Anda di halaman 1dari 7

J urnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol. 1 No.

3 Desember 2005



GURU SI BASO DALAM RITUAL ORANG KARO:
Bertahannya Sisi Tradisional dari Arus Modernisasi

Sri Alem Sembiring
Departemen Antropologi FISIP USU

Abstract
This paper aimed to describe the role of a Guru Si Baso. Guru Si Baso is a Karonese term to call an
indigenous medical practitioner who roling as a spirit-medium in Karonese traditional belief. The survival of
some of these traditional rituals in modern era in 21
st
century become an unusual phenomenon that
attrackted to be talked about. Everything that talk about on this article shows that magic-religious attitude
gives impact to several Karoness. People look at this ritual as a kind of shock therapy to remain everyone to
keep the balance of soul and environment. A ritual of a Guru Si Baso is able to create corelation physically
and non-physically between micro and macro cosmos. This corelation gives movement and comfort feeling,
peace and safety which are need by all human being.

Keywords: Guru si baso, spirit-medium


A. Pengantar
Era Globalisasi di abad XXI dan kemajuan teknologi dunia maya ternyata tidak mampu
melengserkan beberapa praktik-praktik ritual tradisional dari sekelompok orang-orang Karo yang
tinggal di dataran tinggi Karo Provinsi Sumatera Utara dan juga di beberapa wilayah Kabupaten Deli
Serdang. Praktik ritual tersebut berasal dari kepercayaan tradisional Karo yang dikenal dengan
penyebutan pemena.
46

Ritual tradisional yang dimaksudkan dalam tulisan ini merupakan ritual yang dipimpin oleh
seorang atau beberapa orang wanita. Mereka terutama memiliki kemampuan untuk berhubungan
dengan roh gaib atau jiwa orang yang telah meninggal. Para wanita ini memiliki roh pelindung. Dalam
memimpin upacara, mereka selalu berkomunikasi dengan mahluk gaib melalui keadaan kesurupan.
Bagi orang Karo, wanita ini disebut Guru Si Baso.
47
Mereka berperan sebagai spirit-medium
dalam ritual yang dipimpinnya. Kesurupan yang mereka alami secara universal dikenal dengan
sebutan spirit-possession.
48
Bagi orang Karo disebut dengan selok. Roh pelindung yang senantiasa
menyertai mereka dalam bahasa Karo disebut jenunung.
49
Dalam kajian religi, jenujung dikenal
dengan sebutan quardiant-spirit atau ghost-spirit.
50
Menurut Murdock (1974), dengan pengaruh
quardiant-spirit atau ghost-spirit, seorang spirit-medium dapat menyembuhkan penyakit yang
disebutnya dengan soul-lost, yaitu memanggil jiwa yang pergi meninggalkan tubuh untuk sementara

46
Pada awalnya, kepercayaan tradisional Karo disebut dengan Perbegu. Kata begu dalam bahasa Karo berarti mahluk halus,
yaitu keyakinan kepada mahluk halus Untuk menghindari pemahaman yang salah akan kata begu dalam pengertian
hantu/setan atau penyembahan kepada setan atau hantu, maka penyebutan perbegu diganti menjadi pemena Pemena berarti
asli yang berasal dari kata bena yang berarti awal/asli. Dengan demikian pemena berarti kepercayaan yang asli (pertama) dari
orang Karo sebelum masuknya pengaruh agama baru seperti Katolik, Kristen Protestan, Islam, Hindu dan Budha (lihat juga
dalam Tarigan, H.G 1988)
47
Tulisan Siti Dahsiar A Shamanisme di Jepang (1976) mengemukakan bahwa 99% dari para shaman atau spirit-
medium adalah wanita dan struktur pemanggilan roh dengan jalan kesurupan.
48
Menurut Foster dan Anderson (1986:125), terdapat perbedaan antara spirit-medium dan shaman. Spirit-medium
merupakan orang yang berperan sebagai perantara antara manusia dengan dunia gaib, yang mana roh gaib tersebut dapat
memasuki tubuhnya. Sedangkan shaman adalah seseorang yang jiwanya dapat pergi ke alam gaib. Oleh karena itu secara
konseptual, kesurupan yang mereka alami berbeda. Kesurupan pada spirit-medium disebut spirit-possession dan kesurupan
pada shaman disebut trance. Selain itu, Favazza dan Oman (n.d): 492-494) menjelaskan bahwa trance merupakan
keadaan kesurupan yang dicapai dimana seseorang itu memberitakan pengalaman pribadinya dari keadaan jiwanya yang ke
luar dari tubuhnya ke alam gaib (trance, a private experience of the person). Sedangkan, spirit-mediumspirit-possession
melibatkan penerimaan orang lain dalam dirinya yang menyebabkan Dia kemasukan roh.
49
Lihat tulisan Sembiring, Sri Alem Sinetron dan Jenujung: Universalkah ? dalam Tabloid Sora Mido edisi XXI/II hal.3.
50
Lihat dalam Pettit, George A (1966:237-243)
123
Sri Alem Sembiring Guru Si Baso dalam Ritual Orang Karo: Bertahannya Sisi



waktu karena peristiwa-peristiwa khusus yang dialami seseorang. Spirit medium atau shaman juga
mempunyai lebih dari satu roh pelindung.
Beberapa ritual yang melibatkan Guru si Baso dan cenderung dilakukan orang-orang Karo
saat ini antara lain perumah begu, raleng tendi, erpangir ku lau, ataupun perumah dibata (perumah
jenujung).
51
Salah satu ritual perumah jenujung dilakukan di Pancur Batu (Kabupaten Deli Serdang)
18 Agustus 2005 lalu.
52
Erpangir ku lau dilakukan di Lau Debuk-Debuk di kaki Gunung Sibayak 14
Desember 2005.
53
Ritual ini dilakukan setiap bulan pada hari ke 13 menurut penanggalan hari Karo
yang disebut hari cukera dudu (cukera ku lau). Perumah Begu juga dilakukan beberapa warga di desa
X (nama samaran) Kecamatan Juhar Kabupaten Karo.
Para guru ini juga memiliki sebuah organisasi dengan nama Sada Perarih yang merupakan
Perkumpulan Guru Perjinujung Deleng Sibayak di Medan.
54
Apa menariknya ritual ini dan apa
manfaat yang diperoleh para partisipan dalam ritus ini sehingga keberadaannya tetap bertahan?

B. Guru dan Kepercayaan Tradisional
Dalam kepercayaan pemena, upacara ritual dipimpin oleh seorang guru. Guru merupakan
sebutan bagi orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai upacara
tradisional Karo, antara lain meramal, memimpin ritual, berkomunikasi dengan roh/mahluk gaib,
perawatan, serta penyembuhan kesehatan.
55
Ginting, J.G. menyebutkan secara harfiah guru sama
artinya dengan kata guru (lehrer) dalam bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki pengetahuan
yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan. Tetapi sebagai sebuah
peran cenderung diartikan dengan dukun dalam bahasa Indonesia (lihat Ginting, J.R.1990). Siebeth, A
(1991: 64) menyebut guru sebagai magician-priests.
Guru dalam kehidupan orang Karo memiliki banyak klasifikasi berdasarkan keahlian dan
keampuhannya.
56
Salah satu di antaranya adalah guru si baso, yaitu seseorang yang dapat
berhubungan dan mengundang roh gaib memasuki tubuhnya dan roh gaib itu dapat berkomunikasi
dengan manusia yang masih hidup melalui guru si baso yang berperan sebagai spirit-medium.
Mereka juga dapat melihat mahluk-mahluk halus dari dunia gaib. Beberapa orang Karo menyebut
mereka dengan sebutan guru perjenujung (guru perjinujung). Jenis guru ini cenderung tidak memiliki
keahlian meramu obat dari tumbuhan.
Pentingnya peran guru dalam kepercayaan tradisional Karo tidak hanya dalam kegiatan yang
berhubungan dengan roh gaib dan ritual, ataupun suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu
gaib. Seorang guru berfungsi untuk mencapai kembali keseimbangan (equilibrium) bagi kelompok

51
Perumah begu adalah ritual yang bertujuan untuk memanggil kembali roh orang yang telah meninggal (begu). Releng tendi
adalah ritual yang memanggil kembali roh orang yang masih hidup (tendi) yang ke luar dari tubuh disebabkan suatu peristiwa
khusus dan menyebabkan si pasien sangat terkejut atau karena peristiwa yang tidak diduga-duga. Pasien akan bertingkah laku
tidak seperti biasanya, dapat menjadi sangat pendiam dan tidak menghiraukan apa pun terjadi di sekitarnya atau pasien
menjadi tertawa sendiri, menangis secara tiba-tiba, atau marah tanpa sebab. Jiwanya dianggap ke luar dari tubuh dan tinggal
pada tempat tertentu dikuasai atau dipenjarakan roh gaib tertentu. Erpangir ku lau atau berlangir merupakan ritual untuk
menyembuhkan penyakit tertentu atau dilakukan sebagai rentetan dari acara perumah dibata sebagai sebuah ucapan syukur
terhadap roh gaib tertentu.Perumah dibata adalah ritual memanggil seluruh roh gaib pelindung dari suatu keluarga atau
seorang individu sebagai ucapan terimakasih karena telah melindungi suatu kelurga (kata Dibata secara harafiah berarti
Tuhan, tetapi dalam ritual ini berarti roh gaib yang menjaga keluarga).
52
Lihat laporan Karmila br Kaban (2005) Ritual Perumah Jenujung di Pancurbatu dalam Tabloid Sora Mido edisi XIX/II
hal.10.
53
Lihat laporan Ita Apulina Tarigan (2005) Suatu Hari Cukera Dudu di Lau Debuk-debuk dalam Tabloid Sora Mido edisi
XXIII/II hal.12.
54
Lihat laporan Ita Apulina Tarigan (2005) Suatu Hari Cukera Dudu di Lau Debuk-debuk dalam Tabloid Sora Mido edisi
XXIII/II hal.12.
55
Dalam tulisannya berjudul De Bataksche Guru dalam Mededeelingen van wege het Nederlandsche
Zendelinggenootschap, J.H. Neumamnn (1910: 1-18) memandang guru sebagai suatu kumpulan informasi; ahli sejarah,
ahli penyembuhan, ahli teologi, ahli ekonomi dan juga merupakan suatu ensiklopedi yang mengembara di tengah-tengah
masyarakat (dalam Ginting, Juara.R. 1986)
56
Lihat dalam Ginting, Juara.G. Karo Guru and His Practices. Artikel untuk Katalog Museum Stuttgard-Jerman, 1990.p.1.
Juga lihat dalam Sembiring, Sri Alem. Guru Si Baso: Peranan dan Fungsi Sosial Dukun Wanita Sebagai Spirit Medium di
Lingkungan Sosial Masyarakat Karo. Skripsi Sarjana.1992. USU.Tidak dipublikasikan.
124
J urnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol. 1 No.3 Desember 2005



warganya. Dalam fungsi ini, guru punya banyak pengetahuan tentang alam semesta (kosmos).
57

Keseimbangan kosmos yang terusik dengan sengaja atau tidak oleh manusia harus segera
dikembalikan ke kondisi semula. Keseimbangan perlu diciptakan dalam diri manusia sendiri sebagai
sebuah mikro-kosmos (semesta kecil) untuk menciptakan suasana kedamaian hati dan kesehatan.
Sementara, keseimbangan dalam konteks yang lebih luas dengan lingkungannya sebagai sebuah
makro-kosmos juga perlu diciptakan untuk kesejahteraan bersama, keberhasilan usaha, dan
mencegah bencana alam.
Konsepsi tentang kosmos menurut kepercayaan tradisional Karo menyatakan bahwa alam
semesta sudah terbentuk sejak Dibata (Tuhan) menciptakan manusia dan dunia. Si nasa lit (segala
yang ada) dikuasai oleh Dibata. Alam semesta merupakan satu kesatuan menyeluruh yang dapat
dibagi secara vertikal (tegak lurus) dan horizontal (mendatar). Secara vertikal, alam dibagi ke dalam
tiga bagian yang disebut benua; benua atas dikuasai oleh Dibata Atas, benua tengah dikuasai oleh
Dibata Tengah, dan benua teruh yang dikuasai oleh Dibata Teruh. Ketiganya merupakan satu kesatuan
yang disebut Dibata Si Telu sebagai tritunggal atau penguasa tunggal. Secara horizontal, alam semesta
dibagi ke delapan penjuru mata angin.
Orang-orang Karo juga sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan
terhadap tendi (jiwa).
58
Tendi dipandang sebagai sebuah kehidupan jiwa yang keberadaannya
dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Alam semesta dikuasai oleh sekumpulan tendi. Setiap titik
dalam alam semesta mengandung tendi. Dunia gaib disebuit juga dunia pertendin. Tendi juga adalah
sebutan untuk roh manusia yang masih hidup. Jika orang itu telah meninggal, tendinya akan berubah
menjadi begu (roh).
Sebuah ritual akan dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi jiwa-
perasaan, nafas, dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta kecil (mikro-kosmos).
Ketidakseimbangan ini kan menyebabkan berbagai kerugian, seperti; bangger (sakit), mara
(malapetaka) dan akhirnya kematen (kematian). Daya pikiran manusia dianggap bertanggungjawab ke
luar guna menjaga keseimbangan dalam diri manusia dengan keseimbangan luar sebagai makro-
kosmos (alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar.
Keseimbangan alam semesta ini akan terganggu jika terganggunya beberapa inti kehidupan
(beraspati) : inti kehidupan tanah, air, udara, dan rumah.
59

Salah satu contoh dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang adalah jika terjadi sebuah
kemalangan (kematian) dari salah satu anggota keluarga. Ritual perumah begu akan dilakukan untuk
mengatasinya. Apa yang dilakukan seorang guru si baso dalam ritual tersebut, peristiwa apa saja yang
terjadi dalam ritual itu?

C.Guru Si Baso dan Perumah Begu
Perumah begu bagi orang yang baru saja meninggal dunia dilakukan pada malam pertama
setelah mayat dikebumikan. Pada awal upacara, Si baso akan melakukan tahap awal upacara yang
bersifat menegaskan perbedaan dunia antara manusia dan roh orang meninggal. Selama prosesi ritual,
si baso memainkan dua peran penting, yaitu sebagai master of ceremony atau pemimpin utama ritual
dan juga berperan sebagai story teller in dramatical ritual. Si baso sebagai penceritera kembali kisah
hidup dari orang yang baru meninggal.

Si Baso sebagai Master of Ceremony
Sebelum upacara memasuki tahap inti, si baso meminta izin pada beberapa inti kehidupan
(nini beraspati) sebagai penguasa alam dan memanggil jenujungnya hingga ia berhasil mencapai
keadaan possessed (kesurupan). Nyanyian guru si baso memanggil jenujung adalah memanggil raja
kepultaken dan raja kesunduten (penguasa matahari terbit dan penguasa matahari terbenam):

57
Sebagaimana yang dituliskan Spradley dan Mc. Curdy dalam bukunya Anthropology: the Cultural Perspective: Religion
is the Cultural Knowledge of the Supranatural that People Use to Cope with the Ultimate Problems of Human
existence.1975.p.423-432.
58
Lihat juga dalam Siebeth, A. (1991: 66-75). Tendi dijelaskan sebagai sebuah konsep yang kompleks dari orang Karo dan
sulit mencari padanan katanya dalam bahasa Inggeris jika disesuikan dengan konsep lokal.
59
Dalam ornamen Karo, nini beraspati dilambangkan dengan seekor cecak putih yang dianggap sebagai pelindung manusia.
125
Sri Alem Sembiring Guru Si Baso dalam Ritual Orang Karo: Bertahannya Sisi



Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam
melias dapet ate malem. Oturang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe
rudangta. Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si
dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam
kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.

(Ini telah kubungakan bunga kapias, juga jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara
yang baik untuk mendapat perasaan damai. O saudara bunga kapias bunga tara
tinggi kiranya itu jadi bunga kita.. Mari penguasa matahari terbit berangkatlah kamu
beserta penguasa matahari terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu
tidak datang tidak mampu aku melakukannya sendiri. Kupanggil kamu semua
masuklah ke dalam tubuhku, kalau kamu tidak datang tidak mampu aku bercerita dan
bernyanyi).

Kehadiran jenujung ditandai dengan perubahan prilaku guru; memicingkan mata karena
merasa ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan, badannya terasa panas, seolah-olah merasa
diawang-awang, tubuhnya bergetar dan tiba-tiba sangat gembira sambil berkata ih kai ndai
tenahndu, enda aku enggo reh (ihapa pesan anda, ini aku sudah datang). Guru si baso dapat
langsung menari, memakan sirih, atau meminta rokok. Jenujung ini yang akan memanggil para roh
keluarga yang telah meninggal dari dunia kematian. Roh keluarga itu akan memasuki tubuh guru si
baso kemudian berkomunikasi dengan keluarganya yang menyelenggarakan ritual.
Ritual ini dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 09.00 WIB
keesokan harinya. Selama acara berlangsung, si baso memimpinnya dengan bernyanyi.
60
Lirik dan
nada lagu sangat menyentuh dengan tone tertentu untuk menggugah perasaan peserta ritual. Dalam
proses komunikasi dengan arwah melalui tubuh guru si baso, adakalanya juga terjadi pemeriksaan
penyakit untuk keluarga yang masih hidup ataupun ramalan akan keberhasilan, penyakit, atau
malapetaka yang akan dihadapi. Ramalan ini dilakukan oleh arwah yang memasuki tubuh si baso
dengan menggunakan media sebutir telur ayam negeri yang disebut tambul.
Si baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham. Dalam hal
ini, peran si baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok kerabat yang berkonflik. Begu
(roh) atau arwah yang memasuki tubuh si baso bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa
nasihat.

Si Baso sebagai Story Teller in Dramatical Ritual
Peran sebagai penceritera kembali kisah hidup dari orang yang telah meninggal ini dilakukan
pada saat begu yang datang adalah orang yang baru dikebumikan pada sore harinya. Dalam keadaan
kesurupan, si baso akan berkisah mengenai dirinya dengan tokoh aku (saya). Aku yang dimaksud
adalah diri si begu (roh) yang datang memasuki tubuh si baso. Kisah yang dipaparkan dapat
dikelompokkan dalam tiga bagian. Pertama mengenai pribadi aku, kisah antara aku dan kerabat, dan
mengenai harapan-harapan aku.
61

Suasana dalam ritual ini terlebih dahulu dikondisikan oleh si baso agar peserta siap
menerima kedatangan begu (roh) yang baru saja meninggal. Penciptaan suasana dramatis,
mengharukan dan sedih ini diciptakan dengan tujuan agar seluruh peserta upacara, khususnya pembuat
ritual merasa kebutuhan batinnya terpenuhi. Si baso harus dapat bernyanyi dengan bagus dan
merangkai kata-kata untuk menciptakan suasana gaib di ritual tersebut. Suasana ini dibutuhkan untuk
menciptakan keterbukaan agar para penyelenggara dapat meluapkan segala sesuatu yang mengganjal
perasaannya selama ini untuk semua masalah yang berhubungan dengan orang yang baru meninggal
itu semasa hidupnya.

60
Selama acara berlangsung, si baso tidak boleh makan, hanya minum sesekali saja.
61
Aku dalam bahasa Karo berati saya. Aku yang dimaksud adalah sebutan bagi diri si begu yang baru meninggal untuk
menyebut dirinya melalui si baso sebagai medium. Si baso yang telah kerasukan roh aku akan menceiterakan ulang sejarah
hidupnya, suka dukanya dengan gaya bahasa yang sangat menarik, penuh dengan perumpamaan. Semuanya dilakukan
dengan nyanyian.
126
J urnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol. 1 No.3 Desember 2005



Setelah semua roh keluarga selesai berkomunikasi dengan keluarga yang masih hidup,
jenujung kembali memasuki tubuh guru si baso dan berkomunikasi dengan peserta upacara untuk
menanyakan kepuasan mereka. Selesai bertanya dan setelah semua merasa puas, jenujung akan
bernyanyi kembali dengan gembira seperti nada pantun;
Iket-iket rimo padang.ale padang mardokan-dokan. Inget-inget enggo longge, enggo
mbuah kerina bibi diang pertubuh. Okeltah- keltuh, terung gedang, lampas empo
teruh medemjenujungku rudangku rudang kapias, kuturangken kam melias dapet ate
malem. Obibi nande mulih ku kalang ulu, temalem-temalem.

Ungkapan-ungkapan jenujung ini berupa ungkapan kegembiraan hati karena kesuksesan
upacara. Terakhir sekali guru si baso mengangkat kedua tangannya dan menutupkan ke wajahnya
untuk beberapa detik (sekitar 7 detik). Kemudian membukanya kembali. Guru si baso telah sadar dari
keadaan kesurupan. Jenujung telah keluar dari tubuhnya dan upacara telah selesai. Guru si baso telah
menjadi dirinya sendiri.

D. Guru Si Baso Sepanjang Life-Cycle
Guru si baso memiliki peran penting sepanjang daur hidup. Seorang dukun beranak juga
disebut sebagai guru si baso. Proses kelahiran manusia baru dipandang sama dengan datangnya
sesuatu dari dunia gaib (rahim ibu) ke dunia nyata (dunia manusia). Kelahiran merupakan awal
kehidupan suatu tendi baru. Pemotongan tali pusat dipandang sebagai sebuah legitimasi pemutusan
hubungan dengan dunia gaib. Manusia baru telah hidup di dunia nyata dan tendinya adalah milik
pribadinya seutuhnya.
Selama masa pertumbuhan hingga dewasa, jika terjadi gangguan kesehatan fisik atau
gangguan kejiwaan yang berhubungan dengan ketidakseimbangan dari tendi (jiwa), maka guru si baso
akan berperan dalam proses penyembuhan. Beberapa ritual yang dipimpin si baso , seperti: raleng
tendi atau ndilo tendi, ngombak belo, erpangir ku lau, perumah dibata/jenujung, nuan galoh, buah
huta-huta,muncang/ngeluncang, mulahken manok, dan upah tendi.
62

Dalam kasus penyakit yang disebabkan karena kehilangan tendi untuk sementara. Seorang
guru si baso akan melakukan diagnosis penyebab sakit dan metode penyembuhannya dengan bertanya
pada jenujungnya melalui suara siulan di lehernya (i sendongken). Si baso harus tahu apakah sakit itu
disebabkan campur tangan pihak luar seperti guna-guna, roh jahat, atau karena kondisi fisik tertentu si
pasien, bagaimana proses kejadiannya (apakah melanggar tabu, mempunyai musuh), kapan gejala
dimulai, serta di mana kejadian pertama sekali. Perlu juga informasi mengenai latar belakang keadaan
fisik, keturunan (apakah dari keluarga guru atau orang biasa), persoalan keluarga dan masalah dalam
hubungan kekerabatan, kondisi ekonomi, dan beberapa hal-hal lain yang dipandang perlu oleh guru si
baso.
Setelah seseorang meninggal, maka guru si baso juga berperan melalui ritual perumah begu.
Bahkan apabila akan dilakukan upacara memindahkan tulang-belulang dari makam lama ke geriten,
63

guru si baso juga memimpin ritualnya dengan nama ngampeken tulan-tulan. Perpindahan makam
dipandang sebagai suatu perpindahan tempat juga bagi begu (roh) orang yang telah meninggal itu. Roh
itu harus kembali diintegrasikan dalam tempat peristirahatan terakhirnya yang baru.
Guru si baso akan menyanyi dan menari dalam memimpin upacara ini sembari menjujung
sekumpulan tulang-belulang leluhur di atas kepalanya. Roh pemilik tulang tersebut diharapkan
mengikuti langkah guru si baso menuju geriten baru. Selesai acara ini, maka akan dilakukan perumah
begu pada malam harinya, khusus bagi begu (roh) yang dipindahkan tulangnya.

E. Fungsi Sosial Guru Si Baso

62
Lihat dalam Sembiring, Sri Alem Guru Si Baso: Peranan dan Fungsi Sosial Dukun Wanita Sebagai Spirit-Medium di
Lingkungan Sosial Masyarakat Karo. Skripsi Sarjana.1992. USU.Tidak dipublikasikan.
63
Geriten adalah suatu bangunan yang dibuat megah sebagai makam (seperti tugu pada orang Batak Toba). Model bangunan
geriten tradisional dibuat sama dengan rumah adat karo. Bangunan ini merupakan tempat menyimpan tulang-belulang
seorang leluhur atau beberapa orang leluhur sebagai penghormatan.
127
Sri Alem Sembiring Guru Si Baso dalam Ritual Orang Karo: Bertahannya Sisi



Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan supranatural, seorang guru si baso memiliki fungsi
untuk pemenuhan kebutuhan rohani bagi warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan
Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan), seperti pada ritual mere buah
huta-huta atau muncang.
Sebagai orang yang menguasai pengetahuan tentang kosmos (alam semesta), guru si baso juga
berfungsi sebagai biak penungkunen (biro konsultasi). Warga akan meminta penjelasan mengenai
mimpi mereka, peristiwa aneh yang dialami, dan mengharapkan nasehat-nasehat sebagai tindakan
lanjutan. Nasehat terutama sangat dibutuhkan dalam kasus konflik antarwarga atau antar kerabat. Jika
kasus terjadi dalam lingkup kerabat dekat, si baso akan menyarankan diadakannya perumah dibata
dan disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya melibatkan kerabat terdekat
yang bersengketa. Fokus dalam acara diarahkan pada penyelesaian konflik. Dalam kasus ini, si baso
juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas sosial.
Selain menjaga keseimbangan (equilibrium) dalam diri manusia, secara tidak langsung si baso
juga berperan menjaga keseimbangan berjalannya norma dan nilai adat-istiadat. Pergeseran norma dan
nilai adat dapat menjadikan jalannya adat menyimpang dan menyebabkan para leluhur marah dan
mencelakakan manusia.
Dalam kasus kesehatan, si baso juga berperan sebagai penyembuh tradisional. Ritual
penyembuhan ditentukan setelah tahap konsultasi dengan jenujung. Dalam beberapa kasus penyakit
tertentu, si baso juga bekerjasama dengan jenis guru lain, misalnya guru pertawar (penyembuh yang
menggunakan ramuan-ramuan tradisional) jika si baso merasa si pasien memerlukan ramuan
tumbuhan untuk diminum atau dimakan.

F. PENUTUP
Peran Guru si baso demikian kompleks dalam kehidupan tradisional orang Karo. Sebagai
spirit-medium, si baso tidak hanya menjadi perantara antara dunia manusia dengan dunia gaib,
melainkan juga perantara di antara sesama manusia untuk menciptakan kembali keseimbangan dalam
kehidupan sosial budaya. Mengingat ritual yang dipimpinnya berhubungan dengan menjaga dan
menciptakan kembali keseimbangan jiwa (tendi), maka keuntungan yang diperoleh para
penyelenggara ritual berorientasi dengan hal-hal seperti, rasa aman, rasa senang, rasa tenang, rasa
bangga. Orang karo menyebutnya dengan ukur malem (pikiran tenang), malem ate (kesejukan hati),
malem pusuh (perasaan tenang) sehingga tercipta kondisi sehat sejahtera lahir dan batin (mejuah-
juah).

Daftar Pustaka

Favazza, A.M. dan M. Oman.Anthropology and Psychiatri. Dalam H.I. Kaplan, A.M.Freedman,
B.J.Sodock, (eds). Comprehensive Textbookof Psychiatri/III Vol. 1Baltimore-London:
William and Wilkins. Hal. 492-494.

Ginting, Juara. G. 1986. Pandangan Tentang Gangguan Jiwa dan Penanggulangannya secara
Tradisional pada Masyarakat Karo. [Skripsi]. Fakultas Sastra USU.

---------------------- 1990. Karo Guru and His Practices. Artikel untuk Katalog Museum Stuttgard-
Jerman.

Karo, Karmila. 2005. Ritual Perumah Jenujung di Pancurbatu. Dalam Tabloid Sora Mido edisi
XIX/II, hal.10.

Neuman, J.H. 1910. De Bataksche Guru. Dalam Mededeelingen van wege het Nederlandsche
Zendelinggenootschap. Hal 1-18 dalam Juara R.Ginting Pandangan tentang Gangguan Jiwa
dan Penanggulangannya secara Tradisional pada Masyarakat Karo. [Skripsi]. Fak. Sastra
USU.

Pettit, George A. 1966. The Vision Quest and The Quardiant Spirit dalam Reading in Anthropology.
USA: Mc.Graw Hill Book Company.

Sembiring, Sri Alem. 1992. Guru Si Baso: Peranan dan Fungsi Sosial Dukun Wanita sebagai Spirit
128
J urnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol. 1 No.3 Desember 2005



129
Medium di Lingkungan Sosial Masyarakat Karo. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara.

------------------------- 2005. Sinetron dan Jenujung: Universalkah? Dalam Tabloid Sora Mido edisi
XXI/II, hal.3.

Sibeth, Achim. 1991. The Batak: People of the Island of Sumatera with Contributions by Uli Kozok
dan Juara R.Ginting. London: Thames and Hudson Ltd.

Siti Dahsiar, A. 1976. Shamanisme di Jepang. Dalam Berita Anthropogy, Thn VIII No.20, Januari.
Jakarta.

Spradle, James P. dan David W. Mc Curdy. 1975. Anthropology: The Cultural Perspective. New
York:John Wiler &Sons, Inc.

Tarigan, H.G. 1990. Percikan Budaya Karo. Bandung: Yayasan Merga Silima.

Tarigan, Ita Apulina. 2005. Suatu Hari Cukera Dudu di Lau Debuk-debuk. Dalam Tabloid Sora
Mido, edisi XXIII/II, hal.12.

Anda mungkin juga menyukai