Anda di halaman 1dari 22

Pendahuluan

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak
langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.
1

Trauma medula spinalis terjadi pada 30.000 pasien setiap tahun di Amerika serikat. Insidensi
pada negera berkembang berkisar antara 11,5 hingga 53,4 kasus dalam 1.000.000 populasi.
Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda.
2
Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu
lintas (50%), jatuh (25%) dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya
akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Hampir 40%-50% trauma medulla spinalis
mengakibatkan defisit neurologis, sering menimbulkan gejala yang berat, dan terkadang
menimbulkan kematian. Walaupun insidens pertahun relatif rendah, tapi biaya perawatan dan
rehabilitasi untuk cedera medulla spinalis sangat besar, yaitu sekitar US$ 1.000.000 / pasien.
Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama, dan lebih kurang 80% meninggal
di tempat kejadian.
2

Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral dapat
menimbulkan kelumpuhan upper motor neuron (UMN) pada otot-otot bagian tubuh yang
terletak dibawah tingkat lesi. Bila lesi bilateral atau transversal medula spinalis di bawah
tingkat servical maka dapat muncul suatu paraplegi spastik, bila lesinya di tingkat servical
maka akan muncul suatu tetraplegi spastik.
3

Paraplegi dan tetraplegi spastik dapat terjadi secara tiba-tiba atau akut yang disebabkan oleh
dislokasi atau fraktur tulang belakang akibat trauma atau lesi vaskuler seperti: trombosis
arteri spinalis, hematomielia, aneurisma aorta disektans. Yang berkembang agak lambat
tetapi masih dapat digolongkan dalam subakut ialah akibat suatu proses imunologik seperti
mielitis postvaksinalis atau mielitis postinfeksiosa dan miolopati nekrotikans. Sedang
paraplegi dan tetraplegi spastik yang berkembang lebih lama atau kronis dapat disebabkan
oleh spondilitis tuberkulasa, tumor spinal, dan abses epidural.
3

Paraplegia atau tetraplegi spastik pada anak-anak pada umumnya merupakan gejala cerebral
palsyatau manifestasi penyakit herediter yang menyertai keterbelakangan mental. Paraplegia
atau tetraplegi spastik yang berkembang secara sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang
bertahun-tahun biasanya disebabkan oleh amyotrophic lateral sclerosis (ALS), biasanya
disertai defisit sensorik pada permukaan tubuh yang terletak dibawah lesi, bahkan sebagian
besar dapat terjadi gangguan miksi dan defekasi.
4

Lesi transversal yang dapat juga merusak segenap lintasan asendens dan desendens lain dan
juga motoneuron yang berada di dalam masing segmen. Kondisi ini berarti pada tingkat lesi
kelumpuhan dapat bersifat lower motor neuron (LMN). Begitu juga akibat terputusnya
lintasan somatosensorik dan lintasan autonom neurovegetatif asendens dan desendens, maka
dari tingkat lesi kebawah penderita tidak dapat merasakan perasaan apapun, terganggunya
miksi dan defakasi, dan tidak memperlihatkan reaksi neurovegetatif. Di dalam praktek, lesi
transversal yang merusak seluruh segmen medulla spinalis jarang dijumpai, kecuali jika
faktor penyebabnya berupa trauma berat karena luka tembak peluru dan fraktur tulang
belakang yang total.
4

Anatomi Medula Spinalis
Panjang normal medula spinalis orang dewasa adalah 42-45 cm, pada bagian superior
dilanjutkan oleh batang otak, dan bagian inferior dilanjutkan oleh konus medularis. Selama
perkembangannya, kanalis sentralis mengalami perluasan kearah lateral pada dua bagian
yaitu pembesaran servical (intumensensia servikalis) dan pembesaran lumbal (intumensia
lumbalis) yang masing-masing membentuk pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral.
5

Medula spinalis dibagi menjadi kira-kira 8 segmen servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen
lumbal, 5 segmen sacral, dan beberapa segmen koksigeal yang kecil. Masing-masing segmen
bervariasi dalam panjangnya, namun di dalam sumsum tulang belakang sendiri tidak
ditemukan adanya batas-batas yang tegas di antara segmen-segmen tersebut.
5

Potongan melintang dari medulla spinalis tulang belakang memperlihatkan sulkus mediana
dorsalais, kolumna dorsalais, kolumna lateralis, komissura putih ventralis, kolumna ventralis,
fisura ventralis, fisura mediana ventralis, kolumna kelabu ventralis, komisura kelabu
ventralis, kanalis sentralis, septum mediana dorsalis.
5

Masing-masing segmen medula spinalis mempunyai 4 akar serabut saraf yang terletak di
daerah ventral dan dorsal medulla spinalis, masing-masing akar dibentuk oleh 1-8 serabut
saraf. Pada akar dorsalis didapatkan ganglion spinal yang berdekatan dengan akar ventralis,
yaitu yang berisi badan-badan sel saraf. Akibat ada perbedaan dari kecepatan pertumbuhan
antara sumsum tulang belakang dan tulang belakang, maka segmen tulang belakang
mengalami pergeseran kearah atas dari vertebra yang bersesuaian, dengan ketidaksesuaian ini
pada segmen paling bawah dibagian lumbosakral, akar-akar saraf berjalan turun ke bagian
bawah sumsum tulang belakan untuk membentuk kauda equina.
6


Akar saraf spinal
Akar ventral mempunyai akson neuron motorik alfa berdiameter besar keserabut otot lurik
ekstrafusal, akson neuron motorik gama yang lebih kecil yang mempersarafi otot intrafusal
dari gelendong otot (fusus neuromuskularis). Beberapa serabut otonom preganglion pada
segmen torakal, lumbal atas, dan sakral tengah dan beberapa akson berdiameter kecil yang
berasal dari sel-sel di dalam ganglion akar dorsalis akan menghantarkan informasi sensorik
dari organ-organ visceral torakal dan abdomen.
6

Akar dorsalis, masing-masing akar dorsalis kecuali C1 berisi serabut aferen dari sel-sel saraf
dalam ganglionnya, akar dorsalis mengandung berbagai macam serabut mulai dari struktur
kulit dan struktur bagian dalam. Serabut yang terbesar (Ia) berasal dari gelendong otot(fusus
neuromuskulus) dan mengambil bagian dalam reflek-reflek medulla spinalis, serabut yang
berukuran sedang (A-beta) menghantarkan impuls dari mekanoseptor di kulit dan sendi,
serabut C, serabut yang tak bermielin, A-delta, serabut bermielin membawa informasi
rangsang noksius misalnya nyeri dan suhu.
6

Cabang-cabang saraf spinal
Cabang dorsalis utama: biasanya terdiri dari cabang medial yang mengurus sebagian besar
sistem sensorik, cabang lateral lebih kearah motorik.
6

Cabang ventral utama: biasanya lebih besar membentuk pleksus servikal, brachial dan
lumbosakral. Dibagian torakal, cabang ini tetap terdiri dari bebrapa segmen yaitu sebagai
saraf-saraf interkostal.
6

Rami kominikantes: cabang ini bergabung dengan saraf spinal menuju ke trunkus simpatikus.
Hanya saraf torakal dan bagian atas lumbal saja yang mengandung ramus komonikan alba,
tetapi untuk ramus komonikan kelabu didapatkan pada semua saraf spinal.
6

Jenis-jenis serabut saraf
Serabut eferen somatik: serabut motorik ini mempersarafi otot-otot rangka dan berasal di
dalam kolumna kelabu anterior dari medulla spinalis dan membentuk akar ventralis dari saraf
spinal.
7

Serabut saraf aferen somatic: serabut ini menghgantarkan informasi sensorik dari kulit, sendi,
dan otot ke susunan saraf pusat. Serabut ini berasal dari sel-sel unipolar di dalam ganglion
saraf spinal yang terletak pada jalan akar dorsalis. Cabang perifer dari sel-sel ganglionik ini
didistribusikan ke struktur somatik, cabang sentral menghantar impuls sensorik melalui akar
dorsalis ke kolumna kelabu dorsalis dan jaras asenden dari sumsum tulang belakang.
7

Serabut eferen visceral : Serasebut otonom ini adalah serabut motorik yang menuju ke
visceral dan juga serabut simpatetik dari segmen torakal L1,L2 didistribusikan di seluruh
tubuh ke visceral, kelenjar, dan otot polos. Serabut parasimpatik yang berada dalam ketiga
saraf sakral bagian tengah menuju ke visseral panggul bagian bawah abdomen.
7

Serabut aferen visceral: serabut ini menghantarkan informasi sensorik dari veseral. Badan
selnya terdapat di dalam ganglion akar dorsalis. Hasil percobaan terbaru menunjukkan bahwa
serabut aferen visceral ada yang memasuki medulla spinalis melalui akar ventralis.
7

Zat kelabu (Gray matter)
1. Kolumna:
Bagian ini mengandung kanalis sentralis, kolumna kelabu ventralis,kornu anterior, kolumna
kelabu intermediolateral hanya ditemukan bagian lateral torakal lumbal atas, tidak pada sacral
tengah, bagian ini mengandung sel-sel preganglion untuk susunan saraf otonom. Kolumna
kelabu dorsalis, kornu posterior, fasikulus dorsolateral atau traktus lissauer adalah bagian dari
jaras nyeri yang terletak di perifer medula spinalis.
8

1. Lamina:
Lamina I, lapisan marginal yang tipis mengandung banyak neuron yang memberikan reaksi
terhadap rangsangan noksius.
Lamina II, Dikenak dengan subtansia gelatinosa yang terdiri dari neuron-neuron kecil dan
beberapa diantaranya memberikan reaksi terhadap rangsangan noksius.
Lamina III-IV, secara bersama-sama sebagai nucleus proprius, masukan utamanya adalah
dari serabut-serabut yang menghantarkan perasaan posisi.
Lamina V, lapisan ini mengandung Sel-sel yang memberikan reaksi terhadap rangsangan
noksius maupun aferen visceral.
Lamina VI, lapisan terdalam dari kornu dorsalis yang mengandung neuro-neuron yang
member reaksi terhadap sinyal mekanis dari sendi dan kulit.
Lamina VII, Bagian ini besar dan mengandung sel-sel nucleus dorsalis (columna clark) disisi
medial, dan juga bagian besar dari kolumna kelabu ventralis.
Lamina VIII-IX, Lapisan ini mewakli kelompok neuron motorik dibagian medial dan lateral
dari kolumnba kelabu ventralis. Kolumna ini memberikan persarafan otot ekstensor dan
fleksor.
Lamina X, Lamina ini mewakili neuron-neuron kecil yang mengelilingi kanalis sentralis atau
sisa-sisanya.
8

Zat putih (White matter)
1. Kolumna:
Kolumna dorsalis terletak diantara sulkus medianus posterior dan sulkus posteriolateral. Pada
segmen servikal dan torakal atas, kolumna dorsalis terbagi menjadi bagian medial (fasikulus
grasilis) dan bagian lateral (fasikulus kuneatus). Kolumna lateralis terletak di antara sulkus
posteriolateral dan sulkus anteriolateralis. Kolumna ventralis terletak di antara sulkus
anteriolateral dan fisura mediana anterior.
8

1. Traktus:
Zat putih dalam medula spinalis terdiri dari serabut-serabut saraf yang bermielin dan yang
tidak bermielin. Serabut bermelin berkonduksi lebih cepat (fasikuli). Sel glia kebanyakan
oligodendrosit terletak diantara serabut-serabut tersebut. Berkas serabut dengan fungsi yang
sama disebut traktus. Kolumna putih lateralis dan ventralis mengandung traktus yang
batasnya tidak jelas dan mengalami tumpang tindih, traktus kolumna dorsalis dibatasi dengan
jelas oleh septa glia. Serabut tanpa mielin yang berkonduksi lambat membentuk berkas-
berkas kabur pada tepi zat putih. Fungsi dari serabut ini masih belum dapat dipahami
sepenuhnya.
8

Jaras dalam zat putih (white matter)
Sistem serabut desenden
1. Traktus kortikospinalis:
Barawal dari kortek serebri turun melalui batang otak kemudian menyilang kesisi yang
berlawanan dalam medulla spinalis turun ke kolumna putih lateral. Serabut-serabut ini
semuanya berakhir diseluruh kolumna kelabu ventralis. Neuron motorik yang mempersarafi
otot-otot ekstremitas bagian distal mempunyai masukan monosinaps langsung dari traktus
kortikospinal, neuron motorik yang lain dipersarafi oleh interneuron secara polisinaps.
8

1. Traktus vestibulospinalis:
Traktus ini berasal dari nucleus vestibularis lateralis dalam batang otak dan berjalan
kebawah tanpa menyilang garis tengah pada kolumna putih ventralis medula spinalis.
Serabut-serabut ini dari traktus berproyeksi secara langsung ke neuron motorik otot
ekstensor. Sistem ini mempermudah gerakan-gerakan cepat sebagai reaksi terhadap
perubahan mendadak dalam posisi tubuh missalnya jatuh. Searabut-serabut ini juga
mempengaruhi lepas muatan (discharge) dari neuron motorik gama.
8

1. Traktus rubrospinalis:
Searabut ini berasal dari nucleus ruber kontralateral dalam batang otak dan berjalan didalam
kolumna putih lateralis. Traktus ini berproyeksi ke interneuron di dalam kolumna kelabu dan
berperan sebagai fungsi motorik.
8

1. Sistem retikulospinalis:
Traktus ini muncul dari formasi retikuler batang otak dan turun ke dalam kolumna putih
ventralis maupun lateralis. Serabut-serabut yang berakhir pada kolumna putih dorsalis
sebagai modikfikasi trasmisi perasaan dari tubuh terutama rasa nyeri dan beberapa dari
serabut ini merupakan serotonergik.
8

1. Sistem otonom desenden:
Muncul dari hipotalamus dan batang otak, proyeksi sisten serabut ini ke neuron simpatetik
preganglion di bagian torakolumbal medula spinalis dan ke neuron parasimpatetik
preganglion di segmen sakral.
8

1. Traktus tektospinalis:
Traktus ini muncul dari atap tektum dari otak tengah, kemudian berjalan di dalam kolumna
putih ventralis kontralateral untuk berakhir pada interneuron kelabu ventralis. Traktus ini
menyebabkan kepala berputar sebagai reaksi terhadap rangsangan penglihatan dan
pendengaran yang mendadak.
8

1. Fasikulus longitudinalis medialis:
Traktus ini muncul dari nucleus vestibularis di dalam batang otak, beberapa dari serabutnya
turun ke dalam segmen servikal untuk berakhir pada interneuron kelabu ventralis. Serabut ini
mengkoordinasi gerakan kepala dan mata. Fasikulus longitunalis medialis dan traktus
tektospinalis hanya ditemukan pada masing-masing sisi segmen servikal medula spinalis.
8

Sistem serabut desenden pada sumsum tulang belakang
8

Sistem Fungsi Asal Akhir
Lokasi dalam
Sumsum
Tulang
Belakang
Piramidal
kortikospinal
Awal dari fungsi
motorikModulasi
dari fungsi
sensorik
Korteks
Sel kornu
anterior,
interneuron
Kolumna
lateralisKolumna
ventralis
Vestibulospinal Refleks postural
Nukleus
vestibularis
lateral
Neuron
motorik
kornu
anterior
(untuk
eksterior)
Kolumna
ventralis
Rubrospinal Fungsi motorik
Nukleus
ruber
Interneuron
kornu
anterior
Kolumna
lateralis
Retikulospinal
Modulasi dari
transmisi
sensorik
(khususnya
nyeri)Refleks
spinal (serabut)
Formasio
retikular
batang otak
Kornu
posterior
dan
anterior
Traktus proprius
Otonom
desenden
Modulasi dari
fungsi otonom
Hipotalamus,
nukleus
batang otak
Neuron
otonom
pra-
ganglion
Traktus proprius
Teksospinal
Refleks putar
kepala
Otak tengah
Interneuron
kornu
anterior
Kolumna
ventralis
Fasikulus
longitudinalis
medialis
Koordinasi dari
gerak kepala dan
mata
Nukleus
vestibularis
Zat kelabu
servikal
Traktus proprius

Sistem serabut asenden
1. Traktus kolumna dorsalis
8
:
Sistem lemnikus medialis: menghantarkan rasa raba halus, vibrasi, diskriminasi dua titik, dan
proprioseptik (rasa posisi) dari kulit dan persendian. Traktus ini naik tanpa menyilang dalam
kolumna putih dorsalis ke bagian bawah batang otak.
Fasikulus grasilis: berjalan di samping septum posteromedia dan membawa masukan dari
bagian bawah tubuh.
Fasikulus kuneatus: terletak diantara fasikulus grasilis dan kolumna kelabu dorsalis dan
membawa masukan dari bagian atas tubuh dengan serabut-serabut dari bagian segmen torakal
lebih bawah yang lebih ke medial daripada serabut dari segmen servikal yang lebih tinggi.
Dengan demikian satu kolumna dorsalis mengandung serabut-serabut dari seluruh segmen
ipsilateral tubuh yang ditata secara teratur dari medial ke lateral, tatanan ini dinamakan
tatanan somatotopik.
1. Traktus spinotalamikus
8
:
Serabut berdiameter kecil yang menghantarkan rasa nyeri tajam (noksius), suhu dan raba
dengan lokalisasi kasar.
1. Jaras spinoretikularis
8
:
Berjalan di dalam bagian ventrolateral medula spinalis, muncul dari neuron-neuron medula
spinalis dan berakhir pada formasio retikularis dari batang otak. Traktus ini mempunyai
peranan penting dalam rasa nyeri, terutama nyeri kronik yang dalam.
1. Traktus spinoserebelaris
8
:
Traktus spinoserebelaris dorsalis: merupakan serabut aferen dari otot dan kulit membawa
informasi mengenai posisi sendi dan informasi sensorik lainnya.
Traktus spinoserebelaris ventralis: Sistem ini terlibat dalam pengontrolan gerakan.
Sistem serabut asenden pada sumsum tulang belakang
8

Sistem Fungsi Asal Akhir
Lokasi dalam
Sumsum
Tulang
Belakang
Sistem
kolumna
dorsalis
Raba halus,
propriosepsi,
diskriminasi 2
titik
Kulit,
sendi,
tendo
Nukleus
kolumna
dorsalis,
batang otak
Kolumna
dorsalis
Traktus
spinotalamikus
Nyeri tajam,
suhu, raba kasar
Kulit
Komu
dorsalis
kemudian ke
talamus
kontralateral
Kolumna
ventrolateraris
Traktus
spinoserebelaris
dorsalis
Mekanisme
gerakan dan
posisi
Tendo
dalam,
sendi
Paleokorteks
sereblum
Kolumna
lateraris
Traktus
spinoserebelaris
ventralis
Mekanisme
gerakan dan
posisi
Tendo
dalam,
sendi
Paleokorteks
sereblum
Kolumna
lateraris
Traktus
spinoretikularis
Nyeri yang
dalam dan
kronik
Struktur
somatik
dalam
Formasio
retikularis
dari batang
otak
Tersebar
dalam traktus
proprius
Refleks
Refleks adalah mekanisme reaksi terhadap rangsangan di bawah sadar. Perilaku naluriah dari
hewan yang lebih rendah dikuasai sebagian besar oleh refleks; pada manusia, perilaku lebih
banyak merupakan suatu masalah dari persyaratan (conditioning) dan refleks bekerja sebagai
mekanisme pertahanan dasar. Namun, refleks-refleks ini sangat penting artinya di dalam
mendiagnosis dan melokalisasi lesi neurologi.
3

Lengkung Refleks Sederhana:
Melibatkan sejumlah struktur reseptor yaitu: organ indera yang khusus, bagian akhir kulit,
atau fusus neuromuskularis (gelendong neuromuskular), yang perangsangannya
memprakarsai suatu impuls neuron aferen, yang mentransmisi impuls melalui suatu saraf
perifer ke susunan saraf pusat, tempat dimana saraf bersinaps dengan suatu neuron interkalasi
satu atau lebih neuron interkalasi(interneuron) menyampaikan impuls ke saraf eferen, neuron
eferen berjalan keluar dalam saraf dan menyampaikan impuls ke suatu efektor dan efektor,
yaitu otot (otot polos, lurik, atau otot jantung) atau kelenjar yang memberikan respon. Bila
terjadi interupsi dari lengkung refleks sederhana pada setiap tempat akan menyebabkan tidak
adanya respons.
3

Jenis-Jenis Refleks:
Refleks-refleks yang penting bagi neurologi klinis dapat dibagi menjadi 4 kelompok: refleks
superfisial (kulit dan selaput lendir), refleks tendo dalam (miotatik), refleks viseral (organik),
dan refleks patologik (abnormal).
3

Refleks dapat juga diklasifikasi menurut tingkat dari representasi sentralnya, yaitu sebagai
refleks spinal, bulbar (refleks postural dan penegakan), otak tengah, atau serebelum.
3

Lesi pada Medula Spinalis
Lesi medula spinalis dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung yang
dapat mengenai jaras motorik baik di tingkat neuron motorik atas, neuron motorik bawah
dan jaringan otot atau ujung neuromuskuler, gangguan sensorik, gangguan otonom, biasanya
akan memberikan suatu tanda klinis yang khas.
1
Namun pada penulisan ini hanya dibahas
khusus mengenai kelainan neuron motorik atas (UMN). Kerusakan pada kolumna putih
lateralis medula spinalis dapat menimbulkan tanda-tanda lesi neuron motorik atas (UMN).
Tanda ini meliputi paralisis atau paresis yang sifatnya spastik, kadang disertai oleh otot-otot
yang atrofi, reflek tendon heperaktif, reflek superfisial berkurang atau menghilang, dan reflek
patologik sebagai reaksi terhadap penarikan diri(withdrawal) terutama reflek plantar
ekstensor (babinski) dapat ditemukan.
1,6

Penegakan diagnosis pada lesi medula spinalis meliputi anamnesis riwayat trauma, serta
keluhan-keluhan yang dirasakan penderita, lamanya berlangsung keluhan tersebut, pola
keluhan yang dirasakan apakah semakin sehari semakin berat. Kelainan berdasarkan gejala
dan tanda klinis untuk kasus-kasus trauma medulla spinalis sering digunakan ASIA
scale, berdasarkan tipe dan lokasi lesi atau trauma.
1

Skala kerusakan berdasarkan

American spinal injury association/I nternational medical
society of Paraplegia (I MSOP)
1



Grade Tipe Gangguan medula spinalis ASIA/IMSOP
A Komplit
Tidak ada fungsi motorik dan sensorik
sampai S4-S5
B Inkomplit
Fungsi sensorik masih baik tapi motorik
terganggu sampai segmen sakral S4-S5
C Inkomplit
Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi
otot-otot motorik utama masih punya
kekuatan < 3
D Inkomplit
Fungsi motorik terganggu dibawah level,
otot-otot motorik utama punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Berdasarkan tipe dan lokasi trauma
1
:
i) Complete spinal cord injury (Grade A)
(a) Unilevel
(b) Multilevel
ii) Incomplete spinal cord irjury (Grade B, C, D)
(a) Cervico medullary syndrome
(b) Central cord syndrome
(c) Anterior cord syndrome
(d) Posterior cord syndrome
(e) Brown Sequard syndrome
(f) Gonus Medullary Syndrome
iii) Complete Cauda Equina Injury (Grade A)
iv) Incomplete Cauda Equina Injury (Grade B, C daa D)
J enis lesi medula spinalis
2

1. Lesi sentral yang kecil, hampir selalu mengenai traktus spinotalamikus di kedua sisi pada
daerah dekusasi.
2. Lesi sentral yang besar, dapat mengenai jaras nyeri dan bagian-bagian dari traktus yang
berdekatan, zat kelabu yang berdekatan atau kedua-duanya.
3. Lesi perifer yang tidak beraturan, misalnya luka tusuk, kompresi dari medula spinalis,dapat
mengenai jaras panjang dan jaras dari kolumna kelabu (gray mater), biasanya semua fungsi
dibawah tingkat lesi menghilang.
4. Hemiseksi sempurna, menyebabkan sindroma Brown-Sequard.
5. Tumor dari akar dorsalis misalya neurofibroma atau schanoma, dapat mengenai neuron
sensorik golongan pertama dari suatu segmen
6. Tumor dari mening atau tulang dapat menekan medula spinalis, seningga dapat menyebabkan
gangguan fungsi serabut asenden dan desenden.
Diagnosa banding dari disfungsi medula spinalis
7
:
Differential Diagnosisof Spinal Cord Dysfunction
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Trauma or mechanicalContusionCompression
Disc herniation
Degenerative disorders of verterbral bones
Disc embolus
Vascular
Anterior spinal artery infarct
Spinaldural AVM (arteriovenus malformation)
Epidural hematoma
Nutritional deficiency
Vitamin B12
Vitamin E
Epidural ebscess
Infections myelitis
Viral, including HIV
Lyne disease
Tertiary syphilis
Tropical spastic paraparesis
Schistosomiasis
Inflammatory myelitis
Multiple sclerosis
Lupus
Postinefectious myelitis
Neoplasms
Epidural metastasis
Meningomia
Schawannoma
Carcinomatous meningitis
Astrocytoma
Ependymoma
Hemangioblastoma
Degenarative / developmental
Spina bifida
Chiari malformation
Syringomyelia

Sindroma trauma spinal
1

Sindroma Kauasa Utama Gejala & tanda klinis
Hemicord (Brown
Sequad Syndrome)
Trauma tembus,
Dekompresi ekstinsik
-Paresis UMN ipsilateral dibawah
lesi dan LMN setinggi lesi.-
Gangguan eksteroseptik (nyeri &
suhu) kontra lateral.-Gangguan
proprioseptik (raba & tekan)
ipsilateral
Sindroma Spinalis
Anterior
Cedera yang
menyebabkan HNP
pada T4-T6
-Paresis LMN seringgi lesi &
UMN dibawah lesi.-Dapat disertai
disosiasi sensibilitas.-Gangguan
eksteroseptik.
-proprioseptik normal.
-Disfungsi spinkter
Sindroma spinalis
sentral servikal
HematomieliaTrauma
spinal (fleksi-
ekstensi)
-Paresis lengan lebih berat dari
tungkai.-Gangguan sensorik
bervariasi(disestesia/hiperestesia).-
Disosiasi sensibilitas.
-Disfungsi miksi, defekasi &
seksual.
Sindroma spinalis
posterior
Trauma, Infark
a,spinalis posterior
-Paresis ringan-Gangguan
eksteroseptik(nyeri/parastesia)pada
punggung
Leher dan bokong
-Gangguan proprioseptik bilateral
Sindroma konus
medularis
Trauma lower sacral
cord
-Gangguan motorik ringan,
simetris,tidak ada atrofi-Gangguan
sensorik saddle anestesi, muncul
lebih awal, bilateral,disosiasi
sensibilitas-Nyeri jarang relatif
ringan,simetris, bilateral pd daerah
perineum & paha
-Refleks achilles (-)
-Refleks patella (+)
-Disfungsi sphincter terjadi lebih
dini & berat
-Refleks bulbocavernosus & anal
(-)
-Gangguan ereksi & ejakulasi.
Sindroma Cauda
Equina
Cedera akar saraf
lumbosakral
-Gangguan motorik sedang s/d
berat,asimetris,atrofi(+)-Saddle
anestesi, asimetris, timbul lebih
lambat, disosiasi sensibilitas (-)-
Nyeri menonjol,hebat,lebih
dini,radikuler, asimetris
-Gangguan refleks bervariasi
Gangguan spinkter lebih lambat,
jarang berat, refleks jarang
terganggu, disfungsi seksual
jarang.
Tujuan pengobatan pada lesi medulla spinalis
1
:
Menjaga sel yang masih hidup agar terhindar dari kerusakan lanjut.
Eliminasi kenmakan akibat proses patogenesis sekunder
Mengganti sel saraf yang rusak.
Menstimulasi perrumbuhan akson dan koneksitasnya.
Memaksimalkan penyembuhan defisit neurologis.
Stabilisasi vertebrata
Neurorestorasi dan neurorehabilitasi untuk mengembalikan fungsi tubuh.
Prognosis tergantung pada
1
:
Lokasi lesi (lesi servikal atas prognosis lebih buruk).
Luas lesi (komplit / inkomplit).
Tindakan dini (prehospital dan hospital).
Trauma multipel.
Faktor penyulit (komorbiditas).
Nucleus and nerve roots for bladder, bowel and sexual function
8
:
Pathways
Nuclei, For Motor
Pathways
Nerve & Roots
Bledder
Function1.Detrusor
and urethral
afferents.2.Somatic
innervation of
urethral spincter.
3.Somatic
innervation of
pelvic floor muscles
4.Parasympathetic
innervation of
detrusor
5.Sympathetic(
and ) innervation
of bledder neck,
urethra, and bladder
dome.
Bowel function
1.Rectal and pelvic
floor afferents
2.Somatic
innervation of
external anal
_

Onufs nucleus
Anterior horn
Sacral parasymphatetic
nucleus
Intermediolateral cell
column
-
Onufs nucleus
Anterior horn
Sacral parasymphatetic
nucleus
Dorsal motor nucleus of
vagus
-
Sacral parasymphatetic
nucleus
Intermediolateral cell
column

Sacral parasymphatetic
nucleus
S2,S3,S4

S3,S4

S2,S3,S4
S2,S3,S4

T11, T12, L1


S2,S3,S4

S3,S4
S2,S3,S4

S2,S3,S4


CN X



S2,S3,S4
sphincter
3.Somatic
innervation of floor
muscles.
4.Parasympathetic
innervation of
internal anal
sphincter,
descending colon,
rectum
5.Parasymphatetic
innervation of gut
above the splenic
flexure

Sexual Function
1.Genital afferents
2.Parasymphatetic
innervation of
bartholins glands.
3.Sympathetic
innervation of
vaginal wall.
4.Parasymphatetic
erectile pathways
5.Sympathetic
erectile and ant-
erectile pathways
6.Sympathetic
ejaculatory
pathways
7.Somatic
motor pathways for
ejection of semen
Intermediolateral cell
column

Intermediolateral cell
column
Anterior horn and
Onufs nucleus
S2,S3,S4

T11,T12,L1
S2,S3,S4

T11,T12,L1

T11,T12,L1
S2,S3,S4
Penatalaksanaan
Manajemen awal di IGD, dimulai dengan penilaian terhadap airway, breathing, dan
circulation. Pada lesi servikal bagian atas, ventilasi spontan akan hilang, sehingga
diperlukan intubasi. Atasi syok bila ada. Lakukan pemeriksaan yang teliti, terhadap cedera
medulla spinalis. Bila dicurigai ada cedera servikal dilakukan imobilisasi.
7
Imobilisasi dapat
dilakukan dengan backboard, cervical ortosis, bantal pasir, dan tape on forehead. Ada 2 jenis
collar neck, yaitu soft collars dan reinforced (Philadelphia type) collar. Soft collar minimal
membatasi pergerakan leher. Biasanya hanya digunakan pada spinal yang stabil, seperti pada
spasme otot servikal. Hard collar memiliki bentuk menyerupai soft collar, terbuat dari
polietilen, untuk memberikan tambahan sokongan, Collar ini juga hanya membatasi
pergerakan leher secara minimal. Philadelphia collar biasanya digunakan untuk fraktur
servikal tanpa pergeseran atau dengan pergeseran yang minimal. Collar ini membatasi
gerakan leher lebih baik dibanding soft collar. Terutama membatasi pergerakan servikal
bagian atas.
9

Pemeriksaan radiologi diawali dengan foto polos servikal, kemudian dapat dilakukan CT
Scan atau MRI. Di samping itu kemungkinan multi trauma harus dipikirkan. Bila diagnosa
tegak, segera berikan terapi. Kemudian diputuskan apakah perlu dilakukan tindakan operatif.
Bila tidak ada indikasi, dianjurkan perawatan pada neuro intensive care, karena dapat terjadi
beraneka ragam komplikasi.
2,9
Pemberian steroid harus sesegera mungkin (NASCIS II). Bila
cedera terjadi sebelum 8 jam, diberikan metil prednisolon dosis tinggi 30 mg/kgBB intravena
perlahan selama 15 menit. Disusul 45 menit kemudian infus 5,4 mg/kgBB/jam selama 23
jam. Tetapi jika terapinya diberikan 3-8 jam setelah cedera, infus dianjurkan berakhir sampai
48 jam.
1,2,9
Trial klinik menunjukkan kemaknaan statistik terhadap perbaikan neurologis
jangka panjang. Metilprednisolon bekerja menghambat peroksidase dan sekunder akan
meningkatkan asam arakidonat. Untuk mengobati edema medulla spinalis dapt diberikan
manitol 0,25-1,0 gr/kgBB.
2,9


Rehabilitasi
Rehabilitasi cedera spinal merupakan suatu kegiatan rehabilitasi dari hanya berbaring di
tempat tidur menuju kehidupan berkomunitas (rehabilitation from bedside to community).
Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam waktu yang terbatas bertujuan
untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami gangguan secara optimal dalam
bidang mental, fisik, kognitif, dan sosial.
1

Rehabilitasi untuk fraktur servikal memerlukan waktu yang lama, beberapa bulan sampai
tahunan, tergantung kepada beratnya cedera. Terapi fisik dapat dilakukan seperti latihan
untuk menguatkan kembali daerah leher dan memberikan tindakan pencegahan untuk
melindungi cedera ulang. Selain itu dianjurkan untuk mengubah gaya hidup yang dapat
menyebabkan fraktur servikal.
9

Pada cedera medulla spinalis, rehabilitasi ditujukan untuk mengurangi spastisitas, kelemahan
otot dan kegagalan koordinasi motorik. Terapi fisik dan strategi rehabilitasi yang lain juga
penting untuk mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot dan untuk reorganisasi fungsi
saraf. Penting juga memaksimalkan penggunaan serat saraf yang tidak rusak.
9



DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSI.
Jakarta. 2006 : 19-22
2. Evans, Randolph. Neurology and Trauma. W.B. Saunders Company : Philadelphia. 1996 :
276-277
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta. 2003 : 35-36
4. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat. Jakarta. 005 :
115-116
5. Felten D.L. Jozefowicz R.F. Netters Atlas of Human Neuroscience. MediMedia USA.Inc.
2003 : 138-149.
6. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Sanauer Assiciates,Inc. 2002 :23-36
7. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Sanauer Assiciates,Inc. 2002 : 277-
283.
8. deGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. EGC. Jakarta. 1997 : 30-42.
9. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives. Early Acute
Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-
Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. 2006. Vol. 31 Number 4 (403-
479)



TRAUMA MEDULLA SPINALIS
TRAUMA MEDULLA SPINALIS


A. Pengertian trauma Medula Spinalis
Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang
di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan
saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan atau
inkomplet.
Beberapa yang berhubungan dengan trauma medula spinalis seperti :
a. Quadriplegia adalah keadaan paralisis/kelumpuhan pada ekstermitas dan terjadi akibat
trauma pada segmen thorakal 1 (T1) keatas. Kerusakan pada level akan merusak sistim syaraf
otonom khsusnya syaraf simpatis misalnya adanya gangguan pernapasan.
b. Komplit Quadriplegia adalah gambaran dari hilangnya fungsi modula karena kerusakan
diatas segmen serfikal 6 (C6).
c. Inkomplit Quadriplegia adalah hilangnya fungsi neurologi karena kerusakan dibawah
segmen serfikan 6 (C6).
d. Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yang terjadi pada serfikal pada
bagian atas (C1-C4) sehingga terjadi gangguan pernapasan.
Paraplegia adalah paralisis ekstermitas bagian bawah, terjadi akibat kerusakan pada
segmen parakal 2 (T2) kebawah.

B. Etiologi dan Faktor Resiko trauma Medula Spinalis
Adapun etiologi dan factor resiko terjadinya trauma medulla spinalis adalah
a. mengkonsumsi alkohol
b. mengkonsumsi obat-obatan saat mengendarai mobil atau sepeda motor.
Sedangkan cedara modulas spinalis dikelompokan akibat trauma dan non trauma
misalnya :
a. kecelakaan lalu lintas
b. terjatuh
c. kegiatan olahraga
d. luka tusuk atau tembak
Adapun non trauma sebagai berikut:
a. spondilitis serfikal
b. ruang miolopati
c. myelitis
d. osteoporosis
e. tumor.
C. Patofisiologi trauma Medula Spinalis
Columna vertebra berfungsi menyokong tulang belakang dan melindungi modula
spinalis serta syaraf-syarafnya. trauma medula spinalis akibat columna vertebra atau ligment.
Umumnya tempat cedara adalah pada segmen C1 -2, C4-6 dan T11 L2. trauma modula
spinalis mengakibatkan perdarahan pada gray matter medulla, edema pada jam-jam pertama
pasca trauma.
Mekanisme utama terjadi cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi
trauma kompresi vertical dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi. Cedera karena hiperekstensi
paling umum terjadi pada area cerfical dan kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi
sampai deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi terjadi akibat regangan / tarikan yang berlebihan,
kopresi dan perubahan bentuk dan modula spinalis secara tiba-tiba. Trauma kopresi vertical
umumnya terjadi pada area thorak lumbal dari T12 L2, terjadi akibat kekuatan gaya
sepanjang aksis tubuh dari atas sehingga mengakibatkan kompresi medula spinalis kerusakan
akar syaraf disertai serpihan vertebrata.
Kerusakan medula spinalis akibat kompersi tulang, herniasi disk, hematoma, edema,
regangan dari jaringan syaraf dan gangguan sirkulasi pada spinal. Adanya perdarahan akibat
trauma dari gray sampai white matter menurunkan perfusi vaskuler dan menurunnya kadar
oksigen mengakibatkan iskemia pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut
mengabatkan edema sel dan jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan
kembali normal kurang lebih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang terjadi adalah
meningkatnya asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar oksigen secara cepat 30
menit setelah trauma, meningkatnya kosentrasi norepprinehine. Meningkatnya
norepprinehine disebabkan karena evek iskemia rupture vaskuler atau nekrosis jaringan
syaraf.
Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock). Jika
terjadi keruskan secara transfersal sehingga mengakibatkan pemotongan komplit rangsangan.
Pemotongan komplit rangsangan menimbulkan semua fungsi refloktorik pada semua sgemen
dibawah garis kerusakan akan hilang. Fase rejatan ini berlangsung beberapa minggu sampai
beberapa bulan (3-6 minggu).
D. Klasifikasi trauma Medula Spinalis
Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan :
1. Komosio modula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi mendula spinalis hilang
sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara sempurna. Kerusakan pada komosio
medula spinalis dapat berupa edema, perdarahan verivaskuler kecil-kecil dan infark pada
sekitar pembuluh darah.
2. Komprensi medula spinalis berhubngan dengan cedera vertebral, akibat dari tekanan pada
edula spinalis.
3. Kontusio adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata, ligament dengan
terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan reaksi peradangan.
4. Laserasio medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi kerusakan medula
spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka tembak. Hilangnya fungsi medula
spinalis umumnya bersifat permanen.
E. Tanda dan Gejala trauma Medula Spinalis
Adapun tanda dan gejala adalah sebagai berikut :
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Tanda dan gejala trauma medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan dan lokasi
kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan volunter, hilangnnya
sensasi nyeri, temperature, tekanan dan propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan
hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom.
2. Perubahan reflex
Setelah trauma medula spinalis terjadi edema medula spinalis, sehingga stimulus
reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas visceral, reflex ejakulasi.
3. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit trans versal, di mana
pasien terjadi ketidak mampuan melakukan pergerakan.
4. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid para lisis di bawah garis kerusakan,
hilangnya sensasi, hilangnya releks reflex spinal, hilangnya tonus vasomotor yang
mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat di bawah garis kerusakan
dan inkontinensia urine dan retensi fases.
5. Autonomic dysreflesia
Autonomic dysreflesia terjadi pada cedera thorakal enam ke atas, di mana pasien
mengalami gangguan reflex autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksimal,
distensi bladder.
6. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya sensasi
dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.
F. Komplikasi trauma Medula Spinalis
Adapun komplikasinya adalah sebagai berikut :
Neurogenik shock
Hipoksia
Gangguan paru-paru
Instabilitas spinal
Orthostatic hypotensi
Ileus paralitik
Infeksi saluran kemih
Kontraktur
Dekubitus
Inkontinensia bladder
Konstipasi
G. Test Diagnostik trauma Medula Spinalis
1. Foto rongcen : adanya fraktur vertebrata.
2. CT Scan : adanya edema medula spinalis
3. MRI : kemungkinan adanya kompresi, edema medula spinalis.
4. Serum kimia : adanya hiperglikemia atau hipoglikemia ketidak seimbangan elektrolit,
kemungkinan menurunnya Hb dan hemotoktrit.
5. Urodinamik : proses pengosongan bladder.
H. Penatalaksanaan Medik trauma Medula Spinalis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan collar
servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan pemberian oksigen,
cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi Pengobatan :
Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah akibat autonomic
hiperrefleksia akut.
Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas bladder.
Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan tonus leher bradder.
Antihistamin untuk menstimulus beta reseptor dari bladder dan uretra.
Agen antiulcer seperti ranitidine
Pelunak fases seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur dengan fragmen
yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan mempersiapkan
pasien untuk hidup di masyarakat.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Riwayat keperawatan : trauma; tumor, masalah medis yang lain (misalnya, kelainan paru,
kelainan koogulasi, ulkus );merokok dan penggunaan alcohol.
Pemeriksaan fisik: fungsi motorik ( pergerakan, kekuatan, tonus): funngsi sensorik; reflex;
status pernapasan; gejala gejala spinal syok; tidakadanya keringat di batas luka; fungsi bowel
dan bldder; gejala autonomic dysreflexia.
Psikososial: usia, jenis kelamin,gaya hidup, pekerjaan, peran dan tanggung jawab, sistim
dukungan, strategi koping, reaksi emositerhadap ciddera.
Pengetahuan klien dan keluarga: anatomi dan fisiolgimedula spinalis: pengobatan, progonosis/
tujuan yang di harapkan tingkat pengetahuan, kemampuan belajar dan pengetahuan,
kemampuan membaca dan kesiapan beljar.
2. Diagnosis keperawatan
1. Tidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketiadak efektifan reflex batuk,
imobilisasi.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot pernapasan.
3. Menurunya cardia output berhubungan dengan hilangnya tonus vaso motor.
4. Gannguan perfusi jaringan berhubungan dengan kompersi, kontusio dan edema.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, deficit neurologic
(qudrikplegia/ paraplegia).
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, deficit sensasi/ motorik,
gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.
7. Gagnguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol spinter untuk
berkemih.
8. Gangguan eiminasi bowel berhubungan dengan menurunnya control spinter bowel,
imobilisasi.
3. Intervensi keperawatan.
1. Tidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketiadak efektifan reflex batuk,
imobilisasi.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan batuk klien dan produksi secret.
b. Pertahankan jalan napas (hindari fleksi leher, bersikan secret)
c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi secret, lakukan kultur.
d. Lakukan suction jika perlu.
e. Auskultasi bunyi napas.
f. Lakukan latihan napas.
g. Berikan minum hangat jika ridak kontra indikasi.
h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi.
Rasional:
a. Hilangnya kemampuan motorik otot interkosta dan abdomen berpengaruh terhadap
kemampuan batuk.
b. Menutup jalan napas.
c. Hilangnya reflex batuk beresiko menimbulkan pneumonia.
d. Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
e. Mendeteksi adanya secret dalam paru paru.
f. Mengembangkan alveoli dan menurunkan produksi secret.
g. Mengencerkan secret.
h. Meningkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar oksigen dalam darah.
i. Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi lebih dini.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan paralisis otot pernapasan.
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi napas setiap 2 jam.
b. Suction jika perlu
c. Berikan oksigen 100% selama 1 menit sebelum dan sesudah suction.
d. Pertahankan kepatenan jalan napas.
e. Monitor ventilator jika pasien di pasang.
f. Monitor dan analisa gas darah.
g. Monitor tanda vital selama 2 jam
h. Lakukan posisi semivouler, jika tidak ada kontra indikasi.
i. Hindari obat obatan sedative jika memungkinkan.
Rasional:
a. Mengetahui adanya kelainan paru paru
b. Membersihkan secret dan membuka jalan napas.
c. Mencegah hipoksemia.
d. Pemasangan intubasi atau trakeostomi jika memang di butuhkan.
e. Mengukur tidal volume konsentrasi oksigen.
f. Mengetahui keseimbangan gas darah dan memonitor adekuatnya ventilasi
g. Mendeteksi perubahan tand vital lebih awal
h. Memungkinkan pengembangan paru lebih optimal
i. Menghindari efek depresi pernapasan.
3. Menurunya cardia output berhubungan dengan hilangnya tonus vaso motor.
Intervensi:
a. Lakukan perubahan posis dengan pelan pelan
b. Kaji funsi kardiavaskuler dan cegah spinal schok.
c. Monitor secara berkala postural hipotensi, bradikardia, distrimia, menurunnya output urine,
monitor tekanan darah.
d. Laksanakan program atropine misalnya atropine.
e. Lakukan ROM setiap 2 jam.
Rasional:
a. Menurunnya postural hipotensi.
b. Cedera ( T 6 ke atas) kemungkinan terjadi spinal shock dengan hilangnya reflex autonom
sehingga berpengaruh terhadap kerja jantung, temperature tubuh.
c. Mengkaji kardia output.
d. Untuk efek bradikardia
e. Mencegah emboli vena dan mempertahankan gerak sendi.
4. Gannguan perfusi jaringan berhubungan dengan kompersi, kontusio dan edema.
Intervensi:
a. Lakukan pengkajian neurologic setiap 4 jam
b. Pertahankan traksi skeletal
c. Jaga posisi tubuh dengan kepala dan tumbuh lurus, hindari maneuver.
d. Berikan pengobatan sesuai program seperti steroid, vitamin k, antacid.
e. Ukur intake dan output setiap jam, catat output urine kurang dari 30 ml/ jam.
Rasional:
a. Monitor perubahan status neurologi dan mendeteksi perkembangan trauma spinal
b. Sebagai penyangga dan menjaga kerusakan spinal
c. Mencegah tarauma medulla spinalis.
d. Steroid dapat mengontrol edema, vitamin k dapat menghentikan pendarahan, antacid sebagai
anti ulcer.
e. Monitor fungsi ginjal dan volume cairan.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal, deficit neurologic
(qudrikplegia/ paraplegia).
Intervensi:
a. Kaji fungsi sensori dan motorik klien setiap 4 jam
b. Ganti posis klien tiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan
pasien.
c. Gunakan alat ortopedrik, colar, handspilts
d. Lakukan ROM pasif setelah 48-72 jam setelah cedera 4-5 kali / hari
e. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien
f. Konsultasikan kepada fisioterapi untuk latihan dan penggunaan alat seperti spilints.
Rasional:
a. Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam pergerakan.
b. Mencegah terjadinya footdrop
c. Mencegah kontraktur
d. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah kontraktur.
e. Menunjukakan adanya aktivitas yang berlebihan.
f. Memberikan penangan yang sesuai.
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, deficit sensasi/ motorik,
gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.
Intervensi:
a. Kaji factor resiko terjadinya gangguan integritas kulit.
b. Kaji keadaan kulit pasien setiap 8 jam
c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis.
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tidurpasien.
f. Lakukan pemijatan lembut di atas daerah tulang yang menonjol swetiap 2 jam dengan
gerakan memutar.
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein.
h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari.
Rasional:
a. Factor yang mempengaruhi gangguan integrritas kulit adalah imobilisasi, hilangnya sensasi,
inkontinensia bladder/ bowel.
b. Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
c. Mengurangi tahanan / tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitus.
d. Daerah tekanan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.
e. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit.
f. Meningkatkan sirkulasi darah.
g. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
h. Mempercepat proses penyembuhan.
7. Gagnguan eliminasi urine berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol spinter untuk
berkemih.
Intervensi:
a. Kaji tanda infeksi saluran kemih.
b. Kaji intake dan output cairan.
c. Lanjutkan pemasangan kateter sesuai program.
d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari.
e. Cek bledder pasien setiap 2 jam.
f. Lakukan pemerikasaan urinalisa, kultur dan sensibilitas.
g. Monitor temperature tubuh setiap 8 jam.
Rasional:
a. Efek darib tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih.
b. Mengetahui adekuatnya fungsi ginjal dan efektifnya bledder.
c. Efek trauma medulla spinalis adanya gangguan reflex berkemih sehinggah perlu bantuan
dalam pengeluaran urine.
d. Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya batu.
e. Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrfleksia.
f. Mengetahui adanya infeksi.
g. Temperature yang meningkat inddikasi adanya infeksi.
8. Gangguan eiminasi bowel berhubungan dengan menurunnya control spinter bowel,
imobilisasi.
Intervensi:
a. Kaji pola eliminasi bowel.
b. Berikan diet tinggi serat
c. Berikan minum 1800-2000 ml/ hari jika tidak kontra indikasi
d. Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen.
e. Hindari pengguanaan laksativ oral
f. Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
g. Berikan suppositeria sesuai program
h. Evaluasi dan catat adanya perdarahan pada saat eliminasi.
Rasional:
a. Menetukan adanya perubahan eliminasi
b. Serat meningkatkan konsistensi fases
c. Mencegah konstipasi
d. Bising usus menentukan pergerakan peristaltic.
e. Kebiasaan menggunakan laksativ akan terjadi ketergantungan
f. Meningkatkan pergerakan peristaltic
g. Pelunak fases sehingga memudahkan eliminasi
h. Kemungkinan perdarahanakibat iritasi penggunaansupositoria.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang
di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan
saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan atau
inkomplet.
Faktor resiko terjadinya trauma medula spinalis yaitu mengonsumsi alkohol dan obat
obatan saat mengendarai kendaraan sedangkan etiolaginya di sebabkan oleh trauma dan non
trauma. Mekanisme utama terjadi cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi
trauma kompresi vertical dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi.
B. Saran
Jadikanlah makalah ini sebagai media tulis yang dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan kita janganlah jadikan sebagai media tulis biasa yang tidak bermanfaat dan
penulis juga mengharapkan kritik dana saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
tugas berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA
Tarwato, dkk. 2007. Keperawatan Medical Bedah Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Sagung
Seto.
Tambayong, J, 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Widagdo, wahyu. 2008. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistim persarafan ,
Jakarta: TIM

About these ads

Anda mungkin juga menyukai