Anda di halaman 1dari 10

PERBEDAAN ANTARA ILMU YANG

ILMIAH DAN NON ILMIAH


2.1 PENGERTIAN ILMU, PERBEDAAN ANTARA ILMU YANG ILMIAH DAN NON
ILMIAH
Sebagaimana pendapat umum, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan,
prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak
terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini berasal dai Yunani,
Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom)[1]. Sedangkan filsafat
ilmu sebagaimana yang telah didefinisikan oleh The Liang Gie adalah segenap pemikiran
reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia[2].
Di sini kami memiliki beberapa definisi tentang ilmu, ilmu pengetahuan dan
pengetahuan:
Ilmu adalah susunan sistematik berdasarkan kaidah normatif tertentu terhadap keterampilan,
pengertian, pemahaman ataupun pengetahuan[3]. The Liang Gie memberikan pengertian ilmu
adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin diketahui manusia[4].
Dalam berbagai literatur, penyusun menemukan bahwa ilmu itu sendiri terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu:
1. Ilmu Pengetahuan (ilmu yang ilmiah) adalah ilmu yang diperoleh dan dikembangkan dengan
mengolah atau memikirkan realita yang berasal dari luar diri manusia secara ilmiah, yakni
dengan menerapkan Metode Ilmiah.
2. Ilmu pengetahuan dapat dirumskan sebagai berikut:
Kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek/lapangan), yang merupakan
kesatuan yang sistematis dan memberikan penjelasan yang sistematis yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal/kejadian itu[5].
3. Ilmu Non Pengetahuan adalah ilmu yang diperoleh dan dikembangkan secara sistematik terhadap
kemampuan diri manusia ataupun terhadap ide di alam pikiran manusia secara deduktif dan
analitik. Misalnya: pencak silat, bela diri, kebatinan, matematika dan sebagainya.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk
memahami suatu objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek
tertentu. Dengan kata lain, pengetahuan ialah realita dari luar diri manusia yang lalu dimengerti,
dipahami dan diyakini kebenarannya. Tidak semua pengetahuan adalah ilmiah. Pengetahuan
yang ilmiah itu tak lain ialah Ilmu Pengetahuan, sedangkan Pengetahuan yang Non Imiah seperti
intuisi, metafisika dan wahyu ilahi tidak dapat diuji kebenarannya secara ilmiah. Kalau Ilmu
Pengetahuan itu teruji secara ilmiah dan dikatakan kebenarannya sebagai kebenaran ilmiah,
maka Intuisi dan Metafisika kebenarannya dikatakan meragukan. Sedangkan dengan wahyu
Ilahi, kebenarannya adalah mutlak dan tidak memerlukan uji ilmiah bagi yang meyakininya.
Pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah atau dengan menerapkan cara kerja ataupun metode ilmiah.
Sedangkan yang dimaksud dengan metode ilmiah adalah prosedur atau langkah-langkah
sistematis yang perlu diambil guna memperoleh pengetahuan yang didasarkan atas persepsi
indrawi dan melibatkan uji coba hipotesis serta teori secara terkendali. Karena pengamatan
indrawi biasanya mengawali maupun mengakhiri proses kerja ilmiah, maka cara kerja ilmiah
sering juga disebut suatu lingkaran atau siklus empiris.
Berpangkal pada pengamatan kejadian-kejadian, baik dari pengalaman akan alam langsung atau
dari hasil percobaan yang didesain, melalui induksi dapat dirumuskan hipotesis yang dapat
menjelaskan persoalan yang dihadapi. Hipotesis diuji coba kebenarannya, bila terbukti benar
dalam pelbagai pengujian dan ditemukan pola yang berulang, dapat dirumuskan hukum empiris
dan bentuk universal. Kumpulan hukum yang serumpun dan tertata secara sistematis membentuk
teori ilmiah. Berdasarkan teori yang sudah didukung bukti secara deduktif dapat diturunkan
hipotesis baru dalam rumusan putusan universal. Berdasarkan hukum alam yang telah ditemukan
dapat dibuat prediksi yang benar-salahnya akan diuji coba dalam suatu pengujian empiris.
Metode ilmiah melibatkan perpaduan antara cara kerja induktif, deduktif dan abduktif.
Ilmu harus diusahakan dengan aktifitas manusia, aktifitas itu harus dilaksanakan dengan
metode tertentu dan akhirnya aktifitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 (lima) ciri pokok sebagai berikut :
1. Empiris. Pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2. Sistematis. Berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
3. Objektif. Ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan
kesukaan pribadi.
4. Analitis. Pengetahuan ilmiah berusaha mebeda-bedakan pokok soalnya ke dalam
bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan dan
peranan dari bagian-bagian itu.
5. Verifikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.
Metode ilmiah adalah teknis untuk memperoleh pengetahuan baru, atau
memperkembangkan pengetahuan yang ada, prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola
kerja, tata langkah, untuk menghasilkan dan memperkembangkan pengetahuan yang ada.
Pencarian yang sistematis, peninjauan kembali pengetahuan yang telah ada merupakan
prosedur yang biasa digunakan para ilmuan, biasa disebut dengan metode ilmiah. Ilmuan pada
umumnya manusia biasa, ia juga bisa terjebak kedalam sikap pemujaan yang berlebihan terhadap
metode, sikap yang demikian itu disebut dengan Metodolatri. Anggapan bahwa metode tujuan
hakiki dari suatau proses ilmiah, namun kenyataannya metode merupakan suatu sarana untuk
mendapati kebenaran ilmiah.
2.2 OBJEK-OBJEK ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah
tentang objek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode
(method) dan sistem tertentu. Jadi pengetahuan yang benar tentang objek itu tidak bisa dicapai
secara langsung dan sifat daripadanya adalah khusus.
Ilmu pengetahuan ini diciptakan oleh manusia karena didorong oleh rasa ingin tahu yang
tidak berkesudahan terhdap objek, pikiran atau akal budi yang menyngsikan kesaksian indera
karena indera dianggap sering menipunya. Kesangsian akal budi ini lalu diikuti dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah sesuatu itu? Mengapa sesuatu itu ada? Bagaimana
keberadaannya? Dan apa tujuan keberadaannya itu? Masing-masing pertanyaan itu akan
menghasilkan :
a. Ilmu pengetahuan filosofis yang mempersoalkan hakikat atau esensi sesuatu (pengetahuan
universal).
b. Ilmu pengetahuan kausalistik, artinya selalu mencari sebab musabab keberadaannya
(pengetahuan umum bagi suatu jenis benda).
c. Ilmu pengetahuan yang bersifat deskriptif-analitik, yaitu yang mencoba menjelaskan sifat-sifat
umum yang dimiliki oleh suatu jenis objek.
d. Ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, yaitu yang mencoba memahami norma suatu objek
yang dari sana akan tergambar tujuan dan manfaat objek.
Adapun objek pengetahuan itu ada yang berupa materi (objek materi) dan ada yang
berupa bentuk (objek formal).
Dari suatu definisi tentang filsafat yang penyusun kutip dari satu buku, yang berbunyi:
Filsafat adalah pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab yang pertama atau
prinsip-prinsip yang tertinggi dari segala sesuatu yang dicapai oleh akal budi manusia.
Jelas yang menjadi objek materialnya (lapangannya) ialah sesuatu yang dipermasalahkan filsafat.
Sedangkan objek formalnya (sudut pandangnya) ialah mencapai sebab-sebab yang terdalam dari
segala sesuatu, sampai kepada penyebab yang tidak disebabkan , ada yang mutlak ada, yaitu
penyebab pertama (causa prima) yaitu Allah itu sendiri[6].
Yang disebut objek materi adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau
penelitian keilmuan. Adapun objek materi itu bisa saja berupa benda-benda material maupun
yang non material. Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan
sebagainya. Objek materi tidak terbatas pada apakah ada di dalam realitas konkret atau di dalam
realitas abstrak.
Suatu objek materi, -apakah yang material maupun yang non material- sebenarnya
merupakan suatu substansi yang tidak begitu saja mudah diketahui. Lebih-lebih yang non
material, sedangkan yang material pun sebagai suatu substansi mempunyai segi yang sulit
dihitung dan ditentukan jumlahnya.
Kenyataan itu mempersulit usaha untuk memahami maknanya. Oleh karena itu, dalam
rangka mengetahui maknanya, orang lalu melakukan pendekatan-pendekatan secara cermat dan
bertahap menurut segi-segi yang dimiliki objek materi itu dan tentu saja menurut kemampuan
seseorang. Cara pendekatan inilah yang kemudian dikenal sebagai objek formal atau cara
pandang. Cara pandang ini berkonsentrasi pada satu segi saja sehingga menurut segi yang satu
ini orang mendapat kejelasan. Dengan demikian, lalu tergambarlah lingkup suatu ilmu
pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, tujuan
pengetahuan sudah ditentukan.
Ambillah contoh, objek materi manusia sendiri. Dari segi kejiwaan, keragaan,
keindividualan, keosialan dan segi dirinya sebagai makhluk Tuhan, masing-masing menentukan
lingkup dan wawasannya sendiri, wajarlah jika pengetahuan yang diperoleh juga berlainan.
Bagi ilmu pengetahuan, perbedaan pengetahuan yang dihasilkan oleh masing-masing segi
itu justru harus seperti itu. Karena dengan demikian pengetahuan tentang manusia itu tadi bisa
semakin lengkap dan jelas. Yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah justru jika
tinjauannya berbeda, namun hailnya tetap sama. Hasil seperti itu jelas menunjukkan bahwa cara
menentukan hal itu tidak benar. Hal ini selanjutnya jelas akan mempengaruhi tahapan-tahapan
pendekatan berikutnya. Dalam keadaan demikian, terjadilah overlapping yang akan membuat
kerancuan. Overlapping bukannya tidak perlu sama sekali, tetapi jika harus dilakukan maka
seharusnya diposisikan sekedar sebagai referensi saja. Suatu pendekatan menurut segi tertentu
seharusnya dilakukan secara sistematik dan konsisten sesuai dengan benang merah
lingkupannya.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa menurut objek formalnya, ilmu
pengetahuan itu justru berbeda-beda dan banyak jenis serta sifatnya. Ada yang tergolong ilmu
pengetahuan fisis (ilmu pengetahuan alam), karena pendekatan yang dilakukan menurut segi
yang fisis. Ada pula yang tergolong ilmu pengetahuan non-fisis (ilm pengetahuan sosial dan
humaniora serta ilmu pengetahuan ketuhanan), karena pendekatannya menurut segi kejiwaan.
Golongan pertama termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif, sedangkan golongan
kedua merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif[7].
2.3 SUMBER-SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berangkat dari tradisi
pemikiran filsafat barat berawal dari abad ke 6 sebelum Masehi yang ditandai dengan runtuhnya
mite dan dongeng yang selama ini dipercaya menjadi referensi pengetahuan manusia. Manusia
mencari penjelasan tentang kejadian alam semesta melalui mite. Ada dua bentuk mite yang
berkembang, yaitu Mite Kosmogenis yang mencari keterangan tentang asal-usul alam semesta
dan Mite Kosmologis yang mencari asal-usul serta sifat kejadian alam semesta[8].
Ada beberapa sumber ilmu pengetahuan yang kita ketahui, yaitu kepercayaan yang
berdasarkan tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan agama, kesaksian orang lain, pancaindera
(pengalaman), akal pikiran dan intuisi individual.
Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan menunjukkan bahwa pengetahuan itu diperoleh
melalui cara mewarisi apa saja yang hidup dan berlaku dalam adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan
dan kehidupan keagamaan. Biasanya, sumber ini sangat kaya akan kandungan pengetahuan
berupa pandangan hidup sebagai norma-norma atau kaidah-kaidah untuk membentuk sikap, cara
dan tingkah laku hidup. Dengan pengalaman, manusia dalam masyarakatnya bisa
menyelenggarakan hidup secara bersama.
Tingkatan ini diperoleh dengan cara yang sangat sederhana tanpa menggunakan pendekatan-
pendekatan dan metode-metode apapun. Pengetahuan ini diperoleh secara langsung, dengan
serta-merta yang secara naluriah diterima begitu saja (receptive) tanpa memerlukan alasan,
pembuktian dan pengujian akan kebenarannya.
Lain daripada itu, ada pengetahuan yang bersumber dari kesaksian orang lain. Pengetahuan ini
masih tetap dalam satu suasana dengan yang terdahulu. Orang-orang tertentu yang dapat
dipercaya karena sudah dianggap memiliki pengetahuan yang benar, lalu menjadi panutan yang
andal bagi orang-orang pada umumnya dalam hal-hal bagaimana memandang hidup dan
bertingkah laku. Orang-orang itu seperti guru, ulama, cendekiawan, orang yang dituakan dan
sebagainya.
Satu hal yang menjadi perhatian mengenai pengetahuan yang bersumber dari kesaksian orang
lain adalah apakah orang itu dapat dipercaya atau tidak. Dalam artian bahwa apakah pengetahuan
orang itu dihasilkan dari upaya pemikiran, penelitian atau penyelidikan yang cermat sehingga
kebenarannya dapat diyakini ataukah tidak.
Selanjutnya, bagaimanakah pengetahuan yang bersumber dari pancaindera? Pancaindera bagi
manusia merupaka alat vital bagi penyelenggaraan kehidupan sehari-hari. Boleh dikatakan
bahwa hampir seluruh persoalan hidup sehari-hari bisa diatasi dengan penggunaan alat
pancaindera. Satu saja diantaranya tidak berfungsi, maka manusia akan berkurang
pengetahuannya walaupun manusia itu masih bisa mengembangkan kehidupannya. Akan tetapi
jika semua pancaindera itu tidak berfungsi, boleh jadi manusia masih bisa hidup walaupun jelas
tidak bisa mengembangkan kehidupannya. Jika demikian, manusia hany akan hidup dengan
insting atau nalurinya saja. Karena pada hakikatnya, aktifitas pancaindera manusia berkaitan erat
dengan akal pikiran, perasaan dan kemauan (tri potensi kejiwaan).
Daya kemampuan pancaindera dalam kegiatan mengetahui memang sangat terbatas. Hal ini
berarti belum ada kemampuan untuk menangkap pengetahuan yang sebenarnya. Pada setiap
barang atau hal, di alam dirinya sendiri mengandung pengetahuan yang nampak (appreance) dan
pengetahuan yang sebenarnya (actual). Dengan pancaindera kita mendapatkan pengetahuan
berupa gejala-gejala. Oleh sebab itu, kita sering tertipu dalam bersikap dan bertingkah laku.
Namun pengetahuan inderawi ini tidak boleh diabaikan sama sekali. Terutama sumbangannya
kepada penyelenggaraan kehidupan sehari-hari dan eksplorasi pengetahuan selanjutnya dalam
rangka memperoleh kebenaran yang valid.
Sebenarnya, pengetahuan inderawi adalah potensi bagi pengetahuan yang bersumber dari akal
pikiran. Berbeda dengan pancaindera, akal pikiran ini bersifat spiritual. Akal pikiran cenderung
untuk menangkap pengetahuan umum yang tetap dan tidak berubah-ubah terhadap suatu barang
atau hal-hal yang menggejala di dalam jenis, bentuk dan sifat yang berubah-ubah dan beraneka
ragam.
Bagi akal pikiran, apa yang diketahui oleh pancaindera itu hanyalah sekedar bahan mentah yang
perlu dibentuk menjadi suatu sistem sehinggamenjadi konsep atau prinsip yang merupakan
sebuah pengetahuan umum. Pengetahuan yang bersumbe dai akal pikiran ini pada umumnya
diakui sebagai pengetahuan yang lebih benar, lebih jelas dan pasti.
Sumber pengetahuan terakhir adalah intuisi. Pada diri manusia, intuisi menempati bagian
kejiwaanyang sangat sentral sehingga benar-benarbersifat batiniyah sekali. Dengan kata lain,
intuisi merupakan gejala batin yang sangat pribadi.
Sebagai sumber ilmu pengetahuan, intuisi memperoleh pengetahuan secara langsung tetapi jelas
dan pasti bagi orang tertentu. Namun demikian, apa yang diketahui secara intuitif bagi seseorang
belum tentu sama bagi orang lain. Artinya, cara seseorang mendapatkan pengetahuan yang pasti
itu tidak/belum tentu bisa berlaku bagi orang lain. Jika dengan tiba-tiba seseorang tergerak untuk
melakukan perbuatan tertentu dengan penuh keyakinan, maka itulah dunia intuisi.
Jika dilihat secara menyeluruh, sumber-sumber pengetahuan tersebut selaras benar
dengan proses mendapatkan pengetahuan yang benar. Pada saat orang mengagumi sesuatu, ia
cenderung menerima secara langsung pengetahuan yang diberikan oleh oleh kepercayaan dan
kesaksian orang lain. Tetapi, ketika seseorang mulai menggunakan alat indera untuk
mendapatkan pengetahuan, maka ia mulai meragukan pengetahuan yang bersumber dari kedua
sumber tersebut. Ketika akal pikiran digunakan, maka seseorang telah meninggalkan keraguan
dan sudah memiliki perkiraan dan pendapat. Kemudian, sumber intuisi juga merupakan
pengetahuan meyakinkan yang mempunyai relevansi dengan keyakinan sebagai akibat dari
pengetahuan yang pasti[9].
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua
mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang telah
kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri pada pengalaman
mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.
Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas
dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri
sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan idealisme.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai kriteria untuk
mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat
dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi oleh kaum rasionalis adalah evaluasi dari
kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini
semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman
maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebeb itu, maka lewat penalaran rasional
yang akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu objek tertentu tanpa adanya
konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional
cenderung untuk bersifat solipsisitik (hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang
berada dalam benak orang yang berpikir tersebut) dan subjektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan
manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman
yang kongkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat kongkret
dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih
lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur
mengenai suatu kejadian tertentu.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini ialah
bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta.
Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang
bersifat kontradiktif[10].


[1]M. Zainuddin, Filsafat Ilmu, Perspektif Pandangan Islam (Malang : Banyumedia Publishing,
2003), hal. 23.
[2] Surajiyo , Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta : Bumi Aksara, 2005), hal. 64.
[3]Peter Soedojo, Pengantar Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press, 2004), hal. 33.
[4]Surajiyo, op.cit., hal. 62.
[5] Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hal.
15.
[6] Burhanuddin Salam, Ibid., hal. 3.
[7] Peter Soedojo, op.cit., hal. 70-72.
[8] Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia Kajian Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), hal. 83.
[9] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 59-64.
Dengan sedikit perubahan.
[10] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan,
2001), hal. 51-54.
Diposkan 14th October 2009 oleh Teguh Santoso

Anda mungkin juga menyukai