Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

MORBUS HANSEN
(KUSTA, LEPRA)










Disusun Oleh :
Noviana G1A212096




Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke, Sp.KK




FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2014
2

HALAMAN PENGESAHAN

MORBUS HANSEN (KUSTA, LEPRA)


Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Mengikuti
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto


Disusun oleh :
Noviana G1A212096






Telah dipresentasikan
Pada Tanggal : Mei 2013






Menyetujui,




dr. Ismiralda Oke P, Sp.KK
3

I. PENDAHULUAN


I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. K
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 47 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kedungbanteng Rt 3/2, Banyumas
Agama : Islam
No. CM : 57-87-34

II. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis pada tanggal 14 Juni 2014, pukul 09.00 WIB

Keluhan Utama : baal di tangan kanan dan kaki

Keluhan Tambahan : kulit menjadi berwana kemerahan dan sedikit
menghitam

Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan
baal di tangan kanan dan kaki. .Awalnya keluhan didahului dengan bercak
merah yang berukuran kecil kemudian bercak dirasakan semakin meluas
dengan bagian tengahnya menjadi mati rasa. Bercak mulai muncul sejak 3
bulan yang lalu kemudian keluhan mati rasa dirasakan sejak 1 bulan yang
lalu.
Pasien mengaku sudah berobat ke Puskesmas dan diberi salep
namun masih belum dapat sembuh dan tetap meluas.


4

Riwayat Penyakit Dahulu :
Keluhan serupa sebelumnya disangkal
Tidak ada.Riwayat Alergi
Tidak ada Riwayat Penyakit Diabetes Mellitus, Hipertensi

Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama dengan
pasien. Tetangga maupun teman kerja pasien juga tidak ada yang
mengalami keluhan serupa.
Tidak ada yang menderita Alergi, Penyakit Asma pada keluarga pasien


III. STATUS GENERALIS
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik
Vital Sign :
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : afebris
Kepala : Normochepal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Tenggorokan : T1 T1 tenang , tidak hiperemis
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I II reguler , murmur (-) , Gallop (-)
Paru : SN vesikuler , ronki (-/-) , wheezing (-)
Abdomen : Supel,datar,BU (+) normal

5

Kelenjar Getah Bening: tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema ( ) terdapat makula
eritematosa


IV. STATUS DERMATOLOGIKUS

1. Lokasi : Ekstremitas Superior
Effloresensi : Terdapat plakat makula eritematosa pada bagian fleksor
antebrachii dextra.

2. Lokasi : Ekstremitas inferior
Effloresensi : Terdapat plakat makula eritematosa pada bagian fleksor
regio pedis dextra.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil tes sensoris nyeri terdapat hipestesi pada bagian tengah lesi dan pada
palpasi terdapat perbesaran pada nervus Radialis.

VI. RESUME
Pasien Ny. K datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSMS dengan
keluhan baal di tangan kanan dan kaki. Awalnya keluhan didahului dengan
bercak merah yang berukuran kecil kemudian bercak dirasakan semakin
meluas dengan bagian tengahnya menjadi mati rasa. Bercak mulai muncul
sejak 3 bulan yang lalu kemudian keluhan mati rasa dirasakan sejak 1
bulan yang lalu. Pasien mengaku sudah berobat ke Puskesmas dan diberi
salep namun masih belum dapat sembuh dan tetap meluas.

VII. DIAGNOSA KERJA
Kusta tipe Multibasiler


6

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Swab kulit.

IX. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya.
b. Mencegah iritasi pada daerah yang hipestesi.
c. Menjaga kebersihan kulit
d. Menjaga imunitas tubuh
e. Menjelaskan tentang pengobatan dan komplikasi pengobatan
dan penyakit.

2. Medikamentosa
MDT-MB
Sohobion 1x1

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad kosmeticum : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam












7



Effloresensi Pada Pasien Tn S




8

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen . Kusta
adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium
Leprae yang intraselular obligat (Kosasih et al., 2007).

2. Epidemiologi
Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Amerika Latin, daerah
tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.
Penyebaran kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh
dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut (Djuanda, 2007).
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan
penyakit kusta adalah:


a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15
tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan
faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai
penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-
penyakit terinfeksi lainnya (Zulkifli, 2003).
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
9

keganasan M. leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-
faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
a. Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
b. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
c. Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
d. Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah Negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
e. Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat (Djuanda, 2007;
Zulkifli, 2003).

3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.
A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbetuk basil dengan
ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alcohol serta Gram positif. Di luar
tubuh dapat hidup selama 2-9 hari. Masa pembelahan atau generation timerata-
rata 20 hari (Djuanda, 2007).

4. Patogenesis
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. BilaMycobacterium leprae masuk ke
dalam tubuh, akan menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe IV oleh sel T
H1
,
sel pembunuh dan makrofag. Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah, dan
dipresentasikan pada sel T
H
. Sensitisasi ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada
kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel T
H1
. Sel ini akan
merangsang pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3 dan faktor
yang merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik
monosit dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte
chemoattractant proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan
mengaktifkannya melalui interfeuron (IFN-). MCPs dan MIPs bersama
dengan TNF- meyebabkan reaksi peradangan yang hebat (Abulafia, 1999;
Silbernagl, 2007).
10

Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari
paru, sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses
imunologik, histiosit datang ke tempat kuman. Kalau datangnya berlebihan dan
tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel
datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat.
Pada penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit
tidak dapat menghancurkan M. Lepra yang sudah ada didalamnya, bahkan
ijdikan tempt berkembang iak dan disebut sel Virchow atausel lepra atau sel
busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan (Djuanda, 2007).

5. Klasifikasi
a. Jenis klasifikasi yang umum


1). Klasifikasi Internasional (1953)
a). Indeterminate (I)
b). Tuberkuloid (T)
c). Borderline-Dimorphous (B)
d). Lepromatosa (L)
2). Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).
a). Tuberkoloid (TT)
b). Borderline tubercoloid (BT)
c). Mid-Borderline (BB)
d). Borderline lepromatous (BL)
e). Lepromatosa (LL)
3). Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981)
dan modifikasi WHO (1988)
a) Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA
negatif menurut kriteriaRidley dan Jopling atau tipe I dan T menurut
klasifikasi Madrid.
11

b) Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut
kriteria Ridley dan Joplingatau B dan L menurut Madrid dan semua
tipe kusta dengan BTA positif (Djuanda, 2007).

6. Gejala Klinis
a. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi)
yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.
b. Penebalan syaraf tepi.
c. Gejala pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol
kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar
berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di
hidung hingga menyebabkan perdarahan.
d. Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian
tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri.
Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang
akibat serangan penyakit ini. Penderita merasa demam akibat reaksi
penyakit tersebut (Depkes, 2008).
Tiga tanda utama (Cardinal Sign):


a. Kelainan pada kulit pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih
(hipopigmentasi) atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa
b. Penebalan saraf tepi dengan gangguan sensasi di area lesi
c. Pada pemeriksaan apusan kulit (skin smear) ditemukan adanya Basil
Tahan Asam (BTA) (Kumar, 2009).







12

Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasiler
(MB)


Sifat Lepromatosa (LL) Borderline
Lepromatosa
(BL)
Mid Borderline
(BB)
Lesi
Bentuk Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-
shape (kubah)
Punched-out
Jumlah Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas
ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada
globus)
Banyak Agak banyak
Sekret
hidung
Banyak (ada
globus)
Biasanya negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif








13

Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
Karakteristik Tuberkuloid (TT)
Borderline Tuberculoid
(BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Tipe


Makula ; makula
dibatasi infiltrat

Makula dibatasi infiltrat
saja; infiltrat saja
Hanya Infiltrat


Jumlah

Satu atau dapat
beberapa
Beberapa atau satu dengan
lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi

Terlokalisasi &
asimetris
Asimetris Bervariasi
Permukaan

Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
lesi kulit Hampir selalu
negatif
Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif










14

Tabel 3. Bagan diagnosis klinis menurut WHO
PB MB
1. Lesi kulit (makula yang
datar, papul yang
meninggi,infiltrat, plak
eritem, nodus)

1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
> 5 lesi
Distribusi lebih simetris
Hilangnya sensasi kurang jelas

2. kerusakan
saraf(menyebabkan
hilangnya
senasasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
terkena)
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

7. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sangat kronik
a. Reaksi Kusta Tipe I (Reversal Reaction)
Sering pada tipe Pausibasiler (TT-BB)
1). Reaksi Downgrading oleh karena imunitas penderita menurun, sehingga
proliferasi bakteri meningkat dan menimbulkan lesi-lesi baru.
2). Reaksi Upgrading oleh karena peningkatan imunitas penderita, sehingga
lesi yang tenang menjadi meradang akut.
b. Reaksi Kusta Tipe II (Eritema Nodosum Leprosum/ENL)
Sering timbul tipe Multibasiler (BB-LL) disini imunitas humoral
menurun, sehingga terjadi reaksi dengan antigen yang banyak dilepas serta
mengaktifkan system komplemen menjadi kompleks imun
c. Fenomena Lucio
Reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa
non-nodular difus (Djuanda, 2007).


15

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan anestesi dengan jarum atau air panas (Siregar, 2004).
b. Tes gunawan atau tes keringat dengan pensil tinta, pada lesi tinta akan
hilang sedangkan pada kulit normal akan ada bekas tinta (siregar, 2004).
c. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA
ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
rutin sebaiknya minimal 46 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati
banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1+ Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid.
a. Rumus:
IM= Jumlah solid x 100%
Jumlah solid+nonsolid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100
BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA
16

harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan (Kosasih et al., 2007).
d. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk menentukan klasifikasi
penyakit. Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai
tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan
(Kosasih et al., 2007).
e.
Pemeriksaan serologis
6,7,8
Pemeriksaan serologis kusta didasarkan atasa terbentuk antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman
M.Tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam
pemeriksaan serologik adalah: MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA, Mycobacterium Leprae dipstick, dan PCR.
g. Tes lepromin

Tes lepromin dapat membantu dalam klasifikasi penyakit kusta.
Meskipun tidak digunakan untuk menegakan diagnosis kusta, tes ini dapat
menilai respon granulomatosa pasien terhadap M.lepra mati yang
disuntikan melalui kulit. Pada pasien dengan Tuberculoid leprosy atau
17

Boderline lepromatous leprosy akan menunjukkan hasil yang positif,
timbul indurasi > 5mm. Sedangkan pada pasien dengan Lepromatous
leprosy tidak akan menunjukan respon terhadap tes ini (Siregar, 2004).

9. Diagnosis Banding
1. Tipe I (makula hipopigmentasi): tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis
rosea, dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronis.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan tepi meninggi): tinea korporis,
psoriasis, lupus erimatosus tipe diskoid, atau pitiriasis rosea.
3. Tipe BT, BB, BL (infiltrat merah tak berbatas tegas): selulitis,
erisipelas, atau psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis
atau erupsi obat (Siregar, 2004).

10. Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan tersebut, srategi
pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan
penderita (Amiruddin, 2000).
Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap dapson baik primer
maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan
kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat antikusta yang efektif,
namun anjuran ini tidak diikuti. Oleh karena itu, pada tahun 1981 WHO
merekomendasikan MDT (Multi Drug Therapy). Sejak Januari 1982,
pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan WHO Expert
Committe Meeting di Geneva yaitu pengobatan kombinasi dapson,
klofazimin dan rifampisin (Amiruddin 2000).
Tipe pausibasiler (PB) pengobatan diberikan secara teratur selama
6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 12 bulan. Setelah selesai
minum 6 dosis, penderita dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Tipe multibasiler (MB) pengobatan dilakukan secara teratur selama 12
18

bulan dan dapat diselesaikan dalam waktu maksimal 24 bulan. Setelah
selesai minum 12 dosis, penderita dinyatakan RFT (Realease From
Treatment) meskipun lesinya masih aktif dan BTA positif. Masa
pengamatan setelah RFT (Realease From Treatment) dilakukan secara
pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun (Kosasih
et al., 2007).

Tabel 5. Rekomendasi MDT (Smith, 2007).

Pengobatan reaksi kusta
a. Pengobatan E.N.L.
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid,
antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berta ringannya
reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih.
Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila
reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan
reaksi, dosisnya diturunka secara bertahap samapai berhenti sama
sekali (Kosasih et al., 2007).
b. Pengobatan reaksi reversal
Reaksi reversal yang tidak disertai dengan neuritis didak perlu
pengobatan tambahan. Jika ada neuritis akut, obatpilihan pertama
adalah kortikosteroid dengan dosis yang disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari,
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena
19

neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau
diperlukan dapat diberikan (Kosasih et al., 2007).

11. Pencegahan Cacat
Pencegahan cacat Kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis
daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin,
baik oleh petugaskesehatan maupun oleh pasien itu sendiri dan keluarganya.
Di samping itu perlumengubah pandangan yang salah dari masyarakat, antara
lain bahwa Kusta identik dengan deformitas atau disability.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas:
a. Untuk Upaya pencegahan cacat primer, meliputi:
1) diagnosis dini
2) pengobatan secara teratur dan akurat
3) diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi
b. Upaya pencegahan sekunder, meliputi:
1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka.
2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan
untuk mencegah terjadinya kontraktur.
3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada
proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang.
5) Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami
kelumpuhan otot.
Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan cacat kusta
adalah:
1) pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko
terjadinya luka
2) pasien harus melindungi tempat risiko tersebut (dengan kaca mata,
sarung tangan, sepatu, dll)
3) pasien mengetahui penyebab luka (panas, tekanan, benda tajam dan
kasar)
20

4) pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam,
menggosok,melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku
5) penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan
membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan cara
istirahat (Kosasih et al., 2007).

Tabel 6. Klasifikasi Cacat bagi Penderita Kusta (Kosasih et al., 2007).
Klasifikasi Keterangan
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas
yang terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada
gangguan penglihatan
Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan
yang berat pada penglihatan (visus 6/60 atau lebih baik)
Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60, tidak
dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)


12. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah
antara lain dengan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna,
tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan kerja yang
sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan
rasa percaya diri, selain itu dapat pula dilakukan terapi psikologik (kejiwaan)
(Kosasih et al., 2007).

21

13. Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit
adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada
tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik,
ahli bedah, prodratis,oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang
tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi
komplikasi (Smith, 2007).



22


23


24


25


26

III. KESIMPULAN

1.
27


28


29

DAFTAR PUSTAKA


Depkes RI. 2008. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Departemen
Kesehatan R.I, Jakarta dalam www.depkes.go.id diunduh tanggal 11 Mei 2013
Djuanda, Adhi, 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.h. 73-88.
Lewis, Felisa S. 2010. Leprosy dalam http://emedicine.medscape.comdiunduh
tanggal 11 Mei 2013
Zulkifli.2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang ditimbulkannya. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan dalam http://library.usu.ac.id/
diunduh tanggal 11 Mei 2013

Anda mungkin juga menyukai