Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bagi masyarakat Indonesia, rokok bukan merupakan sesuatu yang asing di
telinga. Untuk beberapa orang, merokok merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang dengan sadar merokok
di depan orang yang tidak merokok. Dua hal yang saling bertolak belakang dan
dua-duanya merupakan hak. Orang yang tidak merokok memiliki hak untuk
menghirup udara bersih dan sehat. Sedangkan perokok juga memiliki hak untuk
merokok. Namun hak manakah yang seharusnya lebih diprioritaskan untuk
dipenuhi? Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya. Pasal 12 Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya dalam draft naskah akademik Raperda KTR yang disusun oleh Forum
Jogja Sehat Tanpa Tembakau:
Hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas
kesehatan fisik dan mental. Dalam kerangka ini, negara pihak terikat kewajiban
untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. (Konvensi
Wina, 1993).
Sumber lain yang turut menguatkan argumen tersebut adalah pernyataan
dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nafsiah Mboi, yang terdapat dalam
berita elektronik Pos Kota yang diposting pada Minggu, 10 Februari 2013, berikut
isi berita yang dimuat dalam sebuah media lokal Jakarta tersebut:
Kalau dia merokok menjadi bagian dari melaksanakan HAM, mestinya perlu
diingat bahwa ada hak orang lain disekitarnya yang jelas-jelas dilanggar seperti
2
hak orang lain menghirup udara bersih, hak orang lain untuk hidup sehat dan
hak keluarganya untuk tidak merawatnya saat si perokok sakit akibat
merokoknya, (Nafsiah Mboi, Pos Kota: 10 Februari 2013)
Itu artinya bahwa merokok merupakan hak, namun sama sekali bukan
termasuk Hak Asasi Manusia (HAM). Karena ada hak yang lebih tinggi daripada
hak merokok, yaitu hak seseorang untuk mendapatkan udara bersih dan hidup
sehat. Itulah hak yang lebih tinggi levelnya dari hak seseorang untuk merokok.
Jika merokok merupakan hak, namun tidak berlaku bagi anak-anak. Dari sisi
psikologis, anak belum memiliki hak untuk memutuskan merokok atau tidak
merokok. Hal ini karena faktor kedewasaan pada anak yang belum terbentuk,
sehingga mereka harus dilindungi agar tidak mengambil keputusan yang justru
memberi dampak buruk bagi dirinya.
Hingga saat ini, banyak hasil studi mengatakan bahwa rokok memberikan
dampak buruk bagi kesehatan perokok itu sendiri juga bagi orang lain di
sekitarnya yang turut menghirup asap rokok tersebut. Dampak bagi perokok tidak
langsung (perokok pasif) inilah yang justru lebih buruk justru lebih berbahaya.
Penerima asap rokok sendiri banyak dari kalangan anakanak, wanita hamil, dan
bahkan orang lanjut usia yang di sekitarnya terdapat perokok. Hal ini dikarenakan
perokok cenderung tidak terlalu peduli dengan lingkungan di sekitarnya.
Seperti yang dituturkan oleh Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi bahwa
setidaknya terdapat 11,4 juta anak dengan rentang usia 04 tahun yang menjadi
perokok pasif akibat dari orang tua atau orang di sekelilingnya yang perokok
(dalam Dewi 2013). Itu artinya bahwa yang menerima dampak lebih buruk dari
aktivitas perokok adalah anak-anak, perempuan, maupun lansia yang berposisi
3
sebagai perokok pasif. Bahaya akan perokok pasif turut diperkuat oleh berbagai
penelitian yang menyebutkan bahwa perokok pasif cenderung menerima dampak
lebih bahya daripada perokok aktif. Data dari The Tobacco Atlas 4
th
Edition tahun
2011 menunjukkan bahwa terdapat 600.000 orang yang meninggal dunia akibat
rokok, dan 75% diantaranya adalah perempuan dan anakanak (Widyastuti:2012).
Di sisi lain, jumlah para perokok terus mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Itu artinya akan semakin sedikit udara bersih yang tersedia bagi mereka
yang tidak merokok. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2010 (Maryati, 2013) menyebutkan bahwa terdapat 19% dari remaja berusia 15
19 tahun yang merokok. Lebih lanjut Riskesdas tahun 2007 menunjukkan sebuah
peningkatan jumlah perokok kategori anakanak yang terbilang cukup luar biasa,
yakni sebanyak 426.214 anak dibandingkan tahun 1995 yang mencapai 71.126
anak. Itu artinya bahwa perokok aktif kini bukan lagi orang dewasa, melainkan
remaja bahkan anak-anak. Muliarta (2012) menjelaskan bahwa jumlah perokok
anak di Indonesia mencapai angka yang cukup tinggi. Bahkan Indonesia
merupakan satusatunya Negara yang mendapat julukan baby smoker karena
banyaknya jumlah perokok anak. Data menunjukkan, selama tahun 20082012,
jumlah perokok di bawah usia 10 tahun mencapai 239.000 orang. Sedangkan pada
rentang usia 1014 tahun terdapat 1,2 juta orang.
Banyaknya angka perokok anak-anak atau pemula tersebut disebabkan
oleh banyak faktor, di antaranya adalah faktor promosi yang dialkuakn oleh
pelaku ondustri rokok. Selama ini iklan promosi rokok begitu mendominasi
seluruh media periklanan sehingga akan mudah untuk dilihat dan diakses oleh
4
anak-anak. Dari sisi produsen, sasaran perokok pemula merupakan salah satu
strategi pemasaran yang sering dilakukan. Mengingat perokok pemula merupakan
sasaran strategis bagi mereka. Selain itu, faktor lingkungan juga menjadi salah
satu penyebab seorang anak merokok. Menurut survei yang dilakukan oleh
lembaga Quit Tobacco Indonesia, di Kota Yogyakarta terdapat 16% pelajar SMP
dan SMA yang merokok. Persentase tersebut terdiri dari 12% perokok eksperimen
atau masih mencoba-coba, dan 4% sebagai perokok reguler atau rutin setiap hari.
Rokok tidak hanya merugikan bagi perokoknya saja, namun juga
merugikan setiap orang yang menghirup asap rokok. World Health Organization
(WHO) dalam Patriani (2013) menyebutkan terdapat tiga juta orang yang
meninggal setiap tahunnya karena polusi udara. Dan negara berkembang memiliki
kecenderungan lebih tinggi terhadap jumlah kematian penduduk akibat rokok.
Diagram 1
Perkiraan Kematian Penduduk Dunia Akibat Rokok dari Tahun 2005-2030
Sumber: WHO report on the global tobacco epidemic, 2008
Dari tabel tersebut terlihat bahwa kenaikan jumlah angka kematian akibat
rokok melonjak tinggi dalam kurun waktu 25 tahun. Angka kematian terbanyak
5
terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, kompleksitas
masalah perlindungan terhadap masyarakat non perokok sendiri belum diimbangi
secara baik oleh pemerintah pusat, terutama dari aspek kebijakan. Belum ada
peraturan di tingkat nasional yang secara tegas mengatur tentang rokok. Hal ini
menunjukkan bahwa masih rendahnya komitmen pemerintah terhadap
perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok. Bahkan dalam urusan rokok,
pemerintah seolah berbelit-belit dalam menentukan kebijakan. seperti yang
diungkapan Sekretaris Forum JSTT, V. Sri wijiyati:
...PP Nomor 109 Tahun 2012. Itupun tertundanya sudah lama. Dari tahun
2009, diundangkan baru tahun 2012. Dulu kan salah satu PP yang legal
draftingnya muter-muter pembahasannya karena harus diketahui ditandatangani
oleh menteri keuangan, menteri pertahanan keamanan, padahal hubungannnya
apa. Itu salah satu PP yang paling panjang prosesnya.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk meminimalisasi dampak buruk rokok bagi kesehatan adalah
dengan mengatur perilaku para perokok. Mengatur bukan berarti melarang. Hanya
menempatkan perokok di tempat yang terpisah dari non perokok agar hak non
perokok untuk mendapatkan udara yang bersih dapat terwujud. Untuk itu
dibutuhkan satu peraturan yang memuat sanksi tegas bagi para pelanggar. Dengan
demikian diharapkan pada level implementasi akan lebih efektif.
Dari sisi materi, anggaran yang dibutuhkan untuk menangani dampak yang
diakibatkan oleh asap rokok tidaklah sedikit. Dewi (2013) menjelaskan bahwa
dana yang dikeluarkan untuk penanganan masalah akibat perilaku merokok adalah
sebesar Rp 231,27 triliun. Sedangkan penerimaan dari cukai rokok hanya Rp 55
trliun. Pada tahun 2010, total pengeluaran untuk rawat inap maupun rawat jalan
terkait dampak rokok mencapai Rp 2,11 triliun.
6
Dari survei World Health Organization (WHO) yang dilakukan terhadap
beberapa negara, sudah terdapat beberapa negara yang memberlakukan aturan
tentang larangan merokok di tempat umum.
Diagram 2
Kebijakan Pengendalian Rokok Dunia
Sumber: WHO report on the global tobacco epidemic, 2009
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa kebijakan pengendalian rokok
dunia mencakup beberapa hal. Di antaranya adalah lingkungan bebas rokok
(smoke-free environments) yang mencapai angka 5%, program penghentian
(cessation programs) sebesar 8%, peringatan kesehatan (health warnings) sebesar
8%, pelarangan iklan (advertising bans) sebesar 9%, dan pajak (taxation)sebesar
6%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa upaya tobacco control belum
terlaksana secara maksimal. Bahkan pada level kebijakan sekalipun. Dari grafik
tersebut dapat dilihat bahwa beberapa negara sudah mampu menerapkan sistem
pengawasan, mewujudkan kawasan bebas rokok, peringatan kesehatan,
pelarangan iklan rokok serta kebijakan dalam cukai atau pajak rokok.
7
Diagram 3
Kawasan Larangan Merokok di Dunia
Sumber: WHO report on the global tobacco epidemic, 2009
Dalam lingkup internasional, hingga kini telah banyak negara yang
menerapkan kawasan larangan merokok. Kawasan-kawasan tersebut meliputi area
pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, perguruan tinggi, transportasi publik,
tempat kerja yang berada di dalam ruangan, tempat makan, dan area-area lainnya.
Namun dari keseluruhan kebijakan yang diberlakukan, belum ada yang mencapai
angka 100%.
Sebenarnya telah ada beberapa peraturan perundangan yang mengatur
tentang hal tersebut. Meskipun belum secara langsung mengkhususkan satu
produk untuk mengatur KTR. Melainkan KTR masih menjadi bagian dari satu
undang-undang kesehatan yang sifatnya general. Berikut ini beberapa undang
undang yang dapat digunakan untuk perlindungan terhadap masyarakat adalah :
1. Undangundang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
8
2. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan
Rokok bagi Kesehatan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003
tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan,
5. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5
Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
7. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2009
tentang Kawasan Dilarang Merokok
Namun pada kenyataannya peraturan-peraturan tersebut belum mampu
menjawab kebutuhan perlindungan para kaum non perokok di Indonesia,
khususnya di Kota Yogyakarta. Meski di tingkat pusat pemerintah belum mampu
mewujudkan suatu kebijakan dalam mengatur area bebas asap rokok, namun
kebijakan pengendalian asap rokok di tingkat daerah sudah lebih baik. Beberapa
daerah di Indonesia sudah memiliki produk hukum yang mengatur masalah asap
rokok, bahkan sebelum Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 ada.
Seperti di Kota Surabaya yang telah memiliki Perda No. 5 Tahun 2008 mengenai
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) di
Surabaya. Selain Surabaya, Kota Lain yang pernah menggalakkan komitmen
untuk mengatur masalah rokok adalah DKI Jakarta. Di DKI Jakarta sendiri
9
peraturan mengenai larangan merokok di tempat umum sudah ada dan pernah
dijalankan dengan sanksi dan pengawasan yang ketat. Namun hal itu hanya
berjalan beberapa waktu saja. Dan kini sudah tidak terdengar lagi aksi penegakan
untuk tidak merokok di tempattempat umum. Berikut beberapa daerah yang telah
memiliki peraturan mengenai rokok:
1. Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Kawasan Tanpa Asap Rokok
2. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Kawasan Tanpa Rokok
3. Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Kawasan Tanpa Asap Rokok dan Kawasan Tertib Rokok
4. Perda Kota Bukittinggi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kawasan Tanpa
Rokok
5. Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Utara Nomor 35 Tahun 2012
tentang Kawasan Tanpa Rokok
6. Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 50 Tahun
2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Pengawasan dan
Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok
Oleh karena itu, sudah saatnya Kota Yogyakarta juga turut membentuk
peraturan perundangan yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR),
sebagai salah satu langkah untuk mengatur perilaku para perokok agar tidak
merokok di sembarang tempat, sekaligus melaksanakan amanat Undang-Undang
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 115 Ayat 2, yang menyebutkan bahwa
10
setiap daerah wajib menetapkan KTR sesuai dengan peraturan perundangan di
daerahnya. Selain itu juga untuk meminimalisasi peningkatan jumlah perokok
aktif, khususnya perokok pemula. Data Susenas tahun 2001 menyebutkan bahwa
untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, diketahui bahwa jumlah perokok di
DIY usia remaja (15 tahun ke atas) cukup tinggi, yaitu mencapai 34,2% dari total
penduduk, serta ratarata menghisap sembilan batang rokok per hari (Widyastuti
2012). Sedangkan posisi Yogyakarta sendiri berada pada urutan ke empat di Pulau
Jawa setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Melalui survey faktor risiko penyakit kardiovaskuler di Kota Yogyakarta
yang dilakukan pada tahun 2004 dengan melibatkan 3.206 responden yang terdiri
dari 1.653 orang perempuan dan 1.533 orang laki-laki, menunjukkan bahwa
sebanyak 28,7% dari total responden merupakan perokok yang terdapat di Kota
Yogyakarta. Sebanyak 84,3% dari jumlah tersebut merupakan perokok aktif. Itu
artinya bahwa sebagian besar penderita penyakit radiovaskuler merupakan
perokok. Dari fakta tersebut sudah selayaknya jika masyarakat harus dilindungi
agar dapat mencapai derajad kesehatan yang lebih baik.
Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri sebenarnya sudah memiliki peraturan
perundangan yang berbentuk peraturan gubernur (Pergub) dan peraturan daerah
(Perda). Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur
mengenai rokok adalah Peraturan Gubernur DIY Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Kawasan Dilarang Merokok dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Menurut Didik Joko Nugroho, dari Quit Tobacco Indonesia, peraturan merokok
11
yang berupa peraturan gubernur (pergub) di Derah Istimewa Yogyakarta saat ini
belum mampu dijadikan sebagai sebuah tool untuk mengatasi permasalahan asap
rokok.
Pergub memang sudah ada, tapi itu baru sebatas himbauan sehingga tidak
bersifat mengikat dan tidak mempunyai sanksi yang jelas. Jadi diharapkan
dengan adanya perda KTR ini, semua menjadi jelas. (Didik Joko Nugroho, Quit
Tobacco Indonesia: 20 Februari 2013)
Hal tersebut dikarenakan pergub merupakan peraturan yang bersifat
himbauan, jadi tidak bersifat mengikat dan tidak memberikan sanksi bagi
pelanggar. Selain itu, sosialisasi adanya peraturan gubernur yang mengatur
tentang kawasan dilarang merokok belum disosialisasikan secara optimal.
Komitmen pemerintah untuk benar-benar menerapkan apa yang ada di dalam
pergub itu terlihat masih lemah.
Sebenarnya amanat untuk membuat kawasan tanpa rokok secara jelas telah
tertuang dalam UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 ayat (2) yang menyatakan
bahwa: Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di
wilayahnya. Termasuk juga untuk Kota Yogyakarta yang mau tidak mau harus
memiliki peraturan perundangan yang mengatur tentang KTR. Walaupun proses
formalisasi kebijakan pengendalian asap rokok yang tertuang dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok saat ini telah memasuki
tahap program legislasi daerah (Prolegda), namun masih belum ada kepastian
raperda tersebut akan disahkan. Sejatinya Raperda tentang KTR bukan untuk
melarang orang merokok, hanya mengatur tempat untuk merokok agar dapat
menciptakan kenyamanan bagi semuanya. Meskipun dalam proses tersebut masih
terdapat pro dan kontra dari kalangan internal dewan, namun formalisasi
12
kebijakan tersebut dinilai penting untuk meningkatkan kesehatan masyarakat,
kebersihan lingkungan dan beberapa alasan lain.
Kesadaran akan kebutuhan hidup sehat tanpa rokok di Kota Yogyakarta
mulai terbentuk sejak munculnya beberapa program yang dimotori oleh lembaga
tobacco control Quit Tobacco Indonesia dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
dalam rangka menginisiasi usaha perlindungan masyarakat terhadap asap rokok.
Contoh dari beberapa program tersebut adalah terbentuknya terbentuknya RW
Bebas Asap Rokok (RBAR) yang hingga saat ini tercatat telah 23 RW di Kota
Yogyakarta yang mendeklarasikan dirinya sebagai RW Bebas Asap Rokok. Di
dalamnya terdapat ketentuan yang melarang warga perokok untuk merokok di
dalam rumah, di depan balita dan anakanak, di dalam rumah, serta di depan
perempuan. Beberapa RW yang tergabung dalam gebrakan tersebut adalah RW 1
Kelurahan Wirobrajan, RW 1 Kelurahan Notoprajan, RW 2 Kelurahan Semaki,
dan RW lainnya (Yuliastuti, 2013). Gebrakan-gebrakan tersebut sebagai inisiatif
warga melalui program binaan Dinas Kesehatan dan Quit Tobacco Indonesia,
yang membentuk kesadaran akan pentingnya gaya hidup sehat dengan
menghindari rokok.
Terbentuknya RW KBAR tersebut merupakan salah satu dari kegiatan
pendampingan yang dilakukan Quit Tobacco Indonesia dan Promkes Dinas
Kesehatan Kota Yogyakarta. Quit Tobacco Indonesia merupakan satu dari sekian
banyak NGO (Non Governmental Organization) yang memiliki perhatian
terhadap permasalahan ini. Masih banyak NGO di Yogyakarta yang memiliki
perhatian dalam tobacco control. Untuk konteks Raperda KTR, NGO yang
13
mengawal dari awal Raperda diinisiasi hingga masuk ke dalam agenda legislatif
adalah Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (FJSTT) yang merupakan gabungan
dari berbagai lembaga, institusi, maupun aktifis yang peduli dengan tobacco
control. Forum JSST terbentuk karena adanya keinginan para NGO di Yogyakarta
untuk mewujudkan kebijakan yang mengatur tentang KTR. Sehingga JSTT
banyak melakukan kegiatan advokasi di berbagai kabupaten/kota di Daerah
Istimewa Yogyakarta untuk menginisiasi Perda KTR, tidak terkecuali di Kota
Yogyakarta.
Sebelum diinisiasi menjadi Prolegda, perjuangan untuk mewujudkan
terbentuknya kebijakan perlindungan terhadap perokok telah diisiasi oleh berbagai
lembaga dan institusi. Yakni beberapa di antaranya adalah Forum Jogja Sehat
Tanpa Tembakau (FJSTT) yang di dalamnya memuat berbagai macam NGO yang
berada di Yogyakarta, sperti: Perkumpulan IDEA, PLIP Mitra Wacana, Yayasan
Kanker Indonesia (YKI) Cabang DIY, GEBRAK, REWANG, LAKPESDAM NU
PC Bantul, PKK Kota Yogyakarta, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) DIY,
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Forum Pelajar
Nusantara (FPN) Yogyakarta, Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), dan
beberapa organisasi lainnya.
Dalam perjalanannya, isu mengenai rokok mengalami multitafsir, memuat
banyak kepentingan politik, mengalami pasang surut, dan juga menuai pro kontra.
Namun demikian, hal yang harus dipahami oleh semua pihak adalah bahwa dalam
Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok tersebut tidak melarang orang merokok.
Perda tersebut hanya mengatur dan menata kawasan mana saja yang tidak boleh
14
terpapar asap rokok. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat non perokok
dan terutama kelompok rentan.
Bagaimanapun akhirnya, perjalanan inisiasi isu perlindungan masyarakat
terhadap asap rokok hingga menjadi sebuah agenda kebijakan merupakan suatu
hal yang penting. Ketika sebuah masalah publik bertahan sekian lama dan belum
ada solusi nyata, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk
mewujudkannya menjadi sebuah kebijakan. Seperti yang dikemukakan oleh
Dewey (1927) dalam Parsons (2008) yang menjelaskan bahwa kebijakan publik
menitikberatkan pada "publik dan problemnya". Karena memang kajian KP
adalah publik dan masalah. Isu dan persoalan disusun, didefinisikan dan
diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Dari proses itulah
diharapkan akan muncul solusi baru yang lebih baik untuk menyelesaikan
masalah public terkait.
Peneliti mengambil fokus penelitian tentang agenda setting pada Raperda
KTR di Kota Yogyakarta karena selama ini isu mengenai rokok merupakan isu
yang sensitif dan telah lama menjadi perhatian banyak pihak. Saat ini
pembentukan Perda KTR sedang menjadi topik hangat dalam ranah kebijakan
publik di Indonesia. Penelitian difokuskan pada agenda setting karena hingga
penelitian ini dilakukan, Raperda KTR baru dalam tahap pembahasan anggota
legislatif dan belum disahkan sebagai perda. Dengan demikian peneliti belum
dapat melihat tahap lainnya, seperti implementasi ataupun evaluasi. Tahap agenda
setting sendiri menarik karena merupakan tahap yang cukup krusial dalam
pembentukan suatu kebijakan atau produk hukum.
15
Di era pemerintahan desentralistik seperti sekarang ini, pembangunan
kesehatan perlu ditingkatkan mengingat daerah memiliki lebih banyak wewenang
untuk menentukan sendiri program ataupun pengalokasian dana kesehatan di
daerahnya (Adisasmito, 2010). Di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat dua
kabupaten yang juga telah menyusun Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR),
yakni Kabupaten Bantul dan menyusul kemudian setelah Kota Yogyakarta, yakni
Kabupaten Sleman. Kota Yogyakarta dipilih sebagai lokus penelitian karena
prosesnya yang lebih dinamis jika dibanding dengan kabupaten yang sebelumnya
telah terlebih dulu menginisiasi Raperda KTR, yakni Kabupaten Bantul. Selain
itu, Kota Yogyakarta menawarkan kemudahan untuk mengakses informasi.
Proses inisiasi tobacco control yang terjadi di Kota Yogyakarta hingga
masuk ke ranah kebijakan dapat dikatakan sebagai proses inisiasi kebijakan yang
berjalan tanpa suatu hambatan berarti. Pro dan kontra tetap ada, namun tidak
terlalu banyak menghalangi jalannya inisiasi kebijakan hingga menjadi agenda
kebijakan. Hal ini dikarenakan Kota Yogyakarta telah memiliki dasar tobacco
control yang kuat, yang sebelumnya telah dibangun oleh Dinas Kesehatan
bersama lembaga Quit Tobacco Indonesia melalui berbagai program dan kegiatan
yang akhirnya menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat tanpa
rokok, bahkan sebelum perda tentang KTR diamanahkan.
Selanjutnya, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses
dari mulai masalah muncul dan dirasakan oleh masyarakat Kota Yogyakarta,
hingga kemudian diinisiasi dan pada akhirnya ditetapkan menjadi agenda
kebijakan yang akan disahkan oleh pemerintah.
16
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
Bagaimana agenda setting Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota
Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?
Untuk memudahkan proses pencarian dan pengolahan data, maka rumusan
masalah tesebut diturunkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana tahap-tahap dan dinamika pada agenda setting Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) Kota Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa
Rokok (KTR)?
2. Siapa saja aktor yang terlibat dalam setiap tahapan agenda setting dan
bagaimana hubungan di antara para aktor tersebut, khususnya pada
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Yogyakarta tentang
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan bagaimana hubungan antara aktor-
aktor tersebut?
3. Apa kepentingan dari setiap aktor yang terlibat dalam setiap tahapan
agenda setting Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota
Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana agenda setting Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) Kota Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
17
Untuk mengetahui bagaimana tahap-tahap dan dinamika agenda setting
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa
Rokok (KTR).
Untuk mengetahui siapa saja aktor yang terlibat dalam setiap tahapan
agenda setting Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Yogyakarta tentang
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan bagaimana hubungan antar aktor-aktor
tersebut.
Untuk mengetahui apa saja kepentingan masing-masing aktor yang terlibat
dalam setiap tahap agenda setting Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota
Yogyakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan analisis data yang komprehensif mengenai fakta empiris
dan isu kesehatan dan asap rokok dalam proses agenda setting
kebijakan.
2. Sebagai masukan kepada pemerintah daerah lain terkait dengan
pembentukan peraturan bagi perokok.
3. Memberikan masukan terhadap kajian agenda setting kebijakan
selanjutnya.
4. Sebagai kontribusi pada penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai