Anda di halaman 1dari 3

POTENSI KKN (KORUPSI KOLUSI NEPOTISME) DALAM KEGIATAN

PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DI DAERAH


(Farida Puspitasari, SH, M.Hum)

Otonomi mengandung pengertian kemandirian (Zelfstandigheid) untuk


mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah yang diserahkan
atau dibiarkan sebagai urusan rumah tangga satuan pemerintahan lebih rendah
yang bersangkutan. Jadi esensi otonomi adalah kemandirian, yaitu kebebasan
untuk berinisiatif dan bertanggung jawab sendiri dalam mengatur dan mengurus
pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya. Dalam
menyelenggarakan otonomi, tiap daerah berhak untuk menarik pajak dan
retribusi. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka APBD (Anggaran
Perencanaaan Belanja Daerah) jika di telaah dari pendanaannya bersumber
dari pajak dan retribusi daerah. Siklus APBD dimulai dengan proses
penyusunan, dilanjutkan pada pelaksanaan yang diiringi dengan pengawasan-
pengendalian dan diakhiri dengan pertanggungjawaban dari pelaksanaan
tersebut baik dari sisi pencapaian pendapatan maupun efektifitas dan efisiensi
pembelanjaannya. Banyak orang berpendapat bahwa pada tahap pelaksanaan
lah APBD itu rawan terhadap kasus penyalahgunaan, meskipun di tahap
penyusunan juga tidak terlepas dari kemungkinan kesalahan kebijakan yang
pada akhirnya mengakibatkan kerugian pada stakeholder suatu daerah. Tahap
pelaksanaan dalam konteks APBD meliputi proses pemungutan pajak dan
retribusi, belanja keperluan kantor dan lain-lain belanja sebagaimana rencana
pada APBD beserta pelaksanaan proyek, termasuk didalamnya pelaksanaan
pengadaan barang/ jasa.
Pengertian pengadaan barang/jasa pemerintah menurut ketentuan pasal
1 ayat 1 Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo Perpres Nomor 8 Tahun 2006 tentang
perubahan keempat atas Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan pengadaan
barang/jasa yang dibiayai oleh APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara
swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. Penyedia barang/jasa adalah
badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan
barang/layanan jasa. Pada prinsipnya, dalam pemilihan penyedia barang/jasa
pemborongan/jasa lainnya dilakukan dengan metode pelelangan umum,

1
sedangkan untuk jasa konsultasi dilakukan dengan metode seleksi umum. Baik
metode pelelangan umum maupun seleksi umum pada dasarnya mempunyai
prosedur pelaksanaan yang tidak jauh berbeda.
Bila dicermati, sebagian besar orang akan berpendapat sama bahwa
dalam proses pelelangan dan penyeleksian pengadaan barang/jasa sangat
strategis untuk dikelola, sehingga berpotensi menjadi titik lemah dalam
pelaksanaan APBD, khususnya untuk kota/kabupaten yang belanja
barang/jasanya mempunyai porsi cukup tinggi. Betapa tidak, dengan nilai
nominal proyek pengadaan barang/jasa yang bisa mencapai ratusan juta
rupiah bahkan milyaran rupiah tentunya membuka peluang untuk
menyelewengkan dana proyek tersebut dari realisasi yang seharusnya. Potensi
penyelewengan yang bisa terjadi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa
adalah pertama, dalam hal pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa;
kedua, dalam penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dikalkulasikan
berdasarkan data yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan berbagai
macam kemungkinan yang timbul berbanding lurus dengan ide dan “kreativitas”
untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak prosedural lainnya.
Potensi penyelewengan pertama, yaitu dalam hal pemilihan penyedia
barang/jasa yang tidak dilakukan secara terbuka, tidak transparan serta
diskriminatif. Pengadaan barang/jasa seharusnya terbuka bagi penyedia
barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan
yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat
atau kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan
dengan memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia
barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak
tertentu dengan cara atau alasan apapun. Transparan berarti semua ketentuan
dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis
administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, dan penetapan
calon penyedia barang/jasa bisa diketahui oleh penyedia barang/jasa yang
berminat dan juga oleh masyarakat luas pada umumnya. Fakta penyelewengan
yang biasanya terjadi sehubungan dengan pemilihan penyedia barang/jasa
adalah adanya penunjukan langsung yang dilakukan tanpa melalui pelelangan
umum yang terbuka dan transparan. Praktek kolusi dan nepotisme dalam
penunjukan langsung pemilihan penyedia barang/jasa itu biasanya dilakukan
terhadap rekanan atau keluarga terdekat dari pejabat pembuat

2
komitmen/panitia pengadaan/pejabat pengadaan barang/jasa. Metode
pemilihan penyedia barang/jasa dengan penunjukan langsung memang
dimungkinkan, tetapi dalam pelaksanaannya harus memenuhi kriteria-kriteria
tertentu. Kriteria-kriterianya yaitu bahwa proyek tersebut merupakan
penanganan darurat untuk pertahanan dan keamanan negara serta
keselamatan masyarakat yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda, termasuk
juga penanganan darurat akibat bencana alam, untuk pekerjaan yang perlu
dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang
ditetapkan oleh Presiden, dan untuk pekerjaaan yang berskala kecil dengan
nilai maksimum Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan
bahwa proyek itu untuk keperluan sendiri, beresiko kecil, dan menggunakan
teknologi yang sederhana.
Potensi penyelewengan kedua, yaitu dalam penentuan Harga
Perhitungan Sendiri (HPS) yang dikalkulasikan tidak berdasarkan data yang
dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kegiatan pengadaan barang/jasa
pemerintah, harga satuan barang atau tarif untuk jasa semestinya harus
dilakukan dengan cermat, dengan menggunakan data dasar dan
mempertimbangkan .
Kesimpulan sementara, jika proses lelang dapat berjalan dengan baik
(transparan, tidak diskriminatif dan terjadi kompetisi sehat antar peserta lelang
untuk mendapatkan harga barang/ jasa terbaik) maka akan terwujud efisiensi
anggaran dan efektifitas pelaksanaan proyek. Pada akhirnya akuntabilitas
pemerintah kepada publik pada sudut pandang pencapaian sasaran kegiatan/
belanja di sisi fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan
tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat akan terwujud. Efek lain
yang diharapkan adalah adanya dukungan masyarakat yang luas kepada
pimpinan kota/ kabupaten beserta jajaran birokrasi yang biasanya tampak pada
peningkatan partisipasi masyarakat untuk bersama – sama membangun
daerah.

Anda mungkin juga menyukai