17, 2010:
http://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/drugInfo.cfm?id=1045])




2. Rumusan Masalah
Adakah perbandingan perubahan tekanan darah arteri rerata pada penggunaan midazolam dan
diazepam sebagai premedikasi anesthesia.
3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbandingan perubahan tekanan darah arteri rerata pada penggunaan
midazolam dan diazepam sebagai premedikasi anesthesia.
4. Manfaat Penelitian
A. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan bukti
empiris mengenai perbandingan perubahan tekanan darah arteri rerata pada penggunaan
midazolam dan diazepam sebagai premedikasi anesthesia pada Mahasiswa Universitas
Sebelas Maret.
B. Manfaat aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat aplikatif antara lain:
1. Memberikan rekomendasi untuk pemberian obat premedikasi anesthesia yang paling
bermanfaat.

TINJAUAN PUSTAKA
I. Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat obatan sebelum tindakan operasi yang pada
umumnya diberikan satu atau lebih obat-obatan lebih kurang 1 jam sebelum induksi
dimulai. (Tan, 2007)
Pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus memperhitungkan umur
pasien, berat badan, derajat kecemasan, status fisik, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat alergi, riwayat obat tertentu yang mungkin berpengaruh pada jalannya
anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana obat yang akan
digunakan. (Karyadi, 2000)

Tujuan dari premedikasi adalah:
1. Mengurangi rasa takut dan kecemasan sebelum anestesi dan operasi.
Tujuan tersebut dapat dicapai dengan penggunaan morfin atau petidin, dan
golongan sedative seperti klorpromazin, diazepam, dan thiopental.
2. Menimbulkan amnesia.
3. Menghasilkan analgesia
Pada operasi yang diperkirakan dapat menimbulkan nyeri hebat seperti hemoroid
dan operasi orthopaedi perlu pemberian analgetik pada tahap premedikasi.
Analgesia yang ditimbulkan berupa kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang dan
rasa nyaman pada pasien.
4. Sebagai bagian dari anesthesia yaitu proses induksi yang berjalan lebih mudah dan
dapat mengurangi jumlah obat yang diperlukan dalam anesthesia.
5. Mengurangi refleks yang tidak diinginkan karena efek obat maupun manipulasi
bedah.
6. Mengurangi sekresi lendir atau saliva yang dapat mengakibatkan kejang-kejang
pada traktus respiratorius.
7. Mencegah muntah setelah pembedahan. (Tan, 2007; Atkinson, 1984; Snow, 1982)
Golongan obat yang sering diberikan sebagai medikasi preanestetik yaitu:
1. Analgesik narkotik: morfin, meperidin, fentanil
2. Sedatif barbiturat: Pentobarbital dan sekobarbital
3. Benzodiazepine: Midazolam, diazepam, lorazepam
4. Antikolinergik: Atropin
5. Neuroleptik: Klorpromazin, prometazin
(Departemen Farmakologi dan Terapi FK UI, 2007)









Diazepam
Diazepam bekerja dengan cara meningkatkan frekuensi terbukanya kanal klorida Gamma-
aminobutyric acid (GABA),yang merupakan reseptor neurotransmitter inhibitor pada Sistem
saraf pusat.
Diazepam bersifat tidak larut air dan penggunaan secara intravena yang dapat mencapai otak
dalam hitungan detik. Diazepam dapat kembali menjadi lemak, yang menyebabkan tertinggalnya
di sistem saraf pusat kurang dari 1 jam dan durasi efeknya mencapai kurang dari 30 menit.
Diazepam bekerja di semua sinaps GABA
A
tapi kerjanya dalam mengurangi spastisitas sebagian
dimediasi di medulla spinalis. Hal ini menyebabkan diazepam dapat digunakan pada spasme otot
dimana saja, termasuk trauma otot lokal.
Keadaan ini menyebabkan hiperpolarisasi sel dan mencegah stimulasi sel saraf, yang
menghasilkan depresi umum refleks spinal. [International Programme on Chemical Safety;
Poisons Information Monograph: Diazepam (PIM 181) (1998) Available from, as of May 19,
2005: http://www.inchem.org/pages/pims.html]
Menurut Reves et al (1985), Diazepam tidak larut dalam air dan bentuk tersedianya mengandung
propylene glycol, dimana kandungan tersebut dapat menyebabkan nyeri pada injeksi dan iritasi
pembuluh darah. Diazepam tersedia dalam bentuk emulsi lemak (dikenal dengan nama
Diazemuls atau Dizac) yang tidak menyebabkan nyeri tetapi memiliki kekurangan yaitu
bioavabilitas yang lebih rendah. --25.
Farmakokinetik diazepam dipersulit oleh sirkulasi enterohepatik dan akumulasi metabolit
utamanya, yaitu desmethyldiazepam, mengganggu pengosongan diazepam di hepar sendiri.
(37,38). Volume distibusi untuk diazepam terletak diantara midazolam dan lorazepam, namun
pengosongan metabolitnya lebih lambat, menghasilkan waktu eliminasi yang lebih lama yaitu
20-50 jam. (43) Eliminasi waktu paruh diazepam semakin meningkat pada pasien tua dan obese
karena peningkatan volum distribusinya. (24,40). Pengosongan diazepam oleh hepar tidak
terpengaruh oleh umur. Pasien dengan sirosis mengalami peningkatan pada waktu eliminasi
karena efek gabungan dari penurunan pengosongan metabolis dan peningkatan isi distribusi
diazepam (40). Cimetidine menurunkan pengosongan hepar dari diazepam dan
desmethyldiazepam, dimana dapat memperpanjang eliminasi waktu paruh dari metabolitnya.
(26)
Farmakodinamik
Diazepam memiliki potensi setengahnya dari midazolam, dan seperenam dari lorazepam. Sama
dengan benzodiazepine lainnya, potensi amnesia dari diazepam lebih besar daripada potensi
sedasinya. Potensi diazepam juga meningkat pada pasien tua. Kelarutan lemak dari diazepam
hampir sama dengan midazolam in vivo. Onset sedasi oleh diazepam cukup cepat, sebuah 10 mg
diazepam secara intravena memiliki onset sedasi 60 sekon, dengan puncak pada 3-4 menit dan
durasi sedasi dari 1-6 jam.(49,50) Diazepam dapat digunakan sebagai induksi anestesi umum,
meskipun durasi aksinya panjang. Dosis induksi diazepam (0.5 mg/kg diberikan 5-15 detik)
menginduksi ketidaksadaran dalam 40 detik, namun durasi efeknya dapat bertahan dalam
beberapa jam. (51). Terdapat perbedaan farmakogenomik yang dapat mempengaruhi waktu
gawat darurat. (52) Terkadang diazepam digunakan untuk menidurkan pasien sebagain pilihan
yang lebih ekonomis dibandingkan lorazepam dan midazolam. Farmakokinetik diazepam
membuat akumulasi obat di jaringan perifer dan menyebabkan terhambatnya kegawatdaruratan
pada pasien. Dengan satu bolus diazepam intravena, waktu emergensi diperkirakan 10 menit,
dibandingkan dengan 31 menit waktu emergensi setelah pemberian 5 mg diazepam intravena
setiap 6 jam selama 3 hari, 24 jam setelah 3 hari penggunaan 10 mg diazepam iv setiap 6 jam.
Keadaan emergensi sebenarnya lebih lama dibandingkan yang diperkirakan, karena volume
distribusi yang meningkat dan waktu eliminasi yang semakin panjang.
(491)
Dosis diazepam sebaiknya dikurangi pada pasien usia tua ataupun pasien dengan sirosis, karena
peningkatan sensitivitas dan eliminasi yang lebih panjang pada pasien tersebut yang mengarah
pada sedasi yang berlebihan dan kegawatdaruratan. Diazepam sebaiknya dikurangi pada pasien
yang menerima opioid, obat sedatif lainnya, dan H2 blocker. Pasien obese sebaiknya menerima
dosis awal yang lebih besar namun dapat menyebabkan efek tidur yang lebih lama dengan
diazepam. Diazepam dapat diberikan intramuscular maupun intravena. Diazepam intravena
sebaiknya diberikan melalui kateter vena untuk mencegah iritasi vena dan thrombophlebitis
karena adanya penambahan benzylalcohol. Pada penggunaan diazepam sebagai sedatif sebelum
operasi, diazepam iv sebaiknya diberikan 3-5 menit sebelum prosedur, dibandingkan dengan 15-
30 menit penggunaan diazepam im. Meskipun onset cepat diazepam iv dapat menjadikannya
sebagai obat induksi yang baik, namun ada akibat gawatdarurat yang tertunda pada pasien ICU
yang masih diintubasi setelah anestesi. Diazepam digunakan secara intermitten, baik oral
maupun iv pada penggunaan di ICU. Dosis diazepam pada pasien dapat dikurangi karena dapat
timbulnya akumulasi diazepam dan desmethyldiazepam pada jaringan perifer. Kegawatdaruratan
dari sedasi dengan diazepam pada pasien ICU dapat diperbaiki dengan penggunaan diazepam
sebagai obat sedatif kerja cepat seperti propofol selama beberapa hari untuk mencegah efek tidur
yang berkelanjutan. Diazepam sebaiknya tidak digunakan untuk sedasi pada pasien ICU dengan
penyakit hepar karena pasien tersebut dapat mengalami tidur yang lebih panjang karena
penurunan pengosongan diazepam dan desmethyldiazepam.
Diazepam dapat menyebabkan nyeri signifikan pada injeksi dan kerusakan pembuluh darah yang
menghasilkan phlebitis. Hal ini disebabkan oleh kandungan propylene glycol dalam diazepam
pada injeksi intravena, karena sangat rendahnya kelarutan air di dalamnya. Formulasi alternative
adalah diazepamin, analog dengan cairan yang digunakan untuk melarutkan propofol, yang lebih
tidak mengiritasi. (Schou Olesen A, Huttel MS. Local reactions to i.v. diazepam in three
different formulations. Br J Anaesth 1980; 52: 60911.).

II. Midazolam

Midazolam (8-chloro-6-[2-fluorophenyl]-1-methyl-4Himidazol-[1,5-a][1,4] benzodiazepine)
merupakan benzodiazepine agonist yang mempunyai sifat yang sama seperti benzodiazepine
lainnya, yaitu sifat ansiolitik, sedasi, antikonvulsif dan amnesia. (Farmakologi UI; Barash, 2001)
Midazolam mempunyai potensial 1,5-2 kali lipat dari diazepam karena afinitasnya yang lebih
tinggi pada reseptor benzodiazepine dan merupakan obat yang sering digunakan dalam
premedikasi. (Lichtor JL, 1996; Barash, 2001).

Midazolam, berbeda dengan golongan benzodiazepine lain seperti diazepam dan lorazepam,
bersifat larut dalam air karena struktur cincin imidazole yang tersubstitusi. Nitrogen imidazole
mempunyai pKa sebesar 6.2, dimana dapat menjadi larut air dan berproton bila dibuffer dalam
larutan pada pH 3-4. Midazolam tersedia dalam bentuk asam (ph 3.5) yang dapat menghasilkan
iritasi lokal minimal dengan penggunaan secara injeksi intravena atau intramuskular. (Katzung;
reves/25; alex s evers Mervyn Maze Evan D. Kharasch anesthetic pharmacology 2011).

Pada pH 7.4, lebih dari 90% midazolam menjadi larut lemak dan tidak berproton. Pada pH 2,
75% molekul midazolam berubah menjadi konfigurasi cincin terbuka, sedangkan pada saat
pemeliharaan pada pH 3-4 di dalam vial, hanya sebagian kecil yang berubah menjadi cincin
terbuka sedangkan pada pH fisiologis tidak terjadi pembukaan cincin. Hal ini berbeda dengan
pemikiran bahwa kelarutan air pada midazolam terjadi dikarenakan pembukaan cincin, karena
setiap benzodiazepine menjadi bentukan cincin terbuka pada pH rendah. (alex s ever 409)
Hidroksilasi grup metil di dalam cincin imidazole akan menurun namun tidak mengeliminasi
aktivitas farmakologi dari midazolam. Hal ini yang menyebabkan midazolam merupakan obat
yang lebih short acting dibandingkan benzodiazepine lainnya. (alex s ever 409)



Keterangan:
Midazolam adalah derivat dengan gugusan triazolo digantikan oleh gugusan oksi-imidazol
pada tahun 1982. Midazolam mempunyai waktu awal yang cepat yaitu 30 menit dan bertahan
sampai 5-7 jam. Plasma t sangat singkat, yaitu 2 jam, dan derivate aktifnya 60-80 menit. Zat ini
berguna sebagai premedikasi karena efek pada timbulnya sedasi, ansiolitik dan amnesia
anterograde yang menguntungkan. (Tan)

Dosis intramuscular midazolam yaitu 0.050.1 mg/kg dan titrasi sebesar 1.0-2.5 mg secara
intravena pada saat yang sama. Tidak didapatkan adanya iritasi atau phlebitis karena injeksi oleh
midazolam. (barash)
Midazolam mempunyai waktu timbul dan absorpsi setelah injeksi intramuscular yang lebih awal
dibandingkan dengan diazepam. Onset timbul pada 5-10 menit setelah injeksi intramuscular,
dengan puncak yang timbul setelah 30-60 menit. Diperoleh juga penelitian yang menyatakan
bahwa midazolam dua kali lipat lebih berpotensi dibandingkan diazepam dalam dosis sesuai
berat badan yang sama. Hal ini dikarenakan absorbsi diazepam terlarut dalam propilenglikol
tidak secepat midazolam yang terlarut dalam air. (Barash, Dundee)

Dalam suatu penelitian dilaporkan bahwa level tidur yang cukup dalam dapat diperoleh pada 1-2
menit setelah penggunaan midazolam 5 mg secara intravena. (barash)
Selain itu diperoleh juga waktu pulih yang lebih awal pada penggunaan midazolam dibandingkan
diazepam yang kemungkinan dikarenakan oleh kelarutan lemak pada midazolam dan
distribusinya pada jaringan perifer dan biotransformasinya yang cepat. (barash)

Mekanisme kerja Obat

Midazolam bekerja pada daerah limbik, thalamus,dan hypothalamus pada Sistem Saraf pusat,
yang dapat menimbulkan efek ansiolitik, sedatif, hipnotik, muscle relaxant, dan efek
antikonvulsi. Efek benzodiazepine berasal dari proses inhibisi neurotransmitter gamma
aminobutyric acid (GABA). Benzodiazepin dapat menyebabkan berbagai jenis depresi system
saraf pusat, mulai dari sedasi ringan hingga koma.
/Benzodiazepines/[McEvoy, G.K. (ed.). American Hospital Formulary Service
- Drug Information 92. Bethesda, MD: American Society of Hospital
Pharmacists, Inc., 1992 (Plus Supplements 1992)., p. 1330]
Benzodiazepin dapat menyebabkan relaksasi otot skelet karena adanya inhibisi pada jalur aferen
polysinaps pada spinal, yang dapat berpengaruh pada inhibisi jalur aferen monosynaps. Obat ini
dapat menghambat refleks monosynaps dan polisinaps dengan menjadi inhibitor neurotransmitter
atau dengan menghambat transmisi pelepasan sinaps. Midazolam juga dapat mengakibatkan
depresi pada saraf motor dan fungsi otot.
/Benzodiazepines/[McEvoy, G.K. (ed.). American Hospital Formulary Service
- Drug Information 92. Bethesda, MD: American Society of Hospital
Pharmacists, Inc., 1992 (Plus Supplements 1992)., p. 1331] **PEER
REVIEWED**


Efek Samping

Angka kejadian yang timbul karena efek samping cukup rendah, meskipun depresi ventilasi dan
sedasi diperoleh lebih tinggi dari yang diperkirakan, terutama pada pasien tua atau pada saat obat
dikombinasikan dengan obat depresi system saraf pusat.
Pemberian 5 mg midazolam dapat menyebabkan amnesia yang berlangsung 20-32 menit, dimana
pemberian secara intramuscular dapat menimbulkan amnesia yang lebih panjang. (barash;
Dundee JW, Wilson DB: Amnesic action of midazolam. Anaesthesia 35:459, 1980)

Metabolisme obat

Midazolam dimetabolisme di hepar menjadi 2 derivat hidroksilasi yang kemudian diekskresikan
oleh ginjal.
/Midazolam/[American Medical Association. AMA Drug Evaluations Annual
1991. Chicago, IL: American Medical Association, 1991., p. 76] **PEER
REVIEWED**

Midazolam mengalami hidroksilasi oleh enzim mikrosom hepar untuk membentuk 1-
hyroxymethylmidazolam (alpha-hydroxymidazolam) sebagai metabolit utama dan menghasilkan
4-hydroxymidazolam. Sebagian 1-hydroxymethylmidazolam kemudian dihidroksilasi menjadi 1-
hydroxymethyl-4-hydroxymidazolam (alpha, 4-dihydroxymidazolam). Metabolit ini mengalami
konjugasi dengan asam glukoronat di hepar. Waktu tengah eliminasi dari metabolit utama, 1-
hydroxymethylmidazolam, diperkirakan 60-80 menit. Metabolit dari 1-
hydroxymethylmidazolam dan 4-hydroxymidazolam secara farmakologi dinyatakan aktif, namun
potensi keduanya pada konsentrasi yang sama diperkirakan lebih sedikit dibandingkan
midazolam. McEvoy, G.K. (ed.).
American Hospital Formulary Service - Drug Information 92. Bethesda, MD:
American Society of Hospital Pharmacists, Inc., 1992 (Plus Supplements
1992)., p. 1346] **PEER REVIEWED**
Glukoronat dari 1 hydroxymidazolam aktif secara farmakologi, yang dapat bersirkulasi dengan
konsentrasi tinggi di plasma yang diperkirakan dapat memberikan perpanjangan efek midazolam
pada pasien gagal ginjal saat sedasi. (alex s evers Mervyn Maze Evan D. Kharasch anesthetic
pharmacology 2011 hal 80).

Midazolam mengalami oksidasi oleh enzim hati untuk membuat metabolit hidroksilasi yang larut
air, yang dapat diekskresikan melalui urin. Namun, metabolit primer 1-
hydroxymethylmidazolam, mempunyai aktivitas depresi system saraf pusat. Pemecahan oleh
hepar midazolam 5 kali lebih baik dibandingkan lorazepam dan 10 kali lebih baik daripada
diazepam. Meskipun perubahan kecepatan darah hepar dapat mengganggu pengosongan
midazolam, umur mempunyai sedikit pengaruh pada eliminasi midazolam. (barash 252).

farmakodinamik. 487 alex
Efek sedasi midazolam bernilai dua kali lebih kuat daripada diazepam namun lorazepam bernilai
2-3 kali lebih kuat efek sedasinya dibandingkan midazolam. Berbeda dengan benzodiazepine,
efek amnesia midazolam lebih besar daripada efek sedatif yang ditimbulkan. Pasien yang sadar
setelah menerima midazolam kemungkinan menerima amnesia secara signifikan dalam beberapa
jam. Potensi midazolam meningkat secara signifikan pada pasien berusia tua. (20,44). Pada pH
7.4 midazolam bersifat larut lemak, yang menyebabkan onset efek sedative yang cepat, timbul
dengan waktu yang sangat cepat mengikuti injeksi intravena 1-2 mg midazolam. Waktu puncak
sedative yang ditimbulkan 3-5 menit, dengan durasi sedasi 15-80 menit. (19,45). Midazolam
dapat dijadikan induksi anestesi umum. Dosis induksi intravena dari midazolam (0.2-0.35 mg/kg
pada dewasa) diberikan melebihi 20-30 detik akan menginduksi anestesi umum pada 110 detik
(46). Hal ini menunjukkan waktu 2 kali lebih panjang daripada induksi thiopental. Gawat darurat
yang ditimbulkan anestesi umum setelah induksi dengan midazolam hampit 2.5lebih lama
dibangingkan kegawatdaruratan setelah induksi thiopental (47). Dengan administrasi singkat
oleh midazolam, kegawatdaruratan dari efek sedatif yang ditimbulkan sangat cepat karena
distribusi ulang midazolam ke jaringan perifer dan kecepatan metabolismenya.
Kegawatdaruratan yang ditimbulkan dapat dipercepat dengan menurunkan tingkat sedasi kepada
pasien. Waktu emergensi yang ditimbulkan oleh 4 mg midazolam secara intravena adalah 20
menit dibandingkan dengan 4,5 jam setelah infus titrasi midazolam terus menerus setelah 3 hari
untuk mencapai level sedasi dan 15,5 jam setelah 3 hari infus untuk mencapai level sedasi yang
dalam. Lama waktu amnesia yang ditimbulkan midazolam dapat mencapai 24 jam lebih lama
dibandingkan efek sedatifnya. (20)
FARMAKOKINETIK ALEX 485
Penggunaan midazolam, lorazepam, dan diazepam berbeda tergantung dari kondisi klinis yang
dialami, waktu penggunaan obat, total dosis dari obat yang digunakan, dan karakter pasien
seperti umur, berat, dan fungsi hati. (katzung)
Waktu eliminasi midazolam meningkat pada pasien usia tua karena penurunan pemecahan
metabolit, dan pada pasien obese karena peningkatan distribusi obat. (26) Pada pasein gangguan
hati, volume distribusi midazolam meningkat, dimana pemecahan metabolit menurun, yang
menghasilkan waktu eliminasi midazolam yang lebih panjang. (27) Opioid merupakan obat yang
dapat menurunkan pemecahan metabolit midazolam (28). Farmokokinetik dari infus midazolam
intravena kerja panjang untuk efek sedasi berbeda dengan farmakokinetik injeksi midazolam satu
bolus secara intravena. Pasien dengan penginfusan midazolam berkepanjangan memiliki waktu
pengosongan metabolit yang lebih lambat dan volume distribusi yang lebih besar, menghasilkan
eliminasi waktu paruh yang lebih lama untuk midazolam (20,29,30). Waktu paruh midazolam
infus pada pasien bergantung pada umur, tinggi, berat, permukaan tubuh, dan pertimbangan
lainnya. Perkiraan eliminasi waktu paruh midazolam sebesar 1.5-50 jam karena sensitivitas
konteks.(30,31).





An induction dose of midazolam (0.3 mg kg1) will cause a
rapid loss of consciousness, but recovery will be slower than
after equipotent doses of thiopental or propofol. In subhypnotic
doses, midazolam produces amnesia for events following drug
dosing (i.e., anterograde amnesia). Midazolam also has effects
as an anxiolytic, as well as a low risk for producing nausea and
vomiting. The myocardial depressant effects of midazolam are
less than those of both thiopental and propofol when the drugs
are used for induction of anesthesia. Midazolam also produces
some venodilation, leading to a decrease in venous return, but
unlike thiopental, midazolam has little effect on myocardial
contractility. In anesthetic doses, midazolam causes a dosedependent
decrease in hypoxic ventilatory drive. Subhypnotic
doses (in the absence of opioids) rarely cause apnea, but hypnotic
doses produce a frequency of apnea similar to that seen
with thiopental. There is marked synergy in depressing ventilatory
drive between benzodiazepines and either opiates or ethanol,
and in patients with COPD there is a greater sensitivity to
the ventilatory depressant effects of midazolam. Midazolam has
effects on cerebral metabolic rate (CMRO2) and ICP similar to
those of thiopental, but less in magnitude. It is an excellent
anticonvulsant, but even at high doses the benzodiazepines do
not cause burst suppression of the EEG or an isoelectric tracing.
Hence they will not offer neuroprotection.
Case reports to date suggest that midazolam is safe to use
in patients with a susceptibility to malignant hyperthermia.
However, the drug should be used with caution in patients
with acute intermittent porphyria, hereditary coproporphyria,
and variegate porphyria. There are no substantiated hypersensitivity
responses to midazolam.
Midazolam can be used for sedation in the operating room,
endoscopy suite, and ICU. In the operating room, propofol is
administered intravenously for both induction and maintenance
of anesthesia by intermittent bolus dosing or continuous
infusion. There are reports of the drug being administered by
patient control. Midazolam is formulated as 10 mg in either
2 mL or 5 mL ampoules. The recommended induction dose for
anesthesia is 0.10.3 mg kg1 given slowly until loss of the
eyelid reflex, response to commands, and voluntary movements.
The dose should be reduced in the patient older than
55 years. The drug may also be used for induction of anesthesia
in children older than 7 years. For intravenous sedation,
incremental doses of 2 mg are administered over 30 seconds; if
sedation is not achieved in 2 minutes, quarter incremental
doses should be given. Reduced doses should be used in the
elderly. Maintenance doses of 0.030.2 mg kg1 h1 by continuous
infusion can be used for sedation in the ICU, with the dose
being reduced in the hypovolemic, vasoconstricted, or
hypothermic patient. When given in combination with an
opioid, low doses (0.010.1 mg kg1 h1) should be used to
commence sedation. Alex 469
Benzodiazepine
Gamma-Amino Butyric acid (GABA) is an amino acid which acts as a neurotransmitter in the central
nervous system. It inhibits nerve transmission in the brain, calming nervous activity. As a supplement it
is sold and promoted for these neurotransmitter effects as a natural tranquilizer.
Terapi dengan menggunakan benzodiazepine terjadi melalui interaksi dengan reseptor Asam
Aminobutirat tipe A (GABA
A
). Reseptor GABA
A
mempunyai tempat ikatan untuk
benzodiazepine, barbiturate, dan neurosteroid. Tempat berikatan benzodiazepine dibentuk oleh
dan , terutama
2.
GABA merupakan asam amino yang merupakan neurotransmitter di system saraf pusat. GABA
bekerja dengan menginhibisi transmisi di otak, yang berfungsi menenangkan aktivitas saraf.
Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA
A
melainkan bekerja dengan meningkatkan
kepekaan reseptor GABAa. GABA dikeluarkan dari neuron presinaptik lalu berikatan dengan
reseptor GABA
A
di postsinaps kemudian terjadi pembukaan kanal klorida dimana berlangsung
influks klorida sehingga menimbulkan hiperpolarisasi sinaptik membran sel dan membuat
neuron post sinaps kurang tereksitasi. Akibat dari neuron post sinaps yang kurang tereksitasi
adalah timbulnya penghambatan potensial aksi yang menghasilkan efek anksiolisis, sedasi,
amnesia retrograde, potensiasi alcohol, antikonvulsi, dan relaksasi otot skeletal.


II. Kerangka Pemikiran

III. Hipotesis






IV. Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan
cross sectional.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah pasien yang dilakukan tindakan operasi di RSDM
Surakarta selama bulan Maret-Juli 2013.
2. Sampel
Pasien operasi dengan penggunaan obat premedikasi diazepam dan midazolam.
Pasien yang akan melakukan pembedahan dengan kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Laki-laki atau perempuan
2) Usia 16-45 tahun
3) Pasien termasuk ASA I-II
4) Tidak ada kontra indikasi dan alergi pemberian diazepam dan
midazolam
5) Berat badan normal (tidak obese)
6) Setuju ikut dalam penelitian

b. Kriteria Eksklusi
1) Pasien <16 tahun dan >45 tahun
2) Tergolong ASA III, IV, V
3) Ada kontra indikasi dan alergi terhadap diazepam dan
midazolam



D. Teknik Sampling
Sampel yang diambil sebagai probandus adalah yang memenuhi kriteria inklusi di
atas, dengan menggunakan teknik consecutive sampling, dimana setiap subyek yang
datang secara berurutan dan memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian
sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.
(Sastroasmoro, 2011)

E. Besar Sampel

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Obat premedikasi anestesi (midazolam dan diazepam)
2. Variabel terikat :
3. Variabel luar :
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan : usia, jenis kelamin, berat badan, status
fisik, suhu tubuh, jenis operasi, penyakit lain
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan : emosi, kecemasan, sensitivitas
individu terhadap obat (farmakokinetik dan farmakodinamik)

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : Obat premedikasi anestesi
Obat premedikasi dengan menggunakan diazepam dan midazolam. Pada percobaan
digunakan diazepam intravena dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan dan midazolam
intravena dengan dosis 0,1 mg/kg berat badan.
2. Variabel terikat
3. Variabel luar terkontrol
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Berat Badan
d. Status Fisik
e. Suhu Tubuh
f. Jenis Operasi
g. Penyakit Lain

H. Instrumen Penelitian
1. Midazolam
2. Diazepam
3. Alat monitor hemodinamik (tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen)
I. Sumber Data
Data yang diambil adalah data primer dari pengamatan langsung di Instalasi Bedah
Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

J. Rancangan Penelitian



K. Teknik Analisis Data
























Benzodiazepine

Reseptor terikat benzodiazepin meningkatkan efek inhibisi bermacam neurotransmiter. (Morgan,
GD. Et al, Clinical Anesthesiology. 4th edition. Lange Medical Books/McGraw-Hill.2006; hal :
194-204).




Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Lees synopsis of anaesthesia. 12th ed. Oxford :
Butterworth Co, 174 99, 200 28, 416 8 :Stoelting RK. Pharmacology and Physiology
in Anesthesic Practice 3rd ed. Philadelphia :
Lippincott-Raven, 1999: 126 39, 182
223, 748 51. Lichtor JL, Collins VJ. Benzodiazepines. Physiologic and pharmacologic bases of
anesthesia. Baltimore: William and Wilkins, 1996 : 534-8

Kain ZN, Mayes LC, Bell C, et al. Premedication in the United
States: a status report. Anesth Analg 1997;84:42732.
Curr Opin Anaesthesiol. 2005 Dec;18(6):608-13.
Clonidine: an alternative to benzodiazepines for premedication in children. Bergendahl
H, Lnnqvist PA, Eksborg S. Department of Anaesthesia, Intensive, and Pain Care, Karolinska
University Hospital, Huddinge, Sweden. henrik.bergendahl@karolinska.se

5. Coerssen G, Reves JG, Stanley TH. The benzodiazepines. In intravenous
anesthesia and analgesia. Philadelphia, Lea and Febiger, 1988;p.219-42

Barash, 2001. Page 409



25. Reves JG, Fragen RJ, Vinik HR, Greenblatt DJ: MidazolamPharmacology and uses.
Anesthesiology 62:310, 1985

3. Atkinson R S, Rushman GB. A synopsis of Anesthesia. Singapore. P.G
Publishing ; 1984;p.104-34.
4. Snow JS. Manual of anesthesia. Boston. Little Brown & co, 1982;p.11-14.
16. Dundee JW. New I V Anaesth. Br. J. Anesth 1980, 51 :p.641-48

Barash: halaman 409
Dundee JW, Wilson DB: Amnesic action of midazolam. Anaesthesia 35:459, 1980

Anda mungkin juga menyukai