Anda di halaman 1dari 8

LAMPIRAN A

DATA PENGAMATAN

A. Tabel Data Koagulasi
No.
Dosis
Koagulan
(mg/L)
Dosis
Flokulan
(mg/L)
Tinggi
Endapan
(cm)
Volume
Endapan
(ml)
Turbidity/
kekeruhan
(NTU)
pH
1. 5 0 13,3 62 151,4 5,12
2. 10 0 13,5 63 151,1 5,01
3. 15 0 13,1 60 150,0 4,99
4. 20 0 13,1 58 150,3 4,97
5. 25 0 13 58 150,0 4,95
6. 30 0 12,5 56 149,5 4,94

B. Tabel Data Koagulasi - Flokulasi
No.
Dosis
Koagulan
(mg/L)
Dosis
Flokulan
(mg/L)
Tinggi
Endapan
(cm)
Volume
Endapan
(ml)
Turbidity/
kekeruhan
(NTU)
pH
1. 5 0,1 8,5 22 152,4 5,21
2. 10 0,1 9 25 150 5,29
3. 15 0,1 10 32 150,3 5,2
4. 20 0,1 11 39 149,9 5,14
5. 25 0,1 10,1 38 149,7 5,07
6. 30 0,1 11,7 42 149,2 5,11

LAMPIRAN B
GAMBAR

No. Gambar Keterangan
1.
Limbah jamu yang
digunakan pada
percobaan ini
memiliki kekeruhan
awal sebesar 194,41
NTU dan pH sebesar
5,02
2.


Limbah jamu yang
ditambahkan dengan
koagulan alumunium
sulfat belum terlihat
mengalami perubahan
pada saat pengadukan
berlangsung
3.
Limbah jamu pada
saat di kerucut imhoff
setelah pengadukan
mulai terlihat adanya
perubahan kekeruhan
4.
1
2
3
Terlihat adanya
endapan pada limbah
jamu setelah
didiamkan selama 1
jam. Endapan tertinggi
yakni 13,5 cm dengan
volume 63 ml dimiliki
oleh limbah jamu
nomor 2 dengan
penambahan tawas 1%
sebesar 10 mg/L
4 5 6
5.
Tinggi endapan pada
limbah jamu terlihat
lebih pendek setelah
adanya penambahan
flokulan Aqua clear
(poliakrilmida) 0,1% .
Endapan tertinggi
yakni 11,7 cm dengan
volume 42 ml dimiliki
oleh limbah jamu
dengan penambahan
koagulan paling besar
yakni 30 mg/L dan
flokulan sebesar 0,1
mg/L



BAB IV
HASIL PERCOBAAN

4.1 Penentuan Dosis Optimum Koagulan


Grafik 4.1 Hubungan antara Kekeruhan dengan Konsentrasi Koagulan


Grafik 4.2 Hubungan antara pH dengan konsentrasi Koagulan
149
149.5
150
150.5
151
151.5
0 5 10 15 20 25 30 35
K
e
k
e
r
u
h
a
n


(
N
T
U
)

Konsentrasi Koagulan (mg/L)
4.9
4.95
5
5.05
5.1
5.15
0 5 10 15 20 25 30 35
p
H

Konsentrasi Koagulan (mg/L)

Grafik 4.3 Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan Tinggi Endapan

4.2 Penentuan Dosis Optimum Koagulan Setelah Penambahan Flokulan 0,1
mg/L

Grafik 4.4 Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan Kekeruhan setelah
penambahan Flokulan
12.4
12.6
12.8
13
13.2
13.4
13.6
0 5 10 15 20 25 30 35
T
i
n
g
g
i

E
n
d
a
p
a
n

(
c
m
)

Konsentrasi Koagulan (mg/L)
149
149.5
150
150.5
151
151.5
152
152.5
153
0 5 10 15 20 25 30 35
K
e
k
e
r
u
h
a
n

(
N
T
U
)

Konsentrasi Koagulan (mg/L)

Grafik 4.5 Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan Tinggi Endapan setelah
penambahan Flokulan


Grafik 4.6 Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan pH setelah penambahan
Flokulan


0
2
4
6
8
10
12
14
0 5 10 15 20 25 30 35
T
i
n
g
g
i

E
n
d
a
p
a
n

(
c
m
)

Konsentrasi Koagulan (mg/L)
5.05
5.1
5.15
5.2
5.25
5.3
5.35
0 5 10 15 20 25 30 35
p
H

Konsentrasi Koagulan (mg/L)
Pembahasan Oleh Theresia Leyster G (101411061)
Limbah jamu yang digunakan berwarna kuning kecoklatan dengan kekeruhan
awal limbah jamu adalah 194,41 NTU dan pH 5,02. Limbah tersebut mengalami
penurunan kekeruhan setelah adanya penambahan variasi koagulan alumunium sulfat
(tawas). Pada grafik 4.1, didapatkan bahwa penurunan kekeruhan terus terjadi akibat
adanya penambahan koagulan dengan dosis yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan
karena pengotor pengotor atau koloid limbah tersebut bermuatan negative
sedangkan koagulan tawas bermuatan positif. Sehingga, koloid dan koagulan tersebut
saling tarik menarik karena adanya perbedaan muatan tersebut dan membentuk flok
flok yang menyebabkan menurunnya nilai kekeruhan pada limbah jamu. Namun
pada konsentrasi koagulan tawas 20 mg/L, kekeruhan sempat mengalami kenaikan.
Hal ini dapat disebabkan tidak sempurnanya proses pengadukan sehingga masih ada
pengotor yang membentuk flok flok.
Berdasarkan grafik 4.1 tersebut, maka dosis optimum koagulannya adalah 30
mg/L. Sedangkan pada grafik 4.4, pada dosis koagulan 30 mg/L didapatkan bahwa
limbah jamu setelah adanya penambahan koagulan tawas dan flokulan poliakrilmida
0,1% memiliki nilai kekeruhan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena flokulan
berperan sebagai pengikat antara flok yang satu dengan flok yang lain sehingga flok
flok tersebut bersatu menjadi flok flok yang lebih besar dan memungkinkan dapat
mengendap lebih cepat.
Perubahan pH pada proses koagulasi juga mempengaruhi nilai kekeruhan
limbah. Sehingga, perubahan pH juga diamati untuk menentukan dosis optimum
koagulan. Pada grafik 4.2, didapatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi koagulan
maka pH yang didapatkan pun semakin rendah. Hal ini dikarenakan koagulan tawas
yang bersifat asam sehingga membuat pH limbah semakin menurun. Sedangkan pada
grafik 4.5, didapatkan bahwa pH limbah meningkat setelah adanya penambahan
flokulan poliakrilmida 0,1 mg/L.
Tinggi endapan hasil proses pengendapan pada kerucut imhoff pada grafik 4.3
yang didapat menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi koagulan maka
akan semakin rendah tinggi endapan yang didapat. Hal ini tidak sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi koagulan, maka akan semakin
tinggi endapan yang didapat. Sedangkan pada grafik 4.5 setelah adanya penambahan
flokulan, didapatkan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi koagulan maka akan
semakin tinggi endapan yang didapat. Dari hasil percobaan yang didapat, tinggi
endapan limbah sebelum adanya penambahan flokulan lebih besar dibandingkan
tinggi endapan pada limbah setelah adanya penambahan flokulan. Hal ini dapat
disebabkan karena pH limbah yang semakin asam seiring penambahan konsentrasi
koagulan sebelum adanya penambahan flokulan. Sehingga, koagulan mulai
memasuki pH yang tidak optimum pada proses koagulasi yang menyebabkan
gagalnya pembentukan flok sehingga koagulan menjadi pengotor dan mengakibatkan
buruknya kualitas air yang dihasilkan serta tingginya endapan yang didapat. Namun
setelah adanya penambahan flokulan, pH limbah pada konsentrasi koagulan 30 mg/L
meningkat sehingga pH koagulan masih dalam rentang pH optimum proses
koagulasi. Sehingga, dosis optimum koagulan tawas yang diambil adalah 30 mg/L.
Gagalnya percobaan pada proses koagulasi dikarenakan literature tentang pH
optimum koagulan tawas yang didapat dari berbagai sumber berbeda beda. Hal ini
menyebabkan pada saat pH limbah mulai memasuki 4,9 , kogulan tidak lagi berfungsi
sebagai pembentuk flok malah sebaliknya yakni menjadi pengotor. Hal ini dapat
diantisipasi dengan melakukan proses netralisasi sebelum percobaan dimulai
sehingga rentang pH pada saat proses berlangsung berada pada rentang yang
diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai