Comparison of the effect of multimedia and illustrated booklet
educational methods on womens knowledge of prenatal care
Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Individu Stase Keperawatan Maternitas
Disusun Oleh : ARINDA NIVIANITA SARI 09/283094/KU/283094
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA TAHUN 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persalinan, disamping merupakan peristiwa yang paling membahagiakan, namun juga merupakan pengalaman nyeri paling berat yang dirasakan wanita. Nyeri merupakan salah satu keluhan utama yang paling dirasakan wanita selama proses persalinan tanpa memandang status sosial dan etnis. Penelitian kedokteran menunjukkan bahwa onset, waktu, dan keparahan nyeri yang dirasakan ibu bersalin bervariasi, namun sebagian besar ibu bersalin mempersepsikan nyeri persalinan dalam kategori nyeri berat dan sangat berat (Ogboli- Nwasor, 2011). Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa 93,5% ibu hamil mendeskripsikan nyeri sebagai nyeri berat, ketika penelitian di Finlaindia 80% wanita menilai nyeri persalinan sebagai nyeri berat dan tak tertahankan (Steer, 1983 dan ratna, 1995 dalam Baker et.al, 2001). Variasi dalm persepsi nyeri pada ibu bersalin ini dipengaruhi oleh variabel sosiodemografis dan biologis seperti usia, jumlah paritas ras, agama, etnisitas, bahkan beberapa penelitian juga menunjukkan kaitan antara ritme sirkadian dengan persepsi nyeri (Aya et.al, 2004). Bebas nyeri selama persalinan sangat diharapkan oleh ibu, dan berdampak besar terhadap kualitas hidup dan tingkat kepuasan mereka selama proses persalinan. Penelitian menunjukkan behwa ketika wanita diberikan analgesik selama persalinan, mereka melaporkan tingkat kepuasan yang lebih besar terhadap proses persalinan yang mereka alami. Nyeri persalinan merupakan aspek penting dari kesehatan wanita yang selama ini ditelantarkan. Telah ditunjukkan pada beberapa penelitian bahwa tenaga kesehatan kadang- kadang meremehkan tingkat nyeri yang dialami wanita selama persalinan (Campbell, 2003). Penelitian oleh Ogboli-Nwasor et.al (2011) menunjukkan bahwa mayoritas responden (94,8%) menyetujui bahwa mengurangi nyeri diperlukan selama persalinan. Banyak intervensi farmakologis dan nonfarmakologis telah dikembangkan untuk menghilangkan nyeri persalinan, dan penggunaannya saat ini menjadi semakin berkembang di negara maju. Intervensi-intervensi tersebut antara lain analgetik opioid parenteral, analgetik epidural, dan agen inhalasi seperti nitric oxide. Intervensi-intervensi nonfarmakologis yang saat ini sedang dikembangkan antara lain transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), hipnotis, dan akupuntur. Namun strategi menghilangkan nyeri menggunakan analgesik opiod sistemik dapat memiliki efek samping. Efek samping tersebut dapat bersifat ringan seperti mengantuk, nausea, dan gangguan konsentrasi. Efek samping yang lebih berupa bradikardia dan hipotensi. Dalam dosis yang tinggi, analgesik opioid dapat mendepressi napas pada ibu maupun bayi, terutama setelah persalinan dan menunda perkembangan refleks. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) telah digunakan secara luas di negara maju untuk mengurangi nyeri pada berbagai kondisi penyakit, baik nyeri akut non malignant dan nyeri kronik dan juga nyeri yang disebabkan kanker. TENS adalah manajemen nyeri yang tidak mahal, tidak invasif, dan aman tanpa efek samping yang berbahaya. TENS dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien dan keluarga melalui pemberian latihan sederhana sehingga kemandirian pasien dapat meningkat. Karena tidak mengandung potensi toksisitas, pasien dapat meningkatkan dosisnya sesuai tingkat kenyamanan pasien. (Tashani dan Johnson, 2004). Akupuntur merupakan pengobatan Cina tradisional yang telah berusia lebih dari 3000 tahun. Terapi ini berdasarkan konsep metafisika Chi, energi kehidupan yang mengalur melalui kanal-kanal meridian dalam tubuh. Dalam meridian ini dikembangkan 365 titik akupuntur yang dapat membuka dan menyeimbangkan energi yin dan yang. Penelitian menunjukkan bahwa akupuntur memiliki manfaat dalam menangani nyeri akut dan neyri kronik pada berbagai kondisi, dan memiliki efek antiinflamasi. Lebih jauh lagi penelitian menunjukkan bahwa titik akupuntur tertentu memiliki efek yang spesifik dalam mengurangi nyeri pada bagian tubuh tertentu pula (Ulet et.al, 1998). Berdasarkan hal di atas maka amat sangat menarik mengetahui apakah aplikasi Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) yang diadministrasikan pada titik-titik akupuntur spesifik dapat bermanfaat untuk mengurangi nyeri persalinan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik rumusan masalah Apakah Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) pada titik akupuntur efektif untuk mengurangi nyeri persalinan ? C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui evidence based nursing terkait efektivitas TENS pada titik akupuntur sebagai terapi keperawatan untuk mengatasi nyeri persalinan. D. Manfaat Sedangkan manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan makalah ini adalah : 1. Melatih kemampuan analisis hasil penelitian ilmiah 2. Melatih kemampuan dalam mencari penyelesaian masalah keperawatan klinis di bidang maternitas yang berbasis pada bukti ilmiah (evidence based nursing) BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) Transcutaneous electrical nerve stimulation adalah penggunaan aliran listrik yang dihasilkan oleh suatu alat untuk menstimulasi saraf dan mengurangi nyeri. TENS meliputi aplikasi listrik pada kulit untuk mengeksitasi saraf oleh alat tertentu untuk mengobati nyeri. Transcutaneous electrical nerve stimulation saat ini telah banyak digunakan sebagai intervensi pengurang nyeri, baik nyeri akut maupun nyeri kronik. Penggunaannya juga pada nyeri karena kanker. TENS adalah intervensi yang tidak mahal, mudah digunakan, sederhana, dan aman dengan efek samping yang minimal. TENS dapat dilakukan sendiri oleh pasien dan keluarga setelah diberikan pendidikan kesehatan dank arena tidfak terdapat potensi toksisitas, maka pasien dapat meningkatkan atau menurunkan dosis sesuai yang dibutuhkan. Selama TENS, aliran listrik dengan kekuatan tertentu dihasilkan oleh baterai kecil yang menghidupkan alat TENS yang dapat disimpan di saku atau disematkan pada sabuk. Aliran listrik dari TENS biasanya dialirkan ke kulit melalui 2 pad tempel elektroda, meskipun dalam beberapa kondisi dapat juga dilakirkan melalui lebih dari 2 elektroda. Gambar sebuah alat TENS standar ditunjukkan oleh gambar 1 berikut.
Gambar 1. Sebuah alat TENS
Tujuan dari TENS adalah secara selektif mengaktivasi serat saraf. Kemampuan menghilangkan nyeri maksimal dicapai ketika TENS menghasilkan sensasi elektrik yang tidak nyeri dibawah elektroda. Penurunan nyeri biasanya memiliki onset cepat dan segera hilang setelah TENS dihentikan. Pada umumnya, TENS diaplikasikan pada frekuensi tinggi (>50Hz) dengan intensitas dibawah kontraksi otot (intensitas sensoris) atau frekuensi yang lebih rendah (<10 Hz) dengan intensitas yang menghasilkan kontraksi motorik. Deskripsi tentang sebuah Alat TENS standar yang banyak digunakan dalam setting layanan kesehatan ditunjukkan oleh tabel 1 berikut.
B. Biological Plausability TENS sebagai Pengurang Nyeri Teori dasar yang menjelaskan bagaimana mekanisme biologis dibalik kerja TENS dalam mengurangi nyeri adalah Teori Gate Control of Pain yang diajukan oleh Melzack dan Wall. Berdasarkan teori Gata-Control nyeri, stimulasi sensoris pada mekanoreseptor dan thermoreseptor dengan serat saraf berdiameter besar dan threshold rendah (Serat saraf A Beta) akan lebih cepat dihantarkan ke otak dan akan menghambat transmissi potensial aksi dari saraf nociceptive yang berdiameter kecil dan memiliki threshold tinggi. Penghambatan jaras nyeri ini terjadi melalui penghambatan pada kornu dorlasis medulla spinal. Manusia menggunakan mekanisme ini ketika menggosok kulitnya untuk mengurangi rasa nyeri atau gatal. Karena stimulasi nyeri nociceptor melalui serat saraf berdiameter kecil (serat saraf A delta dan C) memiliki threshold yang lebih tinggi dan kecepatan eksitasi yang lambat dibandingkan serat mekanoreseptor dan thermoreseptor (serat A delta), Melzack dan Wall menyimpulkan bahwa sangatlah mungkin secara selektif menstimulasi saraf mekanoreseptor atau thermoreseptor dengan mengalirkan listrik dengan amplitude tertentu melalui permukaan kulit (seperti TENS). Hal ini akan memblok impuls saraf dari nociceptor, pada tingkat btraktus spinotalamikus medulla spinal sehingga tidak mencapai pusat nyeri di lobus parietalis korteks serebri sehingga nyeri berkurang.
Gambar 2. Pathway nyeri Selain memblok transmissi nyeri pada tingkatan medulla spinalis, aktivitas analgesia dari TENS juga melibatkan mekanisme inhibisi descendent yang berasal dari otak. Aktivitas pada serat saraf yang berasal dari otak dapat memblok transmissi sinyal saraf perifer pada medulla spinalis termasuk impuls nyeri. Manusia menggunakan mekanisme ini ketika secara psikologis mendistraksi dirinya agar tidak merasakan nyeri meskipun telah terjadi kerusakan jaringan. Bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian hewan menunjukkan bahwa TENS frekuensi rendah menstmulasi produksi endogenous opioid peptide. Endogenous opioid peptide sendiri adalah polipeptida endogen yang memiliki efek sama dengan opium dan morphin yaitu efek analgesia dan ketenangan. Opioid endogen diproduksi oleh hipotalamus dan hipofisis anterior (adenohipofisis) dari precursor protein proopiomelanokortin (POMC) precursor protein yang sama dengan bahan baku adrenokortikotropin hormone (ACTH). Endogenous opioid yang sekarang telah ditemukan ada 5 macam, yaitu enkefalin, dinorfin, endorphin, endomorfin, dan nosiseptin. Tiap-tiap opioid endogen ini memiliki efek yang beragam dalam menghambat nyeri. Aktivitas penghambatan nyeri oleh opioid adalah terjadi pada tingkat jaringan perifer, saraf medulla spinal, dan pada tingkatan pusat nyeri di otak (tingkatan supraspinal). Peptida opioid yang didistribusikan secara luas dan memiliki aktivitas analgesia adalah pentapeptida metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan leusin-enkefalin (leu-enkefalin). Salah satu atau kedua pentapeptida terdapat didalam ke 3 prekursor protein yang sama : preproopiomelanokortin, preproenkefalin (proenkefalin A), preprodinorfin (proenkefalin B). precursor opioid endogen terdapat pada daerah di otak yang yang berperan pada modulasi nyeri, dan juga ditemukan di medulla spinalis, medulla adrenal, dan pleksus saraf di usus. Molekul precursor opioid endogen dapat dilepaskan selama stress ataupun antisipasi nyeri. Dalam tubuh terdapat 4 reseptor opioid utama yaitu reseptor mu, kappa, delta, dan epsilon. Keempat jenis reseptor itu termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki beberapa subtype yaitu mu1,mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3. Reseptor mu memperantarai efek analgesic dan efek samping seperti euphoria, depressi napas, miosis, dan penurunan motilitas saluran cerna. Reseptor kappa memperantarai efek analgesia, sedasi, miosis, dan depressi napas. Reseptor delta memegang peranan penting dalam menimbulkan depressi napas yang ditimbulkan opioid. Reseptor mu1hanya terdapat di SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, sedangkan analgesia pada tingkat medulla spinal berinteraksi dengan reseptor delta dan kappa (Dewoto, 2007). Hal ini yang menjelaskan kenapa efek analgesia dapat bertahan beberapa jam setelah stimulasi elektrik dihentikan karena peningkatan endorphin memiliki efek jangka panjang di system saraf pusat. Dalam penelitian juga ditemukan bahwa beberapa neurotransmitter memiliki implikasi dalam analgesia yang diinduksi oleh TENS termasuk neurotransmitter Gamma Aminobutiric Acid (GABA), noradrenalin, Serotonin 5 Hidroksitriptamin(5HT) dan Adenosine. Peran Serotonin 5-Hidroksitriptamin (5-HT) dalam transmissi nociceptive kini telah banyak diteliti. Serotonin 5-Hidroksitriptamin terdapat di celah sinaps sistem saraf pusat dan perifer neuron serotoninergik. Neurotransmitter ini dlepaskan dari platelet dan sel mast paska terjadinya cedera jaringan, dan hal ini akan menghasilkan efek algesia dan analgesia tergantung pada lokasi bekerjanya pada sub tipe reseptor. Setelah cedera saraf, kadar 5-HT pada jaringan saraf yang rusak meningkat. Subtipe reseptor Serotonin 5-HT3 dan 5-HT2A terdapat pada serat saraf C. Serotonin 5-HT bersama dengan mediator inflamasi lain berkombinasi untuk merangsang serat safar afferent sehingga berkontribusi terhadap sensitisasi, hiperalgesia pada jaringan saraf yang mengalami cedera dan inflamasi. Neurotransmitter Gamma Amino Butiryc Acid (GABA) adalah neurotransmitter inhibitory pada sistem saraf pusat. Neuron GABAergik terdistribusi secara luas pada sistem saraf pusat termasuk regio kornu dorsalis medulla spinal yang diketahui berperan penting pada transmissi nyeri ke otak. Sebagai tambahan, neuron dan reseptor GABA juga ditemukan pada regio supraspinal yang diketahui sebagai mengkoordinasi persepsi dan respon terhadap stimulus nyeri dan sistem neurotransmitter ini diperlihatkan berperan mengatur proses informasi sensoris dari medulla spinal. Temuan terkini menunjukkan bahwa agonis GABA memiliki efek antinociceptive pada model binatang yang diberi rangsang nyeri, hal ini memberikan informasi bahwa GABA berperan dalam menghambat impuls nyeri dari medulla spinal. Hasil dari penelitian anatomi, fisiologi, biokimia, dan biologi molekuler mendukung kesimpulan bahwa aktivasi reseptor GABA menghambat respon terhadap stimulus nyeri. TENS mengurangi hiperalgesia melalui aktivasi jalur yang dimediasi reseptor pada level medulla spinal dan supraspinal. Penelitian dari Maeda et.al (2007) menunjukkan bahwa TENS frekuensi tinggi meningkatkan konsentrasi GABA ekstraseluler di medulla spinal pada hewan coba dengan dan tanpa inflamasi. Peningkatan GABA tidak terjadi pada TENS frekuensi rendah. Tidak terjadi peningkatan kadar glycine pada pemberian TENS frekuensi tinggi dan rendah. Penurunan pada hiperalgesia primer oleh TENS frekuensi tinggi dan rendah dihambat oleh pemblokir reseptor GABA (A) spinal yaitu bicuculline. Kesimpulan dari penelitian ini adalah TENS frekuensi tinggi meningkatkan produksi GABA pada kornu dorsalis medulla spinal. TENS menurunkan hiperalgesia melalui aktivasi reseptor GABA (A) di medulla spinal dan supraspinal. Penelitian lain juga menunjukkan adanya keterlibatan Substance P (SP) pada proses nyeri. Dalam bidang ilmu saraf, Substance P adalah neuropeptide yang berfungsi sebagai neurotransmitter dan sebagai neuromodulator. Substance P dilepaskan dari terminbal neuron pada membran presinaptic, dan ditemukan di otak dan medula spinalis dihubungkan dengan proses inflamasi dan nyeri. Reseptor endogen spesifik bagi Substance P adalah neurokinin 1 receptor (NK1R). Substance P adalah elemen utama dalam persepsi nyeri, transmissi stimulation nyeri ke system saraf pusat dan berhubungan dengan neurotrasnmitter asam glutamat. Substance P dan neuropeptide sensoris lainnya dapat dilepas dari saraf di kulit, oto, dan sendi, dan dilepaskan saat jaringan mengalami inflamasi ketika terjadi cedera (Dattar et.a, 2004). Studi lain menunjukkan bahwa opioid memiliki efek dengan menghambat pembentukan mediator proinflamasi yang dihasilkan oleh leukosit dan jaringan perifer yang mengalami cedera. Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa TENS dan elektroakupuntur menghasilkan efek penghambatan terhadap aktivitas enzim cyclooxigenase 1 (COX-1) dan enzim cyclooxigenase 2 (COX-2), menghambat pembentukan Prostaglandin E dan Prostaglandin F pada jaringan yang cedera. Studi yang dilakukan oleh Fang et.al (2013) menemukan bahwa TENS menghambat aktivasi jalur transduksi extracellular signal- regulated kinase (ERK), menghambat produksi cyclooxygenase-2 (COX-2) dan menurunkan kadar prostaglandin E2 interstisial spinal cord dorsal horn (SCDH). Penelitian lain oleh Lee et.al (2006) meneumkan bahwa aplikasi elektroakupuntur 2Hz menghambat ekspressi cyclooxygenase (COX)-1, COX-2, dan inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada model inflamasi yang diinduksi caraagenan. Selain itu sintesis prostaglandin E(2) (PGE(2)) secara parsial dihambat oleh 2 Hz EA baik di region nociceptive perifer dan spinal. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoenzim yaitu COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Enzim siklooksigenase 2 mengkatalisasi perubahan asam arakidonat dari membrane sel yang rusak menjadi prostaglandin E dan prostaglandin F, suatu mediator inflamasi yang berperan penting dalam inflamasi, edema, dan modulasi nyeri terhadap nociceptor. Temuan bahwa TENS menghambat sintesis prostaglandin ini menunjukkan bahwa aktivitas analgesia dari TENS juga dimediasi oleh jalur non-opioidergik baik di tingkat perifer maupun central. C. Teknik TENS TENS adalah teknik untuk menstimulasi beberapa serat saraf yang berbeda. Selama TENS, pulsasi arus listrik dihasilkan oleh baterai kecil yang dapat disimpan pada saku atau ditempelknan pada sabuk. Arus listrik dari TENS dihantarkan ke kulit melalui dua atau lebih elektroda temple. Tujuan dari TENS adalah secara selektif mengaktivasi serat saraf. Anti nyeri maksimal dicapai ketika TENS menghasilkan sensasi elektrik tak nyeri dibawah elektroda. Efek anti nyeri biasanya beronset cepat dan akan segera menghilang segera TENS dimatikan. Untuk halini, maka pasien didorong untuk menggunakan TENS selama yang dibutuhkan, yang mungkin bisa satu jam atau bahkan sehari. Kontraindikasi utama dari penggunaan TENS adalah pasien dengan implant stimulator seperti pacemaker.
Gambar 3. Gambar sebuah peralatan TENS Selama penggunaan TENS konvensional, arus listrik berintensitas rendah diberikan pada frekuensi tinggi (antara 10-200 pulsasi perdetik/pps) pada lokasi nyeri. Penggunanya akan mengalami sensasi tersengat listrik kuat dan tidak nyeri yang sering disebut tingling atau parestesia elektrik menyenangkan. Secara fisiologis, TENS konvensional menstimulasi impuls saraf afferent pada serat saraf berdiameter besar yang memiliki kemampuan penghantaran cepat pada medulla spinal. Teknik yang lain adalah yang disebut acupuncture like TENS, yaitu aplikasi TENS pada titik-titik meridian akupuntur tubuh menggunakan aliran listrik intensitas tinggi dan frekuensi rendah (kurang dari 10 pps, biasanya 2 pps). Tujuan dari TENS pada titik akupuntur ini adalah untuk mengaktivasi serat saraf afferent diameter yang menghambat impuls nyeri melalui mekanisme ekstra segmental. D. Anatomi dan Fisiologi Nyeri Persalinan Pada tahun 1996, The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan abik aktual dan potensial. Nyeri persalinan dihasilkan dari interaksi yang kompleks berbagai faktor. Meskipun belum terjelaskan secara penuh, nyeri dapat muncul dari distensi segmen uterus bawah dan dilatasi serviks. Mekanisme neural pada persalinan memiliki kesamaan dengan nyeri akut yang lain. Informasi nociceptive dihantarkan oleh neuron A delta dan C dari jaringan uterus ke kornu dorsalis medula spinal, melalui traktus spinotalamikus dan korteks serebral melalui interaksi berbagai neurotransmitter. Banyak faktor yang teraktivasi selama persalinanyang dapat memodifikasi nyeri pada berbagai kala persalinan. Beberapa dari faktor ini mungkin bekerja secara sinergis untuk menghasilkan efek antinocicpetive pada persalinan (Rowland and permezel. 1998). Nosiseptor adalah reseptor yang teraktivasi oleh stimulus nyeri, mediator inflamasi yang terbentuk selama cedera jaringan. Reseptor ini terdapat pada berbagai jaringan tubuh baik organ superfisial maupun visceral. Stimulus nyeri akan dirubah menjadi arus listrik yang akan dihantarkan oleh saraf ke pusat nyeri di korteks serebri. Terdapat 2 tipe nociceptor : High-threshold mechanoreceptors (HTM), yang berespon terhadap perubahan mekanis Polymodal nociceptors (PMN), yang berespon terhadap berbagai stimulus kerusakan jaringan. Stimulus kerusakan jaringan yang dimaksud adalah : hydrogen ions (protons), Serotonin 5-hydoxytryptamine (5-HT), cytokines, bradykinin, histamine, prostaglandins, leucotrienes.
Gambar 4. Neurotransmitter yang berperan dalam proses terjadinya nyeri
Mediator-mediator inflamasi tersebut menstimulasi nociceptor. Prostaglandin dan brandikinin merangsang nociceptor untuk mengaktivasi stimulus intensitas rendah. Histamine dan Serotonin 5-HT menyebabkan nyeri ketika berhadapan secara langsung dengan akhiran saraf bebas. Ion hydrogen dan Serotonin 5-HT bekerja secara langsung pada kanal ion pada membrane sel, sedang yang lain berikatan dengan reseptor membrane dan mengaktivasi second messenger via G-Protein. E. Persalinan Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (Mochtar, 2002). Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Kampono dan M. Mugni, 1999). Persalinan normal atau persalinan spontan adalah bila bayi lahir dengan letak belakang kepala tanpa melalui alat-alat atau pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi, dan umumnya berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam (Wiknjosastro, 2002). Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks dan janin turun ke dalam jalan lahir. (Wiknjosastro, 1999). Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban di dorong keluar melalui jalan lahir (Wiknjosastro, 1999). Pesalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Wiknjosastro, 1999). Persalinan normal (partus spontan) adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala yang dapat hidup dengan tenaga ibu sendiri dan uri, tanpa alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam melalui jalan lahir. Partus normal/partus biasa adalah bayi lahir melalui vagina dengan letak belakang kepala/ubun-ubun kecil, tanpa memakai alat/pertolongan istimewa, serta tidak melukai ibu maupun bayi (kecuali episiotomi), berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam (Kampono dan M. Moegni, 1999). F. Sebab Terjadinya Proses Persalinan Sebab-sebab terjadinya proses persalinan menurut Kampono dan M. Moegni (1999) adalah sebagai berikut : 1. Penurunan fungsi plasenta : kadar progesteron dan estrogen menurun mendadak, nutrisi janin dari plasenta berkurang 2. Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus Frankenhauser, menjadi stimulasi (pacemaker) bagi kontraksi otot polos uterus. 3. Iskemia otot-otot uterus karena pengaruh hormonal dan beban, semakin merangsang terjadinya kontraksi. 4. Peningkatan beban/stress pada maternal maupun fetal dan peningkatan estrogen mengakibatkan peningkatan aktifitas kortison, prostaglandin, oksitosin, menjadi pencetus rangsangan untuk proses persalinan. G. Fase/Kala Persalinan Pembagian fase/kala persalinan menurut WIknyosastro, dkk (1999 : 181) sebagai berikut: Kala 1 : Pematangan dan pembukaan serviks sampai lengkap (kala pembukaan) Kala 2 : Pengeluaran bayi (kala pengeluaran) Kala 3 : Pengeluaran plasenta (kala uri) Kala 4 : Masa 1 jam setelah partus, terutama untuk observasi Periode tahap-tahap persalinan normal menurut Kampono dan M. Moegni (1999) sebagai berikut : Fase Persalinan Nullipara Multipara Kala I : Fase Laten Kala I : Fase Aktif Kurang dari 20 jam 5-8 jam Kurang dari 14 jam 2-5 jam Pembukaan serviks Rata-rata 1,2 cm/ jam Rata-rata 1,5 cm/jam Kala II Kurang dari 2 jam Kurang dari 1 jam Kala III Kurang dari 30 menit Kurang dari 30 menit
BAB III STRATEGI PENCARIAN ARTIKEL
Pencarian terhadap artikel penelitian untuk dianalisis dalam makalah ini adalah melalui website database jurnal elektronik. Pencarian dilakukan melalui Pubmed pada tanggal 29 September 2014 dengan panduan PICO sebagai berikut : Population : Pregnant Woman Intervention : Multimedia Comparison : - Outcome : Knowldge Pencarian dilakukan menggunakan kata kunci ((pregnant women) AND multimedia) AND knowledge. Hasil pencarian menemukan 2 artikel jurnal dan selanjutnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Dari hasil konsultasi didapatkan artikel penelitian untuk dianalisis lebih lanjut adalah : Judul Artikel : Comaprison of the effect of multimedia and illustrated booklet educational methods on womens knowledge of prenatal cara Peneliti : An-Shine Chao, Angel Chao, Tzu-Hao Wang, Yu-Cheng Chang, Hsiu-Huei Peng, Shuenn-Dyh Chang, Anne Chao, Chee-Jen Chang, Chyong-Huey Lai, Alice M.K. Wong Nama Jurnal : Pain 127 (2007) 214220
BAB IV ANALISIS ARTIKEL
A. Latar Belakang Nyeri persalinan merupakan masalah kesehatan yang paling sering dikeluhkan wanita menjelang persalinan, sehingga usaha mengurangi nyeri saat persalinan adalah tantangan dalam dunia kesehatan. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) tersedia sebagai intervensi analgesia persalinan di UK dan beberapa Negara Eropa, tetapi hanya digunakan pada sekitar 6% persalinan (Steer 1993; Carroll et.al, 1997). Sebagian besar penelitian terlalu kecil atau bukan penelitian randomisasi (Gim dan Morey, 1985; Van Der Ploeg et.al, 1996; Van Der Spank et.al (2000).Dalam sebuah systematic review terhadap 8 penelitian uji acak terkontrol dari 712 wanita, yang mendapatkan TENS (n=352) dan Placebo (n=360), secara keseluruhan efek mengurangi nyeri menggunakan TENS dalam persalinan sangat lemah (Carroll et.al, 1997). Sama halnya dengan banyak penelitian lain yang mendukung tentang manfaat akupuntur dalam obstetric, namun peningkatan signifikan dalam mengurangi nyeri yang berasal dari uji acak terkontrol masih minim (Ramnero et.al, 2002; Skilnand et.al, 2002; Nesheim, 2003; Lee dan Ernst, 2004). Mengkombinasikan akupuntur dengan TENS untuk mengurangi nyeri punggung bawah telah diteliti (Fox dan Melzack, 1976; Lehman et.al, 1986). Lehman et.al (1986) melaporkan bahwa kelompok elektroakupuntur secara komsisten memperlihatkan penurunan nyeri yang signifikan. Fox dan Melzack (1976) mengindikasikan bahwa menempatkan TENS pada titik akupuntur memiliki hasil yang memuaskan. Aplikasi TENS pada titik akupuntur selama kala pertama persalinan selama ini belum diteliti. Penelitian double blind randomized controlled trial ini bertujuan untuk membandingkan effikasi dan keamanan TENS vs TENS placebo pada titik akupuntur untuk mengurangi nyeri selama fase pertama persalinan. B. Metode 1. Partisipan Ibu dalam masa persalinan yang dibantu oleh 4 dokter kandungan dari Departemen Obstetrik Ginekologi, Chang Gung Memorial Hospital berpartisipasi dalam penelitian ini.Kriteria inklusi pemilihan sampel adalah : (1) tidak mendapatkan epidural analgesia; (2) Bersedia mengisi inform consent; (3) direncanakan melahirkan dengan persalinan per vagina tanpa komplikasi obstetric dan non obstetric; (4) Presentasi janin Vertex; (5) Kehamilan cukup bulan (usia kehamilan >37 minggu); (6) Berada pada fase aktif kala pertama persalinan dengan dilatasi serviks < 5 cm; (7) Usia antara 20-40 tahun; (8) Tidak memiliki pengalaman persalinan dengan anestesi epidural maupun general pada persalinan sebelumnya; (9) Tidak memiliki pengalaman dengan TENS atau akupuntur; (10) Tidak memiliki pengalamana outcome obstetric yang buruk. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah : (1) ibu yang menderita lesi kutan pada area aplikasi TENS seperti luka, urticaria, atau gigitan serangga; (2) kandidat persalinan pervaginam setelah seksio caesarean; (3) pengguna pacemaker. Pada awal penelitian, tiap-tiap responden dikaji mengenai riwayat obstetric dan non obstetric lengkap seperti mengenai paritas, usia ibu, usia kehamilan, berat badan dan tinggi badan. Pembagian partisipan kedalam kelompok TENS dan kelompok placebo dilakukan secara acak. Fase aktif persalinan dikonformasi dan diameter dilatasi serviks ditentukan oleh pemeriksaan petugas obstetric. 2. Apparatus and treatment Unit TENS portable bertenaga baterai dengan 2 pad elektroda ditempelkan pada kulit (HANS model, LH202H, Singapura). Output arus listrik dititrasi secara individual, dengan intensitas berkisar antara 10-15 milliampere (mA), berdasarkan berat badan subjek. Semakin berat ibu yang melahirkan, semakin besar intensitas listrik yang diperlukan untuk mencapai stimulasi elektrik yang efektif, yang akan menghasilkan sensasi baal. Frekuensi yang digunakan adalah 100 Hz, durasi pulsasi listrik 0,25 ms dan diberikan selama 30 menit. 2 elektroda sekali pakai berukuran 30x30 mm ditempelkan secara bilateral pada titik akupuntur Li 4 (Hegu) yaitu pada pertengahan antara tulang metacarpal pertama dan kedua pada bagian dorsal tangan dan titik akupuntur Sp 6 (Sanyinjiao) yaitu 5 cm di atas os malleolus medial. Kelompok placebo hanya mendapatkan stimulasi elektrik yang sangat lemah yaitu kurang dari 5 mA.
Gambar 5. Titik akupuntur Li4 (Hegu) dan Sp6 (Sanyinjiao) 2 perawat peneliti dilatih oleh dokter ahli akupuntur berkualifikasi sebagai petugas penelitian untuk mengoperasikan TENS pada ke-4 titik akupuntur. Sesi TENS dan TENS placebo selama 30 menit dilakukan ketika ibu hamil memerlukan intervensi penghilang nyeri selama kala pertama persalinan, dan intervensi dihentikan pada saat dilatasi serviks maksimal tercapai. Pasien dapat memilih analgesik epidural jika dirinya tidak puas dengan TENS/TENS placebo untuk mengurangi nyeri yang dirasakannya. 3. Pengukuran Pengukuran variabel nyeri dilakukan menggunakan Visual analogue scale (VAS) untuk mengetahui efikasi pengurangan nyeri. Instrumen ini memiliki skala antara 0 sampai 10, dimana 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri paling hebat. Partisipan diminta untuk memperkirakan seberapa nyeri yang dirasakan selama kontraksi uterus terakhir sebelum diberikan intervensi TENs selama 30 menit. 30 menit dan 60 menit setelah TENS dihentikan, partisipan kembali diminta untuk memperkirakan tingkat nyeri yang dirasakan. VAS diukur pada setiap aplikasi TENS hingga akhir kala pertama persalinan. Dalam waktu 24 jam setelah persalinan, partisipan diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi tentang kesediaan untuk mendapatkan intervensi yang sama jika kembali melahirkan. Petugas yang mengkaji VAS buta terhadap kelompok dari tiap-tiap partisipan. Augmentasi persalinan diberikan untuk mencapai 3 kontraksi uterus dalam 10 menit pada kala pertama sesuai dengan protokol induksi persalinan. Surveilans kesejahteraan janin dilakukan dengan menggunakan monitor fetal heart rate electronic dan tocodynamometry. Detail tentang kemajuan dilatasi serviks dan lama kala pertama setelah pemberian TENS juga diukur. Meperidine intravena dalam dosis 25-50 mg setiap 2-4 jam dapat diberikan selama kala pertama persalinan. Jumlah dan frekuensi pemberian juga diukur jika digunakan. Jika partisipan beralih ke anestesi epidural maka partisipan tersebut dianggap keluar dari penelitian. Reaksi-reaksi merugikan seperti ketidaknyamanan pergerakan, alergi kulit, atau cedera elektrik direkam jika terjadi. Pilihan untuk melakukan persalinan melalui operasi hanya dilakukan jika ada indikasi maternal dan fetal. Bayi baru lahir dikaji kesejahteraanya dengan Apgar score pada menit 1 dan ke 5 setelah kelahiran. Berat badan lahir diukur segerea setelah lahir. 4. Pengukuran Outcome Outcome primer dalam penelitian ini adalah intensitas nyeri dan diukur dengan VAS dengan terjadi penurunan skor P3 di setiap kelompok. Outcome sekunder adalah cara persalinan (spontan atau operasi), penggunaan anestesi epidural, waktu dari memulai penelitian sampai akhir kala pertama, waktu total kala pertama, efek terhadap kesejahteraan janin dan bayi baru lahir, serta kesediaan untuk mendapatkan treatment yang sama di masa mendatang. 5. Statistical analysis Penurunan nyeri pada skor VAS sebesar P3 dikatakan sebagai respon (penurunan nyeri signifikan). Diasumsikan bahwa respon pada kelompok TENS placebo tidak akan lebih besar dari 15% (Hrobjartsson and Gotzsche, 2001). Oleh karena itu ukuran sampel sebesar 50 subjek pada tiap kelompok berdasarkan tes 2 proporsi sampel menggunakan koreksi kontinyu dengan a n=0,05, dan b= 0,2 akan mendeteksi setidaknya 27% perbedaan absolut pada respon (Misal kelompok TENS 42% dan kelompok TENS Placebo 15%). Uji statistik dilakukan menggunakan SPSS versi 11.0 (SPSS, Chicago, IL). Metode statistik untuk mengetahui perbedaan nyeri di antara 2 kelompok dan hubungan antar variabel adalah dengan tes v2 untuk variabel proporsional, t-test untuk variabel numerik dengan distribusi normal dan Mann-Whitney test untuk variabel numerik dengan distribusi tidak normal. Signifikansi statistik adalah p<0,05 (two sided). C. Results 1. Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian melibatkan 105 ibu partus antara 1 Agustus 2002 hingga 30 November 2003 5 responden megalami persalinan yag diinduksi sehingga tidak dapat menyelesaikan satu sesi TENS dan TENS placebo, sehingga 5 responden ini dikesklusikan dari penelitian. Total responden adalah 100 ibu partus dan dibagi 2 kelompok, 50 responden pada kelompok TENS, 50 responden pada kelompok TENS placebo Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam usia ibu, usia kehamila, berat badan, indeks massa tubuh (IMT), dan diameter pembukaan serviks pada awal penelitian antara kelompok TENS dan TENS placebo. Aka tetapi terdapat perbedaan signifikan pada tinggi badan ibu, dimana ibu pada kelompok TENS lebih pendek secara signifikan dibandig pada kelompok TENS placebo.
2. Outcome Nyeri Tidak terdapat perbedaan median skor nyeri antara kelompok TENS dan TENS placebo di awal penelitian (TENS vs TENS placebo : 8 (110) vs 8 (310), P = 0.99). Terdapat perbedaan signifikan pada skor VAS pada 30 menit dan 60 menit setelah pemberian intervensi antara kedua kelompok, dimana kelompok TENS memiliki skor VAS yang lebih rendah secara signifikan dibanding kelompok TENS placebo (pada menit ke-30, TENS vs TENS placebo: 4.5 [110] vs 7 [210], P < 0.001; pada menit ke-60: 6 [39] vs 7.5 [410], P < 0.001). Perbedaan skor VAS antara sebelum dilakukan intervesi dengan 30 menit setelah dilakukan intervensi pada kelompok TENS adalah signifikan (P<0,001), namun pada kelompok TENS placebo tidak ditemukan perbedaan signifikan (P=0,35) Penurunan skor VAS P3 pada kedua kelompok (TENS vs TENS placebo) berbeda secara signifikan (62% [31/50] vs 14% [7/50], P < 0.001). Dari 31 wanita dengan penurunan skor VAS P3 pada kelompok TENS, 19 orang (61.3%) hanya memerlukan satu kali aplikasi TENS pada kala 1 persalinan. Sedangkan 12 wanita lainnya memerlukan pemberian TENS lebih dari satu kali (7 orang perlu 2 kali, 4 orang perlu 3 kali, dan 1 orang perlu 1 kali). Pada wanita yang memerlukan lebih dari 1 kali aplikasi TENS, durasi pengurangan nyeri memiliki durasi median 74,8 menit (rentang 60-210 menit). Kemauan untuk mendapatkan metode pengurangan nyeri yang sama pada persalinan di masa depan menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana mayoritas responden pada kelompok TENS menginginkan metode pengurangan nyeri dengan TENS dibandingkan pada kelompok TENS placebo (96% vs 66%, P < 0.001). Median skor VAS pada kala 1 persalinan pada 30 menit pertama pemberian intervensi menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada kelompok primipara dan multipara (primiparous, TENS vs TENS placebo: 5 [(310) vs 7 [410], P < 0.001; multiparous, TENS vs TENS placebo: 4 [17] vs 6 [210], P < 0.001). Penurunan P3 skor VAS juga berbeda secara signifikan baik pada kelompok primipara dan multipara (primiparous, 60% [18/30] vs 11.4% [4/35], P < 0.001; multiparous, 65% [13/20] vs 20% [3/15], P = 0.02). 3. Outcome Persalinan Outcome terhadap durasi persalinan : Aplikasi TENS tidak menghasilkan perbedaan signifikan dalam durasi kala 1 dan kala 2 persalinan antara kelompok TENS dan TENS placebo. Penggunaan persalinan secara operasi meningkat secara signifikan pada kelompok TENS dibanding TENS placebo (24% [12/50] vs 8% [4/50], P = 0.05). 11 parturian melakukan persalinan vacuum, sebanyak 55.6% (5/9) pada kelompok TENS dan 50% (1/2) pada kelompok TENS placebo memiliki bayi berat lahir >3500 gram. Pada masing-masing kelompok terjadi masing-masing satu kasus fetal distress, yaitu umbilicus melilit leher dan chorioamnionitis. Median apgar score pada menit 1 dan 5 pada tiap kelompok tidak berbeda. Pada menit 1 post partum terdapat 4 bayi pada tiap kelompok yang memiliki skor<9 (TENS : 4 dengan skor 8;TENS placebo : 1 dengan skor 6, 2 dengan skor 7, dan 1 dengan skor 8). Pada menit ke-5, hanya 1 bayi yang memiliki skor dibawah 10 pada kelompok TENS yaitu dengan skor 9. Pada kelompok TENS placebo, terdapat 3 bayi yang memiliki apgar skor kurang dari 10, yaitu 2 bayi dengan skor 9 dan 1 bayi dengan skor 8.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) pada titik akupuntur Hegu dan Sanyinjiao efektif untuk mengurangi nyeri pada kala pertama persalinan jika dibandingkan dengan TENS placebo 2. Efek ini bersifat short term dengan intervensi setelah 30 menit menghasilkan penurunan nyrei dan nyeri akan kembali meningkat pada menit ke 60 3. Setting TENS yang direkomendasikan adalah dengan intensitas berkisar antara 10-15 milliampere (mA) 4. Frekuensi yang digunakan adalah 100 Hz, durasi pulsasi listrik 0,25 ms dan diberikan selama 30 menit 5. TENS pada titik Hegu dan sanyinjiao tidak menghasilkan peningkatan risiko efek samping yang tidak diharapkan terhadap outcome persalinan dilihat dari durasi, cara bersalin, berat bayi, dan nilai apgar skor pada menit ke-1 dan ke-5, sehingga aman untuk diaplikasikan pada ibu bersalin B. Saran 1. Lakukan pengkajian nyeri pada ibu bersalin secara komprehensif terutama pada kala pertama persalinan karena nyeri persalinan dipersepsikan pasien sebagai nyeri berat dan sangat berat 2. Lakukan asuhan keperawatan dengan berpusat pada pasien (patient centered care). Hargai setiap pengalaman yang dirasakan pasien terhadap sakitnya, termasuk persepsi nyeri persalinan. Jangan menyepelekan rasa nyeri yang dirasakan ibu bersalin, pandanglah nyeri tersebut dari sudut pandang pasien (empati terhadap pengalaman nyeri pasien) 3. Lakukan intervensi keperawatan mandiri seperti TENS pada titik akupuntur Hegu dan Sanyinjiao untuk membantu meredakan nyeri pasien. Berikan penjelasan dengan komunikasi terapeutik yang baik sebelum memberikan intervensi tersebut 4. Monitor nyeri pasien baik secara subyektif maupun obyektif untuk mengetahui efektivitas intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
An-Shine Chao, Angel Chao, Tzu-Hao Wang, Yu-Cheng Chang, Hsiu-Huei Peng, Shuenn- Dyh Chang, Anne Chao, Chee-Jen Chang, Chyong-Huey Lai, Alice M.K. Wong. Pain relief by applying transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) on acupuncture points during the first stage of labor : A randomized double-blind placebo-controlled trial. Pain, 127 (2007), pages 214220 Hodnett ED. Pain and womens satisfaction with the experience ofchildbirth: A systematic review. Am J Obstet Gynecol. 2002;186:S160S172 Aya AG, Vialles N, Mangin R, et al. Chronobiology of labour pain perception: An observational study. Br J Anaesth. 2004;93:451453. Campbell D. Parenteral Opioids for Labor Analgesia. Clinical Obstetrics & Gynaecology. 2003;46(3):616-622 George A. Ulett, Songping Han, and Ji-sheng Han. Electroacupuncture: Mechanisms and Clinical Application. BIOL PSYCHIATRY; 1998;44:129138 Ogboli-Nwasor et.al. Pain relief in labor: a survey of awareness, attitude, and practice of health care providers in Zaria, Nigeria. Journal of Pain Research; 2011, 4, 227-232 Tashani, O dan Johnson, MI. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) A Possible Aid for Pain Relief in Developing Countries?. Pain, 2005. 115(3): p. 364- 73. Austin B. Yongye and Karina Martnez-Mayorga. Molecular Aspects of Opioid Receptors and Opioid Receptor Painkillers. Pain Management - Current Issues and Opinions, 2010, 43-62 Charlotte E Steeds. The anatomy and physiology of pain. SURGERY 27:12, pages 507-511 Rowland, S; Permezel, F. Physiology of pain in labour. Baillieres Clin Obstet Gynaecol.1998 Sep;12(3):347-62. Robinson, Andrew J; Lynn Snyder-Mackler (2007-09-01). Clinical Electrophysiology: Electrotherapy and Electrophysiologic Testing (Third ed.). Lippincott Williams & Wilkins. Maeda Y, Lisi TL, Vance CG, Sluka KA. Release of GABA and activation of GABA(A) in the spinal cord mediates the effects of TENS in rats. Brain Res. 2007 Mar 9;1136(1):43-50. Enna SJ, McCarson KE. The role of GABA in the mediation and perception of pain. Adv Pharmacol. 2006;54:1-27. Sommer C. Serotonin in pain and analgesia: actions in the periphery. Mol Neurobiol. 2004 Oct;30(2):117-25. Hedi R Dewoto. Analgesik Opioid dan Antagonis. Dalam Sulistia Gan Gunawan (Ed). 2007. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik universitas Indonesia Lee JH, Jang KJ, Lee YT, Choi YH, Choi BT. Electroacupuncture inhibits inflammatory edema and hyperalgesia through regulation of cyclooxygenase synthesis in both peripheral and central nociceptive sites. Am J Chin Med. 2006;34(6):981-8. Jun-Fan Fang, Yi Liang, Jun-Ying Du and Jian-Qiao Fang. Transcutaneous electrical nerve stimulation attenuates CFA-induced hyperalgesia and inhibits spinal ERK1/2-COX- 2 pathway activation in rats. BMC Complementary and Alternative Medicine 2013, 13:134 Datar P, Srivastava S, Coutinho E, Govil G (2004). "Substance P: structure, function, and therapeutics". Current Topics in Medicinal Chemistry 4 (1): 75103.