Anda di halaman 1dari 2

Sel adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari kehidupan.

Aktifitasnya memerlukan energi dari luar untuk proses pertumbuhan,


perbaikan dan reproduksi. Ketika mengalami stres fisiologis atau rangsang
patologis, sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Namun bila kemampuan adaptif berlebihan sel
mengalami jejas. Dalam batas tertentu bersifat reversibel dan sel kembali ke
kondisi semula. Stres yang berat atau menetap menyebabkan cedera
ireversibel dan sel yang terkena mati (Cotran et al., 2003).
Penyebab cedera sel : deprivasi oksigen, infeksi, reaksi imun, defek
genetik, ketidakseimbangan nutrisi, obat-obatan dan bahan kimia (Robbins et
al., 2007).
alkohol termasuk sebagai bahan kimia dapat menyebabkan jejas sel. Bahan tersebut
dapat menyebabkan kerusakan pada tingkat seluler dengan mengubah permeabilitas
membran, homeostasis osmotik, keutuhan enzim atau kofaktor dan dapat berakhir
dengan kematian seluruh organ. Zat kimia menginduksi cedera sel melalui cara
langsung bergabung dengan komponen molekuler atau organel seluler. Pada kondisi ini
kerusakan
terbesar tertahan oleh sel yang menggunakan, mengabsorpsi, mengekskresi,
atau mengonsentrasikan senyawa.
Seperti halnya hati, ginjal juga rawan terhadap zat-zat kimia. Oleh
karena itu, zat kimia yang terlalu banyak berada di dalam ginjal diduga akan
mengakibatkan kerusakan sel, seperti piknosis dan kongesti. Piknosis atau
pengerutan inti merupakan homogenisasi sitoplasma dan peningkatan
eosinofil. Piknosis merupakan tahap awal kematian sel (nekrosis). Tahap
berikutnya yaitu inti pecah (karioreksis) dan inti menghilang (kariolisis).
Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di dalam sel antara lain
kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan aparatus
golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida sehingga
tertimbun dalam sitoplasma sel. Pada ginjal, piknosis paling banyak terjadi
pada tubulus proksimalis karena di tubulus inilah terjadi proses reabsorbsi
sehingga peluang terjadinya kerusakan akibat dari toksikan paling tinggi.
Nekrosis merupakan kematian sel jaringan akibat jejas saat individu masih
hidup. Secara mikroskopik terjadi perubahan inti (nukleus) yaitu inti menjadi
keriput, tidak vasikuler lagi dan tampak lebih padat, warnanya gelap hitam
(karyopiknosis), inti pucat tidak nyata (kariolisis), dan inti terpecah-pecah
menjadi beberapa gumpalan (karioreksis) (Himawan, 1992).
Nekrosis dapat disebabkan oleh bermacam-macam agen etiologi dan
dapat menyebabkan kematian dalam beberapa hari seperti zat toksik dan
logam berat, gangguan metabolik dan infeksi virus (Thomas, 1988). Nekrosis
Universitas Sumatera Utara
32
tubulus adalah lesi ginjal yang reversibel dan timbul pada suatu sebaran
kejadian klinik. Menurut Cotran (1995), kerusakan ginjal berupa nekrosis
tubulus disebabkan oleh sejumlah racun organik. Hal ini terjadi karena pada
sel epitel tubulus terjadi kontak langsung dengan bahan yang direabsorbsi,
sehingga sel epitel tubulus ginjal dapat mengalami kerusakan berupa
degenerasi lemak ataupun nekrosis pada inti sel ginjal.
proses ekskresi obat yang
berlangsung di ginjal dapat menimbulkan dampak buruk bagi ginjal itu sendiri.12
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa macam faktor yang salah satunya adalah
walaupun berat ginjal hanya sekitar 0,4% dari berat badan, tetapi ginjal menerima
darah sebesar 20% dari curah jantung melalui arteri renalis. Tingginya aliran
12
darah yang menuju ginjal inilah yang menyebabkan berbagai macam obat dan
bahan-bahan kimia dalam sirkulasi sistemik dikirim ke ginjal dalam jumlah yang
besar. Zat-zat toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan kerusakan
bagi ginjal tersebut.13,14
Faktor predisposisi lain yang mengakibatkan sel tubulus mudah rusak
adalah luasnya bidang permukaan reabsorbsi tubulus, metabolic rate yang tinggi,
tingginya konsumsi oksigen untuk melakukan fungsi transpor dan reabsorbsi juga
kemampuan tubulus untuk mengkonsentrasi zat.15 Selain itu, sistem transpor aktif
untuk ion, asam-asam organik, protein dengan berat molekul rendah, peptida, dan
logam-logam berat sebagian besar terjadi di tubulus proksimal sehingga
menyebabkan toktisitas dan akumulasi tubulus proksimal yang pada akhirnya
mengakibatkan kerusakan tubulus proksimal. Epitel tubulus proksimal yang
longgar mempermudah masuknya berbagai macam komponen ke dalam sel
tubulus juga diduga sebagai hal yang turut mempengaruhi kerusakan tubulus.
Selain menimbulkan kerusakan tubulus secara langsung, zat-zat toksik
juga memiliki kemampuan untuk merusak tubulus dengan cara mempengaruhi
sistem hemodinamik. Beberapa zat toksik dapat merubah hemodinamik intrarenal
yang memicu terjadinya vasokonstriksi. Konstriksi arteriol dan obstruksi tubulus dapat
menyebabkan nekrosis
tubuler akut (NTA).
Patogenesis Nekrotik Tubular Akut (NTA) dapat terjadi karena
berkurangnya aliran darah ke ginjal sebagai akibat suatu penurunan tekanan
Universitas Sumatera Utara
33
darah. Karena epitel tubulus-tubulus ginjal terutama tubulus proksimal sangat
peka terhadap suatu iskemia, maka jaringan ini dalam batasbatas tertentu
akan mengalami kerusakan, walaupun sisa jaringan ginjal lainnya tampak
seperti tidak mengalami kelainan. NTA dapat juga disebabkan karena
keracunan, misalnya zat kimia, air raksa atau karbon tetraklorida. Efeknya
terhadap epitel tubulus langsung akibat kontak antara racun yang kemudian
diekskresi dalam urin dengan epitel ini (Alpers dan Fogo, 2007).

Anda mungkin juga menyukai