Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BTLS didirikan dengan latar belakang masih tingginya tingkat kematian dan kecacatan
akibat kegawatdaruratan (Emergency Case) pada kejadian kecelakaan transportasi,
industri, rumah tangga, gejolak sosial (terorisme, konflik masyarakat, kejahatan dan
kekerasan) dan bencana yang tidak henti-hentinya melanda negeri ini. Selain itu
kegawatdaruratan medis seperti penyakit kardiovaskular, jantung, hipertensi dan stroke
masih menduduki peringkat lima besar penyebab kematian di Indonesia.
Penyebab tingginya angka kematian dan kecacatan akibat kegawatdaruratan medis
tersebut adalah tingkat keparahan, kurang memadainya peralatan, sistem yang belum
memadai dan pengetahuan penanganan penderita gawat darurat yang kurang mumpuni.
Pengetahuan penanggulangan penderita gawat darurat memegang porsi besar dalam
menentukan keberhasilan pertolongan. Pada banyak kejadian banyak penderita gawat
darurat yang justeru meninggal dunia atau mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh
kesalahan dalam melakukan pertolongan.















2

BAB II
KONSEP DASAR
2.1 Basic Trauma Life Suport (BTLS)
BTLS (Basic Trauma Life Suport) adalah bagian awal dari ATLS (Advanced Trauma
Life Suport. Pada BTLS, dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidak diminta untuk
memberikan tatalaksana sesuai diagnosis definitifnya tapi hanya memberikan
kesempatan bagi pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan nantinya. Intinya
pada tahap ini, dokter atau pelayan kesehatan lainnya hanya diminta membantu pasien
untuk tetap hidup atau membuat reaksi kimia C6H12O6 + 6O2 ---> 6CO2 + 6H2O
tetap berlangsung.
Hal dilakukan adalah Primary Survey. Di sini dokter diminta menilai secermat
mungkin hal apa yang mengancam nyawa pasien. Beberapa nemonic yang sering
membantu antara lain:
A : Airway with c-spine control
B : Breathing and ventilation
C : Circulation with haemorrage control
D : Disability (neurologic evaluation)
E : Exposure and Environment

2.1.1 Airway with c-spine control.
Hal pertama yang harus diperiksa dalam penyelamatan seorang pasien.
Pelayan kesehatan diharapkan bisa memberikan distribusi oksigen dalam
kurang waktu 8-10 menit.
Assessmentnya :
Kalau pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara tambahan.
Ini berarti laringnya mampu dilewati udara yang artinya airway is clear.
Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau kita temukan jejas
kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman yang keluar dari
hidung pasien itu mungkin disebabkan sudah terjadinya inflamasi pada saluran
pernapasan akibat inhalasi udara bersuhu tinggi. Pasien tidak langsung
menunjukan gejala obstruksi saluran nafas segera.
3

Kalau pasien tidak sadar maka segera lakukan penilaian Look - Listen - Feel.
Lihat gelisah atau tidak, gerakan dinding dada, dengarkan ada atau tidak suara
nafas, rasakan hembusan nafas pasien dari pipi dalam satu waktu.
Kalau terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasanya disebabkan
obstruksi akibat benda asing. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain
memberikan penekanan pada dinding abdomen melalui manuver Heilmicth
atau Manuver Abdominal Trust. Kalau untuk anak kecil bisa dibantu dengan
membalik posisi anak secara vertikal agar mempermudah keluarnya benda
asing. Tindakan yang disebutkan diatas dilakukan pada pasien sadar.
Sementara pada pasien tidak sadar yang bisa dilakukan antara lain : finger
sweep, abdominal trust, dan instrumental.












Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi nafas
tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:
1. Gurgling (kumur-kumur) = obstruksi akibat adanya air dalam saluran nafas.
Penanganannya melalui suction. Terdapat dua jenis suction yakni, yang elastic
dan yang rigid. Pilih saction yang rigid karena lebih mudah diarahkan. Jangan
melakukan tindakan yang berlebihan di daerah laring sehingga tidak timbul
vagal refleks.
4


2. Stridor (crowing) = obstruksi karena benda padat dan terjadi pada URT.
Penanganan pertama nya dengan penggunaan endotracheal tube (ETT)

3. Snorg (mengorok) = biasa nya obstruksi karenan lidah terlipat dan pasien
dalam keadaan tidak sadar. Penangannya yang pertama dengan membuka
mulut pasien dengan jalan; chin lift atau jaw trust. Kemudian diikuti dengan
membersihkan jalan nafas melalui finger sweep (cara ini tidak amam karena
memungkinkan trauma mekanik pada jari dokter) atau melalui bantuan
instrumen.
Tidakan berikutnya dengan pemasangan oropharingeal tube (untuk pasien tidak
sadar) atau nasopharyngeal tube untuk pasien sadar. Sebagai tambahan info,
bahwa pada oropharingeal tube terdapat tiga jenis ukuran sehingga sebelum
5

memasangnya dokter harus menentukan ukuran yang sesuai. Cara mudahnya
dengan menyamakan ukuran dengan panjang dari lubang telinga ke sudut mulit
atau panjang dari sudut telinga ke lubang hidung, Begitu pula dengan pemasangan
nasopharingeal tube.












C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang mengalami
trauma basis crania (Suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak
yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada Duramater).
Cirinya adalah keluar darah atau cairan bercampur darah dari hidung atau telinga.
C-spine kontrol dilakukan dengan indikasi:
a. Multiple trauma
b. Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
c. Penurunan kesadaran.
d. Jika semuanya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan terakhir.

2.1.2 Breathing and Ventilation
Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien sadar
maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan dada
pasien yang mengembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan
pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan
perkusi di daerah paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan oleh
pneumotorak sementara pada pleurahemorage suara paru menjadi redup.
6

Penanganan pneumotorak ini antara lain dengan menusukan needle 14 G di
daerah yang hipersonor atau pengguanan chest tube.
















Jika terdapat henti napas :
Hal yang dapat dilakukan antara lain Resusitasi Paru, bisa dilakukan melalui
a. Mouth to mouth
b. Mouth to mask
c. Bag to mask (Ambu bag).

Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui :
a. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan
oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.
b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya
sebesar 35-60%.
c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask
inilah pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang
diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan
non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara
ekspirasa terinhalasi kembali.
7

Note : pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan pergesaran
mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan
vena jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung

2.1.3 Circulation and haemorage control
Assessment :
Pertama kali yang harus diperhatikan adalah kemungkinan pasien mengalami
shock. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat tanda-tanda perfusi darah yang
turun seperti keadaan pucat, akral dingin, nadi lemah atau tidak teraba. Shock
yang tersering dialami pasien trauma adalah shock hemoragik. Jadi dalam
penatalaksanaannya yang pertama adalah tangani status cairan pasien dan cari
sumber perdarahan, kemudian atasi perdarahan. Berikan cairan intravena
kemudian tutup luka dengan kain kassa, immobilisasi. Pemberian cairan
intravena harus pada suhu yang hangat agar tidak memperberat kondisi pasien
(pemasukan cairan yang memiliki suhu lebih rendah daripada suhu tubuh
menyebabkan vasokontriksi sehingga nantinya menurunkan perfusi). Status
hidrasi pasien juga harus diukur melalui output cairannnya sehingga sering
diikuti dengan pemasangan kateter. Namun pemasangan kateter
dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami ruptur uteri. Cirinya terdapat
lebam pada perineal atau skrotum.
Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan shock antara lain luka
pada abdomen, pelvis, tulang panjang, serta perdarahan torak yang massive.
Kalau terjadi henti jantung maka lakukan massasse jantung.











8

2.1.4 Disability
Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic pasien. Status
neurologic yang dinilai melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan keadaan
pupil serta kecepatannya.

Hal yang dinilai dari GCS antara lain (E-V-M)
Eye
4. Membuka spontan
3. Membuka terhadap suara
2. Membuka terhadap nyeri
1. Tidak ada respon
Verbal
5. Berorientasi baik
4. Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat
3. Berbicara kacau atau tidak sinkron
2. Suara merintih atau menerang
1. tidak ada respon
Motorik
6. Mengikuti perintah
5. Melokalisir nyeri
4. Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
3. Fleksi abnormal (dekortikasi)
2. Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1. tidak ada respon (flasid)
Kesadaran baik >13, sedang 9 -12, Buruk /koma < 8
Respon pupil dinilai pada kedua mata. Jika terdapat lateralisasi maka
kemungkinan terdapat cedera kepala yang ipsilateral. Jika respon pupil lambat
maka kemungkinan terdapat cedera kepala.

2.1.5 Exposure dan Enviroment
Buka pakaian pasien untuk mengeksplorasi tubuh pasien untuk melihat
kemungkinan adanya multiple trauma. Kemudian selimuti pasien agar
mencegah hipothermi.
9

Setelah semua dilakukan dan keadaan pasien menjadi stabil lakukan kembali
Secondary Survey Pelayan Kesehatan diharapkan memeriksan kembali dari
awal, anamnesis riwayat pasien, lakukan pemeriksaan neurologi yang komplit
(tes refleks, CT-scan, MRI), dan membuat diagnosis spesifik, dan lainnya.

2.2 Deskripsi
Trauma adalah penyebab kematian utama pada manusia antara usia 1 dan 44
tahun.pada kelompok usia yang lebih tua, penyebab kematian ini hanya di lampaui
oleh kanker dan kardiovaskular. Bagaimana pun kerugian akibat trauma dalam hal
kehilangan kesempatan hidup produktif, melebihi kerugian yang ditimbulkan oleh
kanker dan penyakit kardiovaskular. Sebagai penyebab utama kematian dan
kecacatan, trauma telah menjadi masalah kesehatan dan social yang signifikan.
Kemajuan dalam bidang perawatan pasien trauma telah dicapai dalam beberapa
dekade terakhir. Pengembangan pusat-pusat pelayanan trauma telah menurunkan
mortalitas dan morbiditas diantara korban kecelakaan. Perawatan dan sarana angkutan
prarumah sakit yang semakin baik telah menyebabkan kenaikan jumlah korban
kecelakaan dengan keadaan kritis sampai ke rumah sakit dalam keadaan hidup.
Akibatnya, pasien yang tiba di unit perawatan kritis cenderung mengalami cedera
serius yang menlibatkan banyak organ, dan mereka sering kali membutuhkan asuhan
keperawatan yang ekstensif dan kompleks.

2.3 Pengkajian Awal dan Penatalaksanaan Awal
Orang yang mengalami cedera barat harus dikaji dengan cepat dan efisien. Kriteria
dan protokol untuk memudahkan pengkajian awal, intervensi, dan triage untuk
korban trauma telah dikembangkan oleh American college of surgeons, committee on
trauma.

2.3.1. Prarumah Sakit
Penatalaksanaan awal sering kali menentukan hasil akhir. Fase ini dimulai
pada tempat kecelakaan dengan pengkajian cepat terhadap cedera-cedera yang
mengancam keselamatan jiwa. Setelah jalan nafas dipastikan, kemudian
pernafasan dan sirkulasi dievaluasi dan didukung. Resusitasi sirkulasi awal
termasuk kontrol terhadap hemoragi eksternal, melakukan terapi cairan
10

intravena, dan adakalanya pemasangan pneumatic antishock garment (PASG).
Potensi terhadap fraktur juga harus diimobilisasi sebelum dipindahkan.

2.3.2 Rumah Sakit
Pengkajian dan perawatan yang dilakukan setibanya di rumah sakit dibagi ke
dalam empat fase : evaluasi primer, resusiitasi, pengkajian skunder, dan
perawatan definitive.

2.3.2.1 Evaluasi Primer
Seperti halnya pada pengkajian prarumah sakit, evaluasi primer
mendeteksi masalah-masalah jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi, dan
menentukan kemungkinan ancaman terhadap jiwa dan anggota badan.
Informasi tentang mekanisme terjadinya cedera dan gambaran tentang
keadaan kecelakaan (spt,stang roda mobil yang bengkok )akan
memberikan petunjuk tentang kemungkinan terjadinya cedera serius.
Pemeriksaan neurologic yang seksama juga dilakukan.

2.3.2.2 Resusitasi
Resusitasi seringkali mulai dilaksanakan selama evaluasi primer dan
mencakup tindakan terhadap kondisi-kondisi yang mengancam
keselamatan jiwa. Pasien dapat memerlukan intubasi endotrakeal,
pemberian oksigen, terapi cairan intravena, dan kontrol terhadap
hemoragi. Kondisi-kondisi yang mengancam keselamatan jiwa,
misalnya tension, pneumotoraks terbuka, hemotoraks masif, dan
tamponade jantung, diatasi dengan cepat kecuali adanya
kontraindikasi, kateter urin dan selang nasogastrik dipasang.

2.3.2.3 Pengkajian sekunder
Apabila kondisi pasien sudah berhasil distabilkn, riwayat kesehatan
yang lengkap, termasuk informasi tentang mekanisme terjadinya
cedera, harus diperoleh dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus
dilakukan. Pemeriksaan dapat mencakup elektrokardiogram (ECG),
berbagai uji laboratorium, dan pemeriksaan radiologic (Table 44-
11

1).jika diduga adanya cedera abdomen, maka lavage peritoneal
diagnostic (DPL) juga diperlukan dilakukan.

2.3.3 Pola-pola cedera
Informasi tentang pola atau mekanisme terjadinya cedera sering kali akan
sangat membantu dalam mendiagnosa kemungkinan gangguan yang
diakibatkan. Trauma tumpul terjadi pada kecelakaan kenderaan bermotor
(KKB) dan jatuh, sedangkan trauma tusuk (penetrasi) seringkali di akibatkan
oleh luka tembak, atau luka tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang
tetrlibat di dalam suatu kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi
(mis,KKB kecepatan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat
yang sangat tinggi).
Trauma tumpulm pada kecelakaan kenderaan mobil, badan kenderaan
memberikan sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan
tabrakan. Pengendara atau penumpang yang tidak menggunakan sabuk
pengaman. Bagaimanapun akan terlempar dari mobil dan dampaknya
mendapatkan cedera tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai
perlindungan yang minimal dan seringkali akan menderita cedera yang parah
apabila terlempar dari motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat menyebabkan kekuatan
yang terputus yang dapat merobek struktur tertentu. Organ-organ yang
berdenyut seperti jantung dapat terlepas dari pembuluh besar yang
menahannya. Demikian juga, organ-organ abdomen (limpa, ginjal, usus) akan
terlepas dari mensenteri.

Tabel 2.1
Prosedur-prosedur Radiologi pada Trauma
Prosedur Dugaan Cedera
Radiografi
Dada

Pneumotoraks
Hemothoraks
Fraktur iga
Kontusio pulmonal
12

Cedera trakeobronkial
Cedera pembuluh besar
Pelvis Fraktur
Ekstremitas Fraktur
Angiogram Cedera pembuluh besar
Cedera ginjal
Cedera vascular pelvis
Cedera vascular ekstremitas
Tomografi Komputer Dera abdomen
Cedera retroperitoneal
Cedera ginja
Fraktur pelvic
Serangkaian gastrografin
GI bagian atas
Skan hepar/limpa radio-
Nuklida
Pielogram intravena
Uretrogram Retrograd
Sistogram retrograde
Hematoma atau laserasi
Duodenal
Cedera seplenik
Cedera Hepatik
Cedera ginjal
Cedera uretra
Cedera kandung kemih

Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan oleh kekuatan
tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat tetrhimpit diantara
sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan pancreas juga sering tertekan
terhadap tulang belakang. Cedera karena benturan seringkali menyebabkan
kerusakan internal dengan sedikit tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendraan seringkali memberikan petunjuk-petunjuk
cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi kenderaan yang
bengkok atau rusakmemperbesar dugaan akan kemungkinan cedera pada dada,
iga, jantung, trakea, tulang belakang atau abdomen. Trauma kepala dan wajah,
cedera tulang belakang servikal, dan cedera trakeal sering berkaitan dengan
kerusakan pada kaca depan mobil atau dashboard. Benturan lateral dapat
menyebabkan patah iga, luka dada penetrasi akibat pegangan pintu atau
jendela, cedera limpa atau hepar dan fraktur pelvis.
13

2.3.4 Lavage periotoneal Diagnostik (LPD)
Tujuan : untuk mendeteksi perdarahan intraperitoneal
Indikasi-indikasi :
a. Cedera tumpul dengan abdominal
b. Perubahan respons nyeri
Penurunan : cedera kepala atau medula spinalis ; adanya alcohol dan obat-
obatan.
Peningkatan : fraktur pelvik, tulang belakang lumbar atau iga bawah.
c. Hipovolemia yang tidak dapat dijelaskan pada korban trauma multiple
d. Trauma abdomen penetrasi (jika eksplorasi tidak dikasikan)

Kontraindikasi :
a. Riwayat operasi abdomen multiple
b. Kebutuhan laparotomi segera
Prosedur :
a. Pasang kateter lavege kedalam rongga peritoneal melalui insisi 1-2 cm.
b. Coba mengespirasi cairan peritoneal.
c. Infus normal salin atau Ringer laktat dengan bantuan gaya gravitasi.
d. Ubah posisi pasien dari satu sisi kesisi yang (kecuali jika ada
kontraindikasi)
e. Beriakan cairan mengalir kembali kekantung dengan bantuan gaya
gravitasi.
f. Kirim spesimen ke laboratorium.

Hasil-hasil positif :
a. 10-20 ml darah nyata pada aspirasi awal
b. Lebih besar dari 100.000 SDP/mm
c. Lebih besar dari 500 SDP/mm
d. adanya bilirubin, bakteri, atau bahan feses.

Trauma penetrasi, Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih
tinggi dari luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebabkan luka di sekitar
jaringan dan dapat terpecah atau merubah arah di dalam tubuh, mengakibatkan
14

peningkatan cedera. Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur
kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi.
Dengan menggunakan keterampilan pengkajian yang baik dan kewaspadaan
pada mekanisme terjadinya cedera, perawat unit keperawatan kritis dapat
membantu dalam mengidentifikasi cedera yang tidak didiagnosa di unit
kegawatdaruratan.

2.3.5 Perawatan definitive
Meskipun perawatan definitif dapat dimulai pada unit gawat darurat atau
ruang operasi. Perawatan ini sebagian besar terdiri atas perawatan yang
diberiakan pada unit rawat itensif, dan yang konstan adalah penting dalam
memudahkan penatalaksanaan masalh-masalah yang ada. Elemen penting
lainnya dari perawatan definitif termasuk evaluasi tanda-tanda serta gejala-
gejala baru, penatalaksaan terhadap kondisi-kondisi medis yang sudah ada
terlebih dahulu, identifikasi cedera yang terlewatkan selama tindakan terhadap
masalah-masalah yang mengancam jiwa.

2.4 Pengkajian dan Penatalaksanaan Trauma yang Terjadi
2.4.1 Trauma Torak
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera torakik.
Banyak cedera torakik yang secara potensial mengancam jiwa, misalnya
tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga melayang (flail
chest), dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka
akan mengancam jiwa.

2.4.2 Cedera pada Paru dan Iga
2.4.2.1 Pneumotoraks dan Hemotoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks atau
hemotoraks Seringkali, satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah
pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500 ml pada awalnya
atau >100-200 ml/jam) akan memerlukan torakotomi, sedangkan
selang dada untuk mengembangkan kembali paru-paru sering kali
sudah memadai tamponade dengan sumber pendarahan yang lebih
15

kecil. Intervensi pembedahan juga mungkin diperlukan dalam kasus
pneumotoraks terbuka (luka menyedot dada) atau kebocoran udara
yang tidak terkontrol.
Selain memberikan perawatan rutin posoporasi (spirometri, batuk,
latihan nafas dalam), perawat unit perawatan kritis harus mengkaji
fungsi pernafasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien dengan
cedera paru mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami
komplikasi pulmonal seperti etelekstatis, peneumonia, dan empiema.
Selang dada harus dikaji patensi dan fungsinya serta dokter harus
diberitahu jika drainase menjadi berlebihan. Untuk kehilang darah
dalam jumlah besar dari selang dada, mungkin harus dilakukan
ototranfusi.

2.4.2.2 Iga melayang
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur multiple
iga, menyebabkan ketidak stabilan dinding dada. Iga melayang
berkaitan dengan pneumotoraks, hemotoraks, kontusio pumonal,
kontusio miokardial. Tujuan utama daari perawatan terhadap iga
mengambang adalah untuk meningkatkan fentilasi yang ade kuat. Jika
status pernafasan terganggu atau diperlukan operasi untuk cidera
terjadi, maka ada indikasi pemasang intibasi dan fentilasi mekanis.
Mungking juga digunakan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP). Pada
kejadian yang langka, mungkin dilakukan stabilisasi operatif dengan
kawat dan staples. Fraktur iga tidak pernah dibalut karena hal ini
nantinya hanya akan mengutangi pul monal.

Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri yang hebat. Control nyeri
yang ade kuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa memerlukan
ventilasi mekanis jangka panjang. Sering diberikan analgesi parenteral,
intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien. Analgetik
sistemik, bagaimanapun tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri
iga melayang, sehingga membutuhkan metode lain untuk
menghilangkan nyeri seperti blok interkosta atau analgesia epidural.

16

Asuhan keperawatan pada pasiaen denga iga melayang ditujukan pada
pengkajian dan pengontrolan nyeri, disertai dengan peningkatan
oksigenasi dan pertukaran gas yang ade kuat. Hipoventilasi. Akibat
nyeri meningkatkan resiko terhadap komplikasi pernafasan, termasuk
atelektasis dan peneumonia. Berbagai intervensi untuk memperbaiki
fungsi pernafasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan panas dalam,
spirometrik, drainase dan chapping, mukolitik, bronkodilator,
pernafasan tekanan positif intermiten (PTPI). Suksionendotrakeal dan
nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik.

Serangkain pengkajian pulmonal, termasuk sinar-x dada, gas-gas
aterial darah, pemeriksaan fisik, dan kadang-kadang pemantauan
dengan oksimetrik adalh penting.

Tabel 2.2
Prosedur-prosedur antara Kontusio Pulmonal dan ARDS
Kontusio Pulmonal ARDS
Awitan gagal pernapasan bertahap Awitan gagal pernapasan mendadak
Perubahan-perubahan gambaran
radiografi dapat segera terlihat
Perubahan-perubahan gambaran radiografi
sering kali tertunda 2-3 hari setelah timbul
gejala-gejala
Infiltrate setempat Infiltrate menyebar
Dapat mengarah pada terbentuknya
rongga dan abses
Dapat mengaah pada fibrosis pulomanal
kronis

2.4.2.3 Kontusio Pulmonal
Kontusio Pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali
akibat trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto
dada awal: bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus
mengarah pada dugaan kemungkinanadanya kontusio pulmonal.
Kontusio pulmonal terjadi bila perlambatan cepat memecahkan
dinding sel kapiler, menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma
17

dan protein ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Tanda-tanda
dan gejala-gejalanya termasuk dispnea, rales, hemoptitis, dan takipnea.
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan ketat. Perlu
sering dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA) atau oksimetri
nadi. Intervensi keperawatan tambahan termasuk pengkajian
pernapasan yang kerap, perawatan pulmonal, dan kontrol nyeri.

2.4.2.4 Cedera Trakeobronkial
Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh trauma tumpul
atau penetrasi dan seringkali disertai dengan kerusakan pada esophagus
dan vascular. Cedera trakeobronkial yang parah mempunyai angka
kematian yang tinggi, bagaimanapun dengan bertambah baiknya
perawatan dan transportasi prarumah sakit akhir-akhir ini, maka makin
banyak pasien ini yang bertahan hidup.
Cedera jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya termasuk
dispnea (ada kalanya satu-satunya tanda), hemoptisis, batuk, dan
emfisema subkutan. Perbaikan operasi dengan ventilasi mekanis
pascaoperasi melalui selang endotrakeal atau trakeostomi akan
diperlukan.
Asuhan keperawatan melibatkan pengkajian terhadap oksigenisasidan
pertukaran gas, disertai dengan perawatan pulmonalyang tepat.
Pneumonia adalah komplikasi jangka pendek, sedangkan stenosis
trakeal dapat terjadi kemudian.

2.4.3 Cedera Pada Jantung
2.4.3.1 Kontusio Miokardial
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan dada
pada batang stir atau dashboard selama KKB. Gejala-gejala kontusio
jantung bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai pada gagal
jantung kongestif yang berat dan syok kardiogenik. Setelah trauma,
keluhan-keluhan tentang nyeri dada harus dievaluasi dengan cermat.
Secara histology, kontusio jantung mirip dengan infark miokardial.
Diagnosa bias sulit ditegakkan. Untuk menegakkannya dilakukan
serangkaian pemeriksaan EKG dan serangkaian pengukuran keratin
18

kinaseinsoenzim miokardial. Yang lebih umum dari kontusio
miokardial yang sudah dipastikan adalah cedera tipe konkusio
(gegar) yang dapat pulih. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang bersifat
temporer (mis; takikardia, kontraks premature) akan terlihat tanpa
adanya perubahan dalam insoenzim. Manakala kontusi sudah
dipastikan, maka tindakan yang dilakukan serupa dengan untuk infark
miokardial akut.

2.4.3.2 Cedera penetrasi
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban
prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10% sisanya,
hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat. Luka tikam kecil yang
mengenai ventrikel ada kalanya menutup sendiri karena tebalnya
muskulatur ventrikuler.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal (Swan-Ganz) dan
selang arterial dipasang unutk memudahkan pemantauan hemodinamik
dengan cermat. Pada peristiwa transfusi multipel, risiko terhadap
ARDS dan koagulasi intravascular diseminata makin tinggi (Tabel 44-
4). Hipotensi berkepanjangan meningkatkan kemungkinan terjadinya
gagal renal.
Tabel 2.4
Komplikasi yang Berhubungan dengan Transfusi Darah Multipel
ARDS
Koagulopati
KID
Hipokalemia atau Hiperkalemia
Hipokalsemia
Metabolik asidosis
Hipotermia
Kelebihan volume
Reaksi Transfusi
Penularan infeksi
Cedera pada Pembuluh Darah Besar
19


2.4.3.3 Tamponade
Tamponade jantung dapat terjadi akibat trauma penetrasi maupun
trauma tumpul. Tanda-tanda awal dapat mencakup penurunan tekanan
darah, peningkatan tekanan vena sentral sebagaimana yang ditunjukan
oleh distensi vena leher, dan bunyi muffle pada jantung. Asuhan
keperawatan pasca pembedahan mirip dengan tindakan cedera
penetrasi jantung
Sebagian besar pasien dengan transeksi atau robekan pada aorta
mengalami pengeluaran darah sebelum sampai dirumah sakit. Tempat
yang paling umum terjadinya cedera adalah dekat ligamentum
arteriosum. Kematian mendadak dapat dihindari jika hemoragi benda
didalam adventisia aortic. Aneurisma palsu ini dapat pecah setiap
saat, sehingga memerlukan diagnosa dan tindakan yang cepat.
Kecurigaan akan cedera pada aorta atau pembuluh darah lainnya
meningkat dengan adanya fraktur iga pertama dan kedua atau
hemotoraks masif sebelah kiri. Tanda-tanda diagnostik tambahan,
meskipun tidak selalu ada, termasuk hipertensif ekstremitas atas
dengan penurunan nadi ekstremitas bawah. Cedera pada subklavia atau
arteri innominata dapat menyebabkan penurunan nadi pada ekstremitas
atas.
Komplikasi-komplikasi serius termasuk gagal ginjal karena iskemia,
disertai dengan ARDS dan KID karena transfuse multipel. Pada kasus
yang langka, perbaikan atau pengkleman silang aorta totatik asending
dapat menyebabkan iskemia medula spinalis, mengakibatkan paralysis
pemanen dari ekstremitas bawah.

2.4.3.4 Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang
berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan
yang serius organ-organ padat, dan trauma penetrasi sebagian besar
melukai organ-organ berongga. Secara umum, organ-organ padat
berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ berongga
20

pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga peritoneal,
menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang
memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam
peritoneal, ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-
gejala abdomen akut dilakukan eksplorasi dngan pembedahan.
Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut; distensi,
rigiditas, guarding dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan menjadi
perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang
mengindikasikan cedera. Penggunaan CT abdomen telah memperoleh
popularitas dan sering digunakan, atau sebagai tambahan LPD. Namun
skan CT tidak dapat terlalu diandalkan dalam mendeteksi cedera pada
rongga-rongga berongga.

2.4.3.5 Cedera pada Lambung dan Usus Halus
Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun usus halus
lebih umum mengalami cedera. Meskipun sering mengalami kerusakan
oleh trauma penetrasi. Mobilitas usus di sekitar titik tetap (seperti
ligamentum Treitz) mencetuskan terjadinya cedera dengan adanya
perlambatan. Cedera tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat
dengan adanya darah pada aspirasi nasogastrik atau hematemesis.
Cedera penetrasi biasanya menyebabkan LPD positif. Meskipun
kontusio usus ringan dapat diatasi secara konservatif (dekompresi
lambung dan menunda masukan per oral), pembedahan biasanya
diperlukan untuk memperbaiki luka-luka penetrasi.
Dekompresi pascaoperasi, baik dengan selang nasogastrik atau selang
lambung, dipertahankan sampai fungsi usus pulih. Selang pemberi
makan dapat dipasangkan segera pascaoperasi. Karena lambung dan
usus halus mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko
terhadap sepsis adalah kecil, namun pemberian anti biotik profilaktik
dapat dilakukan kapan saja terjadi perforasi usus.
Pada sisi lain, getah asam lambung mengiritasi peritoneum dan dapat
menyebabkan peritonitis. Potensial komplikasi lainnya termasuk
perdarahan pascaoperasi. Hipovolemia karena spasium ketiga serta
21

timbulnya fistula atau obstruksi. Beberapa dari keadaan ini
mengharuskan adanya tindakan pembedahan tambahan. Sindrom
malabsorpsi jarang terjadi kecuali jika lebih dari 200 cm usus telah
diangkat.

2.4.3.6 Cedera pada Duodenum dan Pankreas
Pankreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama karena keduanya
adalah organ-organ retroperitoneal dan secara anatomi dan fisiologi
mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan kekuatan yang besar
untuk mencederai organ-organ ini, karena organ-organ ini terlindung
dengan baik, jauh di dalam abdomen. Tanda-tanda dan gejala-gejala
dapat mencakup abdomen akut, peningkatan kadar amylase serum,
nyeri epigastrik yang menjalar ke punggung, mual, dan muntah-
muntah.
Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan pemasangan
drain, sedangkan luka-luka besar memerlukan perbaikan pembedahan.
Prosedur pembedahan yang dilakukan pada kasus-kasus ini termasuk
pankreotikoduodenektomi, anastomosis Roux-en-Y, dan pada keadaan
yang langka, dilakukan pankreatektomi total.
Pengkajian dan asuhan keperawatan pascaoperasi adalah sama untuk
berbagai prosedur. Patensi drain harus dipertahankan dan pasien
dipantau terhadap timbulnya fistula. Perlindungan terhadap kulit
adalah penting jika fistula telah terbentuk, karena tingginya kandungan
enzim dari getah pankreatin. Awitan Diabetes Militus jarang terjadi
kecuali jika dilakukan pankreatektomi total.
Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan dengan
anastomosis primer atau Billroth II. Trauma tumpul pada duodenum
juga dapat mengarah pada obstruksi duodenal. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan diatrizoate (Gastrografin) gastrointestinal atas.
Obstruksi menyeluruh umumnya memerlukan drainase pembedahan
dari hematoma.



22

2.4.3.7 Cedera pada Kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma penetrasi. Sifat
dari cedera paling sering menuntut segera dilakukannya operasi
eksplorasi. Perbaikan primer adalah tindakan pilihan untuk laserasi
kolon. Kolon mempunyai jumlah bakteri yang tinggi, tumpahnya isi
kolon dapat mencetuskan terjadinya sepsis intra-abdominal, dan
pembentukan abses.
Asuhan keperawatan pascaoperasi difokuskan pada pencegahan
infeksi. Pada kasus perbaikan kolon eksterior, dan dilakukan
anastomosis ujung-ke-ujung dan tempat perbaikan eksterior untuk
memudahkan identifikasi kebocoran. Karena sepsis adalah komplikasi
utama pada cedera kolon, mungkin diperlukan serangkaian prosedur
radiografi dan pembedahan untuk menemukan dan mengalirkan abses.

2.4.3.8 Cedera pada Hepar
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma penetrasi dapat
menyebabkan cedera. Pada banyak kasus, baik sifat dari cedera atau
LPD positif atau skan CT digabung dengan kondisi klinis pasien akan
menuntut dilakukannya pembedahan. Cedera pada hepar juga
memrlukan drainase empedu dan darah pascaoperasi melalui drain.
Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik dan
koagulopati. Dengan koagulopati, perdarahn timbul dari berbagai
tempat, sedangkan dengan hemostasis inkomplit perdarahan terutama
berasal dari tempat pembedahan. Asuhan keperawatan termasuk
penggantian produk darah sambil memantau hematokrit dan
pemeriksaan koagulasi. Pengkajian tipe dan jumlah selang drainase,
disertai keseimbangan cairan, juga adalah penting. Potensial
komplikasi dari cedera hepar termasuk abses hepatic atau perihepatik,
obstruksi atau kebocoran saluran empedu, sepsis, ARDS dan KID.

2.4.3.9 Cedera pada Limpa
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum mengalami cedera.
Lebih sering sebagai akibat trauma tumpul. Tanda-tanda dan gejala-
23

gejala yang ditunjukkan termasuk nyeri kuadran kiri atas menjalar
sampai ke bahu kiri, syok hipovolemik, dan temuan-temuan
nonspesifik dengan peningkatan jumlah sel darah putih. LPD, skan CT
abdominal, atau pemeriksaan radionuklida biasanya penting untuk
diagnosa.
Orang dewasa dengan cedera minor atau kebanyakan anak-anak
ditangani tanpa tindakan operasi, dengan observasi (serangkaian
pemeriksaan abdomen, hematokrit) dan dekompresi nasogastrik.
Tindakan pembedahan terdiri atas splenorafi atau splenektomi.
Ototransplantasi splenik, suatu prosedur yang masih sangat baru dan
controversial, terdiri atas implantasi fragment-fragment splenik ke
dalam kantung omentum.
Komplikasi dini termasuk perdarahan berulang, abses subfrenik, dan
pankreatitis karena trauma pembedahan. Komplikasi akhir terdiri atas
trombositosis dan sepsis berat postplenektomi (SBPS). Penyuluhan
harus difokuskan pada deteksi terhadap tanda-tanda dan gejala-gejala
dari infeksi. Autotransplantasi splenik terbukti dapat bermanfaat dalam
menurunkan insiden SBPS.

2.4.4 Cedera pada Ginjal
2.4.4.1 Cedera Vaskular
Cedera penetrasi dapat mengarah baik pada hemoragi bebas,
hematoma terkandung, atau berkembangnya trombus intraluminal.
Tanda-tanda dan gejala-gejala, jika ada, terdiri atas hematuria, nyeri,
dan massa panggul. Skan CT, pielogram intravena, atau engiogram
biasanya dapat membantu dalam menegakkan diagnosa. Laserasi yang
lebih kecil diperbaiki, sedangkan cedera yang lebih besar
mengharuskan dilakukan nefrektomi.
Pengkajian pascaopersi dan dukungan fungsi ginjal adalah penting.
Mungkin diberikan dopamine dosis rendah, dan keseimbangan cairan
optimal harus dipertahankan untuk menjamin perfusi ginjal.
Komplikasi utama terdiri atas trombosis arterial atau vena dan gagal
ginjal akut.

24

2.4.4.2 Cedera Parenkin
Trauma tumpul atau penetrasi dapat menyebabkan laserasi atau
kontusio parenkin ginjal atau pecahnya system koligentes.
Diagnosanya serupa dengan cedera vskular ginjal. Pembedahan
diperlukan untuk cedera yang lebih besar. Komplikasi lainnya
termasuk perdarahan, sepsis (terutama dengan ekstravasasi dari urine
yang terinfeksi), berkembangnya fistula uriner, dan awitan lambat
hipertensi.

2.4.5 Trauma Pelvik
2.4.5.1 Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling sering
sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kandung kemih
seringkali berhubungan dengan fraktur pelvic. Adanya hematuria,
nyeri abdomen bawah, atau ketidakmampuan berkemih memerlukan
pemeriksaan terhadap cedera uretra dengan uretrogram retrogad
sebelum pemasangan kateter urine.
Cedera pada kandung kemih dapat menyebabkan ekstravasasi urine
intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Ekstravasasi ekstraperitoneal
sering dapat ditangani dengan drainase kateter. Komplikasi jarang
terjadi namun dapat saja terjadi infeksi karena kateter urine atau sepsis
akibat ekstravasasi urine.

2.4.5.2 Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang tinggi.
Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paling sering dari kematian
dini, sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas. Angiogram
seringkali diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat sumber
perdarahan.
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk
mencegah syok hemoragi. Transfusi multipel dan pemantauan
hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan.
Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik termasuk keterlibatan saraf
25

pelvik dan emboli pulmonal. Penting untuk dilakukan terapi fisik yang
berkepanjangan dan rehabilitsi yang sering.

2.4.6 Trauma pada Ekstremitas
2.4.6.1 Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada trauma
penetrasi. Manakala radiografi sudah memastikan adanya fraktur,
maka harus dilakukan stabilitasi atau perbaikan fraktur. Fiksasi internal
fraktur sering memungkinkan ambulasi dini pada pasien dengan cedera
multipel yang mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah baring
berkepanjangan (ulkus dekubitus, emboli pulmonal, penyusutan otot).
Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian status
neurovaskuler, sejalan dengan perawatan luka dan pin. Asuhan
keperawatan harus diarahkan terhadap pencegahan dan deteksi dini
tentang masalah-masalah ini. Perawat juga harus bekerja sama dengan
terapis fisik untuk meningkatkan kekuatan dan mobilisasi dini.

2.4.6.2 Cedera Vaskular
Cedera vaskular sering kali mengakibatkan perdarahan atau trombosis
pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma penetrasi,
dan kurang sering karena fraktur. Angiogram juga dapat digunakan
untuk menentukan tempat cedera dan mengidentifikasi fistula
arteriovenosa, pseudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan
perbaikan pembedahan primer atau tandur vaskuler.
Segera setelah periode pasceoperasi, terdapat resiko perdarahan
berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh. Perawat harus mengkaji
nadi distal, warna kulit, sensasi, gerakan, dan suhu ekstremitas yang
cedera. Indeks ankle-brakial (ABI) seringkali berguna dalam
mendeteksi perkembangan oklusi setelah trauma ekstremitas bawah.
Penurunan ABI menunjukan peningkatan gradient tekanan yang
menembus pembuluh. Metode ini memberikan data yang lebih objektif
ketimbang hanya meraba nadi. Perawat juga harus memperhatikan
perkembangan sindrom kompartemen.

26

2.5 Pengkajian dan Penatalaksanaan Trauma Lanjutan
2.5.1 Trauma Torak
Trauma torak sering ditemukan, sekitar 25% dan penderita multi-trauma ada
komponen trauma toraks. 90% pada penderita dengan trauma toraks ini dapat
diatasi dengan tindakan yang sederhana oleh dokter rumah sakit (atau
paramedic dilapangan), sehingga hanya 10% yang memerlukan operasi.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik Paru
a. Inspeksi
Pemeriksaan paru dilakukan dengan melihat adanya jejas pada kedua sisi
dada,serta ekspansi kedua paru simektris atau tidak
b. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan kedua tangan memegang kedua sisi dada.Nilai
peranjakan kedua sisi dada penderita apakah teraba simektris atau tidak
oleh kedua tangan pemeriksa.
c. Perkusi
Dengan mengetukan jari tengah terhadap jari tengah yang lain yang
diletakan mendatar di atas dada.Pada daerah paru berbunyi sonor,pada
daerah jantung berbunyi redup (dull),sedangkan diatas lambung (dan usus)
berbunyi timpani.Pada keadaan pnuemothorax akan berbunyi
hipersonor,berbeda dengan bagian paru yang lain.Pada keadaan hemotorak
akan berbunyi redup (dull)
d. Auskultasi
Auskultasi dilakukan pada 4 tempat yakni dibawah kedua klavikula,(pada
garis mid-klavikularis) ,dan pada kedua mid-aksila (kosta 4-5) bunyi nafas
harus sama kiri sama dengan kanan.

2.5.3 Jenis Trauma Torak
2.5.3.1 Manifestasi : gangguan airway (obstruksi)
Penekanan pada trakea didaerah toraks dapat terjadi karna mislnya fraktur
seternum.Pada pemeriksaan klinis penderita aka nada gejala penekanan
airway seperti stridor inspirasi dan suara serak.


27

2.5.3.2 Manifestasi : gangguan breathing (sesak)
Ada 4 gangguan breathing :
a. Pneumotoraks terbuka /open pneumo-thorax (sucking chest wound)
Depek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan
pneumo-thorax terbuka.Tekanan didalam rongga pleora akan segera
menjadi sama dengan tekanan atmosfer.
b. Tension pneumothorax
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan fentilasi mekanik (fentilator) dengan fentilasi tekanan
positif pada penderita yang ada kerusakan pada pleura visceral.Tension
pneumothorax juga ditandai dengan gejala nyeri dada,sesak yang
berat,distress pernafasan takikardea,hipotensia deviasi trakea,hilang
suara nafas pada satu sisi,dan ditensi venaleher
c. Hematothorax massif
Pada keadaan ini terjadi perdrahan hebat dalam rongga dada.Pada
keadaan ini akan terjadi sesak karna darah dalam rongga pleura dan sok
karna kehilangan darah.Pada perkusi dada akan dull karan adarah dalm
rongga pleura (pada pneumothorax adalah hipersonor)
d. Flail chest
Terjadinya flail chest dikarnakan fraktur iga multiple pada dua atau
lebih tulang dengan dua atau lebih garis fraktur.Adanya sigmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan
dinding dada.Pada ekspirasi segman akan menonjol keluar,pada
inspirasi justru akan masuk kedalam ini dikenal sebagai pernafasan
paradogsal. Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karna
spilnthing pada awalnya (terbelat) dengan dinding dada.Gerkan
pernafasan menjadi buruk dan torak bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi.Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi
iga atau fraktur tulang rawan membentuk diagnosis.

2.5.3.3 Manifestasi : circulation (shok)
Cirdera torak yang akan mempengaruhi sirkulasi yang harus ditemukan
pada primary survey adalah hemotorak mosip karna terkumpulnya darah
dengan cepat dirongga pleura.Juga dapat terjadi pada tampo nade
28

jantung,walaupun penderita tidak dalam keadaan sesak namun dalam
keadaan shok ( syok nonhemoragik ) terjadi paling sering karna luka tajam
jantung,walaupun trauma tumpul juga dapat menyebabkannya.

2.5.4 Trauma Abdomen
Trauma abdomen akan ditemukan pada 25% penderita multi-trauma. Sering kali
terjadi bahwa diagnostic akan adanya cedera intra-abdomen terlambat karna:
a. Gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang lambat.
b. Adanya penurunan kesadaran karna ada cedera kepala yang bersamaan, sehingga
gejala nyeri abdomen tidak ada.
c. Adanya cedara spinal, sehingga tidak adanya rasa nyeri.
d. Pemakaian obat-obatan atau minuman keras.

2.5.4.1 Insiden
Trauma abdomen bisa disebabkan karna trauma tajam dan trauma tumpul.
Trauma tajam di Indonesia cukup sering terjadi umumnya disebabkan oleh
luka tikam, luka bacok atau luka tembak. Penderita umumnya pria dari
kelompok usia produktif. Pada luka bacok biasanya penderitanya
mengalami luka-luka ditempat lain, misalnya dikepala, dileher, dada,
extremitas dan kadang-kadang menimbulkan syok hypovolemik.

2.5.4.2 Mekanisme trauma
Luka tikam bisa dibedakan oleh pisau, golok, obeng, pisau lipat, kaca atau
benda-benda yang menancap.
Luka tembak bisa disebabkan menjadi 2 (dua) jenis:
a. Kecepatan rendah : < 1000 feet/detik, umumya pada senjata sipil/polisi
b. Kecepatan tinggi : > 3000 feet/detik, umumnya pada senjata standar
militer

2.5.4.3 Gejala Dan Tanda Trauma Abdomen
Pada trauma tajam abdomen seharusnya kita mampu mendeteksi cedera
yang potensial pada organ-organ intra abdomen. Pemeriksaan color dubur
sangat penting pada trauma tajam abdomen dan bila ditemukan adanya
darah pada sarung tangan berarti ada cedera pada usus. Bila pada
29

pemeriksaan tidak ditemukan tanda dan gejala klinis yang positif kita harus
hati-hati dan tetap waspada.atau team harus melakukan resusitasi dan
stabilisasi secepat mungkin.
Ada beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pada
kasus yang kita curigai adanya trauma tumpul abdomen antara lain:
a. Perdarahan yang tidak diketahui
b. Riwayat syok
c. Adanya trauma dada mayor
d. Adanya trauma pelvis
e. Penderita dengan penurunan kesadaran
f. Adanya hematuri
g. Pada pemeriksaan fisik ditemukan jejas diabdomen (luka lecet,
kontusio, dan perut distensi)
h. Mekanisme trauma yang besar

Inspeksi
Semua pakaian harus dilepas.abdomen bagian depan dan belakang diteliti
apakah mengalami ekskoriasi atau memar,m adakah laserasi, tusukan dan
sebagainya dengan cara log roll

Auskultasi
Lakukan auskultasi untuk mendengarkan bising usus terdengar atau tidak.

Perkusi
Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada tympani karna dilatasi
lambung akut dikwadran kiri atas ataupun adanya perkursi redup bila ada
hemoperitoneum. Perkusi mengakibatkan pergerakan peritoneum dan
mencetuskan tanda peritonitis. Shifting dullness (adanya darah dalam
abdomen) terjadi kalau pasien dimiringkan.

Palpasi
Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-
kadang dalam. Dengan palpasi juga kita dapat menentukan besarnya uterus
dan usia kehamilan.
30

2.5.4.4 Penanganan Trauma Abdomen
Pada dasarnya semua trauma abdomen tumpul dan dan tajam, penanganan
awal tindakan penyelamatan selalu didahulukan dan mengacu prosedur
ABCDE. Disini penolong atau tim harus melakukan resusitasi dan
stabilisasi secepat mungkin.
a. Airway dan breathing
Ini diatasi terlebih dahulu. Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih dari satu
area tubuh, dan apapun yang ditemukan, ingat untuk memprioritaskan
airway dan breathing terlebih dahulu.
b. Circulation
Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apa-apa
pada fase pra-RS namun terhadap syok yang menyertainya perlu
penanganan yang agresif
c. Disability
Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis. Selal
periksa tingkat kesadaran (dengan GCS) dan adanya lateralisasi (pupil
anisokor dan motorik yang lebih lemah satu sisi).
d. Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar (eviserasi) cukup denga
menutupnya dengan kasa steril yang lembab supaya usus tidak kering.
Apabila ada benda menancap, jangan dicabut tetapi dilakukan fikasi
benda tersebut terhadap dinding perut.

2.5.5 Trauma Termal
Kulit manusia banyak fungsinya, antara lain menghindari terjadinya kehilangan
cairan. Apabila terjadi lka ternal maka kulit akan mengalami denaturasi protein yang
ada dalam sel, sehingga kehilangan fungsinya,kematian sel di dalam jaringan, dan
kemudian terjadi luka. Semakin banyak kulit yang hilang maka semakin berat
kehilangan cairan. Saat ini luka ternal (luka bakar) masih merupakan masalah yang
cukup besar, dan pertolongan pertama yang baik akan sangat membantu prognosis
penderita.




31

2.5.5.1 Penanganan Luka Bakar
Pada saat penderita ditemukan, biasanya api sudah mati, apabila penderita
masih dalam keadaan terbakar,maka dapat ditempuh dengan cara :
a. Menyiram air dengan jumlah yang banyak apabila api disebabkan
karena bensin atau minyak, kerana apabila dalam jumlah sedikit hanya
akan memperbesar api.
b. Menggulingkan penderita pada tanah yang datar, kalau bisa dalam
selimut basah (penolong jangan sampai turut terbakar).

Survei primer
Airway
Pada permulaan airway biasa tidak terganggu. Dalam keadaan ekstrim bisa
saja airway terganggu, misalnya karena lama berda dalam ruangan tertutup
yang terbakar sehingga terjadi pengaruh panas yang lama terhadap jalan
nafas. Menghisap gas atau pertikel korban yang terbakar dalam jumlah
juga dapat mengganggu airway. Apabila obsruksi parsial dibiarkan, maka
akan menjadi total dengan akibat kematian penderita indikasi klinis adanya
trauma inhalasi anatara lain:
a. Luka bakar yang mengenai wajah dan leher
b. Alis mata dan bulu hidung hangus
c. Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut orofaring
d. Sputum yang mengandung karbon atau arang
e. Suara serak
f. Riwayat gangguan mengunyah dan terkurung dalam api
g. Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan

Breathing
Gangguan breating yang timbul cepat, dapat disebabkan karena:
a. Inhalasi partikel panas yang menyebabkan proses peradangan dan
edema pada saluran jalan nafas yang paling kecil. Mangatasi sesak
yang terjadi adalah dengan penangan yang agresif, lakukan airway
definitive untuk menjaga jalan nafas.
32

b. Keracuanan Co (karbondioksida). Asap dan api mengandung Co.
apabila penderita berada dalam ruangan tertutup yang terbakar maka
kemungkinan keracunan Co cukup besar.

Circulation
Kulit yang terbuka akan menyebabkan penguapan air yang berlebih dari
tubuh, dengan akibat terjadi dehidrasi.

Disability
Jangan lupa memeriksa skor GCS dan tanda lateralisasi (pupil dan
motorik). Kepanikan mungkin menimbulkan benturan sehingga
perdarahan intracranial dapat saja terjadi.

Eksposure
Pada eksposure selaluperhatikan penderita jangan sampai hipotermi

Survey Sekunder
Anamnesis
Penting untuk menanyakan dengan teliti hal sekitar kejadian.Tidak
jarang terjadi bahwa disamping luka bakar akan ditemukan pula
perlukaan lain yang disebabkan usaha melarikan diri dari dari api dalam
keadaan panic tersebut.
a. Pemeriksaan ujung rambut sampai ujung rambut sampai ujung
kaki.Pemeriksaan teliti di lakukan apabila ada waktu.Apabila
ditemukan kelainan maka diberikan pertolongan sesuai.
b. Luka bakarnya sendiri Tidak perlu dilakukan apa-apa, selain
menutup dengan kain bersih. Menyemprot dengan air hanya
dilakukan bila tiba sebelum 15 menit setelah kejadian.

2.5.5.2 Penatalaksanaan Luka
Perawatan luka dilakukan segera setelah tindakan resusitansi jalan nafas dan
mekanisme bernafas serta resusitasi cairan dilakukan:melakukan tindakan
debridement,nekrotomi,dan pencucian luka.Tentunya tindakan ini di lakukan
di Ruang Operasi Luka Bakar
33


2.5.5.3 Penatalaksanaan Luka
Perawatan luka dilakukan segera setelah tindakan resusitansi jalan nafas dan
mekanisme bernafas serta resusitasi cairan dilakukan:melakukan tindakan
debridement,nekrotomi,dan pencucian luka.Tentunya tindakan ini di lakukan
di Ruang Operasi Luka Bakar

2.5.5.4 Luka Bakar Kimia
a. Zat yang bersifat basa kuat lebih berbahaya di bandingkan zat bersifat
asam kuat. Semakin asam atau basa, semakin berbahaya pula.
b. Apabila menemukan penderita masih dalam keadaan terkena zat kimia:
Selalu proteksi diri
Apabila zak kimia bersifat cair, langsung semprot dengan air
mengalir.
Apabila sifat kimia bersifat bubuk safu dulu sampai zat kimia tipis
baru siram.
c. Luka karna zat kimia diperlakukan sebagai luka bakar.

2.5.5.5 Indikasi rawat
Pada beberapa kasus luka bakar yang perlu dirujuk kepusat luka bakar sebagai
berikut :
Kasus LB derajat II > l5% persen pada dewasa dan >10% pada anak-
anak.
Kasus LB derajat II pada muka, tangan dan kaki. Perinium, sendi.
Kasus LB derajat III >2% pada dewasa, setiap derajat III pada anak-
anak.
Kasusu LB disebabkan oleh listrik disertai cedera, jalan nafan atau
komplikasi lain.

2.5.5.6 Cedara akibat cuaca dingin: efeknya pada jaringan lokal
Ada 2 jenis truma dingin :
a. Frostnip, merupakan bentuk paling ringan trauma dingin, ditandai
dengan nyeri, pucat, dan kesemutan pada daerah yang terkena.
34

b. Frostbite, adalah pembekuan jaringan yang diakibatkan oleh
pembentukan Kristal es intraseluler dan bendungan mikrofasikuler
sehingga terjadi anoriksia jaringan.

2.5.5.7 Derajat frostbite:
a. Derajat 1 : kulit tampak memucat, edema tanpa nekrosis kulit.
b. Derajat 2 : mulai gelembung atau bulae
c. Derajat 3 : dalam: nekrosis seluruh lapisan kulit daan jaringan sekutan.
d. Derajat 4 : nekrosis seluruh lapisan kulit dan ganggreng otot serta
tulang.

2.5.5.8 Penanganan
Proteksi diri dan lingkungan
Selalu mendahulukan hal yang mengancam ABC terlebih dahulu.
Penangan harus segara dilakukan untuk memperpendek berlangsunya
pembekuan jaringan.
Re-warming
Jangan lakukan pada frost bite dalam/lanjut
Selalu memakapenhangatan lembab jangan kering misalnya mamakai hair
drayer
Jika terdapat luka lakukan seperti penangan luka bakar

2.5.5.9 Cedera akibat cuaca dingin : hipotermi sistem
Hipotermi adalah keadaan dimana suhu tubuh inti (core body temperature)
dibawah 35 C tanpa adanya trauma lain, hipotermi dibagi menjadi ringan
sampai berat .Manula lebih rentan terhadap trauma hipertermi ini di sebabkan
terbtasnya kemampuan menghasilkan panas dan mengurangi kehilangan panas
dan mengurangi kehilangan panas melalui vasokonstriksi.

2.5.5.10 Penanganan
Lakukan penilaian ABCDE cegah hilangnya panas dengan memindahkan
penderita dari lingkungan dingin dan lepaskan baju yang basah dan dingin
35

serta tutup dengan selimut hangat.Selalu berikan oksigen sesuai kebutuhan
penderita.

2.5.6 Trauma Kapitis
Trauma kapitis merupakan kejadian yang sangat sering dijumpai. Lebih dari 50%
penderita trauma kapitis, bila multi-trauma (cedera lebih dari satu bagian tubuh),
maka 50% penderita ada masalah trauma kapitis.

2.5.6.1 Jenis trauma kapitis
1. Fraktur
Fraktur calvaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka (tidak ada
hubungan otak dengan dunia luar) tidak memerlukan perhatian segera.
Yang lebih penting adalah keadaan intra-kranialnya. Fraktur basis cranium
dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga
menimbulkan ancaman terhadap jalan nafas.
2. Cedera Otak
Cedera otak dapat berupa Cedera Difus dan Cedera Fokal
Cedera Difus dapat kehilangan kesadaran yang sebentar (komosio serebri)
atau lebih lama (difuse axonal injury). Cedera otak difus yang berat
biasanya diakibatkan hipoksia,iskemik dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau priode apnu yang terjadi segera setelah trauma.
Cedera Fokal dapat berupa kontusio atau perdarahan intra-kranial.
Perdarahan intra-kranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan
subdural atau perdarahan intracranial. Paling sering ditemukan adalah
perdarahan perdarahan sub-dural, perdarahan epidural lebih jarang.
Perdarahan subdural mempunyai prognosis lebih buruk karena kerusakan
otak dibawahnya.

2.5.6.2 Penilaian Trauma kapitis
1. Penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran merupakan tanda utama trauma kapitis. Saat ini
penurunan kesadaran dinilai memakai Glosgow Coma Scale (GCS), dan
merupakan keharusan untuk dikuasai oleh setiap para medic. GCS memakai 3
36

komponen, yakni Eye (mata), Verbal (kemampuan berbicara), dan Motorik
(gerakan).

Eye
4. Membuka spontan
3. Membuka terhadap suara
2. Membuka terhadap nyeri
1. Tidak ada respon

Verbal
5. Berorientasi baik
4. Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat
3. Berbicara kacau atau tidak sinkron
2. Suara merintih atau menerang
1. tidak ada respon

Motorik
6. Mengikuti perintah
5. Melokalisir nyeri
4. Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
3. Fleksi abnormal (dekortikasi)
2. Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1. tidak ada respon (flasid)

Keadaan koma apabila diterjemahkan ke GCS adalah :
Tidak membuka mata : Eye =1
Tidak dapat berkata-kata : Verbal =2 atau 1
Tidak dapat mengikut perintah : Motorik = 5
Maka koma adalah GCS 8 atau kurang.

Tingkatan GCS
1. GCS Ringan (GCS=14-15)
Penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan
cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang
37

singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila dibawah pengaruh alcohol
atau obat-obatan

2. GCS Sedang (GCS=9-13)
Penderita masih mampu menuruti perintah sederhana namun biasanya tampak
bingung atau mengantuk dan dapat desertai deficit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami
pemburukan dan jatuh dalam koma.

3. GCS Berat (GCS 3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah
sederhana walaupun status kardiopulmonalnya telah stabil.

2.5.6.3 Tanda lateralisasi
Tanda lateralisasi disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi otak,
seperti misalnya perdarahan intra-kranial.
Pupil
Kedua pupil mata harus diperiksa. Biasanya sama lebar (3mm) dan reaksi
sama cepat apabila salah satu lebih lebar (lebih dan 1mm), maka keadaan ini
disebut sebagai anisokoria.
Motorik
Dilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai, apabila salah satu
lengan atau dan tungkai kurang atau sama sekali tidak bereaksi maka disebut
sebagai adanya tanda lateralisasi

2.5.6.4 Tanda-tanda peningkatan tekanan intra-kranial (TIK)
a. Pusing dan muntah
b. Tekanan darah sistolik meninggi
c. Nadi melambat (bradikardia)
d. Tanda tanda peninggian tekanan intra-kranial tidak mudah untuk
dikenali, namun apabila ditemukan maka harus sangat waspada.

2.5.6.5 Pengelolaan cedera kepala
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur sevikal.
38


Airway dan Breathing
Gangguan airway dan breathing sangat berbahaya pada trauma kapitis karena
akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan otak skunder. Bila koma harus dipasang jalan nafas
definitive, karena reflex menelan dan reflex batuk kemungkinan sudah tidak
ada sehingga ada bahaya obstruksi jalan nafas. Oksigen selalu diberikan dan
bila pernafasan meragukan lebih baik memulai ventilasi tambahan.

Circulation
Gangguan Circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah
keotak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian
syok trauma kapitis harus dilakukan penanganan dengan agresif.



Disability
Selalu dilakukan penilaian GCS, pupil dan tanda lateralisasi yang lain.
Penurunan kesadaran dalam bentuk penurunan GCS lebih dan 1 (2 atau lebih)
menandakan perlunya konsultasi bedah syaraf dengan cepat. Selalu ingat
upayakan mencegah kerusakan otak sekunder.

2.6 Komplikasi-Komplikasi Pada Trauma Multipel Penyebab Kematian Dini
(Dalam 72 Jam)
Hemoragi dan Cedera Kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab kematian dini setelah trauma multipel.


Mekanisme yang Mengarah pada Penurunan Perfusi Jaringan
Faktor penyebab (spt, penurunan volume. pelepasan toksin)

Penurunan arus balik vena

Penurunan isi sekuncup
39


Penurunan curah jantung

Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama


Untuk mencegah kehabisan darah, maka perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat
diselesaikan dengan operasi ligasi (pengikatan) dan pembungkusan, dan embolisasi
dengan angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan Transfusi multiple, sehingga
meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC. Hemoragi berkepanjangan
mengarah pada syok hipovolemik dan akhirnya terjadi penurunan perfusiorgan (Tabel
44-5). Berbagai organ memberikan respons yang berbeda terhadap penurunan perfusi
yang disebabkan oleh syok hipovolemik.



2.6.1 Penyebab Lambat Kematian
(Setelah 3 Hari)
Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multipel. Pelepasan
toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada pengumpulan
venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik vena. Pada mulanya, curah
jantung meningkat untuk mengimbangi penurunan tahanan vaskular sistemik.
Akhirnya, mekanisme kompensasi terlampaui dan curah jantung menurun
sejalan dengan tekanan darah dan perfusi (y.i. syok septik).
Sumber infektif harus ditemukan dan dibasmi. Diberikan antibiotik, dilakukan
pemeriksaan kultur, mulai dilakukan pemeriksaan radiologik. operasi
eksplorasi sering dilakukan. Abses intra Abdomen merupakan penyebab sepsis
paling sering. Sebagian abses dapat keluarkan perkutan, sedangkan yang
lainnya memerlukan pembedahan. Setelah pembedahan drainase abses
abdomen, insisi dibiarkan terbuka, dengan drains terpasang, untuk
memungkinkan penyembuhan dan menghindari kekambuhan. Sumber-Sumber
infeksi lainnya yang perlu diperhatikan adalah selang invasif, saluran kemih,
40

dan paru-paru. Diperkirakan bahwa pemberian nutrisi yang dini dapat
menurunkan perkembangan sepsis dan gagal organ multipel.

2.6.2 Gagal Organ Multipel
Awitan sepsis sering bertepatan dengan awitan gagal organ multipel (GOM)
yang terjadi pada 7% sampai 12% dari Pasien-pasien cedera kritis. Infeksi dan
riwayat Syok hipovolemik diduga dapat meningkatkan potensi perkembangan
GOM. Ditandai dengan kegagalan dua organ atau lebih, GOM ditandai dengan
tingkat mortalitas 25% samapai 95%. Paru-paru dan Hepar Cenderung untuk
gagal pertama kali, diikuti oleh ginjal, sistem pencernaan,dan jantung.
Gagal pulmonal dalam bentuk ARDS biasanya timbul 5 smpai 7 hari setelah
cedera. Gagal Pulmonal ditandai dengan hipoksemia dengan pemirauan,
penurunan komplians paru, takipnea, dispnea, dan timbulnya infiltrat
pulmonal bilateral difus. Sindrom memerlukan bantuan ventilator intensif.
Faktor-faktor penyebab termasuk trauma pulmonal mayor, tranfusi darah
multipel, sepsis dan syok.
Gagal hepar dapat diakibatkan oleh kerusakan awal. Melemahnya vaskular,
syok, dan sepsis. Ikterik adalah indikator umum dari penyimpangan fungsi
hepar, meskipun penyebab lain seperti obstrusi saluran empedu pasca
traumatik harus disingkirkan. Uji Fungsi hepar merupakan Diagnostik. Gagal
hepar dapat mengarah pada penururnn tingkat kesadaran, pemeriksaan
pembekuan abnormali, dan hipoglikemia.
Gagal ginjal dapat dicetuskan oleh cedera ginjal, iskemia, bahan kontras
radiografi, hipovolemia (karena hemoragi, spasium ketiga) atau sepsis. Tanda-
tanda awal termasuk peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin serum.
Gagal ginjal dapat poliurik, oligurik. Dialisis seringkali diperlukan.
Gagal Gastrointestinal ditunjukkan dengan perdarahan stres yang
membutuhkan tranfusi darah. Netralisasi profolaktik asam lambung dapat
meminimalkan resiko perdarahan.
Gagal Jantung biasanya merupakan kompilkasi akhir, bagimanapun, adanya
kondisi jantung sebelumnya dapat mencetuskan korban tauma multipel pada
awitan dari gagal jantung. Dapat terlihat hipotensi, penurunan curah jantung,
dan penurunan fraksi ejeksi.
41

Koagulasi intravaskular diseminata dan perubahan-perubahan sistem syaraf
pusat, berkisar dari kekacauan mental sampai obtundasio, dapat juga
merupakan tanda GOM.
Banyak teradapat komplikasi yang berkaitan dengan trauma multipel. Karena
kebanyakan pasien-pasien trauma berada pada unit perawatan intensif saat
komplikasi ini timbul, maka perawat unit perawatan kritis memainkan peranan
penting dalam mendeteksi dan mencegah akibat ini.
Sifat tak teduga dari trauma cenderung memperkuat rasa takut dan ansietas.
Oleh karena itu, asuhan keperawatan juga harus memeberika dukungan
psikososial terhadap pasien cedera berat dan keluarga mereka melalui
pendekatan multidisiplin yang mengetahui permasalahan dan sering
memberikan penjelasan-penjelasan.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
BTLS (Basic Trauma Life Suport) adalah bagian awal dari ATLS (Advanced Trauma Life
Suport. Pada BTLS, dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidak diminta untuk memberikan
tatalaksana sesuai diagnosis definitifnya tapi hanya memberikan kesempatan bagi pasien
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan nantinya. Intinya pada tahap ini, dokter atau pelayan
kesehatan lainnya hanya diminta membantu pasien untuk tetap hidup atau membuat reaksi
kimia C6H12O6 + 6O2 ---> 6CO2 + 6H2O tetap berlangsung.
Hal dilakukan adalah Primary Survey. Di sini dokter diminta menilai secermat mungkin hal
apa yang mengancam nyawa pasien. Beberapa nemonic yang sering membantu antara lain:
A : Airway with c-spine control
B : Breathing and ventilation
C : Circulation with haemorrage control
D : Disability (neurologic evaluation)
E : Exposure and Environment

42

















DAFTAR PUSTAKA
Tabrani (1998), Agenda Gawat Darurat, Pembina Ilmu, Bandung
Hudack & Galo (1996), Perawatan Kritis; Pendekatan Holistik, EGC , Jakarta
Dorland,2002,Kamus Saku Kedokteran .Jakarta :EGC
American College of Surgeon Committee of Trauma,2004.Advanced Trauma Life Support
Seventh Edition.Indonesia: Ikabi
Medical Publication.http://askep-askeb.cz.cc/
http://emedicine.medscape.com/article/822099-overview

Anda mungkin juga menyukai