Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Nahwu 1
Dosen Pengampu: Ahmad Zuhruddin, M.Ag
Disusun Oleh:
Iip Kasipul Qulub (113211025)
Khoirun Niam (113211026)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I. Pendahuluan
Ilmu nahwu merupakan salah satu ilmu alat yang bisa memahamkan kita dalam berbahasa
arab serta memahami al-Quran dan Hadits yang menjadi pedoman umat islam di dunia. Serta
dapat memahamkan kita dalam mengkaji kitab-kitab karangan para ulama pada zaman dahulu
maupun sekarang. Ilmu nahwu dan shorof kalau kita ibaratkan bagaikan perahu dan dayung yang
kita gunakan untuk menuju ke sebuah pulau yang indah. Tanpa dayung dan perahu tersebut kita
tidak akan dapat menuju ke sebuah pulau tersebut, sama halnya apabila kita tidak tahu tentang
ilmu alat (nahwu dan shorof) kita tidak akan bisa memahami al-Quran dan Hadits secara baik
dan benar.
Maka dari itu ilmu alat mempunyai peran yang sangat penting sekali bagi kita semua
sebagai media untuk memahamkan kita mempelajari konteks arab.
Dalam makalah ini akan dijelaskan sebagian kecil dari ilmu nahwu, yaitu tentang Kaana
dan Saudara-saudaranya.
II. Rumusan Masalah
A. Apakah pengertian Kaana dan Akhwatnya?
B. Apa saja yang termasuk Akhwatnya Kaana?
C. Bagaimanakah amalnya Kaana dan Akhwatnya?
D. Bagaimanakah pengertian Kaana Taam dan Kaana Naqhis?
III. Pembahasan
a. Pengertian Kaana dan Akhwatnya
Bagian pertama dari nawasikh ibtida, ialah kaana dan akhwatnya. Kemudian perlu
diketahui, bahwa mubtada itu kadang-kadang dinasakh oleh fiil kaana, zhonna, Inna beserta
akhwatnya masing-masing.[1]
Kaana dan akhwatnya merupakan salah satu dari amil nawasikh. Amil nawasikh ialah amil
baik fiil maupun huruf yang merusak susunan jumlah ismiyah.
Menurut kesepakatan ahli nahwu kaana dan saudara-saudaranya merupakan fiil, kecuali
lafadz laisa. Kebanyakan ahli nahwu berpendapat bahwa laisa adalah fiil. Akan tetapi al farisi
dan Abu Bakar ibnu Syukair mengatakan bahwa laisa adalah huruf.[2]
b. Akhwat Kaana
Menyamai kaana dalam pengamalannya lafaz zhalla, baata, adhha, ashbaha, amsa, shara, laisa, zaala,
bariha.
Fatia, infakka, empat lafaz (yang terakhir) ini disyaratkan diikuti dengan nafi atau serupa nafi
Dan menyamai kaana yaitu lafaz daama dengan didahului maa masdariyah dzorfiyah, seperti lafaz
Athi maa dhumta mushiiban dirhaman[3]
1. Zhalla, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada siang hari.
Kaana merafakan mubtada sebagai isimnya, dan khabarnya di nashab-kan olehnya seperti
Kaana sayyidan Umar[5]
Jadi, kaana dapat merafakan mubtada dan menashab-kan khabarnya mubtada, yang di-rafa-
kannya dinamakan sebagai isimnya, dan yang dinashab-kannya dinamakan sebagai khabar-nya.
Seperti lafaz
# . . . .
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
2. Yang bisa beramal dengan syarat sebagai berikut:
1. Didahului dengan lafadz naafi atau syibih naafi, ialah:
. . . .
1.
2.
3.
4.
2. Didahului oleh maa masdariyah zhorfiyah, ialah:
1.
d. Kaana Taam dan Kaana Naqhis
...... #
Fiil yang tam ialah fiil yang merasa cukup dengan lafadz (fail) yang di rafakannya
Selain tam disebut fiil naqhis. Dalam lafadz fatia, laisa, dan zaala, fiil naqhis yang selalu
diberlakukan dalam beramal
Maksudnya bait di atas ialah bahwa fiil jenis ini terbagi dua bagian yaitu: Fiil Taam dan
Fiil Naqhis. Yang dimaksud taam ialah fiil yang cukup dengan lafadz fail yang dirafakannya.
Naqhis ialah fiil yang tidak cukup dengan lafadz yang dirafakannya, bahkan membutuhkan
lafadz yang dinashabkannya.
Semua fiil jenis ini boleh digunakan dalam keadaan taam kecuali lafadz Fatia, dan Zaala
yang fiil mudharinya berbentuk Yazaalu bukan yang berbentuk Yazuulu, karena mudhari yang
kedua ini berasal dari fiil yang taam seperti dalam contoh berikut:
matahari telah tenggelam.
Dikecualikan pula dari fiil ini lafadz laisa karena lafadz laisa tidaklah digunakan selain dalam
keadaan Naqhishah.
Contoh untuk fiil yang taam ialah firman Allah swt.