Anda di halaman 1dari 28

Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih

Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014


FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

1
BAB I
PENDAHULUAN

Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai aliran retrograd isi lambung ke dalam
esofagus. Penyakit refluks gastroesofagus disebut sebagai refluks gastroesofagus patologik atau
refluks gastro esofagus simtomatik, merupakan kondisi kronik dan berulang, sehingga
menimbulkan perubahan patologik pada traktus aerodigestif atas dan organ lain diluar esofagus.
1
Manifestasi klinis PRGE di luar esofagus didefinisikan sebagai Refluks Ekstra Esofagus
(REE), yang salah satu manifestasinya adalah Refluks Laringo Faring (RLF). RLF adalah REE
yang menimbulkan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring dan paru. Refluks
laringofaring (RLF) adalah aliran balik asam lambung ke daerah laring, faring, trakea dan
bronkus yang menyebabkan kontak dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas yang
menimbulkan jejas pada laringofaring dan saluran napas bagian atas, dengan manifestasi
penyakit-penyakit oral, faring, laring dan paru.
1,2
Pasien REE akibat PRGE sering datang ke ahli THT dengan keluhan tenggorok rasa
nyeri dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada yang menyumbat (globus sensation), kelainan
laring dengan suara serak, batuk kronik, asma. Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar
antara 15-20% dan lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan
manifestasi keluhan LPR. Diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan gangguan suara yang
datang berobat ke dokter THT diakibatkan oleh RLF. Diduga RLF berperan pada patogenesis
sejumlah kelainan pada laring, termasuk stenosis subglotik, karsinoma laring, laryngeal contact
ulcers, laringospasme, dan vokal nodul pada pita suara. Pada anak-anak RLF dihubungkan
dengan asma, sinusitis dan otitis media.
1,2,3
Penulisan tinjauan pustaka ini bertujuan meningkatkan pengetahuan penulis
serta pembaca mengenai definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosa,
serta penatalaksanaan GERD, khususnya manifestasi REE yaitu Refluks Laringo Faring (LPR).




Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi & Fisiologi Faring
A. Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :
1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal.
4
Nasofaring yang relative kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan
resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui
oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena
jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba
eustachius.
4

2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah
vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.
4


a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang
akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan
dengan gangguan n.vagus.
4


Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

3

b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole)
terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat
jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa
tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul
yang sebenar- benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.
4

c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid),
tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut
cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
4

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang
terlepas, bakteri dan sisa makanan.
4

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi
pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens,
cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
4

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi
dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas
keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.
4


Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

4
3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan
lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar
sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan
ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah
esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-
otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus.
4

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur
pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua
buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum
glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil ( pill pockets),
sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
4

Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung
tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis
ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus
piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian
anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
4


B. Fungsi Faring
1) Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral, fase
faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring.
Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus
makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal,
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

5
disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bbolus makanan bergerak secara
peristaltic di esofagus menuju lambung.
4

2) Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-
mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-
sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
belakang faring yang terjadi akibat 2 mavam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m,palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi
aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap
pda periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.
4


2.2 Anatomi Esofagus
Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai ke lambung.
Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Di mulai dari batas bawah tulang rawan
krikoid atau setinggi vertebra C.VI, berjalan sepanjang leher, mediastinum superior dan
posterior, di depan vertebra servikal dan torakal, dan berakhir pada orifisium kardia lambung
setinggi vertebra Th.XI. Melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi vertebra Th.X.
5
Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang tebal dan memiliki dua
sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah. Sfingter esofagus atas merupakan daerah
bertekanan tinggi dan daerah ini berada setinggi kartilago krikoid. Fungsinya mempertahankan
tonus, kecuali ketika menelan, bersendawa dan muntah. Meskipun sfingter esofagus atas bukan
merupakan barrier pertama terhadap refluks, namun dia berfungsi juga untuk mencegah refluks
keluar dari esofagus proksimal menuju ke hipofaring.
5
Sfingter bawah esophagus panjangnya kira-kira 3 cm, dapat turun 1-3 cm pada
pernafasan normal dan naik sampai 5 cm pada pernafasan dalam, merupakan daerah bertekanan
tinggi yang berada setinggi diafragma. Sfingter ini berfungsi mempertahankan tonus waktu
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

6
menelan dan relaksasi saat dilalui makanan yang akan memasuki lambung serta mencegah
refluks. Relaksasi juga diperlukan untuk bersendawa.
5
Menurut letaknya esofagus terdiri dari beberapa segmen :
5
1) Segmen servikalis 5-6 cm ( C.VI-Th. I )
2) Segmen torakalis 16-18 cm ( Th. I-V )
3) Segmen diafragmatika 1-1,5 cm ( Th. X )
4) Segmen abdominalis 2,5-3 cm ( Th. XI )
Esofagus memiliki beberapa daerah penyempitan :
1) Daerah krikofaringeal, setinggi C. VI
Daerah ini disebut juga Bab el Mandeb / Gate of Tear, merupakan bagian yang paling
sempit, mudah terjadi perforasi sehingga paling ditakuti ahli esofagoskopi.
2) Daerah aorta, setinggi Th. IV
3) Daerah bronkus kiri, setinggi Th. V
4) Daerah diafragma, setinggi Th. X . (USU)

2.3 Fisiologi Menelan :
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter mencegah terhamburnya
bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring
pada saat respirasi, (4) mencegah masuknya maknan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring, (5) kerjasama yang baik dari otot-otot rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke
arah lambung, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut, faring
dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.
6
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase : fase oral, fase faringeal dan fase esofageal.
6,7
A. Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar . Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan
liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut melalui dorsum
lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.
6,7

Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah
diperluas, palatum mole terangkat dan pada bagian atas dinding posterior faring (Passavants
ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas.
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

7
Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli
palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium tertutup,
diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga
mulut.
6,7


B. Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring.
6,7

Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.ariepiglotika dan
m.aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini juga terjadi penghentian aliran udara ke laring karena
refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke dalam
saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan
sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.
6,7



Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

8

C. Fase Esofageal
Fase esofageal adalah fase perpindahan bolus makann dari esofagus ke lambung. Dalam
keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus makanan
pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus
terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus.
6,7

Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus
introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak kembali ke faring. Dengan
demikian refluks dapat dihindari.
6,7

Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhhi oleh kontraksi
m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan di
dorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus. Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus
bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam
lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofageal sfingter
ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong
bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan
menutup kembali.
6,7

Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat dari faring ke
lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut. Normalnya, esofagus
memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik : peristaltik primer dan peristaltik sekunder.
Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai dari
faring danmenyebar ke esofagus selama tahap faringeal dari proses menelan. Gelombang ini
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

9
berjalan dari faring ke lambung dalam waktu sekitar 8 sampai10 detik. Makanan yang ditelan
seseorangdengan posisi tegak biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus bahkan lebih
cepat dari gelombang peristaltik itu sendiri, sekitar 5 sampai 8 detik, akibat aadanya efek
gravitasi tambahan yang menarik makananke bawah.
6,7

Jika gelombang peristaltik gagal mendorong semua makanan yang telah masuk esofagus
ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan
esofagus oleh makanan yang tertahan, gelombang ini terus berlanjut sampai semua makanan
dikosongkan ke dalam lambung.
6,7
Bila gelombang peristaltik esofagus mendekat ke arah lambung, timbul suatu gelombang
relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului peristaltik.
Selanjutnya, seluruh lambung, dan dalam jumlah yang lebih sedikit, bahkan duodenum menjadi
terelaksasi sewaktu gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus dan dengan demikian
mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan yang didorong ke esofagus selama proses
menelan.
6,7

Pada ujung bawah esofagus, meluas sekitar 3cm di atas perbatasan dengan lambung, otot
sirkular esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah yang lebar, atau disebut juga
gastroesofageal.. Normalnya, sfingter ini tetap berkontriksi secara tonik dengan tekanan
intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30mmHg, berbeda dengan bagian tengah esofagus
yang normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik penelanan melewati esofagus,
terdapat relaksasi reseptif dari sfingter esofagus bagian bawah yang mendahului gelombang
peristaltik, yang mempermudah pendorongan makanan yang ditelan ke dalam lambung. Kadang
sfingter tidak berelaksasi dengan baik, sehingga mengakibatkan keadaan yang disebut akalasia.

6,7
Kontriksi tonik dari sfingter esofagus bagian bawah akan membantu untuk mencegah
refluks yang bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan abnormal.
Faktor lain yang membantu mencegah refluks adalah mekanisme seperti-katup pada bagian
esofagus yang pendek yang terletak agak dekat lambung. Peningkatan tekanan intraabdomen
akan mendesak esofagus ke dalam pada titik ini. Jadi, penutup seperti-katup pada esofagus
bagian bawah ini akan membantu mencegah tekana intraabdomen yang tinggi yang berasal dari
desakan isi lambung kembali ke esofagus.
6,7
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

10



2.4 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dan Laryngopharingeal Reflux (LPR)

1) Definisi
GERD (gastroesophageal reflux disease) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.
8
Refluks laringofaring (RLF) adalah salah satu manifestasi refluks ekstra esofagus
dimana terjadi aliran balik asam lambung ke daerah laring, faring, trakea dan bronkus yang
menyebabkan kontak dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas yang menimbulkan jejas
pada laringofaring dan saluran napas bagian atas, dengan manifestasi penyakit-penyakit oral,
faring, laring dan paru.
1,2
Dikenal berbagai istilah LPR seperti GERD supraesofagus, GERD atipikal, komplikasi
ekstra esofagus dari GERD, refluks laryngeal, gastrofaringeal refluks, refluks supraesofageal dan
refluks ekstraesofageal.
1,2

Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

11
2) Epidemiologi
GERD umumnya ditemukan pada populasi di negara-negara Barat, dengan angka
kejadian 10-15% dan umumnya mengenai usia diatas 40 tahun (35%). Hal ini berhubungan
dengan pola konsumsi (kebiasaan diet) masyarakat barat, olahraga, genetik dan kebiasaan
berobat. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di Negara-negara
non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di Cina dan 2,7% di Korea). Di Indonesia belum
ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis
sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi
dyspepsia.
2,3,9
Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan kasus GERD dihubungkan
dengan peningkatan gejala- dan tanda pada laring . Kejadian GERD berkisar antara 7%-25% per
suatu populasi, dimana sekitar 4%-10% pasien tersebut mencari pengobatan pada spesialis THT
akibat keluhan yang dihubungkan dengan GERD. Telah diperkirakan lebih dari 50% pasien
dengan gangguan suara yang datang berobat ke dokter THT diakibatkan oleh RLF yang
merupakan manifestasi ekstra esophagus dari GERD.
2,3

3) Etiologi
Penyebab dari LPR di antaranya adalah:
Menurunnya tekanan LES karena hiatus hernia, diet (lemak, coklat, mint, produk
susu, dll), tembakau, alkohol, obat-obatan (teofilin, nitrat, dopamine, narkotik, dll).
Motilitas esofagus yang abnormal karena penyakit neuromuskular, laringektomi,
etanol.
Penurunan resistensi mukosa karena radioterapi rongga mulut, radioterapi esofagus,
xerostomia.
Penurunan salivasi
Pengosongan lambung yang tertunda/lambat karena obstruksi, diet (lemak),
tembakau, dan alkohol.
Peningkatan tekanan intraabdominal karena kehamilan, obesitas, makan yang
berlebihan, minuman karbonasi.
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

12
Hipersekresi asam lambung atau pepsin karena stress, obat-obatan, alkohol, diet.

4) Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini
akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan,
atau aliran retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3
mmHg).tekanan LES pada individu normal 25-35 mmHg.
1,8
PRGE merupakan peristiwa multifaktorial. Refluks gastroesofageal pada pasien GERD
terjadi melalui 3 mekanisme :
1,8
1) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
2) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
3) Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES diantaranya adalah :
1,8
a. Adanya hiatus hernia (dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan
asam hari esophagus serta menurunkan tonus LES)
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

13
b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)
c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan lain-lain.
d. Faktor hormonal (Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone dapat menurunkan
tonus LES)


Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang diketahui mukosa
faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera langsung akibat asam lambung dan
pepsin yang terkandung pada refluxate. Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding
esofagus karena tidak mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti
esophagus. Terdapat beberapa teori yang mencetuskan respon patologis karena cairan refluks ini
:
1. Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh cairan refluks yang
mengandung asam dan pepsin. Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa cairan
asam dan pepsin merupakan zat berbahaya bagi laring dan jaringan sekitarnya. Pepsin
merupakan enzim proteolitik utama lambung. Aktivitas optimal pepsin terjadi pada pH
2,0 dan tidak aktif dan bersifat stabil pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat
kembali ke pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari sebelumnya.
2. Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang refleks vagal sehingga
akan mengakibatkan bronkokontriksi, gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

14
kronis. Lama kelamaan akan menyebabkan lesi pada mukosa. Mekanisme keduanya akan
menyebabkan perubahan patologis pada kondisi laring. Bukti lain juga menyebutkan
bahwa rangsangan mukosa esofagus oleh cairan asam lambung juga akan menyebabkan
peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan gangguan pernafasan. Cairan
lambung tadi menyebabkan refleks vagal eferen sehingga terjadi respons neuroinflamasi
mukosa dan dapat saja tidak ditemukan inflamasi di daerah laring.
1,7,9

Dalam suatu penelitian, dikatakan bahwa agen spesifik yang bertanggung jawab pada
gejala THT dan patologi laring masih belum diketahui pasti dan masih banyak diperdebatkan.
Beberapa menyebutkan adanya komposisi asam lambung seperti asam dan pepsin, serta
komposisi duodenum seperti asam empedu dan enzim pancreas tripsin menyebabkan keluhan
THT akibat GERD.
3
Pada penelitian in vivo, didapatkan pajanan asam lambung dapat menyebabkan kerusakan
pada bagian subglotic, namun kerusakan yang lebih hebat terlihat pada kombinasi pajanan asam
lambung serta pepsin. Observasi yang sama dilakukan pada pajanan asam serta pajanan
kombinasi asam dan pepsin terhadap esophagus, dan didapatkan hasil yang sama yaitu kerusakan
yang lebiih berat terjadi pada pajanan asam lambung disertai pepsin. Namun belum didapatkan
hasil peneliatian mengenai efek asam empedu serta tripsin pada patologi laring.
3,9
Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari patofisiologi LPR.
yang menyebutkan adanya fungsi proteksi dari enzim carbonic anhydrase. Enzim ini akan
menetralisir asam pada cairan refluks. Pada keadaan epitel laring normal kadar enzim ini tinggi.
Terdapat hubungan yang jelas antara kadar pepsin di epitel laring dengan penurunan kadar
protein yang memproteksi laring yaitu enzim carbonic anhydrase dan squamous epithelial stress
protein Sep70. Pasien LPR menunjukkan kadar penurunan enzim ini 64% ketika dilakukan
biopsy jaringan laring.
3,9

Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

15


Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

16
5). Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PRGE sangat bervariasi dan gejalanya sering sukar dibedakan dengan
kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Gejala refluks gastroesofageal dapat tipikal
dan atipikal. Gejala tipikal atau klasik pada orang dewasa adalah :
1,2,8,9
1. Rasa nyeri/tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri ini
biasanya di deskripsikan sebagai rasa panas di dada yang terjadi setelah makan
(postprandial heart burn), rasa terbakar/panas menjalar ke atas sampai tenggorok atau
mulut 1-2 jam setelah makan atau setelah mengangkat berat atau posisi membungkuk.
Rasa nyeri/panas ini kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan
menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Odinofagia (rasa sakit
pada saat menelan makanan) bias timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat.
2. Regurgitasi isi lambung secara spontan ke esophagus atau mulut.
Bila kedua gejala terjadi bersamaan, diagnosis PRGE dapat ditegakkan lebiih dari 90%.
Gejala atipikal merupakan manifestasi dari refluks ekstra esophagus, termasuk : Nyeri
dada non-kardiak (non-cardiac chest pain), asma, bronchitis, batuk kronik (yang disebaban
oleh aspirasi), pneumonia rekuren, suara serak, laryngitis posterior kronik, sensasi sukar
menelan, otalgia, sariawan, cegukan dan erosi email gigi.
1,2,8

GERD LPR
Heartburn + -
Esofagitis + Jarang
Laringitis - (kecuali sangat parah) Selalu laringitis posterior
Perubahan Suara - +
Abnormalitas Spincter LES UES
Refluks Nokturnal/saat berbaring Siang hari/saat berdiri
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

17
Manifestasi klinis PRGE pada bayi dan anak :
PRGE pada bayi dan anak digolongkan dalam 4 kategori :
1. PRGE fisiologik
2. PRGE fungsional
3. PRGE patologik
4. PRGE sekunder

PRGE fisiologik : episode refluks terjadi pada periode sesudah makan dengan durasi pendek,
biasanya secara klinis tidak jelas, walaupun ada episode regurgitasi.

PRGE fungsional : terjadi pada 50% kasus, biasanya disertai muntah atau regurgitasi, sering
terjadi pada bayi sehat sampai usia 3 bulan, dan keluhan hilang dalam usia 6 bulan sampai 2
tahun. Episode refluks bervariasi 1-10x perhari.

PRGE patologik : terjadi refluks esofagitis, penyakit paru kronis, apne, tumbuh terganggu (
failure to thrive ). Gejala refluks esofagitis pada bayi a.l. menangis, irritabilitas, gangguan tidur,
gangguan menelan. Pada anak-anak yang lebih besar mengeluh nyeri dada, nyeri epigaster,
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

18
abdominal atau substrenal, sukar menelan seperti orang dewasa serta odinofagia. Disfagia
merupakan gejala akibat refluks esofagitis yang bertahan lama atau striktur peptik. Penyakit paru
kronik akibat refluks antara lain batuk, spasme bronkus, bronkitis, spasme laring, suara serak.
Manifestasi keadaan neurologik akibat refluks dikenal dengan sindrom Sandifer yaitu
memiringkan kepala, leher tengkleng, dan postur opistotonik.

PRGE sekunder : Dihubungkan dengan faktor predisposisi PRGE, yaitu ;
- Gangguan neurologi, dengan mekanisme yang berbeda dari PRGE fungsional, sering
dikaitkan dengan spastisitas otot, kifoskoliosis, makan melalui pipa NGT atau gastrotomi,
gangguan saraf sentral, enteral dan mortilitas gastrointestinal.
- Atresia trakeoesofagus
- Hernia hiatus yang besar.

6). Diagnosis
Ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan pemeriksaan
Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi pemeriksaan penunjang sering digunakan
untuk menegakkan diagnosis.
1,8,9
A. Riwayat Penyakit (Anamnesis)
1,8,9

Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata dan utama. Gejala-
gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain seperti keeadaan alergi dan
kebiasaan merokok. Gerakan paradox dari pita suara dan spasme laring juga dapat
dikarenakan LPR sehingga perlu ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan
dan perubahan suara. Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks sering
dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang asam lambungnya
dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan pada kasus asma
78%.
Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti rasa seperti
terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat mengkonsumsi obat gastritis seperti
antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

19
seperti ini membantu penegakan diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang
dengan keluhan yang tidak pasti.
Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92% ditemukan
pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol ditenggarai sebagai salah satu
penyebab penurunan tekanan esofagus bawah, kelemahan tahanan mukosa, memanjangnya
waktu pengosongan lambung dan merangsang sekresi lambung
Belafsky, et al mengembangkan suatu sistem penilaian diagnostik, yaitu Reflux Symptom
Index (RSI) untuk membantu dokter menilai derajat relatif dari gejala LPR saat penilaian
awal dan setelah pengobatan. Ada 9 gejala refluks (Reflux Symptom Index/RSI) yang dapat
digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR dan derajat sebelum dan sesudah terapi.
Gejala yang sering muncul seperti suara serak, mendehem, penumpukan dahak di tenggorok
atau post nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan, sulit bernafas atau tersedak, batuk
yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa
asam naik ke tenggorok. Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan
rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma laring ditemukan
riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik 56%.Skor RSI adalah 0-45 dengan skor 13 curiga
LPR. RFS lebih dari atau sama dengan 7 pasien dianggap memiliki LPR.

Tabel 1. Reflux Symptom Index (RSI)
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

20





Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

21
B. Pemeriksaan Fisik
1,8,9

Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura posterior,
globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik dan karsinoma laring.Untuk
melihat gejala LPR pada laring dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling
bermakna seperti adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior.

Gambar 1. Hipertrofi komissura Posterior



Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

22
3. Pemeriksaan Penunjang
1,8,9

a) Laringoskopi fleksibel
Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya yang digunakan
adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik
dibandingkan laringoskop rigid.
b) Monitor pH 24 jam di faringoesofageal
Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe pH monitoring yang
merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR. Pertama kali diperkenalkan oleh
Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan LPR
tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam
mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan adanya
refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan dibawah sehingga dapat menentukan
adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak
nyaman dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%.Hal ini dikarenakan pola
refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya hidup sehingga
kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya dapat
menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini
disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap pengobatan supresi asam.
c) Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai pemeriksaan awal
pada pasien suspek PRGE dengan manifestasi penyakit otolaringologi dan tidak
merupakan prasyarat untuk memulai terapi medic.
Indikasi Pemeriksaan endoskopi :
Pasien dengan gejala tanda bahaya, antara lain disfagia, odinofagia, berat badan
menurun, anemia, perdarahan gastrointestinal untuk menyingkirkan kelainan traktus
gastrointestinal atas, metaplasia Barret dan komplikasi lain.
Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medic, pasien yang mengalami gejala
lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis dan hasil terapi.
Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam penegakan diagnosis.
Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

23
patut dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar barret dengan
atau tanpa adanya inflamasi esofagus.

d) Pemeriksaan videostroboskopi
Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber cahaya xenon
yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan
lambat.
e) Pemeriksaan laringoskopi langsung
Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi. Dapat
melihat secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat dilakukan
tindakan biopsi

7). Penatalaksanaan
Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya hidup dengan
modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi funduplikasi.
1,8,9

a) Modifikasi diet dan gaya hidup
Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat agar terapi
berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai pencegahan refluks cairan
lambung merupakan kunci pengobatan LPR. Pasien akan mengalami pengurangan
keluhan dengan perubahan diet dan gaya hidup sehat. Misalnya pola diet yang dianjurkan
pada pasien seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum berbaring, pengurangan porsi makan,
hindari makanan yang menurunkan tonus otot sfingter esofagus seperti makanan
berlemak, gorengan, kopi, soda, alkohol, mint, coklat buahan dan jus yang asam, cuka,
mustard dan tomat.. Anjuran lain seperti menurunkan berat badan jika berat badan pasien
berlebihan, hindari pakaian yang ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring
10- 20cm dan mengurangi stress. Jika merokok dianjurkan berhenti karena akan
merangsang refluks. Hindari pakaian yang terlalu sempit terutama celana, korset dan ikat
pinggang. Hindari olahraga seperti angkat berat, berenang, jogging dan yoga setelah
makan. Tinggikan kepala jika ada gejala refluks nokturnal seperti suara serak, tidak
nyaman di tenggorok, dan batuk di pagi hari. Batasi konsumsi daging merah, mentega,
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

24
keju, telur dan bahan mengandung kafein. Hindari selalu makanan gorengan, makanan
tinggi lemak, bawang, tomat, buahan dan jus yang asam, soda, bir, alcohol.
1,9


b) Medikamentosa
Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan terapi
LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks. Cara kerja PPI
dengan menurunkan kadar ion hydrogen cairan refluks tetapi tidak dapat menurunkan
jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan refluks asam lambung sampai lebih
dari 80%. Rekomendasi dosis adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 3
sampai 6 bulan. Salah satu kepustakaan menyebutkan rentang waktu pengobatan dapat
sampai 6 bulan atau lebih dengan menggunakan PPI 2 kali sehari untuk memperbaiki
laring yang cedera. Dalam penelitian sebelumnya Omeprazole disebut sebagai derivat
PPI yang ampuh ternyata akhir-akhir ini Lansoprazole dan Pantoprazole dianggap lebih
maksimal dalam menekan asam lambung. Kemudian zat proteksi mukosa, sukralfat
misalnya dapat digunakan untuk melindungi mukosa dari cedera akibat asam dan pepsin.
Promotility Agents, obat ini bekerja dengan cara meningkatkan tekanan LES (lower
esophagus spincters), meningkatkan pengosogan lambung dan dapat meningkatkan
mekanisme pembersihan esophagus, Metoclopramid 10/15 mg. Pemeriksaan sedianya
dilakukan rutin setiap 3 bulan yang berguna memantau gejala atau mencari penyebab
lain jika tidak terjadi perbaikan.
1,8,9

c) Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier pada daerah
pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah refluks seluruh isi gaster kearah
esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus menerus minum obat atau
dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung. Sekarang ini
tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi laparoskopi yang kurang invasif.
Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman
dan mengerti mengenai anatomi esofagus serta menguasai teknik funduplikasi
konvensional agar angka komplikasi dapat ditekan. Sehingga operasi ini bukan pilihan
pertama pada kasus LPR.
1,8,9

Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

25

8). Komplikasi
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti faringitis, sinusitis,
asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan keganasan laring. Salah satu
komplikasi yang patut diwaspadai dan mengancam nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR
ditemukan pada 75% pasien stenosis laring dan trakea.
1,9


9). Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan terapi harus
diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari salah satu kepustakaan
menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan laryngitis posterior berat sekitar 83%
setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan
setelah berhenti berobat, sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole
30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.
1,9


















Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

26

BAB III
KESIMPULAN

1) Penyakit refluks gastroesofagus merupakan kelainan saluran cerna bagian atas yang
disebabkan oleh refluks gastroesofagus patologik yang sering tidak terdiagnosis oleh dokter
bila belum menimbulkan keluhan yang berat.
2) Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat didefinisikan sebagai
pergerakan asam lambung secara retrograd menuju faring dan laring serta saluran pencernaan
atas
3) Penyebab LPR adalah refluks retrograd dari asam lambung atau isinya pepsin ke saluran
esofagus atas dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung sehingga terjadi
kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk
kronis akibatnya akan terjadi iritasi dan inflamasi.
4) Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat tentang keluhan
penderita ditunjang dengan pemeriksaan khusus.
5) Penatalaksanaan PRGE terdiri dari beberapa tahap antara lain mengubah kebiasaan hidup,
obat-obatan dan operasi













Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

27

DAFTAR PUSTAKA

o Yunizaf, M.H & Iskandar, N. Penyakit Refluks Gastroesofagus dengan Manifestasi
Otolaringologi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher edisi ketujuh. FKUI. Jakarta.2012. Hal. 270-273.
o Andriani, Y. dkk. Deteksi pepsin pada penderita refluks laringofaring yang didiagnosis
berdasarkan reflux symptom index dan reflux finding score. Bagian Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar. 2005
Available from : http://www.perhati.org/wp-content/uploads/2012/01/Final-edit-
Endang-Deteksi-Pepsin-dr.pdf
o Faezi, M.F, et al. Reviews : Laryngeal Signs and Symptoms and Gastroesophageal
Reflux
o Disease (GERD): A Critical Assessment of Cause and Effect Association. Clinical
Gastroenterology and Hepatology. Cleveland. 2003;1:333344 . Available from :
http://www.usagiedu.com/articles/entger/entger.pdf
o Rusmarjono, Kartosoediro, S. Odinofagia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta. 2007. Hal 212-216.
o Asroel, H.A. Penyakit Refluks gastroesofagus. Fakultas Kedokteran Bagian
Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara. 2002.
Available from :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3466?mode=full&submit_simple=Show+f
ull+ite+record
o Soepardi, E.A. Disfagia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher edisi keenam. FKUI. Jakarta.2007. Hal. 276-280
o Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam Saluran
Pencernaan. Dalam : Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. EGC.
Jakarta. 2007. Hal. 821-831
Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi Otolaringologi | Stase THT- RSIJ Cempaka putih
Periode : 7 Juli 10 Agustus 2014
FK Universitas Muhammadiyah Jakarta

28
o Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
o Novialdy & Irfady,D. Laryngopharyngeal Refluks. Bagian Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala-Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang.
2005. Available from :
http://repository.unand.ac.id/17700/1/Laryngopharingeal_reflux.pdf

Anda mungkin juga menyukai