C, bulk den-
sity 2,1 - 2,8 g/ml. Bahan refraktori yang baik harus
memiliki kadar Al
2
O
3
lebih tinggi daripada SiO
2
dengan perbandingan Al
2
O
3
: SiO
2
= 65% : 35%
atau nilai Al
2
O
3
/SiO
2
=1,85.
Kebutuhan akan refraktori dan bahan bakunya untuk
industri cenderung meningkat namun sampai saat ini
masih dipenuhi melalui impor (PT Indoporlen Re-
fractories Indonesia, 2001). Salah satu bahan baku
refraktori, mullite, pada tahun 1996 diimpor
sebanyak 250 ton namun pada tahun 2000 jumlah
impornya meningkat menjadi 700 ton. Bahan baku
lainnya meliputi chamotte, andalusite, kyanite, sil-
limanite, zircon, diimpor sekitar 500 hingga 1000
ton per tahun. Selain bahan baku juga masih diimpor
bahan pengikat (binder) seperti calcium aluminate.
Bahan - bahan tersebut diimpor dari India, Austra-
lia dan Cina.
Menurut Hwang (1991), komponen mineral utama
abu terbang adalah aluminosilikat, besi oksida, silikat
densitas rendah, dan sisa karbon, serta kemungkinan
adanya mineral mullite.
Penelitian dan aplikasi pemanfaatan abu terbang
sebagai bahan refraktori sudah dilakukan di
beberapa negara seperti India dan Cina. Abu terbang
PLTU-Suralaya diduga mempunyai potensi sebagai
salah satu bahan baku refraktori.
Dalam rangka pemanfaatan abu terbang PLTU-
Suralaya untuk bahan baku pembuatan refraktori,
khususnya refraktori cor (castable refractory), perlu
terlebih dahulu dilakukan penelitian bahan baku
(raw materials) abu terbang tersebut untuk
mengetahui karakteristiknya melalui serangkaian
penelitian dan pengujian.
Tabel 1. J umlah dan perkiraan produksi abu terbang dan abu dasar oleh PLTU di Indonesia
Kapasitas Konsumsi Produksi Produksi
Jumlah abu
Tahun listrik PLTU batu bara abu dasar abu terbang
(MW) (Juta ton) (Juta ton) (Juta ton)
(Juta ton)
1996 2,66 7,3 0,04 0,25 0,29
2000 10,155 27,7 0,25 1,41 1,66
2006 12,22 33,3 0,30 1,70 2,00
2009 19,99 54,5 0,49 2,78 3,27
Tabel 2. J umlah dan perkiraan produksi abu terbang dan abu dasar oleh PLTU Suralaya
1996 2000 2006 2009
Konsumsi batu bara (Juta ton/th) 4,36 9,27 9,27 9,27
Produksi abu dasar (Ribu ton/th) 44 93 93 93
Produksi abu terbang (Ribu ton/th) 175 175 175 175
Jumlah produksi abu (Ribu ton/th) 219 219 219 219
3 Karakterisasi Abu Terbang PLTU Suralaya dan Evaluasinya ... Muchtar Aziz, Ngurah Ardha dan Lili Tahli
2. METODOLOGI PENGUJIAN/
KARAKTERISASI
Sampling contoh-contoh dilakukan dengan teknik
basung prapat (coning-quartering). Uji karakterisasi
abu terbang PLTU Suralaya dilakukan melalui analisis
kimia, analisis fisik (distribusi ukuran, porositas,
berat jenis, analisis SEM). Hasil - hasil analisis yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan komposisi/
karakteristik yang dimiliki oleh refraktori cor
komersial. Adapun alat/metoda yang digunakan
adalah sebagai berikut :
- Analisis kimia dengan AAS
- Mineralogi dengan XRD
- Uji struktur mikro dengan SEM
- Uji distribusi ukuran dengan Fritsch Particle
Sizer, dan ayakan mesh Tyler
- Uji porositas berdasarkan SNI 13-3604-1994
- Uji densitas berdasarkan SNI 13-3602-1994
3. HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik dan Evaluasi Refraktori Cor
Komersial
Refraktori cor (berupa bubuk) komersial yang dijual
di pasaran digunakan sebagai bahan pembanding
atau kontrol terhadap hasil-hasil karakterisasi abu
terbang PLTU Suralaya. Bahan pembanding tersebut
adalah refraktori cor komersial tipe CAJ-14 dan tipe
CAJ-16, masing-masing tahan terhadap suhu 1400
o
C
dan 1600
o
C.
Komposisi mineral : komposisi mineral untuk
kedua tipe refraktori cor komersial tersebut
adalah sama yaitu Corundum (Al
2
O
3
), Mullite
(Al
6
Si
2
O
13
) dan Cristobalite (SiO
2
).
Ukuran butir : distribusi ukuran butir ditunjukkan
pada Tabel 3.1, terlihat bahwa sekitar 44%
butiran berukuran +30 mesh (lebih kasar dari
30 mesh).
Tekstur : Uji spot EDS menggunakan SEM terhadap
butiran kasar (+30 mesh) dan butiran halus
(-200 mesh) menunjukkan, butiran kasar
bertekstur seperti butiran gula pasir (sugary) yang
berukuran < 3 m, dan partikel halus (fine)
menunjukkan sugary dan tekstur jarum (needle)
yang panjangnya sekitar 3 m ( Gambar 3.1).
Berdasarkan pengamatan Supomo et al,(1997) dan
Soewanto et al,(1997), kristal menjarum atau
memanjang adalah karakteristik khas dari
mineral mullite, sedangkan kristal sugary adalah
khas corundum. Adapun kristal yang berbentuk
sugary tetapi bersudut adalah mineral
cristobalite. Mineral-mineral mullite,
cristobalite dan corundum adalah mineral-
mineral yang tahan suhu tinggi.
Komposisi kimia : Komponen/senyawa kimia yang
terdeteksi dari analisis SEM untuk butiran kasar
terdiri atas Al
2
O
3
=72,7%, SiO
2
=16,6%,
CaO=1,18%, ZrO
2
=9,4% dan FeO dan
MoO
3
dalam kadar rendah. Adapun partikel
halus terdiri atas senyawa Al
2
O
3
=72,2%,
SiO
2
=8,9%, ZrO
2
=5,71%, Ta
2
O
5
=13,2%
dan CaO, MgO, C kadar rendah. Keberadaan
senyawa Zirkonia dan Tantalum menambah
ketahanan refraktori terhadap suhu tinggi.
Adanya komponen C (karbon) kemungkinan
berasal dari bahan abu terbang atau waktu
proses sinterisasi menggunakan bahan bakar
batu bara.
Hasil analisis kimia terhadap contoh refraktori cor
komersial menunjukkan komposisi kimia seperti
tercantum pada Tabel 3.2. Tampak bahwa CAJ-14
memiliki nilai Al
2
O
3
/SiO
2
= 0,9 dan CAJ-16
memiliki nilai Al
2
O
3
/SiO
2
= 1,6. Kandungan
pengotor Fe
2
O
3
, TiO
2
dan CaO relatif tinggi.
Data meliputi pH pada 10% padatan= 10,0 dan
bulk density bubuk = 1,74 g/ml. Dari hasil
karakterisasi terlihat bahwa komposisi kimia utama
bubuk refraktori cor tipe CAJ-16 adalah Al
2
O
3
, SiO
2
,
Ta
2
O
5
dan ZrO
2
dengan nilai Al
2
O
3
/SiO
2
= 1,6
mengandung mineral-mineral mullite, cristobalite
dan corundum. Tekstur dari partikel-partikelnya
adalah sugary dan needle yang saling berikatan.
Adapun tipe CAJ-14 mempunyai nilai perbandingan
Al
2
O
3
/SiO
2
= 0,9. Semakin tinggi nilai
perbandingan Al
2
O
3
/SiO
2
maka semakin tinggi sifat
kerefraktoriannya.
3.2. Karakterisasi dan Evaluasi Abu Terbang
PLTU-Suralaya
Distribusi ukuran butiran : Hasil analisis distribusi
ukuran menggunakan Fritch particle sizer
menunjukkan bahwa rentang ukuran partikel-
partikel abu terbang berkisar antara 0,31 - 300,74
mm, dengan distribusi 80% berukuran 0,31 -
40.99 mm, atau d
50
= 6,22 mm. Ukuran
partikel yang sangat halus ini cocok sebagai
bahan pengisi (fine grog) dalam sistem refraktori
cor.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 1 8 4
Tabel 3.2 Komposisi kimia refraktori cor komersial
Kode %SiO
2
%Al
2
O
3
%Fe
2
O
3
%TiO
2
%CaO %MgO %K
2
O %Na
2
O %LOI
CAJ-14 38,2 35,3 1,48 1,28 3,64 0,53 0,88 0,7 0,58
CAJ-16 29,1 47,2 1,2 1,62 4,04 0,17 0,58 0,62 0,72
Komposisi mineral CAJ-14 dan CAJ-16 sama yaitu terdiri atas corundum, mullite dan cristobalite
Material : alumina silicate
Gambar 3.2 Bentuk partikel mikro abu terbang PLTU-Suralaya
Material : alumina silicate
Tabel 3.1 Distribusi ukuran butir refraktori cor komersial CAJ -14 dan CAJ -16
Mesh 30 30 40 40 60 -200 Total
Berat, % 44,33 14,86 7,75 5,10 3,67 24,47 100
Gambar 3.1 Mikrostruktur refraktori cor komersial (berupa bubuk)
Sample code : CAJ-16, Detected particle : Chunk;
magnification, 10.000x
Sample code : CAJ-16; Detected particle : fine grain;
magnification : 10.000x
Butiran kasar
Partikel halus
5 Karakterisasi Abu Terbang PLTU Suralaya dan Evaluasinya ... Muchtar Aziz, Ngurah Ardha dan Lili Tahli
Bentuk partikelnya menunjukkan bentuk-bentuk
membulat (spheres), berukuran <15 m seperti
terlihat pada Gambar 3.2. Partikel-partikel yang
membulat tersebut satu sama lain terlepas (tidak
berikatan).
Bentuk membulat kemungkinan disebabkan karena
pada saat aluminosilikat mengalami pembakaran
suhu tinggi dalam boiler PLTU, alkali di permukaan
partikel meleleh. Terlihat pada Gambar 3.2 bahwa
permukaan partikel membulat tersebut tidak merata
yang menunjukkan kemungkinan proses pelelehannya
tidak sempurna. Partikel-partikel yang permukaannya
meleleh tidak sempurna dan berukuran halus ini
cenderung bergerak/berputar di dalam dapur
pembakaran batu bara akibat tekanan udara panas,
dan terbang melalui cerobong sehingga disebut
sebagai abu terbang. Bentuk partikel halus yang
membulat cocok untuk bahan tahan api cor karena
memiliki sifat lambat pengendapan dan self
flowing yang lebih baik. Keunggulan dari sifat
pengendapan yang lambat adalah cenderung
membentuk distribusi merata sehingga produk
refraktori cor akan mempunyai struktur fisik yang
uniform dengan daya tahan abrasif yang lebih baik.
Mullite yang terdeteksi melalui XRD jumlahnya
sangat kecil karena tidak nampak adanya tekstur
menjarum/memanjang (tekstur khas mullite) seperti
pada tekstur refraktori cor komersial. Selain itu juga
tidak nampak adanya tekstur yang berikatan satu
sama lain yaitu tekstur akibat perlakuan suhu tinggi/
pelelehan. Oleh karena itu, abu terbang-PLTU
Suralaya belum bersifat refraktori.
Komposisi mineral : Hasil uji terhadap contoh abu
terbang PLTU-Suralaya menunjukkan mineral
dominan kuarsa dan sedikit mullite.
Keberadaan mullite menunjukkan bahwa
aluminosilikat pada abu terbang telah
mengalami kontak dengan suhu tinggi di dalam
tungku pembakaran batu bara PLTU. Mullite
(3Al
2
O
3
.2SiO
2
) adalah mineral alumina silikat
yang tahan terhadap suhu tinggi hingga sekitar
1875
3
0
'
B
T
1
3
0
'
L
U
1
0
0
'
0
3
0
'
1
0
4
3
0
'
1
0
4
0
0
'
K
e
c
.
K
a
r
i
m
u
n
K
e
c
.
K
u
n
d
u
r
K
e
c
.
M
o
r
o
B
A
T
A
M
K
e
c
.
B
i
n
t
a
n
U
t
a
r
a
K
e
c
.
B
i
n
t
a
n
T
i
m
u
r
S
I
N
G
A
P
O
R
E
1
J
a
m
(
D
e
n
g
a
n
F
e
r
r
y
)
K
E
P
U
L
A
U
A
N
K
A
R
I
M
U
N
P
U
L
A
U
S
U
M
A
T
E
R
A
!
!
P
U
L
A
U
B
I
N
T
A
N
P
U
L
A
U
R
E
P
A
N
G
P
U
L
A
U
G
A
L
A
N
G
K
I
J
A
N
G
T
A
N
J
U
N
G
.
P
I
N
A
N
G
K
e
t
e
r
a
n
g
a
n
B
a
t
a
s
K
a
b
u
p
a
t
e
n
B
a
t
a
s
K
e
c
a
m
a
t
a
n
I
b
u
k
o
t
a
K
a
b
u
p
a
t
e
n
B
a
t
a
s
K
P
D
U
2
1
B
a
t
a
s
K
P
D
U
2
2
K
ilo
m
e
t
e
r
1
0
P
E
T
A
O
R
I
E
N
T
A
S
I
P
U
L
A
U
B
I
N
T
A
N
0
2
0
U
S
U
M
B
E
R
:
-
P
e
t
a
D
a
s
a
r
R
u
p
a
B
u
m
i
S
k
a
l
a
1
:
2
5
0
.0
0
0
B
A
K
O
S
U
R
T
A
N
A
L
D
a
t
u
m
W
G
S
8
4
-
P
T
A
n
e
k
a
T
a
m
b
a
n
g
K
i
j
a
n
g
(
P
e
r
s
e
r
o
)
T
b
k
R
E
N
C
A
N
A
P
E
N
U
T
U
P
A
N
U
B
P
B
A
U
K
S
I
T
K
I
J
A
N
G
P
T
A
N
E
K
A
T
A
M
B
A
N
G
(
P
E
R
S
E
R
O
)
T
b
k
.
P
rop
.
S
um
ate
ra B
ara
t
P
rop
. R
iau
P
rop. Jam
b
i M
A
LAY
SIA
P
rop
Su
m
atera
S
ela
ta
n
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 27 40 30
Luas
Jumlah
No. Kecamatan
(km
2
)
Desa/
Kelurahan
1 Singkep 892,00 10
2 Tambelan 169,42 6
3 Senayang 396,00 7
4 Bintan Timur* 964,12 11
5 Tanjung Pinang
Timur* 169,00 5
6 Lingga 892,72 23
7 Bintan Utara 627,59 14
8 Tanjung Pinang
Barat* 70,50 5
9 Teluk Bintan* 185,00 10
Jumlah 4.303,35 90
Tabel 1. Kecamatan dan luasnya di
Kabupaten Dati II Kepulauan Riau
Sumber : BPS Kabupaten Kepulauan Riau, Tahun 2000
Keterangan : *) Wilayah Pengaruh Kegiatan UBP Bauksit
Kijang (PT. Aneka Tambang Tbk.)
2.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan
Dari hasil sensus tahun 2000 yang dilakukan Biro
Pusat Statistik (BPS), tercatat jumlah penduduk
318.566 jiwa. Dari jumlah tersebut diperoleh tingkat
kepadatan penduduk 74 jiwa/km
2
. Penduduk yang
tinggal di daerah perkotaan tercatat 224.273 jiwa
(atau 71,0%), lebih besar dibandingkan yang tinggal
di daerah pedesaan sekitar 91.600 jiwa (Tabel 2). Laju
pertumbuhan penduduknya pada kurun 1990-2000
adalah 2,9%. Dari segi perekonomian, hal ini dapat
dipandang sebagai suatu transformasi dari ekonomi
pedesaan menjadi ekonomi yang bercirikan perkotaan.
Dari hasil penelitian sosial ekonomi kerjasama
Bappeda Riau dan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Universitas Riau, 1999, diketahui bahwa sebagian
besar penduduk Kecamatan Bintan Timur bekerja di
Sektor Pertanian dalam arti yang luas, mencapai
hampir 85%, sisanya bekerja di Sektor Perdagangan,
Industri dan Jasa. Mata pencaharian penduduk
Kecamatan Tanjung Pinang Timur umumnya di
Sektor Industri dan Bangunan sekitar 16,9%,
kemudian Sektor Pertanian 9,7%, Sektor Perdagangan
3,4%, Sektor Transportasi 2,1% dan pegawai
pemerintahan 28,7%. Sedangkan sisanya bergerak
di bidang jasa-jasa lainnya. Sementara itu, penduduk
Kecamatan Tanjung Pinang Barat yang bekerja di
Sektor Pertanian sangatlah sedikit dan dianggap
sebagai usaha sambilan masyarakat. Mayoritas
penduduknya bergerak di Sektor Jasa dan Perdagangan.
Sedangkan untuk daerah Kecamatan Teluk Bintan,
tidak diperoleh rincian mengenai ketenagakerjaan.
Masalah tenaga kerja yang dihadapi bersumber dari
adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan
penawaran tenaga kerja. Penawaran atau penyediaan
tenaga kerja sering kali lebih tinggi daripada
permintaan, sehingga tenaga kerja yang dapat
disalurkan jauh lebih sedikit. Selain itu, adanya
ketidaksesuaian kualifikasi kerja sehingga tidak semua
lowongan kerja yang ada dapat terisi.
2.3 Sosial Budaya dan Fasilitasnya
Secara umum, kemajuan dan tingkat kesejahteraan
sosial suatu daerah dapat dilihat dari berbagai
indikator penting yang diturunkan dari kondisi
pendidikan, kesehatan, dan sosial lainnya.
Dari catatan BPS (2000), kondisi pendidikan di
No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Total
1 Singkep 18.354 18.068 36.422
2 Tambelan 2.044 1.914 3.958
3 Senayang 8.572 8.165 16.737
4 Bintan Timur 28.232 26.458 54.717
5 Tanjung Pinang Timur 42.748 41.506 84.254
6 Lingga 11.622 10.906 22.528
7 Bintan Utara 17.263 21.852 39.115
8 Tanjung Pinang Barat 26.888 26.258 53.146
9 Teluk Bintan 3.988 3.691 7.689
Kep. Riau 159.721 158.854 318.566
Tabel 2. J umlah penduduk menurut jenis kelamin per kecamatan
Sumber : BPS Kabupaten Kepulauan Riau, Tahun 2000
31 Transformasi Pekerja Sektor Pertambangan Secara Sektoral ... Bambang Yunianto dan Binarko Santoso
Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 1999/2000
meliputi sekolah taman kanak-kanak sebanyak 34
unit dengan jumlah guru sebanyak 120 orang, untuk
sekolah dasar (SD) terdapat 285 unit dan 2.099
orang guru. Pendidikan menengah terbagi atas dua
jenjang, yakni menengah pertama dan menengah atas.
Pada tahun 1999/2000, tercatat ada 41 unit Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan jumlah guru
sebanyak 756 orang. Untuk Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas (SLTA) terdapat 21 unit yang 13 unit di dalamnya
berstatus sekolah negeri, dan sisanya dikelola oleh
swasta. Sarana pendidikan setingkat SLTA belum
tersedia di setiap kecamatan.
Selama UBP Bauksit Kijang melakukan kegiatan
penambangan, banyak sarana dan prasarana sosial
yang telah dibangun oleh pihak perusahaan. Sarana
dan prasarana yang yang dibuat tersebut tidak hanya
untuk kepentingan perusahaan dan karyawannya,
akan tetapi manfaatnya banyak dirasakan oleh
masyarakat sekitar perusahaan/lokasi kegiatan
penambangan maupun oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Kepulauan Riau. Sarana dan prasarana
yang telah dibangun oleh pihak perusahaan tersebut
antara lain jalan di lokasi penambangan dan jalan
yang menghubungkan lokasi perusahaan dengan
daerah/lokasi lain. Dari sekian banyak sarana dan
prasarana yang telah dibuat oleh perusahaan sudah
banyak yang telah diserahkan kepada Pemerintah
Daerah. Dengan adanya prasarana jalan tersebut
telah menjadikan UBP Bauksit Kijang sebagai daerah
pertumbuhan di Pulau Bintan.
Selain prasarana jalan, prasarana lain yang telah
dibangun oleh perusahaan adalah bendungan air
untuk menyediakan kebutuhan air bagi karyawan dan
masyarakat sekitar perusahaan. Sekarang, penge-
lolaannya telah diserahkan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten Kepulauan Riau melalui PDAM.
Sedangkan sarana yang dibangun untuk kebutuhan
karyawan dan masyarakat sekitarnya adalah rumah
sakit, sekolah, sarana peribadatan, perumahan
karyawan dan sarana lainnya. Di samping sarana yang
dibangun oleh perusahaan, tumbuh juga sarana lain
yang dibangun oleh masyarakat sebagai akibat adanya
kegiatan usaha pertambangan di daerah ini, seperti
Pasar Kijang yang menjadi pemasok kebutuhan bahan
pokok bagi karyawan dan keluarganya serta
masyarakat sekitarnya.
2.4 Perekonomian
Kondisi perekonomian Kabupaten Kepulauan Riau
selama tahun 1998 dan 1999, didominasi oleh Sektor
Perdagangan-Hotel dan Restoran (25,5%-25,4%)
serta Sektor Industri Pengolahan (24,9%-26%).
Kedua sektor ini memberikan kontribusi setengah
dari total pendapatan daerah (Tabel 3).
Peranan Sektor Pertanian terlihat sangat kecil, hanya
6,8% pada tahun 1998 dan 1999, karena
penduduknya sebagian besar bermukim di daerah
perkotaan dan kurangnya minat bekerja di sektor ini.
Nilai PDRB Sektor Pertambangan dan Penggalian
sebagian besar berasal dari kontribusi UBP Bauksit
Kijang.
3. KONDISI TENAGA KERJA PERUSAHAAN
Jumlah tenaga kerja UBP Bauksit Kijang pada bulan
Maret tahun 2001 adalah 524 orang, terdiri atas
pegawai tetap 208 orang dan pegawai tidak tetap
314 orang. Pegawai tidak tetap ini terdiri atas :
pegawai percobaan 1 orang, Tenaga Harian Tetap
(THT) 19 orang, Honor Full Time (HNR. FT) 7
orang, Honor Part Time (HNR. PT) 1 orang, dan
Karyawan Penunjang Operasi (KPO) 286 orang.
Sementara itu jumlah tenaga kerja yang telah
pensiun sebesar 607 orang (Tabel 4). Dilihat dari
tingkat pendidikan, pegawai tetap paling besar
berpendidikan setingkat SD (85 orang) dan SLTA
(60 orang) dari total pegawai sebesar 208 orang.
Pegawai tidak tetap, di luar KPO, umumnya
berpendidikan setingkat SD 12 orang. Untuk KPO
Tabel 3. Distribusi PDRB Kabupaten Kepulauan
Riau atas dasar harga konstan 1993
menurut lapangan usaha (persen)
No. Lapangan usaha 1998 1999
1. Pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan 6,8 6,8
2. Pertambangan dan
penggalian 6,5 6,3
3. Industri pengolahan 24,9 26,0
4. Listrik, gas dan air bersih 1,0 1,4
5. Bangunan/konstruksi 9,1 9,1
6. Perdagangan, hotel dan
restoran 25,5 25,4
7. Pengangkutan dan
komunikasi 8,7 8,7
8. Keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan 8,0 7,8
9. Jasa-jasa 9,0 9,0
Produk Domestik Regional Bruto 100,0 100,0
Sumber : BPS Kabupaten Kepulauan Riau, Tahun 2000
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 27 40 32
dan Pensiunan tidak diketahui tingkat pendidikannya.
Secara organisatoris, jumlah tenaga kerja terbanyak
ada pada kegiatan pengapalan, penimbunan dan
pemuatan sebesar 58 orang, kemudian disusul tenaga
kerja bidang SDM dan Umum sebesar 24 orang.
Berdasarkan prediksi pada pascatambang yang telah
dilakukan oleh PT. Antam (Persero) Tbk. terhadap
jumlah pegawai di UBP Bauksit Kijang diperkirakan
berjumlah 194 orang dan KPO sebanyak 284 orang.
Komposisi pegawai UBP Bauksit Kijang tersebut
adalah; 19 orang diatas 55 tahun, 63 orang berumur
50 54 tahun, 68 orang berumur 45 49 tahun dan
44 orang dibawah umur 45 tahun. Bagi pegawai tetap
di bawah umur 50 tahun ditawarkan untuk pindah
ke unit lain, bagi pegawai tetap di atas umur 50
tahun ditawarkan untuk pensiun dini. Sedangkan
tenaga kerja KPO pada diarahkan untuk ditampung
oleh perusahaan baru pasca pengakhiran tambang.
Penyaluran tenaga kerja tersebut dijadwalkan pada
tahun 2004, dengan beberapa tahapan sesuai
keinginan dari pegawai-pegawai tersebut.
4. PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden
Dalam penelitian ini, didata tenaga kerja berjumlah
98 orang sebagai responden, dengan karakteristik
sebagai berikut. Dari sekian responden tersebut
terdapat 89,8% orang berjenis kelamin laki-laki dan
10,2% perempuan. Berdasarkan status perkawinan
ternyata 88,8% berkeluarga. Sementara itu, apabila
Status pegawai/
Pendidikan
Total
peringkat
S1 SM SLTA SLTP SD
A. Pegawai tetap:
1. I A 1 1
2. I B
3. II A 1 1 2
4. IIB
5. III A 2 2 4
6. III B 1 1 2
7. IV A 2 5 8 15
8. IV B 3 1 1 5
9. V 3 4 11 3 1 22
10. VI 28 15 10 53
11. VII 8 10 34 52
12. VIII 3 9 38 50
13. IX 2 2
JUMLAH (A) = 13 13 60 37 85 208
B. Pegawai tidak tetap
14. Pegawai percobaan 1 1
15. Tenaga harian tetap 4 5 10 19
16. Tenaga harian lepas
17. Honor FT 2 1 7
18. Honor PT 1 2 2 1
19. Karyawan penunjang operasi 286
20. Tenaga lain
JUMLAH (B) = 2 8 6 12 314
C. Pensiunan 607
JUMLAH (A+B+C) 15 13 68 43 97 921
Tabel 4. Kekuatan tenaga kerja UPB Kijang menurut pendidikan (keadaan Maret 2001)
Sumber : Laporan Kekuatan Pegawai UBP Bauksit Kijang Bulan Maret 2001
33 Transformasi Pekerja Sektor Pertambangan Secara Sektoral ... Bambang Yunianto dan Binarko Santoso
dilihat dari segi usia terdapat 28 orang (28,6%) yang
berusia dari 25-35 tahun. Sedangkan untuk usia
antara 36-45 tahun terdapat 26 orang (sekitar 26,5%),
rentang usia 46-56 tahun ada 44 orang (atau 44,9%).
Dari segi pendidikan terlihat bahwa mayoritas
karyawan yang menjadi responden adalah tamatan
SLTA (hampir 55,1%), SLTP kurang lebih 18,4%.
Di atas Akademi/Perguruan Tinggi (S1) masing-
masing adalah 16,3%. Dari segi daerah asal, ternyata
karyawan dari putra daerah (Kepulauan Riau) yang
sebesar 54,0% hampir berimbang dengan dari luar
Propinsi Riau (44,9%).
SES responden, dilihat dari segi pendapatan per bulan
pekerjaan pokoknya, ternyata rata-rata berpendapatan
di atas Rp 1.000.000,- ada sebanyak 42,9%.
Sementara mayoritas pengeluaran keluarga mereka
per bulannya adalah Rp 500.000,- 1.000.000,-
(52,0%). Sebagian besar dari responden tidak
memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah
pendapatan mereka, karena ada kebijaksanaan
perusahaan.
SPA responden dilihat dari peluang berusaha di daerah
Kijang dan sekitarnya terdapat 89,8% yang
menyatakan tergantung situasi dan kondisi. Dari jajak
pendapat ini juga diketahui bahwa bidang industri
merupakan bidang yang potensial untuk dikembangkan
lebih lanjut. Sebagian besar responden tidak
berkeberatan untuk pindah demi alasan pekerjaan
yang lebih baik.
Permasalahan yang sering muncul di dalam
masyarakat, sebagian besar responden menyatakan
berupa masalah pengangguran dan kenakalan remaja
menempati 2 peringkat utama. Dari sisi kepemimpinan,
peranan Ketua RT/RW setempat dan tokoh agama
ternyata masih cukup kuat. Hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya jawaban terhadap kedua tokoh ini,
dan juga didukung bahwa saluran komunikasi yang
sering dimanfaatkan adalah semacam rapat desa
merupakan pilihan tertinggi, di samping media massa
dan kumpulan keagamaan.
Mengenai kemajuan daerah, responden umumnya
menilai bahwa pembangunan sarana dan prasarana
pendidikan, tranportasi maupun perekonomian masih
kurang mendapat perhatian. Dari jawaban terbuka
mengenai pandangan atas keberadaan UBP Bauksit
Kijang mayoritas menjawab setuju, dengan alasan
utama mengurangi pengangguran/menyerap tenaga
kerja lokal (48 orang), alasan meningkatkan
perekonomian/kemakmuran daerah (37 orang),
menambah devisa daerah dan nasional (15 orang)
dan 2 orang menjawab isu lingkungan, yang berarti
dapat membangun kesadaran masyarakat untuk
menanggulangi masalah-masalah lingkungan.
Tanggapan mengenai masalah yang paling
mengganggu ternyata 54 orang menjawab ada
masalah dan 34 menyebutkan tidak ada masalah yang
berarti, dan 10 orang menjawab kosong. Masalah
limbah sisa operasional tambang, polusi, dan debu
merupakan 3 masalah utama menurut responden.
Masalah lain yang timbul dalam kegiatan UBP Bauksit
Kijang adalah masalah ganti tanam tumbuh dan lahan
penambangan. Berbagai masalah tersebut, menurut
sebagian besar responden, 95% sudah diselesaikan.
Dari aspirasi dan KEB ini, hampir 95,0% responden
mengakui bahwa UBP Kijang sudah membantu
pembangunan masyarakat setempat, dengan sekitar
85,0% reponden menyebutkan bahwa bantuan
tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang
dibutuhkan masyarakat pada dasarnya sudah dapat
dipenuhi/dibantu, dan bantuan tersebut dapat disebut
efektif, sebab apa yang sudah diberikan perusahaan
ini sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat setempat. Bentuk bantuan yang ideal
menurut responden adalah bantuan permodalan
untuk usaha (69 orang menjawab demikian).
Mengenai saluran mana yang terbaik untuk
menyalurkan bantuan tersebut, 59 orang menyebutkan
saluran musyawarah antara pemerintah, perusahaan
dan masyarakat.
4.2 Pola Alih Kerja
Pada bagian ini akan dikemukakan hasil pengamatan
atas potensi alih program kerja karyawan sehubungan
dengan akan adanya penutupan operasional
penambangan UBP Bauksit Kijang. Pengamatan ini
dimaksudkan untuk melihat tanggapan kesiapan tenaga
kerja untuk beralih kerja pada bidang-bidang yang
diinginkan. Untuk keperluan tersebut telah dilakukan
survai terhadap 98 orang tenaga kerja perusahaan. Di
antara jumlah tersebut diketahui bahwa 63 orang adalah
pegawai tetap (64,3%) dan 35 orang lagi merupakan
pegawai tidak tetap (35,7%). Dari data yang terkumpul,
diketahui terdapat 8 orang (8,2%) yang ingin terus
bekerja pada bidang pertambangan yang terdiri atas 6
pekerja tetap atau 6,1% dan 2 orang pegawai tidak
tetap atau 2,0% (Tabel 5).
Untuk para pegawai tetap yang berjumlah 63 orang
ini, terlihat bahwa bidang usaha alih kerja yang
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 27 40 34
paling banyak diminati adalah berwiraswasta, yakni
sebanyak 39 orang, dan bidang non-tambang (bukan
wiraswasta) ada 16 orang.
Sementara itu, untuk pegawai tidak tetap yang
berjumlah 35 orang, terlihat bahwa bidang usaha
alih kerjanya antara berwiraswasta dan non-tambang
(di luar wiraswasta) sebanding, masing-masing 15
orang dan 16 orang (Tabel 6).
Apabila dilihat dari keseluruhan pegawai, ternyata
yang memilih untuk berwiraswasta ada sebanyak 54
pegawai (55,1%), bidang non-tambang (di luar
wiraswasta) ada 32 orang (32,6%), bidang lainnya
ada 4 orang (4,1%). Sementara yang ingin tetap di
bidang tambang ada 8 pegawai (8,2%). Untuk para
pegawai yang ingin tetap bekerja pada bidang
tambang, distribusi bidang tambang yang diinginkan
adalah tetap tambang bauksit (6,1%), batu bara
(1,0%), dan minyak (1,0%).
Sementara itu, distribusi bidang kerja baru bagi
pegawai yang ingin berpindah kerja pada bidang non-
tambang (di luar wiraswasta), wiraswasta dan lainnya
Tabel 5. Potensi alih kerja dari pegawai tetap
Tenaga kerja Bidang alih kerja yang diminati
Pegawai tetap Tambang Non-tambang Wiraswasta Lainnya
Total
Perbengkelan 2 2 6 0 10
Transportasi 0 1 2 0 3
Pendidikan 0 2 3 0 5
Pertambangan 2 4 7 0 13
Pertanian 0 2 2 0 4
Perkebunan 0 0 3 0 3
Perikanan 0 0 3 0 3
Kehutanan 0 0 0 0 0
Industri 0 0 0 0 0
Perdagangan 1 1 3 0 5
Keamanan 0 0 2 0 2
Lainnya 1 4 8 2 15
Jumlah 6 16 39 2 63
Sumber: Survai lapangan di UBP Bauksit Kijang, Kabupaten Kepulauan Riau, 2001
K
e
a
h
l
i
a
n
y
a
n
g
d
i
m
i
l
i
k
i
Tabel 6. Potensi alih kerja dari pegawai tidak tetap
Tenaga kerja Bidang alih kerja yang diminati
Pegawai tetap Tambang Non-tambang Wiraswasta Lainnya
Total
Perbengkelan 0 6 1 0 7
Transportasi 1 1 1 0 3
Pendidikan 0 4 1 0 5
Pertambangan 0 1 1 1 3
Pertanian 0 0 0 0 0
Perkebunan 0 0 0 0 0
Perikanan 0 0 0 0 0
Kehutanan 0 0 0 0 0
Industri 0 1 1 0 2
Perdagangan 0 1 0 0 1
Keamanan 1 0 2 0 3
Lainnya 0 2 8 1 11
Jumlah 2 16 15 2 35
Sumber: Survai lapang di UBP Bauksit Kijang, Kabupaten Kepulauan Riau, 2001
K
e
a
h
l
i
a
n
y
a
n
g
d
i
m
i
l
i
k
i
35 Transformasi Pekerja Sektor Pertambangan Secara Sektoral ... Bambang Yunianto dan Binarko Santoso
sebagai berikut: industri (30,6%), perdagangan
21,4%, transportasi 11,2%, pariwisata 8,2%,
perikanan 7,1%, PNS/ABRI 5,1%, perkebunan 3,0%,
pertanian 2,0%, lainnya 10,2%, dan kosong (tidak
memilih) 10,2%. Dari jawaban atas bidang kerja
yang baru ini, 30,6% dari 98 orang menyatakan
bidang industri merupakan bidang yang diminati.
Hal ini adalah wajar, sebab Sektor Industri di
Kepulauan Riau memiliki pertumbuhan dan
kontribusi yang tinggi. Sedangkan bidang berikutnya
banyak dipilih adalah bidang perdagangan sekitar
21,4% juga merupakan bidang usaha yang cukup
menjanjikan di Kepulauan Riau ini.
Dari kajian pola alih kerja ini diperoleh informasi,
bahwa pola alih kerja cenderung ke arah bidang
wiraswasta (Sektor Jasa dan Perdagangan) sebesar
55,1% dan Sektor-sektor Industri (30,6%). Pergeseran
pekerja ke Sektor Jasa dan Perdagangan menunjukkan
perubahan peranan sektor ini yang memilki kontribusi
terbesar di Kabupaten Kepulauan Riau. Sementara
itu, pergeseran pekerja ke Sektor Industri lebih banyak
didasari oleh keterkaitan secara keahlian memiliki
kesamaan dengan Sektor Pertambangan.
Secara implisit diketahui pula bahwa mental para
pegawai sudah siap dalam menghadapi kemungkinan
alih kerja yang merupakan suatu implikasi dari
penutupan tambang. Hal ini ditunjang juga oleh
pernyataan sikap yang secara mayoritas bernada
positif mengenai pandangan akan masa depan
pekerjaan di sana. Sikap optimisme mengenai masa
depan pekerjaan di Kepulauan Riau ini, secara men-
tal, akan sangat membantu para pegawai dalam
menghadapi program alih kerja ini. Dari hasil jajak
pendapat, ternyata sikap optimisme dimiliki oleh
tenaga kerja UBP Bauksit Kijang, jumlah pegawai
yang menyatakan sikap optimistis ada 55 orang
(sekitar 56,0%) dan ragu-ragu berjumlah 37 orang
ini (atau sekitar 37,8%). Terlihat juga bahwa pegawai
yang merasa pesimistis hanya 6,0%. Hal tersebut
memberi gambaran bahwa dalam alih kerja tidak
akan timbul potensi konflik yang berarti, namun
dalam arti bahwa pihak-pihak yang terkait
(masyarakat, pemerintah dan perusahaan) tidak boleh
berpangku tangan begitu saja, melainkan harus ada
tindak lanjut untuk mendukung program alih kerja
ini melalui penyediaan segala seuatu hal yang
dibutuhkan untuk keperluan program alih kerja ini.
Dari hasil survai juga didapat suatu umpan balik
bahwa untuk membantu percepatan dan kelancaran
program alih kerja ini terdapat beberapa hal yang
dibutuhkan tenaga kerja UBP Bauksit Kijang menurut
prioritasnya, yakni modal dalam bentuk uang 35,7%,
pendidikan 33,7%, sarana dan prasarana 23,7%, dan
dekat tempat tinggal 12,3%. Dalam mendorong
upaya alih kerja ini ternyata hal yang paling banyak
dibutuhkan atau yang paling banyak diminati adalah
tersedianya modal, khususnya modal yang berbentuk
uang (35,7%) dan keterampilan melalui penyeleng-
garaan pendidikan dan keahlian yang relevan
(33,7%). Selain itu, para pegawai juga menyarankan
apabila terjadi konflik, maka jalur pemecahan yang
terbaiknya dapat ditempuh melalui musyawarah
antara pemerintah-pekerja dan perusahaan (82,6%),
kemudian disusul cukup melalui perusahaan
(21,43%), melalui pemerintah/intansi terkait saja
(3,1%), dan jalur lainnya (1,0%).
4.3 Pola Transformasi Pekerja Sektor
Pertambangan
4.3.1 Pengujian
Untuk mengetahui latar belakang pola transformasi
pekerja sektor pertambangan akan diuji dengan
analisis jalur. Data yang digunakan diperoleh dari
kuesioner yang disebarkan. Dalam kuesioner ini
terdapat 5 buah variabel penelitian. Nilai untuk
setiap variabel tersebut, diperoleh melalui cara
menjumlahkan jawaban responden dalam tiap butir
pada tiap variabel. Setelah diperoleh nilai untuk
setiap variabel tersebut, maka selanjutnya dilakukan
pengubahan skala dengan menggunakan metode
suksesif interval. Kelima variabel tersebut diukur
dengan menggunakan instrumen pengukuran berskala
ordinal, ukuran sampel untuk penelitian ini sebesar
98 orang. Oleh karena itu penghitungan koefisien
korelasinya menggunakan Rank Spearman.
Matrik Korelasi Rank Spearman untuk Lima Variabel
(r)
SES SPA PER KEB AKS
SES 1 -0.1053 -0.0359 -0.0550 -0.1078
SPA -0.1053 1 0.0682 0.0719 -0.0262
PER -0.0359 0.0682 1 0.1906 0.0091
KEB -0.0550 0.0719 0.1906 1 0.4249
AKS -0.1078 -0.0262 0.0091 0.4249 1
Inverse Matrik Korelasi Rank Spearman untuk Lima
Variabel (CR)
SES SPA PER KEB AKS
SES 1.0247 0.1093 0.0295 -0.0063 0.1157
SPA 0.1093 1.0235 -0.0492 -0.0912 0.0778
PER 0.0295 -0.0492 1.0481 -0.2335 0.0916
KEB -0.0063 -0.0912 -0.2335 1.2827 -0.5460
AKS 0.1157 0.0778 0.0916 -0.5460 1.2457
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 27 40 36
Rumusan konseptual dalam Gambar 2 menyatakan
bahwa diagram jalur terdiri atas 3 buah substruktur
dan melalui substruktur ini koefisien jalur dihitung.
Penghitungan koefisien jalur untuk substruktur 1
(Gambar 3) adalah:
P
PER-SES
= (CR
SES-SES
x r
PER-SES
)+ (CR
SES-SPA
x r
PER-SPA
)
= (1.0247 x -0.0359 )+( 0.1093x
0.0682)
= 0.0293
P
PER-SPA
= (CR
SPA-SES
x r
PER-SES
)+ (CR
SPA-SPA
x r
PER-
SPA
) = 0.0659
Pengaruh variabel lainnya terhadap PER (di luar SES
dan SPA) dilambangkan dengan P
PER-1
, dihitung
dengan cara
P
PER - 1
= 1-R
2
PER - SES - SPA
Di mana :
R
2
PER - SES - SPA = 0,00635
Sehingga P
PER-1
= 0,997
Setelah semua koefisien jalur pada substruktur ini
diketahui, maka langkah berikutnya adalah melihat
keberartian secara statistik nilai koefisien-koefisien
jalur tersebut melalui uji signifikansi F sebagai
berikut. Berdasarkan kerangka wacana konseptual
sebelumnya, akan dilihat apakah koefisien jalur pada
substruktur 1 ini benar-benar berarti (secara statistik)
atau tidak. Oleh karena itu dipasangkan perumusan
hipotesis sebagai berikut:
H
0
: P
PER-SES
= P
PER-SPA
= 0 (artinya koefisien jalur
tidak berarti)
H
1
: P
PER-SES
P
PER-SPA
0
Statistik uji yang digunakan adalah :
Dari Tabel Distribusi F-Snedecor diperoleh:
F
a;k;(n-k-1)
= F
0.05;2;(98-2-1)
= 3,11
Karena F < F
a;k;(n-k-1)
, maka H
0
diterima, berarti semua
koefisien jalur pada Substruktur 1 ini tidak berarti.
Atau dalam kata lain, variabel SES dan SPA tidak
memiliki pengaruh yang berarti terhadap variabel
PER.
Pada substruktur 2 (Gambar 4) tersebut, akan dilihat
bagaimana pengaruh variabel SES, SPA, dan PER
terhadap variabel KEB. Adapun penghitungan
koefisien jalur untuk substruktur 2 ini adalah sebagai
berikut:
P
KEB-SES
= (CR
SES-SES
x r
KEB-SES
)+ (CR
SES-SPA
x r
KEB-SPA
)
+(CR
KEB-PER
x r
KEB-PER
)
= (1.0247 x 0.0550)+( 0.1093x-
0.0719)+(-0.2335x0.1906) = -0.0429
P
KEB-SPA
= (CR
SPA-SES
x r
KEB-SES
)+ (CR
SPA-SPA
x r
KEB-
SPA
)+ (CR
PER-SPA
x r
KEB-PER
)
= ( 0. 1093x0. 0550) +( 1. 0235x-
0.0719)+(-0.0492x0.1906) = 0.0582
P
KEB-PER
= (CR
SPA-PER
x r
KEB-SES
)+ (CR
SPA-SES
x r
KEB-
SPA
)+ (CR
PER-PER
x r
KEB-PER
)
= 0.1946
Pengaruh variabel lainnya terhadap KEB (di luar SES,
SPA dan PER), dilambangkan dengan P
KEB-2
, yang
1 k
1 k n
F
k
k
r P
x x x x
i 0 i 0
r P
x x x x
i 0 i 0
) (
) (
1 i=
1 i=
3036 0
00635 0 1 2
00635 0 x 1 2 98
,
) . (
) . ( ) (
=
=
Gambar 2. Hubungan kausal antar variabel
yang diteliti
SES
SPA
PER
KEB
AK
1
2
3
Gambar 3. Substruktur 1
P
PER-SES
P
PER
- 1
r
SES- SPA
P
PER- SPA
SES
SPA
PER
1
37 Transformasi Pekerja Sektor Pertambangan Secara Sektoral ... Bambang Yunianto dan Binarko Santoso
Pada substruktur 3 (Gambar 5) tersebut akan dihitung
semua koefisien jalur yang memberikan pengaruh
terhadap variabel AKS. Penghitungan koefisien jalur
untuk substruktur 3 ini adalah sebagai berikut:
P
AKS-SES
= (CR
SES-SES
x r
AKS-SES
) + (CR
SES-SPA
x
r
AKS-SPA
) + (CR
SES-PER
x r
AKS-PER
) + (CR
SES-
KEB
x r
AKS-KEB
) = -0.1157
P
AKS-SPA
=(CR
SPA-SPA
x r
AKS-SPA
) + (CR
SES-SPA
x r
AKS-SES
)
+ (CR
SPA-PER
x r
AKS-PER
) + (CR
SPA-KEB
x r
AKS-
KEB
) = -0.0778
P
AKS-PER
= (CR
KEB-KEB
x r
AKS-PER
) + (CR
PER-KEB
x r
AKS-KEB
)
= -0.0876
P
AKS-KEB
= (CR
KEB-KEB
x r
AKS-PER
) + (CR
PER-KEB
x r
AKS-KEB
)
= 0.4432
1 k
1 k n
F
k
1 i
k
1 i
r P
X X X X
I 0 I 0
r P
X X X X
I 0 I 0
) (
) (
=
=
429 1
0436 0 1 3
0436 0 1 3 98
,
) , (
) , )( (
=
=
dihitung dengan cara :
P
KEB-2
= 1 - R
2
KEB-SES-SPA-PER
R
2
KEB-SES-SPA-PER
= P
KEB-SES
r
KEB-SES
+ P
KEB-SPA
r
KEB-SPA
+ P
KEB-PER
r
KEB-PER
= 0.0436
Sehingga diketahui P
KEB-2
= 0.978.
Langkah berikutnya adalah melihat keberartian secara
statistik dari nilai koefisien-koefisien jalur tersebut,
atau dengan kata lain melihat apakah variabel SES,
SPA dan PER tersebut memiliki pengaruh yang berarti
terhadap variabel KEB. Metode pengerjaannya hampir
mirip dengan pengerjaan pada substruktur 1, yakni:
H
0
: P
KEB-SES
= P
KEB-SPA
= P
KEB-PER
= 0 (artinya
koefisien jalur tidak berarti)
H
1
: Sekurang-kurangnya ada satu koefisien jalur yang
0
Statistik uji yang digunakan adalah :
Dari Tabel Distribusi F-Snedecor diperoleh:
Gambar 4. Substruktur 2
PPERSES
PKEB-SES
PKEB-PER PPER-
1
rSES-SPA
PPER-SPA
PKEB-
2
PKEB-SPA
SES
SPA
PER
1
KEB
2
Gambar 5. Substruktur 3
SES
SPA
PER
KEB
AKS
1
2
3
F
a;k;(n-k-1)
= F
0.05;3;(98-3-1)
= 3,1
Karena F < F
a;k;(n-k-1)
, maka H
0
diterima, berarti semua
koefisien jalur pada Substruktur 2 ini tidak berarti.
Atau dalam kata lain, variabel SES, SPA dan PER ini
tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap
variabel KEB.
Sedangkan pengaruh variabel lainnya terhadap AKS
(diluar SES, SPA dan PER dan KEB), dilambangkan
dengan P
AKS-3
, yang dihitung dengan cara :
P
AKS-3
= 1 - R
2
AKS-KEB-SES-SPA-PER
R
2
AKS-KEB-SES-SPA-PER
= P
AKS-SES
r
AKS-SES
+ P
AKS-SPA
r
AKS-SPA
+ P
AKS-PER
r
AKS-PER
+ P
AKS-KEB
r
AKS-KEB
= 0.2020
Diperoleh bahwa P
AKS-3
adalah sebesar 0,8933.
Langkah selanjutnya adalah menguji keberartian dari
koefisien-koefisen tersebut dengan cara seperti
sebelumnya. Digunakan pasangan hipotesis
konseptual sebagai berikut:
H
0
: P
AKS-SES
=P
AKS-SPA
=P
AKS-PER
=P
AKS-KEB
=0 (koefisien
jalur tidak berarti)
H
1
: Sekurang-kurangnya ada satu koefisien jalur yang
0
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 27 40 38
Statistik uji yang digunakan adalah :
Dari Tabel Distribusi F-Snedecor diperoleh:
F
a;k;(n-k-1)
= F
0.05;3;(98-3-1)
= 3,1
Karena F > F
a;k;(n-k-1)
, maka H
0
ditolak, artinya semua
koefisien jalur pada Substruktur 3 ini tidak sama
dengan nol. Atau dalam kata lain, ada beberapa
variabel dari SES, SPA, PER dan KEB ini memiliki
pengaruh yang berarti terhadap variabel AKS.
Karena hasil uji keberartian koefisien jalur pada
substruktur 3 ini menunjukkan hasil yang signifikan,
maka selanjutnya adalah mencari koefisien jalur
mana yang sebenarnya tidak sama dengan nol.
Langkah yang disarankan adalah dengan melakukan
uji individu terhadap semua koefisien jalur pada
substruktur 3 ini, dengan cara sebagai berikut:
Pengujian koefisien jalur SES ke AKS atau P
AKS-SES
Digunakan pasangan hipotesis sebagai berikut:
H
0
: P
AKS-SES
= 0 (artinya koefisien jalur tidak berarti)
H
1
: P
AKS-SES
0 (artinya koefisien jalur berarti)
Statistik uji yang digunakan adalah :
Kemudian nilai t tersebut dibandingkan dengan tabel
t untuk t
(1-);93
, yang diperoleh untuk t
(1-0.05);93
=1,989. Aturan keputusan : terima H
0
jika t-hitung
berada dalam interval 1,989 <t-hitung< 1,989.
Karena t-hitung berada dalam interval 1,989 <t-
hitung< 1,989 maka H
0
diterima. Atau dengan kata
lain koefisien jalur P
AKS-SES
bernilai nol atau tidak
berarti.
Pengujian koefisien jalur SPA ke AKS atau P
AKS-SPA
Digunakan pasangan hipotesis sebagai berikut:
H
0
: P
AKS-SPA
= 0 (artinya koefisien jalur tidak berarti)
H
1
: P
AKS-SPA
= 0 (artinya koefisien jalur berarti)
Statistik uji yang digunakan adalah :
Kemudian nilai t tersebut dibandingkan dengan tabel
t untuk t
(1-);93
, yang diperoleh untuk t
(1-0.05);93
=
1,989. Dengan aturan keputusan : terima H
0
jika t-
hitung berada dalam interval 1,989 <t-hitung<
1,989. Karena t-hitung berada dalam interval 1,989
<t-hitung< 1,989 maka H
0
diterima. Atau dengan
kata lain koefisien jalur P
AKS-SPA
bernilai nol atau
tidak berarti.
Pengujian koefisien jalur PER ke AKS atau P
AKS-PER
Digunakan pasangan hipotesis sebagai berikut:
H
0
: P
AKS-PER
=0 (artinya koefisien jalur tidak
berarti)
H
1
: P
AKS-PER
= 0 (artinya koefisien jalur berarti)
Statistik uji yang digunakan adalah :
Dari hasil perbandingan dengan tabel t untuk t
(1-);93,
maka t-hitung berada dalam interval 1,989 <t-
hitung< 1,989 sehingga H
0
diterima. Atau dengan
kata lain koefisien jalur P
AKS-PER
bernilai nol atau tidak
berarti.
Pengujian koefisien jalur KEB ke AKS atau P
AKS-KEB
Digunakan pasangan hipotesis sebagai berikut :
H
0
: P
AKS-KEB
=0 (artinya koefisien jalur tidak
berarti)
H
1
: P
AKS-KEB
= 0 (artinya koefisien jalur berarti)
77 11
2020 0 1 4
2020 0 1 4 98
r P 1 k
r P 1 k n
F
k
1 i
x x x x
k
1 i
x x x x
i 0 i 0
i 0 i 0
,
) . (
) . )( (
) (
) (
=
=
=
=
=
1 k n
CR R 1
P
t
SES SES
2
KEB PER SPA SES AKS
SES AKS
1
) (
) )( (
1055 1
1 4 98
0247 1 2020 0 1
1157 0
.
) (
) . )( . (
.
=
=
1 k n
CR R 1
P
t
SPA SPA
2
KEB PER SPA SES AKS
SPA AKS
2
) (
) )( (
7436 0
1 4 98
0235 1 2020 0 1
0778 0
.
) (
) . )( . (
.
=
=
1 k n
CR R 1
P
t
PER PER
2
KEB PER SPA SES AKS
PER AKS
3
) (
) )(
(
9236 0
1 4 98
0481 1 2020 0 1
0876 0
.
) (
) . )( . (
.
=
=
39 Transformasi Pekerja Sektor Pertambangan Secara Sektoral ... Bambang Yunianto dan Binarko Santoso
Statistik uji yang digunakan adalah :
Dari hasil perbandingan dengan tabel t untuk t
(1-a);93,
maka t-hitung berada diluar interval 1,989 <t-
hitung< 1,989 sehingga H
0
ditolak. Atau dengan
kata lain koefisien jalur P
AKS-KEB
bernilai tidak nol
atau berarti.
4.3.2 Analisis
Wacana konseptual yang diajukan pada penelitian
ini tidak seluruhnya dapat dibuktikan. Namun
setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
yakni:
a) Variabel SES dan variabel SPA memiliki
hubungan korelasi sebesar 0,1053, namun
tidak signifikan. Artinya tidak terdapat bukti
yang cukup adanya hubungan korelasional
antara keduanya.
b) SES dan SPA tidak memiliki hubungan pengaruh
yang signifikan terhadap PER, baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
c) Variabel SES, SPA dan PER tidak memiliki
pengaruh yang berarti terhadap KEB, baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
d) Variabel SES, SPA, dan PER tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap AKS baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
kecuali variabel KEB sendiri dengan besar
pengaruh yang sebesar 19,6%.
Dari hasil analisis pada substruktur 1 dan substruktur
2 di atas diketahui tidak ada koefisien jalur yang
signifikan secara statistik. Atau dengan kata umum,
dapat dikatakan bahwa pada penelitian pola
transformasi tenaga kerja sektor pertambangan pada
masa memasuki pascatambang ini tidak terdapat
bukti yang cukup dilatarbelakangi oleh variabel SES,
SPA dan PER, karena tidak ada hubungan pengaruh
yang signifikan dari SES, SPA, dan PER terhadap AKS.
Selain itu, juga tidak terdapat bukti yang memadai
(secara statistik) bahwa PER dipengaruhi oleh SES,
SPA dan KEB. Sementara itu, KEB tidak dipengaruhi
oleh SES, SPA dan PER. Kedua hal ini dapat
ditunjukkan dengan adanya pengaruh residu masing-
masing yang sangat besar, yakni masing-masing untuk
PER adalah sebesar 99,4% dan untuk KEB adalah
sebesar 95,6%. Dalam kasus ini, ternyata faktor
kewilayahan tidak memiliki pengaruh terhadap
kondisi sosial ekonomi pekerja. Begitu pula, faktor
kewilayahan, sosial ekonomi, dan persepsi pekerja
tidak memiliki pengaruh terhadap kebutuhan alih
kerja para pekerja UBP Bauksit Kijang. Dalam proses
transformasi sektoral, mereka justru hanya
mengandalkan berbagai macam kebutuhan yang
diperlukan dalam proses alih kerja tersebut.
Dari hasil pengujian, hanya variabel KEB saja yang
memiliki cukup bukti dalam mempengaruhi AKS.
Besar pengaruhnya secara langsung adalah sebesar
19,64%. Ini menjelaskan bahwa pergeseran pekerja
UBP Bauksit Kijang ke Sektor Pertambangan lainnya
(bukan bauksit) dan sektor non-tambang hanya
dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan yang
diperlukan pada saat pascatambang, seperti: modal,
pendidikan, peralatan dan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa keahlian di sektor pertambangan
masih belum menjadi jaminan para pekerja UBP
Bauksit Kijang dalam pola alih kerjanya ke sektor
non-tambang, atau masih membutuhkan tambahan
pendidikan keahlian dan peralatan. Sementara itu,
faktor-faktor sosial ekonomi, sosial spasial dan
persepsi mereka tidak memiliki pengaruh sama sekali.
Masalah ini muncul karena dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor, antara lain: banyak pekerja yang akan
kembali ke daerah asalnya (di luar Pulau Bintan),
penghasilan sektor non-tambang kurang menjanjikan,
kecenderungan alih kerja ke Sektor Jasa dan
Perdagangan yang tidak didukung faktor wilayah
(spasial) dan lainnya.
5. KESIMPULAN
Dari hasil kajian diperoleh hasil pola alih kerja dan
latar belakang proses transformasi pekerja UBP
Bauksit Kijang pada masa memasuki pascatambang.
1) Pola alih kerja cenderung ke arah bidang
wiraswasta (Sektor Jasa dan Perdagangan) sebesar
55,1% dan Sektor Sektor Industri (30,6%).
2) Pergeseran pekerja ke Sektor Jasa dan Perdagangan
menunjukkan perubahan peranan sektor ini yang
memiliki kontribusi terbesar di Kabupaten
Kepulauan Riau.
1 k n
CR R 1
P
t
KEB KEB
2
KEB PER SPA SES AKS
KEB AKS
4
) (
) )( (
786 3
1 4 98
2827 1 2020 0 1
4432 0
.
) (
) . )( . (
.
=
=
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 27 40 40
3) Pergeseran pekerja ke Sektor Industri lebih banyak
didasari oleh keterkaitan secara keahlian
memiliki kesamaan dengan Sektor Pertambangan.
4) Latar belakang proses transformasi pekerja UBP
Bauksit Kijang tidak dipengaruhi oleh faktor -
faktor sosial ekonomi, sosial spasial dan persepsi
terhadap sektor non-tambang. Faktor - faktor yang
berpengaruh adalah : modal kerja, pendidikan,
peralatan dan faktor lain untuk dapat siap kerja
di luar tambang bauksit.
Sementara itu, latar belakang proses transformasi
pekerja UBP bauksit Kijang tidak dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosial ekonomi, sosial spasial dan
persepsi mereka terhadap sektor non-tambang. Justru,
dalam proses transformasi sektoral tersebut hanya
dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan yang
diperlukan pada saat pascatambang, seperti: modal,
pendidikan, peralatan dan lainnya. Faktor wilayah
(sumber daya alam), sosial ekonomi dan persepsi
pekerja terhadap sektor non-tambang bagi tenaga
kerja UBP Bauksit Kijang tidak menjadi penentu
dalam menyelesaikan pola alih kerja dan proses
transformasi pekerja secara sektoral. Tetapi mereka
masih memerlukan berbagai kebutuhan dalam alih
kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa keahlian di
sektor pertambangan masih belum menjadi jaminan
bagi para pekerja UBP Bauksit Kijang dalam pola
alih kerjanya ke sektor non-tambang, masih
membutuhkan pendidikan keahlian dan peralatan.
Masalah ini muncul karena beberapa faktor, antara
lain: banyak pekerja yang akan kembali ke daerah
asalnya (di luar Pulau Bintan), secara sosial ekonomi
mereka termasuk di atas rata-rata penduduk
Kabupaten Kepulauan Riau, sementara itu
penghasilan sektor non-tambang kurang menjanjikan,
kecenderungan alih kerja ke Sektor Jasa dan
Perdagangan merupakan sektor unggulan yang tidak
didukung faktor wilayah (sumber daya alam) dan
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Riau
2000, Kabupaten Kepulauan Riau dalam Angka
1999, Tanjung Pinang.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Riau
2000, Monografi Kecamatan di Kabupaten
Kepulauan Riau Tahun 2000, Tanjung Pinang.
Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau dan Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Universitas Riau
1999, Rencana Pembangunan Lima Tahun
1999/2000-2003/2004 Kabupaten Dati II
Kepulauan Riau. Tanjung Pinang.
Hair, J.F. 1992, Multivariate Data Analysis. Max-
well Mac Millan.
PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk. dan PT. Bita Bina
Semesta 2000, Studi Persiapan Pemanfaatan
Aset-aset PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk. di
Pulau Bintan, Jakarta.
Purnama, D. dkk. 2000, Menanam Harapan di Bumi
Riau, Badan Koordinasi Penanaman Modal
Daerah, Pekanbaru.
Rachbini, Didik J. 1989, Dilema Transformasi
Ketenagakerjaan, Prisma No. 5 Tahun XVIII,
1989, LP3ES, Jakarta.
Sigit, Hananto 1989, Transformasi Tenaga Kerja di
Indonesia Selama Pelita, Prisma No. 5 Tahun
XVIII, 1989, LP3ES, Jakarta.
UBP Bauksit Kijang PT. Aneka Tambang (Persero)
Tbk. 2001, Program Penutupan dan
Pascatambang UBP Bauksit Kijang, Bahan
Presentasi pada DPRD dan Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Riau. Kijang.
41 Analisis Jalur Transportasi Batu bara untuk Industri Tekstil ... Triswan Suseno
ANALISIS JALUR TRANSPORTASI BATU BARA UNTUK
INDUSTRI TEKSTIL DI KOTA/KABUPATEN BANDUNG
TRISWAN SUSENO
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211, Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373
e-mail: triswan@tekmira.esdm.go.id
SARI
Meningkatnya kepadatan lalu lintas jalur Cirebon-Sumedang-Bandung dan longsor adalah kendala yang dapat
menghambat pengiriman batu bara dari pemasok (Cirebon) ke penggunanya (industri tekstil) di Bandung.
Dalam upaya menjamin kelancaran pemasokan-kebutuhan batu bara dari Cirebon ke Bandung, telah dilakukan
pengkajian terhadap 5 jalur alternatif transportasi batu bara untuk dikaji kelayakannya baik dari segi fisik jalan
maupun biaya pengiriman. Berdasarkan hasil kajian tersebut, ternyata dari 5 jalur alternatif hanya 3 jalur yang
layak digunakan untuk mengirim batu bara ke industri tekstil di Bandung, yaitu jalur Cirebon-Cikampek-
Bandung dengan biaya Rp. 55.000,00 per ton-km, jalur Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong dengan
biaya Rp. 81.000,00 per ton-km dan jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung dengan biaya Rp. 40.000,00
per ton-km.
ABSTRACT
A lot of textile industries in the Bandung area have been using coal to substitute fuel oil for their burners. The
coal is supplied by suppliers located at Cirebon which transport the coal by the dump trucks from their
stockyards at Cirebon to the textiles stockyards in Bandung area. Until now, the coal transportation passes the
conventional line of Cirebon-Sumedang-Bandung, but this line is very crowded and threatened with landslides
at two points, Cadas Pangeran and Nyalindung. To maintain sustainable coal supply, a study on five
alternatives of coal transportation lines has been done to decide the most feasible line. Based on this study,
besides the conventional line there are three feasible alternative lines that could be suggested : Cirebon-
Cikampek-Bandung line with cost of Rp 55,000.- per ton-km, Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong-
Bandung line with cost of Rp 81,000.- per ton-km, and Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung line with cost
of Rp 40,000.- per ton-km.
Keywords : coal transportation, conventional line, alternative line
1. PENDAHULUAN
Di wilayah Bandung terdapat lebih dari 300
perusahaan tekstil yang tersebar di dua wilayah, yaitu
di Kota dan Kabupaten Bandung. Di Kabupaten
Bandung industri tekstil terkonsentrasi di tiga
wilayah, yaitu wilayah timur (sepanjang Jalan
CileunyiCicalengka), Leuwigajah dan wilayah
tengah (sepanjang Jalan Mohammad Toha
DayeuhkolotMajalaya), dan wilayah barat (sekitar
Nanjung dan Padalarang). Untuk wilayah Kota
Bandung penyebaran industri tekstil berbeda dengan
penyebaran dengan Kabupaten Bandung. Di Kota
Bandung, penyebarannya cenderung tidak
terkonsentrasi dalam satu sentra.
Sebagian besar bahan bakar yang digunakan untuk
boiler industri tekstil adalah bahan bakar minyak
(solar atau residu) dan hanya sebagian kecil
perusahaan yang sudah menggunakan batu bara
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 41 - 47 42
sebagai bahan bakar pada boiler. Berdasarkan data
yang diperoleh dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia
(API) Bandung, pada tahun 2003 di wilayah Bandung
tercatat ada sebanyak 18 perusahaan yang telah
menggunakan batu bara dengan kebutuhan sebesar
274.163 ton. Hingga tahun 2004, bertambah
sebanyak 20 perusahaan tekstil yang menggunakan
batu bara sebagai bahan bakar untuk boilernya.
Pemakaian batu bara hingga bulan Juni tahun 2004
tercatat sebesar 245.364 ton (Asosiasi Pertekstilan
Indonesia, 2004). Tercatat 7 perusahaan yang pal-
ing banyak menggunakan batu bara yaitu PT.
Kahatex, PT. Panasia Filamen Inti, PT. Ayoe Taihotex,
PT. Bintang Agung, PT. Central Georgete Nusantara,
Dewasuteratex dan PT. Trisulatex (Dinas Tenaga
Kerja Kota dan Kabupaten Bandung, 2004).
Untuk saat ini, pemasokan batu bara ke beberapa
industri tekstil masih tampak lancar. Akan tetapi,
apabila seluruh perusahaan tekstil di Kota/Kabupaten
Bandung telah menggunakan batu bara, maka
kelancaran pemasokan batu bara harus tetap terjaga
ketersediaannya. Selain jaminan pemasokan batu
bara, sarana transportasi seperti jalan dan kendaraan
sangat mempengaruhi kelancaran pengiriman batu
bara di masa mendatang sehingga penanggulangan
sarana transportasi harus dilakukan sejak dini. Oleh
karena itu, penulis akan mencoba melakukan
pengkajian/simulasi terhadap berbagai kemungkinan
jalur transportasi pengiriman batu bara dari lokasi
pemasokan (Cirebon) ke lokasi pemakai (industri
tekstil) di Kota dan Kabupaten Bandung. Model ini
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pemerintah
daerah dalam mengurangi tingkat kepadatan lalu
lintas akibat bertambahnya kebutuhan batu bara
untuk industri tekstil di daerah ini.
2. DATA DAN MODEL ANALISIS
Untuk mengetahui jalur transportasi yang akan
menjadi alternatif pengiriman batu bara dari Cirebon
ke Bandung, penulis menelusuri 5 jalur transportasi
yang mungkin dapat dilalui. Data/informasi yang
berkaitan dengan perusahaan pemasok di Cirebon dan
keberadaan perusahaan tekstil di Bandung diperoleh
dengan cara melalukan penelitian (survai) ke lokasi
tersebut. Data sekunder diperoleh dari Dinas Tenaga
Kerja Kota/Kabupaten Bandung, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan dan Asosiasi Pertekstilan Indone-
sia Propinsi Jawa Barat. Model yang digunakan untuk
menganalisis jalur alternatif adalah Model Jaringan
(Gaspersz, 1990).
3. PEMASOKAN-KEBUTUHAN BATU
BARA CIREBON-BANDUNG
3.1 Pemasok Batu Bara
Pemasokan batu bara dimulai dari produsen batu
bara yang mengoperasikan tambangnya di lokasi-
lokasi penambangan di Kalimantan Selatan, seperti
PT. Arutmin, PT. Adaro dan Koperasi Unit Desa, di
Kalimantan Selatan dengan kualitas yang diterima
di lokasi pemakai berkisar antara 5400-6600 kkal/kg
(Sudarto, 2004). Melalui kontrak pembelian yang
telah disetujui sebelumnya, batu bara hasil
penambangan ini dikirim ke lokasi yang telah
ditentukan oleh para pembeli. Untuk pembeli yang
berlokasi di Cirebon maka tujuan pengirimannya
adalah pelabuhan Cirebon.
Batu bara yang dihasilkan dari tambang, diangkut
dengan truk ataupun ban berjalan (belt coveyor)
menuju terminal batu bara di pelabuhan. Di termi-
nal tersebut batu bara akan ditimbun sementara
untuk menunggu dikirim ke lokasi pembeli. Pada
saat akan dikirim ke lokasi pembeli, batu bara
tersebut dimuat ke atas tongkang untuk diangkut
menuju pelabuhan Cirebon. Tongkang yang
digunakan mempunyai kapasitas angkut yang
bervariasi antara 5000 MT - 8000 MT. Setelah
tongkang tersebut bersandar di dermaga pelabuhan
Cirebon, muatan batu bara dibongkar dan diangkut
menuju stockyard yang dimiliki oleh para pembeli.
Secara keseluruhan jumlah batu bara yang diterima
oleh pelabuhan Cirebon mencapai 150.000 ton per
bulan.
Pengiriman dengan tongkang biasanya dilakukan
dengan menggunakan jasa perusahaan angkutan laut
yang dibiayai oleh pembeli. Hal ini dilakukan karena
perusahaan tambang biasanya hanya menyediakan
layanan pemuatan ke atas tongkang saja (Free on
Board). Demikian pula pembongkaran muatan batu
bara dari atas tongkang dan pengangkutannya menuju
stockyard dibiayai oleh pembeli.
Setelah batu bara tersebut berada di stockyard, baru
kemudian didistribusikan ke para konsumen, yaitu
industri-industri tekstil di wilayah Jawa Barat dan
wilayah lainnya.
Untuk industri tekstil di wilayah Jawa Barat, pasokan
batu bara dilakukan oleh pembeli yang berlokasi di
Cirebon. Sebagian pembeli juga bertindak/merangkap
sebagai pemasok (supplier) bagi pabrik-pabrik tekstil
43 Analisis Jalur Transportasi Batu bara untuk Industri Tekstil ... Triswan Suseno
di wilayah Bandung, Cimahi, Purwakarta, dan
wilayah Jawa Tengah. Oleh karena itu, pemasok
tersebut membangun lokasi penyimpanan (stockyard)
yang berlokasi tidak jauh dari pelabuhan, yaitu di
tepi jalan raya Losari dengan kapasitas yang bervariasi
antara 3.0005.000 ton. Di samping itu, lokasi
tersebut berdekatan dengan gerbang tol Kanci
sehingga mempermudah pengiriman batu bara ke
luar daerah. Di lokasi ini, tercatat 8 buah pemasok
berada di sebelah timur tol Kanci dan 2 buah
pemasok di sebelah baratnya. Di samping itu,
terdapat 4 buah pemasok lain yang memilih stock-
yard yang berlokasi di pelabuhan Cirebon. Nama
dan lokasi para pemasoknya tertera pada Tabel 1.
Sebagian besar perusahaan tekstil membeli batu bara
secara langsung ke agen-agen penyedia batu bara di
wilayah Cirebon, harganya berkisar antara
Rp.300.000 Rp.400.000 per ton sampai di tempat
tujuan.
Secara keseluruhan jumlah stockyard di Cirebon
mencapai 14 buah dengan kapasitas setiap stockyard
berkisar antara 3000-5000 ton. Kalau kapasitas rata-
ratanya adalah 4000 ton, maka jumlah kapasitas
stockyard Cirebon akan mencapai 46.000 ton. Di
sisi lain, konsumsi batu bara oleh pabrik tekstil rata-
rata mencapai 1.372 ton per hari atau 41.160 ton
per bulan. Angka ini lebih rendah dari konsumsi batu
bara oleh pabrik tekstil di wilayah Bandung yang
tercatat di Pelabuhan Cirebon, yaitu 45.000 ton per
bulan. Selisih yang terjadi sebagai akibat dari adanya
penimbunan batu bara di beberapa pabrik tekstil
sebagai cadangan pada musim hujan. Namun
demikian selain pabrik tekstil juga terdapat konsumen
lain, di antaranya adalah : pabrik semen, pabrik kertas,
pabrik ban, dan industri peleburan baja. Besar
konsumsi tiap pabrik tersebut tertera pada Tabel 2.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh stockyard
batu bara adalah kebisingan dan debu di lokasi
Tabel 1. Pemasok batu bara dan lokasi Stock Yard
No Nama pemasok Lokasi
1 Ad Coal Sebelah timur tol Kanci
2 Dharma Jaya Putra Sebelah timur tol Kanci
3 Berdikari Inti Mandiri Sebelah timur tol Kanci
4 Puskopad Sebelah timur tol Kanci
5 Berkala Sebelah timur tol Kanci
6 Dharma Jaya Putra Sebelah timur tol Kanci
7 Bandung Ekspres Lestari Sebelah barat tol Kanci
8 Terminal Batu bara Indah (TBI) Pelabuhan Cirebon
9 Berdiri Inti Mandiri (BIM) Pelabuhan Cirebon
10 Budi Usaha Makmur (BUM) Pelabuhan Cirebon
11 Sentral Batu bara Jawa Pelabuhan Cirebon
Sumber : Berdasarkan hasil survai
Tabel 2. Distribusi batu bara dari Stock Yard Cirebon
No Konsumen Jumlah (ton/bln)
1 Pabrik Tekstil Bandung dan sekitarnya 45.000
2 Pabrik Tekstil Batang, Pekalongan 6.000
3 Pabrik Semen Palimanan 50.000
4 Pabrik Semen Cibinong dan Cilacap 30.000
5 Pabrik lain-lain (ban, kertas, peleburan, dll) 19.000
Jumlah 150.000
Sumber : Sudarto, PT. Terminal Batu bara Indah, 2004, Cirebon
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 41 - 47 44
bersangkutan dan sekitarnya. Kebisingan berasal dari
deru mesin-mesin alat berat seperti buldoser, loader,
dan backhoe yang sedang bekerja mengumpulkan dan
memuat batu bara. Di samping itu, kebisingan juga
berasal dari deru mesin-mesin truk pengangkut batu
bara yang kesemuanya bermesin diesel dengan
kapasitas di atas 20 ton.
Debu batu bara berasal dari butiran batu bara
berukuran halus, 60 100 mesh. Selain berukuran
halus, debu ini juga ringan sehingga sangat mudah
terbawa angin. Untuk mengurangi debu yang
beterbangan, maka dilakukan penyemprotan air pada
stockpile maupun halaman stockyard pada periode
tertentu. Upaya lain adalah memasang dinding yang
tinggi sekitar 3-4 meter di sekeliling stockyard untuk
mengurangi terpaan angin yang bertiup kencang.
Penyemprotan air selain bermanfaat bagi
pengurangan debu yang berterbangan juga berguna
untuk menurunkan suhu stockpile. Intensitas
pemanasan yang berlebihan yang bersumber dari terik
sinar matahari dapat berakibat meningkatnya suhu
stockpile, sehingga beresiko terjadi swa bakar (self
combustion) pada stockpile tersebut. Swabakar
tersebut adalah reaksi oksidasi yang berlangsung
secara alami pada batu bara, biasanya untuk batu
bara peringkat rendah, sehingga batu bara tersebut
menjadi terbakar.
3.2 Pemakai Batu bara
Selama ini, pabrik tekstil yang mengoperasikan boiler
di wilayah Bandung memiliki cadangan batu bara
untuk operasi selama 4 8 hari, terutama pada
musim hujan. Meskipun boiler tekstil di wilayah
Bandung dan sekitarnya mengkonsumsi batu bara
sebesar 41.160 ton per bulan (Dinas Tenaga Kerja
Kota Bandung, 2004), belum ada pemasok yang
membangun stockyardnya di Bandung. Dengan
demikian, seluruh boiler di wilayah ini sangat
bergantung pada pasokan batu bara dari para pemasok
di Cirebon. Apabila terjadi gangguan terhadap
pasokan tersebut sehingga pasokannya terhenti
selama 8 hari atau lebih, maka operasi semua boiler
batu bara tersebut akan terancam berhenti.
Pasokan dari tambang sering mengalami
keterlambatan pada musim hujan antara bulan
Oktober sampai Januari, terutama tambang berskala
kecil yang dikelola oleh koperasi setempat. Gangguan
hujan tersebut berpengaruh langsung terhadap tingkat
produksi batu bara, baik dalam operasi penggalian
maupun pengangkutannya di daerah tambang.
Kemungkinan lainnya adalah terjadinya gangguan
pada jalur pengangkutan batu bara dari tambang ke
pembeli di Cirebon, ke pemasok, hingga ke
konsumen. Gelombang laut yang besar pada musim
hujan, merupakan penghambat perjalanan tongkang
batu bara menuju Cirebon. Di samping itu, gangguan
keamanan yang pernah terjadi di lokasi stockyard
Cirebon sebagai akibat dari konflik/benturan
kepentingan dengan masyarakat setempat serta
semakin padatnya jalur lalulintas Cirebon-Bandung
merupakan faktor tambahan bagi keterlambatan
pasokan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi resiko
gangguan pasokan dapat dilakukan melalui
peningkatan cadangan dan pembangunan stockyard
di wilayah Bandung dan sekitarnya. Stockyard
tersebut harus mampu memasok semua konsumennya
di wilayah Bandung dan sekitarnya. Keterlambatan
pasokan dari lokasi tambang ke pelabuhan Cirebon
pada musim hujan sekitar 2 minggu. Dengan
demikian, cadangan di stockyard Bandung harus
mampu menopang operasi boiler minimal selama 2
minggu. Jumlah minimal cadangan batu bara di
stockyard tersebut adalah 14 x 1372 ton = 19.208
ton.
Pada umumnya industri tekstil yang telah
memanfaatkan batu bara tidak terlepas dari
kekhawatiran mengenai pemasokan batu bara dan
masalah lingkungan. Berkaitan dengan masalah
lingkungan adalah abu dasar (bottom ash) dari hasil
pembakaran batu bara. Perusahaan mengalami
kesulitan untuk membuang abu batu bara tersebut
mengingat tidak tersedianya lokasi-lokasi tempat
pembuangan.
Jika di masa mendatang semua industri tekstil di
Bandung menggunakan batu bara, maka bukan tidak
mungkin akan menimbulkan permasalahan dalam
pemasokan batu bara dan juga transportasinya.
4. PENGANGKUTAN BATU BARA
Dalam pengangkutan batu bara dari tambang sampai
ke konsumen diterapkan moda transportasi yang
beragam, yaitu transportasi darat dan laut. Berikut
adalah moda transportasi yang sedang diterapkan
untuk memasok batu bara dari tambang di Kalimantan
Selatan sampai di stockyard pabrik tekstil di
Bandung.
Dalam bagian ini akan dibahas pengangkutan batu
bara dari stockyard Cirebon sampai stockyard di
Bandung, sesuai dengan ruang lingkup kajian. Moda
45 Analisis Jalur Transportasi Batu bara untuk Industri Tekstil ... Triswan Suseno
transportasi seperti tertera pada Tabel 3 adalah moda
transportasi yang sedang dan telah diterapkan pada
saat ini. Dengan moda tersebut, jalur transportasi
dari Cirebon menuju Bandung dilakukan dengan truk
melalui jalan raya. Kepadatan lalu lintas sepanjang
jalan raya menyebabkan truk pengangkut batu bara
memerlukan waktu sekitar 6 jam untuk menempuh
jalur Cirebon-Sumedang-Bandung.
Jarak tempuh truk adalah 128 km sehingga kecepatan
rata-ratanya adalah 21,3 km/jam. Dalam transportasi
ini, gangguan yang sering terjadi adalah terjadinya
kemacetan lalu lintas dan tanah longsor. Kepadatan
lalu lintas pada jalur tersebut cenderung terus
meningkat seiring meningkatnya kegiatan ekonomi
di wilayah Bandung-Cirebon dan sekitarnya. Oleh
karena itu, kecepatan pengangkutan rata-rata terancam
menurun dari 21,3 km/jam pada tahun-tahun
mendatang. Jalur Cirebon Bandung menelusuri
pinggang pebukitan, sehingga jalan yang dibangun
sempit dan berkelok-kelok. Kondisi morfologis yang
demikian sangat menyulitkan pemerintah setempat
untuk meningkatkan dan melebarkan jalan raya yang
ada. Di samping itu, lereng pebukitan yang curam
dan tersusun oleh material lepas sangat rawan
longsor. Daerah Nyalindung (Kecamatan Paseh) dan
Cadas Pangeran (Kecamatan Rancakalong) di
Sumedang merupakan titik-titik rawan longsor,
terutama pada musim hujan. Titik tersebut merupakan
potensi gangguan terhadap pasokan batu bara ke
Bandung dan sekitarnya. Pada saat terjadi longsor di
titik-titik tersebut, maka jalur transportasi ke dua arah
tertutup sehingga menghambat pasokan sampai jalur
normal kembali.
5. ANALISIS JALUR ALTERNATIF
TRANSPORTASI BATU BARA
Dengan semakin padatnya jalur transportasi Cirebon,
Sumedang, Bandung menyebabkan truk pengangkut
batu bara mengalami kesulitan dalam pengirimannya.
Oleh karena itu, dicari beberapa jalur alternatif untuk
menentukan jalur yang paling sesuai untuk dilalui :
1) Jalur Cirebon-Sumedang-Jalan Cagak-Bandung
Panjang jalur ini 156 km melalui daerah pegunungan
sehingga jalan yang dilalui berkelok-kelok, penuh
tanjakan dan turunan. Meskipun demikian, jalur dari
Cirebon sampai Jalan Cagak dapat dilalui oleh truk
tronton pengangkut batu bara dengan mudah. Masalah
terbesar adalah jalur Jalan Cagak sampai Bandung,
karena jalur ini harus melalui tanjakan Emen, yaitu
tanjakan terpanjang dan tertinggi yang membentang
dari Ciater sampai simpang tiga ke arah Tangkuban
Perahu. Truk tronton dengan muatan penuh 25 ton
batu bara tidak akan mampu melalui tanjakan ini.
Oleh karena itu, jalur alternatif ini tidak dapat dipilih
untuk menggantikan jalur yang telah ada.
2) Jalur Cirebon-Indramayu-Pamanukan-Subang-
Bandung
Panjang jalur ini 207 km, jauh lebih panjang dari
jalur alternatif sebelumya. Jalur dari Cirebon
IndramayuPamanukan merupakan bagian dari jalur
pantura, sehingga jalannya relatif datar dan luas.
Demikian pula jalur dari PamanukanSubang relatif
datar sehingga tronton dengan mudah melaluinya.
Namun karena jalur yang tersisa yaitu Subang
Bandung harus melalui tanjakan Emen, maka tronton
bermuatan penuh batu bara tidak akan mampu
melewatinya. Dengan demikian, jalur alternatif ini
tidak layak untuk dipilih untuk menggantikan jalur
yang telah ada.
3) Jalur Cirebon-Cikampek-Bandung
Jalur ini jauh lebih panjang dari jalur yang telah
ada, yaitu 231 km. Pada jalur ini pengangkutan batu
bara tidak menggunakan truk tronton, namun
menggunakan kereta api. Alternatif ini dimunculkan,
karena selama ini telah tersedia jaringan rel kereta
api antara CirebonCikampekBandung. Bila jalur
ini dapat digunakan, maka pengangkutan batu bara
akan menjadi lebih mudah. Pengangkutan batu bara
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: batu
bara dari tongkang dibongkar ke atas truk, selanjutnya
Tabel 3. Moda transportasi pemasokan batu bara
Jalur transportasi Moda transportasi Keterangan
1. Tambang - Pelabuhan Tambang Darat, truk, belt conveyor -
2. Pelabuhan Tambang Pelabuhan Cirebon Laut, kapal/tongkang -
3. Pelabuhan Cirebon - Stockyard Cirebon Darat, jalan raya, truk Stockyard pelabuhan dan losari
4. Stockyard Cirebon - Stockyard Bandung Darat, jalan raya, truk 128 km lewat Sumedang
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Nomor 36, Tahun14, Januari 2006 : 41 - 47 46
truk bergerak menuju stasiun kereta api di pelabuhan.
Batu bara dari atas truk dipindahkan ke atas gerbong,
selanjutnya diangkut ke Bandung melalui Cikampek.
Stasiun batu bara yang dipilih di Bandung adalah
stasiun Gedebage.Biaya pengiriman batu bara dengan
menggunakan kereta api melalui Cikampek sebesar
Rp. 55.000,00 per ton.
4) Jalur Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-
Malangbong
Jalur ini merupakan jalur transportasi terpanjang
dengan menggunakan truk, yaitu 230 km melalui
jalur selatan. Jalur yang dilalui adalah dari Cirebon
menuju Cikijing (Kab. Kuningan), terus ke arah
Kawali (Kab. Ciamis) dan menuju ke Kota Ciamis
sehingga menembus jalur selatan Jawa. Selanjutnya
mengikuti jalur selatan ini menuju ke Bandung.
Selain panjang, jalur ini juga melewati daerah
pebukitan dengan banyak kelokan dan tanjakan,
terutama di daerah Panawangan (Kab. Ciamis),
Malangbong (Kab. Garut), dan Nagreg (Kab.
Bandung). Oleh karena itu waktu yang diperlukan
menjadi lebih besar dari jalur Cirebon-Sumedang-
Bandung yang panjangnya sekitar 128 km dengan
waktu tempuh 6 jam. Tranportasi lewat jalur selatan
akan memerlukan waktu tempuh antara 1012 jam,
sehingga konsekuensi penggunaan jalur ini adalah
meningkatnya waktu tempuh antara 4-6 jam dan
biaya transportasi. Dengan demikian, biaya
transportasi batu bara lewat jalur ini menjadi sekitar
Rp 81.000,-/ton.
Harga batu bara melalui jalur Selatan ini menjadi
berkisar antara Rp. 300.000 - Rp 450.000 per ton,
namun demikian harga ini masih tetap lebih
ekonomis daripada harga BBM untuk operasi boiler
tekstil.
5) Jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung
Analisis pada jalur ini didasarkan pada asumsi bahwa
rencana pembangunan jalan tol CileunyiCimalaka
dapat segera diwujudkan. Oleh karena itu dengan
melalui jalur ini, truk pengangkut batu bara dapat
memperkecil jarak angkut dari 128 km menjadi
113 km. Selain menghemat waktu dan jarak angkut,
jalur ini tidak melewati dua titik rawan longsor di
Sumedang, yaitu Cadas Pangeran dan Nyalindung.
Di samping itu, juga tidak dijumpai tanjakan-
tanjakan yang panjang dan tinggi, seperti Malangbong
dan Emen, sehingga biaya transportasi batu bara
lewat jalur ini menjadi sekitar Rp 40.000,-/ton.
Dari ke lima jalur alternatif tersebut, ternyata hanya
ada 3 jalur yang layak sebagai jalur transportasi
pengiriman batu bara, yaitu Jalur Cirebon-Cikampek-
Bandung, jalur Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-
Malangbong dan jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-
Bandung.
6. PENUTUP
Proses penyediaan dan pemanfaatan batu bara untuk
boiler dalam industri tekstil di Propinsi Jawa Barat,
bukanlah suatu hal yang mudah dan sederhana,
sehingga memerlukan penanganan yang khusus
mengingat berbagai hal yang dapat menimbulkan
permasalahan. Berdasarkan hasil analisis di lapangan,
terdapat beberapa permasalahan yang mungkin
timbul mulai dari pemesanan hingga pengirimannya,
antara lain :
- Kedatangan batu bara di Pelabuhan Cirebon,
akan menyebabkan terjadinya pembongkaran
batu bara. Jika telah banyak batu bara yang
dibutuhkan, maka bukan tidak mungkin kapal
pengangkut batu bara (tongkang) akan semakin
banyak jumlahnya merapat di pelabuhan ini.
Akibat dari peristiwa ini akan menyebabkan
antrian dari tongkang-tongkang yang akan
melakukan pembongkaran. Untuk menanggulangi
kemungkinan tersebut, maka sebaiknya instansi
yang terkait meningkatkan kapasitas bongkar dan
meningkatkan kapasitas sandar pelabuhan.
- Terbatasnya jalur transportasi pengiriman batu
bara menyebabkan kemacetan/tingkat kepadatan
lalu lintas yang cukup tinggi. Penanganannya
adalah dengan menyediakan jalur-jalur alternatif
yang dapat memperlancar pengiriman batu bara.
Konsekuensi yang dihadapi adalah bertambahnya
biaya pengangkutan.
- Keterbatasan lahan penyediaan batu bara di
setiap perusahaan tekstil menyebabkan
perusahaan mengalami kesulitan dalam
penyimpanannya. Salah satu alternatif
penanggulannya adalah dengan membuat atau
mendirikan sentra-sentra penyediaan batu bara
yang berdekatan dengan lokasi penyebaran
industri tekstil.
- Meningkatnya permintaan batu bara akan
menyebabkan kesulitan dalam penyimpanannya.
Penanggulannya adalah dengan menentukan
lahan penyimpanan yang sesuai dengan lokasi
47 Analisis Jalur Transportasi Batu bara untuk Industri Tekstil ... Triswan Suseno
penyebaran industri tekstil berdasarkan luas,
lokasi serta memperhatikan masalah-masalah
lingkungan.
- Kualitas batu bara sangat berpengaruh terhadap
daya tahan (life time) peralatan (boiler) yang
digunakan. Konsekuensinya adalah kerusakan
pada boiler dan penurunan kapasitas.
Penanganannya adalah dengan memilih/
membeli batu bara sesuai dengan spesifikasinya.
- Proses pembakaran menjadi penyebab tingkat
pencemaran udara (gas, debu dan abu).
Konsekuensinya adalah melampaui kadar abu
yang diijinkan (masalah lingkungan).
Pananganannya dengan melakukan pengawasan
yang ketat terjadap kegiatan industri tekstil oleh
badan yang berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat
2004, Indonesian Textile and Garment,
Guiding Book 2002 - 2004, Bandung.
Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung 2004, Daftar
Perusahaan Tekstil Di Kota Bandung, Bandung.
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bandung 2004, Daftar
Perusahaan Tekstil Di Kabupaten Bandung,
Soreang.
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bandung 2004,
Statistik Industri Di Kabupaten Bandung,
Soreang.
Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung 2004, Statistik
Industri Di Kota Bandung, Bandung.
Gaspersz, Vincent, 1990, Analisis Sistem Terapan,
Edisi pertama, Tarsito, Bandung, hal. 326 - 352.
Sudarto 2004, PT. Terminal Batu bara Indah,
Pelabuhan Cirebon, Cirebon.
Petunjuk Bagi Penulis 48
1. Naskah dan berkas dalam file dikirim ke Pemimpin
Redaksi Jurnal tekMIRA, Jl. Jend. Sudirman No. 623
Bandung 40211. Naskah dalam file akan sangat
membantu dalam proses peredaksian.
2. Naskah harus asli dan belum pernah diterbitkan
dalam publikasi lain. Judul naskah harus bersifat
deskriptif dan ringkas.
3. Redaksi akan melakukan seleksi dan memberitahukan
ke penulis, bila naskah sudah diterima atau naskah tidak
sesuai untuk penerbitan ini.
4. Naskah diketik dalam dua spasi menggunakan
kertas ukuran A4 dengan lebar margin kanan dan
atas 3 cm serta kiri dan bawah 2 cm.
5. Gambar dan tabel harus diberi judul dengan jelas
dan dalam kertas terpisah serta ditunjukkan
mengenai penempatan gambar dan tabel tersebut
dalam naskah tulisan. Foto harus jelas dan siap
untuk dicetak (tidak dalam bentuk negatif film).
Peta maksimum berukuran A4 dan harus memakai
skala. Semua huruf dalam peta harus jelas dan bila
ukuran peta harus diperkecil, tinggi huruf dalam
peta tersebut tidak lebih kecil dari 1,5 mm.
6. Jumlah halaman naskah tidak ditentukan. Naskah
ditulis secara ringkas sesuai isinya.
7. Nama penulis diketik pada halaman pertama di
bawah judul naskah. Nama organisasi, alamat, nomor
telepon dan faksimili, serta alamat e-mail (bila ada).
8. Intisari naskah (abstract) memuat ringkasan yang
jelas dari naskah tersebut serta ditulis dalam Bahasa
Indonesia dan Inggris.
9. Hanya rumus matematika yang penting yang
dimuat dalam naskah.
10. Daftar pustaka ditulis secara alfabet dengan huruf
pertama (bila penulis lebih dari seorang). Urutan
penulisan : nama penulis, judul referensi, penerbit,
kota tempat buku diterbitkan dan tahun penerbitan.
11. Hanya artikel-artikel yang dipublikasikan yang
dimasukkan sebagai referensi. Bilamana mengacu
kepada artikel yang tidak dipublikasikan agar
dijelaskan cara memperoleh bahan tersebut.
12. Catatan kaki supaya dihindarkan.
13. Izin untuk memproduksi hak cipta material adalah
tanggung jawab penulis. Pengutipan seminimal
mungkin. Bila pengutipan melebihi 250 kata penulis
harus memperoleh izin tertulis dari penerbit dan
penulis referensi yang bersangkutan.
Petunjuk Bagi Penulis