Anda di halaman 1dari 50

i

ii


iii

JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN
PENYEHATAN LINGKUNGAN

DEWAN REDAKSI

Penasihat : Direktur Jenderal PP dan PL
Sekretaris Ditjen PP dan PL

Penanggung Jawab : Kepala Bagian Hukormas
Redaktur : drg. Yossy Agustina, MH.Kes
dr. Ita Dahlia, MH.Kes
Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Dr. Lukman Hakim
Dyah Prabaningrum, SKM

Penyunting/Editor : dr. Ratna Budi Hapsari, M.Kes
Dr. Suwito , SKM, M.Kes
Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Ahmad Abdul Hay, SKM

Design Grafis/ Fotografer : Eriana Sitompul
Bukhari Iskandar, SKM
Devi Nurdiansyah, Amd

Sekretariat : Dewi Nurul Triastuti, SKM
Risma, SKM
Putri Kusumawardani, ST
Aditya Pratama, SI.Kom
Indah Nuraprilyanti, SKM

Penerbit : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta 10560
Telepon/Faks: (021) 4223451
email: humas.p2pl@gmail.com
website: www.pppl.depkes.go.id
facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
iv

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga Jurnal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini dapat diterbitkan demi memenuhi
kebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
khususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta
penyehatan lingkungan di Indonesia.

Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi 3 yang terbit
di penghujung tahun 2013. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil
penelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang
ingin mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini.
Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal
ini.

Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat
bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2013






v

Daftar Isi

Halaman
Efektivitas Bacillus Thuringiensis Varian Israelensis Serotipe H-14
Dalam Mematikan Larva Aedes Aegypti pada Skala Lapangan ............................ 1 - 3

Ketahanan Hidup Pasien Kanker Payudara Stadium Awal di Rumah
Sakit kanker Dharmais Jakarta ............................................................................... 4 - 8

Pengembangan Dispeneser Anti Nyamuk dalam Menurunkan Kepadatan
Nyamuk Demam Berdarah Dengue ........................................................................ 9 - 12

Pelatihan dalam Impelementasi Sistem Skoring TB Anak di
Pelayanan Kesehatan Primer di DKI Jakarta ......................................................... 13 - 15

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Multipartner pada
Tukang Ojek yang Mangkal di Dekat Lokalisasi Pasar Kembang Kota
Yogyakarta .............................................................................................................. 16 - 23

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan Memulai
Pengobatan Pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta..................................... 24 - 28

Pemeriksaan Pendahuluan Sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali,
Jawa Tengah Tahun 2013 ..................................................................................... 29 - 31

Hambatan Kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin Bandung ............................. 32 - 34

Evaluasi Pasca Pelatihan Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan
Tingkat Ahli Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto ............................................. 35 - 39

Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa
Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2013 ............................ 40 - 44







1

Efektivitas Bacillus thuringiensis varian israelensis Serotipe H-14
dalam Mematikan Larva Aedes aegypti pada Skala Lapangan

Suwito
1
, Achmad Farich
2
, Winarno
1
, Budi Santoso
1


1
Direktorat PPBB, Direktorat Jenderal PP dan PL,
2
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati
Bandar Lampung

Abstrak. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Upaya
pencegahan DBD yang paling efektif adalah dengan cara pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas Bacillus thuringiensis varian israelensis (Bti) serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti pada skala
lapangan. Penelitian ini dilaksanakan bulan Januari-Maret 2012 di Kota Tanjung Karang, Provinsi Lampung dengan desain
rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 3 populasi kelompok perlakuan. Bti yang digunakan serotipe H-14 formulasi cair
mengandung 600 ITU per ml atau1,2 x 10
9
CFU, dengan dosis 2 tetes per 5 liter air. Kelompok populasi perlakuan I diberikan
sekali aplikasi Bti terhadap semua media perairan yang ada, kelompok populasi perlakuan II diberikan aplikasi Bti setiap
minggu, sedangkan kelompok populasi perlakuan III adalah kelompok kontrol dengan placebo. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada sekali pemakaia Bti di lapangan efektif mematikan larva Ae. aegypti selama 3 minggu, sedangkan pada aplikasi
setiap minggu menunjukkan hasil yang efektif dan mulai minggu keempat tidak lagi ditemukan jentik nyamuk.

Kata kunci: Bti serotipe H-14, Efikasi, Larva Ae. Aegypti

Koresponden: Suwito, Subdit Pengendalian
Arbovirosis, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL.
Tep. 081379729578, email: suwito_enk@yahoo.co.id

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah
satu masalah kesehatan utama di Indonesia.
Penyakit ini sering kali menimbulkan Kejadian Luar
Biasa (KLB) di beberapa kabupaten/kota di
Indonesia. Pada tahun 2012, kasus DBD di Indonesia
dilaporkan sebanyak 90.245 orang dengan kematian
816 orang (Ditjen PP dan PL, 2013). Angka
kesakitan dan kematian DBD yang masih tinggi
disebabkan oleh banyak faktor antara lain
restistensi vektor. Penggunaan insektisida dalam
pengendalian, rumah tangga dan pertanian secara
terus-menerus dapat memicu terjadinya resistensi
vektor (Ponlawat et all., 2005).
Upaya pencegahan DBD yang paling efektif adalah
dengan cara pemutusan mata rantai penularan,
yaitu dengan melakukan pengendalian vektor.
Berdasarkan Permenkes Nomor 374 Tahun 2010
tentang Pengendalian Vektor, dapat dilakukan
secara fisik, biologi dan kimiawi.
Penggunaan bahan pengendali Bacillus thuringiensis
varian israelensis (Bti) serotipe H-14 merupakan
bagian dari pengendalian vektor secara biologi. Bti
menghasilkan kristal protein yang disukai larva
nyamuk. Kristal protein yang dimakan/termakan oleh
larva menempel pada permukaan sel epitel usus,
sehingga membentuk pori atau lubang pada usus
yang pada akhirnya larva akan mengalami
gangguan pencernaan dan mati.
Kelebihan pengendalian vektor secara biologi
antara lain tidak menimbulkan resistensi dan residu
lingkungan yang berbahaya. Penelitian skala laboratorium Bti
telah terbukti mematikan larva Aedes, Culex dan
Anopheles. Aplikasi efikasi Bti skala lapangan
diperlukan untuk mengetahui efektivitas Bti dalam
membunuh larva nyamuk pada skala lapangan dan
penurunan kasus DBD.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui efektivitas
Bti serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae. aegypti
pada skala lapangan; dan 2) Mengetahui jangka waktu
Bti serotipe H-14 dalam mematikan larva Ae.
aegypti pada skala lapangan.

BAHAN DAN CARA

Waktu dan Tempat
Penelitian efikasi dilaksanakan sejak bulan Januari
sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilaksanakan
di kelurahan paling tinggi kasus DBD, yaitu Kelurahan
Tanjung Senang, Kota Bandar Lampung, Provinsi
Lampung.

Bahan
Bahan yang diuji adalah Bti serotipe H-14 formulasi
cair yang mengandung 600 ITU per ml atau1,2 x 10
9

CFU, dengan dosis pemakaian dua tetes per lima liter air.

2


Gambar 1. Penetesan Bti

Desain
Penelitian efikasi menggunakan desain eksperimen
metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 8 ulangan.

Pengambilan Sampel Rumah
Populasi sampel adalah seluruh rumah yang ada
di tiga rukun tetangga (RT), yaitu RT 7, RT 5 dan RT
8. Populasi sampel di RT 7 dengan sekali perlakuan
Bti (kelompok I), populasi sampel di RT 5 dengan
perlakuan Bti setiap minggu (kelompok II),
sedangkan populasi sampel di RT 8 sebagai kontrol
(kelompok III).

Pengamatan Larva Nyamuk
Sebelum dilakukan pengujian, setiap media
perairan diamati keberadaan larva Ae. aegypti.
Kemudian pengamatan larva nyamuk dilakukan 24
jam pertama setelah perlakuan, selanjutnya setiap
minggu selama tujuh minggu. Selain pengamatan
larva Ae. aegypti, juga dilakukan pengamatan jenis
habitat perkembangbiakan larva Ae. aegypti.

Analisis
Analisis efikasi menggunakan panduan WHO (2003),
sebagai berikut:
- Bti serotipe H-14 dinyatakan efektif apabila
kematian larva80%, dan dinyatakan tidak efektif
apabila kematian larva <80%.
- Apabila kematian larva kontrol sebanyak 5-20%,
maka kriteria efikasi berdasakan rumus Abbot:

KL =
% KP - % KK
x 100
100 - % KK
KL=Kematian Larva, KP=Kematian Perlakuan, KK=Kematian Kontrol

- Apabila kematian larva kontrol lebih dari 20%,
maka pengujian dianggap gagal dan harus diulang
lagi.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada pengamatan awal, jumlah seluruh kontainer
sebanyak 1.034 buah, terdiri dari 529 positif larva
Ae. aegypti dan 505 negatif. Pada kelompok I
dengan sekali perlakuan Bti yang positif larva Ae.
aegypti sebanyak 153 kontainer dan negatif 197
kontainer. Pada kelompok II dengan perlakuan Bti
setiap minggu yang positif larva Ae. aegypti
sebanyak 172 kontainer dan negatif 88 kontainer.
Pada kelompok III sebagai kontrol yang positif larva
Ae. aegypti sebanyak 204 kontainer dan negatif 220
kontainer (Gambar 2).













Gambar 2. Pengamatan awal kondisi kontainer di
wilayah uji

1. Habitat Perkembangbiakan Ae. aegypti
Jenis kontainer yang positif larva Ae. aegypti
berturut-turut dari yang tertinggi hinggi terendah,
yaitu bak mandi 40,2%, sumur 16,8%, ember 12,8%,
gentong 8,6%, ban 4,1%, kolam ikan 3,7%,
dispenser 3,4%, gelas 2,6%, drum 1,9%, kaleng 1,5%,
aquarium 1,3%, pot bunga 0,9%, kulkas 0,6%,
toples 0,4% dan lain-lain 1,3% (Gambar 3).
Gambar 3. Persentase Kontainer Positif Larva Ae.
aegypti




3


2. \Efektivitas Bti
Berdasarkan pengamatan pada kelompok I,
pada awal pengamatan didapatkan 153 kontainer
positif larva Ae. aegypti, setelah diberi perlakuan Bti
pada pengamatan 24 jam, 97,4% kontainer bebas
larva Ae. aegypti, pengamatan minggu pertama
sebesar 85% kontainer bebas larva Ae. aegypti,
minggu kedua 80,4%, minggu ketiga 80,4%, minggu
keempat 75,3%, minggu kelima 76,4%, minggu
keenam 80% dan minggu ketujuh 72,7% (Gambar
4).

WHO (2003) menyatakan bahwa sebuah metode
pengendalian dikatakan efektif apabila dapat
mematikan 80% vektor/serangga sasaran. Artinya,
pada sekali pemakaian Bti pada skala lapangan
efektif mematikan larva Ae. aegypti hingga tiga
minggu. Pada minggu keenam terjadi peningkatan
hingga 80% dikarenakan perilaku pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) masyarakat yang membaik
setelah dikunjungi oleh petugas, bukan karena
efektivitas Bti.

Gambar 4. Efektivitas Bti serotipe H-14 pada sekali
pemakaian dalam mematikan larva Ae. aegypti
pada skala lapangan

Berdasarkan pengamatan pada kelompok II setiap
minggu perlakuan Bti, pada awal pengamatan
didapatkan 172 kontainer positif larva Ae. aegypti,
setelah diberi perlakuan Bti pada pengamatan 24
jam, 99,4% kontainer bebas larva Ae. aegypti,
pengamatan minggu pertama sebesar 81,4%
kontainer bebas larva Ae. aegypti, minggu kedua
93%, minggu ketiga 98,3%, minggu keempat
99,3%, minggu kelima 100%, minggu keenam
100% dan minggu ketujuh 100% (Gambar 5). Pada
pemakaian Bti tiap minggu menunjukkan hasil yang
sangat efektif dalam mematikan larva Ae. aegypti
(kematian di atas 80%), bahkan mulai minggu kelima
kematian mencapai 100% (Gambar 5).
Gambar 5. Efektivitas Bti serotipe H-14 pada
pemakaian tiap minggu dalam mematikan larva Ae.
aegypti pada skala lapangan

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Bti serotipe H-14 efektif mematikan larva Ae.
aegypti hingga 3 minggu dalam sekali pemakaian di
lapangan.
2. Bti serotipe H-14 efektif mematikan larva Ae.
aegypti setiap minggu dalam pemakaian setiap
minggu di lapangan dan mulai minggu keempat
tidak lagi ditemukan jentik nyamuk.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian
Vektor.
Kementerian Kesehatan RI, 2013. Tabulasi Kasus
DBD di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Ponlawat, A., Scott, J.G., Harrington, L.C., 2005.
Insecticide susceptibility of Aedes aegypti and
Aedes albopictus across. Thailand. J. Medical
Entomol. Bangkok.
World Health Organization, 2003. Entomology and
Vector Control Trial Edition. Genewa.
4

Ketahanan Hidup Pasien Kanker Payudara Stadium Awal
di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta

Sorta Rosniuli
1
, Teguh Aryandono
2

1
Direktorat PPTM, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI,
2
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
Abstrak. Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Upaya deteksi dini atau
penemuan kasus secara dini (early diagnosis) dan pengobatan segera (prompt treatment) akan mempengaruhi ketahanan
hidup pasien kanker payudara stadium awal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup
pasien kanker payudara stadium awal (0-IIB), perbedaan antara 0-IIA dan IIB, dan faktor luar yang berperan dalam
mempengaruhi ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort
retrospektif. Pasien kanker payudara stadium awal diamati sejak mulai operasi sampai mengalami kematian atau sampai
batas akhir pengamatan dengan menggunakan data sekunder yang direkap dari Form Ikhtisar Perawatan Kanker Payudara
dan Terapi sejak tahun 1995 sampai dengan 2009. Setelah data diperoleh maka dilakukan analisis ketahanan hidup
(survival analysis). Populasi penelitian adalah pasien kanker payudara stadium awal yang menjalani pengobatan di Rumah
Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah pasien kanker payudara yang mendapat
tindakan operasi sejak tahun 1995 sampai 2009.
Kata kunci: Ketahanan hidup, Kanker payudara stadium awal
Koresponden: Sorta Rosniuli, Direktorat PPTM,
Ditjen PP dan PL, Telp.081383920228,
email:sortarosniuli@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Kanker merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia
termasuk Indonesia. Setiap tahun terdapat 12 juta
orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6
juta diantaranya meninggal dunia. Jika tidak dilakukan
pengendalian yang memadai, maka pada tahun
2030 diperkirakan 26 juta orang akan menderita
kanker dan 17 juta diantaranya akan meninggal
dunia. Kejadian ini akan terjadi lebih cepat
khususnya di negara miskin dan berkembang (UICC,
2009).
Pasien biasanya datang ke rumah sakit sudah
dalam keadaan stadium lanjut. Hukom, (2002)
menemukan bahwa dari 447 pasien kanker
payudara yang berobat ke Rumah Sakit Kanker
Dharmais (RSKD), hampir setengahnya merupakan
stadium lanjut. Keadaan ini dapat terjadi, karena
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
pentingnya melakukan deteksi dini, jarak tempuh ke
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang jauh,
sehingga pasien terlambat datang ke fasyankes untuk
memeriksakan diri atau mendapatkan pengobatan.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan
hidup pasien kanker payudara adalah dengan
melakukan deteksi dini dan pengobatan segera.
Berdasarkan Kepmenkes No. 796/Menkes/SK/VII/2010
tentang Pedoman Teknis Pengendalian Kanker
Payudara, upaya pengendalian kanker payudara
antara lain dengan melakukan pemeriksaan USG
pada umur<40 tahun dan mammography pada
umur>40 tahun. Pendidikan tinggi, pengetahuan
yang baik, metode yang tepat untuk deteksi dini,
dan pengobatan yang memadai sangat diperlukan
untuk meningkatkan hasil penanganan kanker
payudara (Park et al., 2008). Selain itu peningkatan
peran petugas kesehatan di tingkat pelayanan dasar
sangat efektif dalam penemuan kanker payudara
pada stadium awal (Gorey et al., 2010).
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup
pasien kanker payudara stadium awal
2. Mengetahui perbedaan lama ketahanan hidup
kanker payudara stadium awal (0-IIB)
3. Mengetahui faktor luar yang berperan mempengaruhi
ketahanan hidup kanker payudara stadium awal
5

BAHAN DAN CARA
Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort
retrospektif. Pasien kanker payudara stadium awal
diamati secara retrospektif sejak mulai operasi di
Rumah Sakit Dharmais sampai mengalami kematian
(event/out come) atau sampai batas akhir pengamatan
dengan menggunakan data sekunder yang direkap
dari Form Ikhtisar Perawatan Kanker Payudara dan
Terapi sejak tahun 1995 sampai dengan 2009.
Setelah data diperoleh maka dilakukan analisis
ketahanan hidup (survival analysis). Populasi penelitian
adalah penderita kanker payudara stadium awal
yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta. Sampel yang memenuhi kriteria
inklusi adalah penderita kanker payudara yang
mendapat tindakan operasi sejak tahun 1995
sampai 2009.

Jumlah sampel minimal dihitung sesuai dengan
rumus untuk penelitian kohort uji hipotesis terhadap
risiko relatif (Lameshow et al., 1990) sebagai berikut:

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah
sampel minimal sebanyak 98 orang dengan
masing-masing kelompok stadium yang akan diuji
sebanyak 49 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, sebagian besar pasien kanker
payudara stadium awal yang datang ke RSKD
adalah stadium 0-IIA, yaitu 119 orang (69,59%).
Dari data karakteristik 178 orang pasien kanker
payudara stadium awal, 123 orang (69,1%)
diantaranya stadium 0-IIA, sedangkan 55 orang
(30,9%) stadium IIB. Dari pasien-pasien kanker
payudara stadium awal tersebut, jumlah yang
meninggal sebanyak 12 orang (6,7%) dan yang
hidup sebanyak 166 orang (93,3%) (Bagan).










Bagan

Terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan
hidup kanker payudara dengan stadium klinis
(p=0,02). Bila dibandingkan antara stadium 0-IIA
dan stadium IIB, ditemukan rerata ketahanan hidup
(mean survival life) pada stadium IIB selama 93,63
bulan (CI 95%: 69,91-117,35), sedangkan pada
stadium 0-IIA selama 162,79 bulan (CI 95%:
151,86-173,72) dan median survival life 95 bulan (CI
95%:55,09-134,91) (Gambar).
Kanker Payudara Stadium Awal Tahun 1995 2009
n=178

Stadium 0-IIA
n=123
Stadium IIB
n=55
Hidup
119 (96%)

Meninggal
4 (4%)
Hidup
47 (84,7%)

Meninggal
8 (16,3%)

6

Gambar
Dari hasil analisis secara multivariate cox proportional
hazard, terlihat jelas perbedaan ketahanan hidup
kanker payudara stadium awal stadium 0-IIA
dibandingkan IIB. Perbedaan ini dibuktikan dengan
uji log rank yang secara statistik berbeda bermakna
dengan p=0,008. Hasil analisis multivariat dengan
Cox Proportional Hazard, nilai HR=5,22 kali (1,55-
17,55), artinya risiko kematian pada pasien kanker
payudara stadium IIB adalah 5,22 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan stadium 0-IIA setelah
memperhitungkan variabel kovariat (Tabel).
Tabel model akhir faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap ketahanan hidup pasien kanker payudara
stadium awal di RSKD Jakarta (analisis Cox Proportional
Hazard)
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan
hidup pasien kanker payudara dengan stadium
klinis (p=0,008). Bila dibandingkan antara stadium
0-IIA dan stadium IIB, rerata ketahanan hidup
(mean survival life) pada stadium IIB lebih rendah,
yaitu 93,63 bulan (95% CI: 69,91-117,35), sedangkan
stadium 0-IIA 162,79 bulan (95% CI: 151,86-173,72)
dan median survival life 95 bulan (95% CI:55,09-
134,91).
Risiko kematian pada pasien kanker payudara
stadium IIB 5,22 kali (95% CI: 1,55-17,55) lebih tinggi
dibandingkan stadium 0-IIA setelah memperhitungkan
variabel kovariat lainnya.
Letak tumor, umur, status perkawinan, pendidikan,
estrogen reseptor, progesteron reseptor, status p-
53, ukuran tumor, status kelenjar, HER-2, dan
kelengkapan terapi mempunyai hubungan terhadap
ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium
awal, namun dalam penelitian ini setelah dibuktikan
secara statistik hasilnya tidak bermakna.

Saran
Kepada pasien
Untuk menginformasikan dengan jelas dan tepat
tentang tempat tinggal, nomor telepon (baik tetap
maupun sementara), dan keluarga yang bisa
dihubungi dari tempat asal atau yang tinggal di
Jakarta, diharapkan mempunyai inisiatif untuk
menyampaikan kepada petugas RSKD jika pindah
alamat dan atau mengganti nomor telepon.
Untuk semua perempuan, agar melaksanakan
deteksi dini, dan bagi yang sudah terdiagnosis
kanker payudara stadium awal, agar segera
mengikuti prosedur penanganan dan perawatan
yang lebih baik, sehingga memungkinkan untuk
mendapatkan ketahanan hidup yang lebih tinggi
dan kualitas hidup yang lebih baik. Pengobatan
lebih awal telah terbukti dapat meningkatkan
ketahanan hidup.
Dianjurkan untuk selalu melakukan kontrol ke rumah
sakit, sehingga dapat terus terpantau dan dapat
segera diketahui jika penyakitnya kambuh lagi.



B SE p
Adjusted HR*
(95%CI**)
Sta-
dium
1,652 0,619 0,008 5,22 (1,55-17,55)
**Hazard Ratio, **Confidence Interval
Follow -up(bulan)
200 150 100 50 0
K
e
t
a
h
a
n
a
n

H
i
d
u
p
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Log Rank=8,804, p=0,003
II B-censored (41)
0 - II A-censored (95)
II B (8)
0 - II A (4)
Stadium
7

Kepada keluarga pasien
Agar keluarga memberikan dukungan dan perhatian
kepada pasien dalam menjalani pengobatan.
Berdasarkan studi ini pasien yang memiliki pasangan
hidup ketahanan hidupnya lebih baik dibandingkan
pasien yang tidak memiliki pasangan hidup.
Kepada masyarakat
Agar melakukan pemeriksaan deteksi dini dengan
teratur dan lebih meningkatkan wawasannya tentang
gejala dan tanda kanker payudara yang sering tidak
nyata. Apabila ada keluhan seringan apapun, agar
segera memeriksakan diri, sehingga meskipun pada
akhirnya didiagnosis sebagai kanker payudara stadium
awal, maka berdasarkan hasil penelitian ini ketahanan
hidup akan jauh lebih baik dan berkualitas.

Bagi pengelola program pengendalian penyakit
kanker
Baik di tingkat pusat maupun daerah, agar memfasilitasi
akses layanan deteksi dini, memperbaiki sistem
rujukan, meningkatkan akses layanan konseling agar
masyarakat mau untuk deteksi dini secara sukarela.

Kepada tenaga medis dan paramedis
Disarankan agar lebih memperhatikan kelengkapan
rekam medik pasien, karena hanya dengan catatan
yang akurat dapat digunakan untuk rekomendasi
pengobatan yang tepat pada pasien kanker payudara.
Diharapkan juga turut mencatat faktor-faktor risiko
yang berhubungan dengan terjadinya kanker payudara.

Bagi rumah sakit sebagai manajemen data rekam
medik RS Kanker Dharmais.
Diharapkan agar pengelolaan pencatatan dan
pelaporan rekam medik dilakukan lebih baik lagi,
sehingga informasi data rutin dapat lebih lengkap,
missing data dapat diminimalkan dan tidak terjadi
kesulitan dalam menemukan rekam medik terutama
bagi pasien yang sudah meninggal.

Bagi peneliti lain, dianjurkan melakukan penelitian
lebih lanjut seperti:
Penelitian kohort dengan waktu pengamatan yang
lebih lama dengan jumlah sampel yang lebih
besar yang dilakukan di populasi.
Menilai kekambuhan dari pasien kanker payudara
stadium awal dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kekambuhan.
Menilai faktor prognostik lain yang berkaitan dengan
ketahanan hidup pasien kanker payudara stadium
awal seperti kegemukan, comorbidity, dan faktor
genetik.
Menilai perbedaan ketahanan hidup pasien yang
dari awal diagnosis langsung mendapatkan
pengobatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais
dibandingkan pasien yang setelah didiagnosa,
lebih dahulu mendapatkan pengobatan di tempat
lain dan akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Kanker
Dharmais.

DAFTAR PUSTAKA

Aryandono T, 2006. Faktor Prognosis Kanker Payudara
Operabel di Yogyakarta. Disertasi. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Clark GM, 2000. Prognostic and Predictive Factors.
Dalam:Harris JR, Lippmann, Morrow M, Osborne
CK, 2000. Disease of the Breast. second edition.
Lippincot. Philadelphia. 467-479.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
Pedoman Kanker Nasional. Direktorat Jenderal
PP dan PL. Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara
dan Leher Rahim. Direktorat Jenderal PP dan
PL. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular. Jakarta.
T.S. Dabakuyo, F.Bonnetain, P.Roignot, M.L.Poillot,
G.Chaplain, T.Altwegg, G.Hedelin, and P.Arveux,
2007. Population Based Study Of Breast Cancer
Survival In Cote Dor (France):Prognostic Factors
And Relative Survival. Annals of Oncology
19:276-283.
Zhang BN, Shao ZM, Qiao XM, Li B, Jiang J, Yang
MT, Wang S, Song ST, Zhang B, Yang HJ,
2005. A Prospective Multicenter Clinical Trial Of
8

Breast Conserving Therapy for Early Breast
Cancer in China. Chinese Academy of Medical
Sciences. Peking Union Medical College. Beijing.
9

Pengembangan Dispenser Anti Nyamuk dalam Menurunkan Kepadatan
Nyamuk Demam Berdarah Dengue

Suwito

Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI

Abstrak. Tahun 2012 jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) sebanyak 90.245 orang dengan kematian 816
orang. Salah satu upaya pengendalian DBD adalah dengan cara pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efektivitas dispenser anti nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk DBD. Penelitian dilaksanakan di Bogor
Jawa Barat dengan jumlah responden sebanyak 20 keluarga yang mempunyai dispenser sebagai sarana air minum
keluarga. Jenis penelitian eksperimen dengan desain rancangan acak lengkap. Responden diberikan perlakuan penyuluhan
dan pemasangan stiker anti nyamuk. Kepadatan nyamuk diamati sebelum dan setelah perlakuan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dispenser anti nyamuk efektif menurunkan populasi nyamuk di atas 80% setelah pemakaian minggu
ketujuh.


Kata Kunci: Dispenser Anti Nyamuk, Kepadatan Nyamuk

Koresponden: Suwito, Subdit Pengendalian
Arbovirosis Direktorat PPBB Ditjen PP dan PL. Telp.
081379729578, email: suwito_enk@yahoo.co.id

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah
satu masalah utama kesehatan di Indonesia. Penyakit
ini sering kali menimbulkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia.
Pada tahun 2012 terdapat 497 kabupaten/kota terserang
DBD, dengan total penderita sebanyak 90.245 orang
dan kematian 816 orang (Ditjen PP dan PL, 2013).
Pengendalian DBD yang efektif, yaitu pemutusan
rantai penularan dengan cara pengendalian vektor
(Aedes). Salah satu metode pengendalian vektor adalah
dengan cara modifikasi dan manipulasi lingkungan dan
tempat perkembangbiakan vektor (Ditjen PP dan PL, 2012).
Metode pengendalian secara fisik ini merupakan
alternatif utama sebelum dipilih metode secara kimiawi.
Banyak cara pengendalian secara fisik, antara lain
menggunakan ovitrap. Ovitrap adalah perangkap telur
nyamuk berupa media yang berisikan air untuk memancing
nyamuk meletakkan telurnya. Sebelum tumbuh menjadi
nyamuk dewasa, air di media ovitrap harus dibersihkan.
Tempat pembuangan air pada dispenser merupakan
tempat yang disukai nyamuk untuk meletakan telur
(Suwito, 2012), sehingga dispenser dapat digunakan
sebagai ovitrap, dengan syarat air pada dispenser
harus dibuang setiap minggu sebelum masa pra
dewasa tumbuh menjadi nyamuk dewasa.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis
merasa tertarik mengembangkan dispenser anti nyamuk
sebagai bahan pengendali nyamuk.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbedaan kepadatan nyamuk antara
sebelum dan setelah perlakuan dispenser anti nyamuk.
2. Mengetahui efektivitas (efikasi) dispenser anti
nyamuk dalam menurunkan kepadatan nyamuk.

Metode Penelitian
1. Tempat dan waktu
Penelitian dilaksanakan di perumahan di wilayah
Cinangneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Perlakuan
dan pengambilan data dilaksanakan selama delapan
minggu pada bulan Maret dan April 2013.
2. Sampel penelitian
Sampel diambil secara purposive sebanyak 20
rumah yang mempunyai dispenser sebagai fasilitas
minum keluarga.
3. Rancangan penelitian
Merupakan penelitian ekperimen dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL).
4. Proses penelitian
a) Memberikan penyuluhan kepada ibu rumah tangga
pada 20 rumah yang terpilih sebagai sampel, dengan
pokok materi penyuluhan bahwa penampungan
air buangan pada dispenser harus diisi air dan harus
dibersihkan setiap hari minggu.
b) Melakukan penempelan stiker pada dispenser
bertuliskan Dispenser anti nyamuk, penampungan air
buangan dispenser harus diisi dan harus dibersihkan
setiap hari minggu.
c) Sebelum diberikan penyuluhan dan pemasangan stiker
dilakukan penangkapan nyamuk berupa penangkapan
nyamuk yang hinggap di dinding, baju, lemari dan
lainnya menggunakan aspirator.
d) Setelah dilakukan penyuluhan dan pemasangan stiker
dilakukan penangkapan nyamuk yang hinggap di
dalam rumah menggunakan aspirator setiap minggu.
10

5. Analisis data
Perbedaan kepadatan nyamuk sebelum dan setelah
perlakuan dispenser anti nyamuk dianalisis
menggunakan uji F. Adapun untuk mengetahui
efekasi dispenser anti nyamuk dalam menurunkan
kepadatan nyamuk dihitung menggunakan rumus
WHO (2003), yaitu dispenser anti nyamuk dinyatakan
efektif apabila dapat menurunkan kepadatan
nyamuk hingga minimal 80%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan
Sebelum dilakukan perlakuan dispenser anti nyamuk
didapatkan kepadatan nyamuk rata-rata 6,85 per
rumah per hari. Adapun setelah diberikan perlakuan
dispenser anti nyamuk berupa penyuluhan dan
pemasangan stiker didapatkan penurunan rata-rata
kepadatan nyamuk pada setiap minggu pengamatan,
yaitu: 6,1 per rumah per hari pada pengamatan minggu I,
5,05 minggu II, 4,35 minggu III, 3,85 minggu IV, 3,1
minggu V, 2,55 minggu VI, 1,35 minggu ke VII, dan
1,1 minggu VIII (Tabel 1).
Terjadinya penurunan kepadatan nyamuk, karena
dispenser merupakan tempat potensial sebagai habitat
perkembangbiakan nyamuk, bilamana setiap minggu
(7 hari sekali) dispenser dikuras dan dibersihkan
maka jentik nyamuk tidak akan tumbuh menjadi
nyamuk dewasa. Sebagaimana dikemukakan oleh
Beaty dan Marquardt (1996), bahwa periode pra
dewasa mulai telur, jentik hingga pupa membutuhkan
waktu 10-12 hari.


Tabel 1. Kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan

No
sampel
rumah
Kepadatan nyamuk per rumah per hari
Sebelum
perlakuan
Setelah perlakuan
Mgg I Mgg II Mgg III Mgg IV Mgg V Mgg VI Mgg VII Mgg VIII
1 8 6 5 5 4 4 3 2 1
2 6 6 5 4 4 4 2 2 2
3 8 7 6 5 5 3 3 2 0
4 9 8 6 5 4 4 3 0 1
5 6 6 6 4 4 3 2 0 0
6 7 6 5 4 3 3 2 2 1
7 8 7 5 5 5 3 3 1 1
8 6 6 5 4 3 3 2 1 1
9 6 5 4 4 4 4 3 0 1
10 4 5 7 6 5 3 3 0 0
11 8 7 5 4 4 3 3 3 2
12 6 6 5 4 3 2 2 2 2
13 7 7 5 4 4 3 2 2 2
14 6 6 4 4 3 2 2 2 1
15 3 4 3 2 3 2 1 0 0
16 7 6 5 4 3 2 2 2 2
17 4 3 3 2 2 3 3 1 0
18 9 7 5 6 4 3 3 1 2
19 7 6 6 5 5 4 3 2 1
20 12 8 6 6 5 4 4 2 2
Rata-rata 6,85 6,1 5,05 4,35 3,85 3,1 2,55 1,35 1,1
11

Perbedaan kepadatan nyamuk sebelum dengan setelah perlakuan.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan
nyamuk per rumah per hari antara sebelum dan
setelah perlakuan pada pengamatan minggu
pertama tidak berbeda sacara signifikan. Perbedaan
secara signifikan setelah pengamatan pada
minggu kedua, ketiga dan seterusnya (Tabel 2).
Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik
pemakaian dispenser anti nyamuk dapat
menurunkan kepadatan nyamuk setelah pemakaian
pada minggu ke dua dan seterusnya.


Tabel 2. Hasil uji beda kepadatan nyamuk sebelum dan setelah perlakuan

Pengamatan kepadatan nyamuk p (=0,05) Keterangan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 1 0,441 Tidak signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 2 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 3 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 4 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 5 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 6 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 7 0,000 Signifikan
Sebelum dan setelah perlakuan minggu 8 0,000 Signifikan


Efektivitas dispenser anti nyamuk sebagai
bahan pengendali nyamuk
Efikasi (efektivitas membunuh/menurunkan
kepadatan nyamuk) dari dispenser anti nyamuk
menunjukan peningkatan pada setiap minggu
pengamatan. Pada minggu I penurunan kepadatan
nyamuk sebesar 10,9%, minggu II 26,3%, minggu III
36,5%, minggu IV 43,8%, minggu V 54,7%, minggu
VI 62,8%, minggu VII 80,3% dan minggu VIII
83,9% (Tabel 3 dan Gambar).
Sebuah bahan atau peralatan dapat
direkomendasikan menjadi bahan pengendali
nyamuk apabila bahan atau peralatan tersebut
memenuhi standar efikasi minimal 80% (WHO, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian perlakuan dispenser anti
nyamuk dapat menurunkan kepadatan nyamuk di
atas 80% mulai pemakaian minggu ke VII. Hal ini
menjelaskan bahwa pemakaian dispenser anti
nyamuk secara terus menerus, maka mulai
pemakaian minggu VII akan efektif sebagai bahan
pengendali nyamuk.


Tabel 3. Hasil uji efikasi dispenser anti nyamuk

Gambar 1. Hasil uji efikasi dispenser anti nyamuk


Sebelum
perlakuan
Setelah perlakuan
Mgg I Mgg II Mgg III
Mgg
IV
Mgg V
Mgg
VI
Mgg
VII
Mgg VIII
Jumlah nyamuk 137 122 101 87 77 62 51 27 22
Efikasi (%) 10,9 26,3 36,5 43,8 54,7 62,8 80,3 83,9
12

KESIMPULAN
Dispenser anti nyamuk dapat digunakan
sebagai alternatif dalam pengendali nyamuk,
karena hasil penelitian menunjukkan 80%
menurunkan kepadatan nyamuk setelah
pemakaian tujuh minggu.

DAFTAR PUSTAKA
Beaty BJ, Marquardt WC. 1996. The Biology of
Diesease Vectors. Corolado, The University Press
of Colorado.
Ditjen PP dan PL. 2012. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian
Vektor. Jakarta.
Service MW. 2000. Medical Entomology for
Students. United Kingdom, Cambridge
University Press.
Subdit Pengendalian Arbovirosis. 2013. Laporan
Penderita DBD Indonesia. Jakarta.
Suwito. 2012. Habitat Perkembangbiakan
Nyamuk Aedes aegypti. Laporan Penelitian.
Jakarta.
Taboada O. 1966. Medical Entomology. Maryland
Bethesda, Naval Medical School, National
Naval Medical Center.
WHO. 2003. Malaria Entomology and Vector
Control Trial Edition. Genewa.


13

Pelatihan dalam Implementasi Sistem Skoring TB Anak
di Pelayanan Kesehatan Primer di DKI Jakarta

Nastiti Kaswandani
1
, Wahyuni Indawati
1
, Ida Kurniawati
2
, Hanif Sri Utami
2
, Retno Budiati
3

1
RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta,
3
Subdit Pengendalian TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI


Abstrak. Indonesian Childhood TB Working Group telah mengembangkan sistem skoring yang diadopsi oleh Program TB
Nasional sebagai kebijakan nasional tahun 2008. Tidak terdapat data mengenai implementasi sistem skoring di Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia, terutama performa dokter umum di puskesmas yang menggunakan
skoring ini serta akurasinya dalam mendiagnosis TB anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
tenaga kesehatan di puskesmas, pengetahuan dan praktik dokter umum mengenai sistem skoring pada TB anak, dan
akurasi sistem skoring TB anak yang dilakukan oleh dokter umum di Puskesmas DKI Jakarta. Pengetahuan dan praktik
dokter umum dinilai melalui dengan menggunakan kuesioner. Dokter umum dilatih selama 2 hari dan diberikan pedoman
teknis penggunaan sistem skoring TB anak. Dua puluh tiga dokter umum dari 12 puskesmas diikutsertakan pada penelitian
ini dengan rentang usia 27-57 tahun (median 38.5). Pengetahuan dan praktik dokter umum dinilai kurang optimal, setelah 2
hari pelatihan, pengetahuan dokter umum tersebut meningkat. Pasien anak dengan TB yang diikutsertakan pada penelitian
ini adalah 105 pasien, terdiri dari 56 (53.3%) laki-laki dan 49 (46.7%) perempuan. Usia pasien 6 bulan hingga 13 tahun
(median 3 tahun 8 bulan). Akurasi diagnosis TB oleh dokter umum dibandingkan dokter spesialis anak adalah 73.3%,
dengan sensitivitas 85.0% dan spesifisitas 66.2%. Disimpulkan bahwa pengetahuan dasar dan praktik sistem skoring oleh
dokter umum kurang optimal. Akurasi dan sensitivitas diagnosis TB oleh dokter umum di Puskesmas dibandingkan dengan
dokter spesialis anak pada rumah sakit pusat rujukan, masuk kategori cukup atau sedang. Ketidaksesuaian terendah pada
poin skoring adalah pada poin status gizi, batuk kronik, serta foto polos dada. Sesuai hasil pernelitaian, maka perlu
peningkatan implementasi sistem skoring melalui pelatihan, dan pedoman teknis yang lebih fokus pada poin akurasi
terendah pada sistem skoring tersebut.

Kata kunci: TB anak, skoring, Dokter umum, Dokter spesialis anak

Koresponden: Nastiti Kaswandani, Departemen Anak,
RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Telp. 08159416858; Retno B,
Subdit Pengendalian TB, Telp. 021-42804154,
081288668597

PENDAHULUAN

Penegakan diagnosis TB pada anak lebih sulit
dibandingkan pada dewasa, karena gejala klinis
kurang spesifik dan konfirmasi diagnosis secara
bakteriologis sangat terbatas. Kelompok kerja TB
anak telah membuat sistem skoring yang telah
diadopsi oleh Subdit TB, Ditjen PP dan PL sebagai
kebijakan nasional. Belum ada data, seberapa optimal
implementasi sistem skoring di puskesmas dan
bagaimana akurasi sistem skoring untuk diagnosis
TB anak.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik,
pengetahuan, dan perilaku dokter umum di puskesmas
terhadap sistem skoring pada TB anak, serta
menentukan akurasi sistem skoring TB anak yang
dilakukan oleh dokter umum di puskesmas.

BAHAN DAN CARA
Studi potong lintang dan uji diagnosis dilaksanakan
untuk mendeskripsikan implementasi sistem skoring
dan akurasinya di puskesmas di DKI Jakarta. Dokter
umum yang melakukan penegakan diagnosis TB
anak diminta mengisi kuesioner tentang pengetahuan
dan perilakunya terhadap pelaksanaan sistem skoring.
Dokter mendapat pelatihan skoring selama 2 hari
termasuk pelatihan melakukan uji tuberculin. Observasi
lapangan dilakukan untuk menilai perilaku dokter dalam
mendiagnosis TB dan fasilitas yang tersedia untuk
menunjang sistem skoring. Diagnosis TB menggunakan
skoring oleh dokter umum di puskesmas dinilai
dengan baku emas diagnosis oleh konsultan pulmonologi
anak di RSCM dan pemantauan kemajuan klinis
setelah 3 bulan penegakan diagnosis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokter umum yang menggunakan sistem skoring
sebanyak 23 dokter umum dari 12 puskesmas di 5
wilayah DKI:
- Rentang usia 27-57 (median 38.5) tahun
14

- Telah bertugas antara 1-10 tahun sebanyak 11
orang, 11-20 tahun 8 orang dan lebih dari 20 tahun
4 orang
- Hanya 2 dari 23 dokter yang telah mendapat pelatihan
skoring.
Untuk menentukan akurasi diagnosis sistem skoring,
sebanyak 105 pasien tersangka TB (usia 6 bulan-13
tahun) dievaluasi oleh dokter umum maupun dokter anak
konsultan paru.
Ketepatan
Akurasi Diagnosis TB anak oleh dokter Puskesmas
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Akurasi diagnosis TB anak oleh dokter puskesmas
Diagnosis Akurasi (%)
Komponen Sistem Skoring
Foto Toraks 62.8
Status Gizi 66.7
Batuk kronik 66.7
Pembesaran Kelenjar Getah
Bening
70.5
Demam 75.2
Kontak TB 85.7
Sistem Skoring secara
keseluruhan
73.3

Analisis
- Kesalahan paling tinggi pada foto toraks dipengaruhi
oleh pembacaan hasil foto toraks dari ahli radiologi
yang tidak mengetahui kondisi klinis.
- Penelitian lain pun menunjukkan besarnya variasi
pembacaan radiologi sehingga terjadi over
diagnosis jika menggunakan foto toraks sebagai
alat diagnosis.
- Penilaian status gizi yang tidak tepat disebabkan
oleh penilaian berat badan sesuai usia, padahal
seharusnya menggunakan berat badan berdasarkan
tinggi badan atau kesalahan menggunakan grafik
pertumbuhan.
- Pendekatan gejala batuk kronik sering menjadi
over diagnosis karena dokter kurang menggali
gejala batuk secara cermat, seperti menanyakan
durasi, intensitas batuk dari waktu ke waktu, faktor
pencetus batuk, riwayat alergi dan kemungkinan
penyebab batuk selain TB.
-
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Meskipun dalam kesehariannya dokter puskesmas
menyatakan menggunakan skoring, namun hasil
evaluasi mengenai pengetahuan dan sikap yang
tepat untuk menggunakan skoring masih kurang
optimal.
2. Dengan baku emas diagnosis oleh konsultan
(yang dikonfirmasi dengan kemajuan klinis pada
pemantauan setelah 3 bulan), akurasi diagnosis
TB oleh dokter puskesmas dengan menggunakan
skoring adalah 73.3%.
3. Komponen skoring yang memiliki kesalahan atau
ketidaksesuaian paling tinggi adalah penilaian foto
toraks, batuk kronik dan penilaian status gizi.
4. Penerapan sistem skoring tanpa disertai pelatihan
dan ketersediaan fasilitas penunjang dapat
menyebabkan berkurangnya akurasi sistem skoring di
pelayanan kesehatan primer.
5. Implementasi sistem skoring yang baik dapat
mengurangi over/under diagnosis TB anak serta
meningkatkan kualitas laporan di puskesmas.

Saran
1. Penegakan diagnosis TB anak dengan menggunakan
sistem skoring akan optimal jika disertai dengan
pelatihan terutama pada penilaian status gizi anak,
penilaian batuk kronik, dan penggunaan foto
toraks.
2. Dokumentasi/pencatatan kasus TB anak sebaiknya
dibuat secara khusus untuk meningkatkan
penggunaan skoring dan pelaporan kasus.
3. Setiap puskesmas seyogyanya memiliki fasilitas
penunjang diagnosis TB anak yang nilai skoringnya
besar, yaitu uji tuberkulin.
4. Foto toraks tidak direkomendasikan sebagai satu-
satunya penunjang diagnosis TB anak, karena
memiliki akurasi yang rendah.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Coulter JBS. Diagnosis of pulmonary tuberculosis in
young children. Annals of Tropical Paediatrics.
2008; 28: 3-12.
15

Filho JCC, MA Caribe, SCC Caldas, EM Netto. Is
tuberculosis difficult to diagnose in childhood and
adolescence? Journal Brasileiro de Pneumologia. 2011;
37(3): 288-93.
Stop TB Partnership Childhood TB Subgroup, World
Health Organization. Introduction and diagnosis of
tuberculosis in children. The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease. 2006; 10(10):
1091-7.
Swaminathan S, B Rekha. Pediatric tuberculosis:
global overview. Clinical Infectious Disease.
2010; 50(S3): S184-94.
Theart AC, J Marais, RP Gie, AC Hesseling, N Beyers.
Criteria used for the diagnosis of childhood
tuberculosis at primary health care level in a high-
burden, urban setting. The International Journal
od Tuberculosis and Lung Disease. 2005; 9(11):
1210-4.









16

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Multipartner pada Tukang
Ojek yang Mangkal di Dekat Lokalisasi Pasar Kembang Kota Yogyakarta

Lili Junaidi

Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI

Abstrak. Tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi memiliki risiko untuk tertular dan meningkatkan jumlah kasus infeksi
menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS karena tukang ojek mempunyai peran ganda, yaitu menjadi perantara pelanggan
atapun dia sendiri sebagai klien dari Pekerja Seks Komersial (PSK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku seks multipartner pada tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi pasar kembang (Sarkem)
Kota Yogyakarta. Jenis penelitian adalah explanatory research dengan pendekatan belah lintang (cross sectional). Tehnik
sampling yang digunakan exhausting sampling dan diperoleh sampel sebanyak 67 responden dimana terdapat 43
responden yang multipartner. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode wawancara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar tukang ojek berperilaku seks multipartner berisiko. Variabel yang paling berpengaruh
adalah lama bekerja responden tukang ojek, sedangkan kemampuan diri merupakan variabel protektif terhadap perilaku
seks berisiko. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya, baik melalui diskusi yang diprakarsai pemimpin paguyuban atau
penyuluhan yang berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS. Begitu juga penyuluhan tentang bahaya perilaku seks berisiko oleh
institusi resmi atau lembaga sosial masyarakat kepada para tukang ojek. Diharapkan upaya ini dapat meningkatkan
kemampuan diri tukang ojek dalam rangka memperkecil risiko dan melakukan tindakan pencegahan terhadap penularan IMS
dan HIV/AIDS.

Kata kunci: Tukang ojek, Perilaku seks multipartner, Sarkem Yogyakarta

Koresponden: Lili Junaidi, KKP Semarang, Ditjen PP
dan PL, Telp. 081, email: lilijunaidi77@gmail.com

PENDAHULUAN

Di Indonesia kasus HIV dari Januari sampai dengan
bulan Maret 2012 dilaporkan sebanyak 5.991 kasus
baru, dimana persentase kasus HIV tertinggi pada
golongan usia produktif 25-49 tahun (75,4%) dan
persentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan
seks tidak aman pada heteroseksual (46,6%).
Sedangkan kasus AIDS dari Bulan Januari sampai
dengan Maret 2012 dilaporkan sebanyak 551 kasus.
Persentase kasus AIDS tertinggi pada kelompok
umur 30-39 tahun (35,2%) dengan persentase faktor
risiko tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada
heteroseksual sebanyak 77% (Ditjen PP dan PL, 2012).
Perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota
Yogyakarta semakin meningkat, yaitu pada tahun
2004 sebanyak 45 kasus HIV dan 8 kasus AIDS,
Pada akhir tahun 2009 terdapat 56 kasus HIV dan
73 kasus AIDS. Dari tahun ke tahun, kelompok
umur yang ditemukan positif HIV selalu tinggi pada
kelompok umur 20-44 tahun, dan 60% diantaranya
adalah laki-laki, 31 persen perempuan dan sisanya
tidak diketahui jenis kelaminnya. Angka ini dinilai
cukup tinggi dibandingkan dengan target nasional
angka penderita HIV/AIDS perempuan tahun 2015,
yakni 25%. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan
Kota Yogyakarta, dari tahun 2004 sampai dengan
Juli 2010, persentase faktor risiko tertinggi kasus
HIV/AIDS adalah hubungan seks tidak aman pada
heteroseksual (Shinta, 2011).
Pria yang potensial menjadi pelanggan Pekerja Seks
Komersial (PSK) adalah pria yang suka bepergian
dalam jangka waktu lama dan pisah dengan pasangan
seks utamanya, seperti pelaut dan anak buah kapal,
nelayan, serta sopir dan kernet truk. Termasuk pula
di dalam kelompok pria yang potensial menjadi
pelanggan PSK adalah tenaga kerja bongkar muat
barang di pelabuhan, dan tukang ojek yang mempunyai
peran ganda, yaitu menjadi perantara pelanggan
ataupun dia sendiri sebagai klien dari PKS (Depkes
RI, 2008). Pola pergaulan antara tukang ojek dengan
PKS menunjukkan hal yang spesifik, yaitu keduanya
bukan lagi berdasarkan materiil tapi ada beberapa
yang bahkan menjalin hubungan sebagai pacar.
Artinya bahwa dalam hubungan seksual mereka tidak
lagi harus membayar karena saling membutuhkan.
Selain itu, sebagai penghasilan tambahan tukang
ojek memberikan pelayanan kepada konsumen/
pelanggannya yang meminta informasi tentang
PSK, sehingga mengakibatkan penularan HIV pada
pelanggan semakin meningkat. Hasil penelitian yang
dilakukan Urbanski, menunjukkan bahwa tukang ojek
yang mangkal di sekitar warung-warung teh poci
simpang lima Semarang mempunyai tiga bentuk
hubungan dengan PSK yang mangkal di warung-
17

warung teh poci, yaitu: 1)sebagai pacar dari PSK
tersebut; 2)mengantarkan PSK (nama lain yang
terkenal di Semarang selain PSK adalah Ciblek) ke
hotel untuk berhubungan seks dengan konsumennya;
dan 3)melarikan ciblek ketika ada operasi dari Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau lainnya. Inilah
yang menjadikan posisi tukang ojek mempunyai
peran yang unik dalam laju penularan HIV/AIDS
(Urbanski, 2006).
Tukang ojek yang mangkal di dekat lokalisasi
prostitusi mempunyai risiko tinggi untuk tertular
HIV/AIDS, karena pada dasarnya pekerjaan dan
tempat bekerja mereka dekat dengan kehidupan
malam dan pekerja seks, sehingga tidak menutup
kemungkinan melakukan hubungan seksual dengan
mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk
menularkan IMS/HIV. Hasil penelitian di Peruvian
Amozon, 99% tukang ojek berhubungan seks
dengan Wanita Pekerja Seks (WPS), dimana hanya
21% yang selalu menggunakan kondom ketika
berhubungan seks dengan WPS dan 62% dari
mereka pernah menderita IMS. Penelitian di Kota
Benin, Nigeria juga menunjukkan bahwa tukang ojek
mempunyai risiko tinggi tertularnya HIV/AIDS. Dari
66% tukang ojek yang berhubungan seks dengan
WPS, hanya 45% diantaranya yang menggunakan
kondom secara konsisten (Postgrad, 2005).
Di sekitar Lokalisasi Sarkem, Kecamatan Gedong
Tengen Yogyakarta, banyak tukang ojek yang mangkal.
Keberadaan tukang ojek tersebut merupakan kondisi
dimana mereka berada di tempat yang terpapar
yang kemungkinan bisa membawa risiko tertular IMS
dan HIV/AIDS. Proses keterpaparan yang terus
menerus ini akan mendorong pada perilaku yang
berisiko terinfeksi IMS dan HIV/AIDS, karena
mempunyai akses yang mudah untuk memperoleh
pelayanan dari PSK, sehingga pada gilirannya akan
menyebabkan terjangkitnya HIV/AIDS. Oleh karena
itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tukang
ojek yang multipartner yang mangkal di dekat
lokalisasi Sarkem Kota Yogyakarta.

BAHAN DAN CARA

Metode Desain, Sampel, dan Sampling
Penelitian ini termasuk penelitian penjelasan
(explanatory research) dengan desain penelitian
cross sectional. Sebanyak 67 tukang ojek yang berada
di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta dijadikan
sebagai sampel dengan teknik exhausting sampling,
yaitu peneliti menggunakan seluruh populasi sumber,
karena seluruh populasi dalam penelitian ini
merupakan populasi berisiko. Kemudian dari sampel
tersebut terdapat 43 orang yang multipartner.
Penelitian dilakukan pada bulan September 2011.
Cara pengukuran
Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara.
Variabel dependen (perilaku seks multipartner)
dikategorikan 2 sub, yaitu perilaku seks multipartner
berisiko dan tidak berisiko. Dikatakan berisiko apabila
melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti
pasangan dan tidak konsisten (tidak/tidak selalu)
menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan
pasangan tidak tetap. Sedangkan tidak berisiko
apabila konsisten (selalu) menggunakan kondom
ketika berhubungan seks dengan pasangan tidak
tetap. Variabel independen meliputi karakteristik
sosio-demografi, persepsi kerentanan IMS dan
HIV/AIDS, persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS,
pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, sikap
tentang perilaku seks berisiko, kemampuan diri untuk
mencegah IMS dan HIV/AIDS, sikap pemimpin
kelompok tentang perilaku seks berisiko, serta
frekuensi akses media informasi tentang pornografi,
IMS dan HIV/AIDS. Instrumen penelitian telah diuji
validitas dan reliabilitasnya.

Analisis data
Data dianalisis secara univariat, bivariat menggunakan
uji chi square dengan alpha 5% dan multivariat
menggunakan uji analisis regresi logistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pasar Kembang atau Sarkem berdiri sejak 1818,
itu artinya, sejak zaman penjajahan Belanda sudah
ada. Keberadaan Sarkem ini juga mendapat legalisasi
pemerintah Belanda. Jika seluruh buruh pembuat
jalan kereta api sudah menerima upah dari hasil
keringatnya, maka diharapkan mereka menghabiskan
gajinya ke "Sarkem" yang diciptakan oleh pemerintah
Belanda. Sehingga, perputaran uang tetap kembali lagi
ke pemerintah Belanda di Yogyakarta.
Pada saat ini, di lokalisasi Sarkem terdapat 45
bangunan dengan jumlah PSK 315 orang dan sistem
pengelolaan lokasi berada dalam satu Rukun Warga
(RW), dimana keberadaannya di perkampungan
tengah perkotaan. Bentuk praktiknya secara terbuka
berada di sekitar jalanan Sarkem/ Stasiun Tugu
Yogyakarta dan tertutup berbentuk salon kecantikan
dan rumah indekost sebagai tempat-tempat prostitusi
yang menyediakan layanan pekerja seks. Di lokalisasi
ini masih belum ada peraturan lokal kondom 100%,
namun masih dalam tahap sosialisasi.

Karakteristik Sosio-Demografi
18

Sebagian besar responden adalah laki-laki berumur
41-61 tahun dan telah menikah. Kelompok ini merupakan
populasi berisiko dimana dari hasil wawancara
beberapa responden mengatakan bahwa mereka
jauh dari keluarga (istri) dan tinggal di pangkalan ojek.
Tingkat pendidikan lanjutan (tamat SLTP) lebih
banyak dibandingkan dengan pendidikan dasar.
Selain itu, lama bekerja sebagai tukang ojek lebih
dari 6 bulan menyebabkan paparan yang lebih
sering terhadap lingkungan prostitusi (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi karakteristik sosio-demografi
tukang ojek

Variabel Frekuensi Persentase
Kelompok umur

23-40 tahun
41-61 tahun
26
41
38.8
61.2
Total 67 100
Tingkat
pendidikan

SD 23 34.3
SMP 44 65.7
Total 67 100
Status menikah

Belum Nikah 5 7.5
Menikah 62 92.5
Total 67 100
Lama bekerja

6 Bulan 15 22.4
> 6 Bulan 52 77.6
Total 67 100
Aktifitas di waktu
luang

Tdk Berisiko 28 41.8
Berisiko 39 58.2
Total 67 100

Sebagian besar (58,2%) tukang ojek memiliki
aktifitas waktu luang berisiko. Hal ini ditunjukkan
dari jawaban kuesioner responden yang mempunyai
kebiasaan kadang-kadang menginap di luar rumah
sebanyak 19 (28,4%) dan merokok 28 (41,8%) serta
kadang-kadang minum minuman keras sebanyak 20
(29,9%).

Umur
Hasil penelitian secara univariat menunjukkan
persentase umur responden. Hasil penelitian menunjukkan
distribusi umur responden yang paling banyak
adalah kelompok umur antara 41- 61 tahun, yaitu 41
responden (61,2%).
Secara bivariat menunjukkan bahwa pada kelompok
umur 41-61 tahun, dari 41 responden sebanyak 28
responden (68,3%) berperilaku seks multipatner.
Sedangkan pada kelompok umur 23-40, dari 26
responden, sebanyak 15 (57,7%) yang berperilaku
seks multipatner. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,378, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara umur dengan
perilaku tukang ojek yang multipartner.
Perbedaan usia mempengaruhi karakteristik individu
baik dari segi fisik, psikososial maupun perkembangan
kognitifnya. Ciri dari usia dewasa awal adalah masa
penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan
memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya
(Hurlock, 1973). Usia dewasa awal dimulai pada
umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun, saat
perubahan fisik dan psikologi (Hurlock, 1980). Pada
usia itu terjadi masa transisi, baik transisi secara
fisik (physically trantition), transisi secara intelektual
(cognitive trantition) serta peran sosial (social role
transtition) (Santrock, 2011). Semakin dewasa seseorang,
maka akan semakin meninggalkan serotip belasan
tahunnya dan seseorang tersebut akan memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status
dewasa, salah satunya yaitu perilaku seksual
(Hurlock,1980).

Tingkat Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan, mayoritas responden
mempunyai pendidikan tingkat lanjut (tamat SLTP).
Dari 67 responden, sebanyak 44 responden (65,7%)
tamat SLTP. Sedangkan responden yang tidak tamat
SLTP atau tamat SD sebanyak 23 responden (34,3%).
Secara bivariat, responden yang mempunyai tingkat
pendidikan lanjutan mempunyai perilaku seks multipartner
lebih tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan
dasar (tidak tamat SLTP), yaitu 13 responden (29,5%)
dari 44 responden.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,138, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan dengan perilaku
tukang ojek yang multipartner.

Status Menikah
Secara univariat hasil penelitian menunjukkan
bahwa mayoritas responden sudah menikah, yaitu 62
(92,5%) dari 67 responden. Sedangkan yang belum
menikah sebanyak 5 responden (7,5%). Secara
bivariat, dari 62 responden yang sudah menikah, 21
(33,9%) diantaranya berperilaku multipartner, sedang
responden yang belum menikah, sebanyak 2 (40%)
yang berperilaku multipartner. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,241, maka dapat disimpulkan
19

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status
pernikahan dengan perilaku seks tukang ojek
multipartner.
Responden yang telah berpengalaman secara seksual
akan mempunyai sikap terhadap seksualitas (sexual
attitude) yang lebih bebas daripada mereka yang
belum pernah melakukan hubungan seksual. Temuan
penelitian ini juga menunjukkan adanya keberagaman
standar norma individu dari batasan tradisional yang
melarang penuh (jangan melakukan hubungan seks
multipartner/PSK) sampai sikap yang lebih permisif
terhadap perilaku hubungan seks multipartner/PSK.

Lama Bekerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
(77,6%) dari 67 responden telah bekerja lebih dari 6
sebagai tukang ojek. Sedangkan 15 responden (22,4%)
bekerja kurang dari 6 bulan. Hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa sebanyak 36 (69,2%) dari 52
responden yang bekerja lebih dari 6 bulan berperilaku
yang multipartner. Sedangkan 7 (46,7%) dari 15
responden yang lama bekerjanya kurang dari 6 bulan
berperilaku yang multipartner. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,108, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja
responden dengan perilaku tukang ojek yang multipartner.
Perilaku seseorang dapat terbentuk melalui observational
learning. Adanya contoh perilaku seksual yang
didengar dari keseharian berinteraksi dengan teman
sebaya maupun PSK dapat membuat seseorang
penasaran untuk mencoba dan mencontoh perilaku
tersebut. Pengaruh stimulus seksual terhadap
individu baik terhadap faktor fisiologis, afeksi dan
kognisi pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku
seksual. Individu yang membaca/melihat hal-hal
yang negatif akan disuguhi dengan berbagai macam
materi porno yang dapat menimbulkan rangsangan
seksual yang kuat. Individu yang telah terbiasa
mengkonsumsi materi porno, menganggap bahwa
perilaku seksual merupakan perilaku yang wajar dan
menimbulkan kesenangan bagi individu yang melakukannya.

Aktifitas di Waktu Luang
Dari 67 responden, sebanyak 39 orang (58,2%)
melakukan aktifitas yang berisiko di waktu luang.
Sedangkan responden melakukan aktifitas yang
tidak berisiko di waktu luang sebanyak 28 (41,8%).
Secara bivariat dari 39 responden yang beraktifitas
berisiko di waktu luang, 22 (56,4%) berperilaku seks
multipartner. Sedangkan dari 28 responden yang
beraktifitas tidak berisiko di waktu luang, 21 (75%)
berperilaku seks multipartner. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,118, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara aktifitas di waktu
luang dengan perilaku seks tukang ojek yang multipartner.
Beyth-Marom membuktikan bahwa remaja maupun
orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama
untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku
yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka
juga mengemukakan adanya derajat yang sama
antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi
self-invulnerability (Beyth,1993). Dengan demikian,
kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan
kecenderungan mempersepsi diri invulnerable pada
remaja dan orang dewasa adalah sama.

Persepsi Kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 67
responden, sebagian besar (58,2%) mempunyai
persepsi kerentanan rendah. Hal ini karena adanya
persepsi yang salah dari responden tentang cara
penularan dan cara menghindarkan IMS dan HIV/AIDS,
yaitu sebanyak 86,6% responden mempunyai persepsi
setia pada pasangan tetap akan tidak berisiko
tertular IMS dan HIV/AIDS. Selain itu masih adanya
persepsi bahwa jika menggunakan kondom pada
saat berhubungan seks multipartner, maka tidak
akan mudah tertular IMS dan HIV/AIDS. Sebanyak
26,9% responden mempunyai persepsi bahwa jika
memilih pasangan tidak tetap yang berpenampilan
bersih, maka mereka tidak akan tertular IMS dan
HIV/AIDS, sedangkan sebanyak 25,4% responden
mempersepsikan bahwa hubungan seks multipartner
tidak akan menularkan IMS dan HIV/AIDS (Tabel 2).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tukang
ojek sebagai klien potensial WPS mempunyai
kerentanan yang cukup tinggi untuk tertular IMS dan
HIV/AIDS. Walaupun 86,6% tukang ojek mengetahui
bahwa hubungan seks multipartner akan berisiko
mudah tertular IMS dan HIV/AIDS, tetapi ternyata masih
banyak di antara tukang ojek masih melakukan
hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Hal ini
menggambarkan bahwa tukang ojek yang mangkal
di sekitar lokalisasi mempunyai persepsi kerentanan
terhadap IMS dan HIV/AIDS yang cukup baik, namun
belum bisa mempengaruhi perilaku seks mereka.

Persepsi Kegawatan IMS dan HIV/AIDS
Sebagian besar (77,6%) tukang ojek mempunyai
persepsi kegawatan yang rendah terhadap penyakit
IMS HIV/AIDS. Hal ini terlihat dari masih banyaknya
responden yang miskonsepsi berkaitan dengan
kegawatan IMS dan HIV/AIDS. Dari 67 responden,
31,3% mempunyai persepsi bahwa HIV tidak akan
berkembang menjadi AIDS, 41,8% mempunyai persepsi
penderita HIV/AIDS tidak selamanya harus minum
ARV, 43,3% mempunyai persepsi AIDS tidak akan
20

menyebabkan kematian, 44,8% mempunyai persepsi
AIDS sama dengan penyakit lainnya karena bisa
disembuhkan.
Pemahaman/persepsi kegawatan IMS dan HIV/AIDS
bisa mempengaruhi perilaku seseorang. Dari 67
responden yang berperilaku multipartner dan tidak
multipartner, 34 (65,4%) yang mempunyai persepsi
kegawatan IMS dan HIV/AIDS rendah, berperilaku
multipartner. Persepsi kegawatan yang rendah
dikarenakan persepsi yang keliru tentang IMS dan
HIV/AIDS. Hal ini menyebabkan mereka merasa
tidak khawatir tertular IMS dan HIV/AIDS, karena
penyakit tersebut tidak berbahaya.


Tabel 2. Persepsi kerentanan terhadap IMS dan HIV/AIDS


Faktor Personal
Faktor personal yang mempengaruhi perilaku
seks multipartner adalah pengetahuan tentang IMS
dan HIV/AIDS, sikap tukang ojek terhadap perilaku
seks berisiko, dan kemampuan diri (self efficacy)
terhadap pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 67 responden,
33 orang (67,3%) dengan tingkat pengetahuan IMS
dan HIV/AIDS rendah berperilaku multipartner. Sedangkan
responden dengan tingkat pengetahuan IMS dan HIV/
AIDS tinggi, 10 orang (55,6%) berperilaku multipartner.
Pengetahuan yang masih rendah tersebut menimbulkan
anggapan yang salah pula tentang penularan HIV/AIDS.
Ditemukan beberapa miskonsepsi terutama tentang
cara penularan IMS dan HIV/AIDS, yaitu 44,8%
responden menjawab HIV dapat ditularkan melalui alat
minum, 44,8% menjawab onani dapat menularkan HIV,
47,8% menjawab HIV ditularkan melalui berenang
bersama penderita, dan 53,7% menjawab berganti-
ganti pasangan seks tidak menularkan HIV.

Tabel 3. Distribusi faktor personal tukang ojek

Variables Frequencies Percent
Pengetahuan tentang
IMS dan HIV/AIDS

Rendah 49 73.1
Tinggi 18 26.9
Total 67 100
Sikap perilaku seks
berisiko

Tdk Permisif 27 40.3
Permisif 40 59.7
Total 67 100
Self efficacy untuk
mencegah IMS,
HIV/AIDS

Rendah 43 64.2
Tinggi 24 35.8
Total 67 100

Sikap tukang ojek (31,3%) yang multipartner
merupakan tindakan untuk mencari kesenangan,
masih adanya kesalahan sikap tukang ojek (25,4%)
yang menyatakan bahwa berhubungan seks multipartner
jika hanya sekali tidak akan tertular IMS dan HIV/
AIDS, boleh melakukan hubungan seks multipartner
dengan tidak berganti-ganti pasangan (43,3%) serta
apabila sudah mengenal lama pasangan multipartnernya
tidak perlu memakai kondom ketika berhubungan
seks (29,9%).
Self efficacy tukang ojek yang mangkal di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta untuk mencegah penularan
IMS dan HIV/AIDS sebagian besar tergolong rendah.

Pertanyaan berkaitan dengan IMS dan HIV/AIDS
Ya Tidak
N % N %
Persepsi Kerentanan

Setia pada pasangan tetap tidak berisiko
58 86,6 9 13,4
Selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seks multiparner tidak berisiko tertular IMS
dan HIV/AIDS
45 67,2 22 32,8
Memilih pasangan multipartner yang kelihatan bersih tdk akan tertular IMS dan HIV/AIDS
18 26,9 49 73,1
Berhubungan seks dengan pasangan multipatner tdk akan mudah tertular IMS dan HIV/AIDS
50 74,6 17 25,4

Persepsi Kegawatan

Semua orang yang terinfeksi HIV akan menjadi AIDS
46 68.7 21 31.3
Orang yang menderita HIV/AIDS memerlukan pengobatan ARV selamanya.
39 58.2 28 41.8
AIDS tidak akan menyebabkan kematian karena sudah ada obatnya
29 43.3 38 56.7
AIDS adalah sama dengan penyakit yang lainnya karena bisa diobati.
30 44.8 37 55.2
21

Diungkapkan bahwa terdapat 43,3% responden yang
bisa menahan diri ketika berhubungan seks meski
tanpa membayar, dan terdapat keyakinan diri bisa
menghindarkan diri berhubungan seks dengan tidak
memakai kondom (64,2%).

Faktor Lingkungan
Tabel 4. Distribusi faktor lingkungan tukang ojek

Variables Frequencies Percent
Sikap pemimpin
komunitas tentang
perilaku seks berisiko

Tdk Permisif 22 32.8
Permisif 45 67.2
Total 67 100

Variables Frequencies Percent
Frekuensi mengakses
media tentang IMS
dan HIV/AIDS

Rendah 32 47.8
Tinggi 35 52.2
Total 67 100

Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar sikap
dari pemimpin paguyuban tukang ojek yang permisif
terhadap perilaku tukang ojek yang multipartner.
Dari 67 responden, 67,2% menyatakan pemimpin
komunitas tidak setuju hubungan seks multipartner
bisa menularkan penyakit kelamin, 8% menyatakan
bahwa pemimpin komunitas setuju bahwa penyakit
AIDS tidak berbahaya karena dapat disembuhkan,
59,7% menyatakan bahwa pemimpin komunitas
setuju hubungan seks dengan beberapa pasangan
tidak tetap merupakan hal yang biasa, dan 56,7%
menyatakan bahwa pemimpin komunitas setuju
hubungan seks multipartner tidak memalukan asal
tidak berganti-ganti pasangan.
Sebanyak 81,2% responden yang mempunyai
frekuensi mengakses media informasi rendah akan
berpeilaku seks multipartner. Sebanyak 44,8%
tukang ojek mengakses media elektronik berupa
film/VCD pornografi beradegan seks, dan 40,3%
tukang ojek sering melihat dan membaca gambar
bertemakan pornografi. Ini artinya bahwa tukang
ojek yang mengakses informasi yang berhubungan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan IMS dan
HIV/AIDS berbanding lurus dengan perilaku seks
mereka.

Perilaku Seks Tukang Ojek
Sebagian besar 64,2% responden memiliki
pasangan seks lebih dari satu (multipartner). Dari
43 responden yang multipartner, 37 responden
(86%) berhubungan seks multipartner. Dari 37
responden, 35 (81,4%) tidak konsisten menggunakan
kondom ketika berhubungan seks multipartner.
Uraian diatas mengungkapkan bahwa mayoritas
tukang ojek yang multipartner di dekat lokalisasi
memiliki perilaku seks berisiko. Dimana kriteria utama
adalah tidak konsisten dalam menggunakan
kondom saat berhubungan seksual dengan
pasangan multipartnernya.

Tabel 6. Distribusi seks berisiko dengan pasangan
multipartner

Variabel Frekuensi Persentase
Perilaku Berisiko

Berisiko 35 52.2
Tidak Berisiko 8 47.8
Total 43 100

Berikut ini adalah hasil analisis bivariat untuk
mengetahui hubungan antara variabel dependen
dengan variabel independen.

Tabel 7. Analisis statistik hubungan Variabel
Independen dan Variabel Dependen

Variabel
Independen
Variabel
Dependent
P
value
Hasil
Umur
The multipartner
sex behavior
0,388
Tidak
signifikan
Tingkat pendidikan
1,000
Tidak
signifikan
Status pernikahan
0,341
Tidak
signifikan
Lama bekerja 0,028 signifikan
Aktifitas di waktu
luang
0,270
Tidak
signifikan
Persepsi kerentanan
0,356
Tidak
signifikan
Persepsi Kegawatan
1,000
Tidak
signifikan
Pengetahuan
tentang IMS dan
HIV/AIDS
1,000
Tidak
signifikan
Sikap perilaku seks
berisiko
0,270
Tidak
signifikan
Self efficacy untuk
mencegah IMS dan
HIV/AIDS
0,037
signifikan
The attitude of the
community leader
1,000
Tidak
signifikan
Media access to
information
0,692
Tidak
signifikan

22

Tabel 8. Hasil uji regresi logistik antara variabel
independen dengan perilaku tukang ojek yang
multipartner di dekat Lokalisasi Sarkem Yogyakarta.



Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp
(B)
Lama
Bekerja
2,450 1,237 3,944 1 0,047 11,65
Kemampuan
diri
-2,450 1,160 4,459 1 0,035 2,086
Constant -0.967 0,547 3.202 1 0.074 0.376

Hasil analisis statistik multivariat tersebut menunjukkan
bahwa terdapat 2 variabel bebas, yaitu lama bekerja
dan kemampuan diri responden dalam melakukan
pencegahan penularan HIV/ AIDS secara bersama-
sama signifikan berpengaruh terhadap perilaku
tukang ojek yang multipartner. Variabel yang paling
berpengaruh terhadap perilaku tukang ojek yang
multipartner adalah lama bekerja tukang ojek dengan
nilai OR=11,655.
Lama bekerja responden sebagai tukang ojek dengan
p=0,047 (<0,05) dan OR (Exp B)=11,655. Ini berarti
bahwa responden yang bekerja lebih dari 6 bulan
sebagai tukang ojek, maka akan mempunyai
kemungkinan 11 kali lebih besar untuk berperilaku
seks multipartner jika dibandingkan dengan tukang
ojek yang bekerja kurang dari 6 bulan di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta. Sedangkan kemampuan
diri tukang ojek dalam melakukan pencegahan
penularan IMS dan HIV/AIDS dengan p=0,035
(<0,05) dan OR (Exp B) =2,086 dan nilai B=-2,450.
Nilai B negatif menunjukkan bahwa variabel
kemampuan diri merupakan variabel protektif
(pencegah). Hal ini berarti bahwa kemampuan diri
dalam melakukan pencegahan penularan IMS dan
HIV/AIDS tinggi, maka kemungkinan tidak berperilaku
seks multipartner berisiko sebesar 2,086 kali
dibandingkan dengan tukang ojek yang mempunyai
kemampuan diri rendah dalam melakukan pencegahan
penularan IMS dan HIV/AIDS.

DISKUSI

Perilaku seksual adalah bersifat personal akan
tetapi pada umumnya akan selalu berkaitan dengan
social framework. Dimana hubungan terjadi antara
perilaku seksual di kalangan kelompok berisiko tinggi,
yaitu antara client dan WPS terhadap penularan
HIV/AIDS dan konteks sosial di kalangan mereka
serta bagaimana masing-masing saling mempengaruhi.
Masalah integrasi individu dan struktur sosial di satu
sisi, dan agensi dan kultur budaya di sisi yang lain.
Perilaku seksual yang erat hubungannya dengan
keberhasilan program HIV/AIDS adalah konsistensi
memakai kondom ketika berhubungan multipartner.
Perilaku ini merupakan salah satu indikator utamanya,
dimana mencerminkan perilaku berisiko rendah di
samping tidak melakukan hubungan seks (abstinence)
dan setia kepada pasangan seksnya (faithful). Secara
nasional, pemakaian kondom dalam seks komersial
masih rendah, yaitu kurang dari 20%. Demikian juga
dengan penggunaan kondom untuk keperluan keluarga
berencana (kontrasepsi) masih tergolong rendah.
Tukang ojek di dekat lokalisasi Sarkem Yogyakarta
yang multipartner (64,2%) lebih banyak dibandingkan
yang single partner (35,8%). Sebagian besar tukang
ojek yang multipartner mempunyai perilaku seks
berisiko. Hal ini dikarenakan mereka melakukan hubungan
seks dengan pasangan tidak tetap dengan berganti-
ganti pasangan (86%) dan tidak konsisten memakai
kondom ketika berhubungan seks dengan PSK (81,4%).
Perilaku seks tukang ojek yang berisiko terjadinya
penularan IMS dan HIV/AIDS adalah perilaku yang
multipartner dengan tidak menggunakan kondom.
Dari 41 responden (95,3%) yang berstatus sudah
menikah dan multipartner, 34 responden (82,9%)
mempunyai perilaku seks multipartner berisiko.
Artinya bila dilihat potensi penularan HIV, maka
kelompok berisiko yang berstatus menikah atau
mempunyai pasangan tetap, akan mempunyai
peluang menularkan ke pasangan tetapnya/istrinya.
Selain itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
bayi yang dikandung oleh istri/pasangan tetap mereka
tertular HIV/AIDS.
Pola pergaulan antara tukang ojek yang mangkal
di dekat lokalisasi Sarkem Kodya Yogyakarta dengan
PSK dalam hal hubungan seks, bahwa hubungan
keduanya bukan lagi berdasarkan materil, mereka tidak
lagi harus membayar karena saling membutuhkan.
Ada pula tukang ojek mendapatkan pelayanan berupa
hubungan seks dari pasangan tidak tetapnya (PSK)
dari mereka yang mengantarkan PSK ke suatu
tempat, dimana pada saat itu PSK sedang tidak
mempunyai uang karena sepi pelanggan. Selain
itu di lokalisasi Sarkem Yogyakarta, belum ada
peraturan lokal 100% kondom. Hasil penelitian ini
menggambarkan bahwa tingkat risiko penularan
IMS dan HIV/AIDS dikalangan tukang ojek tinggi.
Karena PSK tidak mampu menolak partner seks
dalam hal ini tukang ojek untuk berhubungan seks
walaupun tidak menggunakan kondom.
Kondisi lingkungan tukang ojek yang mangkal di
dekat lokalisasi Sarkem tersebut merupakan kondisi
dimana mereka berada di tempat yang terpapar,
yang kemungkinan bisa membawa risiko tertular
IMS dan HIV/AIDS. Proses keterpaparan yang terus
23

menerus akan mendorong pada perilaku yang berisiko
terinfeksi IMS dan HIV/AIDS, karena mempunyai akses
yang mudah untuk memperoleh pelayanan dari PSK.

KESIMPULAN

Perilaku seks tukang ojek yang mangkal di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta adalah sebagian
besar mempunyai pasangan seks multipartner.
Variabel yang berpengaruh terhadap perilaku seks
multipartner adalah lama bekerja dan kemampuan
diri tukang ojek dalam melakukan pencegahan
penularan IMS dan HIV/AIDS. Variabel yang paling
berpengaruh adalah lama bekerja dengan p=0,047
(<0,05) dan OR (Exp B)=11,655. Hal ini berarti
bahwa tukang ojek yang bekerja lebih dari 6 bulan
akan mempunyai kemungkinan 11 kali lebih besar
untuk berperilaku seks multipartner dibandingkan
dengan yang bekerja kurang dari 6 bulan di dekat
lokalisasi Sarkem Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. BPS. 2007. Surveilans terpadu
biologis perilaku pada kelompok berisiko tinggi di
Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan
Lingkungan. 2012. Laporan Perkembangan HIV-
AIDS Triwulan 1. In: RI D, ed. Jakarta.
Hurlock.1990. Psychology for child, Adolescence and
Adult. In: McGraw-Hill, ed. Psychology Centrum.
Boston. Polo alto University.
Hurlock EC. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Vol
Edisi Ke-5. Jakarta: Erlangga.
Paris MM, MPH Gotuzzo, Eduardo MD. Motorcycle
Taxi Drivers and Sexually Transmitted Infections
in a Peruvian Amazon City. PUBMed. January
2001;28(1):11-13.
Postgrad N. 2005. Sexual behaviour, perception of
HIV/AIDS and condom use among commercial
motorcylists in Benin City. Medline.12:262.
Shinta. Para Istri di Kota Yogyakarta Berisiko
Tertular HIV/AIDS. www.aids-ina.org.modules.
Accessed 10 Maret 2011.
Urbanski C. 2006. Peningkatan Dan Penurunan
Persekutuan Antara Penjual Teh Poci dan
Pelacuran Di Kawasan Simpang Lima Semarang.
Australian Consortium For In-Country Indonesian
Studies (ACICIS). Desember.




24


Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan Memulai
Pengobatan Pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta
Diah Handayani
1
, Windi Novriani
1
, Ahmad Fuady
2
, Winarto
3
, Tjatur Kuat Sagoro
4
, Erlina Burhan
1
,
Sumanto Simon
5
, Chatarina Umbul Wahyuni
6

1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2
RS Persahabatan Jakarta,
3
Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur,
4
Unika Atmajaya, Jakarta,
5
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya
Abstrak. Tuberkulosis kebal obat (multi-drug resistant, TB MDR) merupakan salah satu masalah yang besar dalam
pengendalian TB di Indonesia. Indonesia masih berada di urutan ke-8 sebagai negara dengan beban tinggi TB MDR.
Pengendalian TB MDR di Indonesia atau Programmatic Management Drug Resistant (PMDT) telah dimulai sejak tahun 2009
di RS Persahabatan Jakarta dan 4 RS lain di Indonesia. Salah satu indikator PMDT adalah pengobatan bagi semua pasien
yang telah terdiagnosis termasuk pemberian pengobatan secepatnya, karena keterlambatan pengobatan akan meningkatkan
morbiditas, mortalitas dan waktu penularan TB MDR di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor
yang berhubungan dengan keterlambatan pengobatan pasien TB MDR di RS Persahabatan Jakarta. Penelitian ini
merupakan penelitian potong lintang. Pengambilan data dilakukan Agustus 2012-Agustus 2013 dengan menggunakan
kuesioner dan data sekunder. Waktu yang dibutuhkan untuk memulai terapi adalah 27 hari. Analisis survival menggunakan
Kaplan Meyer menunjukkan pasien yang membutuhkan waktu lebih lama adalah kelompok pasien laki-laki, kelompok umur
31-40 tahun, pasien yang bekerja, dan pasien dengan pengetahuan tentang TB MDR lebih baik. Sebaliknya pengobatan
lebih cepat didapatkan pada pasien yang pindah mendekati RS. Pemberian terapi awal membutuhkan berbagai persiapan,
sehingga sangat mungkin terjadi keterlambatan pengobatan. Waktu untuk memulai pengobatan dapat berhubungan dengan
jenis kelamin, pekerjaan, persiapan untuk pindah mendekati RS, dan pengetahuan pasien. Beberapa hal lain terkait program
yang berhubungan dengan waktu berobat adalah pada awal pengobatan pasien harus menjalani perawatan di RS selama 2
minggu.
Kata kunci: Tuberkulosis kebal obat, Keterlambatan pengobatan
Korespondensi: Diah Handayani, Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS
Persahabatan Jakarta. Telp. 081315431753. email:
diahzulfitri@yahoo.com
PENDAHULUAN
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan
utama dalam kelompok penyakit infeksi dan TB kebal
obat (multi-drug resistant, TB MDR) merupakan
salah satu masalah yang besar dalam pengendalian
TB di Indonesia. Indonesia masih berada di urutan
ke-8 sebagai negara dengan beban tinggi TB MDR.
Pengendalian TB MDR di Indonesia atau
Programmatic Management Drug Resistant (PMDT)
telah dimulai sejak tahun 2009 di RS Persahabatan
Jakarta dan 4 RS lain di Indonesia. Salah satu
indikator PMDT adalah pengobatan bagi semua
pasien yang telah terdiagnosis termasuk pemberian
pengobatan secepatnya, karena keterlambatan
pengobatan akan meningkatkan morbiditas, mortalitas
dan waktu penularan TB MDR di masyarakat.
Pemberian terapi awal membutuhkan berbagai
persiapan, sehingga sangat mungkin terjadi keterlambatan
pengobatan. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi
terhadap keterlambatan pengobatan. Pengobatan
TB MDR membutuhkan persiapan dan manajemen
yang baik, karena membutuhkan waktu yang lama,
mencapai 20-24 bulan dengan obat yang banyak dan
harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat,
sehingga pasien harus datang setiap hari ke
fasilitas kesehatan untuk TB MDR.
Waktu menuju terapi merupakan salah satu
indikator utama program pengobatan TB MDR, karena
keterlambatan pengobatan akan mempengaruhi
morbiditas, mortalitas dan penyebaran penyakit.
Berbagai hambatan untuk menjangkau pengobatan
TB dapat dipengaruhi oleh hambatan ekonomi,
kondisi geografi seperti jarak ke fasilitas pelayanan
kesehatan, hambatan sistem pelayanan kesehatan
termasuk kurangnya tanggung jawab pemberi layanan
kesehatan dan juga desentralisasi. Penelitian ini
mendapatkan beberapa faktor sosio-ekonomi dan
25

geografik yang diduga terkait dengan pengobatan
TB MDR.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang.
Pengambilan data dilakukan pada Agustus 2012.
Penelitian ini dilakukan dengan melihat data pasien
TB MDR di RS Persahabatan, dilanjutkan dengan
wawancara menggunakan kuesioner yang telah
divalidasi untuk melihat pengetahuan pasien dan
data demografi dan sosial terkait pengobatan TB
MDR. Setiap pasien yang diwawancarai telah
mendapatkan penjelasan dan menandatangani
informed consent. Penelitian ini telah disetujui oleh
Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Analisis statistik yang digunakan adalah
Kaplan Meyer untuk melihat hubungan antara waktu
keterlambatan pengobatan dengan faktor
demografis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di RS Persahabatan hingga Juli 2011 terdapat
233 kasus TB MDR, tetapi 73 (31,33%) tidak
diobati dengan alasan 22 pasien menolak, 6 pasien
tidak dapat dihubungi dan 4 pasien tidak memenuhi
kriteria klinis untuk diobati, 13 pasien meninggal
dan 28 pasien dalam persiapan terapi, sehingga
terdapat 160 pasien dalam pengobatan. Pada
penelitian ini tidak semua pasien dapat diambil
kuesioner karena menolak atau tidak dapat
dihubungi atau ditemui untuk wawancara sehingga
kuesioner diambil dari 82 pasien.
Hasil demografi menunjukkan jumlah yang seimbang
baik laki-laki maupun perempuan, dengan median
umur adalah 38 tahun. Tingkat pendidikan pasien
baik (63% SMA atau lebih). Kondisi ekonomi pasien
umumnya adalah rendah dengan median
penghasilan keluarga adalah Rp 1.500.000 (Rp
1.224.162-Rp 2.000.000) jika dibandingkan dengan
upah minimal regional untuk provinsi DKI dan
Jabodetabek dan kebutuhan biaya transportasi sekitar
Rp 450.000 dan status pekerjaan mengalami
perubahan, karena pasien harus berhenti bekerja
untuk mendapatkan pengobatan. Sebelum pengobatan,
sebanyak 55 orang (67,1%) pasien bekerja,
sedangkan setelah pengobatan sekitar 37,8%
pasien kehilangan pekerjaan, karena menjalani
pengobatan TB MDR. Jarak dari rumah ke RS sekitar 10
km, dan pasien menggunakan kendaraan umum,
kendaraan pribadi dan ojek dengan biaya sekitar
Rp 15.000 dan waktu tempuh sekitar 30 menit,
karena banyak yang menggunakan motor sebagai
kendaraan pribadi. Dukungan keluarga terhadap
pasien umumnya baik. Karakteristik pasien TB MDR
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi Sosio-ekonomi pasien TB MDR
Variabel Kriteria Frekuensi/median Persentasi/ 95%CI
Waktu menuju terapi Median (days) 27 15-52
Jarak (km) (n=75) < 10
11-30
> 30
43
18
14
57,3
24
18,7
Biaya transportasi ke fasyankes Median (IDR/$US) 15.000/1,5 10000/1,1-20.000/2,1
Pekerjaan Bekerja
Tidak bekerja
Menjadi tidak bekerja
30
21
31
36,6
25,6
37,8
Penghasilan keluarga (juta rupiah) < 1
1-3 juta
26
31
34,7
41,3
26

> 3 18 24
Sarana transportasi Jalan kaki
Kendaraan pribadi
Kendaraan umum
Ojek
5
34
40
3
6,1
41,4
48,8
3,7
Dukungan keluarga (n=81) mendukung
sangat mendukung
18
63
22,2
77,8
Pindah mendekati fasyankes Ya
Tidak
16
62
20,5
79,5
Hambatan untuk berobat (n=81) Ya
Tidak
39
42
48,2
51,8
Pengetahuan tentang TB MDR
(n=75)
Baik
Sangat baik
23
52
30,7
69,3
Persepsi pasien terhadap pengobatan menunjukkan
bahwa 70% pasien merasa obatnya terlalu banyak
dan waktu terlalu lama.
Waktu yang dibutuhkan untuk memulai terapi
adalah 27 hari. Analisis survival menggunakan Kaplan
Meyer menunjukkan pasien yang membutuhkan
waktu lebih lama adalah kelompok pasien laki- laki,
kelompok umur 31-40 tahun, dan pasien yang
bekerja, dan pasien dengan pengetahuan tentang
TB MDR lebih baik. Sebaliknya pengobatan lebih
cepat didapatkan pada pasien yang pindah
mendekati RS. Hasil analisis Kaplan Mayer dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1.Hubungan keterlambatan pengobatan
dengan kepindahan pasien

Diskusi
Keterlambatan pengobatan terkadang tidak dapat
dicegah apabila sumber penularan tidak dapat
diidentifikasi dan pemeriksaan kultur dan resistensi
tidak dilakukan secara rutin.
Waktu untuk memulai pengobatan dapat berhubungan
dengan jenis kelamin, pekerjaan, persiapan untuk
pindah mendekati RS, dan pengetahuan pasien.
Beberapa hal lain terkait program yang dapat
berhubungan dengan waktu berobat adalah pada
awal pengobatan pasien harus menjalani perawatan
di RS selama 2 minggu, dan pasien harus tinggal di
wilayah Jakarta Timur, sehingga beberapa pasien
harus menyiapkan tempat tinggal di sekitar RS atau
masih dalam wilayah Jakarta Timur, tetapi hal ini
telah berubah sejak tahun 2010 sehingga semakin
banyak pasien yang dapat menjalani pengobatan.
Hal lain adalah dilakukan verifikasi data pasien oleh
petugas puskesmas untuk memastikan tempat
tinggal pasien. Hal lain yang harus dipersiapkan
dalam pengobatan TB MDR adalah memeriksa
0
.
0
0
0
.
2
5
0
.
5
0
0
.
7
5
1
.
0
0
0 50 100 150 200
analysis time
moved Not moved
Kaplan-Meier survival estimates Moved with Time to treat
27

kondisi klinis pasien secara keseluruhan, meliputi
pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal, kardiovaskular,
hormon tiroid dan audiometri. Pemeriksaan hormon tiroid
membutuhkan waktu minimal 1 minggu atau 7 hari
kerja dan pemeriksaan audiometri hanya dilakukan
pada sore hari menunggu pasien non- TB MDR
selesai menjalani pemeriksaan, sehingga pasien TB
MDR harus menunggu jadwal pemeriksaan audiometri
untuk mendapatkan data dasar fungsi pendengaran.
WHO menetapkan beberapa indikator spesifik
untuk program TB MDR meliputi deteksi, inklusi,
analisis interim dan luaran akhir. Inklusi pasien
dalam pengobatan meliputi jangkauan pengobatan
kepada semua pasien yang telah terdiagnosis TB
MDR, dan waktu untuk memulai pengobatan. Waktu
memulai pengobatan juga merupakan hal yang
penting dalam inklusi, karena keterlambatan
pengobatan akan meningkatan morbiditas dan
mortalitas pasien. Strategi pengobatan TB MDR
sangat kompleks, karena biaya tinggi , durasi yang
panjang serta keharusan pasien datang ke
pelayanan kesehatan setiap hari untuk menelan
obat dengan pengawasan langsung (directly
observed treatment, DOT). Hal ini membutuhkan
persiapan dari sisi pemberi layanan maupun pasien,
sehingga berdampak pada waktu memulai
pengobatan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa waktu menuju terapi adalah 27 hari (15-52).
Lamanya memulai pengobatan berpotensi untuk
menambah jumlah pasien yang tidak mendapatkan
pengobatan, sehingga terus menjadi sumber
penularan di masyarakat.
Sebuah penelitian di Cape Town mendapatkan
bahwa keterlambatan memulai pengobatan TB
MDR sekitar 5-6 minggu. Hal yang menyebabkan
keterlambatan tersebut dapat disebabkan oleh
faktor provider, sistem dan pasien. Faktor pasien
yang berperan pada keterlambatan mencari pengobatan
diantaranya adalah stigma masyarakat mengenai
penyakit tuberkulosis itu sendiri. Rerata waktu mulai
timbulnya gejala sampai pasien datang ke fasilitas
kesehatan adalah 6,41 minggu pada pasien yang
masih mempercayai stigma TB, sedangkan yang tidak
mempercayai stigma TB waktunya lebih pendek yaitu
4,99 minggu. Penelitian di Kwazulu mendapatkan
hanya sekitar 25% pasien yang memulai pengobatan
tanpa keterlambatan, sedangkan 75% pasien mengalami
keterlambatan pengobatan sampai dengan 22 minggu.
Hal ini dapat menyebabkan peningkatan penularan
karena sekitar 90% pasien mempunyai gejala batuk.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Waktu menuju terapi adalah 27 hari
2. Pengobatan TB MDR membutuhkan biaya
transportasi cukup besar, lebih dari sepertiga
median penghasilan keluarga pasien TB MDR
3. Sebagian pasien harus pindah rumah untuk
mendekatkan diri ke Rumah Sakit
4. Pengobatan TB MDR mempengaruhi pekerjaan
pasien, terdapat 37,8% pasien kehilangan
pekerjaan selama menjalani pengobatan TB MDR.
5. Waktu menuju pengobatan lebih singkat pada
pasien perempuan, pasien yang pindah untuk
mendekatkan diri ke RS, pasien yang didukung
penuh oleh keluarga serta pasien yang tidak bekerja.

Saran
1. Mempersingkat waktu pengobatan akan menekan
morbiditas, mortalitas dan penyebaran penyakit
dan pada akhirnya meningkatkan cakupan pasien
TB MDR yang diobati.
2. Mempersingkat waktu pengobatan menghindari
ancaman TB XDR dan TDR.
3. Strategi pengobatan TB MDR perlu disesuaikan
untuk mempermudah pasien dan tidak menimbulkan
dampak sosio-ekonomi yang tinggi dengan cara
menyediakan sarana pelayanan TB MDR yang
dekat, waktu yang fleksibel.
4. Desentralisasi ke RS terdekat dipercepat dengan
meningkatkan kualitas RS satelit TB MDR.

DAFTAR PUSTAKA
Bamford CM, Taljaard JJ. Potential for nosocomial
transmission of multidrug-resistant tuberculosis
(MDR TB) in a South African hospital. SAfr Med
J. 2010;100(7):438-441.
Johnson R, Warren G, van der Spuy N, et al. Drug-
resistant tuberculosis epidemic in the Western
Cape driven by a virulent Beijing genotype
strain. Int J Tuberc Lung Dis. 2010; 14:119-121.
Kurspahi-Muji A, Hasanovi A, Sivi S.
Tuberculosis related stigma and delay in
seeking care after the onset of symptoms
associated with tuberculosis. Med Glas
(Zenica). 2013 Aug;10(2):272-7.
28

Narasimooloo R, Ross A. Delay in commencing
treatment for MDR TB at a specialised TB
treatment centre in KwaZulu-Natal. S Afr Med J.
2012;102(6):360-362.
Qazi F, Khan U, Khowaja S, Javaid M, Ahmed A,
Salahuddin N, et al. Predictors of delayed culture
conversion in patients treated for multidrug-
resistant tuberculosis in Pakistan. Int J Tuberc
Lung Dis. 2011;15(11):15561559
Schaaf HS, Shean K, Donald PR. Culture confirmed
multidrug resistant tuberculosis: diagnostic
delay, clinical features, and outcome. Arch Dis
Child. 2003;88:11061111.
WHO. Global Tuberculosis Report. 2013
WHO. Guidelines for the programmatic management
of drug-resistant tuberculosis. 2011 update.
WHO. Multidrugresistant Tuberculosis (MDR-TB)
Indicators. A minimum set of indicators for the
programmatic management of MDR-TB in
national tuberculosis control programmes. 2011.




29

Pemeriksaan Pendahuluan Sanitasi Asrama Haji Donohudan Boyolali,
Jawa Tengah Tahun 2013

Anas Maruf, Suprapto, Ismail Marzuki, Soeparlan, Mukhammad Pujianto, Windy Cintya Dewi, Ridwan Rahmadi
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Semarang
Abstrak. Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan pelayanan dan perlindungan yang
sebaik-baiknya bagi jamaah haji, sehingga pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan
nyaman dan jamaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam. Pemerintah
melalui kementerian kesehatan berupaya untuk melakukan pembinaan dan pelayanan kesehatan pada jamaah haji, baik
pada saat persiapan, operasional ibadah haji dan setelah penyelenggaraan ibadah haji melalui kewaspadaan terhadap
penularan penyakit yang terbawa oleh jamaah haji. Upaya yang dilakukan pada saat persiapan adalah upaya penyehatan
lingkungan melalui pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji, yaitu kegiatan pemeriksaan, pemantauan, kajian dan
rekomendasi. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap kondisi sanitasi asrama pada saat sebelum
digunakan, sehingga bisa diketahui kekurangan yang ada. Dari hasil pemeriksaan akan muncul rekomendasi terhadap
kekurangan yang yang ada dengan harapan dapat dilakukan perbaikan, sehingga saat opersional, asrama haji layak
untuk digunakan. Pemeriksaan pendahuluan ini menggunakan metode pengamatan langsung dengan kuesioner
pedoman penyelenggaraan kesehatan lingkungan asrama haji di Indonesia. Dari kegiatan yang telah dilakukan terdapat
beberapa rekomendasi antara lain perlu adanya saluran pembuangan air limbah, perbaikan langit-langit di ruang pantry,
pemasangan jeruji besi di saluran air dapur untuk pencegahan masuknya tikus maupun hewan yang lain, pemisahan
jenis sampah dan tindakan penyehatan air (berupa pengurasan reservoir dan pemberian chlorin).
Kata Kunci: Pemeriksaan pendahuluan, Sanitasi asrama haji
Koresponden: Anas Maruf, Suprapto, Ismail Marzuki,
Soeparlan, Mukhammad Pujianto, Windy, Telp
081384216822, email: anasmaruf2003@yahoo.com
PENDAHULUAN
Undang-Undang RI No.13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji menyebutkan bahwa
kebijakan dan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah
haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung
jawab pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan
pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan
menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah
haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan,
dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji.
Di dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia disebutkan
bahwa prioritas penyehatan lingkungan adalah
pengendalian vektor penular penyakit, penyediaan
kamar tidur, air mandi dan air minum di asrama
embarkasi/debarkasi, pondokan di Arab Saudi dan
di tempat-tempat pelayanan jemaah haji.
Salah satu kegiatan yang dilaksanakan, yaitu
pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji.
Kegiatan yang dilaksanakan 3 bulan sebelum
operasional haji ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi sanitasi lingkungan asrama, sehingga dapat
dilakukan perbaikan dan persiapan seperlunya
sebelum asrama haji digunakan. Obyek yang
diperiksa meliputi: kesehatan lingkungan asrama
haji (kamar tidur, kamar mandi, dapur, saluran air
limbah, ruang makan, poliklinik, masjid), penyehatan
sanitasi air, pengolahan limbah, pengendalian vektor
dan jasa boga.
Oleh karena itu perlu dilaksanakan pemeriksaan
pendahuluan agar dapat diketahui kondisi sanitasi
asrama haji, sehingga dapat dilakukan perbaikan
dan persiapan seperlunya sebelum asrama haji
digunakan. Dalam hal ini Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas II Semarang telah melaksanakan
pemeriksaan pendahuluan sanitasi asrama haji
tahun 2013 pada tanggal 18 Juni 2013 dengan tim
pemeriksaan yang berasal dari; Pusat Kesehatan
Haji Kementerian Kesehatan RI, KKP Kelas II
Semarang, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
BBTKL-PP Yogyakarta, Balai Labkes Provinsi Jawa
Tengah, Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah,
DPPAD Provinsi Jawa Tengah serta Unit Pendapatan
Pengelolaan dan Pemberdayaan Aset Daerah
(UP3AD) Surakarta selaku Pengelola Asrama Haji.
BAHAN DAN CARA
Kegiatan pemeriksaan pendahuluan sanitasi
asrama haji dilakukan di Asrama Haji Donohudan
Boyolali selama satu hari, menggunakan metode
pengamatan langsung dengan kuesioner pedoman
penyelenggaraan kesehatan lingkungan asrama
haji di Indonesia dari Pusat Kesehatan Haji
Kementerian Kesehatan. Kuesioner tersebut memuat
antara lain tentang persyaratan kesehatan lingkungan
asrama haji, penyehatan sanitasi air, pengolahan
limbah, pengendalian vektor dan pemeriksaan jasa
30

boga. Nantinya hasil dari kegiatan pemeriksaan
pendahuluan akan menghasilkan rekomendasi yang
akan menjadi acuan untuk pemeriksaan lanjutan I dan II.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan secara langsung terhadap
kondisi sanitasi dan keadaan bangunan asrama
haji adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan kesehatan lingkungan asrama haji,
salah satunya dengan melakukan pengukuran
air bersih dan fisik ruangan dapur. Hasil yang
didapat yaitu:
a. sisa chlor: 0 (Baku Mutu Permenkes RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990, sisa chlor air bersih
0,2 mg/l)
b. pH: 8,8 (Baku Mutu Permenkes RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990, pH air bersih
6,5-9,0)
c. TDS: 147 (Baku Mutu Permenkes RI No.
416/Menkes/Per/IX/1990,TDS air bersih
<1500 mg/l)
d. Suhu: 28,5
0
C (Baku Mutu Permenkes RI
No. 416/Menkes/Per/IX/1990, suhu 3
0
C)
e. Kelembaban: 76% (40 70 %)
f. Pencahayaan: 410 lux
Keadaan umum bangunan asrama haji
Donohudan Boyolali sudah cukup memadai,
namun masih diperlukan perbaikan-perbaikan
di beberapa bagian (langit-langit ruang pantry,
saluran air limbah, exhauser dapur) dan
penambahan sarana prasarana (penyediaan
tempat sampah tertutup) untuk menunjang
operasional haji.
2. Penyehatan sanitasi air, dengan melakukan
pemeriksaan fisika dan kimia terbatas terhadap
kualitas air di asrama haji dengan parameter
yang diukur meliputi: bau, warna, rasa, sisa khlor,
pH, TDS, temperatur dan TDS. Sedangkan
untuk pemeriksaan secara bakteriologis belum
dilakukan.
3. Belum tersedia sarana Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) dan sarana pengolahan limbah
medis.
4. Pengendalian vektor akan dioptimalkan saat
operasional haji, meliputi kegiatan pemberantasan
nyamuk dan lalat.
Secara umum kondisi sanitasi asrama haji
Donohudan Boyolali sudah cukup baik, sudah ada
penambahan ruang pengambilan spesimen dahak
di poliklinik. Untuk menunjang kelancaran operasional
penyelengaraan ibadah haji masih diperlukan
adanya perbaikan saluran pembuangan air limbah,
perbaikan langit-langit di ruang pantry, pemasangan
jeruji besi di saluran air dapur untuk pencegahan
masuknya tikus maupun hewan yang lain,
penyediaan tempat sampah tertutup, pemisahan
jenis sampah dan tindakan penyehatan air berupa
pengurasan reservoir dan pemberian chlorin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Secara umum keadaan sanitasi Asrama Haji
Donohudan Boyolali sudah cukup baik dan siap
digunakan.
2. Telah dilakukan perbaikan untuk menunjang
kegiatan haji, antara lain penambahan ruang
untuk pengambilan spesimen dahak di poliklinik
dan penambahan lift di gedung Mekkah.
3. Perlunya dilakukan pembersihan rutin terhadap
sarana penunjang ibadah (alas sholat).
4. Kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten
Boyolali dalam pengolahan limbah medis selama
operasional penyelenggaraan haji.


Saran
1. Bagi Pengelola Asrama Haji:
a. Pembersihan karpet/alas sholat secara rutin
dan penambahan keset di tempat yang
kontak dengan air.
b. Perbaikan langit-langit yang rusak pada
ruang pantry (penyiapan makanan) di gedung
Mekkah dan Madinah.
c. Pembuatan saluran instalasi pengolahan air
limbah.
d. Pemasangan jeruji besi pada saluran
pembuangan air limbah.
e. Tindakan penyehatan air bersih secara rutin
berupa chlorinasi.
f. Penyediaan tempat sampah tertutup dan
pemisahan jenis sampah kering dan basah.
g. Perlu disediakan pula tempat sampah untuk
rokok dan pesan larangan merokok pada
area tertentu.
2. Bagi Lintas Sektor terkait (Dinas Kesehatan):
Kerjasama dalam pengolahan limbah medis
yang dihasilkan selama kegiatan operasional haji.
3. Bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan: Tindakan
pemberantasan vektor baik sebelum maupun
pada saat operasional haji.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.
31

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
416/MENKES/SK/IX/90 tentang Syarat-syarat
dan Pengawasan Kualitas Air.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan
Kualitas Air Minum.



























32

Hambatan Kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin Bandung

Yovita Hartantri
1
, Bony Wiem Lestari
2
, Intan Meilana
1
, Dedi Suyanto
3
, Basti Andriyoko
1
, Annyk
4
, Rudi
Wisaksana
1
, Bachti Alisjahbana
1
, Ari Probandari
5,
Retno Budiati
6

RS Hasan Sadikin-Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung
1
, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran Bandung
2
, RS Hasan Sadikin
3
, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
4
, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta
5
, Subdit Pengendalian TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL
6

Abstrak. Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan membentuk mekanisme kolaborasi, menurunkan kejadian TB pada
penderita HIV melalui program 3 Is dan menurunkan kejadian HIV pada penderita yang diduga TB. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hambatan apa saja yang ditemui dalam kolaborasi TB-HIV di Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian action research, terbagi menjadi tahap diagnosis (assessment),
perencanaan dan intervensi serta evaluasi. Data kualitatif diperoleh dari observasi, notulensi rapat dan wawancara
secara mendalam, dan diskusi kelompok terarah pada para penentu kebijakan serta pelaksana unit layanan. Data
kuantitatif diperoleh dari laporan bulanan dan triwulan TB-HIV, serta perhitungan proporsi variabel-variabel kolaborasi
sebelum dan sesudah intervensi. Hasil tahap assessment, ada perbedaan persepsi kolaborasi, akibatnya prioritas
program masing-masing unit berbeda. Kurang koordinasi disebabkan kurangnya komunikasi, tidak ada pertemuan, serta
tidak ada monitoring dan evaluasi. Standar Operasional Prosedur (SOP) belum disosialisasikan, sehingga tidak jelas alur
layanan pasien-pasien ko-infeksi TB-HIV. Pada tahap perencanaan dan intervensi dilakukan upaya advokasi,
pertemuan, dan pelatihan untuk menyamakan persepsi dan tujuan layanan, melakukan komunikasi dan koordinasi , serta
membuat kesepakatan alur layanan dan perbaikan SOP. Pada tahap evaluasi, data kualitatif maupun kuantitatif belum
memperlihatkan adanya perubahan walau sudah dilakukan advokasi dan pertemuan. Masih ditemukan adanya kendala,
terutama masalah kehadiran dalam pertemuan dan komitmen. Di samping itu karena terbatasnya waktu dalam menilai
fase evaluasi, perhitungan indikator kolaborasi TB-HIV belum terlihat perbedaan yang nyata. Masih diperlukan intervensi
tambahan untuk memperbaiki kolaborasi TB-HIV. Walaupun telah diidentifikasi beberapa faktor penghambat, tetapi
masih rendahnya komitmen mematuhi hasil yang diinginkan, mungkin diperlukan adanya intermediary actor yang akan
memediasi kedua unit layanan. Aktor tersebut diharapkan bukan merupakan bagian dari kedua unit layanan TB atau
HIV, namun mengerti mengenai kegiatan kolaborasi TB-HIV dan mampu mengintegrasikan dua unit layanan tersebut.

Kata Kunci: Kolaborasi TB-HIV, RS Hasan Sadikin Bandung

Koresponden: Yovita Hartantri, RS Hasan Sadikin,
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung, Telp. 08124807131; Retno B, Subdit
Pengendalian TB, Telp. 021-42804154, 081288668597
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian
utama pada penderita HIV (Human Immunodeficiency
Virus). Infeksi HIV merupakan faktor risiko yang
potensial untuk terjadinya TB. TB dan HIV bekerja
secara sinergi meningkatkan angka kematian dan
angka kesakitan di masyarakat. Untuk mengatasi
infeksi ganda TB-HIV, WHO (2004) memberikan
panduan yang disebut 3 Is, yaitu Intensifikasi
penemuan kasus TB, pengobatan pencegahan TB
dengan isoniazid, dan pengendalian infeksi terhadap
TB. Di Indonesia, strategi kolaborasi TB-HIV mulai
dilaksanakan di seluruh rumah sakit sejak 2007.
Data lapangan menunjukkan bahwa pencapaian
indikator kolaborasi TB-HIV di Indonesia masih di
bawah target. Indikator kegiatan kolaborasi TB-HIV
beserta targetnya adalah sebagaimana terlihat
pada Tabel 1.



Tabel 1. Indikator kolaborasi TB-HIV
Indikator Target
(%)
Pasien TB yang ditawarkan tes HIV 15
Pasien TB-HIV yang mendapat ART 60
Pasien TB-HIV yang mendapat CPT 80
Pasien HIV yang diskrining TB 80
Pasien TB-HIV yang mendapat OAT 80
Pencegahan INH NA
Sumber: Kemenkes, 2012

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin
di Kota Bandung merupakan pusat rujukan tertinggi
di Jawa Barat. Jumlah kasus HIV di Jawa Barat
hingga September 2012 sebanyak 6.640 dengan
prevalensi TB sebesar 81,11 per 100.000 penduduk.
Hal ini menunjukkan beban ko-infeksi TB-HIV cukup
besar di Jawa Barat.
Pada tahun 2012 penderita TB yang menjalani
pemeriksaan HIV di klinik DOTS hanya 2,2% (22
dari 1.041 penderita), masih jauh di bawah target
nasional. Program kolaborasi TB-HIV sendiri di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung telah diimplementasikan
sejak tahun 2008, namun hingga saat ini penerapannya
belum optimal.

33

Tujuan
Mengidentifikasi masalah-masalah pada pelaksanaan
program kolaborasi TB-HIV di RS Hasan Sadikin.
Mengidentifikasi kebutuhan yang diperlukan untuk
meningkatkan program kolaborasi TB-HIV.
Mendesain suatu bentuk strategi atau intervensi
yang efektif untuk meningkatkan program kolaborasi
TB-HIV.
BAHAN DAN CARA

Untuk mengoptimalkan integrasi kolaborasi TB-
HIV di RSUP Dr. Hasan Sadikin, maka dilakukan
action research untuk mengetahui hambatan apa
saja yang ditemui dalam kolaborasi ini serta mendesain
intervensi yang sesuai untuk pencapaian target
indikator yang ditetapkan. Tahapan action research
yang dikerjakan meliputi tahap diagnosis atau
assessment, planning and taking action serta evaluasi.
Untuk menjawab hambatan kolaborasi TB-HIV
di lapangan, digunakan metode kualitatif dan
kuantitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara
mendalam, diskusi kelompok terarah dan analisis
dokumen terkait kegiatan kolaborasi TB-HIV dari
fasilitas pelayanan TB maupun HIV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fase Assesment
Hambatan Pemegang Kebijakan
- Perbedaan persepsi dan prioritas program
- Pembagian wewenang pemberian terapi
- Komitmen
Hambatan Sistem Organisasi RS
- Struktur Organisasi
- InfrastrukturSDM, SPO, sarana prasarana
- Pengendalian infeksi
- Integrasi pencatatan dan pelaporan
Hambatan Tenaga Kesehatan
- Kurang pengetahuan dan pelatihan TB-HIV
- Kurang sosialisasi tentang TB-HIV
- Kurang koordinasi antara unit TB dan unit HIV
- Tidak ada pengakuan sebagai konselor

Fase Perencanaan dan Intervensi
- Perbaikan sistem rujukan internal dan SPO
- Pelatihan TB-HIV bagi tenaga kesehatan
- Perbaikan prosedur diagnostik
- Advokasi pada direksi Rumah Sakit
- Pertemuan rutin tim TB-HIV
- Monitoring dan evaluasi internal







Fase Implementasi

Waktu Kegiatan yang dilakukan
TW2
2012
- Keluarnya SK Tim TB-HIV RSUP Dr.
Hasan Sadikin
- Perbaikan alur diagnostik dan layanan
TW3
2012
- Pelatihan PITC
- Pembuatan SPO
TW4
2012
- Pembuatan SPO
TW1
2013
- Sosialisasi SPO
TW2
2013
- Sosialisasi SPO
- Pelatihan TB-HIV
- Monitoring dan evaluasi TB-HIV
TW3
2013
- Monitoring dan evaluasi TB-HIV
- Advokasi ke direktur RSUP Dr. Hasan
Sadikin

Fase Evaluasi
Terdapat peningkatan jumlah penderita HIV
yang diskrining TB dengan adanya perbaikan
alur diagnostik dan alur layanan sejak triwulan 2
tahun 2012.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Hambatan kolaborasi TB-HIV yang ditemukan
adalah kurangnya komitmen para pemegang
kebijakan, karena perbedaan persepsi tentang
kolaborasi TB-HIV dan prioritas program, belum
ada model kolaborasi TB HIV yang solid, dan
sistem pencatatan dan pelaporan yang belum
terintegrasi antara fasyankes TB dan HIV.
Implementasi kegiatan kolaborasi dimulai pada
triwulan ke-2 tahun 2012 dengan diterbitkan SK
Tim TB-HIV. Selanjutnya dilakukan perbaikan
alur diagnostik dan layanan (SPO) di unit TB
dan HIV. Setelah dilakukan perbaikan dan penyusunan
ulang SPO alur layanan, dilanjutkan dengan sosialisasi.
Pelatihan PITC diberikan bagi petugas unit TB
di rawat jalan dan rawat inap. Pelatihan tentang
TB-HIV juga diberikan kepada petugas di unit
TB maupun unit HIV.
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara rutin
dengan melihat indikator kolaborasi TB-HIV.
Advokasi ke direktur Rumah sakit juga dilakukan
agar turut mendukung keberhasilan program.

Saran
1. Diperlukan pihak ketiga sebagai aktor perantara
untuk menjembatani komunikasi fasyankes TB
dan HIV di rumah sakit
34

2. Pencatatan dan pelaporan TB-HIV harus dilakukan
dalam kerangka cohort yang sama untuk
mengoptimalkan kolaborasi
3. Pelatihan berkala bagi tenaga kesehatan
4. Pertemuan rutin untuk membangun team work
dan advokasi ke pihak manajemen
5. Pentingnya monitoring dan evaluasi
6. Manajemen pasien TB-HIV sebaiknya dilakukan
dalam satu unit layanan
7. Perlu perhatian terhadap pengendalian infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

WHO. 2011. Guidelines for Intensified Tuberculosis
Case-Finding and Isoniazid Preventive Therapy
for People living with HIV in resource-constrained
settings. Geneva, Switzerland : WHO Press.
World Health Organization (WHO) HIV/TB Facts
2011.
Teratai Clinic. 2011. Teratai Clinic Report. Bandung:
Hasan Sadikin Hospital.
WHO. 2012. Policy on Collaborative TB/HIV Activities.
Guidelines for National Programmes and Other
Stakeholders. Geneva, Switzerland: WHO Press.
WHO. 2010. Priority Research Questions for TB/HIV
in HIV-prevalent and resource-limited settings.
TB/HIV Working group. Stop TB Partnership.
Geneva, Switzerland: WHO Press.
WHO Three I's Meeting. 2008. Intensified Case
Finding (ICF), Isoniazid Preventive Therapy
(IPT) and TB Infection Control (IC) for people
living with HIV. Report of a Joint World Health
Organization HIV/AIDS and TB Department
Meeting. Geneva, Switzerland.
WHO. 2004. Guidelines For HIV Surveillance Among
Tuberculosis Patients. 2 ed. Geneva, Switzeland:
WHO Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV. Ditjen
PP dan PL. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2011. Rencana Aksi
Nasional TB-HIV. Pengendalian Tuberkulosis
2011-2014. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kemenkes RI. 2011. Manajemen Kolaborasi TB-
HIV di Indonesia. Dirjen PP dan PL.
Kemenkes RI. 2012. Petunjuk Teknis Tata Laksana
Klinis Ko-infeksi TB-HIV. Dirjen PP dan PL.
Janssen W. 2008. Tuberculosis in HIV/AIDS patients
in Indonesia. 2008 (unpublished report)
Ganiem AR, Parwati I, Wisaksana R, et al. 2009.
The Effect of HIV Infection on Adult Meningitis
in Indonesia: a prospective cohort study. AIDS;
23 (17) : 2309-16.
Klinik DOTS. 2011. Laporan klinik DOTS. Bandung:
Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Kiprah dan pengabdian. 2009. RSUP Dr Hasan
Sadikin Bandung 1923-2009. Bandung.
Guidelines for HIV surveillance among Tuberculosis
patients. WHO-UNAIDS. 2nd edition. 2004.
Bradley EH, Curry LA, and Devers KJ. Qualitative
Data Analysis for Health Services Research:
Developing Taxonomy, Themes and Theory.
Health Research and Educational Trust 2007.
Njozing, BN, Edin, KE, Sebastian, MS, Hurtig, AK.
2011. Voices from the frontline: counsellors
perspectives on TB-HIV collaborative activities
in the Northwest Region, Cameroon. BMC
Health Services Research. 11:328.
Friendland G, Harries A, Coetzee D. 2007. Implementation
Issues in TB/HIV Program Collaboration and
Integration: 3 Case Studies. JID. 196: S114-23.
Wandwalo W, Kapalata N, Tarimo E, Corrigan CB,
Morkve O. Collaboration between the national
TB programme and a non governmental organization
in TB/HIV care at a district level: experience
from Tanzania. African Health Sciences Vol 4
No.2 August 2004.










35

Evaluasi Pasca Pelatihan Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan
Tingkat Ahli Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto

Totok Subianto, Denny S.S, Suryati Ria dkk

Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto, Jawa Barat


Abstrak. Hasil Evaluasi Pasca Pelatihan (EPP) Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan yang dilaksanakan oleh Balai
Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto (BBPK) tahun 2013 menunjukkan bahwa sebagian besar (56,3%) alumni peserta latih
berumur 30-39 tahun, kesesuaian bidang kerja sebesar 56%, dan yang sudah diangkat sebagai tenaga fungsional
entomolog kesehatan sebesar 34%. Jika dirinci menurut tempat kerja alumni, maka sebagian besar yang telah diangkat
adalah yang bekerja di Kabupaten/Kota sebesar 40%, sedangkan yang bekerja di Propinsi belum ada yang diangkat.
Propinsi dengan seluruh alumni bekerja sesuai bidang adalah Aceh, Maluku Utara dan Yogyakarta, sedangkan yang
seluruh alumni telah diangkat dalam jabatan fungsional adalah Aceh dan Yogyakarta. Rata-rata dan median nilai kognitif
pada saat post test meningkat sedangkan lamanya waktu setelah pelatihan sangat berpengaruh terhadap penurunan
kognitif. Menurut kompetensi alumni peserta latih, diketahui bahwa sebesar 35% kompeten, sedangkan 65% tidak
kompeten. Kompetensi yang paling banyak belum dikuasai oleh alumni adalah kemampuan dalam melaksanakan
penyelidikan vektor dan serangga pengganggu. Terdapat hubungan antara kognitif dengan kompetensi alumni peserta
latih dengan pola positif dengan kekuatan hubungan sedang (r=0,452), artinya jika kognitif meningkat maka kompetensi
alumni peserta latih juga meningkat. Isi materi pelatihan secara umum telah sesuai dan dapat diterima oleh alumni
peserta latih karena hanya 3,3% yang menyatakan tidak sesuai. Untuk materi dengan alokasi waktu yang kurang adalah,
penyusunan karya tulis dan pemberdayaan masyarakat, sedangkan untuk metode pelatihan, sebanyak 97,1% alumni
menyatakan telah sesuai. Hambatan dan kendala dalam penerapan hasil pelatihan adalah masih banyaknya alumni
peserta latih yang bekerja tidak sesuai bidang, tugas rangkap sebagai pemegang program lain, komitmen atasan dan
pengambil kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung serta di beberapa daerah merasa khawatir tidak adanya
penilai angka kredit di daerahnya. Berdasarkan uraian di atas disarankan agar lebih meningkatkan advokasi kepada
pengambil kebijakan dan sosialisasi kepada pelaksana program. Penyelenggara diklat disarankan untuk memperketat
seleksi peserta masa berlakunya sertifikat jabatan fungsional entomolog kesehatan.
Kata Kunci: Jabatan Fungsional Entomolog, BBPK

Koresponden: Totok Subianto, BBPK Ciloto,
Telp.087873122369, email: toz.subyan@gmail.com

PENDAHULUAN
Penyakit infeksi seperti Tuberkulosis, dan Malaria
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang menonjol dan perlu upaya keras untuk dapat
mencapai target MDGs. Selain itu, penyakit yang
ditularkan melalui vektor masih menjadi penyakit
endemis yang dapat menimbulkan wabah atau
kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan
gangguan kesehatan masyarakat, sehingga perlu
dilakukan upaya pengendalian vektor.
Upaya pengendalian vektor lebih dititikberatkan
pada pengendalian vektor terpadu melalui suatu
pendekatan dengan menggunakan satu atau
kombinasi beberapa metode. Pengendalian vektor
dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan
secara fisik atau mekanis, penggunaaan agen
biotik, dan kimiawi, baik terhadap vektor maupun
tempat perkembangbiakannya dan atau perubahan
perilaku masyarakat.
Pengendalian vektor yang dilaksanakan dengan
menggunakan bahan-bahan kimia harus dilakukan
oleh tenaga terlatih yang telah mengikuti pelatihan
pengendalian vektor yang dibuktikan dengan sertifikat
dari lembaga pendidikan dan pelatihan.
Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Ciloto
sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang memiliki
tugas dan fungsi sebagai penyelenggara pendidikan
dan pelatihan. Pada tahun 2012 BBPK Ciloto telah
menyelenggarakan pelatihan Jabatan Fungsional
(Jabfung) Entomolog Kesehatan. Selama pelaksanaan
pelatihan tersebut BBPK Ciloto belum pernah
melakukan evaluasi terhadap alumni dalam mengetahui
efektivitas pelatihan dan bagaimana alumni melaksanakan
kompetensinya sebagai Fungsional Entomolog
Kesehatan di tempat kerjanya. Oleh karena itu,
BBPK Ciloto pada tahun 2013 menyelenggarakan
Evaluasi Pasca Pelatihan (EEP) Jabfung Entomolog
Kesehatan terhadap alumni peserta latih tahun 2012.

Tujuan Pelaksanaan
Tujuan umum pelaksanaan EPP adalah untuk
mengetahui efektifitas dan hubungan pelaksanaan
diklat Jabfung Entomolog Kesehatan dari segi
kognitif, afektif dan psikomotor dalam penerapan
tugas di tempat kerja. Sedangkan tujuan khususnya
adalah: 1) diketahuinya gambaran identitas alumni
peserta latih; 2) diketahui perbedaan kognitif antara
sebelum, setelah dan retensi pasca pelatihan; 3)
diketahuinya capaian kompetensi alumni; 4) diketahuinya
hubungan antara retensi kognitif dengan kompetensi;
5) diketahuinya efektifitas pelatihan dan manfaat
pelatihan bagi alumni; dan 6) diketahuinya hambatan
36

dan kendala dalam penerapan hasil pelatihan di
tempat kerja.

Metode Pelaksanaan
Pelaksanaan EPP Entomolog Kesehatan dilaksanakan
dengan desain cross sectional dan menggunakan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Populasi pada
penelitian adalah seluruh alumni peserta Pelatihan
Entomolog Kesehatan Tingkat Ahli yang dilaksanakan
oleh BBPK Ciloto pada bulan September tahun 2012.
Sampel yang digunakan adalah total populasi.
Untuk perbandingan hasil pengukuran kompetensi
alumni, dilakukan tri angulasi hasil pengukuran
kepada 2 orang rekan dan 1 orang atasan.
Kegiatan pengumpulan data dilaksanakan di 12
provinsi tempat kerja alumni pada bulan April
sampai dengan Mei 2013.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan
memberikan soal-soal test pada saat pre test dan
post test dan wawancara terhadap alumni peserta
latih untuk mengetahui kompetensi, respon terhadap
materi pelatihan (isi, metode dan waktu), manfaat
pelatihan serta hambatan dan kendala. Untuk
mengecek keabsahan jawaban alumni dilakukan
wawancara terhadap 2 orang rekan dan 1 orang
atasan alumni dengan tujuan untuk melakukan tri
angulasi jawaban alumni.
Pengumpulan data dilakukan oleh pejabat struktural
dan staf terkait di BBPK Ciloto serta widyaiswara
yang terlibat. Sebelum pelaksanaan kegiatan
pengumpulan data terlebih dahulu diberikan penjelasan
tentang maksud dan tujuan serta teknik-teknik
pengumpulan data.
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan
data terdiri dari lembar soal yang digunakan untuk
mengukur kognitif pada saat pre test dan post test,
kuesioner untuk mengukur kompetensi dan kesesuaian
materi dengan skala guttmen, kuesioner untuk
mengukur manfaat pelatihan bagi alumni dengan skala
likert serta kuesioner dengan pertanyaan terbuka untuk
mengetahui kendala dalam penerapan hasil pelatihan.
Untuk mengecek keabsahan jawaban alumni
dilakukan wawancara terhadap rekan dan atasan
dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner
pernyataan dan kegiatan alumni dibuat dengan
jawaban skala likert sedangkan saran dibuat dengan
pertanyaan terbuka.
Setelah pengumpulan data, dilakukan pengeditan
atau penyuntingan dan penabulasian data. Analisis
data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
aplikasi spss v.19 dan analisis deskriptif dengan
melihat nilai proporsi, nilai rata-rata, persentase
pada seluruh alumni peserta latih dan alumni yang
bekerja sesuai bidang. Hasil penelitian disajikan
dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Analisis
kualitatif dilakukan dengan memilih tema dan
deskripsi serta menyampaikan hasil.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Alumni Peserta Latih
Kelompok umur alumni peserta latih terbanyak
adalah 30-39 tahun, yaitu sebesar 40,6% (13 orang).
Instansi tempat kerja terdiri dari kabupaten/kota
sebesar 56,3% (18 orang), instansi pusat sebesar
34,4% (11 orang) dan instansi propinsi sebesar
9,4% (3 orang). Sebanyak 56,3% (18 orang)
bekerja sesuai bidang, yaitu sebagai pengendali
vektor dan hanya 34% (11 orang) yang sudah
diangkat sebagai tenaga fungsional entomolog
kesehatan. Untuk provinsi yang semua alumni
peserta latihnya bekerja sesuai bidang adalah
Aceh (2 orang), Maluku Utara (1 orang) dan
Yogyakarta (1 orang), sedangkan yang semua
alumninya bekerja tidak sesuai bidang adalah
Batam (1 orang), Maluku (1 orang) dan Sulawesi
Selatan (1 orang). Provinsi yang semua alumni
peserta latihnya telah di angkat sebagai tenaga
jabatan fungsional adalah Aceh (2 orang) dan
Yogyakarta (1 orang), sedangkan yang sudah di
angkat sebagai fungsional entomolog kesehatan
terdiri dari instansi pusat sebesar 27,3% (3 dari 11
orang) dan instansi kabupaten/kota sebesar 44,4%
(8 dari 18 orang). Di instansi provinsi belum ada
yang diangkat sebagai fungsional entomolog kesehatan.

Hasil Evaluasi Kognitif Alumni Peserta Latih
Evaluasi kognitif alumni peserta latih dilakukan
dengan cara membandingkan hasil pre test dan
post test pada saat pelatihan dengan hasil test pada
saat dilakukan evaluasi pasca pelatihan. Perbandingan
hasil evaluasi dapat dilihat pada tabel (Tabel 1).
Dari tabel diketahui bahwa rata-rata dan median
nilai post test peserta latih meningkat bila dibandingkan
saat pre test. Dengan Uji T sampel berpasangan
(32 sampel) maka df=31 dan nilai t adalah -18,875
(nilai mutlak). Bila dilihat dari tabel t tabel=2,042, t
hitung jauh lebih kecil dari t tabel dengan p-
value=0,000. Karena p-value lebih kecil dari 0,05,
maka Ho ditolak. Jadi ada perbedaan signifikan
dari rata-rata nilai pre test dengan nilai post test.
Artinya pelatihan entomologi kesehatan berhasil
meningkatkan kemampuan kognitif peserta pelatihan
secara bermakna.




37

Tabel 1. Perbandingan hasil evaluasi kognitif alumni


Variabel
Alumni Sesuai bidang
Pre test
(X1)
Post test
(X2)
Post test
(X3)
Retensi
(X4)
Selisih
(X4-X3)
N 32 32 17 17 0
Mean 63,41 82,28 82,4 74,6 9,5
Median 67,50 83,00 83,0 75,0 9,6
Standar deviasi(SD) 9,435 4,685 4,501 10,241 - 6,24
Range (rentang) 47 17 15 40 -25
Minimal 30 73 75 45 30
Maximal 77 90 90 85 5

Untuk pengukuran retensi (penurunan daya
recall) dilakukan pengukuran selisih nilai hasil
post test dengan nilai hasil EPP bagi alumni yang
bekerja sesuai bidang (17 orang). Dari tabel di
atas diketahui bahwa rata-rata turun sebesar 9,5
dan median turun sebesar 9,6. Dengan Uji T
sampel berpasangan (17 sampel) maka df=16
dan nilai t adalah 3,173 (nilai mutlak). Bila dilihat
dari t table=2,12, t hitung jauh lebih kecil dari t
table dengan p-value=0,032. Karena p-value lebih
kecil dari 0,05 maka Ho ditolak. Jadi ada
perbedaan secara signifikan dari rata-rata nilai
post test dengan nilai retensi. Artinya kognitif
peserta semakin lama akan mengalami penurunan
secara bermakna.
Hasil Evaluasi Kompetensi Alumni Peserta Latih
Berdasarkan pengolahan data hasil pencapaian
indikator kompetensi alumni peserta latih (17
orang) diketahui bahwa capaian kompetensi
responden dapat dilihat pada gambar.
Gambar capaian indikator kompetensi

Dari gambar di atas diketahui bahwa rata-rata
capaian indikator kompetensi dari 17 orang alumni
peserta latih yang bekerja sesuai bidang sebesar
62,5%. Kompetensi yang paling banyak dikuasai
oleh alumni adalah mampu menjelaskan tentang
siklus bionomik nyamuk sebesar 94,1%, sedangkan
kompetensi yang paling tidak dikuasai oleh alumni
peserta latih adalah mampu melaksanakan
penyelidikan vektor dan serangga pengganggu
sebesar 30,4%. Hasil penilaian keabsahan jawaban
terhadap atasan menyatakan 74,5% setuju dan
17,3% sangat setuju. Sedangkan rekan alumni
menyatakan 68,2% setuju dan 16,5% sangat setuju
terhadap kompetensi alumni peserta latih.
Hasil Evaluasi Respon Alumni terhadap Kesesuaian
Materi Pelatihan
Berdasarkan hasil evaluasi respon terhadap
kesesuaian materi pelatihan dari 17 orang alumni
yang bekerja sesuai bidang meliputi kesesuaian
isi, metode dan waktu pelatihan, maka didapatkan
hasil sebagai berikut:
38

a. Kesesuaian isi dengan rata-rata penilaian
sebesar 99,4%. Secara umum dapat dinyatakan
bahwa isi materi telah selesai dan dapat
diterima oleh peserta latih karena hanya 3,3% yang
menyatakan tidak sesuai yaitu untuk kemampuan:
1) teknologi tepat guna; 2) menyusun karya tulis;
dan 3) pemberdayaan masyarakat.
b. Kesesuaian waktu pelatihan, untuk materi pelatihan
dengan kategori kurang terbesar adalah tentang
pemberdayaan masyarakat, karya tulis/ilmiah,
morfologi dan anatomi nyamuk serta morfologi
serangga pengganggu, sedangkan kategori lebih
terbesar adalah: 1) identifikasi genera nyamuk;
dan 2) identifikasi genera jentik.
c. Kesesuaian metode pelatihan secara rata-rata
capaiannya sebesar 97,2%, dengan capaian
terbesar untuk kategori tidak sesuai adalah: 1)
pemberdayaan masyarakat; dan 2) karya
tulis/ilmiah masing-masing sebesar 9,4%.
d. Penguasaan materi fasilitator, sebagian besar
(76,1%) menyatakan baik, dengan persentase
terkecil adalah materi tentang: 1)pengamatan
vektor dan serangga pengganggu; dan
2)manajemen data entomologi.
Diharapkan kepada penyelenggara diklat entomolog
kesehatan untuk memperbaiki kesesuaian materi
(isi, waktu dan metode) sebagaimana tersebut di atas.

Hasil Evaluasi Manfaat Pelatihan Bagi Alumni
Peserta Latih
Berdasarkan hasil evaluasi manfaat pelatihan
bagi alumni dengan menggunakan pertanyaan
dengan skala likert diketahui bahwa terdapat 50,7%
pernyataan sangat setuju, 38,2% pernyataan setuju,
7,4% pernyataan ragu-ragu, 3,7% pernyataan
kategori tidak setuju dan tidak ada (0%) yang
menyatakan sangat tidak setuju. Penilaian terbesar
alumni adalah: 1) bermanfaat untuk meningkatkan
pengetahuan; dan 2) bermanfaat untuk meningkatkan
ketrampilan sebagai entomolog kesehatan. Sedangkan
hasil penilaian terkecil adalah pelatihan jabatan fungsional
entomolog sudah memenuhi kebutuhan sebagai
entomolog kesehatan.

Hubungan Antara Nilai Kognitif dengan Nilai
Kompetensi
Untuk mengetahui hubungan antara nilai kognitif
dengan nilai kompetensi alumni peseta latih,
maka dilakukan uji korelasi pearson. Hasil uji
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji hubungan nilai kognitif dengan
kompetensi

Nilai
Kognitif
Nilai
kompetensi
Nilai
Kognitif
Pearson
Correlation
Sig(2-tailed)
N
1
-

17
0,452
0,068

17
Nilai
Komp
etensi
Pearson
Correlation
Sig(2-tailed)
N
0,452
0,68

17
1
-

17

Dari hasil di atas diperoleh nilai r=0,452 dan nilai
p-value=0,068. Kesimpulan dari hasil tersebut
adalah hubungan kognitif dengan kompetensi
peserta menunjukkan pola positif dengan kekuatan
hubungan yang sedang. Artinya meningkatnya
kemampuan kognitif alumni peserta latih disertai
dengan peningkatan kompetensi.
Kendala dalam Penerapan Hasil
1. Masih terdapat 44% alumni peserta latih yang
bekerja tidak sesuai dengan bidang kerjanya,
sehingga kompetensi yang didapat tidak sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
2. Alumni peserta latih selain bertugas sebagai
pengendali vektor juga merangkap tugas-tugas
lain di kantor, sehingga fokus kerja untuk
menerapkan hasil pelatihan berkurang.
3. Komitmen pengambil kebijakan belum sepenuhnya
mendukung penerapan Jabatan Fungsional
Epidemiologi Kesehatan sehingga usulan alumni
tidak direspon.
4. Terbatasnya pembiayaan untuk operasional kegiatan
pengendalian vektor di lapangan, sehingga
dikhawatirkan setelah menjadi tenaga entomolog
akan kesulitan mengumpulkan angka kredit (DUPAK).
5. Kekhawatiran alumni akan tidak adanya penilai
angka kredit di daerahnya.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Terdapat 44% alumni peserta latih yang bekerja
tidak sesuai bidang, hanya 34% alumni yang
diangkat sebagai fungsional entomolog kesehatan.
Provinsi yang semua alumni peserta latihnya
bekerja sesuai bidang adalah Aceh, Maluku Utara
dan Yogyakarta, sedangkan yang semua alumninya
telah diangkat sebagai jabfung entomolog
adalah Aceh dan Yogyakarta.
2. Hasil evaluasi nilai rata-rata dan median
kognitif alumni peserta latih pada saat post test
meningkat jika dibandingkan dengan saat pre
test, sedangkan lamanya waktu sangat berpengaruh
terhadap penurunan kognitif.
3. Menurut batasan yang digunakan oleh Lembaga
Administrasi Negara ( 70, kategori kompeten),
diketahui bahwa 35% alumni peserta latih yang
39

kompeten, sedangkan 65% tidak kompeten.
Kompetensi yang paling banyak belum dikuasai
alumni adalah kemampuan melaksanakan
penyelidikan vektor dan serangga pengganggu.
4. Terdapat hubungan antara kognitif dengan
kompetensi alumni peserta latih dengan nilai
Pearson Correlation sebesar 0,452, hubungan
tersebut berpola positif dengan kekuatan hubungan
sedang. Artinya jika kognitif meningkat, maka
kompetensi alumni peserta latih juga meningkat.
5. Kesesuaian isi materi pelatihan secara umum
telah sesuai dan dapat diterima oleh alumni
peserta latih karena hanya 3,3% yang menyatakan
tidak sesuai. Untuk materi dengan alokasi waktu
yang kurang adalah pemberdayaan masyarakat,
karya tulis/ilmiah, morfologi dan anatomi nyamuk
serta morfologi serangga pengganggu, untuk
metode 97,2% alumni menyatakan telah sesuai
sedangkan penguasaan materi fasilitator 76,1%
alumni menyatakan baik.
6. Hambatan dan kendala dalam penerapan hasil
pelatihan adalah masih banyaknya alumni
peserta latih yang bekerja tidak sesuai bidang,
merangkap tugas sebagai pemegang program,
komitmen atasan dan pengambil kebijakan yang
belum sepenuhnya mendukung serta di beberapa
daerah merasa khawatir tidak adanya penilai
angka kredit di daerahnya.

Saran
1. Mengingat kebijakan Kemenkes RI tentang
pengangkatan Jabfung Entomolog belum sepenuhnya
direspon oleh UPT pusat dan daerah, disarankan
untuk lebih meningkatkan advokasi kepada
pengambil kebijakan dan sosialisasi kepada
pelaksana program di daerah dan UPT pusat .
2. Mengingat masih banyak alumni peserta latih
yang bekerja tidak sesuai bidang, maka disarankan
kepada bidang penyelenggara diklat untuk
lebih memperketat seleksi peserta diklat agar
sesuai dengan kriteria serta kepada pemangku
kepentingan dalam melakukan mutasi pegawai
mempertimbangkan kepelatihan yang pernah
diikuti pegawai tersebut.
3. Mengingat semakin lama kognitif alumni peserta
latih semakin menurun seiring dengan waktu,
maka disarankan untuk memberikan masa
berlakunya sertifikat Jabfung Entomolog untuk
bisa diangkat sebagai Tenaga Fungsional Entomolog
Kesehatan.
4. Mengingat masih terdapat alumni yang tidak
kompeten pada pokok bahasan tertentu maka
disarankan:1) memperbaiki beberapa materi
pelatihan (isi, waktu dan metode) dari beberapa
materi yang diberikan; dan 2) memperbaiki
metode pengumpulan data EPP khususnya
menyamakan persepsi dari kuesioner yang menjadi
alat bantu pengumpulan data agar tidak terjadi bias.

DAFTAR PUSTAKA

Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, Pedoman
Teknis Evaluasi Paska Pelatihan, Jakarta,
Pusdiklat Kesehatan Depkes RI, 2005;
Blanchard, P, Nick, et.all, Effective Training System,
Strategis and Practice, Chapter 6, Evaluation
of Training;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Modul Entomolog
Malaria, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2006;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Modul Entomologi
Malaria, Depatemen Kesehatan RI, Jakarta, 2006;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Kunci Identifikasi
Nyamuk Culex, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta, 2008;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Pedoman Pengendalian
Lalat di Pelabuhan, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta, 2008;
Direktorat Jenderal PP dan PL, Pedoman Pengendalian
Tikus, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2008;
Kirkpatrick, Donal, Evaluating Training Programs
Berrett-Kochler Publishers Inc, San Francisco, 1998;
Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI, Evaluasi
Diklat, Bahan Diklat Bagi Pengelola Diklat,
Jakarta; LAN RI, 2003;
Priyo Hastomo, Sutanto, Analisis Data Kesehatan,
Universitas Indonesia, Jakarta, 2007
Suparman, Prof, Dr, Alwi, et.all, Evaluasi Program
Diklat, Jakarta; STIA LAN, 1999,
Trihendradi, C, Langkah Praktis Menguasai Statistik
Untuk Ilmu Sosial dan Kesehatan, Penerbit Andi
Yogyakarta.
40

Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan
di Desa Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2013

Nuri Handayani
Direktorat Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kemenkes RI
Abstrak. Kasus keracunan pangan yang terjadi di Desa Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat merupakan
kasus keracunan pangan yang terjadi di pesta pernikahan. Kejadian bermula ketika salah seorang warga menggelar
acara pernikahan pada tanggal 9 Februari 2013 yang dimulai pukul 09.00 WIB. Jumlah tamu yang diundang sekitar 400
orang. Makanan yang dihidangkan, yaitu: ayam, semur bebek, sop, sambal kentang buncis, sayur labu, bihun, daging
kambing, daging sapi dan mie. Makanan disajikan secara prasmanan dan tiap keluarga dibekali dengan 1 dus makanan
dengan menu yang sama. Sekitar Pukul 16.00 WIB pada hari yang sama, beberapa warga mulai mendatangi fasilitas
kesehatan terdekat dengan keluhan mual, muntah, diare, pusing dan mulas. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Sukabumi, hingga 11 Februari 2013, total kasus yang tercatat 359 orang. Berdasarkan laporan tersebut,
dilakukan investigasi Kasus Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan yang bertujuan untuk mengetahui gambaran
epidemiologi, etiologi dan sumber keracunan pangan. Investigasi dilakukan menggunakan desain studi kasus kontrol
dengan melakukan antara lain wawancara kepada tamu yang hadir dalam pesta, penjamah makanan dan tuan rumah
yang mempunyai hajat menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil wawancara dengan 35 orang tamu, diperoleh
informasi bahwa 28 orang diantaranya menderita sakit dan 7 orang tidak menderita sakit. Setelah dilakukan analisis
lebih lanjut, diketahui bahwa masa inkubasi terpendek adalah 5 jam dan masa inkubasi terpanjang 40 jam. Berdasarkan
hasil analisis tersebut, maka etiologi KLB Keracunan Pangan yang memungkinkan adalah E. coli dan V.
Parahaemoliticus. Makanan yang paling berisiko menyebabkan keracunan adalah ayam (OR=11,5; 95%CI=1,714-
77,178; p value=0.012). Hasil ini didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya bakteri E.coli
pada ayam.
Kata kunci : Keracunan Pangan, Faktor Risiko
Koresponden: Nuri Handayani, Subdit HSP,
Direktorat PL, Telp. 085640038863, email:
newr_chan@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan
adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang
atau lebih yang menderita sakit dengan gejala
yang sama atau hampir sama setelah
mengkonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis
epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai
sumber keracunan (Permenkes No.2 Tahun 2013).
Kejadian keracunan pangan dapat terjadi dalam
bentuk:
1. Kasus sporadis tanpa asosiasi yang jelas
dengan kejadian lainnya.
2. Kejadian keracunan pangan dalam keluarga.
Menimpa dua orang atau lebih dalam satu
keluarga. Biasanya yang menjadi sumber
keracunan adalah makanan yang dibuat di
rumah-rumah penduduk yang mungkin
dipersiapkan tanpa memperhatikan segi
kebersihannya.
3. Kejadian keracunan pangan di masyarakat
umum.
Keracunan pangan yang menimpa sekelompok
orang yang makan di tempat-tempat umum
seperti restoran, kantin, lembaga (rumah sakit,
panti asuhan, panti jompo, pondok pesantren,
penjara, kantor, perusahaan atau pabrik, dan
lain-lain) atau keracunan pangan yang menimpa
sekelompok orang yang makan makanan
tercemar yang diperoleh dari toko pengecer
atau grosir makanan yang sama, atau jasa
boga/ catering yang melayani pesanan untuk
pesta-pesta, rapat, penataran, dan lain-lain.
(Eley, 1994)
Di Indonesia, kasus keracunan pangan dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan. Provinsi
Jawa Barat sejak tahun 2011-2013 menempati
posisi tertinggi dalam KLB keracunan pangan,
seperti digambarkan dalam grafik tren KLB
keracunan pangan (Grafik 1).

41

Sumber: Subdit Surveilans dan Respon KLB
Grafik 1. Tren KLB keracunan pangan sampai
dengan bulan Mei 2013

Adapun KLB keracunan pangan yang seringkali
terjadi berasal dari pangan olahan rumah tangga,
umumnya dalam bentuk acara hajatan/pesta.
Pada tahun 2010, 44% KLB keracunan pangan
berasal dari pangan olahan rumah tangga; pada
tahun 2011, 45,31% KLB keracunan pangan
tertinggi berasal dari pangan olahan rumah
tangga dan pada tahun 2013 sampai dengan Bulan
Mei, 70% KLB keracunan pangan berasal dari
pangan olahan rumah tangga (Data Subdit
Surveilans dan Respon KLB).
Kasus keracunan pangan yang terjadi di Desa
Bantargadung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
merupakan salah satu kejadian keracunan pangan
di pesta pernikahan, dimana makanan yang
disajikan berasal dari pangan olahan rumah
tangga. Kejadian bermula ketika salah seorang
warga menggelar acara resepsi pernikahan yang
dilaksanakan pada Sabtu, 9 Februari 2013 pukul
09.00 WIB sampai dengan selesai. Jumlah tamu
yang diundang dalam
acara pernikahan tersebut sekitar 400 orang.
Ada beberapa makanan yang dihidangkan
dalam acara resepsi pernikahan tersebut, yaitu
ayam, semur bebek, sop, sambal kentang buncis,
sayur labu, bihun, daging kambing, daging sapi
dan mie. Makanan disajikan secara prasmanan
dan ketika hendak pulang, masing-masing
keluarga dibekali dengan 1 dus makanan dengan
menu yang sama.
Sabtu sore, sekitar pukul 16.00 WIB beberapa
warga mulai mendatangi fasilitas kesehatan terdekat
dengan keluhan gejala yang hampir sama, seperti
mual, muntah, diare, pusing, dan mulas.
Berdasarkan laporan dari Dinkes Kabupaten
Sukabumi, hingga Senin, 11 Februari 2013, total
kasus yang tercatat sebanyak 359 orang.
Berdasarkan laporan tersebut, maka dilakukan
investigasi KLB keracunan pangan yang bertujuan
untuk mengetahui gambaran epidemiologi, etiologi
dan sumber keracunan.
BAHAN DAN CARA
Investigasi kejadian luar biasa keracunan pangan
di Desa Bantargadung, Kabupaten Sukabumi
dilakukan menggunakan desain studi kasus kontrol
dengan wawancara kepada tamu yang hadir
dalam pesta, penjamah makanan dan tuan rumah
42

yang mempunyai hajat dengan menggunakan
kuesioner, observasi ke lokasi kejadian,
mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data,
serta membuat laporan investigasi keracunan pangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara dengan warga
yang menghadiri acara pesta pernikahan tersebut,
diperoleh responden sebanyak 35 orang, yang
terdiri dari 28 orang menunjukkan gejala
keracunan dan 7 orang tidak menunjukkan gejala
keracunan.
Grafik 2. Distribusi frekuensi menurut masa
inkubasi

Berdasarkan Grafik 2 di atas, masa inkubasi
terpendek adalah 5 jam dan masa inkubasi
terpanjang 40 jam.
Grafik 3. Distribusi frekuensi menurut gejala
Berdasarkan Grafik 3 di atas, gejala yang paling
banyak dialami penderita adalah diare (24%),
mual (23%) dan muntah (23%). Adapun diagnosis
banding berdasarkan gejala tersebut yang
memungkinkan adalah Escherichia coli, V.
parahaemoliticus, Bacillus cereus, dan Salmonella.
Tabel 1. Daftar agent penyebab KLB keracunan
pangan menurut masa inkubasi terpendek
N
o
Agent
penyebab
Masa
inkubasi
terpendek
Masa
inkubasi
terpendek
kasus
Agent
penyakit
disingkirkan
1 E. coli 5 jam
5 jam

Belum
2 V.
parahaemoli
ticus
2 jam Belum
3 Bacillus
cereus
8 jam Disingkirkan
4 Salmonella 6 jam Disingkirkan

Berdasarkan daftar agent penyebab KLB
Keracunan Pangan menurut masa inkubasi
terpendek, diketahui bahwa agent penyebab yang
masih memungkinkan adalah E. coli dan V.
parahaemoliticus
Tabel 2. Daftar agent penyebab KLB keracunan
pangan menurut masa inkubasi terpanjang
No Agent
penyebab
Masa
inkubasi
terpanjang
Masa
inkubasi
terpanjang
kasus
Agent
penyakit
disingkirkan
1 E. coli 48 jam
40 jam

Belum
2 V.parahae
moliticus
48 jam Belum
Berdasarkan masa inkubasi terpanjang 40 jam,
maka etiologi KLB Keracunan Pangan yang
memungkinkan adalah E. coli dan V.
Parahaemoliticus.
Hipotesis ini dapat dijadikan sebagai bahan
acuan dalam melakukan pemeriksaan penunjang
(laboratorium) terhadap sampel pangan yang
berhasil diamankan. Hal ini bertujuan untuk
43

menghemat biaya di dalam melakukan
pemeriksaan sampel, yaitu lebih spesifik merujuk
terhadap kedua agent yang dicurigai sebagai
penyebab KLB Keracunan Pangan yang terjadi
dalam pesta pernikahan tersebut. Adapun hasil
dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan
bahwa etiologi KLB Keracunan Pangan di Desa
Bantargadung adalah bakteri Escherichia coli.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Menurut Makanan
yang Berisiko
OR p
value
95% CI
Ayam 11,5 0,012 1,714-77,178
Semur bebek 0,462 0,499 0,036-5,966
Sop 1,304 1 0,127-13,372
Sambal
Kentang
buncis
1 1 0,188-5,332
Sayur labu 0,462 0,499 0,036-5,966
Bihun 0,462 0,499 0,036-5,966
Daging
kambing
0,462 0,499 0,036-5,966
Daging sapi 1,636 1 0,164-16,345
Mie 2,167 0,672 0,358-13,110

Berdasarkan Tabel 3 diatas, dapat disimpulkan
bahwa makanan yang berisiko menjadi sumber
keracunan adalah ayam (OR = 11,5; 95%CI=1,714-
77,178 dan p value = 0,012). Hipotesis ini didukung
dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang
menunjukkan bahwa ayam merupakan sumber
keracunan karena di dalamnya mengandung
bakteri pencemar Escherichia coli.
Menurut referensi yang ada, bakteri Escherichia
coli banyak dijumpai pada produk daging dan
hasil olahannya. Di samping itu, penjamah
makanan yang merupakan carrier, proses
pendinginan bahan pangan yang tidak tepat,
proses pemasakan yang tidak sempurna,
pembersihan dan sanitasi peralatan yang tidak
tepat, makan daging mentah atau tidak matang juga
turut berkontribusi terhadap masuknya bakteri E.
coli ke dalam makanan (Imari, 2012).
Berdasarkan hasil wawancara kepada penjamah
makanan dalam acara pesta pernikahan tersebut,
diperoleh informasi bahwa acara pesta dilaksanakan
pada Sabtu pagi pukul 09.00 WIB, proses
memasak makanan dilakukan sejak pukul 04.00
WIB, sedangkan belanja bahan pangan dilakukan
satu hari sebelumnya yaitu pada Jum'at, begitu
pula dengan ayam. Sampai di rumah ayam tidak
segera dimasak, melainkan akan diolah pada
Sabtu subuh agar ketika dihidangkan masih tetap
segar. Ayam-ayam tersebut setelah dibeli
kemudian dibersihkan dan dipotong-potong
sesuai ukuran kemudian dibumbui dan disimpan.
Di dalam proses penyimpanan bahan pangan
inilah kemungkinan bakteri E.coli masuk, sebab
lemari pendingin yang tersedia sangat terbatas,
sedangkan bahan pangan yang dibeli sangat
banyak dan beraneka ragam yang kesemuanya
membutuhkan tempat penyimpanan yang aman
dan bebas dari pembusukan. Banyaknya jenis
makanan yang disimpan inilah sehingga suhu di
dalam lemari pendingin tidak lagi bekerja secara
optimal sehingga bakteri mudah tumbuh dan
berkembang biak.
Di samping itu, perlu dilakukan pemeriksaan
lanjutan terhadap kualitas air bersih dan air minum
yang digunakan warga sekitar sebab berdasarkan
hasil observasi ke lapangan diketahui bahwa
sumber air yang digunakan berasal dari air sumur
yang kondisinya kotor dan secara fisik kurang
memenuhi persyaratan kesehatan. Kebersihan
penjamah makanan juga perlu diperhatikan, sebab
menyediakan makanan dalam porsi besar dan
untuk orang banyak harus memperhatikan prinsip
higiene dan sanitasi pangan, yang meliputi tempat,
peralatan, penjamah makanan maupun bahan
pangan mulai dari persiapan, penyimpanan bahan
mentah, proses pengolahan, penyimpanan
pangan matang, pengangkutan dan penyajian.
Oleh karena itu, ketika proses penyelidikan
epidemiologi ini dilakukan, dibangun jejaring
kemitraan antar Petugas Pamong Praja, Ibu Lurah,
petugas puskesmas dan Tim Gerak Cepat dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi agar
melakukan penyuluhan kemanan pangan kepada
warga yang melapor akan menyelenggarakan
sebuah hajatan/ pesta agar KLB Keracunan
Pangan dapat dihindari.

44

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
a. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa
gejala yang paling banyak dialami penderita
adalah diare (24%), mual (23%) dan muntah
(23%).
b. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut diketahui
bahwa masa inkubasi terpendek adalah 5 jam
dan masa inkubasi terpanjang 40 jam, maka
etiologi KLB Keracunan Pangan yang
memungkinkan adalah E. coli dan V.
Parahaemoliticus
c. Makanan yang berisiko menyebabkan
keracunan adalah ayam (OR = 11,5;
95%CI=1,714-77,178 dan p value = 0,012).
d. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
adanya bakteri pencemar E.coli pada ayam.

Saran
a. Perlu dibangun jejaring kemitraan lintas program
dan lintas sektor dalam hal pencegahan dan
penanggulangan KLB Keracunan Pangan.
b. Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan
keamanan pangan kepada warga yang akan
melaksanakan hajatan/pesta agar kejadian luar
biasa keracunan pangan tidak terjadi.
c. Perlu adanya pemeriksaan lanjutan untuk
kualitas air bersih dan kualitas air minum yang
digunakan oleh warga Desa Bantargadung,
Kab. Sukabumi, Jawa Barat, sebab apabila
diketahui sejak dini bahwa kualitas air minum
dan air bersih dianggap tidak memenuhi syarat
kesehatan dapat dilakukan tindakan
pencegahan terhadap munculnya penyakit
bawaan air.
d. Pemeriksaan lanjutan untuk kualitas air minum
yang digunakan ini didukung dengan hasil
laboratorium yang menunjukkan bahwa air minum
yang digunakan positif mengandung nitrit serta
berdasarkan observasi di lapangan, kondisi air
minum yang digunakan secara fisik tidak
memenuhi persyaratan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan, 2013. Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. Direktorat
Penyehatan Lingkungan.Jakarta.
Eley, Adrian R, 1994. Microbial Food Poisoning.
London. Chapman and Hall.
Imari, Sholah, dkk. 2012. Penyelidikan Epidemiologi
Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan.
Jakarta.
























45

Anda mungkin juga menyukai