Anda di halaman 1dari 25

PENGOBATAN DERMATOMIKOSIS

Penyaji:
dr.Ramona Dumasari Lubis,SpKK
NIP.132 308 599


















DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2008

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
1
PENDAHULUAN
Tujuan utama pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan atau
membunuh organisme yang patogen dan memulihkan kembali flora normal kulit
dengan cara memperbaiki ekologi kulit atau membran mukosa yang merupakan
tempat berkembangnya koloni jamur.
1

Pada saat ini penemuan obat-obat anti jamur yang baru telah mengalami
perkembangan yang pesat baik yang berbentuk topikal maupun sistemik dan
diharapkan prevalensi penyakit infeksi jamur dapat berkurang.
Sekarang ini ada empat golongan obat-obat anti jamur yang utama yaitu
poliene, azol, alilamin dan echinocandin dan ada juga obat anti jamur yang
bukan
kelompok diatas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian obat-obat
anti jamur
topikal. Pengetahuan tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum,
farmakokinetik,
efek samping maupun interaksi obat-obat anti jamur sangat diperlukan dalam
memberikan pengobatan.
2


I. OBAT ANTI JAMUR TOPIKAL
Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada
kulit
tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk
pengobatan
infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan
luas, infeksi
pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat anti jamur topikal lebih
sedikit dibandingkan obat anti jamur sistemik.
3
Jenis golongan obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu :
3-6
1. Poliene : Nystatin
2. Azole - Imidazol : Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokonazol,
Sulkonazol,
Oksikonazol, Terkonazol, Tiokonazol,
Sertakonazol
3. Alilamin / benzilamin : Naftifin, Terbinafin, Butenafin
4. Obat anti jamur topikal lain : Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin

GOLONGAN POLIENE
Mekanisme kerja golongan poliene yaitu berikatan dengan ergosterol secara
irreversibel. Ergosterol merupakan komponen yang sangat penting dari
membrane sel
jamur. Golongan poliene ini tidak efektif terhadap dermatofit dan
penggunaannya

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
2
secara klinis juga terbatas yaitu untuk pengobatan infeksi yang disebabkan
Candida
albicans dan Candida spesies yang lain.
4

Nystatin
4-9
Nystatin merupakan antibiotik yang digunakan sebagai anti jamur, diisolasi
dari Streptomyces nourse pada tahun 1951 dan merupakan antibiotik group
poliene.
Untuk pengobatan candida spesies, nystatin dapat digunakan secara topikal
pada kulit atau membran mukosa (rongga mulut, vagina) dan dapat juga
diberikan
secara oral untuk pengobatan kandidosis gastrointestinal.
Nystatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadang dapat timbul
mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi.
Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan tablet nystatin 500000 unit
setiap
6 jam dan untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal
suppositories (100000 setiap unit) yang diberikan selama lebih kurang 14
hari..
Suspensi nystatin oral terdiri dari 100000 unit / ml yang diberikan 4 kali
sehari
dengan dosis pada bayi baru lahir (newborn) : 1 ml, infant yang usianya
lebih tua : 2
ml dan dewasa : 5 ml.

GOLONGAN AZOL ? IMIDAZOL
Golongan azol ? imidazol ditemukan setelah tahun 1960, relatif berspektrum
luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
ergosterol
jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada membran sel jamur. Obat anti
jamur
golongan azol seperti klotrimazol, ketokonazol, ekonazol, oksikonazol,
sulkonazol
dan mikonazol, mempunyai kemampuan menggangu kerja enzim sitokrom P-450
lanosterol 14-demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah
lanosterol menjadi ergosterol.
4

Klotrimazol
4-10
Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, kandidosis
oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidosis, diberikan
oral troches
(10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan
kandidosis
vaginalis diberikan dosis 500, 200 atau 100 mg yang dimasukkan kedalam
vagina
selama 1, 3, atau 6 hari berturu-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada
kulit

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
3
digunakan klotrimazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung
dari
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali
sehari.

Ekonazol
4-7,10

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan
dosis 150
mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berturut-turut. Untuk
pengobatan
infeksi jamur pada kulit digunakan ekonazol cream 1%, dosis dan lamanya
pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4
minggu dan
dioleskan 2 kali sehari.

Mikonazol
4-6,9,10
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor
dan kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis
vaginalis
diberikan dosis 200 atau 100 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 7
atau 14
hari berturut-turut. Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan oral gel
(125 mg) 4
kali sehari. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol
cream
2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan
selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Ketokonazol
3-7,10

Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor,
kutaneous kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan seborrrheic
dermatitis. Untuk
pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ketokonazol 1% cream, dosis
dan
lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan
selama 2-4
minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan pengobatan seborrrheic
dermatitis
dioleskan 2 kali sehari. Untuk pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan
ketokonazol 2% shampoo dioleskan sekali sehari selama 5 hari sedangkan
untuk
pengobatan dandruff digunakan ketokonazol 1% shampoo sebanyak 2 kali
seminggu
selama lebih kurang 8 minggu.


Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
4
Sulkonazol
5,6,12
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneus. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol 1%
cream
Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris ataupun pitiriasis versikolor
dioleskan 1 atau 2
kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari
selama 4
minggu.

Oksikonazol
4-6,13
Oksikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneous. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan oksikonazol
1%
cream ataau lotion. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi
pasien,
biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris dioleskan 1 atau
2 kali
sehari selama 2 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 1 tatau 2 kali sehari
selama 4
mingggu dan pitiriasis versikolor dioleskan 1 kali sehari selama 2 minggu.

Terkonazol
4-6,14

Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis yang
disebabkan
Candida albicans, dapat digunakan terkonazol 0,4% vaginal cream (20 gr
terkonazol)
yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator sebelum waktu tidur,
1
kali sehari selama 7 hari berturut-turut, terkonazol 0,8% vaginal cream (40
mg
terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator sebelum
waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal
suppositoria dengan
dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum
waktu
tidur selama 3 hari berturut-turut.

Tiokonazol
4-6,15
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis
kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan
dosis tunggal
sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit
digunakan
tiokonazol 1% cream, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi
pasien,
biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan kandidiasis kutaneus dioleskan
2 kali

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
5
sehari selama 2-4 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama
6 minggu,
untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu dan untuk
pitiriasis
versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu.

Sertakonazol
16
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandida
spesies, digunakan sertakonazol 2% cream, dioleskan 1-2 kali sehari selama
4
minggu.


GOLONGAN ALILAMIN / BENZILAMIN
Golongan alilamin yaitu naftifin, terbinafin dan golongan benzilamin yaitu
butenafin, bekerja dengan cara menekan biosentesis ergosterol pada tahap
awal proses
metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan mengambat aktifitas squalene
eposidase.
Dengan berkurangnya ergosterol, akan menyebabkan penumpukan squalene pada
sel
jamur dan akan mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin
bersifat
fungisidal terhadap dermatofit dan bersifat fungistatik terhadap Candida
albicans.
4

Naftifin
4-6,8,17
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida
spesies. Untuk pengobatan digunakan naftifine hydrochloride 1% cream
dioleskan 1
kali sehari selama 1 minggu.

Terbinafin
4-6,8,18

Terbinafin (Lamisil) dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis,
pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin 1%
cream yang
dioleskan 1 atau 2 kali sehari, untuk pengobatan tinea korporis dan tinea
kruris
digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk
kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor
selama 2
minggu.

Butenafin
4-6,19,20

Butenafin merupkan golongan benzilamin dimana struktur kimia dan aktifitas
anti jamurnya sama dengan golongan alilamin. Butenafine bersifat fungisidal
terhadap

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
6
dermatofit dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea
kruris dan
tinea pedis dan bersifat fungisidal. Dioleskan 1 kali sehari selama 4
minggu.

GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL YANG LAIN
Amorolfin
4-6,21
Amorolfine merupakan derivat morpolin, bekerja dengan cara menghambat
biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya yang luas, dapat
digunakan untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis.
Untuk infeksi
jamur pada kulit amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu
sedangkan
untuk tinea pedis selama > 6 bulan. Untuk pengobatan onikomikosis digunakan
amorolfine 5% nail laquer, untuk kuku tangan dioleskan satu atau dua kali
setiap
minggu selama 6 bulan sedangkan untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12
bulan.

Siklopiroks
4-6,22-24
Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypyridone, bersifat
fungisida, sporosida dan mempunyai penetrasi yang baik pada kulit dan kuku.
Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea
pedis,
onikomikosis, kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari
selama 2-4 minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan
siklopiroks
nail laquer 8%. Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan
tersebut
akan mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan
dari
pembawa berdifusi menembus lapisan-lapisan lempeng kuku hingga ke dasar
kuku
(nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman 0,4 mm dan secara
penuh
akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat akan mencapai kadar
fungisida
dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ? 0,25 mikrogram tiap milligram material
kuku.
Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah pemakaian dan
selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat
minimal
yang berefek fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan
di setiap
lapisan kuku.
Sebelum pemakain cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang
infeksi diangkat atau dibuang, kuku yang terisa dibuat kasar kemudian
dioleskan

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
7
membentuk lapisan tipis. Lakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama,
setiap 3
hari sekali pada bulan ke dua dan seminggu sekali pada bulan ke tiga hingga
bulan ke
enam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat kuku siklopiroks tidak lebih dari
6
bulan.

Haloprogin
4-6,8
Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea
korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan
konsentrasi 1%
dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.


II. OBAT ANTI JAMUR SISTEMIK

Pemberian obat anti jamur sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi
jamur
superfisial dan sistemik (deep mikosis), obat-obat tersebut yaitu :

1. GRISEOFULVIN
2-3,6-9,25-27
Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies
Penicilium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai anti jamur pada
tumbuhan
dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan.
Pada
tahun 1959, diketahui griseofulvin ternyata efektif untuk pengobatan
infeksi jamur
superfisial pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang
pertama
diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.
z Mekanisme kerja
Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik,
berikatan
dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur.
z Aktifitas spektrum
Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk
spesies
Epidermophyton floccosum, Microsporum spesies dan Trichophyton spesies,
yang
merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku. Griseofulvin
tidak
efektif terhadap kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.
z Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5 - 1 gr, akan
menghasilkan
konsentrasi puncak plasma sebanyak 1 mikrogram / ml dalam waktu 4 jam dan
level

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
8
dalam darah bervariasi. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma
lebih
kurang 1 hari, dan ? 50 % dari dosis oral dapat di deteksi di dalam urin
dalam waktu 5
hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.
Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong.
Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi,
dapat
meningkatkan absorpsi mengakibatkan level griseofulvin dalam serum akan
lebih
tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan
serum
albumin dan distribusi di jaringan di ditentukan dengan plasma free
concentration.
Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat dan akan
dideposit
di sel prekusor keratin kulit (stratum korneum) dan terjadi ikatan yang
kuat dan
menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi, akan digantikan dengan lapisan
keratin baru
yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin secara
oral akan
mencapai stratum korneum setelah 4 - 8 jam.
Griseofulvin di metabolisme di hepar menjadi 6 ? desmethyl griseofulvin,
dan
akan di ekskresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang
dari 1%
dari dosis akan di jumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.
z Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu mikrosize (mikrokristallin) dan
ultramikrosize (ultramikrokristallin). Bentuk ultramikrosize, penyerapannya
pada
saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk mikrosize.
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea
kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh
Trychopyton tonsurans.
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500 -1000 mg / hari
(mikrosize) dosis tunggal atau terbagi dan 330 ? 375 mg / hari
(ultramikrosize) dosis
tunggal atau terbagi. Anak - anak ? 2 tahun 10 - 15 mg / kg BB / hari
(mikrosize),
dosis tunggal atau terbagi dan 5,5 - 7,3 mg / kg BB / hari (ultramikrosize)
dosis
tunggal atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris
selama 2 - 4
minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4 - 6 minggu, untuk tinea
pedis
selama 4 - 8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3 - 6 bulan.
z Efek samping
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah
dan sakit pada abodominal. Timbunya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat
terjadi
pada sebagian pasien.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
9
z Interaksi obat
Absorbsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital
tetapi efek tersebut dapat di kurangi dengan cara mengkonsumsi griseofulvin
bersama
makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan efektifitas warfarin yang
merupakan
antikoagulan. Kegagalan kontrasepsi telah dilaporkan pada pasien yang
mengkonsumsi griseofulvin dan oral kontrasepsi.

2. KETOKONAZOL
2,3,6-9,25,28-30
Ketokonazol diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1977 dan di
Amerika Serikat pada tahun 1981. Ketokonazol merupakan antijamur golongan
imidazol yang pertama diberikan secara oral.
z Mekanisme kerja
Ketokonazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan
sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja
dengan
cara menginhibisi enzim sitokrom P-450, C-14-?-demethylase yang
bertanggungjawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini akan
mengakibatkan
dinding sel jamur menjadi permiabel dan terjadi penghancuran jamur.
z Aktifitas spektrum
Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces
dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum,
Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif
terhadap
dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan
Zygomycetes.
z Farmakokinetik
Ketokonazol yang diberikan secara oral, mempunyai bioavailabilitas yang
luas
antara 37% - 97% di dalam darah. Puncak waktu paruh yaitu 2 jam dan
berlanjut 7-10
jam. Ketokonazol mempunyai daya larut yang optimal pada pH dibawah 3 dan
akan
lebih mudah diabsorbsi.
Pasien yang menderita achlorhydia, harus mengkonsumsi ketokonazol
bersama dengan cairan yang asam dan pada pasien yang mendapat obat - obat
seperti
antasid, antikolinergik, antiparkinson dan antagonis H
2
reseptor, sebaiknya
mengkonsumsi ketokonazol 2 jam sebelumnya oleh karena dapat mengurangi
absorbsi ketokonazol.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
10
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai
keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Penghantaran
akan
menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3
- 4
minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari
setelah
obat dihentikan.
Ketokonazol mempunyai distribusi yang luas melalui urin, saliva, sebum,
kelenjar keringat eccrine, serebrum, cairan pada sendi dan serebrospinal
fluid (CSF).
Namun, ketokonazol 99% berikatan dengan plasma protein sehingga level pda
CSF
rendah.
Ketokonazol dimetabolisme di hati dan diubah menjadi metabolit yang tidak
aktif dan diekskresi bersama empedu ke dalam saluran pencernaan.
z Dosis
Dosis ketokonazol yang diberikan pada orang dewasa 200 mg / hari, dosis
tunggal dan untuk kasus yang serius dapat ditingkatkan hingga 400 mg / hari
sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3 ? 6,6 mg / kg BB, dosis tunggal. Lama
pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2 - 4 minggu, tinea
versikolor
selama 5 -10 hari sedangkan untuk tinea kapitis dan onikomikosis biasanya
tidak
direkomendasikan.
z Efek samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di jumpai.
Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi
kerusakan
hepar yang serius jarang terjadi. Peninggian transaminase sementara dapat
terjadi
pada 5-10% pasien. Efek samping yang serius dari hepatotoksik adalah
idiosinkratik
dan jarang ditemukan yaitu 1:10000 dan 1:15000, biasanya djumpai pada
pasien yang
mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu. Untuk pengobatan jangka waktu yang
lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Dosis tinggi
ketokonazol (>800
mg/hari) dapat menghambat sintesis human adrenal dan testikular steroid
yang dapat
menimbulkan alopesia, ginekomasti dan impoten.
z Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti
antasid,
antikolinergik dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini di berikan
setelah 2 jam
pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh seperti
terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga sebaiknya tidak diberikan
bersama dan

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
11
juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular seperti pemanjangan Q-T
interval dan torsade de pointes.
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan
triazolam dan dapat meningkatkan level siklosporin dan konsentrasi serum
dari
warfarin. Pemberian bersama ketokonazol dengan rifampicin dapat menurunkan
efektifitas ke dua obat.

3. ITRAKONAZOL
2,3,6-9,25,28-31
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat
triazol.
z Mekanisme kerja
Mekanisme kerja itrakonazol dengan cara menghambat 14-?-demethylase
yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung jawab untuk
merubah
lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur.
z Aktifitas spektrum
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis
spesies, Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis,
Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur,
Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix
schenckii.
Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous moulds dan dermatofit tetapi
tidak
efektif terhadap Zygomycetes.
z Farmakokinetik
Absorbsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal
(55%) tetapi absorbsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol
dikonsumsi bersama
makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak
plasma
akan mencapai 0,1-0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam.
Itrakonazol mempunyai ikatan protein yang tinggi pada serum melebihi 99%
sehingga konsentrasi obat pada cairan tubuh seperti pada CSF jumlahnya
sedikit.
Namun sebaliknya konsentrasi obat di jaringan seperti paru-paru, hati dan
tulang
dapat mencapai 2 atau 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada serum.
Konsentrasi
itrakonazol yang tinggi juga ditemukan pada stratum korneum akibat adanya
sekresi
obat pada sebum. Itrakonazol tetap dapat ditemukan pada kulit selama 2-4
minggu
setelah pengobatan dihentikan dengan lama pengobatan 4 minggu sedangkan
pada jari

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
12
kaki itrakonazol masih dapat ditemukan selama 6 bulan setelah pengobatan
dihentikan
dengan lama pengobatan 3 bulan.
Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan di ekskresi di urin tanpa
mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan di buang melalui feces tanpa
mengalami perubahan. Itrakonazol di metabolisme di hati oleh sistem enzim
hepatik
sitokrom P- 450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi
oleh empedu
dan urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu
bioaktif.
z Dosis
Dosis pengobatan untuk dermatofitosis adalah 100 mg/hari. Lama pengobatan
untuk tinea korporis atau tinea kruris adalah selama 2 minggu tetapi untuk
tinea
manus dan tinea pedis adalah selama 4 minggu. Pengobatan untuk pitirisis
versikolor
dengan dosis 200 mg/hari selama 1 minggu.
Untuk pengobatan onikomikosis dengan dosis 200 mg selama 3 bulan atau
menggunakan dosis denyut yaitu kuku jari tangan sebanyak 2 pulsa
itrakonazol
dengan dosis 400 mg/hari selama 1 minggu dan 3 minggu tanpa pengobatan
sedangkan kuku jari kaki sebanyak 3 pulsa atau lebih.
Pengobatan kandidosis kutis dengan dosis 100 mg / hari selama 2 minggu,
kandidosis orofaringeal 100 mg / hari selama 2 minggu, kandidosis vaginalis
2x200
mg selama 1 hari atau 200 mg selama 3 hari.
Sedangkan untuk infeksi deep mikosis seperti aspergillosis, blastomikosis
dan
histoplasmosis diberikan dosis itrakonazol sebanyak 200-400 mg/hari.
z Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, sakit pada abdominal dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit
kepala,
pruritus dan ruam allergi.
Efek samping yang lain yaitu kelainan test hati yang dilaporkan pada 5%
pasien yang ditandai dengan peninggian serum transaminase, ginekomasti
dilaporkan
terjadi pada 1% pasien yang menggunakan dosis tinggi, impotensi dan
penurunan
libido pernah dilaporkan pada pasien yang mengkonsums itrakonazol dosis
tinggi
400 mg /hari atau lebih.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
13
z Interaksi obat
Absorbsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat-
obat
yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid, H2-antagonis,
omeprazol dan lansoprazol.
Itrakonazol dan metabolit utamanya merupakan suatu inhibitor dari sistem
enzim human hepatic sitokrom P-450-3A4 sehingga pemberian itrakonazol
bersama
dengan obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat
meningkatkan
konsentrasi azol, interaksi obat ataupun ke duanya. Itrakonazol dapat
memperpanjang
waktu paruh dari obat-obat seperti terfenadin, astemizol, midazolam,
triazolam,
lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga
dapat
meningkatkan konsentrasi serum digoxin, siklosporin, takrolimus dan
warfarin.

4. FLUKONAZOL
2,3,6-8,25,29,30,32,33
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam
bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan di perkenalkan
pertama
kali di Eropa kemudian di Amerika Serikat.
z Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu
merupakan suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol,
bekerja dengan
menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14-?-demethylase dan bersifat
fungistatik.
z Aktifitas spektrum
Flukonazol paling aktif terhadap Candida spesies, Coccidioides imminitis
dan
Cryptococcus neoformans. Mempunyai aktifitas yang terbatas terhadap
Blastomyces
dermatitidis, Histoplasma capsulatum dan Sprothrix schenckii. Flukonazol
juga
efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif untuk moulds termasuk
Aspergillus
spesies dan Zygomycetes. Walaupun flukonazol efektif terhadap Candida
spesies
tetapi resisten untuk Candida krusei dan Candida glabrata.
z Farmakokinetik
Flukonazol secara cepat dan sempurna diserap melalui saluran
gastrointestinal.
Bioavailabilitas oral flukonazol melebihi 90 % pada orang dewasa.
Konsentrasi
puncak plasma dicapai setelah 1 atau 2 jam pemberian oral dengan eliminasi
waktu
paruh plasma ? 30 jam (20-50 jam) setelah pemberian oral. Absorbsi
flukonazol tidak
dipengaruhi oleh kadar asam lambung (pH).

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
14
Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple lebih dari 14
hari maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke dalam cairan dan
jaringan tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih banyak
ditemukan di
dalam cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat dengan konsentrasi
tinggi. Ikatan
flukonazol dengan protein biasanya rendah (12%) sehingga sirkulasi obat
yang tidak
berikatan tinggi.
Metabolisme flukonazol terjadi di hepar dan diekskresi melalui urin dimana
80
% dari dosis obat akan di ekskresi tanpa perubahan dan 11% di ekskresi
sebagai
metabolit.
z Dosis
Untuk pengobatan orofaringeal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari
pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 2 minggu. Oesophageal
kandidosis
diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100 mg /hari
selama 3
minggu. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis digunakan dosis tunggal 150
mg.
Flukonazol juga efektif terhadap Cryptococcus neoformans dan merupakan
terapi
pilihan utama untuk cryptococcal meningitis pada pasien ADIS diberikan
dengan
dosis 6 mg/kg BB atau 400 mg /hari untuk berat badan 70 kg.
z Efek samping
Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek
samping lain
yaitu hipersensitiviti, agranulositosis, exfoliatif skin disoders seperti
Steven Johnson-
sindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.
z Interaksi obat
Flukonazol dapat meningkatkan efek atau level dari obat yaitu astemizol,
amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonilureas, terfenadin,
theofilin, warfarin
dan zidovudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride ataupun
terfenadin
merupakan kontra indikasi oleh karena dapat menimbulkan disaritmia jantung
yang
serius dan torsade de pointes. Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan
tolbutamid,
glipizid dan gliburid yang menimbulkan efek hipoglikemi.
Level atau efek flukonazol dapat menurun oleh karbamazepin, isoniazid,
phenobarbital, rifabutin dan rifampin dan akan meningkat oleh simetidin dan
hidroklorothiazid.


Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
15
5. VORIKONAZOL
6
Vorikonazol merupakan sintetik triazol yang berasal dari flukonazol dan
tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral.
z Mekanisme kerja
Vorikonazol merupakan inhibitor yang poten terhadap biosintesis
ergosterol,
bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-?-demethylase. Hal ini
menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang
mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.
z Aktifitas spktrum
Vorikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus species,
Blastomyces dermatitidis, Candida species, Cryptococcus neoformans,
Fusarium
species, Histoplasma capsulatum dan Scedosporium apiospermum. Juga efektif
terhadap dematiaceous moulds, tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.
z Farmakokinetik
Pemberian vorikonazol secara oral di absorbsi dengan cepat dan hampir
sempurna (sekitar 96%). Dua jam setelah mengkonsumsi vorikonazol dengan
dosis
400 mg dosis tunggal, diharapkan akan dicapai konsentrasi serum 2 mg/L.
Absorbsi
vorikonazol akan berkurang bersama makanan yang mengandung lemak tetapi
tidak
dipengaruhi perubahan pH lambung. Vorikonazol mempunyai volume distribusi
yang
luas (4,6L/kg BB) yang dapat di lihat pada jaringan dan diperkirakan
berikatan
dengan protein sekitar 58%. Vorikonazol di ekskresi dalam bentuk yang tidak
mengalami perubahan melalui urin < 2% dari dosis yang di berikan.
Vorikonazol di metabolisme melalui sistem enzim human hepatik sitokrom p-
450. Lebih dari 80% dosis oral akan dibuang sebagai metabolit melalui urin.
Eliminasi waktu paruh berkisar 6-9 jam dengan dosis parenteral 3 mg/kg atau
200 mg
dengan dosis oral. Terdapat 3 sistem enzim hepatik sitokrom yang mempunyai
peranan dalam proses metabolisme vorikonazol yaitu Cyp-2C19, CYP-2C9 dan
CYP-
3A4.
z Dosis
Pengobatan intravenous vorikonazol harus di awali dengan 2 loading dose
sebanyak 6 mg/ kg BB dengan jarak 12 jam dan selanjutnya 4 mg/kg BB dengan
interval 12 jam. Setiap dosis harus di infus dengan rata-rata maksimum 3
mg/kg
BB/jam selama periode 1-2 jam. Konsentrasi cairan infus tidak melebihi 5
mg/ml.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
16
Pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg dapat diberikan dosis oral
sebanyak 200 mg dengan interval 12 jam sedangkan berat badan yang kurang
dari 40
kg dapat diberikan dosis 100 mg dengan interval 12 jam. Obat harus
dikonsumsi 1
jam sebelum atau sesudah makan.
z Efek samping
Kebanyakan efek samping yang dapat di jumpai pada pasien yaitu demam,
adanya ruam pada kulit, mual, muntah, diare, sakit kepala dan sakit
abdominal.
Sekitar 13 % pasien di jumpai peninggian test fungsi hati selama
pengobatan.
z Interaksi obat
Absorbsi vorikonazol tidak menglami penurunan jika diberikan bersama
dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi
sekresi asam
lambung.
Vorikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistim enzim human hepatik
sindrom P-450-3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun
vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum sirolimus, terfenadin,
astemizol,
cisaprid, pimozid dan quinidin sehingga sebaiknya vorikonazol tidak di
konsumsi
bersama dengan obat diatas. Vorikonazol dapat menunjukkan penurunan
konsentrasi
serum siklosporin dan takrolimus sehingga level dan dosis obat harus di
monitor.
Vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum warfarin yang berfungsi
sebagai
antikoagulan sehingga waktu protrombin pada pasien yang mendapat ke dua
obat
tersebut harus di monitor. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme
lovastatin
sehingga dosis obat tersebut harus disesuaikan. Vorikonazol juga dapat
meningkatkan
konsentrasi tolbutamid dan glipizid yang menimbulkan efek hipoglikemik.
Vorikonazol dapat menghambat metabolisme anti-HIV protease inhibitor
seperti
saquinavir, amprenavir dan nelfenavir sedangkan ritonavir, amprenavir dan
saquinavir
dapat menghambat metabolisme golongan azol. Vorikonazol juga sebaiknya
tidak
diberikan bersama dengan carbamazepin, phenobarbital, rifabutin dan
rifampicin.

6. TERBINAFIN
2,3,6-8,25,30,31,34-36
Terbinafin merupakan anti jamur golongan alilamin yang dapat diberikan
secara oral. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983, di gunakan di Eropa
sejak tahun
1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
17
z Mekanisme Kerja
Terbinafin bekerja menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen
sterol yang utama pada membran plasma sel jamur), dengan cara menghambat
kerja
squalene epoxidase (merupakan suatu enzim yang berfungsi sebagai katalis
untuk
mengubah squalene menjadi squalene-2,3 epoxide). Dengan berkurangnya
ergosterol
yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga
pertumbuhan akan berhenti, disebut dengan efek fungistatik dan dengan
adanya
penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan
lemak
sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur disebut dengan efek
fungisidal.
z Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap
dermatofit yang bersifat fungisidal dan bersifat fungistatik untuk Candida
albicans
tetapi bersifat fungisidal untuk beberapa species candida seperti Candida
parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis species,
Blastomyces
dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenckii dan beberapa
dermatiaceous moulds.
z Farmakokinetik
Terbinafin di absorbsi dengan baik jika diberikan dengan cara oral yaitu >
70% dan akan tercapai konsentrasi puncak dari serum berkisar 0,8-1,5 mg/L
setelah
pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal. Pemberian bersama makanan
tidak
mempengaruhi absorbsi obat.
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas
pada pada
dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin
terbagi
dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam
plasma
yaitu 1,1 jam ; eliminasi waktu paruh yaitu 16 dan 100 jam setelah
pemberian 250 mg
dosis tunggal ; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg /hari
terminal
waktu paruh rata-rata yaitu 22 hari di dalam plasma. Di dalam dermis-
epidermis,
rambut dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata yaitu 24-28 hari.
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum
kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke
dermis-
epidermis tetapi terbinafin di dalam kelenjar keringat ekrine tidak
terdeteksi.
Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengan
konsentrasi
di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah obat di hentikan.
Terbinafin

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
18
dapat terdeteksi pada bagian distal dari nail plate dalam waktu 1 minggu
setelah
pengobatan dan level obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu pengobatan.
Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang lama
setelah
pengobatan dihentikan.
Terbinafin di metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan di
ekskresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.
z Dosis
Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet 250 mg tetapi tidak tersedia dalam
bentuk parenteral.
Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan
kuku.
Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari tetapi pada pasien
dengan
ganguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin clearence < 50 ml/menit atau
konsentrasi
serum kreatinin > 300 ?mol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis
diatas.
Pengobatan tinea pedis selama 2-6 minggu, tinea korporis dan kruris selama
2-4
minggu sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki
selama 6
bulan atau lebih.
z Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dyspepsia, sakit di
abdominal
sering dijumpai. Jarang dijumpai pasien yang menderita kerusakan hepar dan
meninggal akibat mengkonsumsi terbinafin untuk pengobatan infeksi kuku.
Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar yang
kronik
atau aktif.
z Interaksi obat
Terbinafin tidak mempunyai efek clearance terhadap obat lain yang
metabolismenya melalui hepatik sitokrom P-450. Namun konsentrasi darah akan
menurun jika terbinafin di berikan bersama rifampicin yang merupakan suatu
inducer
yang poten terhadap sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Level darah pada
terbinafin dapat meningkat jika pemberiannya bersama cimetidin yang
merupakan
sitokrom P-450 inhibitor.


Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
19
7. AMFOTERISIN B
2,6-9,25,30,37

Amfoterisin B merupakan antibiotik makrosiklik polyene yang berasal dari
Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan
sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960.
Amfoterisin B deoxycholate (formula konvensional) digunakan untuk
pengobatan infeksi deep mikosis, pemberian secara parenteral sering
menimbulkan
efek toksik terutama pada ginjal / nefrotoksik sehingga kemudian
dikembangkan 3
jenis formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lemak (lipid-
based
formulations) yaitu (1) Liposomal amfoterisin B (AmBisome), obat ini
diselubungi
dengan phospholipid yang mengandung liposome. (2) Amfoterisin B lipid
kompleks
(Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk
struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B kolloidal dispersion (Amphocil,
Amphotec,
ABCD), merupakan suatu kompleks dengan cholesterol sulphate yang membentuk
potongan lemak yang kecil.
z Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel jamur
menjadi rentan selanjutnya mengakibatkan fungsi barrier membran menjadi
rusak,
hilangnya unsur-unsur penting sel, menggangu metabolisme dan matinya sel
jamur.
Efek lain pada membran sel jamur yaitu amfoterisin B dapat menimbulkan
kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.
z Aktifitas spektrum
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap :
Aspergillus
species, Mucorales species, Blastomyces dermatitidis, Candida species,
Coccidioides
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Paracoccidioides
brasiliensis, Penicillium marneffei.
Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fusarium species, Malassezia furfur,
Scedosporium species dan Trichosporon asahii biasanya resisten.
z Farmakokinetik
Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral
(bioavaibilitasnya kurang dari 5%), sehingga untuk tetap mempertahankan
konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravenous.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
20
Formula konvensional
Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kgBB akan
menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang
dari
10% dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam
pemberian dan
lebih dari 90% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan pada
hepar
(40% dari dosis), paru-paru (6% dari dosis), ginjal (2% dari dosis)
sedangkan pada
cairan cerebrospinal (CSF) kurang dari 5% konsentrasi darah. Formula
konvensional
mempunyai waktu paruh fase ke dua ? 24-48 jam dan waktu paruh fase ke tiga
? 2
minggu.
Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations)
Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti amfoterisin B
lipid kompleks (ABLC), akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi
sebagian kecil liposome akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang
lama.
Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome)
yaitu 10-35 mg/L dengan dosis 3 mg/kgBB dan 25-60 mg/L untuk dengan dosis 5
mg/kgBB. Level 5-10 mg/L dapat di deteksi setelah pemberian 24 jam dengan
dosis 5
mg/kg BB. Pemberian liposomal amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat
yang
lebih tinggi di dalam hepar dan limpa dibandingkan dengan formula
konvensional
sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan
formula
konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B berakhir waktu ? 100-150
jam.
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks setelah pemberian
parenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga
distribusi obat pada jaringan lebih cepat, dimana level maksimum dicapai 1-
2 mg/L
setelah pemberian dosis 5 mg/ kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B
lipid
kompleks menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan
paru-
paru dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi pada
ginjal
lebih rendah dibandingkan dengan formulasi konvensional. Waktu paruh
amfoterisin
B lipid kompleks berakhir ? 170 jam.
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B kolloidal dispersion sekitar 2
mg/L dengan dosis 1 mg/kgBB, tetapi level obat di dalam darah akan segera
menurun
setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke
jaringan.
Pemberian Amfoterisin B kolloidal dispersion akan menghasilkan konsentrasi
yang
lebih tinggi pada hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
21
sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula
konvensional.
z Dosis
Formula konvensional
Kebanyakan pasien dengan infeksi deep mikosis diberikan dosis 1-2 gr
amfoterisin B selama 6-10 minggu (tergantung dari kondisi pasien). Orang
dewasa
dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB.
Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu di test dengan dosis 1 mg
amphotericin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam
(anak-
anak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian
di
observasi dan di monitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30
menit oleh
karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi seperti hipotensi yang
berat atau
reaksi anaphylaxis.
Dosis obat dapat ditingkatkan lebih dari 1 mg/kg BB tetapi tidak melebihi
50
mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan
level
obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada
interval 48
atau 72 jam.
Formula dengan dasar lemak (lipid-base formulations)
Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg
BB tetapi dosis ini dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg/kg BB atau lebih.
Formula
ini harus di infus dalam waktu 2 jam, jika dapat diterima maka waktu
pemberian
dapat di persingkat menjadi 1 jam. Obat ini telah diberikan pada individu
selama 3
bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang
signifikan. Dosis
yang dianjurkan adalah 3 mg/kg BB/hari.
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks
yaitu 5 mg/kg BB dan di infuskan dengan rata-rata 2,5 mg/kg BB/jam. Obat
ini telah
diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa
efek
samping toksik yang signifikan.
Dosis awal amfoterisin B kolloidal dispersion yaitu 1,0 mg/kg BB dan jika
dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kg BB. Formula ini
di
infuskan dengan rata-rata 1 mg/kg BB/jam. Obat ini telah diberikan pada
individu
dengan dosis kumulatif 3 gr tanpa efek samping toksik yang signifikan.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
22
z Efek samping
Formula konvensional
Pemberian formula konvensional dengan cara intravenous dapat segera
menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku,
biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga
dijumpai tetapi jarang sedangkan dan lokal phlebitis sering juga dijumpai.
Efek
samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus ginjal.
Kebanyakan
pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan fungsi
ginjal
terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5 mg/kg BB/hari.
Formula
konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potassium dan magnesium.
Pasien
yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul normokromik dan
normositik anemia yang sedang.
Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations)
Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian
amphotericin B lipid kompleks dan amfoterisin B kolloidal dispersion lebih
sedikit
dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai
yaitu
demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan sekitar 25% penderita yang
menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak menetap. Formula dengan
dasar
lemak kurang menimbulkan efek samping pada ginjal dibandingkan formula
konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin)
menunjukkan :
kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%,
amfoterisin B
kolloidal dispersion sebanyak 15 %, liposomal amfoterisin B sebanyak 20%
sedangkan formula konvensional sebanyak 30-50%. Efek samping yang lain dari
formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan liver trasaminase, alkalin
phosphatase
dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal
amfoterisin B di jumpai test fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50%
tetapi
biasanya tidak menetap.
z Interaksi obat
Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik
aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi
obat diatas
harus hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid atau
digitalis
glikosid dapat menimbulkan hipokalemi.


Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
23
8. CASPOFUNGIN
6
Caspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B
0,
yang
merupakan hasil fermentasi lipopeptid jamur Glarea lozoyensis.
z Mekanisme Kerja
Caspofungin menghambat sintesis ?-(1,3)-D-glucan yang merupakan
komponen dinding sel jamur.
z Aktifitas spektrum
Caspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Caspofungin
efektif
terhadap Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus
tetapi tidak
efektif terhadap dermatofit. Caspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-
ubah
terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan dematiaceous
molds.
Caspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida species dengan
efek
fungisidal yang tinggi, tetapi terhadap Candida parapsilosis dan Candida
krusei
kurang efektif dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans.
z Farmakokinetik
Pemberian caspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg
akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 10 mg/L. Kurang dari 10% dosis
obat, akan
menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan
berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan di distribusikan ke
dalam jaringan
(? 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi di jumpai pada hepar.
Sekitar
1% dari dosis akan di ekskresi tanpa ada perubahan melalui urin.
Caspofungin di
metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui
empedu
(35%) dan urin (40%). Waktu paruh di awali sekitar 9-11 jam dan berakhir
pada 40-
50 jam.
z Dosis
Pada pasien aspergillosis dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama
dan
50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus di infuskan dalam
periode 1
jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, di rekomendasikan dosis
caspofungin
diturunkan menjadi 35 mg dan selanjutnya 70 mg loading dose.
z Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam pada kulit,
mual dan muntah.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
24
z Interaksi obat
Pemberian caspofungin bersama cyclosporin dapat meningkatkan trasaminase
2-3 kali lipat dari batas normal dan akan menurun apabila ke dua obat
tersebut
dihentikan.

9. FLUSITOSIN
6,7,9,30,38

Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintetis dari fluorinated pirimidin
yang
dapat diberikan secara oral maupun parenteral.
z Mekanisme kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease,
kemudian dirubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourouracil yang
bergabung ke
dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu.
Flusitosin
dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang menyebabkan inhibisi
sintesis
DNA.
z Aktifitas spektrum
Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap
Candida spesies, Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii,
Fonsecaea
spesies dan Phialophora verrucosa.
z Farmakokinetik
Pemberian flusitosin secara oral absorbsinya cepat dan hampir sempurna.
Pada
orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin dosis
25 mg/kg
BB dengan interval 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak plasma 30-40 mg/L
dan
untuk pengulangan dosis berikutnya setiap 6 jam, akan dicapai konsentrasi
puncak
plasma 70-80 mg/L.
Flusitosin terdistribusi secara luas terutama pada jaringan dan cairan
melebihi 50% konsentrasi darah. Flusitosin berikatan dengan protein rendah
(sekitar
12%) sehingga menyebabkan tingginya sirkulasi obat yang tidak berikatan.
Lebih dari
90% flusitosin di ekskresi melalui urin tanpa mengalami perubahan.
z Dosis
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin
diawali dengan dosis 50-150 mg/kg BB yang diberi dalam 4 dosis terbagi
dengan
interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin di
awali
dengan dosis 25 mg/kg BB.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
25
z Efek samping
Efek samping yang sering di jumpai yaitu mual, muntah dan diare.
Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi darah
meninggi,
menetap (>100 mg/L) dan dapat kembali normal jika obat di hentikan.
Peninggian
level transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat
kembali
normal setelah obat dihentikan.
z Interaksi obat
Efek anti jamur flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin
(sitosin arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin
merupakan
kontra indikasi, oleh karena efek myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin
dapat
bertambah jika diberikan bersama dengan immunosupresif atau sitostatik.
Pemberian
zidovudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh karena dapat menimbulkan
efek
myelosupresif. Kombinasi amphoterisin B dan flusitosin mempunyai efek
aditif atau
sinergis terhadap Candida spesies dan Cryptococcus neoformans namun efek
nefrotoksik amphotericin B dapat berkurang ketika flusitosin di ekskresi.



KESIMPULAN
Pengobatan infeksi jamur baik yang superfisial maupun yang sistemik telah
mengalami perkembangan yang pesat. Obat anti jamur tersebut dapat diberikan
dengan cara topikal, sistemik maupun intravenous, yang terdiri dari
golongan
antibiotik, antimetabolit, azol, alilamin / benzilamin dan golongan topikal
yang lain.
Pengetahuan tentang farmakologi obat-obat anti jamur sangat diperlukan
sehingga
dapat dicapai efektifitas pengobatan yang maksimal.








Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Nolting S, Fegeler K. Medical Mycology. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg,
1986 : 131-62.
2. Kuswadji, Widaty S.Obat anti jamur. Dalam : Budimulja U, Kuswadji,
Bramono
K editor. Dermatomikosis superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis
Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001 : 99-106.
3. Smith EB. The treatment of dermatophytosis : Safety considerations.
Journal of
the American Academy of Dermatology, November 2000, part 3, volume 43,
number 5.
4. Brennan B, Leyden JJ. Overview of topical therapy for common superficial
fungal infections and the role of new topical agents. Journal of the
American
Academy of Dermatology, February 1997, part 1, volume 36, number 2.
5. Weintein A, Berman B. Topical Treatment of Common Superficial Tinea
Infection, May 15, 2002, volume 65, number 10.
6. Richardson MD, Warnock DW. Anti fungal drugs. In : Fungal Infection
Diagnosis and Management, second edition, Blackwell Publishing Ltd , 1993 :
17-43.
7.
Tripathi KD. Antifungal Drugs. In: Essentials of Medical Pharmacology, 4
th
edition, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 1999 : 770-78.

8. Kwon-Chung KJ, Bennet JE. Priciples of Antifungal Therapy. In : Medical
Mycology, Philadelphia London, 1992 : 81-100.
9. Jawetz E. Antifungal Agents. In : Katzung BG. Basic & Clinical
Pharmacology,
sixth edition, Appleton & Lange, 1995 : 723-29.
10. Hainer BI. Dermatophyte Infections. Practical Therapeutics, January 1,
2003,
volume 67, number 1. www.aafp.org.
11. Ketoconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
12. Sulconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
13. Oxiconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
14. Terconazole. Ortho-McNeil Pharmaceutical INC, New Jersey, March 2001.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
27
15. Tioconazole (Topical). Medline Plus Drug Information. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medline plus/druginfo.
16. Sertaconazole. April 2004. Available at http:// www.vapbm.org.
17. Naftin-Naftifin HCL 1% cream. Merz Pharmaceutical, 2004.
18. Lamisil cream, Terbinafin hydrochloride. Available at
http:// www.Inhousepharmacy.com
19. Adiguna MS. Pengobatan Dermatofitosis dengan Butenafin. MDVI Vol 28
No1,
Januari 2001.
20. Nahm WK, Orengo I, Rosen T. The Antifungal agent Butenafine manifest
anti-
inflamatory activity in vivo. Journal of the American Academy of
Dermatology,
August 1999, part 1, volume 41, number 2.
21. Lewis RE. Amorolfine. Available at
http://www.doctorfungus.org/thedrugs/Amorolfine.htm.
22. Bohn M, Kraemer KT. Dermatopharmacology of ciclopirox nail laquer
topical
solution 8% in the treatment of onychomycosis. Journal of the American
Academy of Dermatology, October 2000, volume 43, number 4.
23. Adiguna MS. Onikomikosis dan pengobatannya dengan cat kuku siklopiroks.
Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 49, Nomor 7, Juli 1999.
25. Shrum JP, Milikan LE. Oral Antifungal Therapy. In : Shalita AR, Norris
DA.
Drug Therapy in Dermatology, 2000 : 79-97.
26. Griseofulvin (Systemic). In : Medline Plus drug Information. Available
at
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/uspdi/202268.html.
27. Develoux M. Griseofulvin. E
2
MED. Volume 128, No 12, December 2001.
28. Como J, Dismuskes WE. Azole antifungal drugs. In : Dismukes W, Pappas
PG,
Sobel JD. Clinical Mycology. Oxford University Press, 2003 : 64-80.
29. Guzzo CA, Lazarus GS, Werth VP. Dermatological Pharmacology. In :
Goldman
& Gilman?s The Pharmacological Basis of Therapeutics, Ninth edition, Mc-
Graw-Hill, 1606-07.
30. Al-Mohsen I, Hughes WT. Systemic antifungal therapy : past, present and
future.
Available at http://www.kfshrc.edu.sa/annals/181/97-129.html.
31. Leyden JJ. Pharmacokinetics and pharmacology of terbinafine and
itraconazole.
Journal of the American Academy of Dermatology, May 1998, volume 38,
number 5.

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
28

Ramona Dumasari Lubis : Pengobatan Dermatomikosis, 2008
USU e-Repository ? 2009
29
32. Elewski BE. Once-weekly fluconazole in the treatment of onychomycosis :
Introduction. Journal of the American Academy of Dermatology, June 1998,
part
2, volume 38, number 6.
33. Fluconazole. In : AIDS info, December 1, 2003. Available at
http://aidsinfo.nih.gov.
34. Bouyssou-Gauthier ML, Bonnethlanc JM. Pharmacology Terbinfine. E
2
MED.
Volume 126, No 1, June 1999.
35. Lewis RE. Terbinafine. Available at
http://www.doctorfungus.org/thedrugs/Terbinafine.htm.
36. Gupta AK, Shear NH. Terbinafine : An update. Journal of the American
Academy of Dermatology, December 1997, volume 37, number 6.
37. Chapman SW, Cleary JD, Rogers PD. Amphotericin B. In : Dismukes W,
Pappas
PG, Sobel JD. Clinical Mycology. Oxford University Press, 2003 : 33-45.
38. Larsen RA. Flucytosine. In : Dismukes W, Pappas PG, Sobel JD. Clinical
Mycology. Oxford University Press, 2003 : 59-61.

Anda mungkin juga menyukai