Anda di halaman 1dari 32

1

EVALUASI POTENSI RUMPUT LAUT COKLAT (Phaeophyceae)


dan RUMPUT LAUT HIJAU (Chlorophyceae) ASAL PERAIRAN
TAKALAR SEBAGAI ANTIBAKTERI Vibrio spp.

SKRIPSI

ANDI RESKIKA
L221 05 027










JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
2

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budidaya perikanan merupakan bentuk pemeliharaan dan penangkaran
berbagai macam hewan atau tumbuhan perairan, yang dimulai dari proses
pemeliharaan untuk meningkatkan produksi, seperti penebaran yang teratur,
pemberian pakan, perlindungan terhadap pemangsa (predator) pencegahan
terhadap serangan penyakit dan pemanenan (Khurio, 2011). Usaha budidaya
perikanan merupakan salah satu sektor produksi pangan yang sangat cepat
perkembangannya di dunia. Meningkatnya usaha budidaya intensif di Indonesia,
negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur seperti, Thailand, Vietnam dan
India juga diikuti dengan meningkatnya wabah penyakit yang ditimbulkan oleh
golongan parasit, bakteri, virus dan jamur (Murtiati dan Endang, 1998).
Dalam budidaya intensif banyak permasalahan yang timbul seperti
padatnya densitas populasi, rendahnya kualitas dan kuantitas pemberian pakan
serta kualitas air (Usniarni, 2008). Jenis penyakit yang diakibatkan oleh infeksi
bakteri patogen adalah vibriosis (Vibrio spp.), red spot (Pseudomonas spp.),
furunkulosis (Aeromonas salmonicida), MAS (Motil Aeromonas Septicemia) oleh
Aeromonas hydrophila dan penyakit mulut merah (red-mouth disease) oleh
Yersinia sp. (Harikrishnan dan Balasundaram, 2008; Amlacher, 1992; Schlotfeld
dan Aldermann, 1995).
Ikan yang terjangkit penyakit-penyakit tersebut dapat mengakibatkan
kerugian ekonomi yang sangat besar, yang tanpa penanganan dapat
menyebabkan kematian massal organisme. Untuk mengatasi permasalahan ini,
selain perbaikan kondisi budidaya, maka penggunaan antibiotik guna mengobati
penyakit infeksi bakteri sangat dianjurkan. Pemakaian obat-obatan kimia dalam
3

jangka pendek memang efektif, tetapi pemakaian dalam jangka panjang dapat
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, bahkan dapat menimbulkan
resistensi. Penambahan antibiotik kedalam perairan tambak akan menimbulkan
kekebalan. Disamping itu, kandungan antibiotik pada komoditas ikan
menyebabkan jatuhnya harga ikan di pasaran internasional. Menurut Astuti dkk.
(2003) resistensi mikroba terhadap antibiotik sering terjadi secara berkelanjutan
dan terus-menerus akibat tingginya kasus infeksi, baik endemik maupun
epidemik, serta penggunaan obat-obatan secara terus menerus merupakan
faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya resistensi. Untuk
mengatasi permasalahan ini perlu perbaikan penggunaan antibiotik dalam
melawan infeksi bakteri patogen pada organisme budidaya. Salah satu cara
adalah dengan menguji kemampuan rumput laut dalam menghasilkan senyawa
antibakteri alami.
Rumput laut atau makroalga merupakan salah satu organisme laut yang
berperan dalam siklus rantai makanan sebagai produser primer. Untuk
mempertahankan diri dalam habitatnya, rumput laut memproduksi berbagai
senyawa yang terdiri dari senyawa primer yang merupakan senyawa yang
dihasilkan oleh makhluk hidup dan bersifat essensial bagi proses metabolisme
sel seperti fikokoloid, vitamin, asam lemak tak jenuh (UFA) dan karbohidrat.
Senyawa sekunder (metabolit sekunder) adalah senyawa metabolit yang tidak
esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik
atau berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya. Setiap organisme
biasanya menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang berbeda-beda seperti
terpenoid, steroid, kumarin, flavonoid, dan alkaloid, fungsi metabolit sekunder
adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan. Menurut Deval dkk. (2001), metabolit sekunder berperan
sebagai alat pertahanan inang (host) terhadap patogen, parasit, predator,
4

kompetitor dan epibiota dan produksinya sangat tergantung pada kondisi bio-
geografi (Hay, 1996). Sifat metabolit sekunder sebagai alat pertahanan diri
organisme laut ternyata mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber
bahan obat berbagai penyakit (Winston, 1988; Cragg dkk., 1997).
Salah satu upaya yang di lakukan adalah pemanfaatan dan penggunaan
antibakteri secara alami dan informasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia telah menemukan adanya khasiat dari beberapa alga merah yang
berpotensi sebagai antibakteri patogen, khusunya terhadap bakteri Vibrio spp.
Karagenan senyawa polisakarida yang dihasilkan dari beberapa jenis alga merah
memiliki sifat antimikroba, antiinflamasi, antipiretik, antikoagulan dan aktivitas
biologis lainnya.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian untuk
menguji kemampuan rumput laut coklat (Phaeophyceae) dan rumput laut hijau
(Chlorophyceae) dalam menghasilkan senyawa antibakteri. Hasil pengujian ini
dapat dikembangkan untuk mendapatkan jenis rumput laut yang tepat untuk
digunakan sebagai model polikultur rumput laut dengan ikan. Keberadaan rumput
laut penghasil antibakteri ini diharapkan dapat menurunkan jumlah bakteri
patogen, sehingga mampu menurunkan kemungkinan berkembangnya penyakit
yang menyerang ikan.







5

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan potensi rumput laut coklat
(Phaeophyceae) dan hijau (Chlorophyceae) sebagai antibakteri terhadap bakteri
patogen Vibrio spp. pada ikan.
Diharapkan manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dalam
penanggulangan penyakit Vibrio spp. pada usaha budidaya perikanan.
6

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioaktivitas Rumput Laut
Rumput laut atau makroalga (Phycophyta) merupakan salah satu
organisme laut yang berperan dalam siklus rantai makanan sebagai produser
primer. Secara umum definisi alga atau rumput laut adalah kelompok tanaman
tingkat rendah bersifat fototrof yang tidak mempunyai akar, daun dan batang
sebenarnya, namun memiliki thallus yang berfungsi sebagai alat vegetatif
(Thallophyta).
Para ahli mengklasifikasikan rumput laut berdasarkan pigmentasinya,
menjadi empat kelas, yaitu rumput laut hijau (Chlorophyceae), rumput laut coklat
(Phaephyceae), rumput laut merah (Rhodophyceae) dan rumput laut keemasan
(Crysophyceae). Selain mengandung klorofil, rumput laut juga mengandung zat
warna lainnya sesuai dengan namanya, dan bersifat autotrop, yaitu dapat hidup
sendiri tanpa tergantung dari makhluk lainnya. Pada umumnya rumput laut
mengandung air antara 12,95 27,50 %, protein 1,60 10,00 %, karbohidrat
32,25 63,20 %, lemak 3,5 11,00 %, serat kasar 3,00 11,40 % dan abu
11,50 23,70 % (Winarno, 1990). Selain karbohidrat, protein, lemak dan serat,
rumput laut juga mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A, B,
C, D, E dan K) dan makro mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan
selenium serta mikro mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium.
Kandungan asam amino, vitamin dan mineral rumput laut mencapai 10-20 kali
lipat dibandingkan dengan tanaman darat (Yudhi, 2009).
Rumput laut selama ini dimanfaatkan sebagai makanan untuk manusia.
Akan tetapi, dengan semakin banyaknya kemajuan ilmu pengetahuan,
pemanfaatan rumput laut sudah digunakan juga sebagai bahan baku pada
7

industri obat-obatan, tekstil, minuman, kosmetik, pasta gigi dan sebagainya
(Indriani dkk., 2003).
Selain kandungan primernya yang bernilai ekonomis, penelitian tentang
kandungan metabolit sekunder dari rumput laut menunjukan bahwa tanaman ini
berpotensi sebagai produser metabolit bioaktif yang beragam dengan aktivitas
yang sangat luas sebagai antibakteri, antivirus, antijamur dan sitotastik
(Zainuddin dan Malina, 2009).
Menurut Tortoa (2001) pengujian aktivitas bahan antimikroba secara in
vitro dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: metode dilusi dan metode difusi
agar. Metode dilusi biasa digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat
minimum) dan KMM (kadar mematikan minimum) dari bahan antimikroba. Prinsip
dari metode dilusi adalah menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi
medium cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Selanjutnya masing-
masing tabung diisi dengan bahan antimikroba yang telah diencerkan secara
serial, kemudian seri tabung diinkubasi pada suhu 37 C selama 18-24 jam dan
diamati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan antimikroba pada
tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada
pertumbuhan jamur adalah merupakan konsentrasi hambat minimum). Biakan
dari semua tabung yang jernih ditumbuhkan pada medium agar padat, diinkubasi
selama 24 jam, dan diamati ada tidaknya koloni jamur yang tumbuh. Konsentrsi
terendah obat pada biakan pada medium padat yang ditunjukkan dengan tidak
adanya pertumbuhan bakteri adalah merupakan konsentrasi bunuh minimum
bahan antimikroba terhadap bakteri uji.
Metode difusi agar dilakukan dengan cara menempatkan kertas filter yang
sudah mengandung bahan antimikroba tertentu pada medium lempeng padat
yang telah dicampur dengan bakteri yang akan diuji. Medium ini kemudian
8

diinkubasi pada suhu 37 C selama 18-24 jam, selanjutnya diamati adanya area
(zona) jernih disekitar kertas filter. Daerah jernih yang tampak disekeliling kertas
filter menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba bakteri yang sensitif
terhadap bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan
sekitar filter, sedangkan bakteri yang resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi
kertas cakram.

2.2 Bakteri Vibrio spp.
Vibrio spp. adalah suatu jenis bakteri Gram-negatif yang mempunyai
suatu tangkai yang bentuknya bengkok dan biasanya ditemukan di air laut, tawar
dan payau. Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob positif dan tidak membentuk
spora, bentuk sel batang dengan ukuran panjang antara 2-3m dan lebar 0,3
1,3m dan mempunyai flagella pada ujung sel (Afrianto dan Liviawaty, 1993).
Bakteri ini dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang pada batas-batas
suhu tertentu. Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri Vibrio spp. berkisar
antara 30-35C. sedangkan pada suhu 4C dan 45C bakteri tidak dapat tumbuh
dan pada suhu 55C akan mati (Prajitno, 2005). Berkembangbiak dengan cara
aseksual (Volk dan Wheeler, 1988). Bakteri Vibrio spp. berbahaya pada
budidaya air payau dan laut, karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan
sekunder. Sebagai patogen primer, bakteri masuk kedalam tubuh ikan melalui
kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder, bakteri menginfeksi ikan
yang telah terserang penyakit lain (Prajitno, 2005).
Vibriosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio spp. yang
mengakibatkan terjadinya pembengkakan pada organ tubuh. Vibriosis bersifat
akut dan ganas, karena dapat memusnahkan populasi ikan dalam tempo 1-3 hari
9

sejak gejala awal tampak. Ikan yang terserang sangat sulit untuk diselamatkan
sehingga seluruh ikan yang ada terpaksa dibuang atau dimusnahkan.
Penularannya dapat langsung melalui air atau kontak langsung antar ikan dan
menyebar sangat cepat pada ikan yang dipelihara pada kepadatan tinggi
(Prajitno, 2005).
Penyebaran penyakit ini sangat luas dan ditemukan pada berbagai jenis
ikan. Gejala klinis pada ikan yang terserang vibriosis antara lain tubuh berwarna
lebih gelap terutama di bagian punggung, terdapat luka dan pendarahan pada
mulut, alat kelamin, dubur, mata terlihat buram (Afrianto dan Liviawaty, 1993).
Adapun cara pengendalian penyakit tersebut dengan menggunakan
oxytetracycline sebanyak 0,5 ppm dicampur ke dalam pakan ikan selama 7 hari
(Anggraeni, 2010).

10

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Oktober 2010. Pengambilan
sampel rumput laut di perairan pantai Takalar. Pencucian, pengeringan dan
penghalusan rumput laut di Laboratorium Mikrobiologi FIKP Universitas
Hasanuddin. Proses ekstraksi dan pengujian antibakteri di Laboratorium
Bioteknologi dan Laboratorium Penyakit BRBAP Maros.

3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
No Alat Kegunaan
1 Cool box Wadah transportasi rumput laut
2 Plastik Sampel Menyimpan rumput laut yang telah di ambil
3 Baskom Wadah pencucian rumput laut
4 Saringan Wadah penyaring rumput laut
5 Nampan Wadah penyaringan rumput laut
6 Grinder Untuk menghaluskan rumput laut
7 Timbangan elektrik Menimbang bubuk/serbuk rumput laut
8 Labu Erlenmeyer Wadah ekstrak rumput laut
9 Corong Untuk menuang larutan
11

11 Stirer Alat ekstraksi
12 Rotavapor Untuk menguapkan pelarut
13 Pipet Untuk mengambil larutan
14 Vial Untuk menyimpan ekstrak kasar
15 Cawan Conway Wadah uji antibiotic
16 Inkubator Tempat inkubasi bakteri
17 Mikropipet Meneteskan larutanekstrak pada filter disk
18 Eppendorf Wadah pengenceran larutan ekstrak
19 Jarum ose Menggores bakteri
20 Bunsen Alat steril
21 Mistar Alat pengukur daya hambat
22 Timbangan analitik Menimbang ekstrak
23 Rumput laut Bahan uji
24 Bakteri Vibrio spp. Bakteri indikator
25 Larutan:
heksana,diklorometana, etil
asetat
Pelarut ekstraksi rumput laut
26 TSA (trypticase soy agar) Media tumbuh bakteri
27 Tetracycline Kontrol antibiotik
28 Kertas filter Untuk menyaring dan meneteskan larutan
ekstrak
29 Air laut steril Larutan pencuci rumput laut
30 Aquades Larutan pembilas rumput laut



12

3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Pengumpulan Sampel Rumput Laut
Rumput laut yang digunakan sebagai sampel diambil dan dikumpulkan
dari pantai Punaga Takalar. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
menyisir pantai dan adapun cara pengambilan sampel dengan cara bagian ujung
thallus dipotong dengan gunting atau diambil dengan menggunakan tangan.
Setelah dikoleksi, rumput laut kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel
dan diberi label sesuai stasiun tempat pengambilan dan selanjutnya dimasukkan
ke dalam cool box yang telah diberi es batu agar kesegaranya tetap terjaga
selama pengangkutan.

3.3.2 Proses Pencucian Sampel Rumput Laut
Setelah sampai di Labolatorium sampel terlebih dahulu disortir sambil
dibersihkan dari batu kerikil dan kotoran-kotoran yang menempel. Setelah disortir
dan dibersihkan kemudian dicuci dengan air laut steril yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya proses osmosis, yaitu keluarnya cairan dari tubuh rumput
laut. Setelah itu sampel ditiriskan dengan menggunakan saringan, sampel
kemudian dicuci dengan air tawar atau air kran, untuk membersihkan garam-
garam yang menempel. Terakhir sampel dibilas dengan aquades untuk
membersihkan kotoran dan garam yang masih menempel, pembilasan dengan
aquades bertujuan agar sampel betul-betul terbebas dari segala endapan
kotoran/material, garam-garam yang masih terikut dengan air tawar/air kran. dan
dari mikroorganisme.

13

3.3.3 Proses Pengeringan Sampel Rumput Laut
Sebelum dikeringkan sampel terlebih dahulu ditimbang guna diketahui
berat biomassa basah, setelah itu sampel dikeringkan dibawah sinar matahari.
Selama proses pengeringan, rumput laut selalu dibolak balik agar terkena sinar
matahari secara merata sehingga dapat kering secara merata. Persentase berat
kering/berat basah dari masing-masing rumput laut dihitung dengan rumus
berikut (Zainuddin dan Malina, 2009).


()
()


3.3.4 Proses Penghalusan Sampel Rumput laut
Untuk memudahkan dalam ekstraksi rumput laut, rumput laut kering
terlebih dahulu dihaluskan dengan blender. Tepung yang telah dihaluskan
kemudian disaring untuk mendapatkan butiran yang seragam. Setelah halus
tepung rumput laut kemudian dimasukkan dalam kantong plastik yang telah
diberi label, ditimbang dengan timbangan elektrik dan disimpan dalam kondisi
kering, untuk proses selanjutnya yaitu proses ekstraksi.

3.3.5 Ekstraksi Rumput Laut
Ekstraksi adalah proses pemisahan dari bahan padat ataupun cair
senyawa organik dari campurannya dengan yang memanfaatkan perbedaan sifat
kelarutan dari masing-masing komponen dengan bantuan pelarut tertentu.
Proses ekstraksi rumput laut menggunakan metode maserasi dengan stirer
14

selama 24 jam (Zainuddin, 2006). Maserasi merupakan proses penyaringan
dengan cara serbuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan
susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 1989).
Lamanya waktu maserasi berbeda-beda tergantung pada sifat atau ciri campuran
serbuk dan pelarut. Lamanya harus cukup supaya dapat memasuki semua
rongga dari struktur serbuk dan melarutkan semua zat yang mudah larut.
Lamanya maserasi bisa memerlukan waktu beberapa jam atau beberapa hari
untuk ekstraksi yang optimum. Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur
15-20C dalam waktu selama tiga hari sampai bahan-bahan larut (Ansel, 1989).
Pelarut yang digunakan adalah yang berbeda tingkat polaritasnya yang
dimulai dari pelarut non-polar ke pelarut polar, ini dikarenakan index polaritas dari
pelarut non-polar lebih kecil dibandingkan pelarut polar. Index polaritas dari
pelarut n-heksana ialah 0,0 diklorometana 3,1 dan etil asetat 4,4 (Satyajit dkk.,
2006). Ekstraksi dimulai dari pelarut n-heksana (CH
3
-CH
2
-CH
2
-CH
2
-CH
2
-CH
3
)
dilanjutkan dengan diklorometana (CH
2
Cl
2
). Diklorometana adalah senyawa
organik cair, tidak berwarna dan mudah menguap banyak digunakan sebagai
pelarut. Terakhir diekstraksi dengan etil asetat (CH
3
CH
2
OC(O)CH
3
), yaitu
senyawa organik yang merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Etil asetat,
adalah pelarut polar menengah (semi-polar) bersifat volatil. Etil asetat sering
digunakan sebagai pelarut karena dapat menyaring senyawa-senyawa yang
dapat memberikan aktivitas antibakteri, seperti senyawa flavonoid, pilohidroksi
dan fenol (Wikipedia, 2011).
Senyawa polar adalah senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu
ikatan antar elektron pada unsur-unsurnya, hal ini terjadi karena unsur yang
berikatan tersebut mempunyai nilai keelektronegatifitas yang berbeda atau
senyawa yang dapat larut dalam air atau pelarut polar lain, seperti n-heksana
15

dan metanol. Sedangkan senyawa non-polar adalah senyawa yang tidak dapat
larut dalam air seperti etil asetat.
Setelah proses ekstraksi, pelarut organik diuapkan secara vakum pada
rotavapor sampai diperoleh ekstrak kasar. Ekstrak kasar ditimbang beratnya dan
disimpan di freezer bersuhu -20C sampai digunakan untuk pengujian.
Ekstraksi dilakukan dengan cara memasukkan 25 atau 50 g bubuk halus
rumput laut ke dalam labu Erlenmeyer berukuran 1 L dan diberi 250 atau 500 ml
pelarut n-heksana (1:10, b/v). Larutan ekstrak disaring melalui kertas saring
Wattman no.1, pelarutnya diuapkan pada rotavapor bertekanan rendah sampai
volume 5-10 ml. Konsentrat ekstrak disimpan pada botol kecil dan disimpan di
freezer bersuhu -20C dalam kondisi kedap udara untuk analisa lebih lanjut.
Sementara itu, residu rumput laut dari ekstrak n-heksana dikeringkan pada suhu
kamar selama 24 jam dan kembali diekstraksi berturut-turut dengan pelarut
diklorometana dan etil asetat (Zainuddin, 2009).


Gambar 1. Skema ekstraksi rumput laut secara berturut-turut dengan pelarut
yang berbeda polaritas.

Diklorometana
Etil asetat
n-heksana
--Dibersihkan
--Dikeringkan dengan sinar matahari
--Dihancurkan dengan grinder
--Disaring
--Diekstraksi dengan pelarut berbeda polaritas menggunakan stirer selama 24 jam
--Larutan ekstrak disaring dan pelarut dievaporasi pada rotavapor
Sampel Rumput Laut
aut








t Laut
16

3.3.6 Pengujian Antibakteri Dengan Metode Difusi Agar
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar
(Zainuddin, 2006) pada cawan petri berukuran 90 mm. Untuk kultur isolat bakteri
digunakan media Nutrient Agar II dengan komposisi sebagai berikut : Pankreatik
Pepton 10,0 g; NaCl 5,0 g ; Agar 12,0 g dan aquades 1000 ml. Pembuatan media
kultur adalah sebanyak 25 g NA II dilarutkan dalam 1000 ml aquades. Agar
dicampurkan dengan aquades dalam labu Erlenmeyer di atas hot-plate kemudian
disterilkan pada autoklaf pada suhu 121C selama 20 menit. Agar kemudian
dituang sebanyak 20 ml pada cawan petri, setelah padat digoreskan dengan
bakteri sebanyak jarum ose dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37C
dalam inkubator. Untuk pengujian antibiotik, isolat bakteri yang telah dikultur
sebelumnya diambil sebanyak 1 jarum ose dan dilarutkan dalam 3 ml larutan
agar NA II yang hangat dan dituang ke dalam cawan Petri 90 mm sampai
mengeras.
Disk dari kertas filter berukuran diameter 6 mm yang telah disterilkan
ditetesi dengan larutan uji sebanyak 2 mg/50 L. Larutan uji dibuat dengan
melarutkan kembali masing-masing ekstrak kasar dalam pelarut yang digunakan
dalam ekstraksi. Sebagai kontrol negatif digunakan pelarut yang digunakan untuk
ekstraksi. Pelarut diuapkan pada suhu kamar dalam keadaan steril. Setelah
pelarut menguap, filter disk kemudian diletakkan pada permukaan agar. Sebelum
diletakkan pada inkubator terlebih dahulu cawan diletakkan dalam lemari dingin
pada suhu 4C selama 3 jam untuk proses pra-difusi dan selanjutnya diinkubasi
pada suhu 37C selama 24 jam untuk bakteri.


17

3.3.7 Analisis Deskriptif
Sebagai kontrol positif, digunakan antibiotik tetracycline dan untuk
kontrol negatif digunakan pelarut yang sesuai ekstrak. Setelah masa inkubasi,
diameter zona hambat atau daerah terang diukur dengan menggunakan jangka
sorong. Perhitungan aktivitas dilakukan secara deskriptif dengan mengukur
diameter zona hambat setelah 24 jam masa inkubasi. Tingkatan daya hambat
ditentukan seperti yang tercantum dalam Tabel 2 di bawah ini (Zainuddin, 2006).

Tabel 2. Data daya hambat
No Daya Hambat Keterangan
1 26 mm Sangat Bagus
2 16-25 mm Bagus
3 11-15 mm Cukup
4 10 mm Lemah


18

IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Biologi Rumput laut
Dari pengambilan sampel di perairan Takalar diperoleh hasil seperti yang
tercantum pada Tabel 3, hasil identifikasi rumput laut menggunakan Bhavanath
jha dkk. (2009) diperoleh data klasifikasi seperti pada tabel berikut.

Tabel 3. Klafikasi dan gambar rumput laut
No Spesies Rumput laut Kelas, Ordo dan Famili Gambar Alga
1. Dictyopteris acrostichoides
Phaepyceae, Dictyotales,
Dictyotaceae

2. Padina boergesenii
Phaepyceae, Dictyotales,
Dictyotaceae


3. Rosenvingea orientalis
Phaepyceae, Scytosiphonales,
Chnoosporaceae


4. Sargassum prismaticum
Phaepyceae, Fucales,
Sargassaceae

5. Codium dwarkense
Chlorophyceae, Bryopsidales,
Codiaceae

19

6. Enteromorpha linza
Chlorophyceae, Ulvales,
Ulvaceae


Berdasarkan dari Tabel 3 hasil identifikasi diatas terlihat yang dominan di
perairan Takalar adalah rumput laut coklat (Phaeophyceae) sebanyak empat
jenis (66%) yaitu Dictyopteris acrostichoides, Padina boergesenii, Rosenvingea
orientalis dan Sargassum primasticum. Hal ini sesuai dengan pendapat Aslam
(1991) mengemukakan bahwa rumput laut coklat (Phaeophyceae) tersebar luas
di Indonesia dan tumbuh pada perairan yang terlindung maupun yang berombak
besar. Tetapi hasil penelitian kami berbeda dengan yang ditemukan oleh Ridwan
(2009), yang menyatakan bahwa hasil koleksi rumput laut yang diambil dari
perairan Takalar terbanyak adalah rumput laut merah (Rhodophyceae) Gracilaria
verrucosa. Dari ordo Dictyotales terdapat dua jenis yang sama (50%), dan
masing-masing satu jenis (25%) dari ordo Scytosiphonales dan Fucales.
Sementara jenis rumput laut hijau (Cholorophyta) yang ditemukan hanya dua
jenis (34%) yaitu Codium dwarkense dan Enteromorpha linza. Dan dari ordo
Bryopsidales hanya satu jenis (50%) begitu pula dari ordo Ulvales ditemukan
hanya satu jenis (50%)..





20

4.2 Biomassa Rumput laut
Hasil penimbangan berat basah dan berat kering tertera pada Tabel 4
dan Gambar 2.

Tabel 4. Hasil penimbangan biomassa basah dan kering rumput laut.
No. Spesies Rumput laut Kelas Berat Basah
(BB) (g)
Berat
Kering
(BK) (g)
Persentase
BK/BB (%)
1.
Dictyopteris acrostichoides
Phaeophyceae 1008 110,9 11
2. Padina boergesenii Phaeophyceae 540 58,22 10,78
3.
Rosenvingea orientalis
Phaeophyceae 265,04 52 19,62
4.
Sargassum prisnaticum
Phaeophyceae 597,3 74 12,39
5. Codium dwarkense Chlorophyceae 1129 74,14 6,57
6. Enteromorpha linza Chlorophyceae 433 37,47 8,65



Gambar 2. Hasil penimbangan biomassa rumput laut
0
200
400
600
800
1000
1200

B
i
o
m
a
s
s
a

R
u
m
p
u
t

L
a
u
t

(
g
)

Berat Basah
Berat Kering
21

Berdasarkan penimbangan berat basah diperoleh hasil yang tertinggi
yaitu dari rumput laut hijau Codium dwarkense seberat 1129 g dan yang
terendah dari rumput laut coklat Rosenvingea orientalis seberat 265,04 g (Tabel
4). Setelah melalui proses pengeringan hasil berat kering yang tertinggi yaitu
pada rumput laut Dictyopteris acrostichoides seberat 110,9 g, sedangkan berat
kering yang terendah terdapat pada rumput laut Enteromorpha linza seberat
37,47 g. Persentase biomassa kering per biomassa basah berkisar antara
6,57% sampai 19,62%. Persentase tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut coklat
R. orientalis sebesar 19,62% sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh rumput
laut hijau C. dwarkense sebesar 6,57%.
Dari data rendemen berat kering terlihat bahwa rumput laut coklat
(Phaeophyceae) R. orientalis memiliki rendemen berat kering tertinggi
sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh rumput laut hijau C. dwarkense .
Tingginya rendemen berat kering R. orientalis dapat disebabkan karena jenis ini
sedikit menyerap air, substansi thallus keras dan mengandung zat kapur
(Suptijah, 2003). Sedangkan rumput laut C. dwarkense memiliki persentase yang
terendah karena C. dwarkense memiliki kandungan air yang lebih banyak
sehingga membutuhkan waktu kering lebih lama. Selain itu, rumput laut ini
memiliki bentuk yang unik dimana saat kering tubuhnya mengalami penyusutan
dan mengkerut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kandungan air rumput laut
coklat lebih rendah dari rumput laut hijau. Rendahnya kandungan air pada
rumput laut coklat kemungkinan disebabkan oleh tingginya kandungan
fikokoloidnya. Begitupun sebaliknya pada rumput laut hijau, makin tinggi
kandungan airnya maka makin rendah kandungan fikokoloidnya.


22

4.3 Berat Ekstrak Rumput Laut Coklat dan Hijau
Persentase ekstrak kasar yang diperoleh dari ekstraksi dapat dilihat pada
Tabel 5 dan Gambar 3 dibawah ini.
Tabel 5. Persentase ekstrak kasar yang diperoleh dari ekstraksi 25 atau 50 g
biomassa kering dengan 250 atau 500 mL pelarut organik.

No Spesies Rumput laut Kelas Ekstrak
Ekstrak
Kasar
(mg)
Ekstrak
Kasar (%)
1.
Dictyopteris acrostichoides
Phaeophyceae n-heksana 519.6 1.04
2. Dictyopteris acrostichoides Phaeophyceae DCM 662 1.32
3. Dictyopteris acrostichoides Phaeophyceae EtOAc 328.4 0.66
4. Padina boergesenii Phaeophyceae n-heksana 226.9 0.45
5. Padina boergesenii Phaeophyceae DCM 144.4 0.29
6. Padina boergesenii Phaeophyceae EtOAc 282.6 0.57
7. Rosenvingea orientalis Phaeophyceae n-heksana 218.1 0.44
8. Rosenvingea orientalis Phaeophyceae DCM 213 0.43
9. Sargassum prismaticum Phaeophyceae n-heksana 215.7 0.43
10. Sargassum prismaticum Phaeophyceae DCM 238.6 0.47
11. Sargassum prisnaticum Phaeophyceae EtOAc 171.4 0.34
12. Codium dwarkense Chlorophyceae n-heksana 147.5 0.3
13. Codium dwarkense Chlorophyceae DCM 222.4 0.45
14. Enteromorpha linza Chlorophyceae n-heksana 59.4 0.24
15. Enteromorpha linza Chlorophyceae DCM 66.6 0.27


23


Gambar 3. Biomassa ekstrak rumput laut
Dari gambar grafik ekstrak diatas diperoleh sebanyak 15 ekstrak organik
dari enam spesies rumput laut yang diperoleh dengan cara ekstraksi
menggunakan tiga pelarut yang berbeda. Adapun hasil berat ekstrak dari
larutan n-heksana berkisar antara dari 59,4 mg sampai 519,6 mg, berat ekstrak
tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut Dictyopteris acrostichoides seberat 519,6
mg dan terendah ditunjukkan oleh rumput laut hijau Enteromorpha linza seberat
59,4 mg. Berat ekstrak dari larutan diklorometana berkisar antara 66,6 mg
sampai 662 mg, berat ekstrak tertinggi untuk larutan diklorometana ditunjukkan
oleh rumput laut coklat D. acrostichoides seberat 662 mg dan yang terendah
ditunjukkan pada rumput laut hijau E. linza seberat 66,6 mg. Berat ekstrak
rumput laut dari larutan etil asetat berkisar antara 171,4 mg sampai 328,4 mg,
berat ekstrak tertinggi untuk larutan etil asetat ditunjukkan oleh rumput laut
coklat D. acrostichoides seberat 328,4 mg dan yang terendah ditunjukkan oleh
rumput laut Sargassum prismaticum 171,4 mg. Walaupun berbeda pelarut Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Maduriana dan Sudira
0
100
200
300
400
500
600
700
n-heksana DCM EtOAc
B
i
o
m
a
s
s
a

E
k
s
t
r
a
k

(
m
g
)

Dictyopteris acrostichoides
Padina boergesenii
Sargassum prismaticum
Rosenvingea orientalis
Codium dwarkense
Enteromorpha linza
24

(2009) yang menggunakan pelarut metanol dimana dari hasil berat ekstrak yang
tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut coklat (Phaeophyceae) Padina crassa
seberat 900 mg dan terendah dari rumput laut hijau (Chloropyceae) Ulva
pertusa seberat 450 mg.

4.4 Pengujian Aktivitas Antibiotik dari Rumput Laut Terhadap Vibrio
alginoliticus

Dari data hasil aktivitas penghambat bakteri daya hambat ekstrak rumput
laut terhadap bakteri Vibrio alginoliticus dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah
ini.

Gambar 4. Daya hambat ekstrak rumput laut terhadap bakteri Vibrio
alginoliticus


Dari gambar di atas menyatakan dari empat ekstrak n-heksana yang
diujikan, sebanyak dua ekstrak (50%) yang memperlihatkan aktivitas
penghambat rendah. Aktivitas penghambatan ekstrak ditunjukkan oleh rumput
laut coklat Dictyopteris acrostichoides dengan diameter zona hambat 12 mm
(cukup), disusul oleh ekstrak rumput laut hijau Enteromorpha linza dengan
0
5
10
15
20
25
30
n-heksana DCM EtOAc
D
a
y
a

H
a
m
b
a
t

(
m
m
)

Dictyopteris acrostichoides
Rosenvingea orientalis
Sargassum prismaticum
Enteromorpha linza
25

diameter zona hambat 8 mm (lemah). Dan dari empat ekstrak diklorometana
yang diujikan, sebanyak tiga ekstrak (75%) yang memperlihatkan aktivitas
penghambat. Aktivitas penghambat tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut hijau
Enteromorpha linza dengan diameter zona hambat 27 mm (sangat bagus)
disusul oleh ekstrak rumput laut coklat Rosenvingea orientalis dengan diameter
zona hambat 22 mm (bagus) dan aktivitas penghambat terendah ditunjukkan
oleh ekstrak rumput laut coklat Dictyopteris acrostichoides dengan diameter
zona hambat 10 mm (lemah). Demikian pula dengan etil asetat, dari empat
ekstrak yang diujikan hanya satu ekstrak (25%) yang memperlihatkan aktivitas
penghambat yaitu rumput laut coklat Sargassum prismaticum dengan diameter
zona hambat 21 mm (bagus). Kontrol positif yang digunakan yaitu tetracyclin
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif dengan diameter zona
hambat 11,05 mm.
Dari jumlah rumput laut yang diujikan, aktivitas antibakteri terhadap
patogen Vibrio alginoliticus terbanyak ditunjukkan oleh rumput laut coklat
sebanyak empat ekstrak (23,5%) dibandingkan rumput laut hijau hanya dua
ekstrak (13,3%) yang menunjukkan aktivitas antibakteri. Ini dapat disimpulkan
bahwa rumput laut coklat (Phaeophyceae) lebih memiliki senyawa antibakteri
patogen V. alginoliticus dibandingkan dengan rumput laut hijau (Chlorophyceae).







26

4.5 Pengujian Aktivitas Antibiotik dari Rumput Laut Terhadap Vibrio
harveyii


Dari data hasil aktivitas penghambat bakteri daya hambat ektrak rumput
laut terhadap bakteri Vibrio harveyii dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.


Gambar 5. Daya hambat ekstrak rumput laut terhadap bakteri Vibrio
harveyii

Dari grafik pada Gambar 5 di atas, terlihat dari enam ekstrak n-heksana
yang diujikan, sebanyak dua ekstrak (33,3%) yang memperlihatkan aktivitas
penghambatan yang rendah. Aktivitas penghambat diperlihatkan oleh ekstrak
rumput laut coklat Dictyopteris acrostichoides dan rumput laut hijau
Enteromorpha linza dengan diameter zona hambat 9 mm (lemah). Dari enam
ekstrak diklorometana yang diuji, hanya satu ekstrak (16,6%) yang
memperlihatkan aktivitas penghambatan yaitu rumput laut coklat
(Phaeophyceae) D. acrostichoides dengan diameter zona hambat 8 mm (lemah).
Sedangkan ekstrak etil asetat tidak memperlihatkan aktivitas penghambat.
Kontrol positif yang digunakan yaitu tetracyclin dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Gram-negatif dengan diameter zona hambat 10,00 mm.
0
5
10
15
20
25
30
n-heksana DCM EtOAc
D
a
y
a

H
a
m
b
a
t

(
m
m
)

Dictyopteris acrostichoides
Enteromorpha linza
Padina boergesenii
Rosenvingea orientalis
Sargassum prismaticum
Codium dwarkense
27

Dari jumlah rumput laut yang diujikan aktivitas antibakteri terhadap
patogen Vibrio harveyii terbanyak ditunjukkan oleh rumput laut coklat sebanyak
dua ekstrak (13,3%) dan dibandingkan dengan rumput laut hijau hanya satu
ekstrak. (6,6%). Maka dapat disimpulkan bahwa rumput laut coklat lebih memiliki
senyawa antibakteri patogen V. harveyii dibandingkan rumput laut hijau.
Dari hasil data-data di atas maka dapat disimpulkan bahwa rumput laut
coklat lebih memiliki aktivitas dibandingkan rumput laut hijau. Dari jumlah yang
diujikan sebanyak 15 ekstrak terhadap bakteri patogen Vibrio spp., empat ekstrak
rumput laut coklat yang menunjukkan aktivitas, sedangkan rumput laut hijau
hanya dua ekstrak yang menunjukkan adanya aktivitas. Ini sesuai dengan hasil
yang diperoleh Munifatul (2007), dimana dari hasil skrining menunjukkan bahwa
rumput laut coklat Sargassum dan Padina adalah jenis rumput laut yang
mempunyai aktivitas antibakteri relatif lebih tinggi dibanding jenis lainnya.
Rumput laut dari divisi Phaeophyceae yang berpotensi sebagai obat diantaranya
marga Padina, Dictyota dan Sargassum. Padina dan Dictyota diketahui
mempunyai aktivitas antibakteri, sedangkan aktivitas antitumor dimiliki oleh
Dictyopteris. Marga dari Sargassum diketahui mempunyai aktivitas antibakteri,
antitumor (Atmadja, 1990).
Dari jenis pelarutnya dapat disimpulkan bahwa ekstrak n-heksana lebih
bersifat aktif (13,3 %) dan ekstrak diklorometana (13,3 %) dibandingkan ekstrak
etil asetat (6,6 %). Ini dapat disimpulkan bahwa jenis senyawa antibakteri Vibrio
spp. adalah senyawa bioaktif. Aktivitas tertinggi terdapat pada ekstrak n-heksana
dan diklorometana dibandingkan dengan larutan etil asetat, karena pelarut ini
merupakan pelarut yang bersifat bioaktif. Hal ini sesuai dengan hasil yang
diperoleh oleh Dubber dan Harder (2008), dimana dari hasil ekstrak n-heksana
dapat memperlihatkan aktivitas antibakteri yang kuat dan menghambat hampir
28

semua bakteri uji. Hal ini bersamaan dengan penelitian Tuney dkk. (2006) yang
memperlihatkan hasil bahwa ekstrak n-heksana dari Gracilaria sp. mempunyai
efektifitas yang lebih tinggi terhadap bakteri.
Dari hasil penelitian ini ditemukan jenis rumput laut coklat Dictyopteris
acrostichoides mempunyai spektrum aktivitas yang luas walaupun daya
hambatnya rendah terhadap kedua bakteri uji. Sedangkan ekstrak dari rumput
laut kelompok Chlorophyceae memperlihatkan aktivitas tertinggi dibandingkan
dengan kelompok Phaeophyceae. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh
Munifatul (2007), bahwa ekstrak rumput laut kelompok Chlorophyceae seperti
Caulerpa sp. memperlihatkan aktivitas penghambatan terhadap bakteri Vibrio
harveyii, V. anguila, dan V. parahaemolyticus. Namun demikian untuk ekstrak
rumput laut Chlorophyceae lainnya seperti Halimeda sp. tidak menunjukkan
aktivitas antibakteri baik terhadap Vibrio spp. maupun Pseudomonas spp.













29

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Aktivitas antibakteri tertinggi terhadap bakteri patogen Vibrio alginoliticus
diperlihatkan oleh ekstrak diklorometana dari rumput laut hijau
Enteromorpha linza dengan diameter zona hambat 27 mm.
Sementara terhadap bakteri patogen V. harveyii diperlihatkan oleh
ekstrak diklorometana dari rumput laut coklat Dictyopteris acrostichoides
dan rumput laut hijau E. linza dengan diameter zona hambat masing-
masing 9 mm.
Rumput laut hijau E. linza berpotensi sebagai sumber senyawa antibakteri
Vibrio spp.

5.2 SARAN
Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang kandungan senyawa aktif dari
ekstrak rumput laut hijau E. linza yang memperlihatkan potensi yang tinggi
terhadap patogen Vibrio spp. dengan area pengambilan sampel lebih luas,
pelarut lain, dan bakteri uji lebih banyak agar diketahui apakah ekstrak rumput
laut ini mempunyai spektrum daya hambat secara luas atau secara khusus saja
terhadap Vibrio spp.
30

Daftar Pustaka
Afrianto, E dan Evi, L. (1993). Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Amlacher, E. 1992. Taschenbuch der Fischkrankheiten- Grundlagen der Fisch
pathologie. Jena Stuttgart, Gustav Fischer Verlag.
Anggraeni, D. 2010. http//penyakit ikan laut bakteri vibriosis.htm.( 7 Januari
2010).
Ansel, H. C., 1989. Pengantar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. UI Press.
Jakarta. 94-147.
Aslan, L. M., 1991, Budidaya rumput laut. PT. Kanisius. Yogyakarta.
Astuti, P., Alam, G., Pratiwi, SUT., Hertiani, T., dan Wahyuono, S. 2003. Skrining
senyawa anti infeksi dari spons yang dikoleksi dari Bunaken, Manado.
Biota Vol. VIII 127: 47-52.
Atmadja, W.S. 1990. Rumput Laut Sebagai Obat. Jurnal Oseana, 17: 1-8.
Bhavanath Jha C. R. K. Reddy Mukund C. Thakur M. Umamaheswara Rao,
2009. Seaweeds of India, The Diversity and Distribution of Seaweeds
of the Gujarat Coast.
Cragg, G.M., D.J. Newman, R.B. Weiss. 1997. Coral reefs, forests, and thermal
vents: the worldwide exploration of nature for novel antitumor agents.
Semin. Oncol., 24: 156-163.
Deval, A.G., G. Platas, A. Basilio, A. Cabello, J. Gorrochategui, I. Suay, F.
Vicente, E. Portilllo, M.J. del Rio, G.G. Reina, F. Pelez. 2001.
Screening of antimicrobial activities in red, green and brown
macroalgae from Gran Canaria (Canary Islands, Spain). Int.
Microbiologi. 4: 35-40.
Dubber, D. dan T. Harder. 2008. Extracts of Ceramium rubrum, Mastocarpus
stellatus and Laminaria digitata inhibit growth of marine and fish
pathogenic bacteria at ecologically realistic concentrations.
Aquaculture, 274: 196200.
Harikrishnan, R. dan C. Balasundaram. 2008. In vitro and in vivo studies of the
use of some medicinal herbals against the pathogen Aeromonas
hydrophila in goldfish. J. Aquat. Anim. Health, 20: 165-176.
Hay, M.E. 1996. Marine chemical ecology: whats known and whats next. J. Exp.
Mar. Biol. Ecol., 200: 103-134.
Indriani, Heti., dan Emi Sumiarsih. 2003. Rumput Laut Budi Daya Pengolahan
dan Pemasaran. Jakarta. Penebar Swadaya. Hal. 4-8, 11-12.
Itaibnu. 2010. Sulsel miliki peluang investasi rumput laut.
http://beritadaerah.com/news.php. (Desember 2010).
31

Khurio, S. 2011. Pusat Riset Perikanan Budidaya. http//budidaya perikanan.htm.
(26 Juli 2011).
Maduriani, I. M., I. W. Sudira. 2009. Skrining dan Uji Aktivitas Antibakteri
Beberapa Rumput Laut dari Pantai Batu Bolong Canggu dan
Serangan.
Munifatul, I. 2007. Skrining Potensi Antibakteri pada Beberapa Spesies Rumput
Laut terhadap Bakteri Patogen pada Udang Windu. Laboratorium
Struktur dan fungsi tumbuhan. Vol. 9, No. 2, Hal. 62 67.
Murtiati dan Endang. A. S. 1998. Evaluasi Dampak Lingkungan dan Daya
Toleransi Udang Penaus Manodon. Universitas Diponegoro.
Putra, SE. 2006. Biota Laut sebagai Biotarget Industri
www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel211586897. (26 Agustus 2010)

Prajitno, A. 2005. Diktat Parasit dan Penyakit Ikan .Fakultas
Perikanan.Universitas Brawijaya, 105 hal.
Ridwan, N. 2009. Rumput laut Takalar menjanjikan. http://www.kompas.com
(20 Januari 2011).
Schlotfeld, H-J. and D.J. Aldermann. 1995. What should I do? A practicle guide
for the fresh water fish farmer. 154.

Setiawan, Andi. 2004. Potensi Pemanfaatan Rumput laut Laut Sebagai
Penunjang Perkembangan.
Tuney, I., B.H. Cadirci, D. Unal and A. Sukatar. 2006. Antimicrobial activities of
the extracts of marine algae from the coast of Urla (zmir, Turkey). Turk.
J. Biol. 30: 1-5.
Usniarni. 2008. Opini Tribun Timur. http://www.tribun-timurcom./view. (28
Februari 2010).
Volk, W, A. and Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Edisi Markham.Penerbit
Erlangga Jakarta.
Wikipedia. 2010. http://wikipedia.org.wiki. Diklorometana. (4 April 2010).
Wikipedia. 2011. http://wikipedia.org.wiki. Etil asetat. (2 Agustus 2011).
Winston, J.E. 1988. The systematist perspective. In: D.G. Fautin (ed.).
Biomedical Importance of Marine Organisms. pp. 1-6. California
Academy of Sciences, San Francisco.
Yudhi. 2009. Khasiat dan manfaat rumput laut. http://www.kir-31.blogspot.com/.
(7 November 2010).
Zainuddin, E, N. 2006. Chemical and biological investigations of selected
cyanobacteria (Blue-Green Algae). PhD Thesis, University Greifswald.

32

Zainuddin, E. N dan Malina, A, C. 2009. Skrining rumput laut asal Sulawesi
Selatan sebagai antibiotik melawan bakteri patogen pada ikan.
Laporan Penelitian Research Grant, Biaya IMHERE-DIKTI.

Anda mungkin juga menyukai