Anda di halaman 1dari 29

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN POST STROKE NON

HEMARAGIK STADIUM RECOVERY


BAB I
PENDAHULUAN
Menurut UU No. 23/1992 bahwa pembangunan nasional akan terwujud bila terjadi derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan
(rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan
(Muslihuddin, 1995). Melalui program ini diharapkan bangsa Indonesia mampu untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat dengan cara masyarakat
berperilaku hidup bersih dan sehat serta adanya peran serta pemerintah melalui adanya fasilitas
kesehatan yang memadai dan bentuk pelayanan kesehatan yang memadai.
Pada masa sekarang yang lebih di kenal dengan istilah era globalisasi, di mana terjadi perubahan
perilaku dan gaya hidup individu, yang akan mendorong individu tersebut untuk hidup dengan
praktis seperti mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang mengandung kolesterol tinggi.
Demikian juga dengan tuntutan lingkungan dan pekerjaan yang akan mendorong individu untuk
merokok, minuman beralkohol, kurang berolah raga dan kerja berlebihan yang mengakibatkan
stress yang berlebihan (Aurin, 2007). Perilaku-perilaku tersebut merupakan faktor penyebab
timbulnya penyakit berbahaya seperti stroke.
Sumber daya manusia yang memberikan pelayanan kesehatan yakni tenaga medis dan salah
satunya adalah fisioterapi. Fisioterapi merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang
ditujukan kepada individu atau kelompok individu untuk memperbaiki, mengembangkan dan
memelihara gerak dan kemampuan fungsi yang maksimal selama perjalanan kehidupan individu
atau kelompok, dilaksanakan dengan terarah dan berorientasi pada masalah dan menggunakan
pendekatan ilmiah serta dilandasi dengan etika profesi (WCPT, 1999).

A. Latar Belakang Masalah
Stroke adalah ganguan fungsi otak yang mengakibatkan aliran darah ke otak berkurang sehingga
otak kekurangan suplai darah yang terjadi secara cepat dan mendadak tanpa kesadaran. Apabila
otak secara terus menerus kekurangan suplai darah maka akan terjadi kematian pada individu.
Gejala awal stroke umumnya kelumpuhan, kelemahan, hilangnya sensasi di wajah, lengan atau
tungkai disalah satu sisi tubuh, kesulitan berbicara atau memahami, kesulitan menelan dan
hilangnya sebagian penglihatan di satu sisi (Feigin, 2006).
Jumlah penderitan stroke di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Sebab penyakit ini sudah
menjadi pembunuh nomor 3 di Indonesia setelah penyakit infeksi dan jantung koroner. Sekitar
28,5% penderita penyakit stroke di Indonesia meninggal dunia. Sedangkan di Eropa, stroke
merupakan penyakit berbahaya kedua setelah penyakit jantung koroner. Di antara 100 pasien
rumah sakit, sedikitnya 2 orang merupakan penderita stroke (Lumbantobing, 2002).
Stroke juga menjadi masalah kesehatan primer di AS dan dunia. Meskipun upaya pencegahan
telah diupayakan namun angka kematian stroke masih tinggi, stroke masih menduduki peringkat
ketiga penyebab kematian, dengan laju mortalitas 18% sampai 31% untuk serangan stroke
pertama dan 62% untuk stroke selanjutnya (Rosjidi, 2007).
Secara global, sekitar 80 juta orang menderita stroke, dimana 13 juta korban stroke baru setiap
tahunnya dan sekitar 4,4 juta diantaranya meninggal dalam 12 bulan. Terdapat sekitar 250 juta
anggota keluarga yang berkaitan dengan para pengidapstroke dapat bertahan hidup. Selama
perjalanan hidup mereka, sekitar empat dari lima keluarga akan memiliki salah seorang anggota
mereka yang terkena (Feigin, 2006).
Menurut ketua umum yayasan stroke Indonesia, Laksamana TNI (Pur) Sudomo, penyakit stroke
bisa menyerang siapa saja tanpa memandang jabatan atau tingkatan sosial-ekonomi baik di
rumah sakit maupun yang berada dalam masyarakat. Dengan kecenderungan menyerang generasi
muda yang masih produktif, dimana akan berdampak menurunnya tingkat produktifitas dan
terganggunya sosial-ekonomi keluarga (Aurin, 2007). Namun stroke dapat diperkirakan dan
dapat dicegah pada hampir 85% orang. Pada kenyataannya sekitar 1/3 pasien stroke sekarang
dapat pulih sempurna jika pasien selalu mendapat terapi darurat dan rehabilitasi yang memadai
(Feigin, 2007).
Proses perbaikan atau penyembuhan yang sempurna atau mendekati sempurna terjadi pada fase
pemulihan (recovery). Namun fase pemulihan ini tergantung dari topis lesi, derajat berat, kondisi
tubuh pasien, ketaatan pasien dalam menjalani proses pemulihan, ketekunan dan semangat
penderita untuk sembuh. Karena tanpa itu semua, dapat mengakibatkan hambatan dalam
melakukan rehabilitasi.
Pasien stroke stadium recovery menyebabkan perubahan tonus yang abnormal yang ditandai
dengan peningkatan tonus. Dengan adanya abnormal tonus secara postural (spastisitas) maka
akan terjadi gangguan gerak yang dapat berakibat terjadinya gangguan aktifitas fungsional dan
dapat menghalangi serta menghambat timbulnya keseimbangan (Suyono, 2002).
Modalitas yang digunakan fisioterapi dalam pemulihan atau penyembuhan salah satunya adalah
terapi latihan, melalui latihan-latihan gerakan tubuh yang berulang-ulang maka akhirnya terjadi
gerakan yang dikuasai dengan baik dan lebih mudah dikerjakan (Suyono, 1992). Karena pada
fase ini otak mengalami plastisitas yaitu kemampuan untuk beradaptasi dan memodifikas
organisasi struktural dan fungsional terhadap kebutuhan, yang biasa berlangsung terus sesuai
dengan kebutuhan (Setiawan, 2007). Peran fisioterapi melalui terapi latihan adalah mencegah
terjadinya komplikasi, menormalkan tonus otot (spastisitas) secara postural, memperbaiki
keseimbangan dan koordinasi, menanamkan pola gerak yang benar dan meningkatkan
kemampuan fungsional.
Dari berbagai alasan tersebut diatas maka dalam penulisan proposal Karya Tulis Ilmiah (KTI)
akan merencanakan studi kasus dengan judul penatalaksanaan terapi latihan pada pasien post
stroke non haemorragik stadium recovery.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis ingin kemukakan adalah (1) Apakah terapi latihan dengan
mekanisme reflek postur dapat menurunkan spastisitas otot secara postural ? (2) Apakah terapi
latihan dapat memperbaiki keseimbangan dan koordinasi ? (3) Apakah terapi latihan dapat
meningkatkan kemampuan motorik fungsional ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang akan dicapai adalah (1) Mengetahui manfaat terapi latihan dengan mekanisme
reflek postur dapat menurunkan spastisitas otot secara postural ? (2) Mengetahui manfaat terapi
latihan dapat memperbaiki keseimbangan dan koordinasi ? (3) Mengetahui manfaat terapi latihan
dapat meningkatkan kemampuan motorik fungsional ?





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Definisi
Stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskuler yang mempengaruhi arteri penting yang
menuju ke otak, terjadi ketika pembuluh darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi menuju
otak terblokir oleh bekuan maupun pecahan sehingga otak tidak mendapat darah yang
dibutuhkan sehingga sel-sel otak mengalami kematian [Strokeassociaton, 2006]. Kematian
jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi kendali sebuah jaringan.
Stroke non haemoragik adalah stroke yang disebabkan peredaran darah ke otak berkurang karena
ada sumbatan seperti trombus dan emboli.

2. Anatomi fungsional
Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron di otak mati
tidak mengalami regenerasi, kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu
bagian-bagian otak dapat mengambilalih fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Sehingga bagian-
bagian otak sepertinya belajar kemampuan baru. Ini merupakan mekanisme paling penting yang
berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006).

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf pusat yang mengalami perubahan secara
bertahap dan organ vital yang ikut berpartisipasi dalam mengurus dan melaksanakan gerakan
melalui susunan neuromuskuler volunter. Otak dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu cortex
cerebri, ganglion basalis, thalamus serta hypothalamus, mesencephalon, trunkus cerebri, dan
cerebellum (Chusid, 1990). Menurut Sidharta (1997) secara anatomi, susunan neuromuskulus
volunter dibagi menjadi dalam Upper Motor Neuron (UMN) yang memberi impuls dari kortek
presentralis (area 4) hingga di kornu anterior dari substansia grisea medula spinalis lalu
dilanjutkan oleh Lower Motor Neuron (LMN) hingga pada motor end plate lalu timbul suatu
gerakan dari otot itu sendiri tapi secara group otot dapat menimbulkan gerakan nyata.

a. Kortek serebri

Menurut Chusid (1990) melalui stimulus baik dengan memakai arus listrik maupun dengan
berbagai bahan kimia sudah menghasilkan penetapan lokasisasi fungsional pada daerah penting
di kortek serebri (lihat gambar 2.1):
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis terdiri dari daerah motorik utama di area 4, sirkuit traktus ekstrapiramidalis di
area 6; penggerak mata dan perubahan pupil di area 8; dan daerah asosiasi frontalis di area 9, 10,
11, dan 12.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis terdiri dari daerah sensoris postcentralis utama di area 3, 1, dan 2; daerah
asosiasi sensoris di area 5 dan 7.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis terdiri dari daerah auditorius primer di area 41; kortek auditorius sekunder /
asosiasif di area 42; daerah asosiasi di area 38, 40 , 20 , 21, dan 22.
4) lobus oksipitalis
Lobus occipitalis terdiri dari daerah cortek striata di area 17; korteks visual yang utama; daerah
asosiasi visual di area 18 dan 19.

Gambar 2.1, Kortek serebri (Chussid, 1990)

b. Traktus piramidalis

Berasal dari sel yang berada di lapisan V dari kortek presentralis (area 4) yang merupakan kortek
motoris utama. Dimana neuron-neuron tersebut mempunyai hubungan dengan pola gerak otot
tertentu yang dinamakan penataan somatotopik (Sidharta, 1997). Tetapi beberapa serabut
diantaranya berasal dari daerah kortek lobus parientalis (Kahle, 1999). Lalu serabut berjalan
melalui korona radiate dan memusat di kapsula internal. Disini terjadi perkumpulan serabut
secara somatotopik tapi anggota gerak bawah berada dibagian paling posterior dan daerah wajah
serta leher berada dibagian paling anterior. Selanjutnya melewati batang otak yang terdiri dari
mesensefalon, pons ,dan medulla oblongata.
Pada batas antara medulla oblongata dan medulla spinalis, sebagian traktus ini menyeberang,
kira-kira 85% disebut cortico spinalis lateralis dan kira-kira 15% melanjutkan ke bawah yang
disebut traktus cortico spinalis anterior. Tempat persilangan ini disebut decusatio piramidalis
(Sidharta, 1997). Sebagian besar serabut berakhir pada interneuron yang menyalurkan impuls
untuk timbul gerakan volunter (Kahle, 1999) (lihat gambar 2.2). Gerakan yang ditimbulkan oleh
impuls piramidalis adalah gerakan yang halus, jitu, dan tangkas.

Gambar 2.2, Traktus piramidalis (Duss, 1996)

c. Traktus ekstrapiramidalis

Traktus ekstrapiramidalis (lihat gambar 2.3) merupakan mekanisme yang tersusun dari jalur-jalur
dari kortek motoris menuju Anterior Horn Cell (AHC) pada medula spinalis. Sistem
ekstrapiramidalis dapat dianggap sebagai suatu sistem fungsional dengan 3 lapisan integrasi :
cortical, striatal (basal ganglia), dan segmental (mesencephalon) (Chusid, 1990).
Gerakan yang ditimbulkan oleh impuls ekstrapiramidalis adalah gerakan fungsional. Traktus
ekstrapiramidalis memegang peran utama penting dalam hal menentukan kedudukan (postur)
tubuh dan anggota tubuh. Susunan piramidalis dalam melaksanakan fungsinya selalu
bekerjasama dengan susunan ekstrapiramidalis (Ngoerah, 1990). Ketangkasan gerak ditentukan
oleh keadaan piramidalis, tapi susunan ekstrapiramidalis memberi landasan yang menentukan
agar gerakan tangkas itu dapat dilakukan.
Sindroma klinis sistem ekstrapiramidalis, salah satunya terlibatnya capsula interna, seperti yang
sering terjadi pada cerebrovascular accident, misalnya trombosis atau perdarahan pada arteria
lenticulostriata. Dapat mengakibatkan hemiplegi spastika pada sisi tubuh yang berlawanan
(Chusid, 1990).

Gambar 2.3, Traktus ekstrapiramidalis (Duss, 1996)

3. Vaskularisasi otak
Otak merupakan 2% dari berat badan tubuh total (sekitar 1,4 kg) namun otak hanya
menggunakan 20% dari oksigen tubuh dan 50% glukosa yang ada didalam darah arterial (Feigin,
2006). Otak sangat tergantung suplai darah dari luar, sehingga anatomi pembuluh darah otak
mempunyai struktur yang mendukung tetap tersedianya darah pada otak.
Otak mendapatkan suplai dari dua arteri utama yaitu arteri karotis (kanan-kiri ), menyalurkan
darah ke otak bagian depan atau disebut sirkulasi arteri serebrum anterior dan sistem
vertebrobasilaris menyalurkan darah ke bagian belakang otak atau di sebut sirkulasi arteri
serebrum posterior (Feigin, 2006). Keempat cabang arteri ini akan membentuk suatu hubungan
yang disebut sirkulus willisi (lihat gambar 2.4).
Arteri vertebralis dekstra dan sinistra bersatu dan membentuk arteri basilaris dan berakhir
sebagai arteri serebri posterior dekstra sinistra sedangkan arteri karotis interna kanan dan kiri
masing bercabang dua dan menjadi arteri serebri media dan arteri serebri anterior. Akhirnya
terbentuklah di basis kranii dalam suatu lingkaran anastomosis yang dinamakan sirkulus
arteroisus willisii (Ngoerah ,1990).
Apabila terjadi gangguan peredaran darah ke otak akan menimbulkan gangguan metabolisme
sel-sel neuron. Dimana sel-sel neuron itu tidak mampu untuk menyimpan glikogen. Oleh karena
itu, di susunan saraf pusat untuk keperluan metabolisme sepenuhnya tergantung dari glukosa dan
oksigen yang terdapat di arteri-arteri yang menuju otak. Maka hidup matinya sel-sel neuron
dalam susunan saraf pusat sepenuhnya tergantung dari perdarahan arteri tersebut.


Gambar 2.4, sirkulus willisi (Aurin, 2007)

4. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, stroke dibagi enjadi dua, yaitu stroke haemoragik (stroke dengan
perdarahan) adalah stroke yang terjadi pendarahan karena rusaknya pembuluh darah diotak dan
stroke non haemoragik (stroke iskhemik) adalah stroke yang terjadi karena adanya penyumbatan
yang menyebabkan peredaran darah ke otak berkurang. Apabila distribusi oksigen dan nutrisi di
otak berkurang melalui suplai darah maka akan terjadi iskhemik dan timbulnya gangguan fungsi
pada sel-sel otak yang terkena.
Faktor resiko adalah faktor yang membuat seseorang lebih besar terkena serangan stroke. Faktor
resikonya usia, merokok, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat stroke dalam keluarga, kolesterol,
alkohol, aktivitas fisik, penyakit kardiovaskuler, arterosklerosis, gaya hidup, stress, depresi, dan
kontrasepsioral (Feigin, 2006).
5. Patologi
Stroke non haemoragik adalah stroke yang terjadi oleh peredaran darah ke otak yang membawa
nutrisi dan oksigen berkurang karena adanya sumbatan yang berupa trombus atau emboli.
Trombosis dapat terjadi akibat proses penyempitan lumen pembuluh darah (arterosklerosis) yang
akan berpengaruh terbentuknya trombus. Trombus awalnya terjadi dari kepingankepingan darah
(trombosit) yang mengendap pada dinding pembuluh darah di tunika intima, dimana pada
dindingnya mengalami beberapa kelainan. Semakin banyak pengumpalan trombosit dan didalam
cairan darah terjadi sejumlah perubahan yang akhirnya terbentuknya trombus. Trombus yang
menyumbat sebagian jalan darah disebut trombus mural, sedangkan trombus yang menyumbat
secara total disebut trombus obstruksi.
Emboli terjadi oleh karena adanya kelainan dari arteria carotis communis. Emboli adalah
penyumbatan pembuluh darah oleh bekuan darah yang terbawa alirah darah dari bagian tubuh
lain ke dalam otak, biasanya dari jantung. Emboli dapat berupa jendalan darah, kristal kolesterol,
deposit metatasis, embolus septik, embolus traumatik (karena trauma), atau karena gelembung
nitrogen (sering terjadi pada penyelam dan penerbang) (Rosjidi, 2007).
Ketidak lancaran aliran darah ke otak akan menyebabkan iskhemik (penurunan aliran darah ke
otak) dan mengalami penurunan fungsi bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi
kehilangan fungsi.


6. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada stroke sangat bervariasi, tergantung dengan topisdan luas topis yang lesi.
Tanda-tanda klinis dari penderita stroke terlihat antara lain : gangguan motorik, kehilangan
komunikasi, gangguan persepsi, gangguan hubungan visual-spasial, gangguan sensoris,
gangguan kognitif dan efek psikologis, serta terjadi disfungsi kandung kemih.

7. Komplikasi
Komplikasi yang akan timbul apabila pasien stroke tidak mendapat penanganan yang baik.
Komplikasi yang dapat muncul adalah abnormal tonus, sindrom bahu dan subluksasi bahu.
a. Abnormal tonus
Mengakibatkan tonus otot yang tinggi bahkan timbul spastisitas. Serta dapat menggangu gerak
dan menghambat terjadinya keseimbangan.
b. Sindrom bahu
Pasien merasakan nyeri dan kaku pada bahu yang lesi.
c. Subluksasi bahu
Karena ada kelemahan dari otot manset rotator yang menyebabkan nyeri.

8. Prognosis
Prognosis stroke sulit dipastikan karena ada yang sembuh dan dapat beraktifitas semula namun
ada yang cacat sisa bahkan ada juga yang meninggal. Prognosis stroke ditentukan oleh beberapa
faktor, antara lain : lokasi dan luas area lesi, umur, tipe stroke, cepat lambatnya penanganan serta
kerjasama tim medis dengan pasien dan keluarga.
Bila pasien bisa mengatasi serangan akut, mempunyai prognosis yang baik dan dengan
rehabilitasi yang aktif, banyak pasien dapat beraktifitas dengan sendiri tanpa ketergantungan dari
orang lain.

9. Diagnosa Banding
Beberapa penyakit yang memiliki gejala mirip dengan stroke antara lain trauma kepala,
meningitis (infeksi otak dan selaputnya), gangguan otak akibat hipertensi, massa intrakrainal
(tumor, darah di otak), serangan kejang dengan gangguan saraf yang bersifat sementara
(paralysis Todds), migrant dengan gangguan saraf sementara, gangguan metabolik, gannguan
psikis, dan syok disertai hipoperfusi saraf pusat (Junaidi, 2006). Untuk menegakkan dignosa
yang lebih spesifik dengan Computerized Tomography Scanning (CT Scan), Magnetic
Resonance Imaging (MRI), dan Possitron Emesion Tomography Scanning (PET Scan).







B. Problematik Fisioterapi
Problematik fisioterapi pada pasien stroke stadium recovery menimbulkan tingkat gangguan.

1. Impairment

Yang termasuk dalam kelompok impairment adalah terjadi peningkatan tonus bahkan spastisitas,
pola sinergis, dan gangguan koordinasi dan keseimbangan.

2. Functional limitation

Yang termasuk dalam functional limitation adalah terjadi penurunan kemampuan aktifitas
fungsional keseharian. Seperti gangguan dalam melakukan aktifitas dari tidur terlentang, ke
miring maupun berdiri, dari duduk ke berdiri, berjalan, fungsi anggota gerak atas, dan
pergerakan tangan yang terampil.

3. Disability
Yang termasuk dalam disability adalah terjadi ketidakmampuan melakukan aktifitas sosial dan
berinteraksi dengan lingkungan. Seperti gangguan dalam melakukan aktivitas pertemuan RT /
RW, arisan, kerja bakti, bekerja.

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Pemilihan intervensi fisioterapi harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Dimana dalam metode
pendekatan fisioterapi itu harus banyak variasinya agar pasien tidak bosan dalam melakukan
rehabilitasi. Ada yang berpendapat bahwa pendekatan fisioterapi pada pasien stroke itu tidak
menggunakan satu metode saja melainkan dengan penggabungan yang disusun sedemikian rupa
sesuia dengan kondisi dan kemampuan pasien agar memperoleh hasil yang maksimal.
Pendekatan yang dilakukan fisioterapi antara lain adalah terapi latihan, yang terdiri dari latihan
perbaikan postur, latihan weight bearing, latihan keseimbangan dan koordinasi, dan latihan
aktifitas fungsional.

1. Latihan dengan mekanisme reflek postur

Gangguan tonus otot (spastisitas) secara postural pada pasien stroke, dapat mengakibatkan
gangguan gerak. Melalui latihan dengan mekanisme reflek postur mendekati status normal, maka
seseorang akan lebih mudah untuk melakukan gerakan volunter dan mengontrol spastisitas otot
secara postural (Rahayu, 2002).
Konsep dalam melakukan latihan ini adalah mengembangkan kemampuan untuk mencegah
spastisitas dengan menghambat gerakan yang abnormal dan mengembangkan kontrol gerakan
(Rahayu, 2002). Dalam upaya melakukan penghambatan maka perlu adanya penguasaan teknik
pemegangan (Key Point of Control) (Suyono, 2002).

2. Latihan weight bearing
Bertujuan untuk mengontrol tonus pada ekstrimitas dalam keadaan spastis. Melalui latihan ini
diharapkan mampu merangsang kembali fungsi pada persendian untuk menyangga (Rahayu,
1992 ).
3. Latihan keseimbangan dan koordinasi
Latihan keseimbangan dan koordinasi pada pasien stroke stadium recovery sebaiknya dilakukan
dengan gerakan aktif dari pasien. Latihan aktif dapat melatih keseimbangan dan koordinasi untuk
membantu pengembalian fungsi normal serta melalui latihan perbaikan koordinasi dapat
meningkatkan stabilitas postur atau kemampuan mempertahankan tonus ke arah normal
(Pudjiastuti, 2003). Latihan keseimbangan dan koordinasi pada pasien stroke non haemoragik
stadium recovery dapat dilakukan secara bertahap dengan peningkatan tingkat kesulitan dan
penambahan banyaknya repetisi.

4. Latihan aktifitas fungsional
Pada pasien stroke non haemoragik stadium recovery pasien terjadi gerak anggota tubuh yang
lesi dengan total gerak sinergis sehingga dapat membatasi dalam gerak untuk aktifitas fungsional
dan membentuk pola abnormal. Latihan aktifitas fungsional dimaksudkan untuk melatih pasien
agar dapat kembali melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri tanpa menggantungkan penuh
kepada orang lain.

BAB III
RENCANA PELAKSANAAN STUDI KASUS
Dalam bab ini akan dibahas tentang perencanaan studi kasus yang terdiri dari : A. Rencana
Pengkajian Fisioterapi, B. Rencana Pelaksanaan Fisioterapi, dan C. Rencana Evaluasi Hasil
Terapi.

A. Rencana Pengkajian Fisioterapi
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu tindakan pemeriksaan dengan cara penggumpulan data dengan cara
tanya jawab antara terapi dengan sumber data. Sumber datanya itu berasal dari pasien itu sendiri
(auto-anamnesis) atau orang lain yang dianggap mengetahui keadan pasien (hetero-anamnesis).
Secara umum anamnesis dapat dibagi menjadi :
a. Anamnesis umum
Informasi yang diperoleh dari anamnesis umum ini berisi mengenai identitas pasien, berupa :
nama, jenis kelamin, alamat, agama, dan pekerjaan. Biasanya anamnesis umum kita dapatkan
dari status klinis pasien atau secara auto-anamnesis dan hetero-anamnesis.
b. Anamnesis khusus
Anamnesis khusus ini lebih spesifik dan berisi mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan
penyakit pasien.

1) Keluhan utama
Keluhan yang membawa pasien kepada fisioterapi. Yaitu apa yang anda rasakan saat ini ?.
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang untuk memperinci keluhan utama. Yaitu bagaimana awal mulanya
anda terkena stroke ? (proses kejadiannya ?).
3) Riwayat penyakit penyerta
Riwayat penyakit penyerta ini berhubungan dengan penyakit yang dialami oleh pasien saat ini.
Yaitu apakah anda memiliki penyakit gula ? atau hipertensi ? (kalau bukan keduanya maka
pasien diminta untuk memberikan jawaban mengenai penyakit apa saja yang pernah diderita
pasien).
4) Riwayat penyakit pribadi
Riwayat penyakit pribadi berhubungan dengan pekerjaan, keluarga, hobi dan kebiasaan pasien.
5) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit keluarga berhubungan dengan riwayat penyakit yang diturunkan dari anggota
keluarga. Yaitu apakah ada dari keluarga anda memiliki riwayat penyakit seperti yang anda
alami ?.
c. Anamnesis sistem
Data ini berfungsi untuk melengkapi data yang belum tercakup pada anamnesis diatas. Dan
mencoba untuk mengidentifikasi masalah pasien yang belum diceritakan serta diungkapkan.

1) Kepala dan leher
Berisi pertanyaan kepada pasien yang berupa apakah ada keluhan rasa pusing dan kaku pada
leher anda ?.
2) Kadiovaskuler
Berisi pertanyaan kepada pasien yang berupa apakah ada keluhan rasa nyeri pada dada maupun
terasa berdebar-debar ?.
3) Respirasi
Berisi pertanyaan kepada pasien yang berupa apakah ada keluhan sesak napas ?.
4) Gastrointestinal
Berisi pertanyaan kepada pasien yang berupa apakah ada keluhan rasa mual dan ingin muntah ?
rasa kesulitan saat menelan makanan ? buang air besar terkontrol ?.
5) Urogenital
Berisi pertanyaan kepada pasien yang berupa apakah ada keluhan kesulitan dalam mengontrol
buang air kecil ?.
6) Nervorum
Berisi pertanyaan kepada pasien yang berupa apakah anda merasakan lemah atau berat pada
separuh anggota tubuh gerak ? sebelah mana ? (kanan atau kiri) lebih berat mana antara anggota
gerak atas atau bawah ? apakah ada rasa kesemutan ?.


7) Muskuloskeletal
Berisi pertanyaan kepada pasien yang berupa apakah ada keluhan rasa nyeri pada sendi ? otot ?
pada bagian mana ?.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah suatau pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
lansung pada pasien. Pemeriksaan ini terdiri dari :
a. Vital sign
Pemeriksaan terdiri dari tekanan darah, denyut nadi (normal 60-90 x/menit), pernapasan (normal
18-22 x/menit) dan temperature (normal 36-37 oC).
b. Inspeksi
Kondisi pasien yang harus diperhatikan antara lain sikap, bentuk, ukuran, dan adanya gerak
abnormal yang tidak dapat dikendalikan (Lumbantobing, 2006).
c. Palpasi
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengetahui tonus otot dan juga nyeri tekan yang
dilakukan dengan cara meraba, menekan, dan memegang pada bagian tubuh yang lesi maupun
sehat berguna untuk membandingkan.

3. Pemeriksaan gerak dasar
a. Gerak aktif
Pemeriksaan gerak aktif adalah pemeriksaan gerak yang dilakukan oleh pasien secara aktif.
Fungsinya untuk memeriksa rasa nyeri, LGS, kekuatan otot, dan koordinasi gerak.
b. Gerak pasif
Pemeriksaan gerak pasif adalah pemeriksaan gerak yang dilakukan oleh terapis pada pasien
dalam keadaan rileks. Berfungsi untuk memeriksa rasa nyeri, LGS, kekuatan otot, dan kelenturan
otot.

4. Pemeriksaan khusus
a. Pemeriksaan reflek
1) reflek normal
Reflek adalah gerakan muskuloskleletal yang timbul sebagai jawaban atas rangsangan. Reflek
tendo merupakan reflek otomatis yang timbul atas jawaban terhadap stimulasi tendo.
Pada stroke stadium kronik akan terjadi lesi UMN sehingga timbul hiperrefleksi karena
terputusnya impuls-impuls inhibisi pada ekstrapiramidal maupun piramidal yang berakibat
kepekaan muscle spindel. Reflek tendo yang diperiksa antara lain reflek tendo bicep, patella dan
achiles.
a) Reflek tendo biceps
Reflek tendo biceps positif jika terjadi gerakan fleksi lengan bawah. Dengan cara terapis
memegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari di atas tendo
biceps. Kemudian ibu jari terapis diketok dengan hammer.
b) Reflek tendo patella
Reflek tendo patella positif jika terjadi gerakan ekstensi pada tungkai bawah. Dengan cara lutut
pasien diposisikan fleksi dan digantungkan pada tepi bed (pasien pada posisi duduk) atau
digantungkan pada tangan terapis (pasien pada posisi tidur terlentang). Kemudian diketok
dengan hammer pada tendo bawah atau atas patella.
c) Reflek tendo Achilles
Reflek tendo achilles positif jika terjadi gerak plantar fleksi pada kaki. Dengan cara tungkai
pasien di sangga oleh tangan terapis (posisi tungkai pasien jadi eksorotasi dan semifleksi lutut).
Kemudian tendo achilles diketok dengan hammer.
2) reflek patologis
Lesi UMN juga dapat meningkatkan reflek patologis. Hiperrefleksi sering diikuti oleh klonus
yang ditandai dengan gerak otot reflek torik (reflek tendo) yang bangkit atau timbul secara
berulang-ulang selama perangsangan masih ada.
a) Klonus kaki
Klonus kaki positif bila timbul kontraksi secara berulang-ulang dari otot gastocnemius denga
cara menggerakan ankle ke arah dorsofleksi secara cepat.
b) Klonus paha
Klonus paha positif bila timbul kontraksi secara berulang-ulang dari otot quadriceps femoris
dengan cara menekan dan mendorong patela ke distal.
c) Reflek babinsky
Reflek babinsky positif bila tampak ada respon berupa dorsofleksi ibu jari dan abd jari-jari kaki
dengan cara menggores tumit ke atat dengan melewati bagian lateral telapak kaki dan setelah
sampai kelingking kaki, belok ke medial hingga pangkal jempol kaki.

d) Reflek chaddock
Reflek chaddock positif bila tampak ada respon seperti reflek babinsky dengan cara
menggoreskan kulit dorsum kaki bagian lateral dari bawah ke atas
e) Reflek oppenheim positif bila tampak ada respon seperti reflek babinsky dengan cara
menggoreskan dari proksimal ke distal secara keras terhadap kulit yang menutupi tulang tibia.
b. Pemeriksaan sensoris
Pemeriksaan sensoris pada pasien stroke stadium recovery meliputi pemeriksaan sentuhan
ringan, pemeriksaan taktil / penekanan, pemeriksaan kinesthesia, dan pemeriksaan propioseptik
(lihat tabel 3.1).
TABEL 3.1 PEMERIKSAAN SENSORIS
Cara dan Tujuan Respon
Pemeriksaan sentuhan ringan
Daerah yang di tes menggunakan jari tangan terapis. Pasien disuruh menjawab ya jika
merasakan dan tidak jika tidak merasakan.
Pemeriksaan taktil / penekanan
Dengan cara melakukan penekan yang kuat pada daerah kulit yang tidak ada rambutnya dengan
ibu jari atau jari-jari terpis. Pasien diminta menerangkan dan menyatakan bila ia merasakan
rangsangan dan diminta pula untuk menjelaskan derajat stimulus (ringan, moderat, dan tekanan
dalam) dan letak stimulus.
Pemeriksaan kinesthesia
Untuk memeriksa persepsi sensasi gerak. Anggota gerak yang diperiksa digerakan secara pasif
pada LGS tertentu dan gerak tertentu. Pasien diminta menjelaskan secara arah dan LGS yang
dirasakan (misalnya : ke atas, ke bawah, menekuk, lurus, ke luar, dsb.).
Pemeriksaan propioseptif
Digunakan untuk menentukan kesadaran tentang perasaan posisi sendi. Terapis menggerakkan
anggota gerak dengan LGS tertentu.
Pasien diminta untuk menirukan gerakan tersebut dengan anggota gerak pada samping yang lain
atau secara verbal menjelaskan arah dan LGS-nya.

(Pudjiastuti, 2003)
c. Pemeriksaan spastisitas
Pemeriksaan dilakukan dengan cara melakukan gerakan pasif berulang-ulang dan palpasi untuk
mengetahui ada tidak peningkatan tonus serta ada tidaknya keterbatasan dalam gerak sendi.
Dilakukan pada anggota tubuh yang lesi, pada umumnya dilakukan pada sendi siku dan lutut.
Dilakukan dengan skala Asworld (lihat table 3.2).
TABEL 3.2 PEMERIKSAAN SPASTISITAS DENGAN SKALA ASWORTH
Grade Keterangan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot.
1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terasanya tahanan minimal pada akhir
ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi.
2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian gerakan pada
pertengahan ROM dan diikuti dengan adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM.
3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM, tapi sendi masih mudah
digerakan.
4 Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak pasif sulit dilakukan.
5 Sendi atau ekstremitas kaku atau rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi.

(OSulivan, 1988, dikutip oleh Setiawan, 2007)

d. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi
1) Pemeriksaan keseimbangan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keseimbangan pasien. Pemeriksaan yang
digunakan sangat banyak variasinya diantaranya Tes Pastor atau Tes Marsden, dimana terapis
berdiri dibelakang pasien dan memberikan tarikan yang mengejutkan pada bahu pasien ke
belakang dengan mata pasien tetap terbuka dan pasien diminta untuk mempertahankan agar tidak
jatuh. Dilakukan selama 30 detik. Respon pasien dinilai dengan skala (lihat tabel 3.3).
TABEL 3.3 PENILAIAN KESEIMBANGAN
Nilai Keterangan
0 Tetap berdiri tegak tanpa melangkah ke belakang.
1 Berdiri tegak dengan mengambil satu langkah ke belakang untuk mempertahankan stabilitas.
2 Mengambil dua atau lebih langkah ke belakang tetapi mampu meraih keseimbangan lagi.
3 Mengambil beberapa langkah ke belakang tetapi tak mampu meraih keseimbangan lagi dan
memerlukan bantuan terapis untuk membantu meraih kesimbangan.
4 Jatuh ke belakang tanpa mencoba mengambil langkah ke belakang.

(Setiawan, 2007)

2) pemeriksaan koordinasi
Pemeriksaan koordinasi non-ekuilibrium meliputi jari ke hidung, jari pasien ke jari terapis, jari
ke jari tangan yang lain, menyentuh hidung dan jari tangan bergantian, gerak oposisi jari tangan,
menggenggam, pronasi-supinasi, rebound test, tepuk tangan, tepuk kaki, menunjuk, tumit ke
lutut, tumit ke jari kaki, jari kaki menujuk jari tangan terapis, tumit menyentuh bawah lutut,
menggambar lingkaran dengan tangan, menggambar lingkaran dengan kaki, mempertahankan
posisi anggota gerak atas, dan mempertahankan posisi anggota gerak bawah. Pemeriksaan
dilakukan pada kedua anggota tubuh atas maupun bawah dan dapat dicatat pada formulir tes dari
Sulivan dan Schmitz (lihat tabel 3.4). Dan juga tiap point mempunyai penilaian dari satu sampai
lima dengan kriteria tertentu (lihat tabel 3.5).

TABEL 3.4 PEMERIKSAAN KOORDINASI NON-EKUILIBRIUM
Nilai
Kiri Tes
Koordinasi Nilai
Kanan Keterangan

Jari ke hidung
Jari pasien ke jari terapis
Jari ke jari tangan yang lain
Menyentuh hidung dan jari tangan bergantian
Gerak oposisi jari tangan
Menggenggam
Pronasi-supinasi
Rebound test
Tepuk tangan
Tepuk kaki
Menunjuk
Tumit ke lutut
Tumit ke jari kaki
Jari kaki menujuk jari tangan terapis
Tumit menyentuh bawah lutut
Menggambar lingkaran dengan tangan
Menggambar lingkaran dengan kaki
Mempertahankan posisi anggota gerak atas
Mempertahankan posisi anggota gerak bawah
Keterangan
Tambahan :

(OSullivan, 1994, dikutip oleh Pudjiastuti, 2003)






TABEL 3.5 PEMERIKSAAN KOORDINASI NON-EKUILIBRIUM
Nilai Keterangan
1 Tidak mampu melakukan aktivitas
2 Keterbatasan berat, hanya dapat mengawali aktivitas, tetapi tidak lengkap
3 Keterbatasan sedang, dapat menyelesaikan aktivitas, tetapi koordinasi tampak menurun dengan
jelas, gerakan lambat, kaku, dan tidak stabil.
4 Keterbatasan minimal, dapat menyelesaikan aktivitas dengan kecepatan dan kemampuan lebih
lambat sedikit disbanding normal
5 Kemampuan normal

(OSullivan, 1994, dikutip oleh Pudjiastuti, 2003)

e.Pemeriksaan kognitif, intrapersonal, dan sosial
1) Pemeriksaan kognitif dan intrapersonal
Pemeriksaan kognitif merupakan pemeriksaan kemampuan intelektual pasien yang meliputi
kompone atensi, konsentrasi memori, pemecahan masalah, pengambilan sikap, integrasi belajar
dan proses komprehensif. Salah satunya tes fungsi kognitif dan intrapersonal adalah tes status
mini mental (lihat tabel 3.6). Tes ini dilakukan secara sederhana dan cepat dengan alat ukur
kuesioner dengan nilai yang telah ditentukan dengan waktu mengerjakan 5-10 menit dan apabila
semua jawaban benar mendapat nilai 30 (lihat tabel 3.7).







TABEL 3.6 TES STATUS MINI MENTAL
No Soal Jawaban
1 Tanggal berapa hari ini ?
(tanggal, bulan,tahun)
2 Hari apakah hari ini ?
3 Apakah nama tempat ini ?
4 Di jalan apakah rumah bapak / ibu berada ?
5 Berapakah umur bapak / ibu ?
6 Kapan bapak / ibu lahir ?
7 Siapakah nama gubernur / bupati / walikota sekarang ?
8 Siapakah nama gubernur / bupati / walikota sebelumnya ?
9 Siapakah nama ibumu sebelum menikah ?
10 Hitung mundur 3 langkah dari 20 dan seterusnya ?

(Pudjiastuti, 2003)

TABEL 3.7 PENILAIAN TES STATUS MINI MENTAL
Penilaian Keterangan
0-2 kesalahan Intelek utuh
3-4 kesalahan Gangguan intelek ringan
5-7 kesalahan Gangguan intelek sedang
8-7 kesalahan Gangguan intelek berat
Keterangan :
@ Dapat diijinkan tambahan 1 kesalahan bila pasien tidak pernah sekolah
@ Kurangi 1 perolehan kesalahan bila pasien sekolah di atas SMU

(Pudjiastuti, 2003)

2) Pemeriksaan interpersonal dan sosial
Pemeriksaan interpersonal dan sosial untuk menilai kemampuan berinteraksi dengan semuanya
baik keluarga, masyarakat dan dengan terapis sendiri. Pemeriksaan dilakukan dengan
pengamatan dan tanya jawab dari pasien maupun keluarga.
f. Pemeriksaan kemampuan motorik fungsional
Pemeriksaan kemampuan motorik fungsional dengan MMAS (Modified of Motor Assesment
Scale) (formulir terlampir).

B. Rencana Pelaksanaan Fisioterapi
Terapi dilaksanakan dengan melihat kondisi pasien terlebih dahulu melalui anamnesis dan
berbagai macam pemeriksaan yang tealah ada. Berdasarkan promblematik fisioterapi maka
tujuan jangka pendek adalah latihan memperbaiki postur dengan cara menghambat, mengontrol
tonus otot (spastisitas) secara postural serta meningkatkan keseimbangan dan koordinasi. Dan
tujuan jangka panjang adalah untuk meningkatkan kemampuan fungsional agar dalam aktifitas
kesehariannya mampu melakukan aktifitas tanpa ketergantungan penuh kepada orang lain atau
secara mandiri.
Pemberian latihan pasien stroke akibat trombosit dan emboli, jika tidak ada komplikasi lain dapat
dimulai setelah 2-3 hari setelah serangan dan bilaman terjadi perdarahan subarachnoid dimulai
setelah 2 minggu. Pada trombosis atau emboli yang ada infark miokard tanpa komplikasi yang
lain dimulai setelah minggu ke 3 dan apabila tidak terdapat aritmia mulai hari ke 10 [Sodik,
2002]. Dilakukan secara rutin dengan waktu latihan antara 30-60 menit yang terbagi dalam tiga
sesi. Dan tiap sesi diberikan istirahat 5 menit. Namun apabila pasien terlihat lelah, ada perubahan
wajah dan ada peningkatan menonjol tiap latihan pada vital sign, maka dengan segera harus
dihentikan.
Rencana pelaksanaan terapi dengan terapi latihan antara lain :
1. Latihan dengan mekanisme reflek postur. Dilakukan secara rutin dengan membutuhkan waktu
15-30 detik selama 15 menit (Kisner, 1996).

a. Menghambat total pola gerak trunk
1) Gerak fleksi trunk
Pasien tidur terlentang dengan posisi awal crook lying, terapis berada disamping sisi lesi pasien
dengan satu tangan terapis berada di bahu pasien dan tangan yang lain berada di lutut atas pasien.
Lalu terapis membantu untuk menahan gerakan tadi agar pasien tidak jatuh ke belakang (lihat
gambar 3.1 a). Namun apabila pasien dapat menahan dengan sendiri maka tidak perlu ada
bantuan dari terapis (lihat gambar 3.1 b).

gambar 3.1 a gambar 3.1 b
Gerak fleksi trunk (Davies, 1990)



2) Gerak rotasi trunk
Pasien duduk di bed. Kedua tangan pasien berada di samping tubuh dengan diikuti gerakan
miring dari kepala dan trunk. Dimana terapis berada di samping sisi lesi pasien. Gerakan dimulai
dari miring ke sisi sehat. Tapi siku yang lesi harus tetap lurus (lihat gambar 3.2 a). Atau
dilakukan pada saat tidur terlentang (lihat gambar 3.2 b).

gambar 3.2 a gambar 3.2 b
Gerak rotasi trunk (Davies, 1985)

3) Gerak side fleksi trunk
Pasien duduk di bed. Tangan sisi pasien berada di bahu terapi, kedua tangan terapis berada di
pinggang pasien yang lesi. Lalu terapis menarik tangannya sehingga terjadi gerak side fleksi ke
sisi tubuh yang sehat (lihat gambar 3.3). Gerakan tadi diulang pada sisi tubuh yang berlawanan.


gambar 3.3
Gerak side fleksi trunk (Davies, 1990)

4) Gerak ekstensi trunk
Pasien duduk di bed dan terapis berada di depannya. Satu tangan terapis berada dipunggung
pasien dan tangan terapis yang lain berada di dada pasien. Lalu terapis menekan punggung
pasien dan menahan dada pasien (lihat gambar 3.4).

gambar 3.4
Gerak ekstensi trunk (Davies, 1985)





b. Menghambat spastisitas ekstensor tungkai.
1) Posisi tidur dengan gerak aktif dari pasien
Pasien tidur terlentang dengan lutut ditekuk kedua tangan pasien saling mengenggam (dimana
yang lesi berada di atas) berada di atas lututnya hingga timbul reaksi kepala terangkat namun
kedua siku pasien tetap lurus dan terapis berada disamping sisi lesi pasien. Untuk itu satu tangan
terapis berada di siku yang lesi sedangkan tangan terapis yang lain berada di depan lutut pasien
(gerakan boleh full fleksi tapi siku pasien tetap lurus) (lihat gambar 3.5).

gambar 3.5
Gerak menghambat spastisitas ekstensor tungkai (Davies, 1985)

2) Posisi tidur dengan gerak pasif dari terapis
Pasien tidur terlentang, satu tangan terapis di lutut dan tangan yang lain di kaki. Lalu secara
gerak pasif, terapis menggerakan lutut ke arah fleksi diikuti gerak fleksi hip dan setelah itu
terapis menggerakan kaki ke arah dorsofleksi plus pronasi, semua gerakan dilakukan secara
bersamaan (lihat gambar 3.6).

gambar 3.6
Gerak menghambat spastisitas ekstensor tungkai (Davies, 1985)

3) Posisi duduk dengan gerak pasif dari terapis
Pasien duduk di bed dengan fleksi hip dan fleksi lutut, kedua tangan terapis memegang kaki
pasien dan secara pasif dan penekanan kaki ke arah dorsofleksi dan pronasi (lihat gambar 3.7).

gambar 3.7
Gerak menghambat spastisitas ekstensor tungkai (Davies, 1985)



c. Menghambat spastisitas dengan mengontrol tungkai pada luas gerak sendi (LGS) tertentu.
Satu tangan terapis berada pada lutut dan tangan yang lain berada di kaki. Terapis menggerakkan
lutut ke arah fleksi dan menggerakkan kaki plus pronasi, pada LGS tertentu ke dua tangan terapis
menghentikan gerakan tersebut dan secara perlahan ke dua tangan terapis menggurangi pegangan
hingga di lepas. Lalu pasien di minta menahan tungkai pada posisi tersebut tanpa gerakan add
dan internal rotasi (lihat gambar 3.8 a). Dan setelah beberapa saat pasien juga meminta untuk
melakukan gerakan ke add dan internal rotasi secara aktif tapi pada LGS yang kecil (lihat
gambar 3.8 b).

gambar 3.8 a gambar 3.8 b
Gerak mengontrol tungkai (Davies, 1985)

d. Menghambat spastisitas pada lengan saat berdiri.
Kedua lengan pasien dibawa ke belakang oleh terapis dengan siku lurus ke belakang dan tangan
ekstensi, kemudian pasien di minta melakukan gerakan mendorong tangan ke belakang (lihat
gambar 3.9 a). Atau dilakukan oleh pasien (gambar 3.9 b).

gambar 3.9 a gambar 3.9 b
Gerak menghambat spastisitas lengan saat berdiri (Davies, 1985)

e. Menghambat spastisitas pada lengan saat berjalan
Terapis disamping sisi lesi pasien dengan mengunci siku tetap lurus dan pergelangan tangan
tetap ekstensi (lihat gambar 3.10 a). Atau terapis berada di belakang pasien dengan membawa
kedua lengan pasien ke belakang dengan siku lurus dan tangan ekstensi (lihat gambar 3.10 b).
gambar 3.10 a (Jenny, 2005) gambar 3.10 b (Davies, 1985)
Gerak menghambat spastisitas pada lengan saat berjalan

f. Menghambat spastisitas ektensor tungkai pada saat berdiri
Terapis menggerakkan lutut pasien ke arah fleksi dengan mengangkat tungkai bawah pasien
yang lesi. Terapis berdiri berada di belakang pasien dan memegang tungkai bawah diantara lutut.
Terapis memberanikan diri untuk memegang pelvis dan membuat paha relaks ke lutut (lihat
gambar 3.11 a). Lalu secara perlahan tungkai bawah diletakkan kembali hingga menyentuh lantai
oleh terapis (lihat gambar 3.11 b).

gambar 3.11 a gambar 3.11 b
Gerak menghambat spastisitas ektensor tungkai pada saat berdiri (Davies, 1985)

g. Latihan weight bearing
Pasien duduk di bed, ke dua lengan berada di belakang, terapis di belakang pasien, lalu pasien di
minta untuk memindahkan berat tubuh ke belakang dengan menumpu ke dua lengan.






2. Latihan keseimbangan dan koordinasi
a. Latihan keseimbangan
1) Posisi duduk
Pasien duduk di bed dengan kedua tangan pasien abd 900, terapis di belakang pasien dengan
memegang salah satu tangan pasien dan tangan yang lain memfiksasi pada bahu yang
kontralateral. Lalu terapis menarik tangan pasien secara perlahan ke arah samping secara
perlahan dan pasien di minta untuk mempertahankan keseimbangan agar tidak jatuh ke samping.
Setelah itu dilakukan pada tangan yang lain dengan prosedur yang sama.
2) Posisi berdiri
Pasien berdiri dengan tumpuan 10 cm, terapis memfiksasi pada pevis pasien, lalu terapis
menggerakkan ke depan, belakang, samping kanan dan samping kiri dan pasien di minta agar
menjaga keseimbangan agar tidak jatuh.
b. Latihan koordinasi
Dilakukan pada posisi berdiri maupun duduk untuk gerak jari ke hidung, jari pasien ke jari
terapis, jari ke jari tangan pasien, gerak oposisi jari tangan dan gerakan lain yang ada pada
pemeriksaan koordinasi non ekuilibrium. Pasien duduk atau berdiri dengan kedua lengan ke
depan (fleksi sendi bahu 900) sehingga ke dua jari telunjuk pasien dan terapis saling
bersentuhan, lalu pasien di minta mempertahankannya setelah itu pasien di minta mengikuti
gerakan tangan terapis, usahakan jari telunjuk masih saling bersentuhan selama pergerakan
tangan terapis.




3. Latihan fungsional
a. Latihan bridging
Pasien tidur terlentang, hip dan lutut fleksi, kedua lengan pasien di samping tubuh dan terapis
berada di samping sisi lesi pasien. Lalu pasien di minta untuk melakukan gerakan mengangkat
panggul namun tidak boleh terlalu lama (lihat gambar 3.11.1). Selanjutnya latihan breajing
dilakukan pada sisi lesi saja (lihat gambar 3.11.2)

gambar 3.12 a gambar 3.12 b
latihan bridging (Davies, 1985)

b. Latihan persiapan berdiri dari posisi duduk
Pasien duduk di kursi dengan telapak kaki menyentuh lantai, dengan posisi tangan saling
menggenggam (yang lesi di atas) dan di depannya ada stool yang tingginya lebih rendah sedikit
dari kursi pasien. Terapis memandu pasien untuk mengangkat hipnya dari kursi dan menarik
lutut ke depan dengan satu tangan terapis dan membantunya untuk memindahkan berat badan
dengan tangan terapis yang lain yang berada di pantat (lihat gambar 3.13 a).
Apabila pasien sudah mampu melakukan gerakan di atas maka tangan pasien dapat diletakkan di
stool dan terapis berada di samping sisi lesi pasien dengan satu tangan menjaga siku tetap lurus
dan tangan terapis yang lain di pantat agar tidak jatuh ke belakang (lihat gambar 3.13 b).

gambar 3.13 a gambar 3.13 b
Latihan persiapan berdiri dari posisi duduk (Davies, 1985)

c. Latihan duduk ke berdiri
Pasien butuh bantuan secukupnya untuk fleksi hip dan membawa ke depan dengan spine tetap
ekstensi. Pasien duduk di kursi dengan menggenggam tangan (yang lesi di atas) pada posisi sendi
bahu 900 dan ekstensi siku, lalu terapis melakukan gerak pasif dengan penekanan spine lalu
pasien mengangkat tangan dan melakukan gerak ekstensi punggung (terapis berada di samping
sisi lesi pasien) (lihat gambar 3.14). Setelah itu terapis melakukan gerakan dari duduk ke
berdiri,dimana satu tangan terapis menyangga pada pergelangan tangan dan tangan yang lain
memegang celana / sabuk di bagian belakang pasien, lalu pasien di minta gerak membungkuk,
mengayukan tangan ke atas dan gerak hip serta lutut lurus dan terapis membantu untuk
mengangkat tangan pasien ke atas hingga timbul reaksi berdiri.

gambar 3.14
Latihan duduk ke berdiri (Davies, 1985)

d. Latihan weight bearing pada posisi berdiri
Pasien berdiri dan terapis berada disamping sisi lesi pasien, lalu pasien di minta untuk
memindahkan kaki ke depan dan diikuti pemindahan berat badan ke depan dan ke belakang.
Namun kaki sehat dulu untuk menumpu baru sisi yang lesi dan terapis tetap menjaga agar tidak
jatuh ke depan pada saat kaki yang lesi ke depan dengan mengunci pada lututnya.
e. Latihan berjalan
Terapis memfiksasi pada bahu pasien dan berada di depan pasien sehingga antara pasien dan
terapis saling berhadapan, dan tangan pasien memegang bahu terapis (lihat gambar 3.15 a).
Namun sebelum berjalan terapis terlebih dahulu memberitahu kepada pasien apabila saat terjadi
gerakkan sendi bahu ke depan, pasien harus meluruskan sendi panggul agar tidak bergerak
namun tungkai yang berada pada sisi berlawanan dengan sendi bahu yang bergerak ke depan
harus bergerak ke depan (sehingga terjadi gerak kontralateral antara sendi bahu dengan tungkai).
Setelah itu dilatih jalan dengan adanya tingkat-tingkatan yakni pegangan terapis masih pada bahu
pasien namun terapis berada di belakang pasien (lihat gambar 3.15 b). Dan yang terakhir
pegangan di pelvis dan posisi pasien berada di belakang pasien (lihat gambar 3.15 c).

gambar 3.15 a gambar 3.15 b gambar 3.15 c
Latihan berjalan (Davies, 1985)
C. Rencana Evaluasi
Rencana evaluasi berguna untuk mengetahui dan membandingkan seberapa jauh tingkat
keberhasilan terapi yang diberikan sebelum dan sesudah terapi. Rencana evaluasi yang akan
dilakukan penulis ada dua macam yaitu evaluasi sesaat untuk memonitoring vital sign pasien
sebelum dan sesudah terapi dan berguna juga untuk memantau apakah latihan tersebut di
lanjutkan atau dihentikan dan evaluasi secara bertahap dilakukan sebelum terapi, setelah terapi
dan biasanya dilakukan pada awal, pertengahan dan akhir dengan menggunakan parameter
tertentu, di mana penulis menggunakan evaluasi spastisitas dengan skala Asword, evaluasi
kemampuan koordinasi dengan formulir tes dari Sulivan dan Schmitz, evaluasi kemampuan
keseimbangan dengan tes pastor atau marsden dan evaluasi kemampuan motorik fungsional
dengan MMAS (Modified of Motor Assesment Scale).

Anda mungkin juga menyukai