Anda di halaman 1dari 10

2.2.

ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarknoid) ialah pemberian obat
anestetik lokal kedalam ruang subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara
menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-
3, L3-4, L4-5 . Teknik ini cukup sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Walaupun
teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal
dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta
komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi
spinal.
8


2.2.1. Indikasi Anestesi Spinal
8

1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum-perineum
4. Bedah obstetri-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi
umum ringan

2.2.3. Kontraindikasi absolut anestesi spinal
8

1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi
6. Fasilitas resusitasi minim
2.2.4. Kontraindikasi relatif anestesi spinal
8

1. Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan psikis
4. Bedah lama
5. Penyakit jantung
6. Hipovolemia ringan
7. Nyeri punggung kronis

2.2.5. Mekanisme Kerja Anestesi Spinal
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal
lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama
adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior.
Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi
lokal yang tidak memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat
denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen
spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat anestesi
motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.
8


2.2.6. Persiapan anestesi spinal
Persiapan anestesi spinal sama dengan persiapan GA karena untuk mengantisipasi
terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal, perlu persiapan resusitasi.
Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke pembuluh darah dan menimbulkan kolaps
kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan,
sehingga operasi bisa dilanjutkan dengan anestesi umum.
7,8

Daerah disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak
teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu harus pula dilakukan :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
4. Klasifikasi status fisik

Anamnesis
1,6

Hal yang pertama harus dilakukan dalam persiapan pasien sebelum dilakukan
tindakan anestesi adalah menanyakan identitas pasien dan mencocokan dengan data pasien
mengenai hari dan bagian tubuh yang akan dioperasi untuk menghindari kesalahan tindakan
anestesi dan pembedahan.
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus,
misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal, atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita
dapat merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik.
Selain itu harus ditanyakan juga riwayat penyakit sekarang dan dahulu, riwayat alergi,
riwayat penyakit dalam keluarga, dan riwayat sosial seperti kebiasaan merokok, minum
minuman beralkohol, kehamilan, dan obat-obatan.

Pemeriksaan fisik
1,6

Bagian ini menitikberatkan pada sistem kardiovaskular dan pernafasan; sistem tubuh
yang lain diperiksa bila ditemukan adanya masalah yang relevan dengan anesthesia pada
anamnesis. Pada akhir pemeriksaan fisik, jalan nafas pasien dinilai untuk mengenali adanya
potensi masalah.

1. Sistem kardiovaskular
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut:
Aritmia;
Gagal jantung;
Hipertensi;
Penyakit katup jantung;
Penyakit vascular perifer
Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan vena perifer untuk
mengidentifikasi setiap masalah yang berpotensi pada akses IV

2. Sistem pernafasan
Periksa secara khusus adanya tanda-tanda berikut
Gagal nafas;
Ganguan ventilasi;
Kolaps, konsolidasi, efusi pleura;
Suara nafas dan gangguan pernafasan

3. Sistem saraf
Perlu dikenali adanya penyakit kronik sistem saraf pusat dan perifer, dan
setiap tanda adanya gangguan sensorik atau motorik dicatat. Harus diingat
bahwa beberapa kelainan akan mempengaruhi sistem kardiovaskular dan
pernafasan; misalnya distrofia miotonika dan sklerosis multiple.

4. Sistem muskuloskeletal
Catat setiap keterbatasan pergerakan dan deformitas bila pasien memiliki
kelainan jaringan ikat. Pasien yang mengidap penyakit rheumatoid kronik
sangat sering mengalami pengurangan massa otot, neuropati perifer, dan
keterlibatan paru. Vertebra servikalis dam sendi temporomandibular pasien
perlu diperhatikan secara khusus.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaam
penyakit yang sedang dicurigai. Hanya sedikit bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
penunjang rutin sehingga pemeriksaan tersebut sebaiknya hanya diminta bila hasilnya akan
mempengaruhi penatalaksanaan pasien. Berikut merupakan panduan kapan diperlukannya
pemeriksaan penunjang preoperative yang umum. Sekali lagi, kebutuhan terhadap
pemeriksaan ini akan bergantung pada tingkat pembedahan dan usia pasien.
1,6



Urea dan elektrolit: pasien yang mengkonsumsi digoksin, diuretic, steroid, dan
mereka yang mengidap diabetes, penyakit ginjal, muntah-muntah, dan diare.
Uji fungsi hati: pengidap penyakit hati, riwayat mengkonsumsi alcohol tinggi dari
anamnesis, penyakit metastasis atau tanda-tanda malnutrisi.
Gula darah: pengidap diabetes, penyakit arteri perifer berat, dalam terapi steroid
jangka panjang.
ECG: hipertensi, dengan gejala atau tanda penyakit jantung iskemik, aritmia jantung,
atau pengidap diabetes berusia >40 tahun.
Roentgen thoraks: gejala atau tanda penyakit jantung dan paru, atau tersangka atau
pengidap keganasan, bila direncanakan bedah toraks, atau mereka yang berasal dari
daerah endemis tuberkulosis yang belum melakukan pemeriksaan roentgen toraks
sejak tahun lalu.
Uji fungsi paru: dispnea saat melakukan aktivitas ringan, ppok, atau asma. Ukur laju
aliran ekspirasi puncak (PEFR), volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV
1
) dan
FVC. Pasien yang mengalami dispnea atau sianosis saat beristirahat, yang terbukti
memiliki FEV
1
<60% prediksi, atau akan menjalani bedah toraks, juga harus dianalisa
gas darah arterinya selagi melakukan inspirasi.
Skrining koagulasi: dalam terapi antikoagulan, riwayat diatesis perdarahan, atau
riwayat penyakit hati atau ikterik.
Skrining sel sabit: riwayat penyakit sel sabit dalam keluarga atau etnis tertentu dengan
peningkata resiko penyakit sel sabit. Apabila positif, akan diperlukan elektroforesis
untuk diagnosis definitive.
Roentgen vertebra servikalis :arthritis rheumatoid, riwayat trauma besar atau
pembedahan di leher, atau bila diprediksi akan terjadi kesulitan intubasi.
1,6


Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran seseorang ialah yang
berasa dari The American society of anesthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat
prakiraan resiko anethesi, karena dampak samping anesthesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan
ASA I : pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimiawi.
ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA III :pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktifitas rutin terbatas
ASA IV : pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktifitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
1,6



Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Dengan kemajuan teknik anestesi
sekarang ini, tujuan utama pemberian premedikasi tidak hanya untuk mempermudah induksi
dan mengurangi jumlah obat-obatan yang digunakan, akan tetapi sebagai persiapan anestesi
terutama untuk menenangkan pasien, menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, menghilangkan
rasa khawatir atau cemas. Premedikasi dengan pemberian obat sedatif menyebabkan
penurunan aktivitas mental. Banyak ahli anestesiologi berpendapat bahwa kantuk
membebaskan rasa takut dan ketegangan emosi. Dengan demikian hemodinamik pasien akan
stabil.
1,6
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat
premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien,
berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya,
riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh
terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi
yang akan digunakan.
1,6

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat
premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
2. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil
7. H
2
reseptor antagonis, misal cimetidine
Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam pemakaian sehari-hari
dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, misalnya
kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan antikolinergik. Sebaiknya obat-obat premedikasi
dilakukan 30 menit sampai 60 menit sebelum induksi.
1,6.




2.2.7. Teknik anestesi spinal pada seksio sesarea
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan
antasida, dan lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah
punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 23 atau 25) pada bidang median setinggi
vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen,
sampai akhirnya menembus duramater - subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan
serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal
kedalam ruang subarachnoid tersebut.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester,
kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.
2.2.8. Obat anestesi yang sering digunakan
Bupivakain hidroklorida
8
Bupivakain hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan amida dengan
rumus kimianya 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6- dimethilfenil) monoklorida.
Oleh karena lama kerja yang panjang, maka sangat mungkin menggunakan obat anestesi
lokal ini dengan teknik satu kali suntikan. Untuk prosedur pembedahan yang lebih lama
dapat dipasang kateter dan obat diberikan kontinyu sehingga resiko toksisitas menjadi
berkurang oleh karena selang waktu pemberian obat yang cukup lama.
Kerugian dari anestesi lokal ini adalah toksisitasnya sangat hebat, bahkan
mungkin sampai fatal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa obat ini dapat menimbulkan
toksisitas pada jantung. Manifestasi utamanya adalah fibrilasi jantung. Oleh karena itu
pada pemakaian jenis obat ini untuk anestesi regional diperlukan pengawasan yang
sangat ketat.

Farmakologi
Mekanisme kerjanya sama seperti anestesi lokal lain, yaitu menghambat
impuls saraf dengan cara :
a. Mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium.
Obat ini bekerja pada reseptor spesifik pada saluran sodium (sodium chanel).
Dengan demikian tidak terjadi proses depolarisasi dari membran sel saraf sehingga tidak
terjadi potensial aksi dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf.
b. Meninggikan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler.
Obat ini bekerja dengan meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang
merupakan membran sel saraf, sehingga menutup pori-pori membran dengan demikian
menghambat gerak ion termasuk Na+ .
Sifat-sifat fisik yang mempengaruhi obat anestetika lokal adalah :
a. Ikatan protein :
Ikatan protein ini penting untuk persediaan dan pemeliharaan blokade saraf.
b. Konstanta disosiasi (pKa):
pKa adalah dimana 50% dari obat tersebut berada dalam bentuk terionisasi dan
50% lainnya tidak terionisasi. Obat dengan pKa mendekati pH fisiologis (7,4) akan
memiliki bentuk ion-ion yang lebih banyak dibandingkan dengan obat anestesi yang pKa
nya lebih tinggi sehingga akan lebih mudah berdifusi melalui membran, dengan
demikian onsetnya lebih cepat. Bupivakain mempunyai pKa lebih tinggi (8,1) sehingga
mula kerja obat ini lebih lama (5-10 menit) dan analgesia yang adekuat dicapai antara
15-20 menit.
c. Kelarutan dalam lemak
Obat anestesi lokal semakin tinggi kelarutan dalam lemak, maka semakin poten
dan semakin lama kerja obat tersebut. Struktur bupivakain identik dengan mepivakain,
perbedaannya terletak pada rantai yang lebih panjang dengan tambahan tiga grup metil
pada cincin piperidin. Tambahan struktur ini menyebabkan peningkatan kelarutan
bupivakain terhadap lemak serta meningkatnya ikatan obat dengan protein. Potensi
bupivakain 3-4 kali lebih kuat dari mepivakain dan 8 kali dari prokain. Lama kerjanya 2-
3 kali lebih lama dibandingkan mepivakain sekitar 90-180 menit.25

Metabolisme dan Ekskresi
Karena termasuk golongan amida, bupivakain dimetabolisme melalui proses
konjugasi oleh asam glukoronida di hati. Sebagian kecil diekskresi melalui urin dalam
bentuk utuh.

Lidokain
10

Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil, dapat dididihkan selama 8 jam
dalam larutan HCl 30% tanpa risiko dekomposisi. Dapat disterilkan beberapa kali
dengan proses autoklaf tanpa kehilangan potensi. Tidak iritatif terhadap jaringan
walaupun diberikan dalam konsentrasi larutan 88%. Toksisitasnya 1,5 kali prokain.
Diperlukan waktu 2 jam untuk hilang sama sekali dari tempat sutikan. Apabila larutn ini
ditambah adrenalin, maka waktu yang diperlukan untuk hilang sama sekali dari tempat
suntikan 4 jam. Mempunyai afinitas tinggi pada jaringan lemak. Detoksikasi terjadi oleh
hati. Daya penetrasinya sangat baik, mulai kerjanya dua kali lebih cepat dari prokain dan
lama kerjanya dua kali lebih lama. Dosis untuk orang dewasa : 50mg 750 mg 7-
10mg/kgBB). Dipergunakan sebagai obat anti disritmia terutama pada disritmia
ventrikuler

2.2.9. Anestesi pada pasien anemia
3

Anemia berat akan mengakibatkan tranport oksigen oleh hemoglobin akan
berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan, jantung harus
memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi, murmur dan kadang-kadang
timbul gagal jantung pada pasien dengan anemia. Bila akan dilakukan operasi yang
menyebabkan hilangnya darah dan anestesi yang mungkin mempengaruhi transport
oksigen oleh hemoglobin, sebaiknya anemia dikoreksi dulu. Jika waktunya terbatas, ini
hanya mungkin dilakukan dengan transfusi.
Tidak ada konsentrasi hemoglobin minimal yang mutlak dimana pasien tidak
dapat dianestesi. Keputusan menganestesi pasien tergantung pada keadaan dan
kedaruratan operasi. Secara ideal memang pasien harus mempunyai hemoglobin yang
normal, tapi pasien dengan kehamilan ektopik terganggu tidak dapat diatasi dengan
pemberian tablet besi atau menunggu transfusi sebelum operasi. Secara kasar dapat
dikatakan bahwa jangan melakukan tindakan operasi pada hemoglobin dibawah 80 g/L
(5mmol/L) untuk operasi elektif, khususnya operasi yang diperkirakan akan mengalami
banyak perdarahan.
Jika kita menjumpai pasien anemia pada kasus gawat darurat yang memerlukan
operasi, apa yang kita lakukan? Ingatlah kapasitas oksigen yang dibawa oleh darah
adalah dibawah normal, oleh karena itu hindari obat-obatan atau tehnik yang dapat
mengakibatkan penurunan curah jantung (misalnya anestesi dalam dengan halotan) atau
yang menyebabkan depresi pernapasan. Eter atau ketamin sangat disukai karena tidak
menyebabkan penurunan curah jantung atau depresi pernapasan yang berarti. Oksigen
tambahan sangat dibutuhkan untuk penderita anemia. Darah yang hilang harus diganti
dengan darah, karena kalau tidak, kadar hemoglobin akan lebih turun. Jagalah pasien
jangan sampai hipoksia selama dan sesudah operasi.

Anda mungkin juga menyukai