Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-1- GLOBALISASI DAN ISU-ISU STRATEGIS DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 1
Subejo 2
A. PENDAHULUAN Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai masyarakat yang berkehidupan modern, di berbagai negara-negara berkembang termasuk di di Indonesia tumbuh adanya suatu keyakinan bahwa semua itu akan dapat dicapai melalui industrilasasi. Strategi pembangunan melalui industrialisasi menjadi paradigma pembangunan yang amat populer dengan saran dapat menyejajarkan negara berkembang dengan negara-negara yang maju dan modern di negara-negara barat. Akibat dominanya paradigma pembangunan dengan prioritas utama industrialisasi menyebabkan sektor pertanian menjadi sektor yang hanya mendapat prioritas kedua bahkan relatif menjadi sektor yang terlantar. Bahkan menurut Soetrisno (1999:1-2) muncul suatu anggapan bahwa indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah mengecilnya sumbangan sektor pertanian pada total pendapatan negara. Sebaliknya, apabila kontribusi dan ketergantungan suatu negara pada sektor pertanian masih tinggi dianggap sebagai negara yang terbelakang. Apabila dicermati dari data statistik, memang kontribusi sektor pertanian di Indonesia semakin mengecil. Hal ini ditandai dengan semakin menurunnya kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) dan juga kemampuan penyerapan terhadap tenaga kerja di sektor pertanian dari waktu ke waktu relatif mengalami penurunan. Secara lebih rinci hal tersebut dilaporkan oleh Yudohusodo (1999) seperti terlihat pada Tabel 1. Namun menjelang abad-21, paradigma pembangunan seperti tersebut sebelumnya tiba- tiba mengalami suatu perubahan. Perekonomian negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia yang sempat dijuluki sebagai newly industrial country/negara industri baru
1 Paper untuk Studium General Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM, Tema : Belajar dan Bergerak dari Pinggiran, Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta 25 J anuari 2005
2 Staf pengajar PS. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM, Menyelesaikan S-1 (1990) di Fak. Pertanian UGM, S-2 (2004) dari Dept. of Agriculture and Resource Economics, The University of Tokyo, e- mail address: Subejo@Lycos.com atau Subejo@hotmail.com
Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-2- dilanda krisis moneter yang sangat dahsyat. Industri-industri yang telah dibangun dengan investasi sangat besar runtuh karena imbas krisis ekonomi. Tabel 1. Kontribusi Sektor terhadap PDB dan Tenaga Kerja (%) Kontribusi Sektor (%) Pertanian Industri Jasa
Tahun PDB TK PDB TK PDB TK 1961 51,8 79,9 15,2 7,9 33,0 20,2 1980 26,8 55,9 37,3 13,2 35,9 30,9 1995 17,2 44,0 32,6 13,4 50,2 42,6 Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia oleh Yudohusodo (1999) Dalam situasi krisis ekonomi, banyak industri di Indonesia mengalami kebangkrutan serta banyak terjadi kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akhirnya mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran di berbagai sektor industri. Namun gejala tersebut tidak banyak terjadi pada sektor pertanian, khususnya sub-sektor perkebunan baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. Dalam kondisi krisis ekonomi banyak buruh pabrik dan industri banyak yang pulang ke desa asalnya karena kehilangan pekerjaan akibat PHK namun justru terjadi fenomena yang berlawanan dimana petani perkebunan memperoleh manfaat positif atas kenaikan harga komoditi perkebunannya. Sebagai contoh hal tersebut dialami oleh antara lain petani kakao di Sulawesi Selatan; petani cengeh di Sulawesi Utara dan Maluku; petani kelapa sawit dan karet di Sumatera dan Kalimantan; petani kopi di Lampung dan J awa Timur; serta komoditi perkebunan lainnya wilayah yang lain. Mereka menikmati panen raya dengan harga jual komoditas perkebunannya sangat tinggi sehingga taraf kehidupannya meningkat pesat. Ketahanan sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir para perencana pembangunan di negara-negara sedang berkembang. Pembangunan pertanian menjadi harapan baru bagi pembangunan di negara-negara sedang berkembang. Namun walaupun sektor pertanian terbukti cukup ampuh dalam menghadapi krisis ekonomi, untuk menjadikan sektor pertanian sebagai leading sector dalam proses pembangunan bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan langkah-langkah besar dan kebijakan yang berpihak pada pengembangan sektor agro-industri untuk mewujudkan hal tersebut.
Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-3- B. REVOLUSI HIJAU SEBAGAI STRATEGI MODERNISASI SEKTOR PERTANIAN Pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas sebagai program revolusi hijau, yang di tingkat masyarakat petani dikenal dengan dengan nama program Bimbingan Massal (BIMAS). Tujuan utama program revolusi hijau adalah untuk menaikkan produktivitas sektor pertanian, khususnya sub-sektor pertanian pangan melalui penerapan paket modern. Menurut Soemarjan (1993), inti dari program BIMAS adalah penerapan suatu inovasi pertanian atau paket teknologi baru pada produksi padi yang dikenal dengan panca usaha tani. Panca usaha tani mencakup lima paket teknologi usahatani modern yang terdiri dari (1) pembangunan fasilitas dan sistim irigasi, (2) penyediaan bibit varietas unggul seperti IR-64 dan VUTW, (3) penggunaan pupuk kimia, (4) penggunaan pestisida dan (5) penanaman dengan cara tanam larikan dan sejajar. Meskipun memakan waktu yang relatif lama yakni kurang lebih 20 tahun, revolusi hijau atau program BIMAS telah berhasil mengubah sikap para petani yang khususnya para petani sub-sektor pangan, dari sikap anti teknologi ke sikap yang mau memanfaatkan teknologi pertanian modern, misalnya pupuk kimia, pestisida dan bibit unggul. Perubahan sikap petani tersebut sangat berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas pertanian pangan, akhirnya Indonesia mampu mencapai swasembada pangan di tahun 1984. Kemajuan dan perkembangan program BIMAS yang utamanya dilakukan di daerah dataran rendah Pulau J awa (Soemarjan, 1993) dapat diperjelas dengan data tentang luasan areal yang tercakup dalam program serta jumlah petani yang mendapatkan kredit seperti disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut: Revolusi hijau dilakukan di daerah-daerah dataran rendah. Di kawasan ini pemerintah membangun prasarana untuk menunjang program swasembada pangan seperti dam atau bendungan serta kanal-kanal/saluran irigasi. Sebagai akibatnya terjadi kesenjangan antara kawasan dataran rendah dan dataran tinggi atau kawasan non-padi. Akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap kawasan dataran tinggi berakibat pula pada kelestarian infrastruktur penunjang revolusi hijau. Dam-dam yang dibangun oleh pemerintah berumur lebih pendek karena lebih cepat tergenang endapan tanah yang terbawa oleh proses erosi yang berlangsung dengan sangat cepat.
Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-4- Tabel 2. Areal Penanaman dan Peserta Program BIMAS Tahun 1971-1979
Realisasi Areal Penanaman Petani Penerima Kredit Tahun Juta ha % di Jawa Petani (Juta) % di Jawa 1971 1.305 86.2 1.683 87.6 1972 1.199 86.8 1.458 87.3 1973 1.867 82.1 2.263 81.3 1974 2.936 79.1 3.546 79.7 1975 3.057 79.8 3.630 81.4 1976 3.018 78.9 3.391 80.4 1977 2.474 73.7 2.275 78.0 1978 2.206 74.2 2.442 76.2 1979 1.803 72.4 1.895 74.3 Source: Adapted from Mears in (Soemarjan, 1993:84)
Revolusi hijau atau BIMAS telah mampu mendongkrak produktivitas sub-sektor pangan sehingga untuk kurun waktu tertentu Indonesia telah mampu mencapai swasembada pangan khususnya beras. Akan tetapi revolusi hijau juga menyebabkan sistim sub-sektor tanaman pangan rentan terhadap hama dan penyakit. Disamping itu, revolusi hijau juga memunculkan kesenjangan antara daerah/kawasan padi dan non-padi, yakni daerah pegunungan. Konsentrasi pembangunan pertanian pada sub-sektor tanaman pangan juga menimbulkan keterbelakangan pada pembangunan sub-sektor pertanian hortikultura. Meskipun revolusi hijau mampu mencapai tujuan makro-nya yakni peningkatan produktivitas sub-sektor tanaman pangan, namun pada tingkat mikro revolusi hijau tersebut telah menimbulkan berbagai masalah tersendiri. Salah satu masalah yang sangat penting ialah terjadinya uniformitas bibit padi di Indonesia. Bibit padi yang boleh ditanam adalah bibit padi unggul yang disediakan oleh pemerintah, sementara itu bibit lokal yang semula banyak ditanam oleh petani dilarang untuk ditanam. Uniformitas bibit padi yang digunakan mengakibatkan timbulnya kerentanan dalam tubuh sub-sektor pangan, hal ini muncul dalam dua bentuk: (1) Sub-sektor pangan rentan terhadap berbagai hama. Meskipun memiliki produktifitas yang tinggi, namun bibit padi unggul tidak memiliki ketahanan hidup yang lama. Pada tahun 1970-an sub-sektor pangan Indonesia terserang wereng coklat (brown plant hopper/BPH) yang memusnahkan tanaman padi dan mengancam Indonesia dengan bahaya kelaparan. Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-5- Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus sering mengadakan pergantian bibit padi yang diharapkan dapat lebih memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman. (2) Revolusi hijau membuat petani Indonesia menjadi tidak kreatif. Banyak pengetahuan lokal yang menyangkut pertanian telah banyak dilupakan oleh petani. Para petani lebih menggantungkan diri pada paket-paket teknologi pertanian produk industri. Ketergantungan tersebut menimbulkan kerentanan baru, yakni petani Indonesia menjadi obyek permainan harga-harga produk-produk tersebut. Hal ini sangat menganggu proses produksi pangan. Apabila harga pupuk naik, maka petani terpaksa mengurangi pemakaian pupuk, sehingga produksi menurun.
Gerakan-gerakan untuk mengurangi ketergantungan pada produk-produk teknologi pertanian memang telah muncul di kalangan petani, dengan cara menanam bibit padi lokal dan melakukan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
C. GLOBALISASI DAN KRISIS PANGAN Suatu kebijakan pembangunan yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu ecological security, livelihood security dan food security. Suatu sustainable agriculture adalah suatu sistim pertanian yang mendasarkan dirinya pada pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, air dan keanekaragaman hayati lainnya) secara lestari. Keanekaragaman hayati merupakan kekuatan petani dalam upaya melestarikan ketahanan pangan. Keanekaragaman hayati dapat menjadi sumber alternatif dalam penganekaragaman jenis-jenis tanaman budidaya. Praktek-praktek pertanian yang demikian akan berubah pada era globalisasi, dengan munculnya berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh badan-badan internsional, misalnya World Trade Orgazation (WTO) yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan praktek pertanian di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kebijakan tentang Trade Related Intelllectual Property Right (TRIPs) dan berbagai keputusan lain yang menyangkut pertanian, akan mengubah ketiga aspek dasar kebijakan ketahanan ekologis suatu sistim pertanian, karena keputusan seperti itu akan mendorong terciptanya konsentrasi pemilikan sumberdaya alam, dengan cara menghilangkan batasan kepemilikan terhadap sumber alam tersebut (tanah, air dan keanekaragaman hayati). Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-6- Dalam rangka menggalakan ekspor dari sektor pertanian, umumnya pemerintah negara berkembang akan menggalakan pembangunan perkebunan besar. Kehadiran perkebunan tersebut akan mengubah ketiga aspek kebijaksanaan pertanian yang sehat. Perkebunan besar akan menguasai lahan pertanian yang sangat luas yang hanya ditanami satu jenis tanaman, sehingga melemahkan ketahanan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Selain menutup kemungkinan bagi petani untuk diversifikasi usatani mereka, lemahnya ketahanan hayati juga menyebabkan pertanian di wilayah itu mudah terserang hama dan penyakit. Keberadaan perkebunan besar juga akan menghambat terpenuhinya kebutuhan dasar bagi penduduk setempat, demi ekspor dan keuntungan bagi petani bagi pemilik perkebunan. Nampaknya liberalisasi pardagangan produk-produk pertanian tidak menjadikan pertanian menjadi bebas. Sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat sentalisme pembangunan pertanian. Dalam era globalisasi perdagangan bebas, ketika negara tidak lagi mencampuri urusan pengembangan sektor pertanian, negara tidak mengembalikan kekuasaan dan fungsi petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi justu memfasilitasi penyerahan penguasaan sumber-sumber alam, sistim produksi, serta sistim pemasaran dan perdagangan kepada perusahaan agribisnis global. Terkait dengan aspek perdagangan internasional, menurut Yustika (Suara Pembaharuan,12 Oktober 2003), pemerintah justru banyak meliberalisasi pasar produk pertanian padahal aturan WTO masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik. Lebih lanjut Yustika mengemukakan bahwa untuk subsidi pertanian, telah lama subsidi input dikurangi dengan sangat drastis oleh pemerintah padahal negara-negara maju masih memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya kepada sektor pertanian (The New York Times, 2 Desember 2002). Berita mutakhir mengabarkan bahwa Koferensi Tingkat Menteri V WTO di Cancun Meksiko gagal menghasilkan suatu konsensus apapun mengenai pengurangan hambatan dalam perdagangan produk-produk pertanian. Hal ini terjadi karena negara-negara maju, seperti AS, Uni Eropa dan J epang menolak untuk memangkas secara drastis subsidi ekspor dan subsidi jenis lain yang selama ini diberikan kepada para petani dan peternaknya Selain ketidak-fair-an dalam hal subsidi input dan subsidi ekspor, hal lain yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani kita adalah rendahnya penerapan tariff produk pertanian impor. Heri Soba (Suara Pembaharuan Daily, 8 September, 2003) menyatakan bahwa Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-7- proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di negara-negara maju ditunjukkan dengan perlindungan produk dalam negeri melalui penerapan tariff impor yang tinggi. Bahkan di sejumlah negara eksportir beras, gula, dan produk pertanian lainnya tariff impor-nya sangat tinggi. Untuk gula, Uni Eropa menerapkan 297 persen, J epang 361 persen, sedangkan Indonesia hanya 30 persen (gula putih Rp 700 per kg dan gula mentah Rp 550 per kg).
D. PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN PERTANIAN Dalam perubahan-perubahan yang terjadi dalam sektor pertanian negara-negara yang sedang berkembang, baik pada lingkungan internal maupun eksternal, terdapat tiga masalah pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan paradigma baru pembangunan pertanian. Pertama, di tengah-tengah perubahan-perubahan eksternal dan internal tersebut, bagaimana kita dapat menciptakan kebijaksanaan pertanian yang menjamin agar petani dapat memperoleh hak mereka atas air dan bibit, yang mereka butuhkan untuk mengelola usahatani secara lestari. Air merupakan sarana produksi yang utama bagi petani untuk membangun usahataninya. Pada saat ini bukan lagi hanya terkait dengan kebutuhan pertanian, tetapi telah menjadi kebutuhan atau milik sektor perekonomian yang ada di negara kita. Bertambahnya peminat yang ingin memanfaatkan air mendorong terjadinya persaingan. Umumnya sektor pertanian menjadi sektor yang relatif lemah dalam kancah persaingan tersebut, birokrasi umumnya melihat industri lebih maju dari agraris sehingga mendapat prioritas yang lebih untuk mendapatkan hak atas air. Terkait dengan pemanfaatan sumber daya air di Indonesia, meskipun ratifikasi atas UU No 7 Juli 2004 tentang Sumber Daya Air telah selesai dilakukan. Saat ini masih terus terjadi kontraversi diantara para stakeholders yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air. UU tersebut saat ini pun masih dalam proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi dalam rangka upaya revisi untuk memberikan akses yang lebih layak kepada para petani kecil pengguna sumber daya air. Nampaknya memang kepentingan petani akan air terasa terus tersisihkan dengan kepentingan pihak lain utamanya kalangan industri besar, apalagi UU No 7 2004 tersebut memberikan peluang yang cukup besar kepada kalangan swasta termasuk industri besar dalam pengelolaan sumber daya air. Fauzi (Kompas 15 Maret 2004) menyatakan bahwa air merupakan barang ultra-esensial bagi kelangsungan hidup manusia yang menyangkut hayat hidup orang banyak, bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-8- abad ke-21 ini. Bocoran laporan dari Pentagon yang dikutip The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi cathastropic shortage (kekurangan yang dahsyat) terhadap air di masa mendatang yang akan mengarah pada menyebarnya perang sekitar tahun 2020. Terkait dengan akses terhadap bibit, seperti halnya air, bibit merupakan salah satu sarana produksi utama dalam produksi pertanian. Petani semestinya memperoleh akses bibit yang murah, hal ini dapat dicapai bila pemerintah memberikan kembali hak kepada petani untuk memproduksi bibit bagi kepentingan komunitas pertanian mereka. Departemen Pertanian hendaknya melakukan penelitian bersama petani di lapangan atau di lahan petani dan dapat difokuskan dalam program penangkaran benih desa yang dapat mendukung otonomi petani dalam menyediakan bibit. Kedua, masalah pertanian tersebut berkaitan dengan masalah kedua, yakni bagaimana membangun suatu pertanian yang dapat menjamin adanya suatu sistim ketahanan pangan bagi negara-negara yang sedang berkembang. Ketiga, bagaimana kita dapat melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam yang berupa plasma nuftah yang dimiliki oleh negara-negara sedang berkembang, tidak hanya untuk kepentingan pembangunan sektor pertanian, tetapi juga sektor-sektor yang lain dalam perekonomian nasional negara-negara tersebut, demi kesejahteraan rakyat. Berbagai masalah tersebut merupakan hal yang saling berkaitan, yang pemecahannya akan menjamin munculnya sebuah sistim pertanian baru yang perkebangannya tidak tergantung pada teknologi yang berasal dari luar dan menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat tani. Paradigma pembangunan pertanian baru yang dapat mencapai tujuan tersebut adalah paradigm pembangunan pertanian yang melihat bahwa pembangunan suatu negara adalah pembangunan yang mencerminkan kesejahteraan dari mayoritas penduduk negara itu. Mayoritas penduduk negara-negara sedang berkembang adalah petani. Paradigma pembangunan pertanian baru harus bertujuan untuk lebih menjamin keamanan pangan secara mandiri dan berkelanjutan. Ide dasar pengembangan ekonomi dengan memberikan prioritas utama pada kehidupan mayoritas penduduk tersebut sejalan dengan saran yang diberikan oleh nobel laureat pada bidang ekonomi tahun 2001--J osep E. Stiglitz pada saat memberikan kuliah umum tentang isu ekonomi terkini dan dampaknya pada negara berkembang pada tanggal 14 Desember 2004 di Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-9- J akarta atas prakarsa ISEI. Kebijakan apapaun yang diambil oleh pemerintah Indonesia semestinya haruslah berkaitan dengan kepentingan mayoritas. Mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan dan mayoritas adalah petani. Kebijakan pertanian semestinya harus didasarkan pada dinamika yang ada, yang menjadi fokus bukan lagi sekedar memproduksi komoditi tetapi harus dilengkapi dengan penciptaan nilai tambah. Sehingga kalau akan dikembangkan industrialisasi pun mestinya harus terkait dengan kepentingan petani itu. Agar paradigma baru tersebut dapat mencapai tujuannya, dibutuhkan perubahan visi dan kebijaksanaan dari pemerintah dan aparat pelaksanan dalam memahami proses-proses yang hakiki dari suatu pembangunan pertanian. Menurut Bahari (Kompas, 15 Maret 2994), persoalan pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian: (1) akses terhadap kepemilikan tanah, (2) akses input dan proses produksi, (3) akses terhadap pasar dan (5) akses terhadap kebebasan. Dari ke-empat prasyarat tersebut, nampaknya yang belum dilaksanakn secara konsisten adalah membuka akses petani dalam kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal itu karena dianggap mempunyai resiko tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan pada produksi dan pasar. Bahari lebih lanjut menjelaskan bahwa Orde Baru sejak kelahirannya yang menganut ideologi ekonomi kapitalis cenderung melaksanakan pembangunan pertanian melalui pendekatan jalan pintas (by pass approach), yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agrarian/pembaruan agraria. Karena itu, pembangunan tersebut lebih dikenal sebagai development without social transition. Pertanian nampaknya tidak dipandang dalam aspek menyeluruh, tetapi direduksi sekedar persoalan produksi, teknologi dan harga. Tanah sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap sebagai faktor amat penting. Kebijakan politik- ekonomi orde baru menggunakan surplus pertanian guna mensubsidi sektor indutri lewat politik pangan murah untuk menjaga stabilitas upah buruh demi mepercepat proses industrialisasi. Namun ketika industri telah maju dan menghasilkan surplus, keuntungan tidak dikembalikan ke sektor pertanian namun manfaat justru lebih banyak dinikmati oleh sektor industri. Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-10- Apabila kita bercermin pada kisah sukses pembangunan pertanian J epang, Thailand, Korea Selatan, Taiwan, China dan Vietnam, semuanya tidak terlepas dan diawali dengan perombakan dan penataan kembali struktur panguasaan tanah yang timpang melalui program reformasi agraria. Sektor pertanian mendapat manfaat dari surplus yang diinvestasikan kepada sektor industri. Reformasi agraria sendiri mencakup redistribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani, penataan produksi melalui pembangunan infra struktur pertanian, fasilitas permodalan dan teknologi tepat guna, penguatan kelembagaan/organisasi petani dalam bentuk koperasi atau asosiasi petani, dan proteksi terhadap produk-produk pertanian.
E. PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN PERMASALAHAN PETANI Ibrahim (2002:169) merumuskan bahwa agribisnis adalah suatu sistim pertanian yang menyangkut sub-sistim industri hulu, sub-sistim industri primer, sub-sistim industri hilir, dan sub-sistim jasa-jasa yang melayani ketiga subsistim tersebut. Subsistim agribisnis yang merupakan indutri hulu antara lain produsen sarana produksi, sub-sistim produksi primer menyangkut budidaya pertanian atau produksi barang pertanian, sub- sistim indutri hilir meliputi indutri pengolahan barang pertanian, dan subsistim jasa-jasa yang terkait dengan pertanian seperti jasa perbankan, dan perdagangan barang pertanian. Konsep agribisnis saat ini merupakan konsep yang cocok untuk melihat permasalahan pertanian karena maju mundurnya pertanian semata-mata tidak hanya diakibatkan oleh permasalahan teknis produksi saja namun banyak juga disebabkan oleh faktor diluar hal tersebut. Pada akhirnya permasalahan kesejahteraan petani tidak hanya dipengaruhi oleh on-farm agribusiness tetapi juga olah off-farm agribusiness. Arifin (2001:100) menyatakan bahwa dunia agribisnis di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia umumnya merupakan suatu sistim pertanian rakyat dan hanya sedikit saja yang berupa sistim perusahaan pertanian. Walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan dan sangat menentukan kinerja secara keseluruhan pertanian Indonesia, akan tetapi perbedaan pada skala usaha, penguasaan teknologi, kemampuan manajemen, dan pespektif pemasaran sudah cukup mewakili kenyataan bahwa keduanya merupakan entitas yang sangat berbeda. Lebih lanjut Arifin menunjukkan bahwa walaupun jumlah dan nilai investasi di bidang agribisnis di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan selama Pelita V, akan tetapi Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-11- secara persentase masih sangat kecil. Kredit yang dikeluarkan pihak perbankan untuk investasi di bidang agribisnis pada tahun 1995 hanya tercatat 7 persen dari total kredit yang disalurkan. Permasalahan off-farm agribusiness yang dihadapi petani saat ini adalah mengalirnya arus globalisasi. Makna globalisasi pada dasarnya adalah semakin menipisnya batas-batas hubungan antar negara yang satu dengan negara yang lain dalam berbagai hal, antara lain dalam hal ekonomi, politik, migrasi, komunikasi dan transportasi. Pihak-pihak yang mendapat banyak keuntungan dari globalisasi berpendapat bahwa globalisasi adalah kehidupan yang nyaman karena kehidupan antar negara hampir tanpa batas ibaratnya sebuah desa saja (global village), tetapi sebaliknya pihak yang dirugikan berpendapat bahwa kehidupannya penuh dengan kerugian dan mengalami banyak kehilangan sehingga merasa mengalami sebagai penjarahan global (global pillage). Nampaknya masyarakat tani di Indonesia juga tidak dapat menghindari arus perubahan besar globalisasi oleh karena itu nampaknya tidak ada pilihan lain bagi petani kita, salah satu cara yang biasa ditempuh adalah mengikuti dan memanfaatkan arus perubahan besar untuk mengambil kesempatan secara maksimal. Dampak arus globalisasi dalam bidang pertanian adalah ditandai dengan masuknya produksi pertanian impor yang relatif murah karena diproduksi dengan cara efisien dan pemberian subsidi yang besar pada petani di negara asalnya, produk tersebut membanjiri di pasar-pasar domestik di Indonesia. Gejala perdagangan bebas ditandai dengan mengalirnya beras, gula, kedele, jagung, ayam potong dari beberapa negara tetangga, bahkan akhir-akhir ini udang-pun masuk dari China ke Indonesia. Dalam prakteknya, meskipun ada ketentuan dan kesepahaman dasar bahwa dalam sistim perdagangan bebas, diberlakukan larangan subsidi input maupun output, namun masih banyak negara yang melanggar sehingga menciptakan persaingan yang tidak fair. Sebagai contoh banyak petani-petani di Eropa dan Amerika mendapat subsidi yang sangat besar untuk meproduksi jagung, gandum, produk hortikultura serta ternak unggasnya, selain itu J epang juga memberikan proteksi yang luar biasa pada petani padinya. Sementara Indonesia dibawah tekanan negara-negara donor dipaksa untuk menghapusakan berbagai subsidi termasuk di dalamnya subsidi untuk sektor pertanian. Sebagai akibatnya sektor pertanian di Indonesia mendapatkan tekanan baik dari dalam negeri sendiri dengan segala kebijakannya serta dari luar negeri dengan masuknya produk pertanian impor yang murah karena disubsidi oleh negaranya. Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-12- Beberapa masalah mendasar yang masih banyak dihadapi oleh petani dan sektor pertanian di Indonesia adalah masih lemahnya interlinkage antara penyedia input, pasar, industri pengolahan dan lembaga keuangan dengan para petani kita. Sebenarnya negara kita memiliki potensi pertanian dan sumber bahan baku yang luar biasa namun belum dikelola dengan efisien. Komoditas perikanan, perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum dikelola secara profesional dan efisien untuk meningkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah bagi petani yang terlibat di dalamnya. Sebagai contoh petani pekebun kakao kita masih menjualnya dalam bentuk biji kering serta perkebunan kelapa sawit kita yang merupakan produsen kelapa sawit nomor dua di dunia (Kompas, 7 J uli 2004) juga masih menjual dalam bentuk produk primer yang sudah barang tentu memiliki nilai tambah yang sangat rendah jika dibandingkan dengan penjualan produk olahan. Nampaknya secara garis besar kondisi pertanian kita masih harus mendapatkan perhatian dan dukungan kebijakan yang jauh lebih serius oleh semua pihak sehingga mampu mencapai kemandirian dan kelayakan sebagi sumber gantungan penghidupan sebagian besar masyarakat kita. Keprihatinan kita akan kondisi pertanian secara mencolok dapat dilihat dari fakta meskipun kita sebagai negara agraris dengan potensi sumberdaya yang luar biasa namun fakta menunjukkan bahwa kita merupakan salah satu negara importir produk-produk pertanian terbesar di dunia. Sebagai gambaran tentang impor negara kita atas produk-produk pertanian seperti yang telah dilaporkan Kompas (7 Juli 2004) dapat dilihat pada Tabel 3.
F. PENGEMBANGAN SDM PETANI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TANI Bagi negara-negara yang sedang berkembang, pembangunan pertanian pada abad 21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistim pertanian yang berkelanjutan juga harus mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang akan menunjang sistim tersebut. Peningkatan SDM tidak hanya dibatasi peningkatan produktivitas petani namun juga peningkatan kemampuan petani agar dapat lebih berperan dalam proses pembangunan. Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian alam peningkatan SDM adalah rendahnya partisipasi petani dalam pengambilan keputusan pembangunan pertanian. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya suatu organisasi petani yang memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan kepentingan petani di forum nasional di negara-negara berkembang. Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-13- Rendahnya produktivitas juga disebabkan adanya ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah tanah untuk proses produksi pertanian. Tabel 3. Impor Indonesia atas Berbagai Produk Pertanian Tahun 2003 Nama Produk Jumlah Impor Keterangan Beras 3,7 juta ton/tahun Nomor satu di dunia Gula 1,6 juta ton/tahun Nomor dua di dunia Kedele 1,3 juta ton/tahun Bungkil 1 juta ton/tahun Gandum 4,5 juta ton/tahun J agung 1,2 juta ton/tahun Ternak Sapi 4500.000 ekor/tahun Tepung telur 30.000 ton/tahun Susu bubuk 170.000 ton/tahun Makanan olahan 1,5 miliar dolar US Garam 1,5 juta ton/tahun Singkong 0,85 juta ton/tahun Kacang tanah 100.000 ton/tahun Sumber: Kompas Halaman 15, Rabu 7 Juli 2004 Peningkatan sumberdaya manusia (SDM) dalam sektor pertanian mestinya tidak hanya diarahkan pada peningkatan produktifitas petani, namun harus diarahkan pula pada peningkatan partisipasi politik petani dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka melalui organisasi petani yang mandiri. Peningkatan SDM juga terkait dengan demokratisasi sistim politik, sosial dan ekonomi bagi para petani. Salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah land reform untuk meningkatkan akses petani terhadap lahan dan produksi pertanian yang lebih efisien yang akhirnya juga akan meningkatkan kesejahteraan petani. Peran aktif pemerintah dalam hal ini aparat birokrasi dalam upaya peningkatan SDM petani dapat diwujudkan dalam bentuk reorientasi sistim penyediaan layanan dan pendanaan pada sistim penyebaran pengetahuan dan informasi pertanian. Revitalilsasi dan peningkatan kinerja kelembagaan dan petugas penyuluh pertanian lapangan nampaknya akan memberikan Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-14- kontribusi positif bagi peningkatan SDM pertanian. Selain itu pemberian ruang yang cukup untuk sektor swasta/private yang oleh para ahli sedang gencar didengungkan dan dikenal denga privatization of agricultural extension dalam distribusi informasi pertanian akan mendorong terciptanya penyediaan dan penyampaian informasi pertanian yang lebih efisien dan efektif dalam suasana yang lebih kompetitif namun sehat. Hal ini secara lebih rinci dibahas pada paper Subejo (2002). Selain peningkatan SDM petani dan pertanian, dalam rangka menuju pembangunan pertanian yang lestari perlu didukung oleh upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan khususnya yang terkait dengan pertanian (community empowerment). Subejo dan Supriyanto (2004:2-3) secara sederhana mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut: Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasayarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya untuk mencapai derajat kesejahteraan yang lebih tinggi.
G. REFERENSI
Arifin, Bustanul, 2001, Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia,: Telaah Struktur, Kasus, dan Alternatif Strategi, Penerbit Erlangga.
Materi Studium General SORem 2005 Study on Rural Empowerment (SORem)--Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM
-15- Bahari, Samsul, 2004, Kegagalan Pembangunan Pertanian Indonesia, Kompas Edisi 15 Maret 2004.
Kompas,2004, Industri Manufaktur Nasional: Merana di Negeri yang Kaya Bahan Baku, Kompas Halaman 15, Edisi 7 J uli 2004
Kompas,2004, Stiglitz: Indonseia agar Fokus pada Kepentingan Jutaan Warga, Kompas Edisi 7 15 Desember 2004
Soetrisno, Loekman, 1999, Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah Tinjauan Sosiologis, Penerbit Kanisius
Soba, Heri, 2003, Apa yang Bisa Dicapai dari WTO? Suara Pembaharuan Daily Edisi 8 September 2003
Soemarjan, Selo. 1993. Cultural Change in Rural Indonesia: Impact of Village Development. Sebelas Maret University Press.
Subejo, 2002, Penyuluhan Pertanian Indonesia: Isu Privatisasi dan Implikasinya, J urnal Agro Ekonomi Vol.9 (2):27-36, Desember 2002.
Subejo dan Supriyanto, 2004, Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, Short paper disampaikan pada Kuliah Intensif Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan, Study on Rural Empowerment (SoREM)--Dewan Mahasiswa Fak. Pertanian UGM tanggal 16 Mei 2004.
Yudohusodo, Siswono, 1999, Modernisasi Pertanian Merupakan Harga Mati, Kompas Edisi 22 Maret 1999.
Yustika, Ahmad Erani, 2003, Tragedi Petani dan Involusi Kebijakan Pertanian, Suara Pembaharuan Daily Edisi 10 Oktober 2003.