KEGIATAN PRAKTIKUM 3
LUAS MINIMAL KUADRAT
Tanggal Praktikum: 12 Oktober 2014
Lokasi: Kebun kawasan patemon
Pukul: 16.30 wib
A. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menentukan keanekaragaman jenis suatu
komunitas dengan berdasarkan pada Indeks Simpson dan Indeks
Shannon-Wiener.
2. Melatih keterampilan mahasiswa dalam menerapkan teknik-teknik
sampling organisme dan rumus-rumus sederhana dalam menghitung
keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas.
B. Dasar teori
Tanaman dan hewan dari berbagai jenis yang hidup secara alami
di suatu tempat membentuk kumpulan yang di dalamnya setiap individu
menemukan lingkungannya yang memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
kumpulan ini terdapat pula kerukunan untuk hidup bersama, toleransi
kebersamaan dan hubungan timbal balik yang menguntungkan sehingga
dalam kumpulan ini terbentuk suatu derajat keterpaduan. Kumpulan atau
susunan dari berbagai populasi yang tekad menyesuaikan diri dan
menghuni suatu wilayah tertentu di alam disebut komunitas. Komunitas
mempunyai struktur dan fungsi di alam bahkan dengan derajat organisme
yang lebih tinggi, karena mempunyai ciri, sifat, dan kemampuan yang
lebih tinggi daripada populasi. Dalam populasi interaksi hanya bisa
dicapai antar individu, sedangkan dalam komunitas bisa antar populasi
(Odum, 1993).
Suatu organisme tidak dapat hidup menyendiri, tetapi harus
hidup bersama-sama dengan organisasi sejenis atau dengan yang tidak
sejenis. Berbagai organisme yang hidup di suatu tempat, baik yang besar
maupun yang kecil, tergabung dalam suatu persekutuan yang disebut
2
komunitas biotik. Suatu komunitas biotik terikat sebagai suatu unit oleh
saling ketergantungan anggota-anggotanya. Suatu komunitas adalah
suatu unit fungsional dan mempunyai struktur yang pasti. Tetapi struktur
ini sangat variabel, karena jenis-jenis komponennya dapat dipertukarkan
menurut waktu dan ruang. Komunitas biotik terdiri atas kelompok kecil,
yang anggota-anggotanya lebih akrab lagi satu sama lain, sehingga
kelompok kecil itu merupakan unit yang kohesif (Wolf, 1992).
Setiap makhluk hidup memiliki ciri dan tempat hidup yang
berbeda. Melalui pengamatan, kita dapat membedakan jenis-jenis
makhluk hidup. Pembedaan makhluk hidup tanpa dibuat berdasarkan
bentuk, ukuran, warna, tempat hidup, tingkah laku, cara berkembang
biak, dan jenis makanan. Perbedaan atau keanekaragaman hayati dapat
disebabkan oleh faktor abiotik maupun oleh faktor biotik. Perbedaan
keadaan udara, cuaca, tanah, kandungan air, dan intensitas cahaya
matahari menyebabkan adanya perbedaan hewan dan tumbuhan yang
hidup. Pada umumnya pola distribusi penyebaran tumbuhan dan hewan
dikendalikan oleh faktor abiotik seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Perubahan pada faktor abiotik dapat menyebabkan
organisme berkembang dan melakukan spesialisasi (Resosoedarmo,
1990).
Keanekaragaman jenis merupakan karakteristik tingkatan dalam
komunitas berdasarkan organisasi biologisnya, yang dapat digunakan
untuk menyatakan struktur komunitasnya. Suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman yang tinggi jika komunitas tersebut disusun
oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies sama dan hampir sama.
Sebaliknya jka suatu komunitas disusun oleh sedikit spesies dan jika
hanya sedikit spesies yang dominan maka keanekaragaman jenisnya
rendah (Umar, 2013).
Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu
komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi. Komunitas yang tua dan
stabil akan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Sedangkan
suatu komunitas yang sedang berkembang pada tingkat suksesi
3
mempunyai jumlah jenis rendah daripada komunitas yang sudah
mencapai klimaks. Komunitas yang memiliki keanekaragaman yang
tinggi lebih tidak mudah terganggu oleh pengaruh lingkungan. Jadi
dalam suatu komunitas dimana keanekaragamannya tinggi akan terjadi
interaksi spesies yang melibatkan transfer energi, predasi, kompetisi dan
niche yang lebih kompleks (Umar, 2013).
Keanekaragaman hayati tumbuh dan berkembang dari
keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetis, dan keanekaragaman
ekosistem. Ketiga keanekaragaman ini saling kait-mengkait dan tidak
terpisahkan, maka dipandang sebagai satu keseluruhan (totalitas) yaitu
keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati menunjukkan adanya
berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang
terlihat pada berbagai tingkat gen, tingkat jenis dan tingkat ekosistem
(Wolf, 1992).
Konsep komunitas cukup jelas, tetapi seringkali dalam
penentuan batas dan pengenalan batas komunitas tidak mudah. Meskipun
demikian, komponen komunitas ini mempunyai kemampuan untuk hidup
dalam lingkungan yang sama di suatu tempat dan untuk hidup saling
bergantung yang satu terhadap yang lain. Komunitas mempunyai derajat
keterpaduan yang lebih tinggi dari pada individu-individu dan populasi
tumbuhan dan hewan yang menyusunnya. Komposisi suatu komunitas
ditentukan oleh seleksi tumbuhan dan hewan yang kebetulan mencapai
dan mampu hidup di tempat tersebut, dan kegiatan komunitas-komunitas
ini bergantung pada penyesuaian diri setiap individu terhadap faktor-
faktor fisik dan biologi yang ada di tempat tersebut (Odum, 1993).
Keanekaragaman kecil terdapat pada komunitas yang
terdapat pada daerah dengan lingkungan yang ekstrim, misalnya daerah
kering, tanah miskin dan pegunungan tinggi. Sementara itu,
keanekaragaman yang tinggi terdapat di daerah dengan lingkungan
optimum. Hutan tropika adalah contoh komunitas yang mempunyai
keanekaragaman yang tinggi. Ahli ekologi berpendapat bahwa komunitas
yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi, seperti dicontohkan
4
dengan hutan itu mempunyai keanekaragaman yang tinggi itu stabil. Ada
ahli yang berpendapat sebaliknya, bahwa keanekaragaman tidak selalu
berarti stabilitas. Kedua pendapat ini ditopang oleh argumen-argumen
ekologi yang masuk akal, masing-masing ada benarnya dan ada
kelemahannya (Rososoedarmo, 1990).
Habitat alami seperti hutan, kerusakan karena faktor serangga
herbivora sangat jarang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan karena di
dalam habitat hutan jumlah serangga karnivora lebih banyak dan
keragaman jenis serangga juga jauh lebih tinggi dan kompleks
dibandingkan agroekosistem. Pada lahan pertanian, adanya praktek
pertanian memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keanekaragaman
serangga (Odum, 1993).
Dalam suatu komunitas yang terbentuk atas banyak spesies,
beberapa diantaranya akan dipengaruhi oleh kehadiran atau
ketidakhadiran anggota lain dari komunitas itu. Suatu interaksi dapat
terdiri atas beberapa bentuk yang berasal dari hubungan positif (berguna)
sampai interaksi negative (berbahaya). Bilamana sejumlah organisme
bergantung pada sumber yang sama, persaingan akan terjadi. Persaingan
demikian dapat terjadi antara anggota-anggota spesies yang berbeda
(persaingan interspesifik) atau antara anggota spesies yang sama
(intraspesifik). Perbandingan dapat terjadi dalam makanan atau ruang.
Dalam hubungan persaingan antara dua spesies, ini dapat merupakan
bentuk eksploitasi makanan yang tersedia dalam waktu singkat, atau
merupakan gangguan bilamana organisme-organisme itu saling melukai
dalam usahanya untuk mendapatkan makanan (Wolf, 1992).
Keanekaragaman hayati tumbuh dan berkembang dari
keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetis, dan keanekaragaman
ekosistem. Karena ketiga keanekaragaman ini saling kait-mengkait dan
tidak terpisahkan, maka dipandang sebagai satu keseluruhan (totalitas)
yaitu keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati menunjukkan
adanya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat
5
yang terlihat pada berbagai tingkat gen, tingkat jenis dan tingkat
ekosistem (Wolf, 1992).
Ada 6 faktor yang saling berkait menentukan derajat naik
turunnya keanekaragaman jenis (Krebs, 1978) yaitu :
1. Waktu.
Keragaman komunitas bertambah sejalan dengan waktu,
berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak
terdapat organisme dari pada komunitas muda yang belum berkembang.
Dalam ekologi, waktu dapat berjalan lebih pendek atau hanya sampai
puluhan generasi. Skala ekologis mencakup keadaan dimana jenis
tertentu dapat bertahan dalam lingkungan tetapi belum cukup waktu
untuk menyebar sampai ketempat tersebut. Keragaman jenis suatu
komunitas bergantung pada kecepatan penambahan jenis melalui evolusi
tetapi bergantung pula pada kecepatan hilang jenis melalui kepenuhan
dan emigrasi.
2. Heterogenitas ruang.
Semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks
komunitas flora dan fauna di tempat tersebut dan semakin tinggi
keragaman jenisnya. Faktor heterogenitas berlaku pada skala makro
maupun mikro.
3. Kompetisi.
Terjadi apabila sejumlah organisme (dari spesies yang sama atau
yang berbeda) menggunakan sumber yang sama ketersediaannya kurang,
atau walaupun ketersediaan sumber tersebut cukup namun persaingan
tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber
tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.
4. Pemangsaan.
Pemangsaan yang mempertahankan komunitas populasi dari
jenis bersaing yang berbeda dibawah daya dukung masing-masing selalu
memperbesar kemungkinan hidup berdampingan sehingga mempertinggi
keragaman, apabila intensitas dari pemengsaan terlalu tinggi atau terlalu
rendah dapat menurunkan keragaman jenis.
6
5. Kestabilan iklim.
Makin stabil keadaan suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam
suatu lingkungan, maka semakin kompleks komunitas flora dan fauna di
tempat tersebut dan semakin tinggi keragaman jenisnya.
6. Produktifitas
Merupakan syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi.
Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan
keanekaragaman jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman
spesies sangatlah penting dalam menetukan batas kerusakan yang
dilakukan terhadap sistem alam akibat turut campur tangan manusia
(Michael, 1995).
Keanekaragaman atau kekayaan jenis dapat diukur dengan
berbagai cara, misalnya dengan indeks keanekaragaman. Suatu tempat
dikatakan memiliki keanekaragaman jenis tinggi bila memiliki kekayaan
jenis yang merata, misalnya suatu komunitas dengan 5 jenis burung yang
berjumlah 300 individu, dengan jumlah rata-rata 60 ekor per jenis.
Sedang pada komunitas lain terdapat 5 jenis burung dengan jumlah
individu yang sama (300 ekor), tetapi rata-rata untuk keempat burung
yang pertama hanya 15 ekor, sedang jenis burung sisanya 240 ekor. Dari
contoh tersebut komunitas yang memiliki rata-rata 60 ekor per jenis
burungnya dianggap lebih beranekaragam dibanding dengan komunitas
yang memiliki jumlah jenis yang tidak merata (Campbell, 2008).
C. Alat bahan
Alat :
1. Point Frame Frequency
2. Alat tulis
Bahan : tumbuhan herba yang terdapat di dalam plot.
7
D. Cara kerja
a. Metode Pengambilan Data
Melakukan survey area
untuk menentukan
lokasi pengambilan
sample
Pengambilan data
dilakukan dengan teknik
sampling menggunakan
plot (kuadrat) serta
menggunakan metode
purposive sampling
Menentukan dua area
yang berbeda tegas
kondisi ekologisnya,
salah satu berada di
daerah terdedah dan
salah satu ternaung dari
cahaya matahari.
Meletakkan plot
berukuran 1x1 m
sebanyak 25 plot pada
masing masing area
yang sudah ditentukan.
Melakukan identifikasi
spesies pada setiap plot.
Mendokumentasikan
setiap spesies yang
ditemukan serta
mengambil sample
tanaman spesies yang
belum diketahui.
Mencatat seluruh spesies yang hadir
dan persen penutupannya (percent
coverage) dengan menggunakan
metode crown cover (pengukuran
dengan area penutupan tajuk) pada
setiap plot kedalam datasheet yang
sudah disediakan.
Mengubah persentase
penutupan tajuk (crown cover)
kedalam skala Brown Blanquet
Menganalisis data yang
diperoleh selama kegiatan
untuk menghitung indeks
diversitas.
8
b. Metode Analisis Data
E. Data pengamatan
Terlampir
F. Analisis Data
Ho : Tidak ada perbedaan nilai indeks diversitas antara tempat
ternaung dan tempat terdedah.
Ha : Ada perbedaan nilai indeks diversitas antara tempat ternaung dan
tempat terdedah.
One-Sample Statistics
N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
TERNA
UNG
31 6.48 1.525 .274
TERDE
DAH
31 6.71 1.189 .213
One-Sample Test
Test Value = 0
t Df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Differen
ce
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper Lower Upper Lower Upper
TERNA
UNG
23.67
7
30 .000 6.484 5.92 7.04
TERDE
DAH
31.42
9
30 .000 6.710 6.27 7.15
23,677
Melakukan uji t (t-test), untuk
menunjukan ada tidaknya perbedaan
indeks diversitas yang diamati.
Melakukan analisis data dan melakukan uji t (t-test)
untuk masing masing area yang sudah ditentukan.
9
t
hitung
terdedah = 31,429
t
tabel
= 2.1604
t hitung > t tabel = 23,677 > 2,1604
t hitung > t tabel = 31,429 > 2,1604
Sehingga Ha diterima dan Ho ditolak
Kesimpulan: Ada perbedaan nilai indeks diversitas antara tempat ternaung
dan tempat terdedah
G. Pembahasan
Indeks diversitas adalah ukuran bagi keanekaragaman spesies dalam
suatu komunitas tertentu. Indeks ini dapat digunakan untuk menunjukkan
kemantapan komunitas ekosistem, tingkat suksesi, dan tingkat polusi.
Karena polusi dapat menurunkan indeks keanekaragaman, keanekaragaman
biologi dapat digunakan untuk menyatakan kualitas lingkungan. Indeks
diversitas menggambarkan kekayaan spesies dan kesamaannya dalam suatu
nilai tunggal. Teknik yang digunakan pada praktikum kali ini adalah teknik
sampling menggunakan plot (kuadrat). Teknik sampling ini merupakan
teknik survey vegetasi yang paling sering digunakan dalam semua tipe
komunitas tumbuhan. Teknik plot adalah melakukan pengamatan dengan
membentuk kuadrat dimana panjang dan lebarnya sama. Metode yang
digunakan pada praktikum kali ini adalah metode purposive sampling.
Metode ini merupakan metode yang mengambil sampel secara sengaja
sesuai degan persyaratan sampel yang diperlukan. Maksud dari metode ini,
praktikan menentukan sendiri sampel yang diambil karena ada
pertimbangan tertentu. Jadi, sampel diambil tidak secara acak. Metode ini
memiliki kelebihan, yaitu:
1. Sampel dapat dipilih sedemikian rupa sehingga relevan dengan desain
penelitian
2. Cara ini relatif mudah dan murah untuk dilaksanakan
3. Sampel yang dipilih adalah individu yang sesuai dengan pertimbangan
penelitian
10
Untuk mengukur indeks diversitas diperlukan beberapa informasi,
seperti:
a. Banyaknya spesies
b. Banyaknya individu dalam tiap spesies
c. Tempat-tempat yang diduduki oleh individu dari tiap spesies
d. Tempat-tempat yang diduduki oleh individu secara terpisah.
Dari pengamatan yang dilakukan di Lapangan Patemon, diperoleh
hasil mengenai indeks diversitas pada daerah ternaung dan terdedah yang
kemudian diuji dengan menggunakan uji t. Pada daerah ternaung, dilakukan
pengeplotan 31 kali, memiliki rata-rata 6.48, dan standar deviasi 1.525.
Sedangkan pada daerah terdedah, pengeplotan dilakukan sebanyak 31 kali,
memiliki rata-rata 6.71, serta standar deviasinya 1.189. Dapat dilihat bahwa
setelah dilakukan analisis data diperoleh indeks diversitas pada daerah
terdedah lebih besar daripada indeks diversitas pada daerah ternaung. Dari
hasil tersebut, dapat diketahui bahwa pada tempat terdedah spesies yang
dijumpai lebih banyak dibandingkan dengan tempat ternaung karena sinar
matahari banyak didapatkan pada tempat terdedah sehingga didapatkan
tanaman yang beragam.
Perbedaan tersebut dapat diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan
faktor lingkungan, diantaranya:
a. Intensitas cahaya
Dari pengamatan yang dilakukan terlihat bahwa intensitas cahaya
pada area ternaung dan terdedah memiliki perbedaan yang jelas. Intensitas
cahaya pada area terdedah lebih tinggi daripada area ternaung. Cahaya,
terutama cahaya matahari sangat dibutuhkan tanaman untuk melakukan
fotosintesis. Bila tanaman kekurangan cahaya matahari, maka tanaman
tersebut akan tampak pucat dan berwarna kekuning-kuningan atau yang
disebut etiolasi. Spesies yang ditemukan pada tempat terdedah lebih banyak
dibandingkan dengan tempat ternaung. Hal ini dapat dikarenakan intensitas
cahaya yang diterima tanaman terdedah lebih banyak sehingga lebih banyak
11
spesies yang dapat hidup dan tumbuh. Karena jumlah cahaya yang tercukupi
maka pembentukan makanan dan reproduksi dari tiap tanaman menjadi
lancar. Hal tersebut berlain pada area ternaung. Pada area ini jumlah sinar
matahari terbatas sehingga lebih banyak lahan kosong daripada tumbuhan
yang ada. Tanaman pada area ini saling berkompetisi untuk mendapatkan
cahaya matahari sehingga cahaya yang didapat oleh tumbuhan hanya
digunakan untuk pembentukan pucuk baru bukan untuk berkembangbiak,
sehingga tanaman tersebut tidak dapat membentuk individu baru secara
cepat.
b. Suhu atau temperatur lingkungan
Parameter suhu juga merupakan salah satu faktor yang menentukan
tumbuh kembang reproduksi dan juga kelangsungan hidup dari tanaman.
Suhu optimum pertumbuhan tanaman adalah antara 22
0
C sampai dengan 37
0
C. Temperatur yang lebih atau kurang dari batas normal tersebut dapat
mengakibatkan pertumbuhan yang lambat atau berhenti. Tinggi rendahnya
suhu disekitar tanaman ditentukan oleh radiasi matahari, kerapatan tanaman,
distribusi cahaya dalam tajuk tanaman, serta kandungan lengas tanah.
Selain dari faktor intensitas cahaya dan temperature lingkungan,
keragaman spesies pada suatu area juga dipengaruhi oleh kelembaban, pH,
dan ketinggian suatu tempat. Pada daerah ternaung kondisi tanah lebih
lembab dan pH lebih asam sehingga pada area tersebut lebih banyak
dijumpai tanaman yang menyukai tempat lembab. Selain itu dari faktor
tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman
lebih cepat tumbuh di tempat ternaung, sudut percabangan lebih besar
ditempat ternaung, daun lebih lebar apabila di tempat ternaung, begitu juga
dengan jumlah daun hal-hal tersebut terjadi karena tanaman berkompetisi
untuk mendapatkan sinar matahari. Akan tetapi karena cahaya yang diterima
lebih banyak pada daerah terdedah maka tanaman yang berada pada tempat
terdedah lebih terlihat hijau karena banyaknya kandungan klorofil yang
diterima, ketebalan daun juga lebih tinggi di tempat terdedah.
12
H. Simpulan
Berdasarkan tujuan praktikum indeks diversitas dapat diambil
kesimpulan :
1. Nilai indeks diversitas area terdedah lebih tinggi dibandingkan pada area
ternaung. Indeks diversitas pada area ternaung adalah 25.257 dan pada
area terdedah adalah 34.6.
2. Perbedaan jenis spesies berkaitan dengan perubahan faktor lingkungan
misalnya intensitas cahaya, suhu, kelembaban, pH dan ketinggian tanah.
I. Daftar pustaka
Campbell, N. A., J. B. Reece, and L. A. Urry., 2008. Biologi Edisi
kedelapan jilid 3. Erlangga, Jakarta.
Krebs, C. J., 1985. Ecology The Experimental Analisys of Distribution and
Abudance. Third Edition. New York: Harper & Raws Publishers.
Michael, P. E., 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan
Laboratorium. Universitas Indonesia, Jakarta.
Odum, Eugene. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University press.
Resosoedarmo, Soedjiran., 1990. Pengantar Ekologi. Jakarta: PT Remaja
Rosdakarya,
Umar, M. R., 2012. Penuntun Praktikum Ekologi Umum. Makassar:
Laboratorium Ilmu Lingkungan Kelautan Universitas Hasanuddin,
Wolf, L., 1992. Ekologi Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.