Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRSKTIKUM

PARASITOLOGI

PEMERIKSAAN TINJA UNTUK TELUR CACING, LARVA, DAN
PROTOZOA



Oleh:
ARSY CAHYA RAMADHANI (H1A012008)


BLOK DIGESIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2014



A. TINJAUAN PUSTAKA

Pemeriksaan parasitologi merupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk
membantu menegakkan diagnosis bagi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit. Salah
satu pemeriksaan parasitologi adalah pemeriksaan tinja. Dengan pemeriksaan tinja kita dapat
mendiagnosis infeksi helminth, baik nematoda, trematoda, atau cestoda. Selain itu, melalui
pemeriksaan tinja kita dapat pula menemukan protozoa yang hidup dalam usus.
Tinja yang akan diperiksa harus dikumpulkan dalam tempat yang bersih, bebas dari
antiseptik dan tidak bercampur dengan urin penderita. Tinja penderita yang telah mendapat
pengobatan dengan barium, bismuth, dan antibiotika mungkin akan memberikan hasil yang
kurang memuaskan dalam pemeriksaan protozoa.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan sesegera mungkin setelah specimen tinja
dikumpulkan. Untuk diagnosis infeksi protozoa, sebaiknya pemeriksaan dilakukan
secepatnya (maksimal 30 menit setelah defekasi) karena protozoa dapat lisis dalam suasana
kering dan dalam keadaan segar kita masih dapat mengamati pergerakan protozoa.
Sedangkan untuk diagnosis kecacingan, umumnya telur cacing masih bisa bertahan hingga
beberapa hari setelah defekasi.
Apabila pemeriksaan harus ditunda, maka tinja bisa disimpan dengan menambahkan
bahan pengawet. Apabila parasit tidak ditemukan pada pemeriksaan tinja, terkadang
spesimen harus diambil dengan cara lain, misalnya dari aspirasi duodenum untuk melihat
adanya Giardia, larva dari Strongyloides dan telur Chlonorchis. Sedangkan cara yang terbaik
untuk menemukan telur Enterobius adalah dengan perianal swab.
Pemeriksaan tinja dibagi menjadi dua :
a. Pemeriksaan Makroskopik
Dalam hal ini kita harus memperhatikan :
1. Volume tinja
- Volume tinja yang sangat banyak pada anak-anak dapat dijumpai pada
beberapa kelainan congenital, misalnya pada penyakit Hirschprung.
- Tinja yang berbentuk seperti pita dapat dijumpai pada keadaan striktur rektum,
misalnya akibat lues, cacar, atau karena spasme rectum.
2. Warna
- Warna tinja yang normal adalah coklat, yang disebabkan karena adanya
urobilinogen dalam tinja.
- Tinja berwarna hijau dapat dijumpai pada anak-anak yang diare, ini
disebabkan adanya biliverdin.
- Tinja berwarna hitam terjadi akibat adanya perdarahan saluran cerna atas,
warna hitam disebabkan adanya hematin. Warna hitam juga dapat dijumpai
pada orang-orang yang mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung besi.
- Tinja berwarna merah coklat atau merah segar dapat ditemukan pada
perdarahan saluran cerna bagian bawah. Darah segar di atas permukaan tinja
biasanya disebabkan oleh hemorrhoid atau ulkus rectum (misalnya pada
karsinoma rekti, lues, ulcerative colitis).
- Tinja berwarna putih seperti dempul dapat ditemukan pada keadaan
obstructive jaundice misalnya akibat tersumbatnya ductus choledochus, atau
karena gangguan penyerapan lemak (sprue, idiopathic steatorrhea).
3. Konsistensi
- Tinja yang normal konsistensinya formed (berbentuk) dengan konsistensi
lunak dan plastis.
- Tinja yang keras dan besar biasanya dikarenakan stasis atau atonia kolon.
- Tinja yang keras dan kecil-kecil biasanya dikarenakan spasme kolon sehingga
terjadi obstipasi yang lama.
- Tinja dengan konsistensi yang lembek atau cair disertai dengan lendir dan
darah dapat dijumpai pada disentri amoeba.
4. Bau
- Tinja yang berbau busuk seperti telur busuk dapat dijumpai pada disentri
amoeba
- Tinja yang berbau asam dapat dijumpai pada anak-anak yang diare yang
makanannya terlalu banyak mengandung zat pati sehingga terjadi peragian zat
pati dalam usus anak dan mengakibatkan diare.
- Tinja yang berbau amis seperti daging mentah dapat dijumpai pada beberapa
infeksi cacing dan bakteri.

Selain itu, pemeriksaan makroskopik perlu pula dikerjakan untuk tinja yang
mengandung cacing dewasa. Pemeriksaan ini dikerjakan dengan menggunakan
saringan kawat. Saringan yang kasar dapat melewatkan cacing berukuran sedang
tetapi dapat menahan cacing berukuran besar, sedangkan saringan yang lebih halus
dapat menahan cacing yang lebih kecil dan scolex cacing pita, sehingga cara ini lebih
banyak dipakai.

b. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik pada tinja dapat dikerjakan dengan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan tinja segar (fresh stool examination)
Dalam pemeriksaan ini kita menggunakan larutan NaCl faali yang dicampur
dengan sedikit tinja di atas gelas obyek. Maksud dari pemeriksaan ini adlaah
untuk melihat telur atau larva cacing dalam keadaan natural (sesuai warna dan
bentuk alamiahnya). Apabila bila pemeriksaan dilakukan sesegara mungkin, pada
pemeriksaan ini kita juga dapat melihat protozoa dalam keadaan motil (bergerak).
2. Pewarnaan dengan iodine atau eosin
Dengan perwarnaan ini kita dapat memperjelas gambaran telur cacing yang dalam
keadaan alamiahnya memiliki dinding yang tidak berwarna. Dengan pewarnaan
ini bagian-bagian tubuh larva cacing juga akan tampak lebih jelas sehingga lebih
mudah untuk mengidentifikasi spesies cacingnya. Dengan cat iodine (misalnya
lugol) gambaran morfologi kista dari protozoa juga dapat menjadi lebih jelas
sehingga lebih mudah diidentifikasi.
Terdapat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pewarnaan:
Sediaan eosin :
- Parasit mudah ditemukan
- Tampak pergerakan bentuk vegetatif
- Tampak bentuk parasit, ektoplasma, endoplasma, dinding kista, vakuol, benda
kromatoid,sisa organel
- Inti entamoeba kadang terlihat samar
Sediaan lugol :
- Parasit lebih sukar ditemukan
- Bentuk vegetatif sukar dikenal karena bentuk vegetatif akan mati dalam
sediaan lugol
- Inti parasit jelas
- Benda kromatoid tidak tampak
- Sisa organel jelas
- Lebih cocok digunakan untuk diagnosis kista
3. Preparat yang difiksir dan dicat
Tujuan dari pembuatan preparat ini adalah agar preparat dapat disimpan lebih
lama dan dapat dipelajari lebih mendetail. Ada beberapa macam fiksasi yang
sering digunakan untuk preparat telur dan larva cacing serta protozoa, antara lain
Merthiolate-Iodine-Formaldehid (MIF) fixation dan Polyvinil Alcohol (PVA)
Fixation. Pengecatan yang sering digunakan adalah Iron Hematoxylene dan
Trichrome stain.

Harus diingat bahwa pengamatan mikroskopik harus dimulai dari pembesaran
yang rendah, baru kemudian pembesaran yang kuat. Agar dapat mengidentifikasi telur
atau larva cacing serta kista dan protozoa usus, maka kita juga harus mengenali
benda-benda yang ada dalam tinja normal:
a. Sisa-sisa feses yang tidak larut
b. Sisa-sisa makanan : serat otot, jaringan ikat, serat sayuran, sel-sel lemak, dsb
c. Sel-sel dari host : adanya leukosit mungkin menandakan adanya inflamasi pada
saluran cerna
d. Gelembung-gelembung udara : terlihat gelembung berbentuk bulat sempurna
dengan dinding berwarna hitam

Beberapa kesalahan yang sering timbul pada pembuatan sediaan mikroskopik dari
feses:
1. Sediaan tidak homogen
2. Sediaan yang terlalu tebal
3. Banyak rongga udara
4. Cairan merembes keluar dari kaca tutup


B. TUJUAN, WAKTU, DAN TEMPAT PRAKTIKUM
Tujuan Praktikum
i. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan tinja secara makroskopik dengan
benar
ii. Mahasiswa mampu membuat sediaan dan melakukan pemeriksaan
mikroskopik terhadap sampel tinja dengan benar
iii. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis infeksi helminth dengan tepat

Waktu : pukul 14.00 16.00 WITA , Selasa 21 Oktober 2014
Tempat : Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UNRAM



C. ALAT DAN BAHAN
1. Lidi/batang korek api
2. Kaca obyek yang bersih
3. Kaca penutup
4. Larutan NaCl 0.9%/lugol/eosin 2%
5. Mikroskop cahaya


D. CARA KERJA
1. Mempersiapkan alat yang dibutuhkan
2. Mencuci tangan rutin sesuai teknik aseptik (prosedural) dan memakai sarung
tangan sebelum kontak dengan sampel
3. Melakukan pemeriksaan makroskopis terhadap sampel pemeriksaan
4. Meneteskan satu tetes larutan NaCl 0.9%/lugol/eosin 2% ke atas kaca obyek
5. Dengan lidi mengambil sedikit feses ( 1-2 mg) dan mencampurkan dengan
tetesan larutan sampai homogen dan menjadi suspensi yang rata
6. Pada pewarnaan dengan eosin cara pembuatan sediaan sama, hanya saja sediaan
harus tipis, sehingga warnanya merah jambu muda. Bila warnanya merah jambu
tua atau jingga maka berarti sediaan terlampau tebal
7. Pada pewarnaan dengan lugol cara pembuatan sediaan sama, namun sediaan tidak
perlu terlalu tipis.
8. Membuang bila ada bagian-bagian atau serat yang kasar
9. Menutup dengan kaca penutup ukuran 22 x 22 mm dengan perlahan-lahan,
sedemikian rupa sehingga tidak terbentuk gelembung gelembung udara
10. Memeriksa secara sistematik dengan menggunakan pembesaran rendah (obyektif
10x).
11. Bila menemukan obyek yang dicurigai adanya parasit memeriksa dengan
pembesaran yang lebih kuat (obyektif 40x) dan menggambar temuan yang ada.

E. HASIL PENGAMATAN

Identitas Pasien
Nama : Ny. A
Usia : 20 tahun

1. Pemeriksaan Makroskopis
a. Volume
Pengamatan volume tidak dilakukan
b. Warna
Warna feses berwarna coklat.
c. Konsistensi
Konsistensi feses formed (berbentuk, lunak dan plastis
d. Bau
Bau feses normal. Feses tidak berbau busuk, tidak berbau menyengat, bau sedikit
asam.

2. Pemeriksaan Mikroskopis

a. Pewarnaan eosin
Pembesaran Obyektif 10X







b. Pewarnaan Lugol
Pembesaran Obyektif 10 X









F. PEMBAHASAN
Pemeriksaan Makroskopis.
a. Volume. Pada praktikum ini tidak dapat dilakukan pemeriksaan volume feses karena
jumlah sampel tidak dapat mewakili dari jumlah feses sebenarnya.
b. Warna. Warna feses berwarna coklat karena mendapat pewarnaan dari urobilinogen yang
ada dalam feses.
c. Konsistensi. Konsistensi feses lunak dikarenakan feses mengandung serat dan cairan.
d. Bau. Bau feses normal. Feses tidak berbau busuk, tidak berbau menyengat, bau sedikit
asam. Hal ini menandakan tidak ada infeksi baik dari bakteri, cacing, maupun parasit.
Pemeriksaan Mikroskopis
Pada pemeriksaaan mikroskopis feses dengan pewarnaan eosin maupun lugol
tidak ditemukan adanya telur, larva, maupun protozoa. Hal tersebut dipengaruhi oleh
beberapa hala, baik dari kondisi pasien maupun adanya kesalahan dalam melakukan
pengamatan.
Hasil negatif yang disebabkan oleh pasien antara lain: pasien dalam keadaan
sehat atau tidak terinfeksi, Jika pasien terinfeksi mungkinsaat pengambilan feses
cacing belum bertelur atau jumlah telur masih sedikit.
Hasil negatif juga dapat disebabkan karena adanya kesalahan saat pengamatan,
antara lain : peneliti kurang teliti saat melakukan pengamatan, preparat yang dibuat
terlalu tebal, saat membuat preparat menggunakan tusuk gigi dimana bisa saja telur
tidak menempel pada tusuk gigi, serta adanya kesalahan dalam penyimpanan sampel.

G. PENUTUP
Kesimpulan

Pemeriksaan feses diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis pasien
yang terinfeksi cacing. Pemeriksaan pada feses terdiri atas dua macam pemeriksaan
yaitu pemeriksaan makroskopis dan pemeriksaan mikroskopis. Pada pemeriksaan
makroskopik didapatkan volume feses normal, warna feses hitam kecoklatan karena
telah mengonsumsi makan mengandung besi, konsistensi lunak dan berbentuk
(formed), dan bau yang tidak terlalu busuk dan tidak terlalu asam. Pada pemeriksaan
mikroskopik tidak ditemukan telur, larva, dan cacing dewasa dalam feses. Jadi,
kemungkinan besar pasien tidak terinfeksi cacing namun harus diperhatikan juga
faktor yang dapat menyebabkan false negative. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi hasil antara lain : pasien, proses pengambilan dan penyimpanan feses,
serta kesalahan dari peneliti.













Daftar Pustaka

Bagian Parasitologi, 2014. Petunjuk Praktikum Parasitologi, Pemeriksaan Tinja Untuk Telur
Cacing, Larva, dan Protozoa. Mataram: Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Staf Pengajar Departemen Parasitologi, 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedookteran. Edisi
keempat. Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai