Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya di neraka. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-
nya(110), dan Muslim dalam Shohih-nya (3)]
Maka hendaknya hadits di atas menjadi renungan awal bagi kita dalam
menyampaikan hadits, untuk lebih berhati-hati dalam memilah dan milih hadits
yang akan kita jadikan referensi dalam kultum ramadhan ataupun ceramah
secara umum.
Adapun dalam bahasan ulama, memang ada perbedaan pendapat seputar
periwayatan hadits dhoif, setidaknya terangkum dalam tiga pendapat berikut.
Pertama: Haram secara mutlak penggunaan hadits dhoif sebagai hujjah dalam
tema dan masalah apapun. Para ulama yang mengambil pendapat ini adalah
sebagian besar ulama hadits, diantaranya: Imam Ibnu Hazm, Imam al-Bukhori,
Imam Muslim , al-Hafizh Yahya bin Main, al-Hafizh Abu Bakar Ibnu al-Arabi
al-Maliki, dan juga Ibnu Taimiyah.
Kedua: Boleh mengamalkan hadits dhoif tetapi khusus yang berkaitan dalam
bab Fadhoil al-Amal, dan targhib wa tarhib ( motivasi dan ancaman).
Kebolehan ini tidak berlaku dalam masalah lainnya, apalagi soal halal dan
haram, serta aqidah. Mereka yang menyebutkan kebolehan ini adalah sebagian
ahli Fiqih dan ahli Hadits, diantaranya : al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Ibnu
Sholah, dan al-Imam Nawawi rahimahumullah.
Ketiga : Boleh mengamalkan secara mutlak, artinya baik dalam masalah fiqh,
aqidah dan selainnya, namun dengan syarat jika dalam masalah itu tidak
didapatkan hadits yang lebih kuat dari apa yang ada.
Syarat Ulama tentang periwayatan hadits Dhoif
Mereka yang membolehkan periwayatan hadits dhoif dalam masalah fadhoilul
amal , juga menetapkan sejumlah syarat yang ketat bagi kita saat benar-benar
akan menjalankannya.
1.Harus dipastikan bahwa meskipun dhoif, tetapi masih dalam kategori yang
wajar, artinya tidak lemah sekali , apalagi maudhu atau palsu.
2. Tidak dijadikan asal dan sandaran dalam menentukan sebuah hukum, tapi
hendaknya ada hadits lain yang shohih dan kuat untuk menjadi referensi
utamanya.
3. Tidak meyakini bahwa Rasulullah SAW benar-benar melakukan atau
menyebutkannya. Hadits itu diamalkan hanya karena kehati-hatian ketimbang
mengamalkan sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali.
4. Memastikan bahwa hadits tersebut khusus untuk Fadhoil al-Amal atau
Targhib wa Tarhib. Bukan dalam masalah aqidah, halal haram, ataupun tafsir
Al-Quran.
Solusi yang bisa kita lakukan
Solusi yang mungkin kita lakukan dalam hal ini, kaitannya dalam masalah di
atas, setidaknya ada tiga hal :
Pertama : melakukan persiapan dengan optimal. Meliputi pembacaan referensi
yang shohih dan valid. Karena saat ini sudah banyak buku dan kitab seputar
puasa yang baik dan beredar di masyarakat. Hal ini untuk memberikan kita
referensi yang lebih banyak dalam memberikan ceramah, ketimbang berkutat
dengan dalil yang ada namun tidak kuat.
Kedua : Melihat kembali dan bertanya kepada pakarnya, jika menemukan
sebuah hadits yang menarik tapi agak asing dalam sebuah masalah, agar
menjadi tenang dan yakin ketika menyampaikan.
Ketiga : Memberikan penyadaran dalam masyarakat dalam masalah ini. Artinya
bisa saja kita sebutkan dengan menjelaskan kelemahan dan kedhaifannya, tetapi
kita berikan ganti lain hadits yang shohih dan kuat dalam masalah yang sama
pula. Tetapi jangan sampai hal ini justru malah mengundang permasalahan dan
perpecahan antara jamaah masjid.
Semoga Allah subhanahu wa taala memudah ikhtiar dan usaha kita dalam
mengisi dan mengoptimalkan ramadhan sebagai bulan dakwah dan kebaikan.
MAKALAH AGAMA ISLAM TENTANG DAKWAH
DISUSUN OLEH :
1.LAELA KENCANA
2.MARDENA
3.MITA LESTARI
4. SHAKINAH PUTRI
XI IPA 7