Anda di halaman 1dari 14

1

Dispepsia Fungsional Tipe Ulkus pada Wanita 25


Tahun

Rilus Salawane
NIM: 102010086

Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana


Pendahuluan
Sistem pencernaan merupakan sistem terpenting dalam tubuh manusia. Sistem ini berfungsi
untuk melakukan pemecahan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia dari yang kompleks
menjadi bagian-bagian kecil, yang dapat diserap tubuh dan berguna untuk kelangsungan hidup
manusia sendiri.
Sistem pencernaan terdiri dari beberapa organ penting seperti, esofagus, lambung, usus, dan
lain sebagainya yang. Akan tetapi sistem pencernaan tersebut sangat rentan terkena gangguan-
gangguan yang ada, salah satunya adalah dispepsia. Oleh sebab itu, tinjauan pustaka ini dibuat
untuk memberikan informasi tentang arti dispepsia, jenis dispepsia, penanganan, dan masih
banyak lagi
1
.

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis) dan dengan keluarga pasien
2

atau dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan
wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan
tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta
bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien
1
.
Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai kemampuan
untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya untuk
mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya mencakup semua
data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan akurat berhubungan
dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh. Pada kasus dispepsia
anamnesis dangat dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis.Data yang dikumpulkan
dalam mengenai anamnesis berupa identitas seperti nama, umur, pekerjaan, alamat, agama, suku,
pendidikan terakhir, status pernikahan, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Selanjutnya,
dikumpulkan data-data lain sebagai berikut.
1,2
1. Keluhan utama dan sejak kapan keluhan tersebut
Berisi hal tentang apa yang membuat pasien datang kepada dokter.
2. Riwayat penyakit sekarang
a. Menanyakan karakter keluhan utama
Menanyakan lokasi nyeri, sifat dari nyeri (kualitas).
Menanyakan apakah nyeri yang dirasakan meluas apa hanya di daerah itu saja?
Menanyakan apakah ada rasa mual, ada muntah, kembung, ada sendawa, rasa
terbakar, rasa penuh dan rasa cepat kenyang?
b. Menanyakan perkembangan atau perburukan keluhan utama
Apakah selama mulai sakit sampai pergi ke dokter makin membaik atau
memburuk?
c. Menanyakan kemungkinan adanya faktor pencetus keluhan utama
Menanyakan apakah rasa nyeri timbul akibat makan makanan tertentu, seperti
makan pedas, cokelat, keju?
3

d. Menanyakan keluhan-keluhan penyerta
Menanyakan apakah ada rasa lelah dan penurunan berat badan?
Menanyakan bagaimana keadaan pada waktu buang air besar, apakah ada lendir
atau darah, atau encer?
3. Riwayat penyakit dahulu
Dahulu apakah pernah mengalami sakit yang serupa seperti ini?
Menanyakan apakah ada riwayat operasi lambung?
Apakah ada alergi terhadap obat, makanan dan lain-lain?
Menanyakan apakah ada konsumsi obat untuk menghilangkan nyeri, berapa lama
mengkonsumsi obat tersebut?
4. Riwayat pribadi
Menanyakan riwayat kebersihan pada diri sendiri.
Menanyakan kebiasaan merokok atau minum alkohol.
Menanyakan apakah pernah ada konsumsi obat-obatan terlarang secara halus.
5. Riwayat sosial
Menanyakan lingkungan tempat tinggal, bersih atau tidak, padat atau tidak.
6. Riwayat Keluarga
Apakah dalam anggota keluarga juga ada yang mengalami kejadian yang serupa?


Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah untuk mengidentifikasi keadaan umum pasien
saat pemeriksaan dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan sakit, gizi dan aktivitasnya
baik dalam keadaan berbaring atau berjalan.

4

Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai dengan
pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan tingkat kesadaran,
serta pemeriksaan tanda-tanda vital dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Pemeriksaan fisik abdomen merupakan bagian dari pemeriksaan fisis umum secara
keseluruhan. Secara umum tujuan pemeriksaan abdomen yaitu untuk mencari atau
mengidentifikasi kelainan di sistem gastrointestinal atau sistem ginjal dan saluran kemih atau
genitalia maupun perineum namun jarang
1,2
.
Inspeksi, pada pemeriksaan ini yaitu melihat perut bagian depan dan belakang sehingga
didapatkan keadaan abdomen seperti simetris atau tidak,bentuk atau kontur,ukuran,kondisi
dinding perut (kulit, vena, umbilikus, striae alba) dan pergerakan dinding perut. Selain itu juga
perhatikan kelainan-kelainan yang terlihat pada perut seperti jaringan parut karena
pembedahan,asimetri perut yang menujukkan adanya massa tumor, stria, vena yang berdilatasi,
kaput medusa, atau obstruksi vena kava inferior, peristalsi usus, distensi dan hernia.
Setelah inspeksi, pemeriksaan dilanjutkan dengan palpasi, yaitu pemeriksaan dengan
meraba, mempergunakan telapak tangan dan memanfaatkan alat peraba yang terdapat pada
telapak dan jari tangan. Dengan palpasi kita dapat menentukan bentuk, besar, tepi, permukaan
serta konsistensi organ. Permukaan organ dinyatakan apakah rata atau berbenjol-benjol;
konsistensi lunak, keras, kenyal, kistik atau berfluktuasi; sedangkan tepi organ dinyatakan
dengan tumpul atau tajam. Sebisa mungkin seluruh bagian perut terpalpasi,kemudia cari apakah
ada pembesaran massa tumor,apakah hati,limpa,dan kandung empedu membesar atau teraba.
Periksa apakah ginjal,ballotement positif atau negatif. Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu
palpasi permukaan(superficial) dan palpasi dalam (deep palpaltion). Palpasi dapat dilakukan
dengan 1 tangan atau 2 tangan(bimanual) terutama pada pasien gemuk. Perinci nyeri tekan
abdomen antara lain berat ringannya,lokasi nyeri yang maksimal apakah ada tahanan
(peritonitis), apakah ada nyeri rebound bila tak ada tahanan.
Setelah palpasi, biasanya dilanjutkan dengan tindakan perkusi. Tujuan perkusi adalah
untuk mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batas-batas suatu organ
maupun massa yang abnormal di bagian tubuh tertentu. Perkusi abdomen dilakukan dengan cara
tidak langsung sama seperti pada perkusi di rongga toraks tetapi dengan penenkanan yang lebih
5

ringan dan ketokan yang lebih perlahan. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi kandung
empedu/vesika urinaria dimana suaranya redup, pekak, menentukan ukuran hati dan limpa secara
kasar, menentukan penyebab distensi abdomen : penuh gas (timpani), masa tumor (redup-pekak)
dan asites. Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga abdomen berisi
lebih banyak cairan atau udara. Dalam keadaan normal suara perkusi abdomen yaitu
timpani,kecuali di daerah hati suara perkusinya adalah pekak. Hilangnya sama sekali daerah
pekak hati dan bertambahnya bunyi timpani di seluruh abdomen harus dipikirkan akan
kemungkinan adanyaudara bebas di rongga perut misal pada perforasi usus.
Selanjutnya adalah auskultasi, dimana auskultasi adalah pemeriksaan dengan
menggunakan stetoskop untuk mendengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik
usus, dan aliran darah dalam pembuluh darah.


Untuk kasus dispepsia pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan
intra abdomen atau intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan
yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis.
1,2

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu
2,3
:

a. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair
berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung.
Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan
karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA
19-9.
b. Barium meal untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat dilakukan
pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
6

c. Endoskopi SCBA bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus
kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh
tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung
terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain
sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
d. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD (oesophagus maag
duodenum) dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test .
Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya
dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagusnyang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke
intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung
secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah
kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign),
atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal loops.
Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan atau
respon kerongkongan terhadap asam.
2

Diagnosis Kerja
Dispepsia Fungsional

Konsensus Roma III (2006) mendefinisikan kriteria diagnostik untuk dispepsia
fungsional sebagai berikut : Setidaknya selama 3 bulan, mulainya paling tidak sudah 6 bulan,
dengan satu atau lebih keluhan ini : nyeri epigastrik, cepat kenyang, rasa penuh, dan rasa
7

terbakar di epigastriumserta tidak ditemukan kelainan structural-biokimiawi, termasuk setelah
dilakukan pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi (EGD).
Keluhan klinis utama untuk dispepsia fungsional menurut Rome III, adalah nyeri
epigastrik, cepat kenyang, rasa penuh dan rasa terbakar di epigastrium. Lokasi epigastrium
adalah area antara umbilikus dan ujung inferior sternum, di linea midklavikular. Yang dimaksud
dengan nyeri adalah rasa tidak nyaman, dengan atau tanpa rasa terbakar, walau sebagian pasien
tidak menginterpretasikan sebagai nyeri. Rasa penuh adalah rasa tidak nyaman seakan-akan
makanan dilambung menetap lebih lama. Cepat kenyang adalah rasa lambung langsung penuh
walaupun baru makan sedikit. Rasa terbakar di epigastrium adalah rasa panas yang tidak
menyenangkan di epigastrium
2-4
.
Di masa lalu, dispepsia fungsional dibedakan menjadi 4 subgrup yaitu tipe ulkus, tipe
dismotalitas, tipe refluks, dan tipe non spesifik. Namun dispepsia tipe refluks ternyata dapat
berlanjut menjadi penyakit organik, yaitu GERD, sehingga dispepsia tipe refluks tidak lagi
dimasukkan kedalam dispepsia fungsional.
Klasifikasi dispepsia fungsional yang lebih banyak digunakan saat ini adalah :
Dispepsia tipe ulkus, keluhan nyeri epigastrium dominan dan disertai nyeri malam
hari.
Dispepsia tipe dismotilitas, keluhan kembung, cepat kenyang dan mual lebih
dominan
Dispepsia tipe non spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan.
Patofisiologi
Dispepsia fungsional hingga kini belum jelas, namun beberapa teori pernah diajukan, antara lain
Meningkatkan sensitifitas mukosa lambung terhadap asam
Ambang rangsang persepsi lebih rendah
Adanya disfungsi saraf autonom yaitu neuropati vagal sehingga ada rasa cepat kenyang
Adanya stress psikologik
8

Sedangkan pengaruh aktivitas mioelektrik lambung, pengaruh hormonal, pengaruh
infeksi Helicobacter pylori, hubungan dengan dismotilitas gastrointestinal, pengaruh diet
dan factor lingkungan terhadap dispepsia fungsional masih belum jelas.
3


Diagnosis Banding
Dispepsia Organik
Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan
pada usia lebih dari 40 tahun.
12
Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi :
Gastritis
Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Infeksi
kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan kausa gastritis yang sangat penting.
Perjalanan alamiah gastritis kronik akibat infeksi kuman Helicobacter pylori secara garis besar
dibagi menjadi gastritis kronik non atropi predominasi antrum dan gastritis kronik atropi
multifokal. Ciri khas gastritis kronik non atropi predominasi antrum adalah inflamasi moderat
sampai berat mukosa antrum, sedangkan inflamasi di korpus ringan atau tidak sama sekali.
Antrum tidak mengalami atropi atau metaplasia. Pasien-pasien seperti ini biasanya asimptomatis,
tetapi mempunyai resiko menjadi tukak duodenum. Gastritis kronik atrofi multifokal mempunyai
ciri-ciri khusus sebagai berikut : terjadi inflamasi pada hampir seluruh mukosa, seringkali sangat
berat berupa atropi atau metaplasia setempat-setempat pada daerah antrum dan korpus. Gastritis
kronik atropi multifokal merupakan faktor resiko terpenting displasia epitel mukosa dan
karsinoma gaster. Infeksi Helicobacter pylori juga sering dihubungkan dengan limfoma MALT.
Gastritis kronik atrofi predominasi korpus atau sering disebut gastritis kronik autoimun setelah
beberapa dekade kemudian akan dikuti anemia pernisiosa dan defisiensi besi.
Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa
keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah nyeri
9

panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah. Keluhan-keluhan
tersebut sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis. Keluhan-keluhan tersebut juga tidak
dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberasilan pengobatan. Pemeriksaan fisik juga tidak dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan
sistematis sesuai dengan update Sydney System yang mengharuskan mencantumkan topografi.
Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat-erosion, raised erosion,
perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan histopatologi selain menggambarkan
perubahan morfologi sering juga dapat menggambarkan proses yang mendasari, misalnya
autoimun atau respon adaptif mukosa lambung. Perubahan perubahan yang terjadi berupa
degradasi epitel, hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil, inflamsai sel mononuklear, folikel
limpoid, atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel parietal.
Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga menyertakan pemeriksaan kuman Helicobacter
pylori
2-2
.

Ulkus Peptik
Ulkus peptik adalah defek berukuran diatas 5mm, kedalaman mencapai lapisan
submukosa. Ulkus peptik berbatas tegas, dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan
serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Ulkus peptik terdiri dari ulkus lambung dan ulkus
duodenum. Ulkus duodenum ditemukan pada 6-15% populasi barat. Angka kematian dan
komplikasi usus duodeni menurun sejak ditemukannya eradikasi Hp. Ulkus gaster muncul pada
usia lebih tua, umumnya pada dekade ke-6. Lebih dari 50% ditemukan pada laki-laki, dan lebih
jarang didapatkan dibanding ulkus duodenum. Rendahnya angka ulkus gaster kemungkinan
karena sering muncul tanpa keluhan, dan keluhan yang timbul adalah komplikasinya. Angka
kejadian ulkus peptik menurun sejak ditemukannya terapi eradikasi HP. Ulkus peptik banyak
ditemukan pada gender pria, golongan usia lanjut dan sekelompok sosial ekonomi rendah. Ulkus
duodenum jarang berhubungan dengan keganasan, sebaliknya ulkus gaster dapat berhubungan
dengan keganasan. Dimana ulkus peptik dipengaruhi oleh faktor agresif dan defensif, yaitu :
10

a. Faktor agresif yang paling utama adalah H. Pylori dan OAINS. Selain itu,
pengaruh rokok, stres, malnutrisi, diet tinggi garam, defisiensi vitamin, genetik
juga turut berperan.
b. Faktor defisiensif terdiri dari preepitel, epitel dan subepitel. Preepitel ditentukan
oleh ketebalan mukus dan kadar bikarbonat. Epitel ditentukan oleh kecepatan
perbaikan mukosa yang rusak, dimana sel sehat bermigrasi ke ulkus. Subepitel
ditentukan oleh mikrosirkulasi dan PG endogen yang menekan ekstravasasi
leukosit yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.
3


Gejala klinis yang didapatkan juga sesuai dengan sindrom dispepsia akan tetapi pada ulkus
peptik keluhan nyeri ulu hati dan muntah lebih menonjol. Nyeri epigastrik pada tukak duodeni
biasanya menghilang setelah makan atau pemberian antasida. Pada tukak gaster, nyeri biasanya
tidak hilang setelah makan. Tukak akibat OAINS biasanya asimptomatik
2-4
.

Penyakit Refluks Gastroesofageal
Penyakit refluks gastroesofageal adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan
esophagus, faring, laring dan saluran nafas. Telah diketahui bahwa refluks kandungan lambung
ke esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di esophagus maupun ekstra-esofagus, dapat
menyebabkan komplikasi yang berat seperti striktur, barrets esophagus bahkan adenokarsinoma
di kardia dan esophagus. Banyak ahli yang menggunakan istilah esofagitis refluks, yang
merupakan keadaan terbanyak dari penyakit refluks gastroesfogaeal.
Keadaan ini umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan
relative rendah insidennya dinegara-negara asia-afrika. Di amerika dilaporkan bahwa satu dari
lima orang dewasa mengalami gejala refluks (heartburn dan atau regurgitas) sekali dalam
seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi
esofagitis di Amerika Serikat mendekat 7%, sementarai di Negara-negara non-western
prevalensinya lebih rendah
2-4
.
11

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai
akibat dari relfuks gastroesofageal apabila: 1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama
antara bahan refluksat dengan mukosa esophagus, 2. Terjadi penurunan resistensi jaringan
mukosa esophagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esophagus tidak
cukup lama. Esophagus dang aster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan
oleh kontraksi lower esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah ini akan
dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau
aliran retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah.
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1. Refluks spontan
pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya
tonus LES setelah menelan, 3. Meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat
diterangkan bahwa pathogenesis terjadinya gerd menyangkut keseimbangan antara faktor
defensive dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksaf
2-4
.

Epidemiologi
Dispepsia dialami sekitar 20-30 persen populasi didunia setiap tahunnya. Data depkes tahun
2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3 persen, Dispepsia yang oleh orang awam sering
disebut dengan sakit maag merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari-hari.
Sebagai contoh dalam masyarakat di negara barat, dispesia dialami sedikitnya oleh 25 persen
populasi. Di negara Asia belum banyak data mengenai dispepsia, tetapi diperkirakan dialami
sedikitnya 20 persen dalam populasi umum
1,3
.
Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena penyakit dispepsia.
Penyakit dispepsia ini tidak mengenal batasan usia, muda maupun tua sama saja. Di Indonesia
sendiri survei mengatakan bahwa pada tahun 2001, dispepsia terdapat kurang lebih 50 persen
dari 93 persen pasien yang diteliti. Cenderung banyak orang tidak peduli dengan dispepsia.
Banyak orang yang sudah merasakan perasaan yang tidak nyaman pada daerah lambung tetapi
hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera pergi berkonsultasi ke dokter
1,3
.
12


Penatalaksanaan medika mentosa
Antasid
Antacid merupakan obat yang paling umum di konsumsi oleh penderita dyspepsia, tapi
dalam studi metaanalisis, obat ini tidak lebih unggul dibanding placebo.
Penyekat H2 reseptor
Obat ini juga umum diberikan pada penderita dyspepsia. Dari data studi acak ganda
tersamar, didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan manfaatnya pada
dyspepsia fungsional, dan sebagian lagi berhasil. Secara meta-analisis diperkirakan manfaat
terapinya 20% diatas placebo. Masalah pokok adalah criteria inklusi pada berbagai penelitian,
dan juga kemungkinana masuknya kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya
mangaatnya ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri ulu hati
5,6
.
Penghambat pompa proton
Obat ini tampaknya cukup superior dibandingkan placebo pada dyspepsia fungsional,
walaupun banyak studi secara tidak sengaja juga terlibat kasus penyakit refluks gastroesofageal
yang tidak terdeteksi. Respons terbaik terlihat pada kelompok dyspepsia fungsional tipe seperti
ulkus
5,6
.
Sitoproteksi
Obat ini,misalnya misoprostol, sulkralfat, tidak banyak studinya uintuk memperoleh
kemanfatan yang dapat dinilai.


Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis reseptor dopamine D2),
domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak) dan cisapride (agonis
13

reseptor 5-HT4). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan cisapride mempunyai
efektivitasw yang baik dibandingkan placebo dalam mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang,
distensi abdomen dan mual.
Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat pada dyspepsia fungsional, tapi
terbatas studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidal-nya.
Cisapride tergolong agonis reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3,yang secara metanalisis
memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan placebo.beraksi pada
pengosongan lambung dan distitmia lambung. Masalah saat ini adalah setelah diketahuinya efek
sampingnya pada aritmia jantungk, terutama perpanjangan masa Q-T, sehingga pemakaiannya
berada dalam pengawasan
5,6
.
Prognosis
Dispepsia yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat akan
menghasilkan prognosis yang baik.
5
Pencegahan
Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan memperbaiki kondisi
lambung secara tidak langsung.
Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah timbulnya gangguan
akibat dispepsia :
6
Atur pola makan seteratur mungkin.
Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat, keju, dan
lain-lain).
Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,semangka, dan lain-
lain).
Hindari makanan yang terlalu pedas, caffeine dan alkohol.
Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obatanti- inflammatory, misalnya yang
mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen..
Jika anda perokok, berhentilah merokok.
14

Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.
Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalubanyak, terutama
makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makansesaat sebelum olahraga.

Kesimpulan
Wanita 25 tahun mengeluh neyri ulu hati 3 hari sebelum masuk rumah sakit, dan hilang
timbul sejak 1 tahun yang lalu menderita Dispepsia Fungsional tipe ulkus dimana pada tipe ulkus
yang lebih dominan adalah nyeri epigastric.

Daftar Pustaka
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC, 2009.h.83-8.
2. Kowalak JP, Welsh W, Editor. Buku pegangan uji diagnostic. Ed. 3.jakarta : EGC,
2009.h.651-745.
3. Sudoyono A W, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi
V. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.591-97.
4. Corwin E J. buku saku patofisiologi. Edisi ke 3. Jakarta : EGC; 2009.h.614-15.
5. Gunawan SG, Nafriaidi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2011 h.633-4.
6. Isselbacher,dkk. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Vol 4. Jakarta :
EGC;2000.H.1577-82

Anda mungkin juga menyukai