MULTILINGUALISME DI MALAYSIA
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf, multilingualisme menghasilkan kelompok-
kelompok yang mempunyai persepsi-persepsi yang berlainan berkenaan isu-isu
yang serupa. Multilingualisme bermakna pelbagai bahasa akan duduk dalam
benak-benak kumpulan-kumpulan yang berbeza. Benak-benak itu akan mewarisi
idea-idea induk yamg berbeza-beza pula. Dengan demikian persepsi mereka
berbeza, maka oleh itu nilai-nilai mereka berbeza lalu menyebabkan perilaku
mereka jadi berbeza-beza.
Keadaan ini sangat jelas dirasakan sebelum terlaksananya Penyata Razak di
dalam sistem pendidikan kebangsaan. Generasi sebelum penyata tersebut
memiliki semangat perkauman yang kuat kerena mereka menggunakan bahasa-
bahasa yang berlainan. Penyata Razak mahukan supaya budak-budak daripada
bermacam-macam kaum belajar di bawah bumbung yang sama, belajar perkara
yang sama dengan menggunakan bahasa yang sama. Generasi yang dilahirkan
oleh Penyata Razak menunjukkan sikap yang lebih terbuka terhadap kaum-kaum
lain dan memiliki semangat Malaysia yang lebih ketara. Ini mencerminkan
generasi ini berkongsi banyak persepsi yang sama berkenaan perkara-perkara
yang serupa.
Perkembangan-perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan kemajuan pesat ke
arah trend multilingualisme di kalangan generasi muda dan berpendidikan. Trend
ini mengancam cita-cita setiap warga yang cintakan perpaduan dan keamanan.
Dasar bahasa pengantar yang kini diliberalkan akan mencipta generasi rakyat
Malaysia yang berpolarisasi sekali lagi. Apabila ini berlaku, perpecahan adalah
suatu akibat yang tidak dapat dielakkan. Kita akan ditimpa tragedi dan
kesengsaraan yang tiada terperikan.
Definisi:
gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kemampuan dan
kebiasaan memakai lebih dari satu bahasa
PENGERTIAN BILINGUALISM/KEDWIBAHASAAN
A. Arti Kedwibahasaan
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa
itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang
kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam
bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga
istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni
keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian.
B. Definisi Kedwibahasaan
Telah diketahui bahwa secara harfiah kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua
bahasa atau lebih secara bergantian. Dibawah ini adalah pendapat-pendapat atau definisi
tantang kedwibahasaan oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan
didefinisikan sebagai berikut:
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir
sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa,
bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
2. MacKey (1956:155)
5. Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka
pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara
produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan
kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup
mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
6. Oksaar
C. Pembagian Kedwibahasaan
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih
baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan
pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa
dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering
memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang
dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat
suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan
B1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan
diantaranya adalah:
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka
Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa
memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam
kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang
berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi
keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh
masyarakat itu.