Anda di halaman 1dari 369

ISBN : 978-979-8257-35-3

PROSIDING SEMINAR NASIONAL


PEKAN KENTANG 2008


PENINGKATAN PRODUKSI KENTANG
DAN SAYURAN LAINNYA DALAM MENDUKUNG
KETAHANAN PANGAN, PERBAIKAN NUTRISI,
DAN KELESTARIAN LINGKUNGAN


Lembang, 20 s.d. 21 Agustus 2008




Vol.2










DEPARTEMEN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA
2 0 0 9


ISBN : 978-979-8257-35-3


PROSIDING SEMINAR NASIONAL
PEKAN KENTANG 2008

i x + 358 halaman, 18 cm x 25 cm, cetakan pertama Mei 2009


PENINGKATAN PRODUKSI KENTANG
DAN SAYURAN LAINNYA DALAM MENDUKUNG
KETAHANAN PANGAN, PERBAIKAN NUTRISI,
DAN KELESTARIAN LINGKUNGAN

Lembang, 20 s.d. 21 Agustus 2008

Vol. 2

Penyunting :
Prof. Riset Dr.Ir. Widjaja W.Hadisoeganda, MSc. (Nematologi)
Prof. Riset Dr. Ir. Azis Azirin Asandhi (Agronomi)
Prof. Riset Dr. Ir. Ati Srie Duriat (Virologi)
Dr. Ir. Nikardi Gunadi, MS (Agronomi)
Dr. Ir. Laksminiwati Prabaningrum, MS (Entomologi)
Dr. Ir. Eri Sofiari (Pemuliaan)
Dr. Ir. Rofik Sinung Basuki (Sosial Ekonomi)
Ir. Nunung Nurtika, MS (Agronomi)
Ir. Asih Kartasih Karyadi (Pemuliaan)


R

edaksi Pelaksana :
Ketua : Tonny K. Moekasan
Sekretaris : Laksminiwati Prabaningrum
Pembantu pelaksana : Mira Yusandiningsih, Rini Murtiningsih, Tri Handayani,
Gina Aliya Sopha, Rezeki Amalia
Tata letak dan kulit muka : Tonny K. Moekasan



Penerbit :
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN

Jl. Raya Ragunan No. 29A Pasarminggu
PO Box. 122 Jkpsm Jakarta 12540
Telepon : 021-7805768-7890990; Fax. : 021-7805135
e-mail : pushor@rad.net.id; pushorti@yahoo.com
Website : www.litbanghortikultura.go.id



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008






KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah dan hidayahnya, sehingga Prosiding Seminar
Nasional Pekan Kentang 2008 dengan topik Peningkatan Produktivitas
Kentang dan Sayuran Lainnya dalam Mendukung Ketahanan Pangan,
Perbaikan Nutrisi, dan Kelestarian Lingkungan dapat kami selesaikan.
Tujuan penerbitan prosiding ini adalah untuk memberikan informasi
mengenai potensi dan prospek tanaman kentang dan sayuran lainnya
dalam mendukung ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, dan kelestarian
lingkungan.
Prosiding ini merupakan kompilasi makalah yang dipresentasikan
secara oral dan yang disajikan dalam bentuk poster, yang merupakan
hasil penelitian ataupun resume dari pemakalah, baik yang berasal dari
perguruan tinggi, swasta, maupun balai-balai penelitian lingkup Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian sendiri. Prosiding ini terdiri atas
dua volume, yaitu volume-1 berisi makalah tentang kentang dan volume-2
berisi makalah tentang sayuran lainnya.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada peserta seminar, Dewan Redaksi dan
panitia yang membantu dalam penyelenggaraan seminar dan penyusunan
prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi semua pihak sebagai
bahan referensi pengembangan kentang dan tanaman sayuran lainnya di
Indonesia dalam perspektif mendukung ketahanan pangan dan
pengentasan kemiskinan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
v


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
vi

















































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
vii

DAFTAR ISI


Hal
KATA PENGANTAR ................................................................

DAFTAR ISI ..............................................................................

V

vii

SAYURAN LAIN
A. Pemuliaan dan Teknologi Benih
1. Keragaan Produksi dan Kualitas Cabai Merah
Varietas Jawara dan ST 555 Hasil Uji Adaptasi di
Empat Lokasi Sentra Produksi di Jawa Timur
(Baswarsiati, Diding Rahmawati, dan Abu) ...............

521
2. Perbaikan Daya Hasil Varietas Lokal Cabai melalui
Persilangan Antar Varietas (Rinda Kirana) ...............

532
3. Pengaruh Waktu Panen Polong terhadap Kualitas
Benih Dua Kultivar Kacang Buncis Rambat
(Phaseolus vulgaris L.) (Diny Djuariah) ....................

542
4. Perbandingan Daya Hasil dan Karakteristik Dua
Puluh Tujuh Strain Jamur Tiram (Pleurotus spp.)
(Diny Djuariah dan Etty Sumiati) ...............................

557
5. Seleksi Ketahanan Penyakit Bercak Daun Kering
(Alternaria solani Ell & Martin) pada Generasi Silang
Balik Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum
ill) (Etti Purwati) ..................................................... M .

567
6. Evaluasi dan Pengembangan Varietas Tomat
Olahan sebagai Pasta (Budi Jaya) ...........................

575
7. Pengujian Daya Hasil Genotipe Mentimun di
Dataran Rendah (Etti Purwati) ..................................

585

B. Fisiologi dan Agronomi
1. Pengaruh Tumpangsari Wortel dengan Bawang
Merah terhadap Produksi Biji Wortel dan Umbi
Bawang Merah (Etty Sumiati, Sartono
Putrasamedja,dan Etti Purwati) ................................

592
2. Penggunaan Pupuk Organik yang Diperkaya Fosfat
Alam, Abu Sekam dan Pupuk Hayati terhadap Sifat
Kimia Tanah dan Produksi Sayuran Organik (Wiwik
Hartatik dan Diah Setyorini) ......................................

601


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
viii
3. Teknologi Budidaya dan Analisis Usahatani
Tumpangsari Cabai dengan Bawang di Tingkat
Petani Kabupaten Kerinci (Syafri Edi) .......................

615
4. Pengujian Daya Hasil dan Kualitas Benih Tomat
dengan Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh (Budi Jaya,
Etti Purwati, Etty Sumiati, dan R. Prasodjo
Soedomo) .................................................................

626
5. Uji Keragaan Hasil Varietas Bawang Merah di
Sentra Produksi Kabupaten Sumenep (Zainal Arifin,
Nurul Istiqomah, dan Puji Santoso) ..........................

635
6. Unsur Hara Esensial dalam Media Spawn Tiga
Jamur Edible Berkhasiat Obat Ganoderma lucidum,
Lentinus edodes, dan Auricularia auricula (Gina
Aliya Sopha) ..............................................................

642
7. Penggunaan Pupuk Cair Organik serta Perlakuan
Benih terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kangkung
di Daerah Dataran Rendah Provinsi Jambi (Salwati
dan Lutfi Izhar) ..........................................................

652
8. Pengkajian Rakitan Teknologi Sistem Usahatani
Kubis Dataran Tinggi di Wilayah Prima Tani
Kabupaten Magetan (Pudji Santoso, Yuniarti dan
Subandi) ....................................................................

659
C. Proteksi
1. Pengaruh Cara Perlakuan Cendawan Antagonis
pada Bibit dan Pupuk Organik untuk Mengendalikan
Penyakit Layu Fusarium oxysporum Tanaman
Bawang Merah (Allium ascalonicum) (Eli Korlina) ....

668
2. Isolasi dan Purifikasi Virus Gemini pada Tanaman
Cabai untuk Bahan Deteksi Cepat Virus (Rini
Murtiningsih, Neni Gunaenii, Meitha L. Ratnawati,
an Ati Srie Duriat) .................................................... d

677
3. Pengelolaan Penyakit Virus Tular Umbi pada
Produksi Bawang Merah (Allium cepa
var.ascalonicum. L) (Neni Gunaeni, Meitha
L.Ratnawati, dan Astri Windia Wulandari) ................

689
4. Kaboca, Tanaman Sela Pendukung Penyebaran
Virus Kuning pada Cabai (Ati Srie Duriat) .................

701
5. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanasan Benih Umbi
terhadap Persistensi dan Degradasi Virus pada
Bawang Putih (Allium sativum) (Neni Gunaeni, Ati
Srie Duriat, dan Meitha L. Ratnawati) .......................

712


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
ix
6. Ketahanan Beberapa Kultivar Tomat (Lycopersicon
esculentum) terhadap Penyakit Becak Kering
(Alternaria solani) dan Virus Kuning Kering (Eli
Korlina, Martinus Sugiarto, dan Abu) ........................

724
7. Selektivitas Formulasi Ekstrak Biji Barringtonia
asitica L.( LECYTHIDACEAE ) terhadap Ulat Krop
Kubis Crocidolomia pavonana (F).dan Parasitoid
Telur Trichogramma spp. serta Dampaknya
terhadap Bibit Tanaman Brassicaceae (Danar Dono
dan Vahmi Abdurrohim) ............................................

731
8. Residu Organoklorin di Beberapa Sentra Tanaman
Sayuran di Jawa Tengah (S. Wahyuni, A.N.
Ardiwinata, dan A. Kurnia) .......................................
743

D. Pascapanen
1. Uji Aplikasi Peralatan Tepat Guna dan Mutu Hasil
Beberapa Cara Pengolahan Bawang Goreng
(Yuniarti dan Pudji Santoso) .....................................

752
2. Pengaruh Cara Penyimpanan dan Tingkat Kering
Umbi Bawang Bombay terhadap Kualitas dan
Ketahanan Simpan (Etty Sumiati, Darkam,
Musaddad, Iceu Agustinisari, dan Ineu Sulastrini) ....

767
3. Potensi Sayuran Olahan Siap Santap untuk
Meningkatan Nilai Tambah, Produktivitas dan Daya
Saing di Pasar Global (Widaningrum, Nurdi
Setyawan, dan Sunjaya Putra) .................................

778
4. Sifat Fisik dan Sensori Keripik Buncis (Phaseolus
radiatus) yang Diolah dengan Menggunakan
Penggoreng Vakum (Widaningrum dan Nurdi
Setyawan) .................................................................
792

E. Sosial Ekonomi dan Kebijakan
1. Identiifikasi Masalah Jamur Merang dan Saran
Pemecahannya di Desa Citarik, Kecamatan
Tiortamulya, Karawang, Jawa Barat (M. Dianawati).

805
2. Analisis Kelayakan Finansial Klon Unggulan
Bawang Merah Dibandingkan Varietas Lokal dan
Impor (Rofik Sinung Basuki) .....................................

818
3. Analisis Produksi dan Konsumsi Sayuran di Provinsi
Banten (Andy Saryoko) .............................................
830







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
x

F. Tambahan
1. Uji Beda Kentang Varietas Atlantik Dari Berbagai
Sumber Secara Morfologi Dan Isozim (Iteu M.
Hidayat, Tri Handayani, Yoyo Sulyo, Laily dan Isum)

838
2. Karakterisasi Sayuran Indigenous Koleksi Balitsa
(Iteu M. Hidayat, Dan Tri Handayani) ........................
848

DAFTAR PESERTA 838
AGENDA SEMINAR NASIONAL PEKAN KENTANG 2008 841
DAFTAR PANITIA 847
























Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
521

KERAGAAN PRODUKSI DAN KUALITAS CABAI MERAH VARIETAS
JAWARA DAN ST 555 HASIL UJI ADAPTASI DI 4 LOKASI SENTRA
PRODUKSI DI JAWA TIMUR

Baswarsiati, Diding Rahmawati, dan Abu

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso, KM 4. Po Box 188 Malang
Telp 0341-494052, Fax 0341-471255

ABSTRAK. Untuk mengetahui keragaan produksi dan kualitas cabai
merah Jawara dan ST 555 sebagai suatu varietas unggul maka dilakukan
uji adaptasi di empat lokasi sentra produksi cabai di Jawa Timur.
Percobaan dilakukan pada musim kemarau 2005 yaitu sekitar bulan Juni
hingga Nopember 2005 di empat lokasi yaitu Kabupaten Lumajang,
Banyuwangi, Blitar dan Kediri. Percobaan di lapangan disusun dalam
suatu Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan 4 dan jumlah
perlakuan 6 yaitu galur Big Tropic (cabai besar), ST 555 (cabai keriting),
Casindo 299 (cabai besar) dan 3 varietas sebagai pembanding yaitu Hot
Chili (cabai besar), Gada (cabai besar) dan Lado (cabai keriting). Plot
percobaan pada keempat lokasi sama yaitu tiap plot terdiri dari 2 bedeng,
ukuran bedeng 1,2 m x 6,5 m. Tiap bedeng terdiri dari 2 baris tanaman
dan masing-masing baris 10 tanaman. Jarak tanam antar baris 60 cm,
jarak tanam dalam baris 65 cm. Jumlah tanaman tiap lubang 1 tanaman,
jumlah tanaman tiap plot 40 tanaman. Jarak antar plot dan bedeng 40
cm, jarak antar ulangan 80 cm. Umur bibit siap tanam 14-21 hari.
Analisis data menggunakan analisis gabungan dengan menggabungkan 4
lokasi tanam . Hasil percobaan menunjukkan bahwa : varietas Jawara
memiliki bentuk dan ukuran buah seragam, produksi tinggi,jumlah buah
pertanaman banyak, diameter buah lebih besar dibanding varietas
pembanding (Hot Chili), kulit buah lebih tebal dibanding varietas
pembanding, sedangkan ST 555 memiliki keunggulan kandungan vitamin
C tinggi dan kandungan air setara dengan Lado, diameter buah kecil
sesuai dengan sifat cabai keriting, penampilan ujung buah lebih tumpul
dibandingkan Lado, sehingga tidak mudah patah ujungnya dan rasa buah
pedas.

Kata kunci : Varietas, Cabai Merah, Produksi, Kualitas, Hasil Adaptasi,
Sentra Produksi, Jawa Timur

PENDAHULUAN

Cabai merah merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki
daya adaptasi tinggi, sehingga lokasi produksinya tersebar cukup luas di
daerah dataran rendah di Indonesia. Nilai ekonomi tinggi dari komoditas
cabai merah tercemin dari luas areal tanam yang menempati urutan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
522
pertama di antara komoditas sayuran utama, diikuti oleh bawang-
bawangan, mentimun, kubis, tomat dan kentang (Duriat, 1996; Suwandi,
1996).
Ditinjau dari karakteristik pengembangan produk, cabai merah
dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan. Dengan
demikian, pengusahaan komoditas cabai merah memiliki peluang pasar
yang luas, yaitu memenuhi permintaan konsumsi rumah tangga dan
industri pengolahan, baik di pasar domestik maupun internasional
(Adiyoga, 1996).
Cabai merah (Capsisum annuum L.) termasuk ke dalam famili
Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies yang termasuk ke dalam
genus Capsicum, termasuk di antaranya lima spesies yang
dibudidayakan, yaitu : C. baccatum, C, pubescens, C.chinense dan C.
frutescens. Di Indonesia C. annuum (cabai besar) lebih penting
dibandingkan dengan C. frutescens, walaupun keduanya dibudidayakan
secara luas (Kusandriani, 1996).
Cabai termasuk tanaman menyerbuk sendiri. Meskipun demikian
penyerbukan silang seringkali terjadi di lapangan, terutama oleh serangga
atau angin. Di antara kultivar-kultivar cabai terdapat perbedaan dalam hal
letak kepala putik terhadap kotak sari yang disebut heterostyly.
Persilangan sering terjadi pada bunga yang memiliki tangkai putik yang
panjang dan kepala putik lebih tinggi daripada kotak sari (Poulus, 1991).
Penyerbukan sendiri terjadi pada bunga yang memiliki tangkai putik yang
pendek, sehingga letak kepala putik lebih lebih rendah dari kepala sari
(Kusandriani, 1996).
Pemuliaan tanaman pada cabai merah umumnya untuk
memperbaiki daya dan kualitas hasil, perbaikan daya dan resistensi
terhadap hama dan penyakit tertentu, perbaikan sifat-sifat hortikultura,
maupun perbaikan terhadap kemampuan untuk mengatasi cekaman
lingkungan tertentu (Permadi, 1989; Permadi et al., 1995). Cabai merah
varietas hibrida dari Lumajang yaitu ST 555 (cabai keriting) dan Jawara
(cabai besar) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kontrol cabai
keriting Lado yang telah umum ditanam masyarakat, yaitu warna buah
lebih merah dan mengkilat serta ujung buah lebih tumpul dibandingkan
Lado. Selain itu kandungan vitamin C dari ST 555 lebih tinggi
dibandingkan Lado dan varietas lainnya. Varietas Jawara memiliki
keunggulan dibandingkan Hot Chili dan Gada, yaitu warna buah lebih
merah mengkilap dan produksi lebih tinggi dibandingkan Hot Chili serta
diameter buah lebih besar. Adapun tujuan penelitian ini ingin mengetahui
keragaan varietas hibrida cabai besar Jawara dan cabai keriting ST 555


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
523
dibandingkan varietas hibrida lainnya dan hasil adaptasi varietas di 4
lokasi sentra di Jawa Timur.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan berupa benih hibrida cabai merah ST 555
dan Jawara. Sebagai varietas pembanding digunakan benih hibrida cabai
merah yang sering ditanam masyarakat, yaitu Hot Chili dan Gada
(termasuk cabai besar) dan Lado (cabai keriting) serta varietas hibrida
Casindo 299.
Percobaan dilakukan pada musim kemarau 2005, yaitu sekitar
bulan Juni hingga Nopember 2005 di empat lokasi, yaitu Kabupaten
Lumajang, Banyuwangi, Blitar dan Kediri. Percobaan di lapangan disusun
dalam suatu Rancangan Acak Kelompok dengan jumlah ulangan 4 dan
jumlah perlakuan 6, yaitu galur Jawara (cabai besar), ST 555 (cabai
keriting), Casindo 299 (cabai besar) dan 3 varietas sebagai pembanding
yaitu Hot Chili (cabai besar), Gada (cabai besar) dan Lado (cabai keriting).
Plot percobaan pada keempat lokasi sama yaitu tiap plot terdiri dari 2
bedeng, ukuran bedeng 1,2 m x 6,5 m. Tiap bedeng terdiri dari 2 baris
tanaman dan masing-masing baris 10 tanaman. Jarak tanam antar baris
60 cm, jarak tanam dalam baris 65 cm. Jumlah tanaman tiap lubang 1
tanaman, jumlah tanaman tiap plot 40 tanaman. Jarak antar plot dan
bedeng 40 cm, jarak antar ulangan 80 cm. Umur bibit siap tanam 14-21
hari. Analisis data menggunakan analisis gabungan dengan
menggabungkan 4 lokasi tanam.
Sifat yang diamati antara lain umur berbunga, umur mulai panen,
jumlah buah baik per plot, hasil per plot, produksi per hektar, jumlah buah
pertanaman, hasil buah baik pertanaman, rata-rata berat buah
pertanaman, tinggi tanaman, panjang buah, diameter buah, tebal kulit
buah, dan jumlah biji per buah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa data hasil pengujian adaptasi calon varietas cabai merah
di 4 lokasi yaitu Banyuwangi, Lumajang, Blitar dan Kediri disajikan pada
tabel-tabel berikut ini.

1. Umur Berbunga
Umur berbunga varietas hibrida Jawara dan ST 555 tidak berbeda
dengan varietas pembanding lainnya yaitu dengan kisaran 67 hingga 69


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
524
hari setelah semai. Tidak terdapat pengaruh genotipee dan lingkungan
terhadap umur berbunga 6 varietas cabai merah yang diuji.

Tabel 1. Rata-rata umur mulai berbunga galur-galur cabai merah dan varietas
pembanding

Umur mulai berbunga (hari)
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 71 62 68 74 68,75 a
ST 555 69 62 65 74 67,50 a
Casindo 299 69 62 68 74 68,25 a
Hot Chili 71 62 68 74 68,75 a
Gada 69 61 65 74 67,25 a
Lado 69 61 65 74 67,25 a
BNT (5 %) 8,914


2. Umur Mulai Panen
Umur mulai panen nampak berbeda antar varietas cabai merah
yang diuji. Hal ini terlihat pada anova dimana pengaruh genotipee berbeda
nyata, demikian juga terdapat pengaruh genotipee dengan lingkungan
terhadap umur panen. Nampak bahwa varietas ST 555, Gada dan Lado
lebih awal panennya dibandingkan Hot Chili, Jawara dan Casindo 299.
Varietas cabai keriting cenderung lebih awal panen dibandingkan varietas
cabai besar.

Tabel 2. Rata-rata umur mulai panen galur-galur cabai merah dan varietas
pembanding

Umur mulai panen (hari)
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 114 106 110 123 113,3 a
ST 555 111 106 107 122 111,5 b
Casindo 299 111 106 110 122 112,3 ab
Hot Chili 114 106 110 122 113,0 a
Gada 111 104 107 122 111,1 b
Lado 111 104 107 123 111,1 b
BNT (5 %) 1,327

3. Hasil Buah Baik Per Plot
Hasil buah baik per plot galur ST 555 dan varietas Lado lebih
rendah dibandingkan Jawara dan varietas cabai besar lainnya. Hal ini
karena varietas cabai keriting lebih kecil penampilannya dan ukurannya
sehingga hasil buah baik perplot juga lebih sedikit, sedangkan hasil
Jawara dengan Hot Chili maupun Gada tidak berbeda karena ketiganya
merupakan cabai besar. Perbedaan hasil antara Jawara dan ST 555


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
525
nampak jauh selisihnya, yaitu sekitar 13 kg per plot demikian juga bila
dibandingkan dengan varietas kontrol Hot Chili maupun Gada.
Sedangkan ST 555 tidak berbeda dengan varietas cabai keriting Lado.

Tabel 3. Rata-rata hasil buah baik per plot galur-galur cabai merah dan varietas
pembanding

Hasil buah baik/plot (kg)
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 45,70 42,81 34,89 42,83 41,56 a
ST 555 28,91 30,68 21,92 32,83 28,58 b
Casindo 299 41,27 38,33 34,22 37,98 37,95 a
Hot Chili 39,85 38,50 32,96 30,11 37,86 a
Gada 45,17 42,01 34,87 41,45 40,87 a
Lado 27,57 28,64 20,40 31,43 27,01 b
BNT (5 %) 5,397

4. Produksi Per Hektar
Produksi per hektar galur ST 555 dan varietas Lado yang
merupakan cabai keriting lebih rendah dibandingkan Jawara dan varietas
cabai besar lainnya. Sedangkan hasil Big Tropic dengan Hot Chili
maupun Gada tidak berbeda karena ketiganya merupakan cabai besar.
Perbedaan hasil antara Jawara dan ST 555 sekitar 6 ton per hektar
demikian juga bila dibandingkan dengan varietas kontrol Hot Chili maupun
Gada, sedangkan ST 555 tidak berbeda dengan varietas cabai keriting
Lado.

Tabel 4. Rata-rata produksi galur-galur cabai merah dan varietas pembanding

Produksi (ton/ha)
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 21,97 20,58 16,77 20,59 19,98 a
ST 555 13,90 14,79 10,69 15,78 13,78 b
Casindo 299 19,83 18,43 16,45 18,26 18,24 a
Hot Chili 19,16 18,51 15,85 19,28 18,20 a
Gada 21,72 20,20 16,76 19,93 19,63 a
Lado 13,25 13,77 9,81 15,11 12,99 b
BNT (5 %) 2,616

5. Jumlah Buah Per Tanaman
Jumlah buah pertanaman terbanyak dihasilkan cabai keriting ST
555 dan Lado yang berbeda dengan Jawara, Hot Chili, Casindo 299
maupun Gada. Jumlah buah dari ST 555 mencapai 216 sedangkan
Jawara 93 per tanaman. Walaupun jumlah buahnya banyak namun berat
buah perplot maupun produksi per hektar lebih rendah dibandingkan cabai


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
526
besar (Tabel 3 dan 4). Hal ini karena ukuran buah cabai keriting lebih
kecil bila dibandingkan golongan cabai besar. Jumlah buah cabai per
tanaman dipengaruhi oleh varietas yang ditanam serta lingkungan tempat
tumbuhnya.

Tabel 5. Rata-rata jumlah buah pertanaman galur-galur cabai merah dan varietas
pembanding

Jumlah buah pertanaman
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 98,20 91,95 91,30 91,45 93,22 b
ST 555 217,53 218,55 227,60 201,30 216,30 a
Casindo 299 86,05 85,25 84,70 82,81 84,70 b
Hot Chili 92,45 89,45 87,30 90,60 89,95 b
Gada 89,55 91,75 91,75 104,25 94,32 b
Lado 208,0 211,90 216,20 209,60 211,43 a
BNT (5 %) 23,38

6. Bobot Per Buah
Berat per buah cabai merah dipengaruhi oleh genotipee dan
lingkungan. Cabai keriting ST 555 dan Lado mempunyai berat buah
sekitar 4 gram, sedangkan Jawara sekitar 14 gram dan tidak berbeda
dengan cabai besar lainnya. Dari keragaan bobot buah terlihat bahwa
cabai keriting walaupun jumlah buah pertanaman banyak namun hasil
atau produksinya lebih rendah dibandingkan cabai besar, sedangkan
calon varietas hibrida ST 555 dan Big Tropic tidak berbeda bobot per
buahnya dengan varietas hibrida pembanding.

Tabel 6. Rata-rata bobot per buah galur-galur cabai merah dan varietas pembanding

Bobot per buah (gram)
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 14,43 14,94 14,01 14,46 14,46 a
ST 555 4,34 4,42 3,59 4,08 4,11 b
Casindo 299 14,02 14,59 13,82 11,64 13,52 a
Hot Chili 14,17 14,72 13,86 14,25 14,25 a
Gada 13,49 14,44 13,80 13,91 13,91 a
Lado 4,23 4,23 3,55 4,00 4,02 b
BNT (5 %) 1,943


7. Bobot Buah Per Tanaman
Bobot buah per tanaman dipengaruhi oleh genotipe dan
lingkungan. Antara varietas cabai keriting ST 555 dan Lado tidak berbeda


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
527
yang dapat mencapai hasil 0,81-0,86 kg per tanaman, sedangkan antara
varietas cabai besar Jawara dan Hot Chili, Casindo serta Gada juga tidak
berbeda dengan hasil berkisar 1,14 1,26 kg. Namun demikian hasil
Jawara lebih banyak dibandingkan 3 varietas cabai besar lainnya.

Tabel 7. Rata-rata bobot buah pertanaman galur-galur cabai merah dan varietas
pembanding

Bobot buah per tanaman (kg) Galur/
varietas

Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 1,36 1,27 1,19 1,24 1,26 a
ST 555 0,89 0,87 0,74 0,92 0,86 b
Casindo 299 1,16 1,17 1,03 1,11 1,14 a
Hot Chili 1,19 1,15 1,07 1,14 1,14 a
Gada 1,14 1,22 1,08 1,22 1,16 a
Lado 0,82 0,82 0,70 0,89 0,81 b
BNT (5 %) 0,173

8. Tinggi Tanaman
Pengaruh genotipe maupun lingkungan terhadap tinggi tanaman
varietas hibrida cabai merah nampak nyata. ST 555 dan Lado memiliki
tanaman yang tertinggi dibanding varietas lainnya dan berbeda nyata
dibandingkan dengan Casindo 299 dan Gada.

Tabel 8. Rata-rata tinggi tanaman galur-galur cabai merah dan varietas pembanding
Tinggi tanaman (cm)
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 95,68 88,38 93,10 82,40 89,89 ab
ST 555 85,90 99,80 107,50 80,45 93.41 ab
Casindo 299 83,90 87,80 95,35 79.03 86,52 b
Hot Chili 94,18 87.70 99,30 83,73 91,23 ab
Gada 82,13 89,43 90,95 77,50 85,00 b
Lado 103,75 89,80 107,88 90,48 97,98 a
BNT (5 %) 11,41

9. Panjang Buah
Panjang buah cabai merah dari 6 varietas hibrida yang diuji tidak
berbeda nyata. Selain itu dari hasil anova tidak nampak pengaruh
lingkungan maupun genotipe terhadap penampilan panjang buah.
Kisaran panjang buah sekitar 13 hingga 14 cm.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
528
Tabel 9. Rata-rata panjang buah galur-galur cabai merah dan varietas pembanding
Panjang buah (cm)
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 14,11 14,38 12,65 13,20 13,59 a
ST 555 14,15 13,85 13,04 12,70 13,44 a
Casindo 299 14,26 15,05 13,56 13,10 13,99 a
Hot Chili 14,47 14,05 12,69 12,55 13,44 a
Gada 15,99 14,45 14,06 13,20 14,43 a
Lado 15,71 15,05 13,86 15,35 14,99 a
BNT (5 %) 2,32

10. Diameter Buah
Penampilan diameter buah dipengaruhi oleh genotipe maupun
lingkungan. Diameter buah ST 555 dan Lado tidak berbeda yakni 0,69
cm. Sedangkan diameter buah Jawara yang terbesar diikuti Hot Chili,
Casindo dan Gada. Perbedaan ukuran diameter buah antara cabai
keriting dan cabai besar sekitar 1 cm.

Tabel 10. Rata-rata diameter buah galur-galur cabai merah dan varietas pembanding
Diameter buah (cm)
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 1,63 1,76 1,71 1,81 1,73 a
ST 555 0,68 0,71 0,71 0,67 0,69 c
Casindo 299 1,58 1,68 1,62 1,74 1,66 ab
Hot Chili 1,61 1,58 1,72 1,80 1,67 ab
Gada 1,48 1,65 1,58 1,62 1,58 b
Lado 0,69 0,69 0,70 0,68 0,69 c
BNT (5 %) 0,126

11. Jumlah Biji Per Buah
Jumlah biji per buah calon varietas hibrida Jawara tidak berbeda
dengan Hot Chili dan varietas cabai besar dari pembanding, namun lebih
banyak dibandingkan dengan Lado dan ST 555, sedangkan ST 555 dan
Lado tidak berbeda jumlah biji per buahnya. Jumlah biji per buah
dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan.
Selain data hasil pengamatan uji adaptasi di lapangan, juga
dilakukan analisis kandungan vitamin C dan kandungan air pada buah
cabai merah yang dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen BPTP Jawa
Timur.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
529
Tabel 11. Rata-rata jumlah biji perbuah galur-galur cabai merah dan varietas
pembanding

Jumlah biji per buah
Galur/varietas
Banyuwangi Lumajang Kediri Blitar
Rata-rata
Jawara 127,55 141,30 123,65 130,80 130,80 a
ST 555 60,20 60,90 87,55 69,85 69,63 b
Casindo 299 101,85 100,50 104,80 102,30 102,40 ab
Hot Chili 137,95 133,45 149,90 140,45 140,40 a
Gada 140,20 101,95 116,15 119,35 121,30 ab
Lado 71,15 60,35 61,50 64,35 69,00 b
BNT (5 %) 56,17

Tabel 12. Hasil analisis kandungan vitamin C dan kandungan air galur-galur cabai
merah dan varietas pembanding

Galur/varietas
Kandungan vitamin C
(mg/100 g bahan)
Kandungan air (%)
Jawara 192,36 84,87
ST 555 262,24 80,85
Casindo 299 199,76 86,42
Hot Chili 188,32 86,09
Gada 209,44 85,65
Lado 192,72 79,65

Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Pascapanen BPTP Jatim

Hasil analisis kandungan vitamin C memperlihatkan bahwa galur
hibrida ST 555 memiliki kandungan vitamin C yang tertinggi dan
kandungan air yang rendah dibanding galur atau varietas lainnya,
sedangkan bila dibandingkan dengan Lado maka ST 555 lebih tinggi
kandungan vitamin C dan kandungan airnya hampir sama. Jawara
memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dibanding Hot Chili tetapi
lebih rendah dibanding Casindo dan Gada. Untuk kandungan air keempat
varietas cabai besar hampir tidak berbeda (Tabel 12).
Persentase serangan Antraknos tertinggi pada varietas Casindo
299, sedangkan terendah pada ST 555. Serangan Fusarium tertinggi
pada Hot Chili dan terendah pada ST 555. Untuk serangan trips tertinggi
pada Hot Chili dan terendah pada Lado dan ST 555.








Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
530
Tabel 13. Persentase serangan antraknos, layu fusarium dan thrips pada galur-galur
cabai merah dan varietas pembanding

Persentase serangan (%)
Galur/varietas
Antraknos Fusarium Trips
Jawara 0,94 1,23 1,35
ST 555 0,56 0,82 0,97
Casindo 299 1,67 0,93 1,41
Hot Chili 1,22 1,54 1,36
Gada 0,97 1,44 1,23
Lado 0,64 0,91 0,84


KESIMPULAN

Dari hasil pengujian dan pengamatan di lapangan, maka dapat
disimpulkan bahwa varietas hibrida cabai merah Jawara memiliki
beberapa keunggulan terutama produksi tinggi, diameter buah besar,
warna buah merah mengkilat serta setara dengan varietas hibrida
pembanding. Varietas hibrida cabai keriting ST 555 memiliki keunggulan
dalam hal kandungan vitamin C tinggi, bentuk ujung buah tumpul,
produksi setara dengan varietas pembanding, warna buah merah
mengkilat. Oleh karena itu kedua varietas hibrida tersebut yang
merupakan produk hibrida hasil rakitan petani atau pengusaha benih asal
Lumajang mampu bersaing dengan varietas hibrida yang sudah ada di
pasaran selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adiyoga, W. 1996. Produksi dan Konsumsi Cabai Merah. Dalam :
Teknologi Produksi Cabai Merah. Badan Litbangtan. Jakarta.
2. Duriat, A.S. 1996. Cabai Merah : Komoditas Prospektif dan Andalan.
Dalam : Teknologi Produksi Cabai Merah. Badan Litbangtan.
Jakarta.
3. Kusandriani, Y. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Dalam :
Teknologi Produksi Cabai Merah. Balitsa, Badan Litbangtan. Jakarta.
4. Kusumainderawati, E.P., Sarwono, Wahyunindyawati. 2003. Rakitan
Teknologi Budidaya Cabai Merah. Dalam : Kompilasi Rekomendasi
Rakitan Teknologi Pertanian. BPTP Jawa Timur. Malang.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
531
5. Permadi, A.H. 1989. Tomato and Pepper Production in Indonesia.
Problems Research and Progress, Proc. Intl. Syms. on Integrated
Management Practices, AVRDC (Tainan, Taiwan, 1989). P.472-479.
6. Permadi, A.H. dan Y. Kusandriani. 1995. Pemuliaan Tanaman Cabai.
Agribisnis Cabai. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 22-35.
7. Poulus,J.M. 1991. Pepper Breeding, in M.L. Chada, A.K.M. Amzad
monowar Hossain (Eds). Breeding of Solanaceous and Cole Crops
(Tainan, Taiwan, AVRDC 1991). P 85-121.
8. Suwandi. 1996. Persebaran dan Potensi Wilayah Pengembangan
Cabai Merah. Dalam : Teknologi Produksi Cabai Merah. Badan
Litbangtan. Jakarta.































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
532

PERBAIKAN DAYA HASIL VARIETAS LOKAL CABAI MELALUI
PERSILANGAN ANTAR VARIETAS

Rinda Kirana

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang-Jawa Barat
Email : rindakirana@yahoo.com


ABSTRAK. Lima belas genotipe hasil persilangan antar varietas cabai
telah dievaluasi di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA),
Lembang pada bulan Mei-Desember 2006 untuk melihat penampilan
fenotipik karakter hasil dan beberapa karakter lainnya. Percobaan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 22 perlakuan dan dua
ulangan. Sebagai kontrol digunakan enam tetua dan varietas Tanjung-2.
Berdasarkan hasil uji LSI, beberapa genotipe hasil persilangan
memperlihatkan penampilan karakter melebihi salah satu dan atau kedua
tetuanya. Terdapat empat genotipe (G3, G4, G5, dan G15) hasil
persilangan yang memiliki daya hasil melebihi kedua tetuanya, bahkan
satu di antaranya, yaitu G5 memiliki karakter ideal/harapan seperti
berumur genjah, tinggi tanaman sedang (62,8 cm), tipe kompak, bobot
buah per tanaman (515,3 g) dan hasil per plot (6759 g/6m
2
) melebihi
kontrol. Selanjutnya genotipe ini dapat ditelaah lebih lanjut untuk
dipertimbangkan menjadi genotipe harapan.

Kata kunci : Capsicum annuum L., Persilangan Antar Varietas, Varietas
Lokal


PENDAHULUAN

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas
sayuran dengan pola pertumbuhan produksi yang meningkat dari tahun ke
tahun. Faktor dominan sumber pertumbuhan produksi cabai di Indonesia
adalah peningkatan luas areal tanam (Adiyoga, 1999), peningkatan luas
areal tanam berdampak pada peningkatan kebutuhan benih. Ada dua
jenis benih cabai yang beredar di Indonesia yaitu benih cabai hibrida dan
benih cabai bersari bebas (OP) dengan selisih harga cukup tinggi. Namun
demikian, sampai saat ini belum ada data akurat mengenai perbandingan
antara tingkat pemakaian benih cabai hibrida dan cabai bersari bebas.
Produktivitas cabai di Indonesia yang masih rendah yaitu berkisar pada
nilai 4 ton/ha, hal ini kemungkinan diakibatkan petani masih memakai
benih cabai OP yang memiliki potensi hasil lebih rendah dibandingkan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
533
cabai hibrida. Rendahnya daya hasil cabai OP petani dibandingkan cabai
hibrida disebabkan penampilan yang tidak/kurang seragam dan kualitas
benih yang rendah. Peningkatan daya hasil dapat ditempuh dengan
memperbaiki tingkat keseragaman dan kualitas benih. Perbaikan tingkat
keseragaman dapat dilakukan melalui kegiatan pemurnian dan
persilangan. Pemurnian adalah suatu kegiatan penyerbukan sendiri
secara beberapa kali sampai kondisi homosigot tercapai sehingga
penampilannya menjadi lebih seragam. Dari hasil kegiatan pemurnian,
Balitsa telah melepas tiga varietas unggul cabai OP yaitu Tanjung-2,
Tanjung-1, dan Lembang-1. Selain melalui kegiatan pemurnian,
perbaikan daya hasil dapat ditempuh melalui perbaikan genetik tanaman
dengan persilangan antara dua atau lebih genotipe inbred/galur murni.
Persilangan (hibridisasi) adalah usaha untuk memanipulasi atau
menggabungkan dua sifat (karakter) atau lebih dari dua tanaman menjadi
genotipe baru (Setiamihardja, 1993).
Pada kegiatan persilangan, pemilihan tetua merupakan langkah
awal yang harus dilakukan dengan benar melalui suatu metode tertentu
(Kasno dkk., 1999). Menurut Chew (1984) peningkatan homosigositas
varietas lokal dapat dilakukan dengan melakukan penyerbukan sendiri
sebanyak dua musim sebelum persilangan. Ada beberapa metode
persilangan untuk memilih tetua dalam rangka menghasilkan varietas
unggul baru di antaranya metode dialel. Metode ini telah terbukti dapat
membantu pemulia cabai untuk memilih materi pemuliaan berupa
pasangan galur-galur inbred yang menghasilkan kombinasi terbaik yang
memiliki sifat heterosis (Gardner dan Eberhart, 1966; Marin dan Lippert,
1975; Sausa dan Maluf, 2003; Yunianti dkk., 2006).
Berdasarkan uraian di atas dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk memperbaiki daya hasil dan komponen hasil varietas cabai lokal
melalui persilangan secara dialel antar varietas lokal.

BAHAN DAN METODE

Varietas lokal yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
beberapa sentra produksi cabai di Indonesia dan merupakan varietas
bersari bebas (OP) yang telah lama digunakan petani di daerah tersebut.
Penelitian ini dimulai tahun 2004 dengan melakukan penyerbukan sendiri
varietas lokal sebanyak dua musim tanam. Persilangan antar varietas
lokal dilakukan dengan metode dialel dilakukan pada tahun 2005.
Benih generasi F
1
hasil persilangan tersebut ditanam di Kebun
Percobaan Balitsa pada bulan Mei-Desember 2006 dan dievaluasi


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang dua kali
menggunakan tujuh kontrol, yaitu enam tetua persilangan (G1, G7, G12,
G16, G19,G21) dan varietas Tanjung-2. Perbedaan antar perlakuan
(genotipe) menggunakan uji F pada taraf nyata 5%, bila terdapat
perbedaan yang nyata maka untuk menetapkan genotipe yang
berpenampilan lebih baik dari kontrol, pengujian dilanjutkan menggunakan
uji LSI dengan rumus sebagai berikut :

2 / 1
) / 2 ( r KTg t LSI

=

Keterangan
t

: t tabel 5%
KTg : kuadrat tengah galat
r : ulangan

Setiap perlakuan ditanam pada bedengan bermulsa berukuran 6 m
2

dengan menggunakan jarak tanam 80 cm x 50 cm. Pupuk dasar adalah
pupuk kotoran kuda dan sepertiga dosis NPK 16 : 16 : 16 (1.5 ton/ha)
yang sisa dosisnya diberikan sebagai pupuk susulan sebanyak lima kali
sepanjang masa pertumbuhan tanaman. Selain pemupukan dilakukan
pengapuran menggunakan dolomit (1 ton/ha) pada seminggu sebelum
tanam. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan
menggunakan pestisida secara intensif dua kali seminggu dari mulai
tanaman berumur dua minggu setelah tanam. Jenis pestisida disesuaikan
dengan jenis OPT yang menyerang.
Data diperoleh dari rata-rata tanaman per plot dan rata-rata
tanaman sampel yang berjumlah 5 (lima) tanaman. Peubah yang diamati
adalah 12 karakter yang meliputi :
1. Persentase jumlah tanaman yang dipanen (%)
2. Waktu berbunga (hari setelah tanam/hst.); jumlah hari setelah
transplanting sampai 50% anthesis (50% tanaman dalam plot
percobaan memiliki bunga yang mekar pada percabangan pertama)
3. Waktu buah matang (hst) ; jumlah hari setelah transplanting sampai
50% anthesis (50% tanaman dalam plot percobaan memiliki buah
yang telah masak fisiologis pada percabangan pertama)
4. Tinggi tanaman (cm) ; rata-rata dari tanaman sampel, diukur dari
permukaan tanah sampai ujung tertinggi pada panen pertama.
5. Jumlah cabang (#) ; jumlah percabangan pertama.
6. Tipe tumbuh (skor 3-5-7) ; tipe tumbuh berdasarkan skor (3)
menyebar (5) kompak (7) tegak (IPGRI, AVRDC, dan CATIE, 1991).
7. Panjang buah (cm) ; rata-rata dari panjang 10 buah tanaman sampel
pada panen kedua dan atau ketiga.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
534


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
535
8. Lebar buah (cm) ; rata-rata dari lebar 10 buah tanaman sampel pada
panen kedua dan atau ketiga.
9. Ketebalan kulit buah (mm) ; rata-rata dari ketebalan kulit 10 buah
tanaman sampel pada panen kedua dan atau ketiga.
10. Jumlah buah per tanaman (#) ; rata-rata jumlah buah per tanaman
sampel hasil 10 (sepuluh) kali panen.
11. Bobot buah per tanaman (g) ; rata-rata bobot buah per tanaman
sampel hasil 10 (sepuluh) kali panen.
12. Hasil per plot (g) ; rata-rata hasil 10 (sepuluh) kali panen per plot.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang sangat nyata antar genotipe yang diuji pada karakter yang diamati.
Rekapitulasi F hitung disajikan pada Tabel 1. Analisis dilanjutkan
menggunakan uji LSI untuk mengetahui perbedaan antara genotipe yang
diuji dengan pembandingnya, baik pembanding tetua (G1, G6, G12, G16,
G19, dan G21) ataupun varietas Tanjung-2 yang dapat dilihat pada Tabel
2.

Jumlah Tanaman yang Dipanen dan Tinggi Tanaman
Jumlah tanaman yang dapat dipanen adalah jumlah tanaman yang
bertahan hidup sampai akhir pengamatan dan dinyatakan dalam persen
(%). Rata-rata persentase jumlah tanaman hidup adalah 78,1 % dengan
kisaran dari 42,4% (G2) sampai 97,5% (G5). Bervariasinya nilai kisaran
ini disebabkan beberapa genotipe tidak dapat bertahan pada kondisi
musim kemarau panjang disertai dengan tingginya tingkat serangan hama
trips dan kutu daun.
Persentase jumlah tanaman hidup lebih dari 80% dapat dicapai
oleh 13 genotipe termasuk varietas Tanjung-2 dan dua varietas cabai lokal
yaitu G16 dan G19. Genotipe hasil persilangan dengan persentase
tanaman yang dapat dipanen tertinggi adalah G5 (97,5%). Berdasarkan
hasil uji lanjut dengan LSI, untuk karakter persentase tanaman yang
dipanen, tidak ada satu genotipe pun secara nyata dapat melebihi
Tanjung-2 (95%). Terdapat empat genotipe dengan persentase jumlah
tanaman yang dipanen melebihi salah satu tetuanya yaitu G9 (87,5%),
G10 (92,5%), G14(90,0%), dan G15 (92,5%). Namun tidak ada satupun
genotipe hasil persilangan yang melebihi kedua tetuanya.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
536


Tabel 1. Hasil uji F dan nilai koefisien keragaman karakter yang diamati
No. Peubah F
-hitung
KK (%)
1 Jumlah tanaman panen 4,82 ** 12,95
2 Waktu berbunga 14,15 ** 2,63
3 Waktu buah matang 7,77 ** 2,75
4 Tinggi tanaman 10,60 ** 5,89
5 Jumlah cabang 3,50 ** 12,53
6 Tipe tumbuh 10,31 ** 8,92
7 Panjang buah 14,62 ** 7,11
8 Diameter buah 11,81 ** 10,2
9 Ketebalan daging buah 2,78 * 20,63
10 Jumlah buah per tanaman 7,33 ** 21,57
11 Bobot buah per tanaman 5,18 ** 27,27
12 Hasil per plot 16,11 ** 18,51

Keterangan : * berbeda nyata pada taraf 5%, ** berbeda nyata pada taraf 1%

Tinggi tanaman berkisar antara 60,5 cm (G20) sampai 119,1 cm
(G1), dengan rata-rata 109,7 cm. Sampai saat ini belum ada informasi
tinggi tanaman cabai ideal/harapan untuk kondisi Indonesia. Namun
demikian berdasarkan pengelompokkan oleh IPGRI, AVRDC, dan CATIE
(1991) kisaran tinggi tanaman dibagi menjadi lima kelas sangat pendek,
pendek, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Tipe ideal/harapan untuk
kondisi Indonesia diduga adalah antara tipe sedang sampai tinggi.
Tanjung-2 sebagai kontrol merupakan tanaman cabai yang masuk
kategori tinggi tanaman sedang (60,5 cm), dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada satu genotipe pun yang secara nyata lebih
pendek dari varietas Tanjung-2, hampir semua genotipe secara nyata
melebihi tinggi Tanjung-2, kecuali G5 (62,8 cm) dan G19 (63,2 cm) yang
secara statistik sama tinggi dengan Tanjung-2 dan masuk kategori
sedang.

Jumlah Cabang dan Tipe Tumbuh
Jumlah cabang merupakan salah satu karakter penunjang hasil
karena akan berpengaruh terhadap jumlah buah per tanaman. Secara
umun sebagian besar Capsicum annuum L. bersifat dikotomus
(bercabang dua), namun demikian dalam satu varietas seringkali
ditemukan individu-individu bercabang tiga. Dari 22 genotipe yang diuji,
rata-rata bersifat dikotomus (2,4) dengan kisaran dari 2,0 (G2)-2,7 (G1).
Rata-rata jumlah cabang G1 mencapai 2,7, artinya hampir sebagian besar
individu dalam populasi G1 bercabang tiga. Hasil uji LSI memperlihatkan



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 200


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
53
Waktu buah matang bervariasi dari 97,7 hst (G11 dan Tanjung-2)
hingga 119,1 hst (G1) dengan rata-rata 109,7 hst. Berbeda dengan waktu
berbunga tercepat (G20), waktu buah matang tercepat adalah G11 dan
Tanjung-2. Tiga genotipe secara statistik berumur buah matang sama
dengan Tanjung-2 yaitu G11, G2 dan G7. Tidak ada satu genotipe pun
yang memiliki umur buah matang lebih cepat dari Tanjung-2. Lima
genotipe (G2, G5, G9, G14, dan G15) memiliki umur buah matang lebih
cepat dibandingkan salah satu tetua dan tiga genotipe memiliki umur buah
matang lebih cepat dibandingkan kedua tetuanya (G3, G11, dan G13).
7
enam genotipe bercabang tiga dan secara statistik berbeda nyata dengan
varietas Tanjung-2 yang bercabang dua.
Dari ke enam tetua persilangan satu tetua memiliki tipe tumbuh
menyebar (G19), tiga tetua bertipe kompak (G1, G12, dan G21), dan dua
lainnya bertipe tegak (G7 dan G16). Rata-rata tipe tumbuh turunan
persilangan adalah kompak, terdapat 10 genotipe dengan tipe tumbuh
kompak dan 5 genotipe dengan tipe tumbuh tegak. Persilangan antara
tipe kompak x menyebar menghasilkan turunan bertipe kompak (G5 dan
G14), kompak x kompak menghasilkan turunan bertipe kompak (G3 dan
G15) dan tegak (G6), sedangkan kompak x tegak menghasilkan turunan
kompak (G2,G4,dan G13). Jika tipe tegak menjadi tetua betina
disilangkan dengan tipe menyebar menghasilkan turunan kompak (G10)
dan tegak (G17), tegak x kompak menghasilkan turunan tegak (G8) dan
kompak (G18).

Waktu Berbunga dan Waktu Buah Matang
Waktu berbunga dan waktu buah matang menentukan genjah atau
dalamnya umur tanaman. Umumnya varietas yang diminati petani adalah
varietas yang berumur genjah. Rata-rata waktu berbunga genotipe yang
diuji adalah 56,8 hst dengan kisaran dari 50,7 hst (G20) sampai 63,6 hst
(G1). Tanjung-2 merupakan genotipe kedua paling cepat berbunga
setelah G20. Hasil uji LSI memperlihatkan bahwa tidak ada genotipe yang
secara statistik lebih cepat berbunga daripada Tanjung-2, beberapa
genotipe umumnya secara nyata berumur lebih dalam daripada Tanjung-
2. Delapan genotipe berumur lebih genjah dibandingkan salah satu
tetuanya, dan tiga genotipe berumur lebih genjah dibandingkan kedua
tetuanya yaitu G4, G5, dan G20.

8


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
538
Tabel 2. Rata-rata dan nilai LSI dua belas karakter tetua dan turunan hasil persilangan antar varietas

Genotipe

Jumlah
tanaman yang
dipanen
Tinggi
tanaman
Jumlah
cabang
Tipe tumbuh
Waktu
berbunga
Waktu
buah
matang
Panjang
buah
Lebar
buah
Ketebalan
daging
buah
Jumlah
buah
per
tanaman
Bobot buah
per tanaman
Hasil
(%) (cm) (#) (3-5-7) (hst) (hst) (cm) (cm) (mm) (#) (g) (g/6m
2
)
G1 77,5 81,7 3 5 63,3 119,4 11,5 0,7 0,7 18,5 44,7 597
G2 (G1x G7) 42,4 77,9 2 5 57,8 103,4 6,3 1,1 1,0 149,5 310,6 1820
G3 (G1 x G12) 92,5 76,1 2 5 55,8 107,3 10,7 1,0 1,0 136,0 368,3 5369
G4 (G1 x G 16) 87,5 79,4 2 5 58,5 113,2 10,4 1,0 0,9 155,5 439,7 4680
G5 (G1 x G 19) 97,5 62,8 3 5 54,0 106,8 10,2 1,3 1,2 118,0 515,3 6759
G6 (G1 x G 21) 60,0 88,8 2 7 57,5 117,6 7,1 1,1 1,2 93,0 242,6 2030
G7 60,0 83,2 2 7 52,0 104,6 5,5 1,0 0,4 139,0 230,2 2109
G8 (G7 x G12) 57,5 87,9 2 7 62,8 113,8 9,1 0,7 1,1 71,5 149,1 1853
G9 (G7 x G 16) 87,5 101,4 2 7 56,0 105,9 9,4 0,8 0,8 132,0 302,2 3004
G10 (G7 x G19) 92,5 84,3 3 5 63,2 116,1 10,0 1,0 1,0 90,5 293,9 4032
G11 (G7 x G21) 68,0 91,7 2 7 51,8 97,7 8,6 1,0 0,8 127,5 350,3 3275
G12 65,0 84,7 2 5 54,6 117,1 10,7 0,6 0,9 74,0 164,1 1295
G13 (G12 x G16) 82,5 79,2 3 5 55,8 109,7 11,3 0,6 0,9 67,5 121,9 1312
G14 (G12 x G19) 90,0 76,3 3 5 53,2 103,4 12,0 0,9 0,9 107,5 366,0 3680
G15 (G12 x G21) 92,5 78,5 2 5 53,3 105,3 13,7 1,1 1,3 87,5 382,4 5077
G16 92,5 97,5 2 7 61,8 117,1 11,5 0,7 1,0 65,0 131,3 2147
G17 (G16 x G19) 82,5 87,6 3 7 59,0 113,7 11,8 0,7 1,3 95,0 314,0 2792
G18 (G16 x G21) 52,5 98,7 2 5 58,8 119,1 9,9 0,9 1,0 39,0 89,1 954
G19 85,0 63,2 2 3 58,4 109,4 12,0 1,3 1,3 62,0 334,5 3499
G20 (G19 x G21) 80,0 69,8 2 5 50,7 105,4 11,0 1,3 1,4 70,5 385,7 4123
G21 77,5 80,3 2 5 60,4 110,4 9,7 1,1 1,3 45,0 215,0 2472
Tanjung-2 95,0 60,5 2 3 51,0 97,7 11,4 1,4 1,3 60,5 334,4 5067
LSI 21,0 10,0 0,6 0,9 3,1 6,3 1,5 0,2 0,4 41,0 156,9 1189,1
LSI +/- Tanjung-2 116,0/74,0 70,5/50,5 2,7/1,5 3,9/2,1 54,1/47,9 103,9/91,4 12,9/9,9 1,7/1,2 1,7/0,8
101,5/19,
5 491,3/177,5 6256,1/3877,9
LSI +/- G1 98,5/56,5 91,6/71,7 3,3/2,1 5,9/4,1 66,4/60,1 125,7/113,1 13,0/10,0 0,9/0,5 1,2/0,3
59,5/-
22,5 201,5/-112,2 1786,1/-592,1
LSI +/- G7 81,0/39,0 93,1/73,2 2,9/1,7 6,9/5,1 55,1/48,8 110,9/98,3 7,0/4,0 1,2/0,8 0,8/-0,1
180,0/98,
0 387,1/73,3 3298,1/919,9
LSI +/- G12 86,0/44,0 94,6/74,7 2,9/1,7 5,9/4,1 57,7/51,4 123,4/110,8 12,2/9,2 0,8/0,4 1,3/0,4
115,0/33,
0 321,0/7,2 2484,1/105,9
LSI +/- G16 113,5/71,5 107,5/87,5 2,9/1,7 7,9/6,1 64,9/58,7 123,4/110,8 13,0/10,0 0,9/0,5 1,4/0,5
106,0/24,
0 288,2/-25,6 3336,1/957,9
LSI +/- G19 106,0/64,0 73,1/53,2 3,0/1,8 4,1/2,3 61,5/55,2 115,7/103,1 13,6/10,5 1,5/1,1 1,7/0,9
103,0/21,
0 491,4/177,6 4688,1/2309,9
LSI +/- G21 98,5/56,5 90,2/70,3 2,0/1,8 5,9/4,1 63,5/57,3 116,7/104,1 11,3/8,2 1,3/0,9 1,7/0,9 86,0/4,0 371,9/58,1 3661,1/1282,9


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
539
Panjang Buah, Lebar Buah, dan Ketebalan Daging Buah
Ameriana (2000) melaporkan salah satu petunjuk kualitas yang
paling diperhatikan konsumen dalam menilai kualitas cabai merah adalah
panjang dan lebar buah. Panjang buah cabai yang sesuai dengan pilihan
konsumen adalah 10-12 cm, sedangkan lebar buah antara 1-1,5 cm.
Pada penelitian ini rata-rata panjang buah adalah 10,2 cm dengan kisaran
dari 5.5 cm (G7) sampai 13,7 cm (G15). Hasil uji LSI memperlihatkan
hanya satu genotipe (G15) yang secara nyata lebih panjang dari Tanjung-
2, ada tujuh genotipe yang lebih pendek dari Tanjung-2. Tujuh genotipe
memiliki berbuah lebih panjang dibandingkan salah satu tetua, tidak satu
genotipe pun yang melebihi kedua tetuanya.
Lebar buah bervariasi antara 0,6 cm (G12) sampai 1,4 cm
(Tanjung-2) dengan rata-rata 1,0 cm (Tabel 4). Tidak ada satu genotipe
pun yang melebihi lebar buah Tanjung-2. Sebagian besar genotipe yang
diuji secara nyata memiliki lebar buah yang lebih rendah dari Tanjung-2,
hanya tiga genotipe yang memiliki lebar buah yang sama dengan
Tanjung-2. Enam genotipe memiliki lebar buah melebihi salah satu
tetuanya, satu genotipe (G4) memiliki buah lebih lebar dibandingkan
kedua tetuanya.
Ketebalan daging buah bervariasi antara 0,4 mm (G7) sampai 1,4
mm (G20). Tidak ada satu genotipe pun yang lebih tebal dari Tanjung-2,
daging buah G1 dan G7 lebih tipis dari Tanjung-2, kedua genotipe ini
merupakan tetua yang cenderung merupakan cabai keriting. Tiga
genotipe memiliki tebal daging melebihi salah satu tetuanya, namun tidak
ada satu genotipe pun yang memiliki tebal daging buah melebihi kedua
tetuanya.

Jumlah Buah per Tanaman, Bobot Buah per Tanaman, dan Hasil per
Plot
Berdasarkan hasil analisis jalur yang dilakukan oleh Ahmed dkk.
(1994) diketahui bahwa komponen hasil yang paling penting adalah
jumlah buah tiap tanaman dan bobot buah per tanaman. Jumlah buah per
tanaman dan bobot buah per tanaman berkorelasi positif dan berpengaruh
secara langsung terhadap hasil cabai. Pada Tabel 2 terlihat bahwa rata-
rata jumlah buah per tanaman adalah 91,1 dengan kisaran dari 18,5 (G1)
sampai 155,5 (G4). Rata-rata jumlah buah per tanaman Tanjung-2
mencapai 60,5, delapan genotipe memiliki jumlah buah per tanaman lebih
banyak dibandingkan Tanjung-2 dan hanya satu genotipe saja yang
memiliki buah per tanaman lebih sedikit dari Tanjung-2. Tujuh genotipe
memiliki jumlah buah per tanaman melebihi salah satu tetuanya dan dua


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
540
genotipe yaitu G3 dan G4 menghasilkan jumlah buah per tanaman
melebihi kedua tetuanya.
Bobot buah per tanaman bervariasi dari 44,7 g (G1) sampai 515,3 g
(G5) dengan rata-rata sebesar 276,6 g. Hanya satu genotipe (G5) yang
secara statistik nyata berbeda lebih tinggi dari varietas Tanjung-2 dan
enam genotipe memiliki bobot buah per tanaman lebih rendah dari
varietas Tanjung-2. Delapan genotipe menghasilkan bobot buah per
tanaman melebihi salah satu tetuanya dan empat genotipe dapat melebihi
kedua tetuanya yaitu G3, G4, G5 dan G15.
Hasil per plot merupakan karakter yang paling penting. Data hasil
per plot dapat dipakai menggambarkan hasil per hektar dengan melalui
konversi data. Seperti halnya bobot buah per tanaman, hasil per plot juga
menampakkan variasi yang cukup tinggi antara 597 g/plot (G1) sampai
6759 g/plot (G5). Hanya G5 saja yang memperlihatkan hasil/plot secara
nyata berbeda lebih tinggi dari varietas Tanjung-2. Beberapa genotipe
memiliki hasil per plot dibawah varietas Tanjung-2. Dibandingkan
tetuanya, hasil per plot lima genotipe melebihi salah satu tetuanya dan
empat genotipe melebihi kedua tetuanya yaitu G3, G4, G5 dan G15.


KESIMPULAN

Perbaikan daya hasil varietas cabai lokal dapat ditempuh melalui
persilangan antar varietas pada cabai. Beberapa genotipe hasil
persilangan memperlihatkan penampilan karakter melebihi salah satu atau
kedua tetuanya. Terdapat empat genotipe hasil persilangan yang
memiliki daya hasil melebihi kedua tetuanya (G3, G4, G5 dan G15),
bahkan satu diantaranya (G5) memiliki karakter ideal/harapan seperti
umur genjah, tinggi tanaman sedang, tipe tumbuh kompak, bobot buah
per tanaman dan hasil per plot melebihi kedua tetua dan varietas
Tanjung-2. Genotipe ini dapat ditelaah lebih lanjut untuk dipertimbangkan
menjadi genotipe harapan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adiyoga, W. 1999. Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis
Sayuran Di Indonesia. J. Hort. 9(3) : 258-265.
2. Ahmed N., M.Y. Bhat, M.I. Tanki and G.H. Zargar. 1994. Inheritance
of Yield Attributing Characters in Pepper. Capsicum and Eggplant
Newsletter 13 : 58-60.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
541
3. Ameriana, M. 2000. Penilaian Konsumen Rumah Tangga terhadap
Kualitas Cabai. Jurnal Hortikultura 10 (1) : 61-69.
4. Chew, B.H. 1984. Modes of Inheritance and Lingkage Relationships
of Some Distinctive Morphological Characters in Chillies (Capsicum
annuum L.). MARDI Res. Bull., 12, 1:116-128.
5. Gardner, C.O. and S.A. Eberhart. 1966. Analysis and Interpretation
of Variety Cross Diallel and Related Populations. Biometrics 22 :
439-452.
6. IPGRI, AVRDC, and CATIE. 1995. Descriptors for Capsicum
(Capsicum spp.). International Plant Genetic Resources Institute,
Rome, Italy; The Asian Vegetable Research and Development Center,
Taipei, Taiwan, and the Centro Agronomico Tropical de Investigation
Ensenanza, Turrialba, Costarica. 49p.
7. Kasno, A., Trustinah, dan Moedjiono. 1999. Pemilihan Tetua Kacang
Panjang Melalui Silang Dialel dan Pendugaan Parameter Genetik
dalam Soedarjo, dkk. (editor) Komponen Keknologi untuk
Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-
umbian. Edisi khusus Balitkabi No. 16 : 306-390.
8. Marin, O. V and L.F. Lippert. 1975. Combining Ability of Anatomical
Components of The Dry Fruit in Chilli Pepper. Crop Science 15 : 326-
329.
9. Sausa, J.A. and W.R. Maluf. 2003. Diallel Analyses and Estimation of
Genetic Parameters of Hot Pepper (Capsicum chinense Jacq.).
Scientia Agricola 60 : 105-113.
10. Setiamihardja, R. 1993. Persilangan Antar Spesies pada Tanaman
Cabai. Zuriat, Vol.4, No.2 : 112-115.
11. Yunianti, R., S.Sujiprihati, M. Syukur, dan Undang. 2006. Seleksi
Hibrida Cabai Hasil Persilangan Full Diallel Menggunakan Beberapa
Parameter Genetik. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman di Bogor 1-2 Agustus 2006. hal. 151-156.











Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
542

PENGARUH WAKTU PANEN POLONG
TERHADAP KUALITAS BENIH DUA KULTIVAR
KACANG BUNCIS RAMBAT (Phaseolus vulgaris L.)


Diny Djuariah

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang-Bandung 40391


ABSTRAK. Penelitian bertujuan untuk mengetahui masak fisiologis yang
tepat dari dua kultivar kacang buncis rambat, dalam menghasilkan benih
berkualitas. Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Lembang, bulan Juni sampai dengan Oktober 2007, pada ketinggian 1250
m dpl. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
dengan pola Faktorial, faktor pertama adalah perlakuan kultivar (K) terdiri
atas dua taraf, yaitu: k
1
=Manoa Wonder dan k
2
=Lokal Bandung, faktor
kedua adalah waktu panen (P) terdiri atas empat taraf yaitu: p
1
=67 hst,
p
2
=77 hst, p
3
=87 hst, p
4
=97 hst (hari setelah tanam). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa antara perlakuan kultivar dan waktu panen tidak
terjadi interaksi terhadap semua variabel yang diamati. Kultivar Manoa
Wonder memperlihatkan hasil lebih tinggi dari kultivar Lokal Bandung.
Masak fisiologis biji kacang buncis kedua kultivar dicapai pada waktu
panen p
4
(97 hst), dan merupakan saat panen yang paling tepat bila akan
dijadikan benih. Waktu panen p
4
(97 hst), viabilitas dan vigor benih
mencapai hasil tertinggi dibandingkan waktu panen yang lain.

Kata kunci : Phaseolus vulgaris L., Kultivar, Waktu Panen, Kualitas Benih

PENDAHULUAN

Kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan jenis sayuran
yang dibutuhkan dalam melengkapi menu sehari-hari dan baik sekali
untuk menunjang program pemerintah dalam memperbaiki gizi
masyarakat, karena setiap 100 g polong mudanya mengandung 2,4 g
protein, 0,2 g lemak dan 7,7 g hidrat arang serta dapat menghasilkan 35
kkal (Rukmana, 1994).
Produksi buncis di Indonesia sepanjang tahun 2006 adalah
269.532 ton dengan luas panen 34.787 hektar (Biro Pusat Statistik, 2006).
Kondisi ini merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu dengan
produksi 247.782 ton dan luas panen 32.626 hektar (Biro Pusat Statistik,
2005). Produksi buncis yang semakin meningkat menunjukkan buncis


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
543
cukup populer di kalangan petani untuk diproduksi dan mempunyai nilai
ekonomis yang cukup tinggi akibat permintaan konsumen.
Menurut Panadia (1995), penggunaan benih yang berkualitas dan
penentuan waktu panen dalam usaha memproduksi benih merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan. Penyediaan benih buncis yang
berkualitas belum dapat memenuhi kebutuhan petani, benih tersebut lebih
banyak didatangkan dari luar negeri dengan harga yang mahal, sehingga
lebih banyak menyukai untuk menggunakan benih hasil sendiri.
Peningkatan produktivitas tanaman sayuran setiap satuan luas
perlu diperbaiki sistem bercocok tanam, penggunaan benih berkualitas,
pemupukan, pengaturan jarak tanam, pemberantasan hama dan penyakit
serta penentuan waktu panen dan penanganan pascapanennya.
Sadjad (1993), menyatakan bahwa benih berkualitas mencakup
tiga hal yang tidak terpisahkan yaitu kualitas fisik, kualitas fisiologis dan
kualitas genetis. Benih berkualitas fisik tinggi adalah benih yang bersih
dari campuran kotoran fisik seperti pasir, tanah, tangkai atau daun kering
dan bersih dari campuran benih-benih mati atau benih abnormal fisik.
Matang fisiologis benih yang cukup luas, mampu tumbuh cepat dan
merata. Benih berkualitas tinggi dapat langsung ditanam dan disimpan
dalam periode simpan dan tetap dapat tumbuh dengan produksi baik.
Kualitas genetik berkaitan dengan sifat genetik yang diwariskan oleh suatu
tanaman pada generasi berikutnya serta menggambarkan tingkat
kemurnian suatu benih (Kuswanto, 1996).
Untuk mendapatkan benih berkualitas tinggi perlu diperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya penentuan waktu panen
yang tepat dan cara penanganan benih setelah panen. Setiap kultivar
memiliki waktu panen yang berbeda, mutu suatu benih diperoleh pada
saat benih mencapai masak fisiologis yaitu dimana benih berpotensi
tumbuh dengan daya kecambah maksimum (Jurnalis, 1979).
Menurut Mugnisjah dan Setiawan (1990), dalam penentuan waktu
panen perlu dipertimbangkan kualitas benih yang akan dihasilkan. Pada
fase masak fisiologis benih memiliki viabilitas dan vigor maksimum
dengan kadar air tinggi, sehingga perlu proses pengeringan. Panen yang
dilakukan sebelum masak fisiologis dapat menyebabkan viabilitas dan
vigor rendah, disebabkan struktur dan komposisi benih belum
berkembang secara sempurna. Penundaan panen yang terlalu lama di
lapangan dapat mengakibatkan sebagian benih hilang karena rontok, dan
menurunkan mutu benih.
Tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh perlakuan waktu
panen terhadap kualitas benih dua kultivar kacang buncis rambat.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
544

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober
2007 di Kebun Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) Lembang.
Keadaan topografinya berbukit-bukit, dengan ketinggian 1.250 dpl. Jenis
tanahnya adalah Andosol dengan tekstur lempung berliat.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media
tanaman jenis tanah Andosol dengan tekstur lempung berliat dan benih
kacang buncis kultivar Lokal Bandung serta kultivar Manoa Wonder.
Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk yang berasal dari
kotoran ternak kuda dengan dosis 20 ton/ha (18.000 g/petak 9 m
2
) dan
pupuk buatan yang digunakan adalah Urea dengan dosis 20 kg/ha (180
g/petak 9 m
2
), TSP dengan dosis 600 kg/ha (540 g/petak 9 m
2
) dan KCl
dengan dosis 120 kg/ha (180 g/petak 9 m
2
) yang diberikan sebagai pupuk
dasar dan pestisida yang digunakan dalam percobaan ini adalah fungisida
serta insektisida.
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah cangkul dan
garpu, meteran, tali rafia, etiket dari kaleng, turus dari bambu, tempat
pengering, alat penguji kadar air, timbangan biasa dan timbangan elektrik,
kerta merang, cawan petridish, baki pengecambah, kerikil bata merah,
label dan alat tulis.
Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok
dengan Pola Faktorial yang terdiri atas 8 perlakuan dengan tiga ulangan.
Adapun faktor dan tarafnya adalah sebagai berikut :
1. Kultivar (K), terdiri atas 2 taraf : k
1
= Manoa Wonder, dan k
2
= Lokal
Bandung
2. Waktu panen (P), terdiri atas 4 taraf :
p
1
= 67 hst/20 hsmb/75% wh untuk kultivar Lokal Bandung,
p
2
= 77 hst/30 hsmb/50% wh untuk kultivar Lokal Bandung,
p
3
= 87 hst/40 hsmb/25% wh untuk kultivar Lokal Bandung,
p
4
= 97 hst/50 hsmb/0% wh untuk kultivar Lokal Bandung.
Keterangan : hst = hari setelah tanam,
hsmb = hari setelah mekar bunga,
wh = warna hijau
Untuk kultivar Manoa Wonder perbedaan waktu panen 3 hari lebih
lama dari pada kultivar Lokal Bandung

Pengolahan lahan (tanah) dilaksanakan satu minggu sebelum
tanam. Lahan yang akan ditanami dibersihkan dari gulma dan tumbuhan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
545
lainnya, kemudian tanah diolah sedalam kurang lebih 30 cm hingga
diperoleh struktur tanah yang gembur. Setelah itu dibuat
petakan/bedengan dengan ukuran 3 m x 3 m. Jarak antara petakan 0,5
meter, jarak antara ulangan 1 meter dengan ketinggian petakan/bedengan
30 cm. Penentuan tata letak perlakuan dilakukan secara acak serta
pembuatan lubang tanam dengan jarak tanam 35 cm x 75 cm.
Setelah selesai pengolahan lahan dan pembuatan petakan, maka
pemberian pupuk kandang dengan dosis 20 ton/ha (18.000 g/petak) yang
diberikan secara larikan pada daerah penanaman, kemudian disiram dan
ditutup dengan tanah. Dua hari kemudian pemberian pupuk anorganik
berupa pupuk buatan, yaitu : Urea, TSP dan KCl 120 kg/ha (108 g/petak)
yang diberikan secara bersamaan di atas pupuk kandang tadi dengan
cara ditaburkan kemudian ditutup dengan tanah dan disiran. Pemupukan
kedua khusus untuk Urea diberikan satu bulan kemudian dengan dosis
yang sama.

Tabel 1. Kombinasi perlakuan antara kultivar dengan waktu panen
Waktu panen (P) Kultivar
(K)
p
1
p
2
p
3
p
4
k
1
k
2
k
1
p
1
k
2
p
1
k
1
p
2
k
2
p
2
k
1
p
3
k
2
p
3
k
1
p
4
k
2
p
4

Penanaman dilakukan dua hari setelah pemberian pupuk dasar,
dengan cara memasukan dua buah benih kacang buncis ke dalam lubang
yang telah dibuat secara ditugal kemudian ditutup dengan tanah dan
disiram dengan air. Peninggian guludan, yaitu pada saat tanaman
berumur kurang lebih dua minggu setelah tanam.
Pemanenan, menurut Haryanto et al. (1994) pada umumnya
pemanenan tanaman tergantung pada varietas, musim dan tinggi
rendahnya daerah penanaman. Pemanenan polong kacang buncis untuk
dijadikan benih pada kultivar Lokal Bandung dipilih dari tanaman dengan
tanda-tanda sebagai berikut : umur sekurang-kurangnya 67 hst, warna
polong hijau tua bergaris merah hingga kuning terang, biji sudah
mengeras dan kuat serta warna biji coklat muda hingga coklat tua.
Pemanenan ini dilakukan beberapa kali dengan interval waktu pemanenan
tiga hari.
Penanganan pascapanen meliputi :
1. Pengeringan polong


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
546
Polong dikeringkan di dalam tempat pengering hingga kulit
polong terasa kering.
2. Perontokan
Polong dikupas untuk mendapatkan bijinya dan ditampung
untuk dikeringkan kembali, sehingga kadar air sesuai untuk
penyimpanan yaitu 8-10% (Hidaldo, 1993).
3. Pembersihan dan sortasi
Biji dipisahkan dari kotoran, kulit polong, debu dan lain-lain,
kemudian dipilih biji yang bernas, tidak rusak atau keriput sebagai
benih. Menurut Sadjad (1993) benih adalah biji yang digunakan untuk
tujuan penanaman dan sebagai sarana mencapai produksi
maksimum, sedangkan biji adalah bakal biji yang telah dibuahi.
Benih hasil panen diuji viabilitas dan vigor benih di Laboratorium
Teknologi Benih.
a. Uji Viabilitas Benih
Variabel ini merupakan uji daya kecambah dalam kondisi yang
optimum. Untuk pengamatan terhadap variabel ini dilakukan
pengujian terhadap benih kacang buncis yang dikecambahkan pada
kertas tissue roll yang telah dilembabkan dalam cawan petridish
sebanyak tiga ulangan masing-masing 10 butir.
Pengamatan dilakukan terhadap kecambah normal, kecambah
tidak normal dan yang mati, pada hari kelima sebagai hari hitungan
pertama dan hari kesepuluh sebagai hari hitungan akhir. Penilaian
berdasarkan persentase kecambah normal, penilaian struktur
kecambah dalam uji kecambah benih dilakukan berdasarkan
peraturan ISTA (Perry, 1981). Satuannya dinyatakan dalam persen
(%). Untuk menghitung persentase daya kecambah benih digunakan
rumus :

Jumlah kecambah normal
DK = ---------------------------------- x 100%
Jumlah benih yang diuji

b. Uji Vigor Benih
Pengujian vigor benih merupakan metode untuk mengevaluasi
vigor benih dan bertujuan memberi informasi kemungkinan
kemampuan benih untuk tumbuh menjadi tanaman normal dan
berproduksi optimum meskipun keadaan biofisik suboptimum (Sutopo,
1984). Salah satu uji vigor benih adalah uji daya muncul.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
547
Uji daya muncul merupakan pengembangan dari Uji Hiltner
yang pada mulanya dikembangkan untuk mendeteksi cendawan tular
benih. Pada perkembangan selanjutnya uji ini digunakan sebagai uji
kesehatan benih (Mugnisjah dkk., 1994).
Substrat yang digunakan adalah kerikil bata merah yang
berdiameter antara 2 mm sampai dengan 3 mm. Benih kacang buncis
diletakkan di dalam kerikil tersebut sebanyak 100 butir pada setiap
perlakuannya dan diulang tiga kali. Kemudian disiram dengan air
sampai merata dan diusahakan tidak menggenang. Nilai uji kerikil
bata dihitung dengan rumus :

Kecambah yang muncul sampai hari ke sepuluh
DM = ----------------------------------------------------------------- x 100%
Jumlah benih yang ditanam

Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan penunjang dan
pengamatan utama. Pengamatan penunjang adalah pengamatan yang
datanya tidak dianalisis secara statistik. Pengamatan ini meliputi analisis
tanah, pengamatan terhadap keadaan pertumbuhan tanaman secara
umum, serangan hama dan penyakit, gangguan gulma, data curah hujan
selama percobaan. Pengamatan utama adalah pengamatan yang datanya
diuji secara statistik. Variabel pengamatan yang diuji secara statistik ini,
yaitu :
A. Kuantitas Benih
1. Bobot polong per 10 tanaman (kg), yaitu bobot polong yang dihasilkan
dalam setiap perlakuan.
2. Jumlah polong per 10 tanaman, yaitu jumlah polong yang dihasilkan
dalam setiap perlakuan.
3. Jumlah biji rata-rata 10 polong, yaitu jumlah biji rata-rata 10 polong
yang dihasilkan dalam setiap perlakuan.
4. Bobot biji kering per 10 tanaman (g), yaitu bobot biji kering yang
dihasilkan dalam setiap perlakuan setelah dikeringkan.
5. Bobot 100 biji (g), yaitu bobot 100 biji yang dihasilkan dalam setiap
perlakuan setelah dikeringkan.
6. kadar air benih (%), yaitu kadar air benih yang dihasilkan dalam setiap
perlakuan setelah dikeringkan.

B. Kualitas Benih
1. Viabilitas benih


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
548
Pengamatan dlakukan terhadap daya berkecambah benih (%),
merupakan jumlah kecambah normal hasil pengujian terhadap 10
benih kacang buncis yang dikecambahkan pada kertas tissue roll
yang telah dilembabkan dalam cawan petridish.
2. Vigor benih
Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kekuatan tumbuh (vigor)
benih (%) melalui uji daya muncul (%), merupakan jumlah kecambah
normal yang muncul hasil pengujian terhadap 100 benih kacang
buncis yang dikecambahkan pada kerikil bata merah untuk seluruh
perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis tanah sebelum penelitian menunjukkan bahwa pH
bersifat masam yaitu pH (H
2
O) 5,30 dan ph (KCl) 5,20. Pertumbuhan
tanaman kacang buncis di lapangan, secara umm memperlihatkan
pertumbuhan tanaman yang baik.
Tanaman kacang buncis kultivar Lokal Bandung, warna bunga
putih, umur berbunga dari 30 sampai sekitar 45 hst dan umur panen
sampai sekitar 57 hst. Kultivar Manoa Wonder, warna bunga muda, umur
berbunga 35 sampai 48 hst dan umur panen 60 hst.
Suhu udara selama percobaan berkisar antara 23,5-27,8C. Pada
suhu tersebut tanaman kacang buncis masih mampu tumbuh dan
berproduksi dengan baik. Sadjad (1993) menyatakan bahwa tanaman
kacang buncis hendaknya jangan ditanam bila suhu melampaui suhu
30C sebab pembuahan kacang buncis sangat jelek pada suhu tersebut.
Rata-rata curah hujan selama penelitian yaitu 40,58 mm/bulan,
curah hujan tersebut kurang mendukung untuk pertumbuhan tanaman
kacang buncis pada jenis tanah Andosol, sehingga perlu penambahan air
selain dari air hujan.
Pengamatan terhadap hama dan penyakit menunjukkan bahwa
beberapa tanaman terserang hama dan penyakit. Serangan yang
diakibatkan oleh hama dan penyakit ini diperkirakan mencapai 7,4%,
namun demikian serangan tersebut tidak meluas dan dapat dikendalikan.
Pada awal penanaman dilakukan pemberian fungisida dengan
konsentrasi 2 g/l air dan insektisida 2 ml/l air untuk mencegah penyakit
Antraknose dan nematoda Meloidogyne sp. Selanjutnya pada
pertumbuhan vegetatif yaitu sekitar 3 minggu setelah tanam nampak
adanya serangan ulat penggulung daun dan penyakit ujung keriting pada
beberapa tanaman. Menurut Setianingsih dan Khaerodin (1993) hama


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
549
ulat penggulung daun ini disebabkan oleh Lamprosema indica. Serangan
ini dimulai dengan gejala daun yang kelihatan seperti menggulung dan
terdapat ulat yang dilindungi oleh benang-benang sutera dan kotoran.
Polongnya sering direkatkan bersama-sama dengan daunnya. Daun juga
nampak berlubang-lubang urat-uratnya sama. Hama ini dapat
dikendalikan dengan semprotan insektisida dengan konsentrasi 2 ml/l air.
Adapun serangan penyakit ujung keriting pada tanaman kacang buncis ini
terlihat menimbulkan gejala daun-daun muda menjadi keriting dan
berwarna kuning sedangkan daun yang sudah tua menggulung. Biasanya
daun-daun terasa lebih kaku, tangkai daun mengeriting ke bawah dan
batang tidak normal. Tanaman muda yang terserang menjadi kerdil.
Penyakit ujung keriting penyebabnya adalah virus mosaik keriting, yang
penularannya dilakukan oleh vektor serangga yaitu kutu loncat famili
Jassidae. Oleh karena itu, pengendaliannya dilakukan dengan cara
menyemprot serangga vektor ini dengan insektisida dengan konsentrasi 2
ml/l air. Pada saat pertumbuhan generatif, serangan yang nampak adalah
ulat penggerek polong yaitu Etiella zinckenella. Serangan dimulai dengan
gejala polong yang masih muda mengalami kerusakan, bijinya banyak
yang keropos, akan tetapi kerusakan ini tidak sampai mematikan tanaman
kacang buncis. Hama ini dapat dikendalikan dengan semprotan
insektisida dengan konsentrasi 2 ml/l air.
Selain serangan hama dan penyakit, adanya gulma di lahan
percobaan dapat pula menghambat pertumbuhan tanaman kacang
buncis. Gulma yang tumbuh di lahan percobaan ini antara lain jakut
jampang (Eleusina indica), rumput teki (Cyperus ratundus) dan babadotan
(Ageratum conyzoides). Gulma-gulma tersebut dikendalikan secara
mekanis dengan kored dan dicabut.
Bobot polong per 10 tanaman. Dari hasil analisis sidik ragam
diketahui tidak terjadi interaksi antara perlakuan kultivar dan waktu panen
terhadap bobot polong per 10 tanaman (Tabel 2).
Tabel 2 memperlihatkan bahwa bobot polong per 10 tanaman pada
varietas Manoa Wonder (k
1
) berbeda nyata dengan kultivar Lokal
Bandung (k
2
). Perbedaan bobot polong pada masing-masing kultivar
tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan serta perbedaan
dalam mentransfer asimilat ke biji. Menurut Sadjad (1993), pada sebagian
besar legum pada saat terjadi pembuahan, asimilat yang sebelumnya
disimpan pada masa vegetatif mulai ditransfer ke biji. Asimilat ini
kemudian mengisi biji dalam polong.
Perlakuan waktu panen terhadap bobot polong per 10 tanaman
memperlihatkan perbedaan yang nyata antara waktu panen (p
1
) dengan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
550
waktu panen (p
2
, p
3
dan p
4
). Hal ini disebabkan pada keadaan panen (p
1
)
merupakan pembentukan awal biji, dimana biji belum terbentuk sempurna
dan jumlah asimilat lebih banyak ditranslokasikan ke biji serta kulit polong
masih menunjukkan adanya perkembangan. Kacang buncis yang dipanen
pada keadaan hijau (p
1
) warna polong masih agak muda dan suram, biji
dalam polong belum menonjol dan polongnya belum berserat.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, ternyata tidak terjadi
interaksi antara perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap jumlah
polong per 10 tanaman. Pengaruh perlakuan kultivar dan waktu panen
terhadap jumlah polong per 10 tanaman pada dua kultivar kacang buncis
disajikan pada Tabel 2.
Jumlah polong kultivar Manoa Wonder (k
1
) berbeda nyata dengan
kultivar Lokal Bandung (k
2
). Perbedaan jumlah polong ini cenderung
diakibatkan oleh penampilan fenotipe tanaman hasil interaksi genotipe
dengan lingkungan yang berpengaruh pada perbedaan kecepatan
pengisian polong hasil fotosintesis dari daun tersebut. Faktor yang
mempengaruhinya adalah fisiologis dan lingkungan yang berpengaruh
terhadap penyerbukan bunga, pembentukan ginofor hingga menjadi
polong karena ginofor pada waktu masih di atas permukaan tanah
mempunyai klorofil, sehingga fotosintesis berperan da;am pembentukan
polong (Mugnisjah dan Setiawan, 1994).
Untuk perlakuan waktu panen terhadap jumlah polong per 10
tanaman memperlihatkan pengaruh perbedaan yang nyata. Pada
perlakuan waktu panen (p
4
) berbeda nyata dengan waktu panen (p
3
, p
2

dan p
1
), sedangkan perlakuan waktu panen (p
3
) tidak berbeda nyata
dengan (p
2
dan p
1
). Hal ini mungkin pada perlakuan waktu panen (p
4
)
sudah terjadi pengisian biji penuh dan jumlah polong yang maksimal.
Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Mugnisjah dan Setiawan (1990)
bahwa bila pertumbuhan polong telah mencapai ukuran cukup pengisian
biji, maka polong akan menjadi lebih banyak dan elastis. Sutopo (1985)
mengemukakan bahwa jumlah polong yang terbentuk juga diakibatkan
oleh perbedaan lamanya periode pengisian polong yang berhubungan
dengan kapasitas polong dan pertumbuhan ovule (bakal buah).
Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat interaksi antara
perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap jumlah biji rata-rata 10
polong. Pengaruh perlakuan kultivar dan waktu panen dapat dilihat pada
Tabel 2 yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, hal ini mungkin
secara genetik bahwa masing-masing kultivar memiliki jumlah biji per
polong yang tidak berbeda.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
551
Untuk perlakuan waktu panen terhadap jumlah biji rata-rata 10
polong tidak memperlihatkan pengaruh perbedaan yang nyata antar
perlakuan, hal ini disebabkan terdapatnya biji yang hampa atau tidak
terbentuk sempurna. Mugnisjah dan Setiawan (1994) terjadinya biji yang
kosong atau hampa tidak terbentuk sempurna disebabkan oleh
menurunnya persaingan diantara tiap polong biji dalam mendapatkan
bahan makanan atau serangan hama dan penyakit.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara
perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap bobot biji kering per 10
tanaman. Pengaruh perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap bobot
biji kering per 10 tanaman disajikan pada Tabel 2. Bobot biji kering per 10
tanaman pada kultivar Manoa Wonder (k
1
) berbeda nyata dengan kultivar
Lokal Bandung (k
2
) dan hal ini menunjukkan asimilat lebih banyak
ditranslokasikan ke biji yang secara gentik berukuran lebih besar. Asimilat
tersebut ada yang menjadi cadangan makanan biji. Selama
perkembangan biji terjadi akumulasi cadangan makanan (Sutopo, 1984).
Biji juga berkembang baik, sehingga kotiledon pun berkembang mencapai
ukuran optimal dan bobot biji meningkat. Kenyataan ini sesuai dengan
pendapat Mugnisjah dan Setiawan (1990) bahwa benih besar buncis
menghasilkan biji yang lebih berat.
Untuk perlakuan waktu panen terhadap bobot biji kering
memperlihatkan pengaruh perbedaan yang nyata. Pada perlakuan waktu
panen (p
4
) berbeda nyata dengan waktu panen (p
3
, p
2
dan p
1
), sedangkan
perlakuan waktu panen (p
3
, p
2
dan p
1
) tidak berbeda nyata. Pada
perlakuan waktu panen p
4
(kering pohon) dimana benih benar-benar
dalam kondisi masak fisiologis dan terbaik untuk dijadikan benih
(Rukmana, 1994).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara
perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap bobot 100 biji kering.
Pengaruh perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap bobot 100 biji
kering, disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa bobot 100
biji kering kultivar Manoa Wonder (k
1
) berbeda nyata dengan kultivar Lokal
bandung (k
2
). Kultivar Manoa Wonder (k
1
) dengan ukuran lebih besar
mampunyai cadangan makanan yang lebih banyak sehingga
mempengaruhi bobot biji. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat
Mugnisjah dan Setiawan (1990) bahwa benih besar buncis menghasilkan
biji yang lebih berat. Untuk perlakuan waktu panen terhadap bobot 100
biji kering tidak memperlihatkan pengaruh perbedaan yang nyata antar
perlakuan.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
552
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antar
perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap kadar air benih. Pengaruh
perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap kadar air benih, dapat dilihat
pada Tabel 3. Dalam tabel tersebut memperlihatkan bahwa kadar air
benih pada kultivar Manoa Wonder (k
1
) berbeda nyata dengan kultivar
Lokal Bandung (k
2
). Kultivar Manoa Wonder (k
1
) dengan ukuran yang
lebih besar mempunyai cadangan makanan yang lebih banyak. Menurut
Sadjad (1994) terdapat korelasi antara ukuran biji dengan kandungan
kadar air. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kandungan kadar
air legum semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya ukuran biji.
Untuk perlakuan waktu panen terhadap kadar air benih
memperlihatkan perbedaan pengaruh yang nyata. Kadar air tertinggi
terjadi pada perlakuan waktu panen (p
1
) yang berbeda nyata dengan
perlakuan waktu panen (p
2
, p
3
dan p
4
). Hal ini diduga bahwa pada
perlakuan waktu panen (p
1
) persentase cairan masih tinggi atau biji belum
terbentuk sempurna akan tetapi berangsur-angsur berkurang pada
perlakuan waktu panen (p
2
, p
3
dan p
4
). Perlakuan waktu panen (p
2
) tidak
berbeda nyata dengan (p
3
) dan (p
4
). Sutopo (1984) menyatakan bahwa di
dalam batas tertentu makin rendah kadar air benih, makin lama daya
simpan benih. Kadar air benih yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
benih dapat berkecambah sebelum ditanam, sedangkan dalam
penyimpanan menyebabkan naiknya aktivitas pernapasan yang dapat
berakibat terkuras habisnya bahan cadangan makanan dalam benih.
Akan tetapi kadar air benih yang terlalu rendah akan menyebabkan
kerusakan pada embrio. Hidaldo (1993) menyatakan bahwa kadar air
benih yang optimum untuk penyimpanan bagi sebagian besar benih
adalah antara 8-10%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara
perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap viabilitas benih. Pengaruh
perlakuan perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap viabilitas benih
disajikan pada Tabel 3. Dalam tabel tersebut ditunjukkan bahwa viabilitas
benih antar perlakuan kultivar tidak memperlihatkan perbedaan pengaruh
yang nyata, hal ini dimungkinkan karena pada kondisi optimum masing-
masing kultivar mampunyai viabilitas yang sama dan diturunkan sebagai
faktor genetik.
Untuk perlakuan waktu panen terhadap viabilitas benih
memperlihatkan perbedaan pengaruh yang nyata. Viabilitas benih
meningkat selaras dengan bertambahnya tingkat pemanenan. Viabilitas
benih tertinggi diperoleh pada perlakuan waktu panen (p
4
) yang berbeda
nyata dengan waktu panen (p
3
, p
2
dan p
1
). Secara fisiologis tingkat


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
553
pemanenan mempengaruhi tingkat metabolisme di dalam benih. Menurut
Lita Sutopo (1984) benih bermutu tinggi dicapai pada saat masak
fisiologis, sedangkan panen yang terlalu dini atau lambat dapat
menurunkan mutu benih. Perlakuan waktu panen (p
4
) merupakan saat
masak fisiologis yang lebih tepat dalam kisaran masak fisiologis pada
kacang buncis rambat.
Rendahnya viabilitas benih pada perlakuan waktu panen (p
3
, p
2
dan
p
1
) disebabkan saat itu cadangan makanan yang ada belum cukup untuk
membuat benih berkecambah normal dan diduga embrionya belum
sempurn. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Savagatrup (1985) yang
menyatakan bahwa benih kedelai yang dipanen masih muda mempunyai
viabilitas benih lebih rendah daripada benih masak.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara
perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap vigor benih. Pengaruh
perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap vigor benih disajikan pada
Tabel 3. Vigor benih antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata. Hal ini, mungkin pada kondisi sub optimum masing-masing kultivar
mempunyai vigor benih yang sama dan diturunkan sebagai faktor gentik.
Untuk perlakuan waktu panen terhadap vigor benih memperlihatkan
perbedaan pengaruh yang nyata. Vigor benih tertinggi diperoleh pada
perlakuan waktu panen (p
4
) yang berpengaruh lebih baik daripada
perlakuan waktu panen (p
3
, p
2
dan p
4
).
Demikian pula perlakuan waktu panen (p
3
) yang berpengaruh lebih
baik daripada perlakuan waktu panen (p
2
dan p
1
). Perlakuan waktu panen
(p
2
) berpengaruh lebih baik daripada perlakuan waktu panen (p
1
).
Perbedaan vigor benih pada perlakuan waktu panen ini diduga karena
perbedaan kualitas benihnya. Pada perlakuan waktu panen (p
4
) telah
dicapai masak fisiologis dimana benih berada tingkat perkembangan yang
maksimal, sehingga cadangan makanan dalam kotiledon dapat
sepenuhnya dimanfaatkan untuk menunjang pertumbuhan serta
mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap kondisi lingkungan yang
kurang menguntungkan (sub optimum). Hal ini sesuai dengan pendapat
Byrd (1983) bahwa hanya kecambah-kecambah yang bervigor tinggi yang
mempunyai kekuatan untuk mendorong dirinya melalui lapisan kerikil yang
keras. Hal ini berbeda dengan benih yang dipanen terlalu dini yaitu pada
perlakuan waktu panen (p
1
, p
2
dan p
3
). Diduga benih tersebut belum
mencapai masak fisiologis karena masih berada pada fase penimbunan
bahan makanan cadangan. Kondisi tersebut menyebabkan benih tidak
sepenuhnya memberikan kekuatan untuk mendorong kecambah melalui
kerikil yang keras. Cadangan makanan dalam benih dimanfaatkan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
554
selama tanaman belum membentuk daun yang berfungsi sebagai tempat
untuk fotosintesis.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap bobot polong per 10
tanaman, jumlah polong per 10 tanaman, jumlah biji rata-rata per 10 polong
dan bobot biji kering per 10 tanaman

Perlakuan
(Treatments)
Bobot polong
per 10
tanaman (kg)
Jumlah
polong per
10 tanaman
Jumlah biji
rata-rata per
10 polong
Bobot biji
kering per 10
tanaman (g)
Kultivar:
k
1
= (Manoa Wonder)
k
2
= (Lokal Bandung)


2,67 a
1,45 b

404,92 a
324,75 b

6,47 a
6,63 a

75,00 a
48,00 b
Waktu panen:
p
1
= 67 hst/dap
p
2
= 77 hst/dap
p
3
= 87 hst/dap
p
4
= 97 hst/dap


2,75 a
1,88 b
1,84 b
1,77 b


317,50 b
381,33 b
286,00 b
574,50 a


6,36 a
6,37 a
6,52 a
6,95 a


43,00 b
42,00 b
35,00 b
120,70 a

Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak
Berganda Duncan pada taraf 5%
Hst/dap = hari setelah tanam

Tabel 3. Pengaruh perlakuan kultivar dan waktu panen terhadap bobot 100 biji kering,
kadar air benih, viabilitas benih dan vigor benih

Perlakuan

Bobot 100 biji
kering (g)
Kadar air
benih
(%)
Viabilitas
benih
(%)
Vigor benih
(%)
Kultivar:
k
1
= (Manoa Wonder)
k
2
= (Lokal Bandung)


35,89 a
28,94 b

9,43 a
8,99 b

73,00 a
72,50 a

66,75 a
66,25 a
Waktu panen:
p
1
= 67 hst/dap
p
2
= 77 hst/dap
p
3
= 87 hst/dap
p
4
= 97 hst/dap



34,22 a
33,42 a
32,48 a
31,21 a


10,32 a
9,40 b
8,94 c
8,20 c


45,00 d
63,30 c
83,30 b
100,00 a


40,00 d
54,00 c
76,33 b
92,67 a

Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak
Berganda Duncan pada taraf 5%
Hst/dap = hari setelah tanam





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
555

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Antara perlakuan kultivar dan waktu panen tidak terjadi interaksi
terhadap semua variabel yang diamati.
2. Kultivar Manoa Wonder (k
1
) memperlihatkan hasil yang berbeda
dengan kultivar Lokal Bandung (k
2
) dalam hal bobot polong ,jumlah
polong, bobot biji kering, bobot 100 biji kering dan kadar air benih,
tetapi memperlihatkan hasil yang sama dalam hal jumlah biji, viabilitas
dan vigor benih.
3. Masak fisiologis biji kedua kultivar kacang buncis dicapai oleh
perlakuan waktu panen p4 (97 hst), merupakan saat panen yang
paling tepat bila akan dijadikan benih, juga mencapai viabilitas benih
dan vigor benih tertinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Biro Pusat Statistik. 2005/2006. Survey Pertanian Produksi
Tanaman Sayuran dan Buah-buahan di Indonesia. BPS, Jakarta.
2. Deloche, J.C. and Caldwell. 1960. Seed Vigor and Vigor Test. Prct.
Assoc. The Official Seed Anal. 50(1): 124-129.
3. Edward, G.G.W. 1980. Maturity and Quality of Tree Seed, a State of
The Art Review. Proc. Int. Seed Test Ass. (8): 625.
4. Isely, D. 1957. Vigor test. Proc. Assoc. The Official Seed Anal. 48:
136-182.
5. Mugnisjah, W.M. dan Setiawan. 1994. Panduan Praktikum dan
Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Rajawali Pers. Jakarta,
p : 46.
6. Panidia, T. 1995. Tinjauan Tentang Prospek Industri Benih Sayuran
dan Bunga di Indonesia. Keluarga Benih. 6(1): 40-45.
7. Perry, D.A. 1980. The Concept of Vigor and Its Relevance to Seed
Production Techniques. In: Seed Production. Hebbletweitte (ed).
Butterworts, London. p : 587-591.
8. Rahmat Rukmana. 1994. Bertanam Buncis. Edisi pertama. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
556
9. Sadjad, S. 1974. Pedoman Uji Daya Perkecambahan Benih
Tanaman Pangan di Indonesia. Kursus Singkat Perbenihan, IPB,
Bogor.
10. Sadjad, S. 1984. Seed Technology in a Glisme. In: Complication of
Lecture Note, vol. II, Seameo. BIOTROP (ed). Bogor, Indonesia. p :
21.
11. Sidik, M. 1995. Permasalahan Pengawasan Mutu Benih
Hortikultura. Keluarga Benih, 6(1): 46-48.
12. Sinaga, R.M. 1979. Penentuan Umur Panen pada Beberapa Kultivar
Kacang Jogo. Laporan Hasil Penelitian Hortikultura (tidak
dipublikasikan), Lembang, 1979.































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
557

PERBANDINGAN DAYA HASIL DAN KARAKTERISTIK
DUA PULUH TUJUH STRAIN JAMUR TIRAM (Pleurotus spp.)

Diny Djuariah dan Etty Sumiati

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang Bandung 40391

ABSTRAK. Jamur tiram merupakan salah satu jamur edibel komersial
yang sangat prospektif, sehingga perkembangan budidaya jamur ini
sangat pesat. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman
Sayuran sejak bulan Maret Desember 2007. Tujuan dari penelitian untuk
mengetahui perbedaan daya hasil dan karakterisasi dari strain introduksi
dan untuk mendapatkan strain jamur tiram yang terbaik. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 27
perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil jamur tiram berbeda
nyata di antara strain jamur tiram dan hasil terbaik adalah Pleurotus
ostreatus-37 (283,875 g), Pleurotus ostreatus-51 (270,760 g) dan
Pleurotus ostreatus-56 (280,815 g), sedangkan Pleurotus ostreatus-37
selain hasil terbaik juga memiliki kualitas yang terbaik dibandingkan
dengan strain yang lainnya.

Kata kunci : Pleurotus ostreatus, Daya Hasil, Karakteristik, dan Strain
Introduksi.

PENDAHULUAN

Jamur edibel merupakan salah satu sumber hayati yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan telah dibudidayakan secara
komersial sebagai jenis sayur prospektif yang sangat potensial dan
bernilai gizi tinggi serta dapat digunakan sebagai obat-obatan (Ingold dan
Hudson, 1993). Komoditas jamur edibel di Indonesia memberikan andil
terhadap produksi jamur dunia dengan mengekspor jamur edibel segar
maupun olahan sebesar 29.270 ton, yang merupakan sumber devisa
dengan nilai ekspor US $ 35 014 990 (Biro Pusat Statistik, 2005).
Salah satu jenis jamur edibel yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
sudah dikembangkan di Indonesia adalah jamur tiram (Pleurotus
ostreatus). Jamur tiram adalah jenis jamur kayu yang memiliki kandungan
nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Jamur
tiram mengandung protein, lemak, fosfor, besi, thiamin/vitamin B dan
Riboflavin lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur lain (Marlina dan
Siregar, 2001).
Departemen pertanian menstimulasi petani untuk meningkatkan
produksi jamur dengan berbagai cara, namun rata-rata hasil masih


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
558
rendah, yaitu 13-30% dari bobot media produksi yang digunakan
(Cahyono et. al., 1999; Supardi cit. Utami, 1999; Sarwono, 1999). Hasil
bobot produksi yang ideal adalah 60% dari bobot media produksi yang
digunakan (Tim Redaksi Agromedia, 2001).
Usaha untuk mendapatkan hasil panenan maksimal baik secara
kualitatif maupun kuantitatif hingga berdaya hasil tinggi dipengaruhi
beberapa faktor. Menurut Leatham dan Leonard (1989) sumber nutrisi dan
kondisi lingkungan merupakan faktor luar dan sifat genetik strain
merupakan faktor dalam yang menentukan pertumbuhan dan
perkembangan jamur tiram.
Untuk meningkatkan produksi, memperpendek periode pertanaman
dan mempersingkat masa panen dengan hasil lebih banyak, salah satu
cara adalah dengan mendapatkan strain berkualitas tinggi. Yang
merupakan faktor penentu untuk menghasilkan produksi tinggi tersedianya
bibit induk yang berkualitas unggul. Untuk hal tersebut, maka dilakukan
percobaan perbandingan daya hasil dan karakteristik 27 strain jamur tiram
(Pleurotus spp.) strain introduksi.

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian adalah 27 strain jamur tiram asal introduksi dan
hasil koleksi Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung
(1250 m dpl) yang ditanam pada media campuran serbuk kayu gergaji dan
bekatul yang umum dibudidayakan oleh petani jamur.

Ke-27 strain jamur tiram yang digunakan adalah :
1. Pleurotus ostreatus-49 Asal APR Belanda commercial
2. Pleurotus ostreatus-50 Asal APR Belanda commercial
3. Pleurotus ostreatus-51 Asal Cina - Wild
4. Pleurotus ostreatus-52 Asal APR Belanda commercial
5. Pleurotus ostreatus-53 Asal Hungary commercial
6. Pleurotus ostreatus-54 Asal Cina commercial
7. Pleurotus ostreatus-56 Asal APR Belanda Amycell
8. Pleurotus ostreatus-57 Asal Japan Wild
9. Pleurotus ostreatus-58 Asal APR Belanda Europe
Commercial
10. Pleurotus ostreatus-59 Asal APR Belanda Europe
Commercial
11. Pleurotus ostreatus-60 Asal Korea Selatan Wild
12. Pleurotus sp. Asal Belanda Wild


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
559
13. Pleurotus ostreatus-61 Asal Rusia Wild
14. Pleurotus ostreatus-62 Asal APR Belanda commercial
15. Pleurotus ostreatus-63 Asal Korea Selatan Wild
16. Pleurotus sapidus-3 Asal Cina Wild
17. Pleurotus cornucopiae-3 Asal APR Belanda commercial
18. Pleurotus pulmonarius-
10
Asal APR Belanda commercial
19. Pleurotus sapidus-2 Asal APR Belanda commercial
20. Pleurotus ostreatus-21 Asal APR Belanda commercial
21. Pleurotus ostreatus-4 Asal APR Belanda commercial
22. Pleurotus ostreatus-64 Asal Bionic Farm, Bogor
23. Pleurotus ostreatus-4 Asal Bionic Farm, Bogor
24. Pleurotus ostreatus-22 Asal Bionic Farm, Bogor
25. Pleurotus ostreatus-37 Asal Zairia Thom, Bandung
26. Pleurotus ostreatus-65 Asal Bionic Farm, Bogor
27. Pleurotus ostreatus-66 Asal Biomas Room, Parongpong

Metode Penelitian
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL), penelitian ini dilakukan dengan 27 strain
(seperti di atas) dengan 2 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 50
bag log, jumlah media tanam 1350 bag log dengan berat masing-masing 1
kg.

Parameter pengamatan
Parameter yang diukur dalam penelitian ini yaitu :
1. Pertumbuhan mycelium pada media bibit dan media produksi.
2. Penampilan jamur tiram berupa warna tudung, diameter tudung, tebal
tudung dan jumlah tudung, juga diameter batang dan tinggi batang.
3. Hasil panen per 1 kg media produksi.
4. Kualitas hasil yang meliputi rasa dan ketahanan simpan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Awal pertumbuhan mycelium pada media bibit awal tidak berbeda
nyata antar strain yaitu 2-3 HSI (Hari Setelah Inokulasi), sedangkan
pertumbuhan mycelium pada media bibit akhir yang tercepat adalah
Pleurotus ostreatus-37 (Tabel 1). Awal pertumbuhan mycelium pada
media produksi awal tidak berbeda nyata antar strain, yaitu 3-4 HSI,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
560
sedangkan pertumbuhan mycelium pada media produksi akhir yang
tertinggi adalah strain Pleurotus ostreatus-65 yaitu 31 HSI (Tabel 1).
Faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan mycelium antara lain suhu
dan kelembaban relatif ruang inkubasi, pertumbuhan miselia akan stabil
bila penyimpanan bibit pada temperatur 20-27C (Basuki, 1989), dan
menurut Gunawan, A.W. (1993) suhu optimum untuk pertumbuhan
miselium adalah 26-28C, sedangkan menurut Sumiati (2004) perbedaan
awal tumbuh dan akhir tumbuh mycelium tergantung pada sifat yang
dikendalikan oleh sifat keturunan (genetis).
Pada Tabel 2 terlihat bahwa warna tubuh buah pada 27 strain yang
dicoba adalah putih, coklat, kuning, abu-abu dan pink. Diameter tudung
antara 4,10 cm 9,5 cm bergantung strainnya, tebal tudung antara 0,51
cm 1,50 cm, dan jumlah tudung antara 10.31 98.9, suhu yang optimum
untuk pertumbuhan tubuh buah antara 16-22C (Gunawan, 1997). Tebal
tudung dipengaruhi oleh jumlah tubuh buah yang terbentuk, semakin
sedikit tubuh buah, maka tudung akan semakin tebal. Perbedaan waktu
pembentukan tubuh buah selain karena perbedaan faktor genetik juga
karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Apabila kondisi lingkungan
sesuai dengan kondisi yang diperlukan oleh strain maka waktu yang
diperlukan untuk pembentukan tubuh buah lebih pendek. Namun
sebaliknya jika kondisi lingkungan kurang mendukung maka waktu yang
diperlukan untuk pembentukan tubuh buah lebih lama bahkan tidak dapat
tumbuh primordia (calon tubuh buah) sama sekali. Faktor fisik yang
mempengaruhi pembentukan tubuh buah adalah suhu, cahaya, aerasi dan
kelembaban lingkungan, suhu yang dikehendaki untuk mempercepat
pertumbuhan tubuh buah adalah sekitar 12-18C (Gareth Jones,
1989). Untuk mendapatkan suhu ini media produksi dipindahkan ke
ruang pertumbuhan jamur (kumbung) yang memiliki suhu ruang yang lebih
rendah dari suhu ruang inkubasi. Sedangkan kelembaban lingkungan
yang dikehendaki berkisar antara 80%-95%, kelembaban udara yang
terlalu rendah akan menyebabkan calon tubuh buah yang akan terbentuk
tidak dapat berkembang dengan normal, seperti mengalami dehidrasi,
keriput kemudian mati. Demikian pula jika lingkungan terlalu lembab,
calon tubuh buah dari media tanamnya lebih mudah rusak terkena infeksi
(Priyadi dan Akhmadi, 2000).







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
561
Tabel 1. Pertumbuhan mycelium pada media bibit dan media produksi
Pertumbuhan mycelium
pada media bibit (HSI)
Pertumbuhan mycelium
pada media produksi
(HSI)
No. Spesies/Strain
Awal Akhir Awal Akhir
1. Pleurotus ostreatus-4 3,00 a 22,00 a 3,20 a 28 ab
2. Pleurotus ostreatus-21 3,40 a 21,00 a 3,40 a 28 ab
3. Pleurotus ostreatus-22 3,34 a 22,00 a 3,25 a 28 ab
4. Pleurotus ostreatus-37 3,32 a 22,90 a 4,00 a 30 a
5. Pleurotus ostreatus-49 2,00 a 21,00 a 3,00 a 27 ab
6. Pleurotus ostreatus-50 3,00 a 21,33 a 4,00 a 30 a
7. Pleurotus ostreatus-51 3,00 a 21,67 a 3,67 a 30 a
8. Pleurotus ostreatus-52 3,00 a 21,00 a 3,00 a 27 ab
9. Pleurotus ostreatus-53 3,00 a 21,67 a 3,80 a 29 a
10. Pleurotus ostreatus-54 3,33 a 22,00 a 3,00 a 26 b
11. Pleurotus ostreatus-56 3,35 a 22,67 a 4,20 a 30 a
12. Pleurotus ostreatus-57 3,40 a 22,00 a 4,00 a 30 a
13. Pleurotus ostreatus-58 3,00 a 22,50 a 4,91 a 30 a
14. Pleurotus ostreatus-59 3,33 a 21,00 a 3,00 a 28 ab
15. Pleurotus ostreatus-60 3,00 a 22,00 a 4,00 a 30 a
16. Pleurotus sp. 3,00 a 21,22 a 3,50 a 29 a
17. Pleurotus ostreatus-61 3,00 a 22,00 a 4,00 a 30 a
18. Pleurotus ostreatus-62 3,00 a 21,00 a 3,33 a 27 ab
19. Pleurotus ostreatus-63 3,00 a 21,00 a 3,00 a 27 ab
20. Pleurotus ostreatus-64 3,00 a 22,00 a 3,86 a 29 a
21. Pleurotus ostreatus-65 3,10 a 22,67 a 4,25 a 31 a
22. Pleurotus ostreatus-66 2,92 a 21,00 a 2,89 a 25 b
23. Pleurotus sapidus-2 3,33 a 21,00 a 3,00 a 27 ab
24. Pleurotus sapidus-3 3,00 a 21,40 a 3,46 a 28 ab
25. Pleurotus cornucopiae-3 3,00 a 22,00 a 3,47 a 29 a
26. Pleurotus flabellatus-4 3,00 a 22,10 a 3,75 a 29 a
27. Pleurotus pulmonarius-10 3,00 a 21,50 a 3,00 a 28 ab

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf probabilitas 0,05
HSI = Hari Setelah Inokulasi










Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
562
Tabel 2. Warna tudung, diameter tudung (cm), tebal tudung (cm) dan jumlah tudung
No. Spesies/Strain
Warna
tudung
Diameter
tudung
(cm)
Tebal tudung
(cm)
Jumlah
tudung
1. Pleurotus ostreatus-4 Kuning 4,23 g 0,85 bc 83,00 b
2. Pleurotus ostreatus-21 Coklat 9,37 ab 0,59 de 15,37 mn
3. Pleurotus ostreatus-22 Coklat 5,90 efg 0,54 def 33,40 f
4. Pleurotus ostreatus-37 Putih 7,27 cdef 0,75 bcde 23,85 y
5. Pleurotus ostreatus-49 Putih 7,44 cde 0,74 bcde 20,20 k
6. Pleurotus ostreatus-50 Putih 5,77 efgh 0,78 bcd 39,75 d
7. Pleurotus ostreatus-51 Putih 7,30 cdef 0,75 bcde 24,55 y
8. Pleurotus ostreatus-52 Putih 7,50 cde 1,00 abc 15,64 mn
9. Pleurotus ostreatus-53 Putih 6,80 de 0,80 bc 17,35 lm
10. Pleurotus ostreatus-54 Putih 6,20 ef 0,99 abc 23,90 y
11. Pleurotus ostreatus-56 Putih 6,60 def 0,64 cde 26,30 i
12. Pleurotus ostreatus-57 Putih 7,25 cdef 0,65 cde 28,15 f
13. Pleurotus ostreatus-58 Putih 6,20 ef 0,59 de 41,65 c
14. Pleurotus ostreatus-59 Putih 8,23 b 1,10 ab 15,36 mn
15. Pleurotus ostreatus-60 Putih 6,40 defgh 0,51 def 98,90 a
16. Pleurotus sp. Putih 7,56 cd 0,99 abc 15,36 mn
17. Pleurotus ostreatus-61 Putih 7,50 cd 1,50 a 10,31 o
18. Pleurotus ostreatus-62 Putih 9,42 a 0,79 bcd 14,85 n
19. Pleurotus ostreatus-63 Putih 7,56 cd 0,96 abc 18,00 l
20. Pleurotus ostreatus-64 Putih 5,82 efg 0,54 def 20,50 k
21. Pleurotus ostreatus-65 Putih 6,48 efg 0,72 bcde 13,70 h
22. Pleurotus ostreatus-66 Putih 7,60 cd 0,82 bc 18,37 l
23. Pleurotus sapidus-2 Coklat 6,10 ef 1,30 a 16,60 m
24. Pleurotus sapidus-3 Coklat 6,56 def 0,86 bc 26,95 i
25. Pleurotus cornucopiae-3 Kuning 4,10 g 0,69 cd 98,9 a
26. Pleurotus flabellatus-4 Pink 6,60 def 0,75 bcde 30,57 g
27. Pleurotus pulmonarius-10 Abu-abu 5,31 fg 0,75 bcd 36,80 e

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf probabilitas 0,05


Pada Tabel 3 terlihat bahwa tinggi batang antara 1,56 cm 5,50
cm, sedangkan diameter batang antara 0,34-1,39 cm, tinggi dan diameter
batang jamur tiram sangat dipengaruhi oleh banyaknya tubuh buah dalam
satu rumpun. Bila tubuh buah jumlahnya banyak, maka batang akan
menjadi pendek dan diameternya kecil. Sebaliknya bila jumlah tubuh buah
dalam satu rumpun sedikit, maka batang jamur tiram akan lebih panjang
dan diameternya besar.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
563
Tabel 3. Tinggi batang dan diameter batang
No. Spesies/Strain
Tinggi batang
(cm)
Diameter batang
(cm)
1. Pleurotus ostreatus-4 2,67 def 0,43 ef
2. Pleurotus ostreatus-21 2,57 def 0,94 abc
3. Pleurotus ostreatus-22 2,31 ef 0,54 cdef
4. Pleurotus ostreatus-37 3,75 cd 0,83 bc
5. Pleurotus ostreatus-49 4,55 bcd 0,62 cd
6. Pleurotus ostreatus-50 3,58 cde 0,58 cde
7. Pleurotus ostreatus-51 3,55 cde 0,69 bcde
8. Pleurotus ostreatus-52 3,65 cd 0,75 bcd
9. Pleurotus ostreatus-53 4,20 bcdef 0,76 bcd
10. Pleurotus ostreatus-54 2,98 de 0,51 cdef
11. Pleurotus ostreatus-56 3,53 cde 0,76 bcd
12. Pleurotus ostreatus-57 2,50 def 0,49 de
13. Pleurotus ostreatus-58 3,57 cde 0,57 cde
14. Pleurotus ostreatus-59 3,26 cdef 0,58 cde
15. Pleurotus ostreatus-60 4,71 bc 0,78 bcd
16. Pleurotus sp. 5,58 a 0,94 abc
17. Pleurotus ostreatus-61 4,24 bcd 0,97 abc
18. Pleurotus ostreatus-62 2,80 de 1,39 a
19. Pleurotus ostreatus-63 5,06 ab 1,03 ab
20. Pleurotus ostreatus-64 4,98 bc 0,71 bcde
21. Pleurotus ostreatus-65 3,28 cdef 0,65 cd
22. Pleurotus ostreatus-66 4,38 bcde 1,006 ab
23. Pleurotus sapidus-2 1,56 g 0,38 efg
24. Pleurotus sapidus-3 3,60 cd 0,83 bc
25. Pleurotus cornucopiae-3 3,27 cdef 0,47 def
26. Pleurotus flabellatus-4 0,80 g 0,34 efg
27. Pleurotus pulmonarius-10 2,50 def 0,59 cde

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf probabilitas 0,05

Pada Tabel 4 terlihat bahwa hasil panen per kg media produksi
berkisar 116,110 gr-283,875 gr yang tertinggi dari 27 strain yang dicoba
adalah Pleurotus ostreatus-37 yaitu 383,875 gr. Hasil panen ini lebih
rendah dari nilai BER (Biological Effisiensi Ratio) yang besarnya adalah
60, yang artinya jumlah per 1 kg substrat. Hal ini kemungkinan terjadi
karena lingkungan selama pemeliharaan kurang mendukung pertumbuhan
jamur tiram. Pemanenan merupakan faktor penting dalam budidaya jamur,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
564
karena jamur yang dipanen tepat waktu dapat disimpan dalam keadaan
segar lebih lama, jamur yang terlambat pemanenannya akan cepat busuk.

Tabel 4. Hasil jamur tiram per 1 kg media produksi
No. Spesies/Strain Hasil jamur tiram per 1 kg media produksi (g)
1. Pleurotus ostreatus-4 242,010 abc
2. Pleurotus ostreatus-21 126,730 cdefg
3. Pleurotus ostreatus-22 234,135 abcd
4. Pleurotus ostreatus-37 283,875 a
5. Pleurotus ostreatus-49 243,510 abc
6. Pleurotus ostreatus-50 253,090 abc
7. Pleurotus ostreatus-51 270,760 ab
8. Pleurotus ostreatus-52 157,452 cd
9. Pleurotus ostreatus-53 206,89 bc
10. Pleurotus ostreatus-54 163,09 cde
11. Pleurotus ostreatus-56 280,815 a
12. Pleurotus ostreatus-57 216,265 abcdef
13. Pleurotus ostreatus-58 239,325 abcd
14. Pleurotus ostreatus-59 152,021 cd
15. Pleurotus ostreatus-60 258,825 abc
16. Pleurotus sp. 116,589 d
17. Pleurotus ostreatus-61 116,110 d
18. Pleurotus ostreatus-62 236,025 abcd
19. Pleurotus ostreatus-63 138,40 cdef
20. Pleurotus ostreatus-64 163,370 cde
21. Pleurotus ostreatus-65 124,050 cdefg
22. Pleurotus ostreatus-66 204,700 bc
23. Pleurotus sapidus-2 132,035 cdef
24. Pleurotus sapidus-3 264,465 ab
25. Pleurotus cornucopiae-3 245,895 abc
26. Pleurotus flabellatus-4 142,500 cdef
27. Pleurotus pulmonarius-10 242,015 abc

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf probabilitas 0,05

Pada Tabel 5 terlihat bahwa rasa ada yang enak, cukup enak,
sangat enak, pahit dan tidak enak. Sedangkan ketahanan simpanpada
suhu kamar antara 2-3 hari. Berdasarkan data tes rasa dapat dilihat
bahwa hasil yang di dapat sangat bervariasi tergantung pada konsumen.
Pada umumnya jamur tiram memiliki rasa yang enak bahkan menyerupai
daging ayam bila diolah dengan benar (Cahyana, 2002). Cara yang umum
dilakukan untuk memperpanjang kesegaran jamur adalah dengan
menyimpannya di tempat dingin, umumnya pada suhu antara 1-5C.
Dengan kondisi tempat seperti itu umur jamur dapat diperpanjang minimal
4-5 x 24 jam (Suriawiria, 2000).



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
565

Tabel 5. Rasa dan ketahanan simpan
No. Spesies/Strain Rasa
Ketahanan simpan
(HSI)
1. Pleurotus ostreatus-4 Enak 2
2. Pleurotus ostreatus-21 Cukup enak 2
3. Pleurotus ostreatus-22 Enak 2
4. Pleurotus ostreatus-37 Sangat enak 2
5. Pleurotus ostreatus-49 Pahit dan tidak enak 2
6. Pleurotus ostreatus-50 Pahit dan tidak enak 2
7. Pleurotus ostreatus-51 Cukup enak 2
8. Pleurotus ostreatus-52 Enak 3
9. Pleurotus ostreatus-53 Sangat enak 2
10. Pleurotus ostreatus-54 Pahit dan tidak enak 2
11. Pleurotus ostreatus-56 Cukup enak 2
12. Pleurotus ostreatus-57 Sangat enak 2
13. Pleurotus ostreatus-58 Pahit dan tidak enak 2
14. Pleurotus ostreatus-59 Cukup enak 2
15. Pleurotus ostreatus-60 Pahit 2
16. Pleurotus sp. Enak 2
17. Pleurotus ostreatus-61 Pahit 2
18. Pleurotus ostreatus-62 Sangat enak 2
19. Pleurotus ostreatus-63 Cukup enak 2
20. Pleurotus ostreatus-64 Cukup enak 2
21. Pleurotus ostreatus-65 Enak 2
22. Pleurotus ostreatus-66 Enak 2
23. Pleurotus sapidus-2 Enak 2
24. Pleurotus sapidus-3 Sangat enak 2
25. Pleurotus cornucopiae-3 Sangat enak 2
26. Pleurotus flabellatus-4 Enak 2
27. Pleurotus pulmonarius-10 Enak 2

Keterangan : HSI = Hari Setelah Inokulasi


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat 14 strain yang memiliki hasil panen yang lebih baik dari 13
strain yang lain, dan 2 di antara 14 strain yang tertunggi adalah
Pleurotus ostreatus-37 (283,875 g/1 kg media produksi) dan
Pleurotus ostreatus-56 (280,815 g/1 kg media produksi).
2. Pleurotus ostreatus-37 selain memiliki hasil panen tertinggi juga
mempunyai kualitas yang terbaik dibandingkan dengan 26 strain
jamur tiram lainnya.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
566

DAFTAR PUSTAKA

1. Basuki, T. 1989. Fermentasi Substrat Padat dalam Budidaya Jamur.
Paper disampaikan dalam Seminar Bioproses dalam Industri dan Gizi.
Yogyakarta, 29-30 Nopember 1989.
2. Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Perdagangan Indonesia Exspor.
Jakarta.
3. Gunawan, A.W. 1993. Tiga Metode Aerasi pada Budidaya Jamur
Tiram Putih. Jurnal Mikrobiologi Indonesia, 2:10-13, 1993.
4. Gareth, E.B. Jones. 1989. Edible Mushrooms in Singapore and Other
Southeast Asia Countries. School of Biological Sciences Port Smouth
Polytechnic. 1989.
5. Ingold, C.T. and H.J. Hudson. 1993. The Biology of Fungi. Chapman
and Hall, London.
6. Leatham, G.F. T.J. Leonard. 1989. Biology and Physiology of Shiitake
Mushroom Cultivation, In : S.T. Chang and P.G. Miles (ed.) Shiitake
Mushroom, pp: 19-28; The Proseeding of National Symposium and
Trade Show. Minnesota.
7. Nunung Marlina dan Abbas Siregar. 2001. Budidaya Jamur Tiram.
Pembibitan, Pemeliharaan dan Pengendalian Hama Penyakit.
Kanisius. Yogyakarta. Hal : 50.
8. Priyadi, T.U. and Achmadi. 2000. Teknik Budidaya Jamur. Makalah
Seminar disampaikan pada Pelatihan Budidaya Jamur Kayu, 3-4
Nopember 2000. Bogor.
9. Sumiati, E. 2004. Perbaikan Produksi Jamur dalam Laporan Hasil
Penelitian Jamur Tiram. Balitsa. Bandung.
10. Tim Redaksi Agromedia. 2001. Jamur Kayu. Penerbit PT. Agromedia
Pustaka. Tangerang. Hal : 45.
11. Unus Suriawiria. 2000. Sukses Beragribisnis Jamur Kayu. PT.
Penebar Swadaya, Jakarta. Hal : 56.











Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
567

SELEKSI KETAHANAN PENYAKIT
BERCAK DAUN KERING (Alternaria solani Ell & Martin)
PADA GENERASI SILANG BALIK TANAMAN TOMAT
(Lycopersicon esculentum Mill)

Etti Purwati

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jalan Tangkuban Perahu no.517, Lembang-40391


ABSTRAK. Salah satu penyakit penting yang menyerang tanaman tomat
ialah penyakit bercak daun kering yang disebabkan oleh jamur Alternaria
solani. Penelitian penggunaan fungisida untuk mencegah penyakit ini
sudah umum dilaksanakan, tetapi sampai saat ini para petani belum dapat
mengatasinya dengan tuntas. Salah satu cara yang paling efektif ialah
dengan mengembangkan varietas tomat yang tahan terhadap penyakit
bercak daun. Metode silang balik merupakan cara yang tepat untuk
mendapatkan genotipe yang tahan terhadap penyakit. Penelitian ini
dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang dengan
jenis tanah Andosol dan ketinggian 1247 m dpl., dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana sifat penyakit ini diwariskan kepada generasi
selanjutnya. Penelitian berlangsung dari bulan Januari 2005 sampai
dengan Agustus 2006. Materi terdiri atas 12 perlakuan (6 tetua dan 6
kombinasi generasi silang balik pertama/ BC
1
F
1
), dengan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dan empat ulangan. Seleksi berdasarkan hasil
skoring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga kombinasi
persilangan yang paling tahan yaitu : Moneymaker / No. 2072-24 //
Moneymaker (LV 163); Intan / No. 2072-24 // Intan (LV 162) dan
Ratna / No. 2075-4 // Ratna (LV 159).

Kata kunci : Seleksi Ketahanan; Penyakit Bercak Daun Kering
(Alternaria solani Ell & Martin); Tomat (Lycopersicon
esculentum Mill.)

PENDAHULUAN

Tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill) adalah tanaman
sayuran yang buahnya dapat dimakan segar, dibuat saus, minuman,
pasta dan bahan kosmetik. Selain rasanya enak dan segar juga
merupakan sumber vitamin A, B, sedikit vitamin C dan mineral (Villareal,
1980). Biasanya tanaman ini diusahakan sebagai tanaman komersil
ataupun pekarangan, baik di dataran tinggi ataupun di dataran rendah.
Luas area penanamannya setiap tahun di Indonesia mencapai 51.205
hektar sedangkan produksinya mencapai 647.020 ton (BPS, 2005).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
568
Rata-rata hasil nasional sebanyak 12,64 ton/ha merupakan hasil yang
masih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata hasil dunia sebanyak
20,3 ton/ha. Penyebab utama rendahnya produksi dan hasil tomat di
Indonesia ialah keterbatasan varietas unggul dan serangan hama dan
penyakit. Kendala yang menyebabkannya antara lain ialah penyakit
busuk daun (Phytophthora infestans), bercak daun kering (Alternaria
solani) dan virus.
Di Indonesia khususnya di pulau Jawa penyakit bercak daun
kering termasuk golongan besar penyakit yang menyerang tanaman tomat
dan kentang. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan A. solani yang
disebut juga sebagai penyakit bercak-daun atau bercak kering (Early
blight). Pada tanaman tomat, penyakit ini menyerang daun, buah dan
batang (collar rot). Serangannya bervariasi yaitu : pada waktu awal
pertanaman sekitar umur 2-3 minggu di lapangan atau pada periode
generatif. Bagian tanaman yang diserang ialah bagian daun terbawah
kemudian menular ke daun bagian lain. Hal ini umum terjadi karena
mikroorganisme ini merupakan soil borne disease, maka yang pertama
kali diserang ialah daun yang terbawah. Hal lain mungkin terjadi karena
percikan tanah oleh air yang mengandung sumber penyakit dan
menempel pada daun
Penggunaan fungisida untuk mencegah penyakit bercak daun
sudah umum dilaksanakan, tetapi sampai saat ini para petani belum dapat
mengatasinya dengan tuntas. Salah satu cara yang paling efektif ialah
dengan mengembangkan varietas tomat yang tahan terhadap penyakit
bercak daun. Metode silang balik merupakan cara yang tepat untuk
mendapatkan genotipe yang tahan terhadap penyakit (Opena, 1983).
Tujuan percobaan ialah untuk mengetahui bagaimana sifat penyakit ini
diwariskan kepada generasi selanjutnya, dengan harapan dari enam
kombinasi silang balik akan diperoleh satu atau lebih kombinasi yang
toleran/tahan terhadap penyakit bercak daun kering (A. solani).

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Lembang dengan ketinggian tempat 1247 m dpl, jenis tanah Andosol.
Tetua untuk persilangan ditanam sejak bulan Januari 2005 dan seluruh
kegiatan ini berakhir sampai bulan Agustus 2006. Penanaman bahan
penelitian dilakukan di lapangan, sedangkan persilangannya dilakukan di
rumah kaca.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
569
Materi yang digunakan sebagai induk betina ialah genotipe
komersial yang ukuran buahnya besar, tetapi peka terhadap penyakit
bercak daun : Moneymaker, Intan dan Ratna. Sebagai tetua jantan
digunakan genotipe introduksi yang tahan terhadap penyakit bercak daun
tetapi ukuran buahnya kecil : No. 2075-4, No. 2072-24 dan No.2065-4.
Pada tahap pertama dibuat persilangannya untuk mendapatkan generasi
F
1
. Kemudian tahap kedua dibuat generasi silang balik pertamanya
(BC
1
F
1
).

Materi generasi pertama : F
1
1. Moneymaker/2075-4
2. Moneymaker/2072-24
3. I n t a n/2075-4
4. I n t a n/2072-24
5. R a t n a/2075-4
6. R a t n a/2065-4

Materi generasi silang balik pertama : BC
1
F
1
1. Moneymaker/2075-4//Moneymaker (LV 156)
2. Moneymaker/2072-24//Moneymaker (LV 163)
3. I n t a n/2075-4//I n t a n (LV 158)
4. I n t a n/2072-24//I n t a n ( LV 162)
5. R a t n a/2075-4//R a t n a (LV 159)
6. R a t n a/2065-4//R a t n a (LV 161)

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini ialah
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat ulangan. Benih tomat
disemai di persemaian yang terdiri atas campuran tanah dan pupuk
kandang dengan perbandingan 1:1. Setelah tumbuh kotiledon, benih
dibumbun dengan menggunakan daun pisang yang berisi campuran tanah
dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Tiga minggu kemudian
bibit dipindahkan ke lapangan. Tetua tanaman dan hasil silang balik
generasi pertama (BC
1
F
1
) ditanam di lapangan dengan jarak tanam
50x75. Pemupukan dengan pupuk kandang sapi sebanyak 30 ton/ha dan
pupuk buatan NPK-16-16-16 Mutiara sebanyak 1200 kg/ha. Metoda
pengujian dilakukan dengan Uji Duncan untuk mengetahui tingkat
ketahanan pada generasi BC
1
F
1.
Seleksi dan pengamatan yang diuji
dalam percobaan ini ialah nilai persentase serangan pada daun yang
diakibatkan oleh cendawan A. solani dan intensitas serangan ini diamati
pada saat tanaman berumur 32 hari setelah tanam (hst), setiap plot


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
570
diambil 10 contoh secara acak. Skoring dilakukan pada generasi silang
balik dan tetua-tetuanya, hal ini untuk memudahkan dalam pengujian.

Nilai serangan setiap tanaman berdasarkan rumus :

d
1
+ d
2
+ d
3
+ ....... + dn
P = --------------------------------- X 100 %
N

Dengan catatan : P = nilai kerusakan tanaman
d = nilai kerusakan daun
N = jumlah daun per tanaman

Penilaian kerusakan dalam skoring yang diakibatkan oleh serangan
penyakit A. solani berdasarkan sistem perangkaan dengan nilai 1- 5
(Suhardi, 1994) sebagai berikut :
Skor 1 = serangan pada daun lebih kecil dari 10%
2 = serangan pada daun antara 10 20%
3 = serangan pada daun antara 21 50%
4 = serangan pada daun antara 51 75%
5 = serangan pada daun antara 76 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Interaksi antara gen tanaman dengan gen jamur A. solani
mempunyai peranan penting dalam pengexpresian ketahanan genotipe
BC
1
F
1
. Setiap gen dari genotipe tanaman akan mempunyai padanan
dengan gen dari suatu penyakit (Russel, 1978). Sebagai hasil dari
interaksi tersebut, maka tanaman akan memperlihatkan gejala peka atau
tahan, tetapi pengekspresian ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Penelitian ketahanan generasi BC
1
F
1
terhadap penyakit bercak
daun setelah dianalisa dengan Uji Duncan, hasilnya disajikan pada
Tabel 1.
Ketahanan tanaman ialah daya tahan suatu tanaman terhadap
penyakit, dimana gejala serangan yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut
mudah dilihat. Intensitas serangan yang terendah pada suatu populasi
tanaman yang diamati umumnya dianggap paling tahan dan dinyatakan
dalam persen (%). Dalam percobaan ini digunakan 6 generasi silang balik
pada turunan pertama (BC
1
F
1
). Setelah dianalisa dengan Uji Duncan
hasilnya menyatakan bahwa genotipe LV 161 dan LV 158 tidak


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
571
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata jika dibandingkan dengan
dengan LV 163, LV 162 dan LV 159 (Tabel 1). Demikian pula genotipe LV
161 dan LV 158 menunjukkan tidak berbeda nyata dengan LV 156. Tetapi
LV 156 menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan
genotipe LV 163, LV 162 dan LV 159. Keadaan yang bervariasi ini
disebabkan oleh karena penampilan setiap genotipe yang terjadi dapat
beraneka ragam, sebagai akibat dari adanya interaksi antara gen dengan
lingkungan (Allard dan Bradshaw, 1964).

Tabel 1. Hasil pengujian tingkat serangan penyakit bercak daun pada tanaman tomat
pada generasi BC
1
F
1

No. Perlakuan Rata-rata (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Moneymaker/2072-24//Moneymaker (LV 163)
I n t a n/2072-24//Intan (LV 162)
R a t n a/2075-4//R a t n a (LV 159)
R a t n a/2065-4//R a t n a (LV 161)
I n t a n/2075-4//I n t n a (LV 158)
Moneymaker/2075-4//Moneymaker (LV 156)
17,082 a
17,515 a
17,933 a
18,109 ab
18,117 ab
19,768 b

Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf nyata 5% Uji Jarak Berganda Duncan

Penampilan ketahanan genotipe silang balik generasi pertama
(BC
1
F
1
) ditentukan oleh interaksi antara gen dalam tanaman dengan gen
pada jamur A. solani tersebut. Hal ini terjadi karena setiap tanaman akan
mempunyai gen yang berpadanan dengan gen yang terdapat pada
penyakit (Russel, 1978). Adanya interaksi antara gen-gen tersebut
menyebabkan terjadinya gejala peka atau tahan, tetapi pengekspresian ini
dipengaruhi juga oleh lingkungan. Pada saat percobaan ini dilaksanakan
keadaan lingkungan sangat mendukung perkembangan populasi jamur A.
solani, dimana temperatur berkisar antara 13,6 C 25,5 C sedangkan
temperatur untuk pertumbuhan jamur ini berkisar antara 6 30 C,
kelembaban pada saat penelitian antara 85,9 96,9%. Dengan adanya
kelembaban dan suhu yang menguntungkan akan mempengaruhi
perkembangan jamur A. solani, sehingga mempengaruhi pula tingkat
penetrasinya. Hal ini memperlihatkan gejala yang beraneka ragam pada
genotipe BC
1
F
1
yang diakibatkan oleh perbedaan daya tahan terhadap
penyakit bercak daun tersebut.
Beberapa genotipe BC
1
F
1
pada percobaan ini, setelah diuji ada
yang menunjukkan persamaan dalam tingkat ketahanan terhadap
penyakit bercak daun. Faktor lain yang menyebabkannya ialah adanya
kesamaan tetua betinanya atau tetua jantannya yang digunakan dalam


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
572
persilangan ini, dan ini sesuai dengan teori Mendel bahwa setiap tetua
akan menurunkan sifat yang dimilikinya pada keturunannya.
Genotipe-genotipe yang mempunyai tingkat ketahanan terhadap
penyakit bercak daun yang sama (Tabel 1) ialah sebagai berikut :

Persamaan tetua betina :
- Pada genotipe LV 158 (Intan/2075-4//Intan) dengan LV 162
(Intan/2072-24//Intan), ternyata pada kombinasi persilangan ini kedua-
duanya mempunyai persamaan tetua betina, yaitu Intan.
- Pada genotipe LV 159 (Ratna/2075-4//Ratna) dengan LV 161
(Ratna/2065-4//Ratna), juga pada kombinasi persilangan ini kedua-
duanya mempunyai tetua betina yang sama, yaitu Ratna.

Persamaan tetua jantan :
- Pada genotipe LV 163 (Moneymaker/2072-24//Moneymaker)
dengan LV 162 (Intan/2072-4//Intan), juga pada kombinasi
persilangan ini kedua-duanya mempunyai tetua jantan yang sama,
yaitu 2072-4.

Tabel 2. Persentase kematian tanaman tomat akibat daunnya kering dan jatuh karena
serangan penyakit Alternaria solani pada generasi P
1
, P
2
dan BC
1
F
1
(78 hari
setelah tanam)

Tanaman mati (pohon)
Ulangan
x
No. Genotipe Generasi
I II III IV
x
Tan.
hidup
(phn)
N
(%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Moneymaker
Intan
Ratna
No. 2075-4
No. 2072-24
No. 2065-4
LV.156 (1/4//1)
LV.163 (1/5//1)
LV.158 (2/4//2)
LV.162 (2/5//2)
LV.159 (3/4//3)
LV.161 (3/6//3)
P
1
P
1
P
1
P
2
P
2
P
2
BC
1
F
1
BC
1
F
1
BC
1
F
1
BC
1
F
1
BC
1
F
1
BC
1
F
1

5
9
8
2
1
1
3
1
4
3
2
3
7
8
7
1
0
0
3
2
2
1
3
4
4
8
8
0
2
0
5
2
4
1
1
3
3
8
9
1
0
0
2
1
3
2
3
2
19
33
32
4
3
1
13
6
13
7
9
12
21
7
8
36
37
39
27
34
27
33
31
28
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
82.50
80.00
10.00
7.50
2.50
32.50
15.00
32.50
17.50
22.50
30.00

Keterangan : x = jumlah tanaman yang mati
N = jumlah sampel yang diamati
x = rata-rata tanaman yang mati

- Pada genotipe LV 159 (Ratna/2075-4//Ratna) dan LV 158
(Intan/2075-4//Intan), juga pada kombinasi persilangan ini kedua-
duanya mempunyai tetua jantan yang sama, yaitu 2075-4.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



- LV 156 (Moneymaker/2075-4//Moneymaker) berbeda nyata jika
dibandingkan dengan persilangan lainnya kecuali dengan
persilangan LV 158 (Intan/2075-4//Intan) dimana kedua
persilangan ini mempunyai kesamaan tetua jantannya, yaitu 2075-
4.


Persentase kematian tanaman tomat yang terserang penyakit
bercak daun kering (%)
0
5
10
15
20
25
30
35
LV 156 LV 163 LV 158 LV 162 LV 159 LV 161
genotipe
p
e
r
s
e
n
t
a
s
e

t
a
n
.
t
o
m
a
t

y
g
m
a
t
i

(
%
)
Gambar 1 : Persentase kematian tanaman tomat yang terserang penyakit
bercak daun kering (Alternaria solani Ell & Martin)

Metode silang balik merupakan program pemuliaan yang biasa
digunakan untuk mendapatkan progeni yang tahan penyakit, dimana tetua
jantan adalah sebagai pemberi gen ketahanan penyakitnya (donor),
sedangkan tetua betina sebagai penerimanya (recipient)(Opena, 1983).
Dari data persentase kematian tanaman tomat yang terserang penyakit
bercak daun kering (Tabel 2) juga dari Gambar 1, jelas terlihat bahwa
persentase terendah dicapai oleh LV 163 (15%), diikuti oleh LV 162
(17,5%) dan LV159 ( 22,5%). Pendugaan sebelumnya diharapkan
adanya persilangan BC
1
F
1
yang menunjukkan ketahanan yang tertinggi
terhadap serangan penyakit bercak daun dan ternyata hasil pengujian
berdasarkan Uji Duncan memperlihakan hal tersebut di atas, dengan
demikian hipotesis diterima.




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
573


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
574

KESIMPULAN

Dalam penelitian ini dari enam macam generasi pertama silang
balik pertama (BC
1
F
1
) yang digunakan, diperoleh tiga genotipe yang
paling tahan yaitu :
- LV 163 (Moneymaker/2072-24//Moneymaker)
- LV 162 (Intan/2072-24//Intan )
- LV 159 (Ratna/2075-4//Ratna )


DAFTAR PUSTAKA

1. Allard, R.W., and A.D. Bradshaw. 1964. Implication on Genotype x
Environmental Interaction in Applied Breeding. Crop. Sci. 4 : 503-507.
2. BPS. 2005. Survei Pertanian, Statistik Tanaman Sayuran dan Buah-
Buahan di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta Indonesia.
3. Opena, R.T. 1993. Genetic Improvement of Tomato. In : Breeding of
Solanaceous and Cole Crops. Asian Vegetable Research and
Development Center (AVRDC). Shanhua-Tainan, ROC. Publication
no. : 92-384.
4. Paul Holliday. 1980. Fungus Diseases of Tropical Crops. Cambridge
University Press. Cambridge, London, New York, New Rochelle,
Melbourne, Sidney.
5. Purwati, E. 2003. Penjaringan Varietas Tomat untuk Ketahanan
terhadap Penyakit Bercak Daun (Alternaria solani). Prosiding Kongres
Nasional XVII & Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia,
Bandung 6-8 Agustus 2003.
6. Russel, G.E. 1978. Plant Breeding for Pest and Disease Resistance.
Butterworths. London Boston.
7. Strickberger, M.W. 1976. Genetics. Second Edition. MacMillan
Publishing Co., Collier MacMillan Canada Ltd.
8. Suhardi. 1994. Pengendalian Penyakit Otomatis (C. gloeospoiroides)
dan Bercak Ungu (A. porri) pada Bawang Merah. Bul. Penel. Hort. Vol.
XXVI no.3.
9. Villareal, R.L. 1980. Tomatoes in the Tropics. Westview Press
Boilder, Colorado.
10. Yang, Ch. Y. 1978. Bacterial and Fungal Diseases of Tomato. P. 111-
123. In : Proceeding of 1st International Symposium on Tropical
Tomato. Taiwan. Oct. 23-27.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
575

EVALUASI DAN PENGEMBANGAN VARIETAS TOMAT OLAHAN
SEBAGAI PASTA

Budi Jaya


Balai Penelitian tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang 40391


ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas tomat
yang berdaya hasil tinggi dan berkualitas buah baik sebagai pasta tomat.
Penelitian terdiri atas penelitian lapangan dan laboratorium dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang diulang tiga kali. Dua
belas varietas tomat olahan telah dievaluasi daya hasil di dataran medium
pada ketinggian 550 m dpl di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, dan
kualitas buah tomat olahan sebagai pasta di laboratorium Balai Penelitian
Tanaman Sayuran pada ketinggian 1250 m dpl di Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung, sejak Agustus sampai Desember 2005. Pengamatan
dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman, bobot buah per tanaman dan
kualitas buah tomat olahan. Hasil penelitian lapangan menunjukkan
bahwa galur PT#4225 memberikan bobot buah per tanaman tertinggi yaitu
2,8 kg atau 67,3 ton per hektar diikuti CLN 2026 (2,1 kg/tanaman atau
51,7 ton/ha) dan CL 6046 (2,0 kg/tanaman atau 49,9 ton/ha) serta
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol varietas Presto yaitu
1,7 kg per tanaman atau 42,5 ton per hektar. Kualitas pasta buah tomat
olahan dengan kandungan bahan padat terlarut tertinggi ditunjukkan galur
CLN#2001-7 diikuti galur PT#4225 dan CLN#6046 menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan kontrol Presto.

Kata kunci : Tomat; Pasta Tomat; Varietas

PENDAHULUAN

Tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) dapat tumbuh
baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah, tergantung varietasnya
(Atherthon dan Rudich, 1986 ; Villareal, 1980). Rendahnya produktivitas
pertanaman tomat di Indonesia terutama disebabkan ketersediaan benih
bermutu tinggi masih terbatas, penggunaan varietas yang kurang sesuai
dengan kondisi lingkungan, dan teknik budidaya yang kurang tepat.
Keadaan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah
tanah yang kaya akan humus, dan gembur dengan pH berkisar 5-6,
sedangkan untuk pembuahannya tanaman tomat menghendaki
temperatur malam berkisar 15-20
o
C (Kuo dkk., 1979).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
576
Buah tomat yang dipasarkan dalam bentuk konsumsi segar tanpa
tambahan teknologi daya kompetisinya akan lemah. Padahal tomat
termasuk komoditas yang memiliki diversivitas produk cukup tinggi. Selain
dikonsumsi sebagai buah segar, juga dipakai sebagai bahan baku olahan
untuk pasta, sari tomat (puree), saus dan juice (Luh dan Woodroof,
1992). Produk olahan tomat selain nilai ekonomisnya lebih tinggi juga
mempunyai rentang waktu pemasaran lebih lama dibandingkan dengan
buah tomat segar. Dampak lebih lanjut untuk masa akan datang dapat
memacu pertumbuhan industri pangan dan non pangan dengan bahan
baku tomat.
Luas area pertanaman tomat di Indonesia berkisar 51.200 hektar,
dimana 18.861 hektar terdapat di Pulau Jawa, 15.331 hektar terdapat di
Pulau Sumatera, dan 10.575 hektar terdapat di Pulau Sulawesi (BPS,
2005). Luas pertanaman tomat selama 15 tahun terakhir ternyata
meningkat yaitu dari 43.000 hektar pada tahun 1985 menjadi 59.000
hektar pada tahun 1995, dan turun menjadi 51.000 hektar pada tahun
2005. Nilai ekspornya mengalami kenaikan yaitu dari U$ 79.000 menjadi
U$ 513.000, bahkan pada tahun 1994 sempat mencapai nilai ekspor
sebesar 1.586.219 (Vademekum Pemasaran, 1995) . Selain itu pangsa
pasar untuk pasta tomat di dalam negeri cukup tinggi, sebab Indonesia
masih mengimpor produk olahan tomat sebesar 3370 ton senilai U$
1.200.Rata-rata hasil panen tomat di Indonesia yaitu 12,60 ton/ha (BPS,
2005) masih lebih rendah dibandingkan dengan di luar negeri yang
mencapai 17 ton/ha di Thailand (Sitadhani dan Saswithaya, 1995) dan 39
ton/ha di daerah tropik Amerika (Villareal, 1979). Karakteristik
pengembangan produk dimiliki tomat memungkinkan komoditas tersebut
dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan yang dapat digunakan
untuk memenuhi permintaan rumah tangga dan industri olahan baik di
pasar domestik maupun ekspor.
Petani tomat di dataran tinggi biasanya menggunakan varietas
tomat hibrida yang dihasilkan oleh perusahaan benih yang dikelola secara
komersial, sehingga kualitas benih yang dihasilkan mendapat jaminan
perusahaan benih. Selama ini Indonesia belum mempunyai varietes
tomat khusus yang direkomendasikan sebagai tomat olahan, tetapi
beberapa varietas tomat yang hasilnya cukup tinggi dan cocok untuk
bahan baku industri tomat olahan yaitu varietas F
1
Farmers dan F
1
Presto
dengan hasil 30 ton/ha di dataran tinggi Lembang (Jaya, 1996). Perbaikan
varietas tomat melalui persilangan, seleksi, introduksi, dan berbagai
pengujian terus dilakukan untuk mendapatkan galur-galur harapan tomat
olahan yang cocok untuk dataran medium sampai tinggi.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
577

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini terdiri atas penelitian di lapangan dan dilanjutkan
dengan penelitian di laboratorium . Penelitian di lapangan dilaksanakan
pada lahan sawah di dataran medium Kecamatan Leles, Kabupaten Garut
yang terletak pada ketinggian 550 m dpl. Penelitian di lapangan
berlangsung sejak bulan Agustus sampai Desember 2005, sedangkan
penelitian di laboratorium dilaksanakan di laboratorium teknologi hasil
Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada ketinggian 1250 m dpl di
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung yang berlangsung sejak bulan
Desember sampai Februari 2006.
Perlakuan terdiri atas dua belas varietes tomat harapan untuk
prosessing yaitu : 1). F1 PT#4225, 2). CLN 2001-3, 3). CLN 2001-7, 4).
CLN 2001-15, 5). CLN 2026-3, 6). CLN 2028-1, 7). CL 6046 BC3F5-51-1-
1-20-5, 8). Peto#86, 9). TKU, 10). F1 Presto (kontrol), 11). Fani dan 12).
LV#2862. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 3
ulangan. Ukuran plot setiap perlakuan 1,5 m x 5 m, jarak tanam 70 cm x
50 cm, jarak antar plot adalah 50 cm, dan setiap plot terdiri atas 20
tanaman.
Benih tomat disemai dan setelah tumbuh kotiledon, kemudian
dibumbun dengan media campuran tanah dan pupuk kandang ( 1:1 ) .
Bibit tomat siap ditanam di lapangan pada umur 21 hari sejak persemaian.
Lahan pertanaman dipupuk dengan pupuk kandang ayam 15 ton/ha, dan
pupuk buatan N-P-K mutiara dengan dosis 125-125-125 kg/ha. Lahan
pertanaman ditutup dengan mulsa plastik hitam-perak.
Pemeliharaan tanaman meliputi pemasangan turus, pembuangan
tunas liar pada tanaman dengan tipe pertumbuhan indeterminate , dan
penyemprotan insektisida matador yang dicampur fungisida Dithane M-45
dengan dosis 0,2-0,4 % dan interval penyemprotan 1-2 kali per minggu
tergantung tingkat serangan.hama/penyakit.
Parameter pengamatan meliputi :
1. Umur berbunga (hari setelah tanam) dihitung pada saat 50 %
tanaman sudah berbunga.
2. Umur panen (hari setelah tanam) dihitung pada saat 50 %
tanaman sudah siap dipanen






Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Diagram Alur Pembuatan Pasta Tomat

Disortasi
(Sesuai varietas, ukuran, tingkat kematangan
Ditimbang
(Sesuai kapasitasnya)
Diblanching
(Temperatur 90
o
C selama 3 menit)
Buah Tomat
(Stadia masak merah merata








Dikupas
(Dibuang kulitnya)




Diblender




Disaring
(Dibuang bijinya)



Pasta Tomat


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
578
Sumber : Marpaung dan Nurhartuti (1996)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
579
3. Hasil buah/tanaman (kg/tanaman), Hasil buah/plot (kg/plot), Hasil
4. h masak, bentuk
5. h tomat (Kadar keasaman dan bahan
6. torium pasta tomat (Kadar keasaman dan bahan
7. meliputi pengamatan tipe pertumbuhan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

arakter Tanaman
l pertumbuhan tananman tomat yang diuji
menun
mbuhan
tanam
26 hari setelah tanam
dan d
buah/hektar (ton/ha) yang dapat dipasarkan.
Kualitas buah (Warna buah muda, warna bua
buah, jumlah lokul buah )
Analisis laboratorium bua
padat terlarut)
Analisis labora
padat terlarut)
Data penunjang
dan pengamatan selintas terhadap serangan hama ulat buah
(Helicoverpa armigera), layu bakteri (Ralstonia solanacearum).
K
Secara visua
jukkan keseragaman pertumbuhan vegetatif sangat bagus dan
tidak terjadi serangan hama/penyakit secara nyata. Varietas PT #4225
merupakan persilangan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang,
di mana tetuanya CLN 294 dan Peto#86 berasal dari AVRDC Taiwan
menunjukkan pertumbuhan lebih baik dibandingkan varietas lainnya.
Varietas CL#6046 mempunyai karakter yang menyerupai varietas F
1
Farmers yang banyak ditanam petani di dataran tinggi Lembang.
Pada Tabel 1 dijelaskan warna hipokotil, tipe pertu
an, umur mulai berbunga, umur mulai panen, dan asal varietas.
Warna hipokotil bervariasi antara ungu dan hijau. Menurut informasi
bahwa varietas tomat yang mempunyai hipokotil berwarna hijau lebih
toleran terhadap penyakit virus dibandingkan dengan varietas tomat yang
mempunyai hipikotil berwarna ungu. Tipe pertumbuhan tanaman
bervariasi antara determinate dan indeterminate. Untuk varietas tomat
prosessing biasanya seleksi dilakukan untuk memilih varietas dengan tipe
pertumbuhan determinate. Tipe determinate ini tidak membutuhkan turus
bambu dan periode panen lebih singkat (4-5 kali).
Varietas tomat mulai berbunga berkisar 22-
ipanen setelah berumur 56-65 hari setelah tanam . Hal ini berarti
bahwa penanaman di dataran medium lebih cepat berbunga dan berbuah
dibandingkan dengan di dataran tinggi. Sehingga masa panennya juga
lebih cepat (Davis dan Gardner, 1994).




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
580
abel 1. Karakter tanaman dan asalnya
Varietas
Warna
h
pert an
Umur
b
Umur
Asal
T

Tipe
ipokotil
umbuh
tanaman
erbunga panen
F BAL 1 PT#4225 Ungu Sp 22 56 ITSA
CLN 2001-3 Hijau Sp 24 58 AVRDC
CLN 2001-7 Hijau D
Sp
23 58 AVRDC
CLN 2001-15
d

Ungu 24 58 AVRDC
CLN 2026-3 Hijau Sp 24 58 AVRDC
CLN 2028-1 Hijau Sp 24 58 AVRDC
CL 6046 Ungu sp+ 26 62 AVRDC
Peto#86 Ungu Sp 25 58 Peto See
TKU
esto
Ungu Sp 22 58 Thailand
t F1 Pr Hijau sp+ 26 62 East Wes
Fani
862
Ungu sp+ 26 65 Bogor
LV#2 Ungu D 25 62 AVRDC

Keterangan : sp=d nate; sp+=indeterminate; d arf
Karakter buah dan hasil varietas tomat yang diuji dijelaskan pada
Tabel
ulat pipih (oblate), membulat (round),
bulat b
Hasil Buah Tomat
ervariasi dari 29,2 sampai 67,3 ton per hektar dimana
varieta
etermi =dw

2. Warna buah muda bervariasi antara putih seragam atau hijau
seragam . Faktor yang paling menentukan warna pasta adalah warna
buah pada stadia masak merah merata. Persepsi dan preferensi
konsumen terhadap tomat sangat ditentukan oleh warna, rasa, dan
aroma, namun seringkali selera konsumen dapat berbeda antar lokasi.
Semua varietas yang diuji mempunyai buah berwarna oranye , kecuali
varietas TKU yang berwarna ungu .
Bentuk buah bervariasi dari b
ersegi (square) hingga lonjong (elongated square). Bentuk buah
untuk tomat prasessing dirasakan kurang penting, sebab buah akan diolah
menjadi pasta. Namun demikian bentuk buah tomat yang sering dipilih
sebagai pasta biasanya berbentuk lonjong seperti F1 Farmers, CL#6046.
Demikian pula lokul buah dirasakan kurang begitu penting untuk varietas
tomat prosessing, namun demikian untuk keperluan konsumsi segar (fresh
market tomato) jumlah lokul 2-3 ini menjadi sangat penting, sehingga
menjadi perhatian khusus.

Bobot buah b
s F
1
PT#4225 memberikan bobot buah per hektar tertinggi (67,3
ton) dibandingkan perlakuan lainnya sedangkan terendah diberikan
varietas CLN 2028 (29,2 ton) dibandingkan varietas kontrol F
1
Presto
memberikan (40,5 ton). Menurut Nongkas (1994) melaporkan penggunaan
mulsa plastik dapat memberikan pengaruh positif terhadap hasil buah


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
581
tomat, lebih lanjut dilaporkan penanaman varietas PT#4225 di Thailand
memberikan bobot buah per hektar sebesar 40 ton.
Dalam seleksi varietas tomat olahan di dataran medium ini kriteria
seleksi didasarkan pada bobot buah tertinggi yang mampu dicapai oleh
suatu varietas baik bobot buah/plot maupun bobot buah/tanaman dan
konversi dalam hektar. Penggunaan mulsa plastik dapat mempertahankan
kuantitas dan kualitas buah buah tomat (Nongkas, 1994). Kriteria
tambahan lainnya adalah kadar bahan padat buah dan pasta tomat (Total
Soluble Solid/TSS), warna, aroma, dan rasa.

Tabel 2. Karakteristik buah dan hasil varietas tomat

Varietas
Warna
buah
muda
Warna
buah
masak
Bentuk
buah
lokul
Bobot
buah /
tanaman
(kg)
Bobot
buah/
plot
(kg)
Bobot
buah/ha
(ton)
F1 PT#4225 Uw Oranye Oblate 2-7 2,8 a 55,5 a 67,3 a *)
CLN 2001-3 Uw Oranye El. square 2-3 1,7 cd 34,4 cd 41,7 cd
CLN 2001-7 Ug Oranye Round 2-3 2,0 bcd 39,8 bcd 48,2 bcd
CLN 2001-15 Uw Oranye Oblate 3-7 1,8 bcd 35,5 bcd 43,0 bcd
CLN 2026-3 Uw Oranye El. Square 2-3 2,1 b 42,7 b 51,7 b *)
CLN 2028-1 Uw Oranye Oblate 4-7 1,2 e 24,1 e 29,2 e
CL 6046 Ug Oranye El. Square 2-3 2,0 bc 41,2 bc 49,9 bc *)
Peto#86 Uw Oranye El. square 2-3 1,8 cd 35,1 bcd 42,5 bcd
TKU Uw Ungu El. Square 2-3 1,6 d 35,1 bcd 42,5 bcd
F1 Presto Ug oranye Square 2-3 1,7 cd 33,4 d 40,5 d
Fani Uw oranye Oblate 3-5 2,0 bcd 38,8 bcd 47,0 bcd
LV-2862 Ug oranye Oblate 3-5 1,9 bcd 38,1 bcd 46,2 bcd
C.V. - - - - 10,30 10,58 10,50

Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda
nyata pada taraf 5 % menurut uji Jarak Berganda Duncan

Penanaman tomat pada iklim panas dan keadaan udara basah
terutama di daerah tropik seperti di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut
sering diserang oleh berbagai hama/penyakit. Berbagai jenis penyakit
layu terutama layu bakteri (Ralstonia solanacearum) dan penyakit busuk
daun (Phytophthora infestans) yang sering merupakan kendala bagi
pertumbuhan tanaman tomat di dataran medium tidak ditemukan selama
pertumbuhan tanaman di lapangan, hal ini dapat disebabkan oleh patogen
penyebab penyakit tidak ada, atau perkembangan patogen tertekan pada
lahan sawah yang biasanya ditanami padi. Setelah panen penyakit layu
terdeteksi pada varietas Fani dan TKU.
Pengamatan selintas terhadap serangan hama ulat buah tomat
(Helicoverpa armigera) ditemukan pada tingkat serangan yang relatif
rendah (< 0,5 %).



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
582
Pasta Tomat
Komposisi kimiawi (pH/Keasaman dan TSS/Kandungan bahan
padat terlarut) buah dan pasta tomat yang diuji pada antar varietas
dijelaskan pada Tabel 3. Keasaman (pH) buah tomat bervariasi antara 4,0
(CLN 2001-15 dan CLN 2028-1 ) hingga 4,4 (F
1
Presto) .Kandungan
bahan padat (TSS) buah tomat bervariasi antara 3,2 (Peto 86, Fani )
sampai 4,2 (CLN 2001-7, CLN 2028-1, CL 6046, F1 Presto dan LV 2862).

Tabel 3. Komposisi kimiawi buah tomat dan kandungan bahan padat pasta tomat

Buah tomat Pasta tomat
Varietas
pH
TSS
(%)
Warna pH TSS (%)
1 PT#4225 4,2 d 3,4 f Merah tua 4,2 e 27,3 b *)
CLN 2001-3 4,1 e 3,8 c Merah tua 4,3 d 21,3 d *)
CLN 2001-7 4,2 d 4,0 b Merah tua 4,2 e 28,5 a *)
CLN 2001-15 4,0 f 4,2 a Merah tua 4,0 f 28,5 a *)
CLN 2026-3 4,1 e 3,6 d Merah tua 4,4 c 16,7 h
CLN 2028-1 4,0 f 4,0 b Merah tua 4,4 c 19,7 e
CL 6046 4,2 c 4,0 b Merah cerah 4,6 a 26,7 c *)
Peto#86 4,2 d 3,2 g Merah tua 4,4 c 16,7 h
TKU 4,2 d 3,5 e Ungu tua 4,2 e 18,7 f
F1 Presto 4,4 a 4,0 b Merah tua 4,6 a 14,9 i
Fani 4,3 b 3,2 g Merah tua 4,6 a 17,5 g
LV 2862 4,3 b 4,0 b Merah tua 4,5 b 21,3 d *)
C.V (%) 0,0006 0 0,6611 0,6064

Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan
tidak ada beda nyata pada taraf 5 % menurut uji Jarak Berganda Duncan

Keasaman (pH) pasta tomat bervariasi antara 4,0 (CLN 2001-15)
hingga 4,6 (CL 6046, F1 Presto dan Fani ) . Keasaman buah dan pasta
tomat menunjukkan tidak jauh berbeda . Sebaliknya kandungan bahan
padat buah dan pasta tomat menunjukkan perbedaan yang nyata.
Kandungan bahan padat pasta tomat bervariasi antara 16,7 (CLN 2026-3 )
sampai 28,5 (CLN 2001-7 dan CLN 2001-15). Pasta tomat yang baik
berwarna merah cerah, berkadar asam tinggi, kadar air (73-76 %) dan
total bahan padat terlarut (24-27 %) (Marpaung dan Nurhartuti, 1996).
Sejak diketahui bahwa tomat hibrida mempunyai keuntungan dalam
vigor, maka produsen benih banyak mengembangkan tomat hibrida untuk
mendapatkan keuntungan komersial. Seleksi penting lainnya untuk
menentukan varietas yang cocok untuk tomat prosessing selain daya hasil
adalah rasa, aroma dan kandungan bahan padat yang terkandung dalam
pasta tomat. Varietas PT#4225 merupakan hibrida, sehingga bila
dikembangkan perlu persilangan tetua lebih dahulu. Jadi pilihan yang lebih
baik adalah mengembangkan varietas CL 6046 yang bersifat menyerbuk


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



alami, daya hasil tinggi, kualitas buah baik, dan adaptif bila dikembangkan
di dataran medium.


















Gambar 1. Varietas CL#6046 sesuai untuk tomat olahan Pertanaman di dataran
medium di Kabupaten Garut


KESIMPULAN DAN SARAN

1. Varietas tomat F1 PT#4225, dan CL 6046 merupakan pilihan terbaik
untuk mengembangkan tomat olahan di dataran medium, sebab
memberikan hasil bobot buah dan kualitas bahan padat terlarut
tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

2. Varietas tomat alternatif lainnya yang juga dapat dikembangkan di
dataran medium antara lain varietas CLN 2001-7, CLN 2001-15, CLN
2026, dan LV#2862.

SARAN

Perlu pengujian lebih lanjut tentang ketahanan varietas tomat
olahan terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum).

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
583


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
584

DAFTAR PUSTAKA

1. Atherton, J.G. and J. Rudich. 1986. The Tomato Crop, A Scientific
Basic for Improvement. Chapman and Hall. New York-USA.
2. Davis,J.M. and R.G. Gardner. 1994. Harvest Maturity Affects Fruit
Yield, size, and Grade of Freshmarket Tomato Cultivars. HortSci
Journal Vol. 29 (6) . p:613-615.
3. Hanson,P.M. and J. Chen. 1996. AVRDCs Tomato Improvement
Project. AVRDC TIVS Newsletter. Vol.1 No.1.p: 5-8.
4. Hardiyanto, D.F. Nirmala dan Suhariyono. 1999. Uji Adaptasi Galur
Harapan Tomat pada Agroekologi Spesifik Jawa Timur. J. Hort. 9 (3) :
200-207
5. Jaya, B. 1996. Identifikasi dan Pemanfaatan Kultivar Tomat di Dataran
Tinggi/Rendah Jawa Barat. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional
Komoditas Sayuran. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang. P:
331-337.
6. Luh, B.S. and J.G. Woodruff. 1982. Commercial Vegetable
Processing. The Avi Publ.Co.Inc. Westport-Connecticut.
7. Marpaung, L. dan Nurhartuti. 1996. Pengaruh Kultivar, Maizena dan
Lama pengentalan Terhadap Mutu Pasta Tomat. Prosiding Seminar
Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran. Balai Penelitian Tananman
Sayuran. Lembang. P:609-616.
8. Nongkas, A., 1994. Fertilizer and Mulching on Processing Tomato.
ARC-AVRDC. Training Report.
9. Pasandaran, E. dan P.U. Hadi. 1994. Prospek Komoditas Hortikultura
di Indonesia Dalam Rangka Kerangka Pembangunan Ekonomi.
Prosiding Ratek Penyusunan Prioritas dan Desain Penelitian
Hortikultura. P:65-98.
10. Purwati, E. B. Jaya and G.A.M. Van Marreuweijk. 1994. Screening for
Tomato Genotypes Adapted to Lowland Condition. Acta Horticulturae
369:269-284.
11. Purwati, E. dan Hanudin. 1996. Screening of Some Tomato
Genotypes for Resistance to Bacterial Wilt by IBWDN Method in
Indonesia . AVNET Final Report . p:27-29.
12. Senekhamta, S.1997. Processing Tomato Varietal Trial in Training
Report 1997. ARC-AVRDC. Thailand . p:201-204.
13. Sitadhani, K. dan W. Saswittaya . 1995. Field Verification of Tomato.
AVNET Final Report. Kasetsart Univ. Depart. Of Agric. Thailand. P:39-
49.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
585

PENGUJIAN DAYA HASIL GENOTIPE MENTIMUN
DI DATARAN RENDAH

Etti Purwati


Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jalan Tangkuban Perahu no.517, Lembang-40391


ABSTRAK. Pada bulan September sampai dengan Nopember 2007 telah
dilakukan penelitian untuk mengevaluasi enam genotipe mentimun
dengan varietas Saturnus sebagai pembanding di dataran rendah
Wonocatur DIY,.tipe tanah Latosol dan ketinggian 200 m dpl. Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan dan 20 tanaman/plot digunakan
untuk menganalisis bobot buahnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
LV 1043 mencapai hasil tertinggi (34,7 ton/ha) tetapi tidak berbeda nyata
dengan LV 3342 (25,6ton/ha) dan varietas Saturnus (25,2 ton/ha) sebagai
pembanding. Daya tahan simpan buah terbaik berkisar dari 3 sampai 4
hari, dicapai oleh LV 3341, LV 3342 dan Saturnus (pembanding).

Kata kunci: Daya Hasil; Genotipe; Mentimun (Cucumis sativus).


PENDAHULUAN

Mentimun (Cucumis sativus L.) adalah tanaman sayuran buah
yang cukup penting, merupakan tanaman semusim yang bersifat
memanjat dengan sulurnya yang menyerupai spiral. Bunganya berwarna
kuning dengan bentuk menyerupai terompet dan sifatnya berumah satu,
artinya bunga jantan dan bunga betina letaknya terpisah tetapi masih
dalam satu pohon. Bunga betina mempunyai bakal buah yang
membengkak di bawah mahkota bunganya, sedangkan pada bunga
jantan tidak terjadi pembengkakan. Buah mentimun dapat dimakan baik
secara segar maupun olahan, kecuali mentimun Suri (Krai) hanya diolah
sebagai minuman. Mentimun terdiri atas dua golongan, yaitu:
a. Mentimun biasa yang buahnya halus dan mempunyai bintil pada
permukaan kulit buahnya, terutama pada bagian pangkal buah.
Jenis mentimun ini kulitnya tipis dan lunak. Buah muda berwarna
hijau keputi-putihan sampai hijau tua dan setelah tua berwarna
kuning sampai coklat.
b. Mentimun krai atau suri (Cucumis melo var. conomon). Mentimun
jenis ini mempunyai buah yang permukaan kulitnya halus (tidak


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
586
berbintik-bintik), buahnya besar, lonjong, berwarna kekuning-
kuningan dan bergaris-garis putih.

Tanaman mentimun banyak dibudidayakan mulai dari dataran tinggi
sampai ke dataran rendah . Tanaman ini biasanya ditanam setelah padi
rendengan, palawija atau tanaman sayuran lainnya. Menurut data statistik,
50% dari luas pertanaman mentimun yang ada di Indonesia terdapat di
Jawa Barat. Pada tahun 2004 luas pertanaman mentimun di Jawa Barat
mencapai 27.501 ha dengan produksi 79.147 ton dan rata-rata hasil 28.78
kwintal/ha (Direktorat Bina Program Tanaman Pangan, 2004).Di daerah
tropika seperti di Indonesia, tanaman mentimun umumnya menghasilkan
lebih banyak bunga jantan dibandingkan dengan bunga betinanya. Bunga
betina baru muncul setelah tumbuh bunga keenam, dan tidak semua
bunga tersebut mampu menjadi buah. Hal inilah yang menyebabkan
produksinya masih rendah (Sunarjono dkk., 1991). Syarat-syarat penting
untuk bertanam mentimun yaitu tanah subur dan cukup persediaan air
terutama pada saat berbunga. Tanah pertanaman yang tidak mengalami
penggenangan lebih disukai, karena tanaman tidak tahan hujan lebat yang
terus menerus. Untuk pertumbuhan optimal menghendaki tempat yang
terbuka dan cuaca cerah (Sutarya dkk., 1995).
Mentimun dapat ditanam sepanjang tahun, tetapi waktu tanam
yang baik dilakukan pada akhir musim hujan atau pada awal musim
kemarau. Derajat kemasaman (pH) tanah yang dikehendaki berkisar
antara 6 7. Pada tanah yang mengandung kadar garam tinggi (alkaline)
akan mengakibatkan rasa buahnya menjadi agak pahit (Whitaker et al.,
1962).
Kebutuhan akan sayuran ini setiap tahunnya terus meningkat
sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, oleh karena itu perlu
mengadakan seleksi untuk memilih mentimun yang berproduksi tinggi.
Pengujian daya hasil yang dilaksanakan berikut ini ialah dengan tujuan
untuk mendapatkan genotip mentimun yang berdaya hasil tinggi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Wonocatur (DIY)
dengan ketinggian tempat 200 m dpl dan jenis tanah latosol, dari bulan
September sampai dengan Nopember 2007. Materi berupa 6 genotipe
mentimun dan 1 varietas (Saturnus) sebagai pembanding. Untuk
menganalisa data hasil penelitian digunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan 4 ulangan dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
587
Duncan. Jarak tanam 50 cm x 60 cm dan populasi 20 tanaman/plot
dengan jarak antar plot 50 cm dan jarak antar ulangan 1,5 m. Biji
mentimun disebarkan langsung kedalam lubang pertanaman. Pemupukan
diberikan yaitu, pupuk kandang kuda 10 ton/ha, pupuk Urea 150 kg/ha,
TSP 200 kg/ha dan KCL 100 kg/ha. Setiap plot ditutupi dengan mulsa
plastik hitam perak.
Parameter yang diamati meliputi:
- Pertumbuhan/keseragaman tanaman
- Sifat morfologis tanaman
- Umur mulai berbunga
- Umur mulai panen
- Bobot hasil (buah/ plot/ha)
- Kualitas hasil (buah : bentuk, warna, rasa, daya tahan simpan)
- Insiden hama/penyakit

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan di lapangan pada awalnya semua genotipe tidak
memperlihatkan gejala serangan hama dan penyakit. Penyakit
anthracnose yang disebabkan oleh fungi Colletotrichum lagenarium
menyerang tanaman setelah berumur 20 hari di lapangan. Gejala berupa
bercak daun menguning yang makin lama makin meluas dengan cepat,
kemudian berubah menjadi berwarna coklat dan berbentuk memanjang.
Setelah itu diantara bercak-bercak tersebut, terbentuk lubang. Gejala ini
dimulai dari daun yang tua, kemudian setelah beberapa hari merambat ke
daun-daun muda, dan akhirnya tanaman menjadi layu (MacNab et al.,
1983). Bercak berwarna gelap dengan bentuk memanjang dan di
tengahnya berwarna agak terang, sering terjadi pada batang dan hal ini
dapat menyebabkan matinya jaringan di dekat bercak tersebut. Akibatnya
pada buah yang masih muda tidak akan berkembang, tetapi pada buah
yang berukuran besar perkembangannya akan terhambat (Whitaker et al.,
1962). Hal ini terjadi terutama pada genotipe no. 6 (LV 308).
Umur berbunga berkisar antara 27 35 hst dan umur panen
berkisar antara 45 47 hst. Warna daun semuanya hijau muda (Tabel 1.).
Warna buah muda bervariasi dari hijau, hijau gelap dan kuning. Demikian
juga bentuk buahnya bervariasi dari blossom tapered, elliptical elongated
dan oblong ellipsoid (Tabel 2.).





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
588

Tabel 1. Karakteristik, umur berbunga dan umur panen tanaman

No. Genotipe Asal
Umur
berbunga (hst)
Umur panen
(hst)
Warna daun
1. LV 1043 Balitsa 32 47 Hijau muda
2. LV 3341 Balitsa 27 45 Hijau muda
3. LV 3342 Balitsa 27 45 Hijau muda
4. LV 3343 Balitsa 27 45 Hijau muda
5. LV 2276 Balitsa 32 47 Hijau muda
6. LV 308 Balitsa 35 46 Hijau muda
7. Saturnus Pembanding 31 45 Hijau muda

Karakteristik buah pada umumnya bergaris, kecuali pada genotipe
4, buahnya tidak bergaris (Tabel 3.). Sedangkan untuk buah yang
bergaris, warnanya putih dan kuning. Untuk tes rasa ternyata semua
genotip tidak pahit. Daya tahan simpan buah merupakan salah satu
kriteria yang cukup penting untuk mentimun. Dari seluruh genotipe yang
diuji daya tahan simpan buah LV 3341, LV 3342 dan Saturnus
(pembanding) ialah yang terbaik, yaitu berkisar antara 3 4 hari.

Tabel 2. Karakteristik buah (bentuk buah muda, warna buah muda, bentuk pangkal buah, warna
pangkal buah, bentuk ujung buah)

No. Genotipe Bentuk buah
Warna
buah
muda
Bentuk
pangkal buah
Warna
pangkal buah
Bentuk
ujung buah
1. LV 1043 blossom
tapered
hijau
gelap
flattened hijau gelap rounded
2. LV 3341 Elliptical
elongated
kuning rounded kuning rounded
3. LV 3342 blossom
tapered
kuning rounded kuning flattened
4. LV 3343 oblong
ellipsoid
hijau
gelap
flattened kuning flattened
5. LV 2276 blossom
tapered
hijau
gelap
flattened hijau gelap flattened
6. LV 308 blossom
tapered
hijau flattened hijau gelap rounded
7. LV1723
(Saturnus)
oblong
ellipsoid
hijau flattened hijau muda flattened

Tabel 3. Karakteristik buah (garis pada buah, warna garis, rasa, daya tahan simpan) dan hasil
(berat buah/plot dan berat buah/ha)

No. Genotipe
Garis pada
buah
Warna
garis
Rasa buah
Daya
tahan
Simpan
buah
(hari)
Berat buah
plot
kg

Hasil /
(ton/ha)
1. LV 1043 bergaris putih tdk pahit 2 3 26.0 a 34.7
2. LV 3341 tdk bergaris - tdk pahit 3 4 14.263 b 19.0
3. LV 3342 tdk bergaris - tdk pahit 3 4 19.163 ab 25.6
4. LV 3343 tdk bergaris - tdk pahit 2 3 12.163 bc 16.2
5. LV 2276 bergaris kuning tdk pahit 2 3 16.175 b 21.6
6. LV 308 bergaris putih tdk pahit 2 3 6.588 c 8.8
7. Saturnus bergaris kuning tdk pahit 3 4 18.925 ab 25.2

Catatan :Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji LSD
taraf 5%


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008







Produksi Mentimun di Wonocatur (t/ha)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
L
V

1
0
4
3
L
V

3
3
4
1
L
V

3
3
4
2
L
V

3
3
4
3
L
V

2
2
7
6
L
V

3
0
8
S
a
t
u
r
n
u
s
Genotipe
P
r
o
d
u
k
s
i

(
t
/
h
a
)


Gambar 1 : Produksi mentimun di dataran rendah Wonocatur (2007)

Bobot buah per plot pada penelitian ini bervariasi dengan kisaran
6 - 26 kg/plot. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa genotip LV 1043
mencapai berat buah/plot tertinggi (26,0 kg/plot) tidak berbeda nyata jika
dibandingkan dengan LV 3342 (19,163 kg/plot) dan Saturnus (25,2
kg/plot) sebagai pembanding. Pada grafik (Gambar 1) jelas terlihat bahwa
produksi per hektar dicapai oleh LV 1043, lebih tinggi dibandingkan
dengan genotipe Saturnus sebagai pembanding. Dalam penelitian ini
varietas Saturnus digunakan sebagai pembanding, karena dari hasil
penelitian-penelitian terdahulu varietas ini berpotensi hasil tertinggi
(Sumpena dan Permadi, 1995, 1999). Potensi hasil genotipe-genotipe
yang lainnya menunjukan perbedaan yang sangat nyata jika dibandingkan
dengan genotipe LV 1043. Bobot buah/plot terendah dicapai oleh
genotipe LV 308 (6.588 kg/plot) (Tabel 3). Hal ini terjadi karena seperti
telah disinggung sebelumnya bahwa genotip ini banyak terserang penyakit
anthraknose. Di samping itu adanya variasi dalam bobot buah
disebabkan, karena suatu karakter tidak dapat berkembang dengan baik
jika gen-gen yang terdapat pada individu tersebut tidak didukung oleh
keadaan lingkungan yang sesuai (Allard dan Bradshaw, 1964).
Sebaliknya keadaan optimal tidak akan menyebabkan suatu karakter
dapat berkembang dengan baik tanpa didukung oleh adanya gen-gen
yang diperlukan. Variabilitas suatu karakter di samping disebabkan oleh
perbedaan gen-gen yang terdapat pada setiap individu juga disebabkan
oleh perbedaan tempat individu tersebut tumbuh. Dengan demikian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
589


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
590
karakter yang terdapat pada mahluk hidup secara terus menerus akan
memberikan tanggap dan penyesuaian terhadap lingkungannya dan ini
merupakan interaksi antara genotip dengan lingkungan (Allard., 1960).
Interaksi antara genotipe dengan lingkungan sangat dipengaruhi
oleh variasi lingkungan. Variasi lingkungan terbagi atas dua golongan
yaitu variasi lingkungan yang dapat dikendalikan, meliputi sifat-sifat umum
: iklim dan tipe tanah ; variasi lingkungan yang sukar dikendalikan ialah
fluktuasi cuaca yang meliputi jumlah dan distribusi curah hujan dan
temperatur. Adanya perbedaan hasil di antara genotipe ini karena tanggap
tanaman terhadap variasi lingkungan yang beragam dari tanaman yang
satu dengan yang lainnya. Meskipun hasil tertinggi dicapai oleh genotipe
LV 1043, LV 3342 di samping Saturnus sebagai kontrol, ini semuanya
tergantung kepada pilihan konsumen, jenis mana yang akan dipilih.

KESIMPULAN

Hasil buah tertinggi dicapai oleh genotipe LV 1043 (34,7 ton/ha)
tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan genotipe Saturnus
(pembanding, 25,2 ton/ha) dan LV 3342 (25,6 ton/ha). Daya tahan
simpan buah yang terbaik ialah genotipe LV 3341, LV 3342 dan Saturnus
(pembanding) yaitu 3 4 hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Willey and
Sons, Inc. Tokyo. Japan Toppan Company Ltd.
2. Allard, R.W. and A.D. Bradshaw. 1964. Implication of Genotype x
Environmental Interactions in Applied Plant Breeding. Crop Sciense.
4:503-542.
3. Anonymous. 2004. Luas Panen, Rata-rata Hasil dan Produksi
Sayuran. Direktorat Bina Produksi Hortikultura. Dir. Jen. Tanaman
Pangan Jakarta. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Puslithort-Badan
Litbang Pertanian.
4. MacNab A.A., A.F Sherf, and J.K. Springer. 1983. Identifying
Diseases of Vegetables. The Pennsylvania State University College of
Agriculture University Park, Pennsylvania.
5. Sumpena, U. dan A.H. Permadi. 1995. Multilocational Trial of
Cucumber in the Lowland of Indonesia. AVNET Workshop Bangkok.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
591
6. -----------------------------------. 1999. Usulan Pelepasan Galur Mentimun
LV 1043, LV 2902 dan LV 2909 sebagai Varietas Unggul. Balitsa-
Puslitbanghort. Badan Litbang Pertanian.
7. Sunarjono, H., Darmawati dan Y. Sugita. 1991. Peranan Pupuk
Nitrogen terhadap Penampilan Bunga dan Produksi Mentimun. Bul.
Penel. Hort. Vol.XX no.3.
8. Sutarya, R., G. Grubben dan H. Sutarno. 1995. Pedoman Bertanam
Sayuran Dataran Rendah. Gajah Mada University Press.
9. Whitaker, T.W., and G.N. Davis. 1962. Cucurbits, Botany, Cultivation,
and Utilization. London, Leonard Hill Limited. Interscience Publishers,
Inc. New York.


































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
592

PENGARUH TUMPANGSARI WORTEL DENGAN BAWANG MERAH
TERHADAP PRODUKSI BIJI WORTEL DAN UMBI BAWANG MERAH

Etty Sumiati, Sartono Putrasamedja, dan Etti Purwati

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Perahu No. 517, Lembang-Bandung 40391
Telp : (022) 2786245, Fax : (022) 2786416


ABSTRAK. Produksi biji wortel dapat ditingkatkan antara lain dengan
menanam wortel bersama dengan bawang merah dalam satu petak yang
sama (tumpangsari). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik
tumpangsari wortel dengan bawang merah yang tepat untuk memperoleh
hasil produksi biji wortel dan umbi bawang merah yang tinggi. Rancangan
Acak Kelompok dengan 4 ulangan disusun di lapangan. Perlakuan
tumpangsari terdiri atas 5 level, yaitu (1) 1 baris tanaman bawang merah +
1 baris tanaman wortel (2) 2 baris tanaman bawang merah + 1 baris
tanaman wortel, (3) 3 baris tanaman bawang merah + 1 baris tanaman
wortel, (4) 4 baris tanaman bawang merah + 1 baris tanaman wortel, dan
(5) 5 baris tanaman bawang merah + 1 baris tanaman wortel. Tanaman
wortel yang digunakan, yaitu kultivar lokal Cipanas, sedangkan tanaman
bawang merah menggunakan kultivar lokal `Menteng`. Penelitian
dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Lembang (1250 m dpl) dari bulan Mei sampai September 2006. Untuk
setiap kombinasi perlakuan tumpangsari, maka umbi benih wortel dan
bawang merah ditanam pada satu petak yang sama. Ukuran setiap petak
perlakuan 4 m
2
. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hasil biji wortel
tertinggi(491,70 g per 4m
2
) diperoleh dari teknik tumpangsari dengan
menanam 1 baris tanaman bawang merah + 1 baris tanaman wotel. Hasil
produksi umbi bawang merah tertinggi (1621.80 g per 4m
2
) berasal dari
teknik tumpangsari dengan menanam 5 baris tanaman bawang merah + 1
baris tanaman wortel.

Kata kunci : Allium acalonicum L.; Daucus carota L.; Tumpangsari; Hasil
Umbi dan Hasil Biji.

PENDAHULUAN

Telah diketahui secara alami, tanaman wortel kultivar lokal Cipanas
dapat berbunga melimpah di dataran tinggi. Polinasi pada tanaman wortel
terjadi dengan bantuan serangga spesies lokal yang datang berkunjung
saat bunga wortel anthesis, tetapi belum diteliti jenis serangga polinator
yang berperan pada polinasi bunga wortel tersebut.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
593
Petani biasanya memproduksi biji wortel secara monokultur. Teknik
budidaya (termasuk produksi biji wortel) dengan cara monokultur kurang
menguntungkan ditinjau dari efisiensi pemanfaatan lahan (terutama bila
kepemilikan laha sangat sedikit), biaya operasional budidaya,
pertumbuhan tanaman, hasil panen, dan pendapatan petani. Untuk
meningkatkan pendapatan petani, maka teknik bertanam tumpangsari
sangat sesua, terutama bagi petani dengan kepemilikan lahan sempit.
Keunggulan dari teknik bertanam sayuran secara tumpangsari antara lain
yaitu efisiensi dalam pemanfaatan-pengelolaan lahan, air, dan pupuk,
menekan perkembangan hama-penyakit dan alelopati (Andrews dan
Kassam 1976), meningkatkan produktivitas lahan (Yuwariah 1994) dan
nilai kesetaraan lahan (NKL), serta pendapatan petani (Gunadi dan
Sumiati 1990).
Penelitian bertujuan untuk memperbaiki teknologi produksi biji
wortel melalui aplikasi teknik tumpangsari antaran tanaman wortel dan
bawang merah. Selain diperoleh hasil biji wortel, juga akan diperoleh hasil
umbi bawang merah untuk konsumsi dari satu bidang lahan yang sama.
Hasil biji wortel dan umbi bawang merah tertinggi berasal dari salah satu
cara tumpangsari yang sesuai untuk kedua komoditas tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian
Tanaman Sayuran Lembang(1250 m dpl) dari bulan Mei sampai
September 2006, tipe tanah Andisol. Umbi benih bawang merah siap
tanam (telah melampaui masa dormansi) menggunakan kultivar
`Menteng` dipilih yang berukuran >5 g per umbi. Umbi benih wortel yang
cukup usia (siap tanam) dipotong/dibuang 25% pada bagian ujung bawah,
sisanya ditanam secara tumpangsari bersamaan dengan umbi benih
bawang merah pada satu petak percobaan ukuran 4 m
2
disesuaikan untuk
setiap perlakuan. Jarak tanam bawang merah dalam barisan dan antar
barisan, yaitu 20 cm x 20 cm. Jarak tanam wortel dalam barisan dan
antar barisan, yaitu 40 cmx 40 cm. Pupuk kandang 20 ton/ha, pupuk
NPK(15-15-15) 1 ton/ha diaplikasikan 3 kali pada saat tanam, 30, dan 45
hst masing-masing 1/3 dosis. Pupuk pelengkap cair mikroelemen lengkap
Metalik konsentrasi 1 ml/l diaplikasikan pada daun tanaman satu kali
pada 40 hari setelah tanam (hst). Untuk meningkatkan stimulasi
pembungaan, tanaman disemprot zat pengatur tumbuh (zpt) enzim
karbonil (nama dagang: `Dufix-580`) konsentrasi 0,2 ml/l dua kali pada 20
dan 35 hst (Sumiati, 1996).Tanaman dipelihara secara intensif dan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
594
ditanam di bawah naungan plastik transparan. Ukuran petak percobaan
1m x 4m (4m
2
). Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan 4 ulangan. Perlakuan tumpangsari (T), yaitu: (t
1
) satu
baris bawang merah + satu baris wortel, (t
2
) dua baris bawang merah +
satu baris wortel, (t
3
) tiga baris bawang merah + satu baris wortel, (t
4
)
empat baris bawang merah + satu baris wortel, dan (t
5
) lima baris bawang
merah + satu baris wortel.
Peubah yang diamati meliputi: (1) hasil umbi bawang merah
(jumlah, bobot, dan Indeks Panen), (2) pembungaan /jumlah umbel per
tanaman, dan produksi biji wortel (bobot biji per tanaman dan bobot biji
per petak ukuran 4 m
2
), (3) kualitas biji wortel (daya kecambah, tinggi dan
panjang akar kecambah, dan vigor kecambah di lapangan) dan (4)
species serangga polinator yang berkunjung ke lahan penelitian
tumpangsari ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari teknik tumpangsari antara tanaman bawang merah dan wortel
seperti diterangkan pada Bahan dan Metode, maka diperoleh populasi
tanaman bawang merah dan wortel berbeda-beda untuk setiap perlakuan
tumpangsari (Tabel 1).

Tabel 1. Populasi tanaman bawang merah dan wortel per 4 m
2
dari perlakuan
tumpangsari antara tanaman bawang merah dan wortel

Jarak tanam (cm)
Populasi
tanaman
per 4 m
2
Perlakuan tumpangsari (T)
W x W Bm x Bm W Bm
1.

Satu baris bawang merah +
satu baris wortel
20 x 40 20 x 20 30 50
2. Dua baris bawang merah +
satu baris wortel
40 x 40 20 x 20 18 70
3. Tiga baris bawang merah +
satu baris wortel
60 x 40 20 x 20 15 75
4. Empat baris bawang merah +
satu baris wortel
80 x 40 20 x 20 12 80
5. Lima baris bawang merah + 1
baris wortel
100 x 40 20 x 20 9 85
Keterangan : W = Tanaman wortel; Bm = Tanaman bawang merah





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
595
Hasil Umbi Bawang Merah
Dari Tabel 2, jumlah umbi anakan per rumpun tanaman dari kelima
perlakuan tumpangsari, tidak berbeda nyata. Jumlah umbi per rumpun
tanaman tidak dipengaruhi oleh perlakuan tumpangsari, tetapi oleh sifat
genetik dari kultivar yang digunakan pada percobaan ini, yaitu
menggunakan satu kultivar sama (kultivar lokal `Menteng`). Bobot umbi
per rumpun tanaman bawang merah, juga tidak berbeda atau tidak
dipengaruhi oleh perlakuan tumpangsari. Demikian pula Indeks Panen
tidak berbeda yaitu dengan pola tumpangsari seperti itu, maka partisi dan
translokasi fotosintat dari sumber (daun) ke penerima (umbi) sama,
ditinjau dari hasil bobot umbi per rumpun tanaman.

Tabel 2. Hasil umbi bawang merah yang ditumpangsarikan dengan tanaman wortel


Perlakuan tumpangsari (T)
Jumlah umbi
anakan
per rumpun
Bobot
umbi
per tan.
(g)
Bobot
umbi
per 4 m
2
(g)
Indeks
Panen
1.

Satu baris bawang merah +
satu baris wortel
2,96 ab * 18,59 a
*
929,50 d
*
67,78 a *
2. Dua baris bawang merah +
satu baris wortel
2,78 b 20,02 a 1401,40
c
62,90 a
3. Tiga baris bawang merah +
satu baris wortel
2,90 ab 20,19 a 1514,25
bc
68,60 a
4. Empat baris bawang merah
+ satu baris wortel
3,18 ab 19,85 a 1588,00
b
63,01 a
5. Lima baris bawang merah +
satu baris wortel
2,77 b 19,08 a 1621,80
a
64,52 a
Koefisien Keragaman, % 8,66
T
n
6,35
T
tn
5,14
T
n
6,85
T
tn
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama, tidak berbeda
nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf P 0,05. n=nyata; tn = tidak
nyata

Namun bobot umbi segar per petak 4 m
2
yang tertinggi/ berbeda
nyata berasal dari perlakuan tumpangsari 5 baris tanaman bawang merah
+ 1 baris tanaman wortel (1621,80 g per 4 m
2
), dibandingkan dengan ke
empat perlakuan tumpangsari lainnya pada percobaan ini. Hal ini terjadi,
karena perlakuan tumpangsari 5 baris bawang merah + 1 baris wortel
mempunyai populasi tanaman bawang merah yang terbanyak, yaitu 85
tanaman per 4m
2
. Sedangkan populasi tanaman bawang merah pada
berbagai perlakuan tumpangsari dengan wortel yang berbeda, memiliki
populasi tanaman bawang merah yang lebih sedikit , yaitu antara 50 - 80
tanaman per 4 m
2
(Tabel 1).



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
596
Pembungaan Tanaman Wortel
Dari Tabel 3, jumlah umbel per tanaman wortel pada kelima
perlakuan tumpangsari, sama. Berarti pembungaan pada tanaman wortel
tidak dipengaruhi oleh kelima perlakuan tumpangsari pada percobaan ini,
tetapi oleh sifat/potensi genetik untuk pembungaan dari kultivar tanaman
wortel yang digunakan. Pada percobaan ini kultivar wortel menggunakan
satu kultivar saja, yaitu lokal Cipanas. Selain itu fotosintat yang dihasilkan
oleh proses fotosintesis pada daun, merupakan precursor untuk antara
lain pembentukan berbagai macam fitohormon yang dalam hal ini
mendukung terjadi inisiasi pembungaan dan produksi umbel pada
tanaman wortel (Loper dan Walker, 1982; Corgan dan Montano, 1975). Di
dalam daun wortel juga terdapat pigmen fotoreseptor fitokrom P
660
dan
P
730
. Pigmen ini turut mengendalikan pembungaan via giberelin (Isenberg
et al., 1974; Holmes dan Smith 1977) yang pada akhirnya menghasilkan
pembungaan/ produksi umbel/ karangan bunga wortel (Tabel 3).

Tabel 3. Pembungaan dan produksi biji wortel yang ditumpangsarikan dengan
tanaman bawang merah

Bobot biji
wortel per
tanaman
Bobot biji
wortel per 4m
2
Perlakuan tumpangsari (T)
Jumlah
umbel per
tanaman
wortel
g g
1
.
Satu baris bawang merah + 1 baris
wortel
21,40 a * 16,39 c * 491,70 a *
2. Dua baris bawang merah + 1 baris
wortel
23,14 a 15,86 c 285,48 c
3. Tiga baris bawang merah + 1 baris
wortel
21,23 a 17,60 c 264,00 cd
4. Empatbaris bawang merah + 1 baris
wortel
24,46 a 31,24 a 374,88 b
5. Lima baris bawang merah + 1 baris
wortel
18,29 a 21,75 b 195,75 d
Koefisien Keragaman, % 18,13 T
n
14,71 T
n
20,04 T
n
Keterangan : * Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama, tidak berbeda
nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf P 0,05. n = nyata

Produksi Biji Wortel
Dari Tabel 3, produksi bobot biji wortel tertinggi/ berbeda nyata
berasal dari perlakuan tumpangsari empat baris bawang merah + 1 baris
wortel (31, 24 g per tanaman) dibandingkan dengan keempat perlakuan
tumpangsari lainnya pada percobaan ini. Teknik tumpangsari seperti ini
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan individu tanaman wortel
menjadi optimum sehingga dapat menstimulasi terjadinya pembungaan
wortel menjadi maksimum ditinjau dari pengaruh kondisi lingkungan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
597
seperti antara lain ketersediaan air, kelembaban tanah, intensitas cahaya,
efisiensi dalam pemanfaatan pengelolaan lahan, air, dan pupuk, menekan
perkembangan hama-penyakit dan alelopati (Andrews dan Kassam, 1976)
yang terjadi akibat dari perlakuan tumpangsari tersebut yang pada
akhirnya mendukung terjadi pembungaan wortel secara maksimal. Selain
itu, keberhasilan produksi biji wortel tertinggi akibat terjadi aktivitas
polinasi yang intensif pada bunga wortel oleh serangga yang berkunjung
ke petak perlakuan tumpangsari 4 baris tanaman bawang merah + 1 baris
tanaman wortel itu. Mungkin pada kondisi lingkungan cara tumpangsari
seperti itu maka serangga merasa nyaman berkunjung dan melakukan
aktivitas polinasi. Telah diketahui secara alami, tanaman wortel kultivar
lokal Cipanas dapat berbunga melimpah di dataran tinggi.
Polinasi pada tanaman wortel terjadi dengan bantuan serangga
species lokal yang datang berkunjung saat bunga wortel anthesis. Telah
diketahui bahwa ada 267 spesies polinator (serangga) alami yang dapat
membantu polinasi, dan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok
besar, yaitu kelompok lebah madu dan lalat (Bohart et al., 1970).
Pengamatan terhadap spesies serangga polinator yang mengunjungi
bunga wortel, yaitu ada 5 spesies sebagai berikut: (1) lebah besar hitam-
kekuningan, (2) lebah kecil kuning, (3) lebah madu, (4) lalat hitam besar,
dan (5) lalat hijau. Serangga polinator yang berjasa melakukan polinasi
alami pada bunga wortel, yaitu serangga dari kelompok lalat dan lebah.
Ditinjau dari hasil bobot biji wortel per petak 4 m
2
(Tabel 3), maka
perlakuan tumpangsari 1 baris tanaman bawang merah + 1 baris tanaman
wortel menghasilkan produksi bobot biji wortel yang tertinggi dan berbeda
nyata dengan produksi bobot biji wortel dari perlakuan tumpangsari
lainnya pada percobaan ini, yaitu 491,70 g per 4 m
2
. Hal ini karena
populasi tanaman wortel per 4m
2
dari perlakuan tumpangsari 1 baris
tanaman bawang merah + 1 baris tanaman wortel adalah yang terbanyak,
yaitu 30 tanaman (Tabel 1), sedangkan perlakuan tumpangsari lainnya
memiliki populasi tanaman wortel per 4 m
2
antara 9-18 tanaman (Tabel 1).

Kualitas Biji Wortel
Dari Tabel 4, berbagai perlakuan tumpangsari antara tanaman
bawang merah + wortel tersebut, tidak berpengaruh terhadap kualitas biji
wortel yang dihasilkan, dalam hal daya kecambah, tinggi kecambah,
panjang akar, dan vigor biji wortel. Kualitas biji wortel yang dihasilkan
adalah sama baiknya. Hal ini karena umbi benih wortel yang digunakan
pada penelitian ini hanya satu jenis/sama, yaitu tipe Chantenay dengan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
598
umbi berbentuk bulat, panjang dan ujungnya tumpul, dan tidak berakar
serabut (Soewito, 1991).

Tabel 4. Kualitas biji wortel yang ditumpangsarikan dengan tanaman bawang merah

Daya
kecambah
Tinggi
kecambah
Panjang
akar
Vigor biji
Perlakuan tumpangsari (T)
% cm cm %
1
.
Satu baris bawang merah + 1
baris wortel
84,25 a * 3,13 a * 2,44 a * 84,50 a
*
2. Dua baris bawang merah + 1
baris wortel
77,50 a 3,45 a 2,50 a 77,50 a
3. Tiga baris bawang merah + 1
baris wortel
79,50 a 3,63 a 2,56 a 79,00 a
4. Empat baris bawang merah
+ 1 baris wortel
83,00 a 3,45 a 2,90 a 82,00 a
5. Lima baris bawang merah
+ 1 baris wortel
78,50 a 3,38 a 3,15 a 77,50 a
Koefisien Keragaman, % 2,88 T
n
10,94 T
n
8,49 T
n
2,38 T
n
Keterangan: *Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama, tidak berbeda
nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf P 0,05. n = nyata.

Dari Tabel 4, berbagai perlakuan tumpangsari antara tanaman
bawang merah + wortel tersebut (t
1
-t
5
), tidak berpengaruh terhadap
kualitas biji wortel yang dihasilkan, dalam hal daya kecambah (77,50 -
83%), termasuk baik. Tinggi kecambah dan panjang akar, tidak berbeda
nyata. Sedangkan vigor biji wortel, juga sama baiknya dari kelima
perlakuan tumpang sari, yaitu termasuk menghasilkan vigor biji yang tinggi
(77,50-84,50%). Kualitas biji wortel yang dihasilkan adalah sama baiknya
yang dihasilkan oleh kelima perlakuan tumpangsari pada percobaan
ini.Wortel yang digunakan hanya satu kultivar, yaitu tipe Chantenay
dengan umbi berbentuk bulat, panjang dan ujungnya tumpul, dan tidak
berakar serabut (Soewito, 1991). Kualitas biji wortel dalam penelitian ini,
ditentukan oleh sifat faktor internal kultivar wortel yang digunakan, bukan
oleh teknik tumpangsari yang digunakan pada percobaan ini.
Dari kajian ini maka teknik bertanam tumpangsari satu baris
tanaman wortel dan satu baris tanaman bawang merah, adalah
menguntungkan. Selain memperoleh produksi biji wortel yang tinggi
(491,70 g) untuk benih, juga diperoleh hasil produksi umbi bawang merah
929,50 g per 4 m
2
untuk konsumsi dari satu petak lahan yang sama.
Petani dalam hal ini memperoleh keuntungan ganda.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
599
KESIMPULAN

1. Bobot biji wortel per tanaman yang tertinggi (31,24 g) berasal dari
perlakuan tumpangsari 4 baris tanaman bawang merah + 1 baris
tanaman wortel (dengan jarak tanam wortel x wortel = 80 cm x 40 cm
dan populasi tanaman wortel 12 per 4 m
2
).
2. Bobot biji wortel per petak 4 m
2
yang tertinggi (491,70 g) berasal dari
perlakuan tumpangsri 1 baris tanaman bawang merah + 1 baris
tanaman wortel (dengan jarak tanam wortel x wortel = 20 cm x 40 cm
dan populasi tanaman wortel 30 per 4 m
2
yang terbanyak).
3. Hasil bobot umbi bawang merah untuk konsumsi yang tertinggi
(1621,80 g per petak 4 m
2
) diperoleh dari perlakuan tumpangsari 5
baris tanaman bawang merah + 1 baris tanaman wortel.
4. Fokus terhadap produksi biji wortel untuk benih, maka teknik
tumpangsari antara tanaman wortel dan bawang merah yang terbaik
adalah menanam satu bari tanaman wortel dan satu baris tanaman
bawang merah dengan hasil bobot biji wortel 491,70 g + umbi bawang
merah 929,50 g per petak 4 m
2
.

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrews, D.J. and H.A. Kassam. 1976. The Importance of Multiple
Cropping in Increasing World Food Supply. pp: 1-10. In: Papendick,
R.I.. P.A.Sanchez, and G.B. Triplett (eds.). Multiple cropping. Spcecial
Publication. No. 27. Am.Soc. of Agronomy. Madison, Wisconsin. USA.
2. Bohart, G.E., W.P. Nyl and L.R. Hawthorn. 1970. Onion Pollination as
Affected by Different Levels of Polinator Activity. Utah Agricultute
Exp.Stn. Bulletin. 482 : 57.
3. Corgan, J.N. and J.M. Montano.1975. Bolting and Other Responses of
Onion (Allium cepa L.) to Growth Regulating Chemicals.
J.Amer.Soc.Hort.Sci. 100:273.
4. Gunadi, N. dan E. Sumiati.1990. Pengaruh Waktu Aplikasi dan Dosis
Pupuk NPK Terhadap Hasil Lombok dalam Sistem Tumpangsari
dengan Kacang Jogo dan Selada. Bul.Penel.Hort. 19(2): 77-86.
5. Holmes, M.G. and H. Smith. 1977. The Function of Phytohormone in
the Natural Environtment II. The influence of vegetation canopies on
the spectral energy distribution of natural daylight. Phytochemistry and
photobiology 25: 539-545.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
600
6. Isenberg, F.M.R., T.H. Thomas, M. Pandergrass and M.A. Rahman.
1974. Hormone and Histological Differences between Normal and
Maleic Hydrazide Treated Onions Stored over winter. Acta
Horticulturae 38: 95.
7. Loper, G.M. and G.D. Walker. 1982. GA3 Increased Bolting and Seed
Production in Late Planted Onion Allium cepa L. Hort.Sci. 17: 922-923.
8. Soewito, D.S.M. 1991. Bercocok Tanam Wortel. Penerbit CV. Titik
Terang. Jakarta. 74 hal.
9. Sumiati, E. 1996. Konsentrasi Optimum Mepiquat Chlorida untuk
Peningkatan Hasil Umbi Bawang Merah Kultivar Bima Brebes di
Majalengka. J.Hort. 6(2): 120-127.
10. Yuwariah, Y.A.S. 1994. Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah
Tadah Hujan dengan Sistem Tanam Ganda Padi-Palawija yang
Dipupuk Kandang dan Kalium Secara Bertahap di Jawa Barat Selatan
(Kasus di Cianjur Selatan). Disertasi. Universitas Padjadjaran.
Bandung. 242 hal.





























Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
601

PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK YANG DIPERKAYA
FOSFAT ALAM, ABU SEKAM DAN PUPUK HAYATI TERHADAP SIFAT
KIMIA TANAH DAN PRODUKSI SAYURAN ORGANIK

Wiwik Hartatik dan Diah Setyorini

Balai Penelitian Tanah
Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05 Pati Jateng 59182


ABSTRAK. Pengelolaan hara untuk mencukupi kebutuhan hara sayuran
dilakukan melalui pemberian pupuk organik disertai upaya meningkatkan
kualitas pupuk organik melalui pengkayaan dengan fosfat alam, abu
sekam dan pupuk hayati. Perubahan sifat kimia tanah dalam sistem
pertanian organik perlu dimonitor untuk mengetahui peningkatan
produktivitas tanah. Tujuan penelitian adalah mempelajari penggunaan
pupuk organik yang diperkaya dengan fosfat alam, abu sekam dan pupuk
hayati terhadap sifat kimia tanah dan produksi sayuran organik. Penelitian
dilaksanakan di lahan petani yang telah menerapkan sistem budidaya
sayuran organik di Permata Hati Farm, Cisarua, Bogor pada MT. 2006.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah
Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Enam perlakuan yang
dicobakan yaitu 1) pupuk kandang (pukan) kambing yang diperkaya abu
sekam + fosfat alam + pupuk hayati 2) pukan ayam yang diperkaya abu
sekam + fosfat alam + pupuk hayati 3) pukan kambing yang diperkaya abu
sekam + fosfat alam + kompos Tithonia diversifolia + pupuk hayati 4)
pukan ayam yang diperkaya abu sekam + fosfat alam kompos T.
diversifolia + pupuk hayati 5) pukan kambing yang diperkaya dengan abu
sekam + fosfat alam dan 6) Pukan ayam (praktek petani ). Dosis pukan
untuk setiap perlakuan 25 ton/ha/musim dan dosis perlakuan praktek
petani pukan ayam 30 ton/ha/musim. Bahan pengkaya fosfat alam 0,1%,
dan abu sekam 0,25% dari dosis pupuk organik yaitu berturut-turut
sebesar 25 kg/ha dan 62,5 kg/ha yang diberikan setelah kotoran kambing
dan ayam dikomposkan. Ukuran bedeng 2,4 m x 7 m. Tanaman indikator
adalah brokoli - pakchoy pada penanaman I dan wortel - selada pada
penanaman II yang ditanam secara tumpangsari. Pengamatan sifat kimia
tanah: pH, kation dapat ditukar, kejenuhan basa, kapasitas tukar kation, P-
tersedia dan produksi sayuran. Hasil penelitian menunjukkan kadar P
potensial dan P tersedia dan basa-basa (Ca, Mg, dan K dapat ditukar) dan
kejenuhan basa meningkat. Pukan ayam 25 ton/ha yang diperkaya
dengan abu sekam, fosfat alam dan pupuk hayati meningkatkan produksi
brcoli sebesar 21% dibandingkan praktek petani, yaitu sebesar 7,2
ton/ha. Produksi pakchoy meningkat sebesar 7% dicapai oleh perlakuan
pukan ayam yang diperkaya dengan sekam, fosfat alam, Tithonia dan
pupuk hayati yaitu sebesar 9,5 ton/ha pada penanaman I. Pada
penanaman II perlakuan pukan ayam 25 ton/ha yang diperkaya abu
sekam, fosfat alam, Tithonia dan pupuk hayati meningkatkan produksi


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
602
wortel sebesar 36% dibandingkan praktek petani yaitu sebesar 21,6
ton/ha. Sedangkan perlakuan pukan ayam 25 ton/ha yang diperkaya
dengan abu sekam, fosfat alam dan pupuk hayati meningkatkan produksi
selada sebesar 26%. Aplikasi pukan ayam yang diperkaya dengan abu
sekam, fosfat alam dan pupuk hayati serta T. diversifolia sebagai sumber
hara N, P dan K dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan hara
sayuran dan mempertahankan kesuburan tanah.

Kata kunci: Pupuk organik, Sayuran Organik, Sifat Kimia Tanah

PENDAHULUAN

Sistem pertanian organik didefinisikan sebagai kegiatan usaha tani
secara menyeluruh sejak proses produksi (pra-panen) sampai proses
pengolahan hasil (pasca-panen) yang bersifat ramah lingkungan dan
dikelola secara alami (tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan
rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang sehat dan
bergizi (IFOAM, 2002). Secara umum sistem pertanian organik dapat
dilihat sebagai suatu pendekatan sistem pertanian holistik/terpadu antara
komponen usahatani tanaman pangan, hortikultura atau perkebunan,
pengelolaan hara tanah, ternak, konservasi tanah dan air, dan
pengelolaan hama terpadu secara biologis. Komponen teknologi yang
diterapkan merupakan teknologi ramah lingkungan untuk mencapai sistem
pertanian yang lestari dan berkelanjutan dalam rangka pembangunan
kesuburan tanah jangka panjang.
Penerapan sistem pertanian organik di Indonesia akan berlangsung
secara selektif dan kompetitif serta akan berjalan seiring dengan program
revolusi hijau yang bertujuan mempertahankan program ketahanan
pangan nasional. Jenis komoditas dalam budidaya pertanian organik
akan berkembang sesuai dengan permintaan pasar domestik maupun luar
negeri. Hasil penelitian pada tahun 2003 menunjukkan bahwa produk
organik yang beredar dipasaran saat ini terbatas pada kopi, sayuran,
beras, daging ayam, telor, susu, apel dan salak organik. Sedangkan
produk yang berpotensi untuk dikembangkan adalah hasil perkebunan
seperti teh, produk rempah dan obat, buah apel, salak, mangga, durian,
manggis, kacang mete, kacang tanah. (Setyorini, 2003).
Perkembangan permintaan produk pertanian organik di negara-
negara maju dunia meningkat pesat dari tahun ke tahun. Hal ini dipicu
oleh : (1) menguatnya kesadaran peduli lingkungan dan gaya hidup sehat
masyarakat, (2) dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan
industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar modern (supermarket


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
603
menyerap 50% produk organik), (5) adanya harga premium di tingkat
konsumen, (6) adanya label generik, dan (7) adanya kampanye nasional
pertanian organik secara gencar (BIOcert, 2002).
Ketentuan yang disyaratkan dalam sistem budidaya pertanian
organik menurut IFOAM (2002) antara lain adalah memilih lahan yang
bebas bahan agrokimia (pupuk dan pestisida), menyediakan pupuk
organik dari bahan yang aman, benih yang bukan merupakan hasil
rekayasa genetika atau GMO, pengelolaan tanaman dengan rotasi serta
aplikasi pestisida nabati dan agensia hayati untuk perlindungan tanaman.
Di Indonesia, ketentuan persyaratan dan kriteria mengenai Sistem
Pangan Organik yang menyangkut Produksi, Pemrosesan, Pelabelan
dan Pemasaran telah diatur dalam SNI No. 01-6729-2002 yang
merupakan adopsi dan modifikasi dari Standar IFOAM dan CODEX.
Standar ini berisi persyaratan yang relevan dengan proses produksi
pertanian organik di Indonesia.
Tujuan dari budidaya pertanian organik menurut IFOAM (2002)
antara lain adalah untuk: (1) memproduksi makanan yang berkualitas
tinggi dalam jumlah yang cukup; (2) memperbaiki dan mendukung
keberlanjutan siklus biologis dalam usahatani dengan memanfaatkan
mikroba, flora dan fauna tanah serta tumbuhan dan tanaman; (3)
mengelola dan meningkatkan kelestarian kesuburan tanah; (4)
meminimalkan segala bentuk polusi dalam tanah, serta (5) memanfaatkan
dan menghasilkan produk pertanian organik yang mudah dirombak dari
sumber yang dapat didaur ulang.
Pengelolaan hara untuk meningkatkan kesuburan tanah dilakukan
melalui penambahan pupuk organik disertai upaya meningkatkan
kemampuan serta keanekaragaman organisme tanah dengan
menggunakan pupuk hayati. Perubahan tingkat kesuburan (kualitas) fisik,
kimia dan biologi tanah dalam praktek pertanian organik perlu dimonitor
untuk mengetahui tingkat perbaikan produktivitas tanah yang terjadi.
Komposisi fisik, kimia dan biologi pupuk organik sangat bervariasi
dan manfaatnya bagi tanaman umumnya tidak secara langsung sehingga
respon tanaman relatif lambat. Pupuk organik diperlukan dalam dosis
yang relatif tinggi (minimal 2 ton/ha/MT), sehingga seringkali menyulitkan
dalam hal transportasi dan pengadaannya. Dampak negatif yang harus
diwaspadai dari penggunaan pupuk organik adalah: (1) penggunaan
pupuk organik dengan bahan yang sama secara terus menerus dapat
menimbulkan ketidakseimbangan hara, (2) penggunaan kompos yang
belum matang dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
604
(3) kemungkinan adanya kandungan logam berat yang melebihi ambang
batas (Suriadikarta et al., 2005).
Pupuk organik umumnya mempunyai kandungan hara yang rendah
dan penyediaan hara yang lambat dibandingkan pupuk an-organik (buatan
pabrik). Oleh karena itu untuk meningkatkan kandungan hara dalam
pupuk organik diperlukan formulasi pupuk dengan pengkayaan bahan
mineral dan pupuk hayati. Bahan mineral tersebut dapat berupa fosfat
alam yang merupakan bahan alami yang mengandung hara makro dan
mikro serta harganya lebih murah. Pengkayaan hara pada pupuk organik
diharapkan dapat meningkatkan kadar hara dan kualitas pupuk organik
disamping dapat mempercepat proses pengomposan.
Tujuan penelitian adalah mempelajari penggunaan pupuk organik
yang diperkaya dengan fosfat alam, abu sekam, T. diversifolia dan pupuk
hayati terhadap sifat kimia tanah dan produksi sayuran organik.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilakukan di lahan pertanian organik di Permata Hati
Farm di desa Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor pada MT.
2006 dari April sampai Oktober. Tanah di Permata Hati Farm tergolong
ordo Andisol. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Rancangan Acak Kelompok dengan tiga (3) ulangan. Perlakuan-
perlakuan dalam percobaan tersebut menggunakan beberapa sumber
pupuk organik, dengan perlakuan sebagai berikut:
1. Pukan kambing + abu sekam + fosfat alam + pupuk hayati
2. Pukan ayam + abu sekam + fosfat alam + pupuk hayati
3. Pukan kambing + abu sekam + fosfat alam + kompos Tithonia +
pupuk hayati
4. Pukan ayam + abu sekam + fosfat alam + kompos Tithonia +
pupuk hayati
5. Pukan kambing + abu sekam + fosfat alam
6. Pukan ayam (praktek petani)

Dosis pupuk organik untuk setiap perlakuan yaitu 25 t/ha/musim.
Bahan pengkaya fosfat alam 0,1%, abusekam 0,25% dari dosis pupuk
organik yaitu berturut-turut sebesar 25 kg/ha dan 62,5 kg/ha yang
diberikan pada waktu proses pengomposan dan kompos T. diversifolia
dengan dosis 3 ton/ha. Semua perlakuan kecuali perlakuan praktek petani
menggunakan dekomposer (M-dec) yang mengandung Trichoderma sp,
Trametes sp, dan Aspergillus niger dalam pembuatan komposnya. Pupuk


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
605
hayati yang digunakan yaitu mikroflora multi guna (MTM) yang
mengandung Azospirillum sp, Alcaligenes sp dan Bacillus sp. Dosis pupuk
hayati MTM yaitu sebesar 10 kg/ha dan biofosfat 200g/ha. Pupuk hayati
diaplikasikan sehari setelah tanam dengan cara dicampurkan dengan
tanah sekitar lubang tanam. Dosis pukan ayam untuk perlakuan praktek
petani 30 ton/ha.
Lahan sebelum digunakan untuk penelitian ditanami mucuna
sekitar 2,5 bulan, kemudian biomas mucuna dipanen, dikembalikan ke
bedengan, selanjutnya dibenamkan sampai kedalaman lapisan olah
bersamaan pengolahan tanah. Bedengan berukuran 16,8 m
2
atau 2,4 m x
7 m x (0,2-0,3) m. Tanaman indikator adalah brokoli dan pakchoy yang
ditanam secara tumpang sari pada penanaman I dan penanaman II
adalah wortel dan selada. Tanah diolah secara minimum tillage setelah
lahan dibersihkan, sisa tanaman sebelumnya dikumpulkan untuk
dikomposkan dan dikembalikan ke lahan. Tanaman kacang babi ditanam
digunakan sebagai pestisida nabati. Pengendalian hama dan penyakit
dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati dan secara mekanis
menggunakan perangkap tumbuhan atau penghalang lain sesuai
kebiasaan petani.
Panen dilakukan sesuai jenis dan umur tanaman dalam satu
bedengan, kemudian ditimbang biomas/produksi sayuran. Pengamatan
sifat kimia meliputi: pH, kapasitas tukar kation (KTK), C-organik, N-total,
C/N rasio, P dan K potensial (ekstrak HCl 25%), P tersedia (ekstrak Bray
I), kation dapat ditukar yaitu Ca, Mg, K dan Na, kejenuhan basa (KB).
Analisis masing-masing kompos pukan yang sudah diperkaya yaitu pH, C-
organik, N-total, C/N rasio, kadar N, P, K, Ca dan Mg dan kadar hara
mikro (Fe, Mn, Cu dan Zn).
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan dilakukan
analisis ragam (anova) dan analisis pengujian beda antar perlakuan diuji
dengan uji beda nyata Duncan pada taraf nyata 5% (Gomez dan Gomez,
1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Hara dalam Kompos
Kompos yang digunakan dalam penelitian adalah pukan kambing,
ayam yang telah diperkaya oleh fosfat alam dan abu sekam dan T.
diversifolia. Pengkayaan hara dengan fosfat alam dan abu sekam
diharapkan dapat menambah hara P, K dan Ca dalam pupuk organik agar
dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 200


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
606
Kandungan karbon organik untuk pukan kambing, ayam yang
telah diperkaya oleh fosfat alam dan abu sekam dan T. diversifolia cukup
tinggi berkisar 14,29 21,94%, memenuhi kriteria persyaratan mutu
pupuk organik (minimal C-organik 12%) kecuali kompos T. diversifolia
(Tabel 1). Kadar N, P dan K kompos pukan maupun Tithonia berturut-turut
pada kisaran 1,35 2,40% untuk N, 0,93- 4,65% untuk P dan 1,20 -
4,37% untuk K. Nilai C/N rasio untuk pupuk kandang berkisar 6,5 13,1
dan kompos Tithonia 6,7. Rasio C/N rasio pupuk organik yang digunakan
umumnya <10% lebih rendah dari kriteria syarat mutu C/N rasio 10-25.
Tithonia merupakan jenis tanaman perdu famili Araceae banyak dijumpai
di sekitar kebun percobaan sehingga dapat digunakan sebagai pupuk
hijau (Tabel 1).
Berdasarkan uraian diatas, pukan dan kompos T. diversifolia
mengandung kadar hara N, P, K dan Ca yang cukup tinggi. Kadar C-
organik umumnya memenuhi syarat mutu pupuk organik menurut
Permentan No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Pukan dan kompos T. diversifolia
yang dicoba mempunyai peluang yang baik untuk digunakan sebagai
sumber pupuk organik bagi sayuran organik.

Perubahan Sifat-sifat Kimia Tanah Setelah Penanaman Mucuna,
Penanaman I dan II
Setelah penanaman I nilai pH H
2
O dan KCl memberikan nilai pH
yang tidak berbeda nyata dengan setelah penanaman mucuna. Tetapi
pada penanaman ke II nilai pH umumnya menurun. Nilai pH H
2
O setelah
penanaman I berkisar 5,7 5,9, sedangkan setelah penanaman II
berkisar 5,4 5,8.
Kadar C-organik, N-total serta C/N rasio setelah penanaman I
dan II relatif tidak banyak berubah. Pengaruh perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar C-organik setelah
penanaman I dan II berkisar 3,63 - 4,63 %. Kadar N-total setelah
penanaman I dan II berkisar 0,41 0,54 % dan C/N rasio berkisar 8,0
9,0. P-potensial dan P-tersedia ekstrak Bray I umumnya meningkat
setelah penanaman I dan II. P-potensial setelah penanaman I dan II
berkisar 128 271 mg/100g. P-tersedia ekstrak Bray I berkisar 21 - 111
ppm. K-potensial meningkat setelah penanaman I namun sedikit menurun
kembali setelah penanaman II. K-potensial setelah penanaman I dan II
berkisar 80 139 mg/100g.
8


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
607
Tabel 1. Kadar hara dalam pupuk organik yang digunakan
Unsur makro (%) Unsur mikro (ppm)
Perlakuan
N-total
(%)
C- org
(%)
C/N
P K Ca Mg Fe Mn Cu Zn
pH
Pukan kambing
+sekam+fosfat alam
1,69 14,29 8,5 1,34 1,59 1,96 0,75 4399 635 47 199 8,8
Pukan
ayam+sekam+fosfat
alam
1,57 20,60 13,1 4,65 4,37 4,82 0,52 908 1561 276 633 -
Pukan
kambing+sekam+fosfat
alam+Tthonia
1,72 15,51 9,0 1,19 2,37 3,01 0,92 4322 570 49 222 9,1
Pukan
ayam+sekam+fosfat
alam+Tithonia
2,40 18,65 7,8 1,78 1,20 3,07 0,60 2821 788 255 378 -
Pukan ayam 3,36 21,94 6,5 2,04 3,23 4,42 1,20 2862 899 401 479 6,2
Tithonia 1,35 9,05 6,7 0,93 1,27 1,98 0,54 4815 1315 53 208 7,8


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
608
Perlakuan pupuk organik yang dicoba umumnya memberikan
peningkatan kadar P-potensial dan P tersedia. Hal ini karena adanya
penambahan P yang berasal dari mineralisasi pukan dan pengkayaan
fosfat alam. pH, C-organik dan N total tidak menunjukkan perubahan yang
nyata, hal ini karena dosis pukan yang diberikan sama (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai pH, bahan organik, kadar P dan K tanah setelah penanaman mucuna, penanaman I dan II di
Permata Hati Farm

pH Bahan Organik HCl 25% P-Bray I
H
2
O KCl C N-total C/N P
2
O
5
K
2
O No Perlakuan
----- % ------- --mg/100 g--- ppm
Tanah awal 4,46 4,21 4,31 0,50 9 9 11 13

Setelah penanaman
mucuna

1. Bedeng untuk perlakuan 1 5, a 4,7 a 3,30 a 0,39 b 8,3 ab 124 b 84 a 19 c
2. Bedeng untuk perlakuan 2
5,9 a 5,0 a 3,48 a 0,44 ab 8,0 ab 166 a 89 a 46 ab
3. Bedeng untuk perlakuan 3 5,9 a 5,1 a 3,59 a 0,46 a 8,0 ab 138 ab 87 a 27 bc
4. Bedeng untuk perlakuan 4 5,8 a 5,0 a 3,63 a 0,43 ab 8,7 a 157 ab 83 a 52 a
5. Bedeng untuk perlakuan 5 6,0 a 5,1 a 3,65 a 0,44 ab 8,0 ab 138 ab 96 a 26 b
6. Bedeng untuk perlakuan 6 5,8 a 4,9 a 3,32 a 0,44 ab 7,7 b 164 a 73 a 38 abc

Setelah penanaman I
1. Pukan kambing +sekam+
fosfat alam+pupuk hayati
5,8 a 4,9 b 3,63 a 0,41 a 8,7 a 128 b 100 a 28 ab
2. Pukan ayam+sekam+
fosfat alam+pupuk hayati
5,8 a 5,1a b 3,82 a 0,45 a 8,7 a 210 ab 93 a 74 a
3. Pukan
kambing+sekam+fosfat
alam+Tthonia+pupuk
hayati
5,7 a 5,1a b 3,74 a 0,43 a 8,7 a 141 ab 84 a 21 b
4. Pukan
ayam+sekam+fosfat
alam+Tithonia+pupuk
hayati
5,8 a 5,1 b 3,84 a 0,45 a 8,7 a 184 ab 101 a 72 a
5. Pukan kambing+sekam+
fosfat alam
5,9 a 5,2 a 3,91 a 0,45 a 8,7 a 149 ab 100 a 32 ab
6. Pukan ayam (praktek
petani)
5,8 a 5,1 ab 4,63 a 0,54 a 8,0 a 271 a 139 a 52 ab

Setelah penanaman II
1. Pukan kambing +sekam+
fosfat alam+pupuk hayati
5,4 a 4,8 a 3,69 a 0,45 a 8,3 a 179 a 87 a 22 b
2. Pukan ayam+sekam+
fosfat alam+pupuk hayati
5,5 a 4,8 a 3,97 a 0,45 a 8,7 a 203 a 90 a 65 a
3. Pukan
kambing+sekam+fosfat
alam+Tthonia+pupuk
hayati
5,7 a 4,9 a 3,98 a 0,47a 8,3 a 156 a 91 a 29 b
4. Pukan
ayam+sekam+fosfat
alam+Tithonia+pupuk
hayati
5,5 a 4,8 a 3,82 a 0,44 a 8,7 a 171 a 80 a 32 b
5. Pukan kambing+sekam+
fosfat alam
5,8 a 4,9 a 3,84 a 0,43 a 9,0 a 152 a 89 a 20 b
6. Pukan ayam (praktek
petani)
5,5 a 4,7 a 3,74 a 0,44 a 8,3 a 205 a 80 a 42 ab
*) Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama berlaku untuk setiap penanaman tidak berbeda nyata pada taraf
5% uji DMRT

Kadar Ca, Mg dan K dapat ditukar umumnya menurun setelah
penanaman II, sedangkan KTK umumnya menurun setelah penanaman I,
kemudian meningkat kembali setelah penanaman ke II. Setelah
penanaman II kadar Ca dapat ditukar berkisar 7,11 10,28 me/100g. Mg
dapat ditukar berkisar 1,47 2,21 me/100g, sedangkan K dapat ditukar


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
609
berkisar 0,75 0,98 me/100g dan KTK berkisar 27,50 29,70 me/100g.
Kejenuhan basa setelah penanaman II berkisar 29 39 % Kejenuhan
basa meningkat setelah penanaman I, hal ini sejalan dengan adanya
peningkatan basa-basa Ca, Mg, K dan Na. Selanjutnya setelah
penanaman II umumnya menurun dengan nilai hampir sama dengan
setelah penanaman mucuna (Tabel 3). Pemberian perlakuan pupuk
organik meningkatkan basa-basa dan kejenuhan basa. Walaupun antar
perlakuan pupuk organik tidak menunjukkan perbedaan nyata
berdasarkan uji statistik, hal ini karena dosis semua perlakuan sama yaitu
25 t/ha/musim, kecuali perlakuan praktek petani. Mineralisasi pukan akan
mensuplai basa-basa (Ca, Mg dan K) kedalam tanah (Stevenson, 1982).

Produksi Brokoli dan Pakchoy
Penanaman sayuran ke I merupakan tanaman tumpangsari (mixed
cropping) antara tanaman brokoli dan pakchoy. Pengaruh perlakuan
pupuk organik yang dicoba menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
produksi brokoli dibandingkan dengan praktek petani. Produksi brokoli
berkisar 3,91 7,22 ton/ha. Produksi brokoli tertinggi sebesar 7,22 ton/ha
dicapai oleh perlakuan pemberian pukan ayam yang diperkaya oleh abu
sekam dan fosfat alam serta diberi pupuk hayati. Bila dibandingkan
dengan perlakuan praktek petani terjadi peningkatan produksi brokoli
21%. Sedangkan produksi brokoli terendah sebesar 3,91 ton/ha pada
perlakuan pemberian pukan kambing yang diperkaya abu sekam, fosfat
alam dan pupuk hayati (Tabel 4). Dari produksi brokoli menunjukkan
bahwa pukan ayam cenderung lebih baik dari pukan kambing, hal ini
karena kadar hara P, K, Ca dalam pukan ayam lebih tinggi dari pukan
kambing (Tabel 1). Perlakuan pupuk hayati belum berpengaruh nyata
terhadap produksi brokoli. Perlakuan pupuk hayati mampu mendukung
pertumbuhan tanaman dan meningkatkan populasi dan aktivitas
mikroorganisme tanah, namun secara statistik tidak nyata meningkatkan
produksi sayuran. Pupuk hayati tidak secara langsung berpengaruh
terhadap produksi tanaman, namun dapat berpengaruh dalam
meningkatkan efisiensi dan serapan hara tanaman serta perbaikan
lingkungan tumbuh tanaman (Rasti et al., 2008).







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
610
Tabel 3. Nilai basa-basa dapat ditukar, KTK, KB dan kemasaman tanah setelah penanaman
mucuna, penanaman I dan II di Permata Hati Farm

Nilai tukar kation
(NH4-asetat 1 N pH 7)
No. Perlakuan
Ca Mg K Na
KTK KB
. me/100g . %
Tanah awal 4,57 1,69 0,12 0,13 44,12 15
Setelah penanaman mucuna
2 Bedeng untuk perlakuan 1 5,81 b 1,31 a 1,61 a 0,05 a 28,79 a 31 a
2. Bedeng untuk perlakuan 2 10,20 a 1,85 a 1,64 a 0,08 a 29,01 a 48 a
3. Bedeng untuk perlakuan 3 8,89 ab 1,79 a 1,58 a 0,04 a 28,30 a 44 a
4. Bedeng untuk perlakuan 4 9,90 a 1,83 a 1,52 a 0,02 a 28,92 a 46 a
5. Bedeng untuk perlakuan 5 9,97 a 1,63 a 1,81 a 0,02 a 29,34 a 46 a
6. Bedeng untuk perlakuan 6 8,09 ab 1,26 a 1,29 a 0,04 a 27,71 a 30 a

Setelah penanaman I
1. Pukan kambing sekam+fosfat
alam+pupuk hayati
7,43 a 1,63 a 1,95 a 0,08 a 20,54 a 54 a
2. Pukan ayam+sekam+fosfat
alam+pupuk hayati
10,49 a 1,66 a 1,68 a 0,11 a 21,43 a 65 a
3. Pukan kambing+sekam+ fosfat
alam+Tthonia+pupuk hayati
8,81 a 1,49 a 1.53 a 0,06
a
19,65 a 61 a
4. Pukan ayam+sekam+fosfat
alam+Tithonia+pupuk hayati
9,54 a 1,73 a 1.85 a 0,13 a 20,76 a 64 a
5. Pukan kambing+sekam+fosfat
alam
12,25 a 1,93 a 1.97 a 0,11 a 20,86 a 78 a
6. Pukan ayam (praktek petani) 13,46 a 2,30 a 2.76 a 0,35 a 28,62 a 63 a

Setelah penanaman II
1. Pukan kambing sekam+fosfat
alam+pupuk hayati
7,11 a 1,56 a 0,87 a 0,08 b 28,12 a 34 a
2. Pukan ayam+sekam+fosfat
alam+pupuk hayati
10,28 a 2,21 a 0,94 a 0,27 a 29,70 a 46 a
3. Pukan kambing+sekam+ fosfat
alam+Tthonia+pupuk hayati
8,29 a 1,70 a 0,98 a 0,09 b 27,90 a 40 a
4. Pukan ayam+sekam+fosfat
alam+Tithonia+pupuk hayati
8,59 a 1,50 a 0,75 a 0,23 a 28,75 a 38 a
5. Pukan kambing+sekam+fosfat
alam
9,03 a 1,56 a 0,94 a 0,07 b 27,50 a 42 a
6. Pukan ayam (praktek petani) 8,14 a 1,47 a 0,82 a 0,27 a 28,85 a 37 a

*) Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama berlaku untuk setiap penanaman tidak berbeda nyata
pada taraf 5% uji DMRT


Pengaruh perlakuan pupuk organik berpengaruh nyata terhadap
produksi pakchoy. Produksi pakchoy tertinggi sebesar 9,46 ton/ha dicapai
oleh perlakuan pukan ayam yang diperkaya dengan abu sekam, fosfat
alam, Tithonia dan pupuk hayati, walaupun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya, kecuali dengan perlakuan pukan kambing yang
diperkaya abu sekam, fosfat alam, Tithonia dan pupuk hayati. Bila
dibandingkan dengan perlakuan praktek petani terjadi peningkatan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
611
produksi pakchoy sebesar 7%. Produksi pakchoy terendah sebesar 5,16
ton/ha pada perlakuan pemberian pukan kambing yang diperkaya abu
sekam, fosfat alam dan pupuk hayati (Tabel 4). Perlakuan pupuk hayati
malah menurunkan produksi pakchoy. Pengaruh pukan ayam lebih baik
dari pukan kambing, karena kadar hara dalam pukan ayam lebih tinggi
dari pukan kambing.

Tabel 4. Produksi brokoli dan pakchoy yang ditanam secara tumpangsari pada
penanaman I di Permata Hati Farm

Produksi brokoli Produksi pakchoy
No. Perlakuan
ton/ha
1. Pukan kambing +sekam+fosfat
alam+pupuk hayati
3,91 d 5,16 b
2. Pukan ayam+sekam+fosfat
alam+pupuk hayati
7,22 a 8,37 a
3. Pukan kambing+sekam+fosfat
alam+Tthonia+pupuk hayati
4,80 bcd 6,11 b
4. Pukan ayam+sekam+fosfat
alam+Tithonia+pupuk hayati
5,65 bc 9,46 a
5. Pukan kambing+sekam+fosfat alam 6,54 abc 8,40 a
6. Pukan ayam (praktek petani) 5,97 bc 8,81 a
CV 11 10
*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
uji DMRT


Produksi Wortel dan Selada
Penanaman sayuran ke II merupakan tanaman tumpangsari (mixed
cropping) antara tanaman wortel dan selada. Produksi wortel berkisar
15,36 21,57 ton/ha, Produksi wortel tertinggi dicapai oleh perlakuan
pemberian pukan ayam yang diperkaya oleh abu sekam, fosfat alam dan
T. diversifolia serta pupuk hayati. Terjadi peningkatan produksi wortel
sebesar 40% dibandingkan dengan praktek petani. Produksi wortel
terendah sebesar 15,36 ton/ha pada perlakuan pemberian pukan kambing
yang diperkaya abu sekam, fosfat alam dan pupuk hayati (Tabel 5). Dari
produksi wortel menunjukkan bahwa pukan ayam lebih baik dari pukan
kambing, karena kadar hara dalam pukan ayam lebih tinggi (Tabel 1).
Pengaruh perlakuan pupuk organik berpengaruh nyata terhadap
produksi selada. Produksi selada tertinggi sebesar 6,32 ton/ha dicapai
oleh perlakuan pemberian pukan ayam yang diperkaya abu sekam, fosfat
alam dan pupuk hayati, terjadi peningkatan produksi selada sebesar 26%
dibandingkan praktek petani. Produksi selada terendah sebesar 3,91
ton/ha pada perlakuan pemberian pukan kambing yang diperkaya abu
sekam, fosfat alam dan T. diversifolia serta pupuk hayati (Tabel 5).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
612
Dari produksi selada menunjukkan bahwa pukan ayam lebih baik
dari pukan kambing. Apabila perlakuan pukan ayam yang diperkaya abu
sekam, fosfat alam dan pupuk hayati dan perlakuan pukan ayam yang
diperkaya abu sekam, fosfat alam, Tithonia dan pupuk hayati
dibandingkan maka terlihat bahwa penggunaan T. diversifolia justru
menurunkan produksi selada. Hal ini karena T. diversifolia mempunyai
efek negatif bersifat allelopathic terhadap tanaman melalui pelepasan
senyawa phytotoxic ke dalam tanah. Gatti et al. (2004) menyatakan
bahwa ekstrak daun, batang dan akar tanaman T. diversifolia merupakan
senyawa yang bersifat racun (fitotoxic) yang akan menghambat
perkecambahan selada. Sebaliknya perlakuan T. diversifolia memberikan
pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi wortel. Pengaruh
allelopathic bersifat selektif, yaitu berpengaruh negatif terhadap jenis
tanaman tertentu, tetapi berpengaruh positif untuk tanaman yang lain
(Weston, 1996).

Tabel 5. Produksi wortel dan selada yang ditanam secara tumpangsari pada
penanaman II di Permata Hati Farm

Produksi wortel Produksi selada
No. Perlakuan
-------- ton/ha ----
1. Pukan kambing +sekam+fosfat
alam+pupuk hayati
15,36 b 4,74 bc
2. Pukan ayam+sekam+fosfat
alam+pupuk hayati
23,25 a 6,32 a
3. Pukan kambing+sekam+fosfat
alam+Tthonia+pupuk hayati
18,67 ab 3,91 c
4. Pukan ayam+sekam+fosfat
alam+Tithonia+pupuk hayati
21,57 ab 4,81 bc
5. Pukan kambing+sekam+fosfat alam 16,81 ab 5,14 b
6. Pukan ayam (praktek petani) 15,83 b 5,03 bc
CV 19 12

*) Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
uji DMRT

KESIMPULAN

1. Perlakuan pupuk organik meningkatkan P potensial dan P tersedia,
basa-basa (Ca, Mg, dan K dapat ditukar) dan kejenuhan basa.
2. Pada penanaman I tumpangsari brokoli-pakchoy menunjukkan
bahwa pukan ayam 25 ton/ha yang diperkaya dengan abu sekam,
fosfat alam dan pupuk hayati meningkatkan produksi brokoli sebesar
21% dibandingkan praktek petani yaitu sebesar 7,2 ton/ha. Demikian
juga produksi pakchoy meningkat sebesar 7% yaitu sebesar 9,5


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
613
ton/ha dicapai oleh perlakuan pukan ayam yang diperkaya dengan
sekam, fosfat alam, Tithonia dan pupuk hayati
3. Pada penanaman II tumpangsari wortel-selada menunjukkan bahwa
perlakuan pukan ayam 25 ton/ha yang diperkaya abu sekam, fosfat
alam, Tithonia dan pupuk hayati meningkatkan produksi wortel
sebesar 36% dibandingkan praktek petani yaitu sebesar 21,6 ton/ha.
Sedangkan perlakuan pukan ayam 25 ton/ha yang diperkaya dengan
abu sekam, fosfat alam dan pupuk hayati meningkatkan produksi
selada sebesar 26% dibandingkan praktek petani, yaitu sebesar 6,3
ton/ha.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian No.
02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Persyaratan dan Tatacara
Pendaftaran Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Jakarta.
2. Biocert. 2002. Info Organis. Penjaminan Produk dalam Sistem
Pertanian Organik. Bogor.
3. Gatti, A.B., S.C. Perez, and M.I.S. Lima. 2004. Allelophatic Activity of
Aqueous Extracts of Aristolochia esperanzae O. Kuntze in the
Germination and Growth of Lactuca sativa L. and Raphanus sativus L.
Acta Bot. Bras. 18 (3): 459-472.
4. Gomez, K.A.,and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for
Agriculture Research. An International Rice Research Institute Book.
John Wiley and Sons.
5. IFOAM (International Federation Organic Movement). 2002. Organik
Agriculture Worldwide: Statistic and Future Prospects. The World
Organic Trade Fair Nurnberg, BIO-FACH.
6. Saraswati, R., R.D. Hastuti, J. Purwani, E. Yuniarti, A.Rachman dan I.
Las. 2008. Teknologi Pengkayaan Pupuk Organik dengan Pupuk
Hayati untuk Meningkatkan Mutu Pupuk Organik, Hasil dan Efisiensi
Pemupukan. 2008. Balai Penelitian Tanah, Deptan.
7. Setyorini, D., Subowo, dan Husnain. 2003. Penelitian Peningkatan
Produktivitas Lahan melalui Teknologi Pertanian Organik. Laporan
Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan Proyek Pengkajian
Teknologi Pertanian Partisipatif.
8. Stevenson. F.J. 1982. Humus Chemistry Genesis, Composition,
Reactien. John Willey and Sons. New York.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
614
9. Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini dan W. Hartatik. 2005.
Teknologi Pengelolaan Bahan Organik Tanah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian,
Deptan.
10. Weston, L.A. 1996. Communities and Ecosystem. Second Edition.
Mac Millan Publishing Co. Inc. New York.









































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
615

TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN ANALISIS USAHATANI
TUMPANGSARI CABAI MERAH DENGAN BAWANG MERAH
DI TINGKAT PETANI DI KABUPATEN KERINCI

Syafri Edi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jl. Samarinda Paal V Kotabaru, Jambi


ABSTRAK. Untuk memanfaatkan lahan kering dataran tinggi secara
maksimal dapat dilakukan dengan sistem usahatani terpadu atau
tumpangsari komoditas pertanian yang mengarah kepada : a).
pemanfaatan komponen lingkungan seperti hara tanaman, air dan cahaya
matahari, sehingga mampu mengurangi erosi dan kerusakan tanah, b).
memperperkecil peluang serangan hama dan penyakit serta resiko
kegagalan melalui konsep keanekaragaman komoditas, c). curahan
tenaga kerja dapat lebih diatur serta d). peningkatan produksi dan
pendapatan petani. Kajian bertujuan untuk melihat teknologi budidaya dan
analisis usahatani tumpangsari cabai dengan bawang merah di tingkat
petani. Kajian dilakukan pada bulan Juli 2007 sampai dengan April 2008 di
Desa Lubuk Pauh Kecamatan Gunung Tujuh Kabupaten Kerinci. Kegiatan
di awali dengan sekolah lapangan pada kelompok tani, dengan
memberikan bimbingan berupa teori dan praktek secara langsung tentang
teknologi budidaya tumpangsari sayuran. Di samping teori dan praktek,
petani dibekali dengan petunjuk teknis serta bimbingan dari PPL. Sumber
acuan dari teknologi yang diintroduksikan merupakan rangkuman dari
beberapa sumber seperti Balitsa, BPTP dan pengalaman petani. Hasil
kajian menunjukkan bahwa penerimaan petani dari tanaman tumpangsari
cabai dengan bawang merah sebesar Rp. 103.770.000,- dengan
keuntungan usahatani Rp. 61.370.500,- B/C ratio 1,45 serta R/C ratio
2,45. Berdasarkan besarnya keuntungan usahatani B/C dan R/C ratio
besar dari 1 (satu) maka kajian ini layak untuk dikembangkan.

Kata kunci : Cabai Merah (Capsicum annuum), Bawang Merah (Allium
ascalonicum), Teknologi Budidaya, Analisis Usahatani,
Tumpangsari, Kerinci


PENDAHULUAN

Sejalan dengan Program Pembangunan Pertanian secara nasional
yang dilaksanakan dengan dua program pokok, yaitu (1) Program
Peningkatan Ketahanan Pangan dan (2) Program Pengembangan
Agribisnis, yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan
devisa negara, maka pengembangan Agribisnis melalui pembangunan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
616
kawasan agropolitan di Kabupaten Kerinci dalam menopang pertumbuhan
sektor industri dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di pedesaan
cukup beralasan. Hal ini didukung oleh dua indikator utama, yaitu (1)
sektor pertanian beserta komponen agribisnisnya merupakan suatu sektor
yang relatif mampu dan tetap eksis dalam tatanan perekonomian regional
yang tengah dilanda krisis dan (2) sektor pertanian juga merupakan
tumpuan hidup sebagian besar (+ 76 %) dari penduduk Kabupaten Kerinci
(Distanbun Kerinci, 2003).
Tumpangsari tanaman merupakan salah satu alternatif yang
selayaknya dapat dikembangkan terutama untuk memanfaatkan lahan
kering dataran tinggi secara maksimal yang mengarah kepada : 1).
pemanfaatan komponen lingkungan seperti hara tanaman, air dan cahaya
matahari, sehingga mampu mengurangi erosi serta perusakan tanah; 2).
memperkecil peluang serangan hama dan patogen penyakit tanaman
serta resiko kegagalan melalui konsep keanekaragaman komoditas; 3).
curahan tenaga kerja dapat lebih diatur; serta 4). peningkatan produksi
dan pendapatan petani secara umum (Edi, 2007).
Luas tanam cabai merah (Capsicum annuum) dari tahun ke tahun
sangat berfluktuasi, pada tahun 2003 luas tanam di Indonesia mencapai
176.264.000 ha atau sekitar 30 % dari luas areal panen sayuran (Dirjen
Bina Produksi Hortikultura, 2004; Pusat Data dan Informasi Pertanian,
2004) dengan hasil panen antara 1,6 sampai 11,2 ton/ha atau rata-rata
sebesar 5,5 ton/ha. Pada tahun 2006 luas panen cabai merah di
Kabupaten Kerinci 985 ha dengan produksi 8.496 ton atau produktivitas
sebesar 8,63 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2006). Menurut Sumarni dan
Muharam (2005) potensi genetik cabai merah sekitar 12-20 ton/ha.
Luas panen tanaman bawang merah (Allium ascalonicum) di
Kabupaten Kerinci 184 ha, dengan produsi 1.273 ton atau produktivitas
sebebsar 6,92 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2006). Kebiasaan petani di
daerah Kerinci menanam tanaman bawang merah secara monokultur dan
tumpangsari. Tanaman tumpangsari dengan tanaman sayuran lainnya
seperti cabai, tomat dan kubis. Penanaman dilakukan sepanjang musim
sesuai dengan kemampuan petani dalam pengadaan saprodi seperti bibit,
pupuk dan permintaan pasar.
Makalah ini melihat sejauh mana teknologi tumpangsari sayuran
yang telah diterapkan petani dan kemungkinan pengembangannya ke
depan. Diharapkan menjadi masukan bagi Pemda Kabupaten Kerinci dan
Provinsi Jambi dalam mengambil kebijakan pengembangan komoditas
sayuran, terutama untuk dataran tinggi. Berdasarkan uraian di atas
dilakukan pengkajian yang bertujuan untuk melihat teknologi budidaya dan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
617
analisis usahatani tumpangsari cabai merah keriting dengan bawang
merah di tingkat petani.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu
Pengkajian dilakukan pada bulan Juli 2007 sampai April 2008, di
Desa Lubuk Pauh Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi
Jambi, dengan jenis tanah Andisol pada ketinggian + 1416 m dari
permukaan laut. Daerah pengkajian merupakan kawasan kegiatan Klinik
Teknologi Pertanian (Klittan) dan sejak tahun 2007 berbatasan langsung
dengan desa Prima Tani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Jambi.

Prosedur Pengkajian
Kegiatan diawali dengan sekolah lapang pada kelompok tani,
dengan memberikan bimbingan berupa teori dan praktek secara langsung
tentang teknologi budidaya komoditas sayuran mulai dari pembibitan,
pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan
penyakit, panen serta pasca panen. Petani juga dibekali dengan analisis
usahatani untuk mengetahui kelayakan dari usahatani tersebut.
Disamping teori dan praktek petani dibekali dengan petunjuk teknis dan
bimbingan dari PPL. Sumber acuan dari teknologi yang diintroduksikan
merupakan rangkuman dari beberapa sumber seperti Balitsa, BPTP dan
pengalaman petani. Dasar pemilihan petani koperator adalah: (1) mau
bekerjasama dan menerima teknologi yang diintroduksikan, (2) mencatat
semua input dan output yang dilakukan pada kegiatan usahataninya dan
(3) telah berpengalaman berusahatani sayuran.

Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data untuk tanaman cabai merah keriting dan
bawang merah, meliputi semua input yang digunakan seperti bibit, pupuk,
mulsa plastik hitam perak, pestisida dan curahan tenaga kerja. Hasil
panen diambil dari setiap kali panen secara keseluruhan, kemudian
dilakukan sortasi dan penimbangan terhadap mutu cabai yang baik. Untuk
bawang merah pengamatan dilakukan pada saat panen terhadap umur
dan hasil panen.
Semua data ditabulasi dan setiap hasil panen dikonversi ke hektar.
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif ditujukan untuk
memperoleh gambaran secara holistik, baik input maupun output,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
618
sedangkan analisis kualitatif ditujukan untuk mengukur peubah kuantitatif
menggunakan parameter statistik sederhana seperti persentase, nilai
maksimum dan minimum, serta nilai rataan. Untuk mengetahui kelayakan
usahatani dilakukan analisis terhadap input dan output dari usahatani
tersebut B/C ratio, secara matematis dengan rumus :

P x Q
Gross B/C -------------
Bi

Dimana : P = Harga produksi (Rp/kg)
Q = Hasil produksi (kg/ha)
Bi = Biaya produksi ke i (Rp/ha)
Usahatani dianggap layak secara finansial jika nilai gross B/C lebih dari 1.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi Budidaya di Tingkat Petani
Pengolahan tanah
Tanah yang digunakan bekas tanaman kubis dan telah diberakan
selama satu bulan dengan luas 0,5 ha. Pengolahan tanah dilakukan dua
kali, setelah olah pertama diistirahatkan dua minggu kemudian dilanjutkan
dengan olah tanah kedua sekaligus pembuatan bedengan dengan ukuran
lebar 120 cm tinggi 50 cm panjang 15 sampai dengan 20 m tergantung
keadaan lahan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pupuk dasar dan
pemasangan mulsa.
Secara umum petani dikawasan pengkajian telah menggunakan
mulsa terutama untuk tanaman cabai dan tomat, dari diskusi diketahui
bahwa petani menggunakan mulsa dengan tujuan: (1) mengurangi
pertumbuhan gulma, (2) mengurangi populasi dan intensitas serangan
hama dan penyakit, (3) memaksimalkan pemupukan, persaingan unsur
hara dan cahaya matahari antara tanaman dengan gulma, dan (4)
mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja.

Pembibitan
Varietas yang digunakan cabai merah keriting jenis lokal yang telah
beradaptasi di kawasan pengkajian, diambil dari seleksi hasil panen ke-8
dan 9 (panen puncak) dari tanaman sendiri. Pembibitan dilakukan di lahan
pekarangan, setelah benih berkecambah dimasukkan ke dalam kantung
yang terbuat dari daun pisang berdiameter + 3 cm yang telah diisi


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
619
campuran tanah dan pupuk kandang. Selanjutnya kantung bibit disusun
pada rak-rak bambu dan ditutup dengan atap plastik. Pada saat-saat
tertentu tutup plastik dibuka yang bertujuan untuk memberikan udara dan
cahaya matahari serta penyiraman.
Pada saat pembibitan dilakukan pengendalian hama dan penyakit
baik secara manual maupun dengan insektisida dan fungisida. Tanaman
dipindahkan ke lahan pada umur 30 hari setelah pembibitan atau telah
mempunyai 4-5 helai daun. Petani dikawasan pengkajian secara umum
telah mampu membibitkan sendiri tanaman cabai baik jenis lokal maupun
varietas unggul. Sebagian petani juga menjual bibit sayuran seperti bibit
cabai dan tomat dengan harga cabai varietas lokal Rp. 100,- sampai
dengan Rp. 150,- per batang dan varietas unggul Rp. 250,- per batang.
Bibit bawang merah yang digunakan varietas Cipanas (Maja
Cipanas) merupakan hasil guliran dari tanaman sendiri dan telah disimpan
selama 3 bulan. Varietas ini cukup berkembang di lokasi kegiatan, dari
hasil pengamatan di lapangan cukup tahan terhadap penyakit busuk umbi
dan produksi relatif cukup tinggi.

Penanaman
Cabai ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm, satu minggu
setelah tanam cabai dilakukan penanaman bawang merah diantara
barisan tanaman cabai dengan jarak 50 cm x 50 cm dan disisi kanan-kiri
bedengan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm.

Pemupukan
Pupuk dasar ZA 300 kg, SP-36 750 kg, KCl 300 kg dan NPK
Phonska 300 kg dan pupuk kandang kotoran sapi 9 ton/ha diberikan pada
saat olah tanah kedua waktu pembuatan bedengan, kemudian ditutup
dengan mulsa yang telah diberi lobang sesuai dengan jarak tanam cabai
dan bawang merah. Menurut kebiasaan petani dikawasan pengkajian
pemberian pupuk pada saat olah tanah kedua akan terjadi perombakan
dan waktu tanam pupuk tersebut sudah dapat langsung dimanfaatkan
oleh tanaman sedangkan pemberian pada saat tanam akan
mengakibatkan tanaman akan layu dan apabila terlalu dekat dengan
perakaran tanaman akan mengakibatkan kematian terutama pupuk yang
mengandung unsur N. Pupuk susulan diberikan secara cair (pupuk
dicampur dengan air) yaitu NPK Mutiara 450 kg/ha, dimulai sejak tanaman
berumur 2 minggu sampai menjelang akhir panen dengan interval satu
minggu sekali.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
620
Pengendalian hama dan penyakit
Hama yang dominan ditemui pada tanaman cabai adalah kutudaun
(Myzus persicae), trips (Thrips parvispinus) dan lalat buah dengan jumlah
populasi dibawah ambang kendali. Penyakit yang ditemui layu fusarium,
bercak ungu dan busuk buah antraknosa dengan persentase serangan
dibawah ambang kendali. Hama dan penyakit yang dominan pada
tanaman bawang merah adalah Thrips tabaci, Alternaria porii dan
Fusarium sp. Kebiasaan petani di kawasan pengkajian melakukan
penyemprotan seintensif mungkin yang dimulai dari tanaman berumur 10
hari setelah tanam sampai menjelang panen. Pada pengkajian ini
pengamatan dibantu oleh PHP, sehingga menyemprotan dapat dilakukan
sesuai dengan anjuran atau konsep pengendalian hama terpadu (PHT).
Namun demikian karena kebiasaan petani metode ini tidak sempurna
dilakukan, terutama pada pertumbuhan vegetatif. Pestisida yang
digunakan diselang-seling antara kontak dengan sistemik, dengan bahan
aktif Propamokarb, Tiametoksam, Fenamifos, Bensultap, Dimetoat,
Benomil, Mankozeb, Pirazofos, Klorotalonil, dan Karbendazim yang
diselang seling antara kontak dengan sistemik, dosis yang digunakan
disesuaikan dengan anjuran pada kemasan produk.

Penyiangan dan pembumbungan
Penyiangan dilakukan secara manual, yaitu pada lubang-lubang
tanam mulsa, dengan jalan mencabut gulma-gulma dengan tangan.
Penyiangan dilakukan sesuai dengan keadaan gulma. Gulma yang
tumbuh di antara bedengan disemprot dengan herbisida.

Panen dan Pascapanen
Tanaman bawang merah dipanen pada umur 70 hari setelah
tanam, Proses pasca panen yang dilakukan yaitu memisahkan bagian
tanaman dengan umbi dan tanah, kemudian umbi bawang merah dikering
anginkan dan siap untuk dipasarkan. Dari hasil penjualan bawang merah
petani dapat menggunakan untuk biaya pemeliharaan tanaman cabai.
Untuk sumber bibit petani memilih tanaman yang sehat, dengan umur
panen 80 hari setelah tanam, kemudian hasil panen diikat dan dikering
anginkan dengan jalan digantung di para-para pada teras rumah dan
dapur.
Tanaman cabai dipanen sesuai kriteria, dilakukan dengan interval
4-7 hari sekali atau disesuaikan dengan permintaan pasar. Panen
perdana pada umur 154 hari setelah tanam, panen puncak berkisar dari
umur 189 sampai 232 hari setelah tanam sedangkan panen terakhir umur


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
621
267 hari setelah tanam. Pasca panen secara umum dilakukan di rumah
seperti memisahkan bagian tanaman dengan buah atau memisahkan
tanaman yang busuk/kurang sehat dengan buah yang normal. Dalam
pengkajian ini panen dilakukan 14 kali, sebenarnya panen masih
dilakukan di atas 15 kali tetapi tidak layak secara ekonomi.

Tenaga kerja
Curahan tenaga kerja ditentukan oleh jenis kegiatan dan keadaan
cuaca. Kegiatan seperti pembukaan lahan dan pengolahan tanah semua
menggunakan tenaga kerja pria, sedangkan pada kegiatan berikutnya
penggunaan tenaga kerja pria dan wanita cukup berimbang kecuali pada
kegiatan penyemprotan seluruhnya menggunakan tenaga kerja pria
(Tabel 1). Kedaan cuaca juga menentukan jumlah tenaga kerja yang
digunakan, karena pada lokasi kegiatan keadaan cuaca sulit diprediksi
dalam cuaca cerah bisa saja turun hujan, meskipun hujan atau pekerjaan
dihentikan upah tenaga kerja tetap dibayar.
Tenaga kerja di lokasi pengkajian cukup tersedia meskipun pada
saat-saat pekerjaan puncak seperti penanaman dan pemanenan ada
kecendrungan mendatangkan tenaga kerja dari luar. Penggunaan tenaga
kerja pria dan wanita cukup proporsional dimana pekerjaan yang
membutuhkan fisik yang kuat dilakukan oleh pria seperti pengolahan
tanah, penyemprotan serta pemanenan, sedangkan pekerjaan yang
membutuhkan ketelitian dilakukan oleh wanita seperti penanaman,
pemupukan dan pascapanen.

Penggunaan saprodi
Dari hasil pengamatan, petani koperator sudah mampu melakukan
pemupukan berimbang, terutama penggunaan pupuk organik yang
selama ini secara umum belum dilaksanakan, meskipun pupuk kimia
diatas dosis anjuran. Pupuk organik yang digunakan adalah kotoran sapi
yang telah diinkubasi dengan EM-4. Suwandi dkk. (1985) mengemukakan
bahwa penggunaan pupuk kandang dalam budidaya tanaman sayuran
merupakan kebutuhan pokok di samping penggunaan pupuk kimia untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Selanjutnya Amril dkk. (2001)
menambahkan penggunaan pupuk kandang pada tanaman dapat
mengurangi penggunaan pupuk kimia sampai 25 % dari pemupukan
petani.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
622
Tabel 1. Curahan tenaga kerja, pada kajian tumpangsari cabai dengan bawang merah
ditingkat petani, Desa Lubuk Pauh, Kerinci 2007

Hari kerja (HOK/ha)
No. Jenis kegiatan
Pria Wanita
Jumlah (HOK/ha)
1. Penebasan semak belukar 28 - 28
2. Pengolahan tanah 46 - 46
3. Pembuatan bedengan 20 18 38
4. Pembibitan 4 7 11
5. Pemasangan MPHP 18 13 31
6. Pupuk dasar 14 12 26
7. Tanam cabai 6 16 22
8. Tanam bawang merah 2 8 10
9. Penyulaman - 5 5
10. Pupuk susulan 42 28 70
11. Penyemprotan 86 - 86
12. Penyiangan 24 18 42
13. Panen bawang merah 9 15 24
14. Panen cabai 112 146 258
15. Pasca panen 7 12 19
Jumlah 418 298 716

Tabel 2. Penggunaan saprodi, pada kajian tumpangsari cabai dengan bawang merah
ditingkat petani, Desa Lubuk Pauh, Kerinci 2007

No. Uraian Satuan Volume
Harga satuan
(Rp.)
Jumlah
(Rp.)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Bibit cabai
Bibit bawang merah
Pupuk ZA
Pupuk SP-36
Pupuk KCl
Pupuk NPK Mutiara
Pupuk NPK Ponska
Pupuk kandang
Pupuk cair
Pestisida
MPHP

Bungkus
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
Paket
Paket
Ball

26
280
300
750
300
450
300
9.000
1
1
8

35.000
6.000
3.000
4.000
3.600
8.000
2.500
200
750.000
2.775.000
380.000

910.000
1.680.000
900.000
3.000.000
1.080.000
3.600.000
750.000
1.800.000
750.000
2.775.000
3.040.000
Jumlah 20.285.000


Analisis usahatani
Dari 14 kali panen diperoleh hasil bersih untuk tanaman cabai
6.352 kg/ha dengan harga jual berkisar antara Rp. 7.500,- sampai Rp.
22.000,-. Dalam tulisan diambil harga dominan penjualan selama panen
yaitu Rp. 13.500,-. Sedangkan untuk tanaman bawang merah setelah
dikeringkan hasil bersih 3.276 kg/ha dengan harga jual Rp. 5.500,-. Dari
kedua tanaman tumpangsari petani memperoleh penerimaan Rp.
103.770.000,- (Tabel 3).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
623
Hasil analisis usahatani terhadap kajian tumpangsari cabai dengan
bawang merah terdapat pengeluaran sebesar Rp. 42.399.500,- yang
terdiri dari pembayaran saprodi, tenaga kerja, pajak, penyusutan alat, dan
biaya tidak terduga lainnya. Penerimaan Rp. 103.770.000,- keuntungan
financial yang diterima petani Rp. 61.370.500,- dengan R/C ratio 2,45
(>1) dan B/C ratio 1,45 (>1). Nilai ini menunjukkan bahwa penerimaan
kotor sebesar 2,45 kali lipat biaya yang dikeluarkan atau pendapatan
bersih yang diterima 1,45 kali lipat biaya yang dikeluarkan. Angka R/C
ratio 2,45 berarti bahwa setiap Rp. 100,- yang diinvestasikan petani dalam
tumpangsari cabai dengan bawang merah memperoleh penerimaan
sebesar Rp. 245,- atau angka B/C ratio 1,45 berarti bahwa setiap Rp.
100,- yang diinvestasikan akan memperoleh keuntungan bersih Rp. 145,-

Tabel 3. Analisis usahatani pada kajian tumpangsari cabai dengan bawang merah
ditingkat petani, Desa Lubuk Pauh, Kerinci 2007

Uraian Jumlah (Rp/ha)
A. Pengeluaran
1. Saprodi
2. Tenaga kerja pria 418 HOK x Rp. 28.000
3. Tenaga kerja wanita 298 HOK x Rp. 22.000
4. Pajak, penyusutan alat dan lain-lain

20.285.000
11.704.000
6.556.000
3.854.500

Jumlah A 42.399.500

B. Penerimaan
1. Hasil keseluruhan panen cabai 6.352 kg
Harga jual rata-rata selama panen Rp. 13.500
2. Hasil bawang merah 3.276 kg
Harga jual Rp. 5.500

85.752.000

18.018.000

Jumlah B 103.770.000

C. Keuntungan finansial 61.370.500
R/C ratio
B/C ratio
2,45
1,45


KESIMPULAN

1. Teknologi budidaya tumpangsari cabai merah keriting dengan bawang
merah di tingkat petani Kabupaten Kerinci masih dapat ditingkatkan,
terutama dalam efisiensi tenaga kerja, pemupukan berimbang,
pengelolaan hama dan penyakit serta penggunaan varietas unggul.
2. Teknologi tumpangsari cabai merah keriting dengan bawang merah
layak untuk dikembangkan terutama pada daerah pengkajian dan
pada daerah dengan agroekosistem yang sama.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
624
3. Hasil kajian menunjukkan bahwa penerimaan petani dari tanaman
tumpangsari cabai merah dengan bawang merah sebesar Rp.
103.770.000,- dengan keuntungan usahatani Rp. 61.370.500,- B/C
ratio 1,45 serta R/C ratio 2,45. Berdasarkan besarnya keuntungan
usahatani B/C dan R/C ratio besar dari 1 (satu) maka kajian ini layak
untuk dikembangkan.
4. Hasil kajian ini layak dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
pengambil kebijakan dalam rangka pengembangan komoditas
sayuran dataran tinggi, meningkatkan produksi dan keuntungan serta
kesejahteraan petani.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amril, B., F. Nurdin, Yulimasni, Syafril, M. Arsyad, A. Warman, dan Sri
Gumala Dewi. 2001. Pengkajian Teknologi Menunjang Agribisnis
Sayuran di Sumatera Barat. Laporan hasil pengkajian BPTP
Sukarami. 27 hal.
2. Badan Pusat Statistik. 2005. Kerinci Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Kabupten Kerinci Kerjasama Sama dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi.
3. Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kerinci. 2003.
Percepatan Pengembangan Potensi Sayuran Dataran Tinggi untuk
Mendukung Kawasan Agropolitan Melalui Pemanfaatan Teknologi
Pertanian Organik dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat di Kabupaten Kerinci.
4. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2004. Informasi
Hortikultura Tahun 1999-2003 (Tanaman Sayuran). Departemen
Pertanian. Jakarta : 1-50.
5. Edi, S. 2007. Kajian Diversifikasi dan Teknologi Budidaya Komoditas
Sayuran di Tingkat Petani. Prosiding Seminar Nasional Percepatan
Penerapan Iptek dan Inovasi Teknologi Mendukung Ketahanan
Pangan dan Revitalisasi Pembangunan Pertanian. BP2TP. Jambi 11-
12 Desember 2007. hal. 468-476.
6. Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2004. Statistik Pertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta. 88-89.
7. Sumarni, N dan A, Muharam. 2005. Budidaya Tanaman Cabai Merah.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 39 hal.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
625
8. Suwandi, N. Sumantri, S. Kusumo, dan Z. Abidin. 1985. Bercocok
Tanam Kentang. hal 70-84. dalam. Kentang oleh Balitsa Lembang.








































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
626

PENGUJIAN DAYA HASIL DAN KUALITAS BENIH TOMAT
DENGAN APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH

Budi Jaya, Etti Purwati, Etty Sumiati dan R. Prasodjo Soedomo


Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jalan Tangkuban Perahu No. 517 , Lembang 40391


ABSTRAK. Penelitian bertujuan meningkatkan hasil dan kualitas benih
tomat dengan aplikasi zat pengatur tumbuh. Penelitian lapangan dan
laboratorium dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran,
Kecamatan Lembang pada ketinggian 1250 m d.p.l sejak bulan Agustus
sampai Desember 2005. Penelitian menggunakan rancangan petak
terpisah dengan 3 (tiga) ulangan, dimana petak utama berupa 2 (dua)
varietas tomat yaitu Opal dan Zamrud; sedangkan anak petak berupa 4
(empat) macam aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT) yaitu 1) kontrol, 2)
enzim karbonil 0,2 ml/l, 3) mepiquat klorida 2 ml/l , 4) triakontanol 0,2 ml/l.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman , bobot buah
tomat per tanaman, bobot benih per tanaman, bobot 1000 biji , daya
kecambah benih dan uji perkecambahan benih di lapangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh tidak
meningkatkan secara nyata bobot buah per tanaman , bobot benih per
tanaman pada varietas Opal maupun Zamrud , tetapi bobot buah , bobot
benih dan mutu benih terbaik terjadi pada varietas Opal dan Zamrud
dengan aplikasi ZPT mepiquat klorida 2 ml/l atau Triakontanol 0,2 ml/l.

Kata kunci : Tomat; Benih; Zat Pengatur Tumbuh.

PENDAHULUAN

Tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) dapat tumbuh baik
di dataran tinggi maupun di dataran rendah, tetapi tergantung varietasnya
(Atherton dan Rudich, 1986; Villareal, 1980). Rendahnya produktivitas
pertanaman tomat di Indonesia terutama disebabkan oleh ketersediaan
benih bermutu tinggi, pengguanaan varietas yang kurang sesuai dengan
kondisi lingkungan, serta teknik budidaya yang kurang tepat. Keadaan
tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah tanah yang
kaya akan humus dan gembur dengan pH berkisar 5-6, sedangkan untuk
pembuahannya tanaman tomat menghendaki temperatur malam yang
berkisar 15-20
o
C ( Kuo dkk., 1979).
Ketersediaan varietas unggul tomat yang sesuai dengan agroklimat
tertentu dirasakan masih sedikit, disebabkan varietas yang dilepas sampai
saat ini masih bersifat luas, dan belum mempertimbangkan agroekologi


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
627
spesifik. Kondisi semacam ini mengakibatkan produktivitas belum optimal
dan sangat beragam. Varietas Opal dan Zamrud yang telah dilepas
Departemen Pertanian pada tahun 1999. dimana varietas Opal
mempunyai agroekologi spesifik untuk dataran tinggi/medium, sedangkan
Zamrud mempunyai agroekologi spesifik untuk dataran rendah/gambut.
Untuk memenuhi kebutuhan benih tomat yang bermutu tinggi
secara berkesinambungan perlu dilakukan penelitian perbaikan tekhnologi
produksi benih tomat. Benih bermutu tinggi mempunyai nilai komersial
dalam perdagangan benih di pasaran . Benih bermutu tinggi mempunyai
keunggulan dalam pengertian secara genetik (unggul, murni) , secara
fisiologis (germinasi dan vigornya tinggi), serta secara fisik (tidak
tercampur varietas lain, kotoran- kotoran, dan biji gulma). Oleh sebab itu
penggunaan benih tomat hibrida dengan kualitas yang tinggi dan
ketersediaan benih yang berkesinambungan oleh petani semakin
meningkat (Jaya, 1996). Petani tomat di dataran tinggi Lembang yang
semula menanam varietas lokal Gondol, saat ini beralih menanam tomat
hibrida Precious, Arthaloka, Marta atau Warani.
Aplikasi berbagai zat pengatur tumbuh telah berhasil meningkatkan
produksi buah tomat konsumsi, melalui mekanisme kerja zat pengatur
tumbuh antara lain stimulasi inisiasi pembungaan, fruit set, mengatur
translokasi serta partisi fotosintat dari daun sebagai organ sumber ke
bunga dan buah sebagai organ penerima, memperbaiki polinasi,
mencegah gugur bunga dan buah, serta memperbaiki hasil dan kualitas
buah secara nyata (Kuo dkk., 1986). Salah satu kendala fisiologis dalam
meningkatkan hasil dan kualitas buah/benih tomat adalah penggunaan zat
pengatur tumbuh.
Penggunaan berbagai zat pengatur tumbuh yang beredar di
pasaran telah diteliti untuk meningkatkan hasil buah tomat konsumsi .
Hasil buah tomat konsumsi varietas Gondol dan Intan yang ditanam di
dataran tinggi Lembang dapat meningkat oleh aplikasi pupuk daun, mulsa,
dan zat pengatur tumbuh Atonik 1,5 ml/l (Sumiati, 1983 dan 1989).
Demikian pula zat pengatur tumbuh Triakontanol (Dharmasari 5 EC) 0,5
ml/l dapat meningkatkan hasil buah tomat varietas Berlian (Sumiati,
1989). Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh zat pengatur tumbuh
terhadap kualitas dan kuantitas benih tomat, maka penelitian ini perlu
dilakukan.






Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
628

BAHAN DAN METODE

Penelitian lapangan dilaksanakan di kebun percobaan Margahayu,
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Kecamatan Lembang pada
ketinggian tempat 1250 m d.p.l, jenis tanah Andosol dengan pH berkisar
6-7, berlangsung sejak Agustus hingga Desember 2005, dilanjutkan
dengan pengujian di laboratorium teknologi benih , Balai Penelitian
Tanaman Sayuran sejak Desember hingga Februari 2006.
Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot
Design ) dengan 3 (tiga) ulangan . Petak utama terdiri atas 2 (dua)
varietas tomat yaitu Opal (T
1
) dan Zamrud (T
2
) , sedangkan anak petak
terdiri atas 4 (empat) macam aplikasi zat pengatur tumbuh yaitu : 1)
kontrol (Z
1
) , 2) enzim karbonil 0,2 ml/l (Z
2
) , 3) mepiquat khlorida 2 ml/l
(Z
3
) , dan 4) triakontanol 0,2 ml/l

(Z4).
Benih varietas Opal dan Zamrud disemai di tempat persemaian,
kemudian dibumbun menggunakan daun pisang berisi campuran tanah
dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 . Setelah bibit berumur 3
minggu, artinya bibit telah siap ditanam di lapangan yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Jarak tanam yaitu 50 cm x 70 cm, dimana
tanaman ditanam dalam 2 barisan per plot, ukuran plot yaitu 1,2 m x 7,5
m, serta jumlah tanaman per plot sebanyak 60 tanaman . Penanaman
menggunakan mulsa plastik hitam-perak , pupuk kandang 30 ton/ha,
pupuk buatan dengan dosis 125 kg N- 125 kg P
2
0
5
- 100 kg K
2
0 per ha.
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemasangan turus
bambu , pembuangan tunas lateral, penyemprotan insektisida Curacron
dan fungisida Dhitane M-45 yang dicampur pupuk pelengkap kristalon
dengan interval 1-2 kali per minggu tergantung cuaca dan tingkat
serangan hama dan penyakit. Nematisida Temik 10 G dengan dosis 30
kg/ha digunakan untuk mencegah serangan cacing nematoda diberikan
satu kali pada waktu tanam. Aplikasi zat pengatur tumbuh dilakukan
sebanyak 3 (tiga) kali , yaitu setelah tanaman berumur 30 hari , 37 hari ,
dan 44 hari .
Pengamatan utama dilakukan terhadap :
1) Bobot buah per tanaman (kg/tanaman)
2) Bobot benih per tanaman (g/tanaman)
3) Bobot buah per hektar (ton/ha)
4) Bobot benih per hektar (kg/ha)
5) Kadar air benih (%)
6) Persentase perkecambahan benih di laboratorium (%)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
629
7) Persentase perkecambahan benih di lapangan (%).
Pengamatan penunjang dilakukan secara selintas terhadap
pertumbuhan tanaman, keseragaman tanaman, serangan hama (Agrotis
spp. Helicoverpa armigera), dan serangan pathogen penyebab penyakit
busuk daun (Phytophthora infestans), serta penyakit layu bakteri
(Ralstonia solanacearum).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman di lapangan, baik varietas Opal maupun
Zamrud umumnya normal dan mempunyai tipe pertumbuhan determinate
tetapi pertumbuhan varietas Opal menunjukkan vigor yang lebih baik
dibandingkan Zamrud. Pertumbuhan vegetatif dan generatif varietas Opal
nampak lebih dominan dibandingkan Zamrud terutama dalam hal jumlah
bunga dan jumlah buahnya. Hal ini dapat dimengerti sebab varietas Opal
memang mempunyai agroekologi spesifik di dataran tinggi seperti di
Lembang, sedangkan Zamrud mempunyai agroekologi spesifik di dataran
rendah.
Pengamatan selintas terhadap serangan hama dan penyakit
selama pertumbuhan tanaman di lapangan sangat rendah, sehingga tidak
berpengaruh nyata terhadap bobot buah, bobot biji, dan kualitas biji pada
varietas Opal maupun Zamrud. Serangan ulat tanah (Agrotis spp.) pada
tingkat 0,01 %; hama ulat buah (H. armigera) pada tingkat 0,05 %,
penyakit busuk daun (P. infestans) pada tingkat 1-5 % serta gejala layu
pada tanaman tidak terjadi, karena varietas Opal dan Zamrud
direkomendasikan toleran terhadap penyakit layu. Rendahnya tingkat
serangan hama dan penyakit, karena perawatan tanaman dilakukan
secara intensif dengan cara menyemprotkan insektisida dan fungisida
secara selektif. Menurut Villareal (1979), menyatakan masalah utama
pertanaman tomat di dataran tinggi yaitu penyakit busuk daun dan layu
bakteri, sedangakan di dataran rendah yaitu penyakit layu Fusarium dan
tingkat fruit set yang rendah.
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terjadi pengaruh interaksi
antara varietas tomat dengan aplikasi zat pengatur tumbuh terhadap
bobot buah/tanaman, bobot benih/tanaman, bobot buah/ha dan bobot
benih/ha. Pengaruh varietas terhadap bobot buah dan bobot benih
menunjukkan perbedaan yang nyata, dimana varietas Opal memberikan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan Zamrud. Pengaruh zat pengatur
tumbuh tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap hasil buah
dan benih tomat, hal ini dapat terjadi disebabkan oleh penggunaan pupuk


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
630
pelengkap cair kristalon yang menyediakan unsur-unsur mikro yang
dibutuhkan tanaman, tetapi penggunaan triakontanol 0,2 ml/l dapat
memberikan hasil yang lebih tinggi.
Panen dilakukan setelah tanaman berumur 85 hari dan buah yang
dipanen dalam stadia masak oranye/merah merata (masak fisiologis).
Periode panen dilakukan seminggu sekali sebanyak empat kali penen.
Pengaruh varietas terhadap bobot buah per tanaman menunjukkan
perbedaan yang nyata, tetapi penggunaan zat pengatur tumbuh tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata namun demikian penggunaan
triakontanol 0,2 ml/l dapat memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Bobot buah per tanaman berkisar 0,7
sampai 1,8 kg, dimana varietas Opal menunjukkan bobot buah per
tanaman sebanyak 1,6 kg atau lebih tinggi dibandingkan Zamrud yang
hanya 0,7 kg. Penelitian Nongkas (1994) menggunakan galur PT#4225 di
Thailand dapat memberikan bobot buah per tanaman berkisar 1,1-2,0 kg.
Kedua varietas ini mudah dibedakan berdasarkan bentuk buahnya,
dimana varietas Opal berbentuk lonjong sedangkan Zamrud berbentuk
bulat pipih.
Prosesing benih dilakukan setelah panen, dimana buah tomat
disimpan 1-2 hari, kemudian biji difermentasikan selama 3 (tiga) hari,
selanjutnya dicuci dan dikeringkan sampai kadar airnya berkisar 8 %.
Pengaruh varietas maupun penggunaan zat pengatur tumbuh terhadap
bobot benih per tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu
berkisar 3,8 g. Perlakuan prosesing benih yang lebih cermat pada saat
fermentasi, pencucian, dan pengeringan benih dapat meningkatkan bobot
benih/tanaman sampai 100 % artinya bila pengolahan benih dilakukan
secara cermat bobot benih/tanaman dapat ditingkatkan menjadi 10-15 g.
Berkurangnya bobot benih yang dihasilkan dapat terjadi pada saat
pemisahan biji dari cairan gelatin, maupun pada saat pencucian, dan
pengeringan.
Analisa statistik pengaruh varietas terhadap bobot buah per hektar
menunjukkan perbedaan nyata, sedangkan penggunaan zat pengatur
tumbuh tidak menunjukkan perbedaan nyata, tetapi penggunaan
triakontanol 0,2 ml/l menunjukkan hasil lebih tinggi. Bobot buah per hektar
berkisar 17,5 sampai 46,8 ton, dimana varietas Opal menunjukkan bobot
buah per hektar sebesar 41,3 ton atau lebih tinggi dibandingkan dengan
Zamrud sebesar 20,4 ton. Hal ini sesuai dengan penelitian Nongkas
(1994), melaporkan penggunaan mulsa plastik dapat memberikan
pengaruh positif terhadap hasil buah tomat, lebih lanjut dilaporkan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
631
penanaman varietas PT#4225 di Thailand dengan menggunakan mulsa
plastik bobot buah/ha sebesar 40 ton.
Pengaruh varietas dan zat pengatur tumbuh terhadap bobot benih
per hektar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dimana bobot benih
per ha berkisar 95-125 kg pada varietas Opal dan Zamrud, maupun pada
penggunaan zat pengatur tumbuh. Di Amerika Serikat dilaporkan bobot
benih per ha dapat mencapai 250-400 kg, sedangkan di Afrika dilaporkan
hanya 10-50 kg (George, 1985). Aplikasi ZPT pada tanaman tomat
varietas Gondol di dataran tinggi Kecamatan Lembang dapat
meningkatkan indek luas daun (ILD), laju fotosintesis bersih (LFB), laju
tumbuh tanaman (LTT), dan bobot buah total (Sumiati, 1989).
Rendahnya bobot benih per ha yang dihasilkan dapat disebabkan
masalah teknis antara lain: musim tanam yang tidak tepat, lokasi tanam
yang tercemar, pekerja kurang terampil. Apabila pekerjaan dilakukan
secara cermat, maka bobot benih per ha yang dihasilkan dapat mencapai
250 kg.

Tabel 1. Pengaruh varietas tomat dan zat pengatur tumbuh terhadap bobot
buah/tanaman,bobot benih/tanaman, bobot buah/ha, bobot benih/ha

Perlakuan
Bobot
buah/tanaman
( g/tan. )
Bobot
benih/tanaman
( g/tan . )
Bobot
buah/ha
( ton/ha )
Bobot
benih/ha
(kg/ha)
Opal 1,6 a 4,2 a 41,3 a 105,0 a
Kontrol 1,5 a 3,8 a 38,2 a 95,0 a
Enzim karbonil 1,5 a 4,0 a 38,6 a 100,0 a
Mepiquat klorida 1,6 a 4,5 a 41,6 a 112,5 a
Triakontanol 1,9 a 4,4 a 46,8 a 110,0 a
Zamrud 0,8 b 4,7 a 20,4 b 117,5 a
Kontrol 0,7 b 4,0 a 17,5 b 100,0 a
Enzim karbonil 0,9 b 4,9 a 21,6 b 122,5 a
Mepiquat klorida 0,8 b 5,0 a 21,2 b 125,0 a
Triakontanol 0,8 b 4,8 a 21,2 b 120,0 a
Rata-rata
KK (%)
1,2
20,64
4,4
23,11
30,1
8,53
110,0
20,15

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji berganda Duncan pada taraf 5 %

Analisis statistik menunjukkan tidak terjadi interaksi antar varietas
dan zat pengatur tumbuh terhadap kualitas benih tomat (kadar air, bobot
1000 biji, daya kecambah benih, dan daya kecambah benih di lapangan).
Buah tomat mencapai masak fisiologis di dataran tinggi, Kecamatan
Lembang pada varietas Opal dan Zamrud berkisar 85 hari setelah tanam.
Kemasakan benih berhubungan dengan perubahan morfologis, fisiologis,
dan fungsional yang terjadi mulai saat penyerbukan sampai buah siap
dipanen. Penundaan saat panen setelah masak fisiologis sama artinya


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
632
dengan menyimpan benih di lapangan dalam kondisi suhu dan
kelembaban yang tidak menguntungkan (Gray dkk., 1991 ; Khan, 1992).
Benih berkualitas saat ini merupakan tuntutan konsumen
benih/petani, sehingga dapat diharapkan daya berkecambah tinggi,
seragam dan kuat dalam kondisi optimum maupun suboptimum (AVRDC,
1990). Untuk mencapai kadar air benih berkisar 8 % harus dikeringkan
selama 5-7 hari pada temperatur 34
o
-36
o
C di ruang pengering. Bobot
1000 biji varietas Opal dan Zamrud dengan penggunaan zat pengatur
tumbuh tidak menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu berkisar 2,3-2,5 g
Benih mencapai daya kecambah dan vigor optimum pada saat
benih mencapai tingkat kemasakan fisiologis, setelah masa tersebut
kualitas benih akan menurun. Setelah terjadinya penyerbukan, terjadi
perubahan tertentu yang terjadi di dalam bakal biji dan bakal buah yang
diakhiri dengan pembentukan benih masak yang mampu untuk
berkembang biak menjadi tanaman baru (Atherton dan Rudich, 1986;
AVRDC, 1990).
Daya kecambah benih pada varietas Opal dan Zamrud pada
penggunaan zat pengatur tumbuh tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata yaitu berkisar 95,5-97,5 %

Tabel 2. Pengaruh kultivar tomat dan zat pengatur tumbuh terhadap kualitas benih

Perlakuan Kadar air
benih
(%)
Bobot
1000 biji
g
Daya
kecambah
benih
(%)
Daya
kecambah
benih di
lapangan
(%)
Opal (T
1
) 8,2 a 2,3 a 97,5 a 95,1 a
Kontrol (Z
1
) 8,4 a 2,4 a 95,5 a 92,2 a
Enzim karbonil (Z
2
) 8,1 a 2,2 a 97,6 a 94,0 a
Mepiquat klorida (Z
3
) 8,2 a 2,4 a 98,4 a 96,5 a
Triakontanol (Z
4
) 8,3 a 2,4 a 98,5 a 97,8 a
Zamrud (T
2
) 8,5 a 2,4 a 97,3 a 85,7 a
Kontrol (Z
1
) 8,8 a 2,3 a 96,8 a 90,0 a
Enzim karbonil (Z
2
) 8,7 a 2,4 a 97,2 a 71,4 b
Mepiquat klorida (Z
3
) 7,9 a 2,5 a 97,4 a 86,2 a
triakontanol (Z
4
) 8,7 a 2,5 a 97,8 a 95,2 a
Rata-rata 8,4 2,39 97,40 90,40


KESIMPULAN

1. Penggunaan zat pengatur tumbuh enzim karbonil, mepiquat klorida
dan triakontanol tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap bobot
buah/tanaman dan bobot benih/tanaman pada varietas Opal dan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
633
Zamrud, meskipun demikian penggunaan ZPT dapat meningkatkan
bobot buah/tanaman sebesar 22,06 % (triakontanol) dan bobot
benih/tanaman sebesar 20,50 % (mepiquat klorida) .
2. Penggunaan ZPT mepiquat klorida dan triakontanol pada varietas
Opal dan Zamrud menghasil bobot buah , bobot benih dan mutu benih
yang lebih baik dibandingkan kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

1. Atherton,J,G., and J . Rudich. 1986. The Tomato Crop. Published by
Chapman and Hall. London-New York.
2. AVRDC. 1990. Vegetable Production Training Manual. Asian
Vegetable Research and DevelopmentCenter. Shanhua. Taiwan-
ROC. 447 p.
3. George, R.A.T., 1985. Vegetable Seed Production. Longman.
London. 318 p.
4. Gray, D, ; J.R.A Steckel, J.R Chrimes and A.C.W Davies . 1991.
Density and Harvest Date Effect on Leek Seed Yields and Quality.
Seed Sci . & Tecknol. 19 :331-340.
5. Jaya, B., 1996. Identifikasi dan Pemanfaatan Kultivar Tomat di
Dataran Tinggi/Rendah Jawa Barat. Prosiding Seminar Ilmiah
Nasional Komoditas Sayuran.Balitsa . Lembang . h.331-336.
6. Khan, A.M., 1992. Fruit Maturity and Post Harvest Effect on Tomato
Seed Quality . Training Report. AVRDC-TOP.
7. Kuo, C.G., et.al. 1979. Tomato Fruit Set at High Temperatures in
Proceeding of the 1
st
International Symposium on Tropical Tomato.
AVRDC. Shanhua. Taiwan-ROC.
8. Kuo, C.G; H.M. Chen and H.C. Chen. 1986. Plant Hormones in
Tomato Fruit Set and Development at High Temperatures In. Plat
Growth Regulators in Agriculture. AVRDC . Shanhua. Taiwan-ROC.
9. Nongkas, A., 1994. Fertilizer and Mulching on Processing Tomato.
ARC-AVRDC Training Report.
10. Sumiati, E., 1983. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh dan Pupuk Daun
terhadap Hasil Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum
Mill.).Bull.Penel.Hort.10(3):21-28.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
634
11. Sumiati, E. 1989. Pengaruh Mulsa Jerami, Naungan dan Zat
Pengatur Tumbuh terhadap Hasil Buah Tomat Kultivar Berlian. Bull.
Penel. Hort. 18 (2):18-32.
12. Villareal, R.L. and S.H. Lai. 1979. Procedures for Tomato Evaluation
Trials. AVRDC . Shanhua. Taiwan ROC.
13. Villareal, R.L. 1980 Tomato in the Tropics .Westview Press .
Colorado-USA.

































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
635

UJI KERAGAAN HASIL VARIETAS BAWANG MERAH
DI SENTRA PRODUKSI KABUPATEN SUMENEP

Zainal Arifin, Nurul Istiqomah dan Puji Santoso

BPTP Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso KM 4, Malang


ABSTRAK. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran
unggulan Jawa Timur. Produksi maupun harga bawang merah berfluktuasi
serta dipengaruhi oleh musim dan kondisi lahannya. .Bawang merah
varietas lokal Sumenep berkembang luas di Kabupeten Sumenep serta
cukup tahan terhadap busuk umbi dan ulat grayak (Spodoptera exigua)
dengan potensi hasil 12-13 ton/ha umbi kering. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan produksi beberapa varietas
bawang merah di Kabupaten Sumenep. Penelitian ini dilakukan di lahan
sawah tadah hujan Desa Bunbarat, Kecamatan Rubaru, Kabupaten
Sumenep dalam luasan 0,5 ha pada MK 2007. Varietas bawang merah
yang ditanam adalah lokal Sumenep (bibit asal Sumenep), Sumenep (bibit
asal Brebes), Super Philip dan Thailand. Rancangan penelitian dilakukan
secara Acak Kelompok di 5 lahan petani yang digunakan sebagai
ulangan. Hasil penelitian menunjukkan, bawang merah varietas lokal
Sumenep memperlihatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan
dan hasil umbi tertinggi, serta keuntungan usahataninya meningkat. Hasil
umbi bawang merah varietas lokal Sumenep mencapai 12,21 ton/ha dan
diikuti varietas Sumenep (bibit asal Brebes) 12,09 ton/ha, varietas
Thailand 9,38 ton/ha dan varietas Super Philip 9,25 ton/ha.

Kata kunci : Keragaan Hasil, Varietas Bawang Merah, Sentra Produksi
Kabupaten Sumenep

PENDAHULUAN

Produksi bawang merah dipengaruhi oleh musim serta intensitas
serangan hama dan penyakit. Selain itu bawang merah merupakan
komoditas yang tidak dapat disimpan lama, hanya bertahan 3-4 bulan,
sedangkan konsumen membutuhkannya setiap saat (Duriat et al., 1994;
Hadisoeganda et al., 1995).
Masalah utama dalam usahatani bawang merah adalah tingginya
resiko kegagalan panen karena lingkungan kurang menguntungkan,
terutama serangan hama dan penyakit bawang merah antara lain : ulat
bawang (Spodoptera exigua) dan trips, antraknose, alternaria, fusarium
dan trotol (Sastrosiswoyo, 1996; Rosmahani et al., 1998). Untuk itu


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
636
diperlukan varietas bawang merah yang mempunyai ketahanan terhadap
hama dan penyakit utama serta dapat ditanam di luar musim, sehingga
kesinambungan produksi bawang merah dapat terjamin (Baswarsiati et
al., 1997; 2000).
Dari 141 varietas bawang merah yang ada termasuk varietas
introduksi belum didapatkan varietas yang tahan terhadap penyakit utama
kecuali varietas Sumenep. Sayangnya varietas ini tidak mampu berbunga
dan belum diketahui cara merangsang bunganya, serta berumur panjang
walaupun mempunyai kualitas terbaik untuk bawang. Kelebihan lain dari
varietas Sumenep yaitu rasa bawang enak, gurih, renyah dan crispy serta
aroma harum khas bawang, sehingga sesuai untuk bawang goreng
(Baswarsiati et al., 1997).
Varietas unggul yang berasal dari Jawa Timur antara lain Super
Philip, Bauji dan Batu Ijo. Konsumen bawang merah pada umumnya lebih
menyukai bawang merah dengan ukuran umbi besar (8-10 g/umbi), warna
kulit merah mengkilat dan berumur genjah seperti varietas Super Philip
dan Bauji walaupun rasa bawang merah kalah dibanding calon varietas
Sumenep. Bawang merah varietas lokal Sumenep berkembang luas di
Kabupeten Sumenep serta cukup tahan terhadap busuk umbi dan ulat
grayak (Spodoptera exigua) dengan potensi hasil 12-13 ton/ha umbi
kering.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan
produksi beberapa varietas bawang merah di Kabupaten Sumenep.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan Desa
Bunbarat, Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep dalam luasan 0,5 ha
pada MK 2007. Varietas bawang merah yang ditanam adalah lokal
Sumenep (bibit asal Sumenep), Sumenep (bibit asal Brebes), Super Philip
dan Thailand (sentra pembibitan bawang merah Kabupaten Nganjuk).
Bibit bawang merah lokal Sumenep berasal dari petani hasil panen
sebelumnya dan telah disimpan selama 1,5 bulan.
Rancangan penelitian dilakukan secara Acak Kelompok di 5 lahan
petani yang digunakan sebagai ulangan. Perlakuan terdiri dari 4 varietas
bawang merah yaitu lokal Sumenep (bibit asal Sumenep), Sumenep (bibit
asal Brebes), Super Philip dan Thailand. Jarak tanam 20 cm x 15 cm
dengan ukuran lebar bedengan 150 cm dan kedalaman parit 40 cm dan
lebar antar bedengan 40-50 cm. Dosis pupuk Urea 200 kg/ha, ZA 500
kg/ha, SP 36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ha dan pupuk kandang 10.000 kg/ha.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
637
Waktu pemupukan yaitu seluruh dosis pupuk kandang, SP-36 dan KCl
diberikan sebagai pupuk dasar; pada umur 7 hari diberikan dosis Urea
+ dosis ZA dan bersamaan waktunya dengan penyiraman pada
tanaman bawang; dan pada umur 25 hari diberikan dosis pupuk Urea +
dosis pupuk ZA. Selama pemeliharaan tanaman dibantu dengan
penyiraman air pompa pada saat tanaman kekurangan air.
Pengamatan yang dilakukan meliputi analisis tanah sebelum
penelitian dilakukan secara komposit, tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah
anakan, dan hasil umbi serta analisis input-output.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Agroekologi Lokasi Penelitian
Lokasi pengkajian terletak di Desa Bunbarat, Kecamatan Rubaru
mempunyai jenis tanah kompleks mediteran/grumusol/regosol/litosol dan
topografi datar-bergelombang dengan tingkat kesuburan tanah rendah
yaitu kandungan C-organik, N-total, P-Olsen dan K tergolong rendah-
sangat rendah (Tabel 1). Berdasarkan tipe iklim Oldeman, lokasi
penelitian di Kecamatan Rubaru termasuk dalam klasifikasi E4 yaitu 1
bulan basah dan 8 bulan kering.

Tabel 1. Analisis tanah sebelum penelitian di Desa Bunbarat, Kecamatan Rubaru,
Kabupaten Sumenep, MK 2007

Komponen Nilai Harkat*
C-organik (%) 0,89 Sangat rendah
N-total (%) 0,08 Sangat rendah
P-Olsen (mg/100 g) 3,64 Sangat rendah
K (me/100 g) 0,21 Rendah
Ca (me/100 g) 10,25 Tinggi
Mg (me/100 g) 4,86 Tinggi

* Balai Penelitian Tanah (2005)


Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Pengamatan pertumbuhan tanaman bawang merah yang meliputi
tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan dari beberapa varietas
bawang merah yang dicoba diperoleh keragaan tumbuh beragam (Tabel
2).





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
638

Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan varietas bawang merah di Desa
Bunbarat, Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep, MK 2007

Umur 15 hari Umur 21 hari Saat panen Varietas
Tinggi tan
(cm)

daun

anakan
Tinggi
tan.(cm)

daun

anakan
Tinggi
Tan(cm)

daun

anakan
Sumenep
(Lokal)
26a 21ab 5a 30a 28a 6a 37a 29a 7a
Sumenep
(Brebes)
16 b 8 c 2 b 17 b 11 b 2 b 25 b 12 b 2 b
Super Philip 19 b 13 bc 4a 22 b 20ab 5a 31a 20ab 5a
Thailand 23a 24 a 7a 25a 29a 7a 30a 25a 7a
CV (%) 16,21 26,65 29,24 14,94 21,37 26.12 15,71 21,37 21.12

Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan DMRT pada taraf 0,05

Bawang merah varietas lokal Sumenep diperoleh tinggi tanaman,
jumlah daun dan jumlah anakan tertinggi secara nyata, kemudian diikuti
oleh varietas Thailand, varietas Super Philip dan terendah dijumpai pada
varietas Sumenep (bibit asal Brebes). Penampilan tumbuh bawang merah
varietas Sumenep (bibit asal Brebes) sangat kecil, namun jumlah
mempunyai jumlah umbi yang cukup banyak sehingga mempengaruhi
bobot umbi persatuan luasnya.
Hasil umbi tertinggi diperoleh dari pertanaman bawang merah
varietas lokal Sumenep, kemudian diikuti oleh bawang merah varietas
Sumenep (bibit asal Brebes), bawang merah varietas Thailand dan hasil
umbi terendah dijumpai pada bawang merah varietas Super Philip (Tabel
3).
Tabel 3. Hasil umbi varietas bawang merah di Desa Bunbarat, Kec. Rubaru, Kab. Sumenep MK
2007

Varietas Hasil Umbi
(ton/ha)
Sumenep (Lokal) 12,21a
Sumenep (Brebes) 12,09a
Super Philip 9,25 b
Thailand 9,38 b
CV (%) 8,27
Ket : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan DMRT pada taraf 0,05

Hasil umbi tertinggi dijumpai pada bawang merah varietas lokal
Sumenep sebesar 12,21 ton/ha atau meningkat 2,83-2,96 ton/ha (23,17%
- 24,24%) dibanding bawang merah varietas Thailand maupun bawang
merah varietas Super Philip, sedangkan hasil umbi bawang merah


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
639
varietas Sumenep (bibit asal Brebes) sebesar 12,09 t.ha dan tidak jauh
berbeda dengan bawang merah varietas lokal Sumenep.
Berdasarkan hasil analisis usahatani dari beberapa varietas
bawang merah yang dicoba menunjukkan pendapatan usahatani lebih
ditentukan oleh tingkat produktivitas bawang merah (Tabel 4), sehingga
dari keempat varietas bawaqng merah yang dicoba diperoleh B/C ratio > 1
sehingga layak secara ekonomi .
Hasil umbi tertinggi diperoleh dari penggunaan bawang merah
varietas lokal Sumenep sehingga keuntungan dan B/C ratio masing-
masing mencapai Rp. 81.186.000,- dan 2,83, kemudian diikuti varietas
Sumenep (bibit asal Brebes) dengan keuntungan dan B/C ratio masing-
masing sebesar Rp. 80.106.000, dan 2,79; varietas Thailand dengan
keuntungan dan B/C ratio masing-masing sebesar Rp. 55.716.000,- dan
1,94; varietas Super Philip dengan keuntungan dan B/C ratio masing-
masing sebesar Rp. 54.546.000,- dan 1,90.

Tabel 4. Analisis usahatani varietas bawang merah di Desa Bunbarat, Kecamatan Rubaru,
Kabupaten Sumenep, MK 2007

Var. Lokal
Sumenep
Var. Sumenep
(Brebes)
Var. Super
Philip
Var. Thailand Kegiatan
Fisik Nilai x
(Rp.000)
Fisik Nilai x
(Rp.000)
Fisik Nilai x
(Rp.000)
Fisik Nilai x
(Rp.000)
Tenaga kerja (HOK)
- Olahan tanah 100 2.500 100 2.500 100 2.500 100 2.500
- Bersihkan
bibit
8 200 8 200 8 200 8 200
- Penanaman 40 1.000 40 1.000 40 1.000 40 1.000
- Pemupukan 12 300 12 300 12 300 12 300
- Siang/dangir 45 1.125 45 1.125 45 1.125 45 1.125
-
Penyemprotan
12 300 12 300 12 300 12 300
- Penyiraman 50 1.250 50 1.250 50 1.250 50 1.250
- Panen 35 875 35 875 35 875 35 875
Sarana Produksi (kg/l; ton/ha)
- Bibit 1.000 15.000 1.000 15.000 1.000 15.000 1.000 15.000
- Pupuk :Urea
SP-36
KCl
ZA
Bokashi
200
200
200
500
10.000
264
290
600
600
4.000
200
200
200
500
10.000
264
290
600
600
4.000
200
200
200
500
10.000
264
290
600
600
4.000
200
200
200
500
10.000
264
290
600
600
4.000
- Pestisida 4 400 4 400 4 400 4 400
Biaya produksi 28.704 28.704 28.704 28.704
Hasil (kg/ha) 12.210 109.890 12.090 108.810 9.250 83.250 9.380 84.420
Keuntungan 81.186 80.106 54.546 55.716
B/C ratio 2,83 2,79 1,90 1,94







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
640

KESIMPULAN

1. Lokasi penelitian merupakan sawah tadah hujan dengan kondisi lahan
kurang subur dan iklim tergolong kering.
2. Keragaan tumbuh varietas lokal Sumenep lebih baik dengan hasil
umbi mencapai 12.210 kg/ha umbi kering, sehingga diperoleh
keuntungan dan B/C ratio tertinggi, kemudian diikuti varietas Sumenep
(bibit asal Brebes), varietas Thailand dan varietas Super Philip.


DAFTAR PUSTAKA

1. Baswarsiati, L. Rosmahani, E. Korlina, E.P. Kusumainderawati, D.
Rachmawati dan S.Z. Saadah. 1997. Adaptasi Beberapa Varietas
Bawang Merah di Luar Musim. Eds. M. Cholil M. dkk. Prosid. Sem.
Hasil Penelitian dan Pengkajian Komoditas Unggulan. Deptan.
Balitbangtan. BPTP Karangploso. hal 210-225.
2. Baswarsiati, L. Rosmahani dan E. Korlina. 2000. Review Pengkajian
Sistem Usahatani Bawang Merah di Lahan Sawah. Eds. Soetjipto P.H.
dkk. Prosid. Sem. Hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian
Mendukung Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis. Badan
Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 392 402.
3. Duriat, A.S., T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum, dan R. Sutarya. 1994.
Penerapan Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Budidaya
Bawang Merah. Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Puslitbanghort.
Badan Litbang Pertanian.
4. Hadisoeganda, W.W., E. Wuryaningsih dan T.K. Moekasan. 1995.
Penyakit dan Hama Bawang Merah dan Cara Pengendaliannya.
Dalam. Teknologi Produksi Bawang Merah. Puslitbanghort.
Balitbangtan. Jakarta. hal 57 73.
5. Rosmahani, L., E. Korlina, Baswarsiati dan F. Kasijadi. 1998.
Pengkajian Teknik Pengendalian Terpadu Hama dan Penyakit Penting
Bawang Merah Tanam di Luar Musim. Eds. Supriyanto A.dkk. Prosid.
Sem.Hasil Penelitian dan Pengkajian Sisitem Usahatani Jawa Timur.
Balitbangtan. Puslit Sosek Petanian. BPTP Karangploso. Hal 116-131.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
641
6. Sastrosiswoyo, S. 1996. Sistem Pengendalian Hama Terpadu dalam
Menunjang Agribisnis Sayuran. Prosiding Seminar Nasional
Komoditas Sayuran. Eds. Duriat, A.S dkk. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran bekerjasama dengan PFI Komda Bandung dan CIBA Plant
Protection. 15 hal.































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
642

UNSUR HARA ESENSIAL DALAM MEDIA SPAWN
TIGA JAMUR EDIBLE BERKHASIAT OBAT
Ganoderma lucidum, Lentinus edodes DAN
Auricularia auricula

Gina Aliya Sopha

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Perahu No 517 Lembang 40391 Bandung


ABSTRAK. Penelitian dilakukan untuk melihat perubahan nilai pH dan
kandungan unsur hara esenial pada media bibit (spawn) jamur yaitu N, P,
K, Fe, Mn, S, Zn dan Cu selama pertumbuhan miselium. Metoda
pengujian unsur hara yang digunakan adalah Metode Peech dalam Black
untuk mengukur pH H
2
O, Metode Kurmies untuk C-organik, Metoda Micro
Kjeldahl untuk N-Total, Metode Olsen dan Bray-1 untuk Fosfor, dengan
ekstrak Morgan Venema untuk K, Fe, Mn, Cu, S dan Zn. Hasil penelitian
menunjukkan terjadi penurunan nilai pH dan kandungan K untuk semua
spawn. C-organik pada seluruh spawn cenderung tetap, namun
peningkatan nilai N selama proses pengomposan menurunkan nilai C/N
rasio untuk semua spawn. Kandungan P
2
O
5
dan Fe menurun untuk media
bibit Lentinus edodes dan Auricularia auricula namun naik pada miselium
lanjut pada spawn Ganoderma lucidum. Kandungan Mn, Cu, Zn, S, NH
4
,
dan NO
3
naik untuk semua media bibit. Hal ini membuktikan kemampuan
miselium mendegradasi senyawa kompleks menjadi sederhana dan
diduga tidak diperlukan penambahan zat aditif lain untuk menunjang
pertumbuhan miselium pada media spawn.

Kata kunci : Unsur Hara; Spawn; Ganoderma lucidum; Lentinus edodes;
Auricularia auricula

PENDAHULUAN

Jamur ling-zhi (Ganoderma lucidum) adalah jamur obat yang
memiliki khasiat yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia,
sementara jamur shiitake (Lentinus edodes) dan jamur kuping (Auricularia
auricula) merupakan jamur edible yang dapat berkhasiat sebagai obat.
Ling-zhi mengandung steroid, flavonoid, glukosa, saponin, koumarin,
senyawa fenol, adenosine, triterpenoid yang bermanfaat untuk menjaga
kesehatan, senyawa pengatur tumbuh yaitu asam ganoderik dan
ganodermin yang dapat menghambat karsinogen penyebab kanker,
adenosine sebagai pencuci racun dan larutan organik serta penyeimbang,
triterpenoid untuk pemulihan sistem kerja tubuh, asam ganoderik yang


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
643
berfungsi memertahankan keawetan organ-organ tubuh, serta
polisakarida sebagai pencuci bahan-bahan beracun dan dapat
menguatkan fungsi dan kerja tubuh (Suriawiria, 2004). Menurut Mekkawy
(1998) Ganoderma lucidum mengandung Ganoderiol F dan
ganodermanontriol yang merupakan agen anti HIV-I dan menurut Leun
(2002) dan Chin (1999) G. lucidum memperlihatkan aktivitas antioxidant
yang sangat baik dan merupakan bagian penting dalam sistem biologi.
Serbuk kayu pada tanah tempat tumbuh ling-zhi dapat mempertahankan
kelangsungan hidup ling-zhi (Chang, 2003).
Jamur shiitake (Lentinus edodes) mengandung lentinan sebagai
antitumor dan antikanker memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan
tumor 72-92% dan merupakan makanan kaya serat yang sangat
bermanfaat untuk mencegah kanker usus. Selain itu shiitake dapat
menurunkan kolesterol serta gula darah sehingga dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit jantung dan kencing manis (Suriawira, 2004). Selain
berkhasiat obat shiitake dapat digunakan mereduksi limbah minyak zaitun
(Vinciguerra, 1995) dan merupakan bahan antioksidan alami yang sangat
potensial (Cheung, 2003). Selain itu shiitake dapat digunakan untuk
produksi pakan ternak serta berpeluang digunakan pada produksi kertas
dari jerami jagung (Sermanni, 1994). Menurut Levanon (1993) shiitake
dapat tumbuh pada campuran jerami gandum, jerami kapas dan
gabungan antara campuran kapas dan jerami gandum.
Lendir dalam jamur kuping (Auricularia auricula) dianggap dapat
menonaktifkan atau menetralkan kolesterol serta dapat menawarkan
racun yang terkandung dalam makanan (Suriawiria, 2004). Dr Dale
Hammerschmidt dari Minnesota Medical School mengatakan, jamur
kuping jika disajikan dalam menu makanan sehari-hari berkhasiat
melancarkan peredaran darah dalam tubuh dan menurut Prof Hung Zhao
Guang, dalam makalahnya tentang gaya hidup warga usia pertengahan
dan lanjut usia yang dialihbahasakan oleh Suryono Limputra di
Perkumpulan Pancaran Hidup Jakarta, jamur kuping sangat bermanfaat
bagi pengobatan jantung koroner (Republika online, 2004).
Menurut Mehrotra (1976) jamur biasanya menggunakan
karbohidrat sebagai sumber karbon dan sebagian jamur mampu
menggunakan selulosa dan lignin. Nitrogen (N) merupakan unsur esensial
bagi jamur, sesuai dengan kriteria unsur esensial yang dikemukakan
Epstein (1972) dalam Salisbury (1995) bahwa suatu unsur adalah esensial
bila unsur tersebut menjadi bagian dari molekul atau kandungan
tumbuhan yang esensial bagi tumbuhan itu, dan nitrogen merupakan
bagian dari protein yang esensial bagi jamur. Nitrogen juga berfungsi


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
644
dalam pembentukan miselium dan enzyme. Jamur menggunakan nitrogen
dalam beberapa bentuk seperti jamur Absidia spp, Mucor hiemalis,
Lenzites trabes, Marasmicus spp, menyerap nitrogen dalam bentuk
ammonia, dan Jamur Rhodotorula, Pullularia pullulans menunjukkan
mampu memfiksasi nitrogen dari udara melalui metode mass-
spectrometric (Robbin, 1937 ; Lindeberg, 1945 dalam Mehrotra, 1979),
tanaman lainnya mengambil nitrogen dalam bentuk NO
3
-
atau NH
4
+

(Dwidjoseputro, 1994).
Selain Nitrogen unsur lain yang penting bagi jamur adalah Fosfor.
Fosfor adalah unsur esensial karena merupakan bagian dari nucleoprotein
yang ditemukan dalam inti sel (nucleus) dan sitoplasma setiap sel. Fosfor
memiliki peranan dalam transformasi kimia dan transfer energi. Fosfor
pada umumnya diambil oleh tanaman di dalam bentuk H
2
PO
4
-
dan sumber
Fosfor adalah posfat (Dwidjoseputro, 1994 ; Mehrotra, 1979).
Unsur-unsur lainnya yang diperlukan oleh jamur adalah kalium
(K), magnesium (Mg), belerang (S), tembaga (Cu), besi (Fe) dan mangan
(Mn). Semuanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan jamur yang optimal. Kalium diduga mempunyai
peranan penting sebagai katalisator dalam pengubahan protein dan asam
amino (Dwidjoseputro, 1994). Menurut Mehrotra (1979) seng (Zn) dan
besi (Fe) berperan sebagai katalis tidak langsung pada beberapa enzyme
jamur. Sedangkan tembaga (Cu) berperan dalam proses oksidasi dan
reduksi, dan mangan (Mn) berperan dalam mengaktifkan enzim
dehidrogenase dan karboksilase (Dwidjoseputro, 1994).
Selain kandungan unsur hara pada substrat, produktivitas jamur
juga dipengaruhi oleh bibit yang diinokulasikan. Kualitas bibit sendiri selain
tergantung pada strain yang digunakan juga dipengaruhi oleh media bibit
(spawn) yang digunakan. Seiring dengan perkembangannya miselium
menyerap berbagai macam unsur hara yang terkandung dalam media
spawn. Namun, informasi mengenai serapan hara miselium pada media
spawn belum diketahui. Untuk itu dianggap perlu diadakan penelitian
untuk mengetahui perubahan kandungan unsur hara media spawn selama
pertumbuhan miselium tiga jamur obat yaitu G. lucidum, L. edodes, dan A.
auricula. Dengan diketahuinya perubahan kandungan unsur hara media
spawn, diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pemilihan bahan media
serta pemberian zat aditif untuk mendorong pertumbuhan miselium di
dalam spawn.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008





BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi dan
Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa),
Lembang 1.250 m dpl dari bulan Juni 2007 sampai Agustus 2007.
Percobaan merupakan deskripsi unsur hara essensial dalam media spawn
tiga jamur edible berkhasiat obat dan tidak mengandung rancangan.
Bahan yang digunakan berupa media spawn tanpa bibit yaitu berupa
campuran 42% serbuk kayu gergaji, 42% milet, 15% bekatul, 1% kapur,
1% gypsum dengan kelembaban 60%, media spawn dengan bibit jamur
lingzhi (G. lucidus), media spawn dengan bibit jamur shiitake (L. edodes)
dan media spawn dengan bibit jamut kuping (A. auricula).
Metode pengujian unsur hara yang digunakan adalah Metode
Peech dalam Black untuk mengukur pH H
2
O, Metode Micro Kjeldahl untuk
N-Total, Metoda Olsen dan Bray-1 untuk Fosfor, dengan ekstrak Morgan
Venema untuk K, Fe, Mn, Cu, dan Zn. Untuk mengukur NH
4
+
dan NO
3
-

menggunakan ekstrak KCl 1N.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan nilai pH untuk
semua spawn seperti tampak pada Gambar 1.

Gambar 1. Perubahan nilai pH selama penyimpanan media spawn

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
645
Seperti dilaporkan oleh Sopha (2007) bahwa terjadi penurunan pH
selama pertumbuhan miselium pada media substrat Pleurotus ostreatus
walaupun media tersebut menggunakan kapur. Penurunan nilai pH ini
diakibatkan oleh pertumbuhan miselium di dalam spawn. Pada Gambar 1
dapat dilihat bahwa miselium Shiitake dapat menurunkan nilai pH lebih
besar daripada miselium Jamur Kuping dan Lingzhi, sehingga media


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




spawn menjadi asam. Hal ini sesuai pendapat Oei (2003) bahwa
pembentukan miselium pada Shiitake dapat menurunkan nilai pH dari 6
menjadi 3.
Pada Gambar 2 dapat dilihat perubahan nilai C-organik, N dan
C/N rasio. Nilai kandungan C-organik semua spawn dapat dikatakan tidak
berubah nyata namun nilai C/N rasionya menurun. Hal ini dikarenakan
nilai N-total dalam media spawn naik selama pengomposan oleh miselium
di dalam media spawn. Semakin lama proses pengomposan maka
semakin rendah nilai C/N rasionya. Nilai C/N rasio Shiitake pada awal
pertumbuhan miselium tetap diduga karena pada saat itu belum terjadai
penguraian Nitrogen secara nyata oleh miselium Shiitake. Hal ini dapat
dilihat pada kandungan total N Shiitake yang masih rendah pada awal
pertumbuhan miselium.



Gambar 2. Perubahan nilai C, N dan C/N ratio selama penyimpanan media spawn



Gambar 3. Perubahan nilai NH4 dan NO3 selama penyimpanan media spawn
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
646


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pada Gambar 3 dapat dilihat kandungan NH
4
(ppm) dari semua
media spawn. Kandungan N total ataupun NH
4
mengalami peningkatan
selama pertumbuhan miselium. Hal ini terjadi karena kemampuan
miselium untuk mendegradasi unsur-unsur yang dibutuhkannya. Pada
Gambar 3 dapat dilihat pula bahwa Lingzhi mempunyai kemampuan
tertinggi untuk mendegradasi Nitrogen menjadi NH
4
yang dapat diserap
tanaman, disusul oleh Jamur Kuping dan Shiitake.
Selain diubah menjadi NH
4
, N total pun dapat diserap tanaman
dalam bentuk NO
3.
Perubahan kandungan NO
3
dapat dilihat pada Gambar
3. Pada Gambar tersebut, dapat dilihat bahwa hampir semua miselium
jamur memiliki kemampuan yang sama dalam mendegradai N menjadi
NO
3
. Jamur Kuping menduduki urutan teratas disusul Shiitake dan
Lingzhi. Dari Gambar 3 dapat diduga bahwa Lingzhi lebih menyukai NH
3

sebagai sumber N-nya sedangkan Jamur Kuping dalam bentuk NO
3
.
Kandungan P
2
O
5
sebagai sumber Fosfor dapat dilihat pada
Gambar 4. Pada Gambar tersebut terjadi penurunan nilai kandungan P
2
O
5

untuk Jamur Kuping dan Shiitake. Namun, pada saat triwulan ke-3 untuk
Lingzhi terjadi peningkatan nilai P
2
O
5
dibandingkan media spawn awal.
Hal ini diduga bahwa selama pertumbuhan miselium terjadi penyerapan
P
2
O
5
, namun pada saat triwulan ke 3 terjadi penguraian P
2
O
5
lanjut,
sehingga kandunga P
2
O
5
didalam media spawn menjadi naik.



Gambar 4. Perubahan nilai P2O5 (ppm) dan K (ppm) selama penyimpanan
media spawn

Untuk perubahan kandungan K dapat dilihat pada Gambar 4.
Terjadi penurunan nilai kandungan K untuk semua media spawn. Hal ini
terjadi karena unsur K yang merupakan salah satu unsur makro diserap
dalam jumlah tinggi oleh miselium untuk pertumbuhannya, sehingga
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
647


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




kandungan K didalam media spawn menurun seiring pertumbuhann
miselium jamur. Dalam Gambar dapat dilihat bahwa penurunan
kandungan K lebih tinggi terjadi pada spawn Shiitake, hal ini menunjukkan
penyerapan K oleh Shiitake lebih tinggi daripada Lingzhi dan Jamur
Kuping.
Seperti unsur makro yaitu N, P dan K, unsur mikro pun dibutuhkan
oleh miselium untuk perkembangannya. Perubahan unsur mikro pada
media spawn dapat dilihat pada Gambar 5 untuk kandungan Fe, Mn dan
Zn, Gambar 6 untuk kandungan Cu dan Gambar 7 untuk kandungan S.
Pada semua Gambar dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kandungan
semua unsur hara mikro untuk semua jenis spawn. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi perombakan senyawa-senyawa kompleks menjadi
sederhana oleh miselium jamur. Karena unsur hara mikro hanya
dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit maka hara yang tidak terserap
tertinggal banyak di dalam spawn.


Gambar 5. Perubahan nilai Fe, Mn, dan Zn selama penyimpanan media spawn





Gambar 6. Perubahan nila CU (ppm) selama penyimpanan media spawn
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
648


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008






Gambar 7. Perubahan nilai S selama penyimpanan media spawn

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa Shiitake lebih giat dalam
merombak Mn dibandingkan Lingzhi dan Jamur Kuping, sedangkan
perombakan Zn tidak berbeda nyata antara Shiitake, Lingzhi dan Jamur
Kuping. Untuk unsur Fe pada awal pertumbuhan terjadi penurunan nilai
pada spawn Shiitake dan Jamur Kuping, namun pada masa akhir terjadi
peningkatan pada spawn Lingzhi. Hal ini diduga seperti halnya P, bahwa
Fe diserap pada awal pertumbuhan kemudian terjadi perombakan lanjut
pada akhir pertumbuhan miselium. Untuk unsur Cu, spawn Jamur Kuping
dan Shiitake memiliki nilai yang sama, hal ini menunjukkan perombakan
unsur untuk dua jamur tersebut berjalan sama. Untuk kandungan S, nilai
tertinggi pada media spawn Shiitake diikuti spawn Lingzhi dan spawn
Jamur Kuping. Kemampuan miselium untuk merombak senyawa
kompleks menjadi unsur-unsur sederhana yang dapat dimanfaatkannya
menunjukkan bahwa tidak diperlukan penambahan zat aditif lain untuk
menunjang pertumbuhan miselium di dalam media spawn.

KESIMPULAN

1. Nilai pH menurun selama perkembangan miselum jamur. Penurunan
nilai pH tertinggi terjadi pada spawn Shiitake.
2. Kandungan C-organik pada seluruh spawn cenderung tetap, namun
peningkatan nilai N selama proses pengomposan menurunkan nilai
C/N rasio untuk semua spawn.
3. Lingzhi lebih giat merombak N menjadi NH
3
dibandingkan kedua
media spawn lainnya.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
649


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
650
4. Terjadi penurunan kandungan P
2
O
5
dan K selama proses
pertumbuhan miselium, namun terjadi perombakan lanjut pada P
2
O
5
pada media spawn Lingzhi.
5. Terjadi peningkatan kandungan unsur hara mikro Mn, Zn, Cu dan S
sebagai bukti kemampuan miselium merombak senyawa komplek
menjadi tersedia bagi tanaman, kecuali untuk Fe yang diserap pada
awal pertumbuhan miselium (menurun pada spawn Shiitake dan
Jamur Kuping) kemudian dirombak menjadi tersedia pada miselium
lanjut (peningkatan pada spawn Lingzhi).
6. Campuran serbuk gergaji dan milet cukup baik digunakan sebagai
media spawn dan diduga tidak diperlukan penambahan zat aditif lain
untuk menunjang pertumbuhan miselium pada media spawn.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chang, T.T. 2003. Effects of Soil Moisture Content on the Survival of
Ganoderma Species and Other Wood-inhibiting Fungi. Plant Disease.
87 (10): 1201 1204.
2. Cheung, L.M., P.C.K. Cheung and V.E.C. Ooi. 2003. Antioxidant
Activity and Total Phenolics of Edible Mushroom Extracts. Food
Chemistry. 81 (2): 249 255.
3. Chin, Y.G. and W.J.Yi. 1999. Antioxidant and Radical Scavenging
Properties of Extracts from Ganoderma tsugae. Food Chemistry. 65
(3) : 375 379.
4. Dwidjoseputro, D. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
5. Sopha, G.A. 2007. Perubahan pH dan Kandungan Unsur Hara pada
Media Sustrat Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). Prosiding
Seminar Nasional Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Daya Nabati
dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Fakultas Biologi
Universitas Soedirman. Purwokerto : 3.65 3.74.
6. Leun, M.J., L. H. Ching and C.C. Chu. 2002. Antioxidant Properties of
Several Medicinal Mushrooms. Journal of Agricultural and Food
Chemistry. 50 (21) : 6072 6077.
7. Levanon, D., N. Rothschild., O. Danai and S. Masphy. 1993. Strain
Selection for Cultivation of Shiitake Mushrooms (Lentinus edodes) on
Straw. Bioresource Technology. 45 (1) : 9 12.
8. ______________________________________________. 1993. Bulk
Treatment of Substrate for the Cultivation of Shiitake Mushrooms
(Lentinus edodes) on Straw. Bioresource Technology. 45 (1) : 63 64.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
651
9. Mehrotra. 1976. The Fungi. Mohan Primlani, Oxford & IBH Publishing
Co. New Delhi.
10. Mekkawy, E., S. Meselhy, R. Nakamura, N. Tezuka, Y. Hattori, M.
Kakiuchi, N. Simothono, K. Kawahata and T. Otake. 1998. Anti HIV-1
and Anti-HIV-1 Protease Substances from Ganoderma lucidum.
Phytochemistry. 49 (6): 1651 1657.
11. Republika online. Selasa, 14 Desember 2004. Jamur Kuping Hindari
Penyumbatan Pembuluh Darah. http:// www.republika.co.id.
12. Salisbury, F.B dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1.
Penerbit ITB. Bandung.
13. Sermanni. G., A. DAnnibale., G.D. Lena., N.S. Vitale, E.D. Mattia and
V. Minelli. 1994. The Production of Exo-enzymes by Lentinus edodes
and Pleurotus ostreatus and Their Use of Upgrading Corn Straw.
Bioresource Technology. 48 (2): 173 178.
14. Suriawiria, U. 2004. Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu Shiitake-
Kuping-Tiram. Penebar Swadaya. Depok.
15. Vinciguerra, V., A. DAnnibale, Delle Monasche and G. Sermanni.
1995. Correlated Effects during the Bioconversion of Waste Olive
Waters by Lentinus edodes. Bioresource Technology. 51 (2/3): 221
226.



















Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
652

PENGGUNAAN PUPUK CAIR ORGANIK SERTA PERLAKUAN BENIH
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KANGKUNG DI DAERAH
DATARAN RENDAH PROVINSI JAMBI

Salwati dan Lutfi Izhar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pupuk cair
organik serta perlakuan benih dalam meningkatkan hasil tanaman
kangkung pada dataran rendah Provinsi Jambi. Penelitian dilaksanakan di
Kelurahan Pal Merah, Kota Jambi, yang merupakan daerah dataran
rendah di Provinsi Jambi dari bulan Mei sampai Desember 2006. Metode
penelitian menggunakan Rancangan acak Kelompok (RAK), yang terdiri
dari dua faktor dan diulang sebanyak 3 kali. Faktor I adalah perlakuan
benih, terdiri dari A0 = tanpa pemberian suplemen benih, dan A1 =
pemberian suplemen benih Nutrifarm SD. Faktor II pemberian pupuk kimia
dan pupuk cair organik, terdiri dari : B1 = Super Bio aktif , B2 = Jus Bumi,
B3 = Nutrifarm, dan B4 = Biotani. Sebagai tanaman indikator digunakan
tanaman kangkung. Parameter yang diamati terdiri dari : jumlah daun,
tinggi tanaman dan bobot segar tanaman. Data dari hasil pengamatan
untuk hasil tanaman kangkung diuji secara statistik dengan sidik ragam.
Untuk melihat perbedaan antara perlakuan maka digunakan Uji Jarak
Berganda Duncan (DMRT) taraf 5 %. Hasil penelitian menujukkan
perlakuan benih dapat meningkat bobot tanaman kangkung 10,92%. Dari
pupuk organik cair yang digunakan perlakuan B1 paling baik dibanding
lainnya dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kangkung.

Kata kunci : Pupuk Cair Organik, Benih, Kangkung, Dataran Rendah


PENDAHULUAN

Kangkung merupakan jenis sayuran yang sangat populer bagi
rakyat Indonesia dan mereka dari bangsa-bangsa yang hidup di daerah
tropis. Di beberapa negara temperate seringkali sebagian penduduknya
terdiri dari orang-orang yang berasal dari negara tropis yang juga biasa
mengenal kangkung. Di sisi lain, para pakar gulma internasional
menyatakan bahwa kangkung yang dikenal dengan nama populer Water
Spinach seringkali dimasukkan ke dalam golongan gulma air dan
biasanya hidup berdampingan dengan Echinochloa crassipes Sahim dan
Azola pinnata R. Br. Bahkan dari sumber daya hayati alam Indonesia
kangkung mengandung senyawa tertentu yang potensial untuk
dimanfaatkan dalam dunia farmasi; hingga dalam dunia kedokteran


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
653
kangkung disebut dengan tanaman obat (Tseng dan Iwakami et al., 1992).
Secara meluas kangkung dikenal sebagai obat penenang atau darah
tinggi dan obat bagi orang yang sukar tidur. Bahkan menurut Soenarjono
dan Rismunandar (1990) kangkung bagian akarnya berkhasiat bagi obat
wasir.
Sampai dengan Pelita V, kebutuhan akan kangkung terus
meningkat tetapi produktivitas yang dicapai masih sangat rendah bila
dibandingkan dengan potensi daya hasil yang bisa mencapai 20 ton/ha.
Hal ini disebabkan oleh berbagai masalah yang terdapat di lapangan, baik
aspek teknologi yang belum dikuasai maupun keadaan lingkungan yang
kurang menguntungkan. Perlu diakui bahwa informasi mengenai
kangkung sangat sedikit dan penguasaan teknologi dan usahatani
kangkung yang memadai belum dibenahi, karena kangkung dianggap
sebagai komoditas sayuran yang tidak penting. Sementara ini perhatian
hanya ditujukan pada komoditi primadona yang biaya produksinya jauh
lebih mahal seperti kentang, cabai merah dan lain lain.
Pengelolaan sistem budidaya kangkung juga perlu dibenahi
dengan pengurangan input energi sehingga diperoleh hasil guna budidaya
yang optimal. Pengelolaan unsur yang tidak berlebihan dan kebutuhan air
yang optimal harus diperhitungkan hingga merupakan alternatif yang jauh
lebih baik dari yang dilakukan oleh petani. Untuk itu informasi mengenai
lingkungan produksi merupakan kebutuhan yang mendasar (Harrington
dan Tripp 1986).
Teknik pengendalian hama penyakit yang berazaskan ilmu
lingkungan perlu segera ditangani untuk mengurangi masukan pestisida
(Besemer, 1978; Carpenter, 1984; Komisis Pestisida, 1994; Dibyantoro,
1994a). Pemanfaatan sumberdaya hayati perlu digali sebagai alternatif
penggunaan pestisida sintetik.
Pertanian organik pada dasarnya merupakan suatu sistem di
mana budidaya tanpa menggunakan bahan-bahan kimia, selaras dengan
alam dan menjaga keanekaragaman ekosistem. Dari berbagai
pengalaman, budidaya organik sayur-sayuran akan menghasilkan sayuran
aman dikonsumsi, lebih manis, renyah dan awet. Selain kualitas dan
kuantitas produk meningkat, juga harga lebih tinggi, hal ini akan menjadi
peluang bagi peningkatan pendapatan petani (Anonimous, 2003).
Sistem pertanian organik yang telah diintroduksikan Dinas
Pertanian Kota Jambi di beberapa kelompok tani sayuran Paal Merah,
yang meruapakan daerah dataran rendah di Provinsi Jambi, masih
mengalami beberapa kendala. Berdasarkan observasi di lapangan, petani
memiliki motivasi tinggi untuk menerapkan pertanian organik, karena


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
654
adanya efisiensi input dan peluang peningkatan harga jual, namun
teknologi sayuran organik spesifik lokasi belum tersedia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pupuk cair
organik serta perlakuan benih dalam meningkatkan hasil tanaman
kangkung pada dataran rendah Provinsi Jambi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada daerah sentra pengembangan sayur
menuju organik di Kelurahan Paal Merah, Kecamatan Jambi Selatan, Kota
Jambi pada bulan Mei sampai Desember tahun 2006.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : benih
tanaman kangkung, 200 kg pupuk NPK/ha, pupuk organik Bio super Aktif,
Jus Bumi, Nutrifarm, dan Biotani serta pestisida nabati Mimba 5 ml/l air,
dan Beauveria bassiana.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
terdiri dari 2 faktor perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali, sebagai
tanaman indikator digunakan tanaman kangkung. Susunan perlakuan
sebagai berikut :

Faktor I perlakuan benih :
A0 = Tanpa pemberian suplemen benih
A1 = Pemberian suplemen benih (Nutrifarm SD)

Faktor II pupuk cair organik :
B1 = pupuk kimia + pupuk cair organik (Super Bio aktif)
B2 = pupuk kimia + pupuk cair organik (Jus Bumi)
B3 = pupuk kimia + pupuk organik (Nutrifarm)
B4 = pupuk kimia + pupuk cair organik (Biotani)

Data yang dianalisis adalah jumlah daun kangkung, tinggi
tanaman kangkung, dan bobot segar tanaman kangkung. Data dari hasil
pengamatan tanaman diuji secara statistik dengan sidik ragam. Untuk
melihat perbedaan antara perlakuan digunakan Uji Jarak Berganda
Duncan (DMRT) taraf 5 %.







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
655
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Tanah
Hasil analisis tanah awal beberapa sifat kimia dan fsika tanah
sebelum diberikan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa sifat kimia dan fsika tanah sebelum perlakuan

Sifat kimia tanah Nilai Kriteria *
pH H
2
O 4,46 Masam
N Total ( % ) 0,12 Sangat Rendah
C Organik ( % ) 1,84 Sangat Rendah
P Bray 1 (ppm) 446,65 Tinggi
Tekstur (%)
Pasir
Debu
Liat

54,13
32,16
13,71


Lempung berpasir

Keterangan : * Balai Penelitian Tanah (2005)

Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah dari Balai
Penelitian Tanah (2005) secara umum tanah yang digunakan dalam
percobaan ini adalah tanah dengan tekstur lempung berpasir,
mengindikasikan lahan sesuai untuk pertanaman sayuran, mempunyai
tingkat kesuburan yang rendah, dimana pH tanah masam, kandungan
nitrogen total dan C organik tanah rendah, tapi ketersediaan P tinggi. N
dan C organik yang rendah maka dalam pengelolaan, pemberian bahan
organik merupakan syarat mutlak diberikan. Sedangkan ketersediaan P
tinggi, kemungkinan hal ini akumulasi pemberian P selama ini cukup
tinggi, mengingat unsur P tidak mudah larut.

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kangkung
Jumlah daun tanaman kangkung
Pengamatan jumlah daun tanaman kangkung disajikan pada
Tabel 2. Penggunaan pupuk cair organik tidak meningkatkan secara nyata
terhadap jumlah daun tanaman kangkung Penggunaan pupuk cair organik
dan perlakuan benih juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun
tanaman kangkung. Walaupun tidak berbeda, jumlah daun tertinggi pada
perlakuan A0B1 dan terendah pada A0B4. Perlakuan A0B1 mampu
meningkatkan jumlah daun 36,84%.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
656
Tabel 2. Rata-rata jumlah daun kangkung dari berbagai perlakuan (lembar/lb)

Pupuk organik Perlakuan
benih
B1 B2 B3 B4
Rata-rata
A0 15,40 a 11,87 a 11,67 a 11,13 a 12,35 a
A1 14,70 a 13,40 a 14,87 a 14,27 a 14,36 a
Rata-rata 15,05 a 12,64 a 13,27 a 12,70 a 13,36

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf 5%


Tinggi Tanaman Kangkung
Pengamatan tinggi tanaman kangkung disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman kangkung dari berbagai perlakuan (cm)

Pupuk organik
Perlakuan
benih
B1 B2 B3 B4
Rata-rata
A0 47,00 a 41,81 ab 40,83 ab 35,85 ab 40,60 a
A1 41,44 ab 34,93 b 33,03 b 35,33 ab 37,86 b
Rata-rata 44,22 c 38,38 bc 36,93 ab 35,59 a 39,23

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf 5%


Bobot Segar Tanaman Kangkung
Pengamatan bobot segar tanaman kangkung disajikan pada Tabel 4.
Pengaruh pupuk cair organik dan perlakuan benih mampu meningkatkan
tinggi tanaman pada tanaman kangkung. Tinggi tanaman tertinggi
terdapat pada perlakuan A0B1 dan terendah pada A1B3. Walaupun
tertinggi, A0B1 tidak berbeda nyata dengan A0B2, A0B3, A0B4, A1B1 dan
A1B4.






Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
657
Tabel 4. Rata-rata bobot segar tanaman kangkung dari berbagai perlakuan (g)

Pupuk organik
Perlakuan
benih
B1 B2 B3 B4
Rata-rata
A0 5,68 a 5,63 a 5,15 a 5,78 a 5,77 a
A1 6,94 a 6,00 a 6,06 a 4,92 a 6,40 a
Rata-rata 8,31 a 5,82 b 5,61 b 5,36 b 6,48

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf 5%

Pengaruh pupuk cair organik menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap bobot segar tanaman kangkung, tetapi perlakuan benih tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata, akan tetapi cenderung memberikan
hasil yang lebih baik. Perlakuan benih cenderung meningkatkan bobot
tanaman kangkung 10,92%. Tidak adanya pengaruh perlakuan benih
menyebabkan tidak terdapat interaksi antar perlakuan pada tanaman
kangkung. Walaupun tidak terjadi interaksi, perlakuan A1B1 cenderung
paling berat, dan terendah pada A1B4.
Pengaruh tunggal pupuk cair organik nyata pada B1 pada
tanaman kangkung, kecenderungan B1 lebih baik ditunjukkan data
pertumbuhan daun dan tinggi kangkung paling tinggi. Lebih baiknya
pengaruh B1 disebabkan kandungan hara makro dan mikro yang cukup,
sesuai dengan yang dibutuhkan dan diserap oleh tanaman. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukan Rinsema (1993), bahwa tanaman berumur
pendek seperti sayuran menghendaki pupuk yang bekerja cepat. Selain
itu B1 juga mengandung zat pengatur tumbuh seperti auksin, sitokinin dan
giberalin. Menurut Pandey dan Sinha (1979), auksin akan memacu
perpanjangan sel tanaman, giberalin akan meningkatkan tinggi tanaman,
yang akhirnya akan meningkatkan produktivitas tanaman.
Hama yang menjadi pembatas hasil panen tanaman kangkung di
lokasi penelitian adalah ulat tritip (Plutella xylostella). Ulat ini merusak
daun bagian luar dan memotong tunas bagian dalam, sehingga merusak
tanaman. Kerusakan ini menimbulkan kerugian besar karena penampilan
menjadi buruk dan sayuran tidak laku di pasaran. Hama ini pada saat
penelitian dikendalikan dengan menggunakan pestisida nabati Mimba
yang dikombinasikan dengan B. bassiana. Pestisida ini cukup efektif
dalam mengendalikan ulat tritip, sehingga tingkat kerusakan menjadi di
bawah 5%. Menurut Kardinan (2002), mimba mengandung zat utama


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
658
azadirachtin yang mampu berperan sebagai fungisida, bakterisida,
antivirus, nematisida, dan moluskisida.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Perlakuan benih dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman lebih baik.
Pemberian pupuk organik cair mampu meningkatkan pertumbuhan
dan hasil tanaman kangkung. Dari hasil penelitian perlakuan B1 paling
baik pengaruhnya pada tanaman kangkung.
2. Teknologi sayuran organik dalam jangka pendek sulit dilakukan,
karena itu penerapan teknologi semi organik lebih sesuai. Artinya
penggunaan pupuk kimia masih diperbolehkan, tetapi dalam jangka
panjang secara bertahap dikurangi seiring meningkatnya kesuburan
tanah.
3. Pestisida mimba dan B. bassiana, berpeluang dikembangkan sebagai
pestisida non kimia di lokasi penelitian.

Saran
Mengingat tanah di lokasi penelitian memiliki kandungan bahan
organik rendah, maka penambahan pupuk organik menjadi sangat
penting. Dilain pihak, akumulasi pupuk P tinggi dalam tanah, sehingga
dapat dianjurkan penggunaan mikroba untuk menambang P. Dalam
aplikasi teknologi penggunaan pupuk cair bisa dikembangkan, dan
pemanfaatan mimba dan B. basiana dapat digunakan untuk
mengendalikan hama penyakit.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar
Swadaya.
2. Pandey dan Sinha. 1979. Plant Physiology. Vikas Publishing House
PVT Ltd. New Delhi.
3. Rinsema, W.T. 1993. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bharata Jakarta.
4. Anonimous. 2003. Organik Bukan Hidroponik dan Organik Bukan
Transgenik. Biocert@indo.net.id





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
659

PENGKAJIAN RAKITAN TEKNOLOGI
SISTEM USAHATANI KUBIS DATARAN TINGGI
DI WILAYAH PRIMA TANI KABUPATEN MAGETAN

Pudji Santoso, Yuniarti, dan Subandi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso KM. 4. Malang 65101, Jawa Timur


ABSTRAK. Produktivitas kubis lahan kering dataran tinggi di wilayah
Prima Tani Kabupaten Magetan umumnya rendah, karena teknologi yang
digunakan petani masih sederhana. Untuk meningkatkan produktivitas
kubis ini telah tersusun rakitan teknologi sistem usahatani kubis yang
meliputi perbaikan dalam (1) pembibitan, (2) pengolahan tanah, (3) jarak
tanam, (4) perlakuan pemupukan, dan (5) pengendalian hama penyakit.
Pengkajian dilakukan di lahan petani Desa Genilangit, Kecamatan
Plaosan, Kabupaten Magetan dengan ketinggian tempat 1.000 m dpl.
Pengkajian dilakukan pada MK II 2007, menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dua perlakuan dengan 9 ulangan. Kedua perlakuan ini adalah :
(1) rakitan teknologi sistem usahatani kubis dan (2) teknologi petani. Luas
lahan seluruhnya yang digunakan untuk pengkajian rakitan teknologi
adalah 0,90 ha, sedangkan petani disekitar lokasi pengkajian digunakan
sebagai pembanding. Tujuan pengkajian adalah diperolehnya rakitan
teknologi usahatani kubis spesifik lokasi. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa produktivitas kubis rakitan teknologi sistem usahatani lebih tinggi
bila dibandingkan dengan teknologi petani. Rakitan teknologi sistem
usahatani kubis mengkasilkan krop yang lebih berat dan lebih besar jika
dibandingkan dengan kubis teknologi petani. Rakitan teknologi sistem
usahatani kubis ini secara teknis dan ekonomis layak untuk dikembangkan
di wilayah Prima Tani Kabupaten Magetan.

Kata kunci : Kubis, Rakitan Teknologi, Sistem Usahatani dan Lahan
Kering

PENDAHULUAN

Lahan kering dataran tinggi (700 m 2000 m dpl) di Kabupaten
Magetan, Jawa Timur cukup luas seperti yang terdapat di Kecamatan
Poncol yang luasnya mencapai 2.334 ha, salah satu di antaranya terdapat
di desa Genilangit. Desa Genilangit merupakan lokasi Prima Tani yang
ada di Kabupaten Magetan Jawa Timur, dimana salah satu komoditas
sayuran unggulannya adalah kubis (Yuniarti et al., 2007). Di wilayah ini,
komoditas kubis mempunyai potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan, karena ; (1) agroekologi yang mendukung, (2) peluang
pasar yang cukup tinggi, (3) petani cukup berpengalaman dalam


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
660
mengusahakan kubis dan (4) infrastruktur (pasar, sarana dan prasarana)
yang mendukung serta (5) kebijakan Pemda dalam pengembangan
sayuran yang diarahkan di wilayah tersebut.
Usahatani kubis di daerah tersebut umumnya belum dilakukan
secara intensif, ditandai dengan teknologi budidayanya masih sederhana.
Hal ini terlihat dari produktivitasnya masih rendah, yaitu sekitar 16 ton/ha.
sedangkan rata-rata produktivitas kubis di Jawa Timur mencapai 20 ton/ha
(Diperta Kabupaten Magetan, 2007 dan Diperta Propinsi Jawa Timur,
2007). Rendahnya produktivitas tersebut, di samping disebabkan oleh
budidaya masih sederhana serta adanya serangan penyakit akar gada
atau penyakit bengkak akar. Penyakit ini sudah lama dikenal dan belum
dapat diatasi oleh petani setempat, sehingga merupakan masalah bagi
petani kubis di Desa Genilangit. Untuk mengatasi masalah ini sudah
tersedia rakitan teknologi sistem usahatani kubis yang akan diterapkan
pada pengkajian ini.
Penelitian komponen teknologi budidaya kubis dataran tinggi di
Jawa Timur telah dilakukan, seperti pengendalian PHT penyakit akar
gada spesifik lokasi (Reosmiyanto et al., 2004) dan pengkajian paket
teknologi budidaya kubis hemat pestisida (Dwiastuti et al., 1999). Namun
penelitian tersebut masih belum banyak melibatkan partisipasi petani dan
petugas lapangan, sehingga proses adopsi teknologi masih lamban.
Berdasarkan tersebut di atas serta permasalahan yang ada di
lapangan perlu adanya pengkajian rakitan teknologi sistem usahatani
kubis di lahan kering dataran tinggi. Adapun tujuan pengkajian adalah
diperolehnya rakitan teknologi sistem usahatani kubis spesifik lokasi.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilakukan di lahan petani Desa Genilangit, Kecamatan
Poncol, Magetan pada musim tanam kemarau dua (MK II 2007), yaitu
bulan Juni September 2007. Kegiatan pengkajian ini melibatkan petani,
peneliti dan petugas lapang setempat. Dengan demikian pengkajian ini
termasuk penelitian pengembangan atau on farm research (Harrington,
1989). Pengkajian semacam ini diharapkan dapat mempercepat adopsi
teknologi pada petani (Adnyana et al., 1993 dan Partoharjono et al.,
1993). Sebelum pelaksanaan kegiatan, dilakukan sosialisasi tentang
rakitan teknologi sistem usahatani kubis yang harus disepakati bersama
diantara petani peserta (kooperator). Rakitan teknologi sistem usahatani
kubis ini selanjutnya akan diterapkan oleh petani peserta pada saat


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
661
pelaksanaan kegiatan. Dari hasil kesepakatan diputuskan bahwa, sarana
produksi (bibit, pupuk dan pestisida) disediakan BPTP Jawa Timur.
Pada saat pelaksanaan kegiatan pengkajian juga dilakukan
pembinaan yang dilakukan oleh petugas detasiring melalui pertemuan
kelompok yang dilakukan secara rutin seminggu sekali. Materi yang
diajarkan pada pertemuan kelompok adalah rakitan teknologi sistem
usahatani kubis di lahan kering dataran tinggi serta cara pembuatan
pesemaian dengan para-para, pembuatan bokasi dan kascing (Tabel 1).
Pengkajian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan
dua perlakuan, yaitu: (1) rakitan teknologi sistem usahatani kubis dan (2)
teknologi petani. Masing-masing perlakuan diulang 9 kali, dimana setiap
petani peserta dianggap 1 ulangan dan petani disekitar lokasi pengakajian
digunakan sebagai pembandingnya. Varietas kubis yang ditanam untuk
kedua perlakukan tersebut adalah Summer autum. Luas lahan seluruhnya
yang digunakan untuk pengkajian rakitan sistem usahatani kubis adalah
seluas 0,90 ha.
Pengumpulan data dilakukan dengan farm record keeping yaitu
pencatatan setiap kegiatan usahatani sejak persiapan tanam hinga panen
yang dilakukan petani peserta maupun petani non peserta. Data yang
dikumpulkan meliputi: (1) data agronomi dan (2) data sosial ekonomi serta
data pendukung lainnya. Data agronomi terdiri dari umur panen,
produktivitas, berat dan diameter krop. Sedangkan data sosial ekonomi
meliputi respon petani terhadap penerapan rakitan teknologi sistem
usahatani kubis dan semua input yang digunakan usahatani kubis.


Tabel 1. Rakitan teknologi sistem usahatani kubis di lahan kering dataran tinggi di lahan kering
dataran tinggi Kabupaten Magetan pada MK II 2007

Komponen teknologi Rakitan teknologi sistem usahatani
*)
Teknologi petani
**)
1. Pembibitan Pembibitan dengan para-para Pembibitan tanpa para-para
2. Pengolahan tanah Tanah diolah ditaburi dengan Dolomit 1
ton/ha
Tanah diolah tanpa ditaburi
dolomit
3. Jarak tanam 60 cm x 40 cm 60 cm x 30 cm
4. Perlakuan pemupukan Bokasi 5 ton/ha, kascing 2 ton/ha
diberikan pada saat tanam
Urea 150 kg, ZA 200 kg, KCl 100 kg dan
SP-36 200 kg per-ha, setengah dosis
diberikan saat tanam dan sisanya pada
umur 2 minggu setelah tanam
Pupuk kandang 14 ton/ha,
setengah dosis diberikan saat
tanam dan sisanya pada umur 2
minggu setelah tanam.
Urea 350 kg, Sp-36 100 kg,
diberikan tiga kali ; pertama saat
tanam, kedua umur 2 minggu
setelah tanam dan ketiga waktu
keluar krop.
5. Pengendalian hama
penyakit
Menggunakan pestisida Curacron,
Poliram dan perata, diberikan 1 minggu
sekali
Menggunakan pestisida Tracer,
diberikan 4 hari sekali.

Keterangan = *) Rakitan teknologi sistem usahatani adalah teknologi yang diterapkan oleh petani peserta
berdasarkan kesepakatan
**) Teknologi petani merupakan teknologi yang umum dilakukan petani disekitar pengkajian


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
662

HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Genilangit, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan terletak
di lereng Selatan gunung Lawu.dengan ketinggian tempat 800 1.200
mdpl, topografi berbukit hingga bergunung dengan kemiringan 15 % - 60
%. Luas lahan pertanian di Desa tersebut sebagian besar (85 %) berupa
lahan kering yaitu seluas 175 ha, sedang lahan sawah hanya 32 ha. Desa
tersebut termasuk ke dalam wilayah pengembangan sayuran dataran
tinggi di Kabupaten Magetan. Curah hujan tahunan selama 5 tahun (2002
2006) adalah 2.186 mm/tahun dengan hari hujan antara 2 16 hari per-
bulan dan jumlah hari hujan tahunan sebanyak 104 hari. (Diperta
Kabupaten Magetan, 2006). Tipe iklim menurut Oldeman di wilayah
tersebut tergolong ke dalam tipe D. Dimana puncak periode bulan basah
terjadi pada bulan Januari sedangkan periode kering pada bulan Agustus.
Komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan oleh petani di
wilayah tersebut adalah kentang, kubis dan bawang daun yang umumnya
diusahakan di lahan kering dengan pola tanam ; (1) Wortel Kentang
Kubis dan (2) Kentang Kubis Kentang. Tanaman kubis ini umumnya
ditanam secara monokultur dengan sistem teras bangku searah kuntur.
Usahatani kubis tersebut diusahakan pada lahan-lahan berlereng dengan
kemiringan (15 % - 45 %) dengan jenis tanah Andisol dan Inceptisol
(Saraswati et al., 2001).
Luas lahan garapan petani peserta adalah seluas 0,50 ha, dimana
0,20 ha pada MK II 2007 digunakan untuk usahatani kubis dan sisanya
0,30 ha untuk usahatani lainnya seperti kentang dan bawang daun. Lahan
garapan petani non peserta relatif lebih sempit dibandingkan dengan
petani peserta, yaitu 0,40 ha; dimana lahan seluas 0,15 ha pada MK II
2007 digunakan usahatani kubis dan sisanya 0,25 ha untuk usahatani
lainnya. Angka-angka tersebut memberikan gambaran, bahwa rata-rata
lahan garapan untuk usahatani kubis pada MK II 2007 relatif sempit yaitu
kurang dari 0,25 ha.
Status lahan garapan petani semuanya adalah pemilik penggarap,
baik untuk petani peserta maupun petani non peserta. Menurut Susilowati
et al., (1997) petani dengan status pemilik penggarap di daerah sayuran
lahan berlereng akan lebih memperhatikan konservasi tanah bila
dibandingkan dengan petani penyewa dan bagi hasil.
Ternak yang banyak dipelihara petani adalah sapi potong, rata-
rata pemilikan 2 ekor, baik petani peserta maupun petani non peserta.
Pemeliharan ternak sapi ini dilakukan secara perorangan dengan sistem


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
663
kandang individu. Kotoran ternak sapi ini sudah dimanfaatkan petani
sebagai pupuk organik yang telah digunakan untuk usahatani sayuran.
Dengan demikian fungsi ternak bagi petani di Desa Genilangit merupakan
tabungan yang dapat dijual sewaktu-waktu, jika petani membutuhkan,
disamping kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk kandang.
Pupuk kandang dari kotoran sapi ini banyak digunakan oleh
petani untuk usahatani sayuran termasuk kubis. Penggunaan pupuk
kandang sapi ini dapat menyebarkan penyakit akar gada pada kubis
(Roesmiyanto et al., 1998). Penyebaran penyakit akar gada dapat juga
melalui pengairan dan penanam kubis secara terus-menerus pada satu
lahan. Oleh karena itu dalam pengkajian rakitan teknologi sistem
usahatani kubis ini, salah satu komponen teknologi yang diterapkan
adalah penggunaan bokasi dan kascing untuk menghindari adanya
serangan penyakit akar gada. Cara pembuatan bokasi dan kascing ini
telah dilakukan pada saat kegiatan pengkajian, diharapkan petani dapat
membuatannya sendiri. Rata-rata penggunaan bahan organik untuk petani
peserta adalah sebanyak 5 ton/ha (bokasi) dan 2 ton/ha (kascing).
Sedangkan untuk petani non peserta menggunaan pupuk kandang yang
jumlah cukup banyak yaitu 14 ton/ha. Jenis pupuk yang digunakan oleh
petani peserta cukup banyak yaitu Urea (100 kg/ha), ZA (150 kg/ha), SP-
36 (200 kg/ha) dan KCl (100 kg/ha), sedangkan petani non peserta hanya
menggunakan Urea (350 kg/ha) dan Phonska (250 kg/ha).
Cara penanggulangan penyakit akar gada dapat juga dengan
persemaian para-para dengan media tanah yang diambil dari tanah pada
kedalaman > 2 m serta penyiramannya menggunakan air bersih
(Roesmiyanto et al., 1998). Cara tersebut merupakan komponen teknologi
yang diterapkan pada pengkajian ini. Dari hasil pengamatan 10 minggu
setelah tanam, ternyata cara perlakuan persemain menggunakan para-
para ini, ternyata dapat mengurangi serangan penyakit akar gada dari
39,37 % menjadi 5 %. Perlakuan pesemaian kubis dengan para-para ini,
ternyata belum banyak diketahui oleh petani. Untuk itu dalam kegiatan
pengkajian ini, petani juga dilatih tentang cara pembuatan persemaian
kubis dengan para-para.
Tanaman kubis dipanen pada umur 75 hari setelah tanam dengan
cara memotong pada tangkai crop, kemudian dibersihkan dari kotoran.
Produktivitas kubis pada rakitan teknologi sistem usahatani lebih tinggi
(20,30 ton/ha) daripada cara petani (13,20 ton/ha). Bobot krop pada
rakitan teknologi sistem usahatni lebih berat (1,30 kg/krop) bila
dibandingkan dengan cara petani (0,90 kg/krop). Disamping itu juga
diameter krop pada rakitan teknologi sistem usahatni lebih lebar (21,50


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
664
cm) bila dibandingkan dengan cara petani (17 cm) (Tabel 2). Angka-
angka ini menggambarkan bahwa kubis yang dihasilkan oleh petani
peserta mutunya lebih baik bila dibandingkan dengan petani non peserta.

Tabel 2. Produktivitas, bobot dan diameter krop usahatani kubis petani peserta
dan petani non peserta di wilayah Prima Tani pada MK II 2007 di Kabupaten
Magetan

Uraian
Produktivitas
(ton/ha)
Bobot krop
(kg/krop)
Diameter krop (cm)
1. Petani peserta
2. Petani non peserta
3. t test
1)
4. Standard deviasi
20,30
13,20
*)
2,476
1,30
0,90
*)
4.70
21,50
17,00
**)
7,28

Keterangan:
*)
dan
**)
nyata berdasarkan uji t pada taraf peluang 5 %

Pada saat panen dilakukan temu lapang yang dihadiri oleh
Pemda, kelompok tani, peneliti dan petugas lapang. Tujuan dari temu
lapang ini adalah mensosilisasikan hasil penerapan teknnologi sistem
usahatani kubis, disamping itu juga menyakinkan kepada petani bahwa
tentang hasil yang diperoleh dari penerapan rakitan teknologi (Roger dan
Shomaker, 1981). Respon petani terhadap teknologi sistem usahatani
kubis cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari jumlah petani yang mengikuti
temu lapang cukup banyak. Di samping itu juga keinginan petani untuk
menerapkan sistem usahatani kubis pada musim tanam berikutnya.
Rata-rata biaya produksi usahatani kubis petani peserta lebih
tinggi (41 %) bila dibandingkan dengan petani non peserta. Dari total
biaya produksi untuk petani peserta yang paling banyak digunakan untuk
tenaga kerja sebanyak 58 % dan 42 % untuk sarana produksi (benih,
pupuk dan pestisida). Sebaliknya untuk petani non peserta 52 %
digunakan untuk sarana produksi dan sisanya 48 % untuk tenaga kerja.
Pendapatan usahatani kubis yang diperoleh petani peserta lebih tinggi
daripada petani non peserta, yaitu masing-masing Rp 4.086.000,- dan Rp
1.675.000,-/ha. Di samping itu pula usahatani kubis petani peserta lebih
efiesien bila dibandingkan dengan usahatani kubis petani non peserta.
Dimana efisiensi usahatani ini ditunjukkan dari nilai R/C rasio usahatani
kubis petani kooperator lebih tinggi daripada petani non kooperator, yaitu
masing-masing 1,252 dan 1,145 (Tabel 3). Harga pokok kubis pada saat
itu menunjukkan bahwa rakitan teknologi sistem usahatani lebih hemat
bila dibandingkan dengan cara petani yaitu masing-masing Rp 639,-/kg
dan Rp 693,-/kg. Hal ini berarti untuk memproduksi satu kg kubis untuk


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
665
rakitan teknologi diperlukan biaya Rp 639,- sedangkan cara petani Rp
693,-.

Tabel 3. Analisis usahatani kubis MK I 2007 petani peserta dan petani non peserta
di wilayah Prima Tani pada MK II 2007 di Kabupaten Magetan

Petani peserta Petani non peserta
Uraian
Fisik Nilai (Rp) Fisik Nilai (Rp)
1. Sarana produksi
a. Bibit (bibit)
b. Bokasi (t)
c. Pupuk kandang (t)
d. Kascing (t)
e. Kaptan (t)
f. Pupuk urea (kg)
g. Pupuk ZA (kg)
h. Pupuk SP-36 (kg)
i. Pupuk KCl (kg)
j. Phonska (kg)
k. Pestisida (kg/l)
- Furadan
- Curacron
- Benlate
- Agrif
- Poleram
- Treser
- Antracol
2. Tenaga kerja (HOK)
a. Pengolahan tanah
b. Guludan
c. Tanam
d. Pengairan
e. Penyiangan
f. Pembumbunan
g. Pemupukan
h. Penyemprotan
i. Panen & sortasi
*)
j. Pengemasan
*)
k. Pemasaran
*)
3. Total biaya (Rp)
4. Produksi (kg)
6. Pendapatan (Rp)
7. R/C Rasio

38.600
5
-
2
1
100
150
200
100
-

8
6
0,25
0,05
3
-
-

50
20
20
12
20
20
15
32
-
-
-
-
25.375
-

2.509.000
2.500.000
-
2.000.000
1.000.000
130.000
180.000
300.000
250.000
-

90.000
120.000
75.000
100.000
90.000
-
-

1.500.000
600.000
600.000
360.000
600.000
600.000
450.000
960.000
500.000
400.000
300.000
16.214.000
20.300.000
4.086.000
1,252

40.000
-
14
-
-
350
-
-
-
250

-
-
-
-
-
0,45
3,5

50
10
25
12
20
20
10
20
-
-
-
-
16.500
-


2.800.000
-
1.680.000
-
-
455.000
-
-
-
475.000

-
-
-
-
-
230.000
175.000

1.500.000
300.000
750.000
360.000
600.000
600.000
300.000
600.000
400.000
300.000
300.000
11.525.000
13.200.000
1.675.000
1,145

Keterangan = Harga kubis di tingkat petani adalah Rp 800,-/kg

Dari beberapa indikator tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
rakitan teknologi sistem usahatani kubis secara teknis dan ekonomis layak
untuk dikembangkan di wilayah Prima Tani Kabupaten Magetan.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
666

KESIMPULAN DAN SARAN

Penerapan rakitan teknologi sistem usahatani kubis dapat
meningkatan produktivitas. Produktivitas kubis dapat meningkat 54 %,
bobot dan diameter krop masing-masing meningkat 44 % dan 26 %.
Dengan penerapan rakitan teknologi sistem usahatani ini pendapatan
usahatani kubis meningkat sebesar 144 % bila dibandingkan cara petani
serta efisiensi usahatanya meningkat 9 %. Rakitan teknologi sistem
usahatani kubis ini secara teknis dan ekonomis layak untuk dikembangkan
di wilayah Prima Tani Kabupaten Magetan.

Agar adopsi teknologi sistem usahatani kubis dapat berlanjut,
maka diperlukan: (1) penyediaan bibit kubis yang berkualitas melalui
kelompok tani tepat waktu, (2) bimbingan oleh petugas secara terus-
menerus, sejak persiapan hingga panen, (3) adanya jaminan harga yang
layak dan stabil, (4) kesadaran dan partisipasi petani sendiri serta (5)
dukungan pemerintah daerah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adnyana. M. O., M. Syam dan I. Manwan. 1993. Percepatan Proses
Adopsi Teknologi. Dalam M. Syam, Hermanto,. H. Kasim dan
Sunihardi (Eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. I. 183
199.
2. Dwiastuti. M. D., Suhardi, Q. Endarto, Roesmiyanto dan B. Siswanto,
1999. Pengkajian Paket Budidaya Kubis Hemat Pestisida. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso. 308 318.
3. Diperta Kabupaten Magetan, 2006. Laporan Tahunan Tahun 2005.
Dinas Pertanian Kabupaten Magetan.
4. Diperta Kabupaten Magetan, 2007. Laporan Tahunan Tahun 2006.
Dinas Pertanian Kabupaten Magetan.
5. Diperta Propinsi Jawa Timur, 2007. Laporan Tahunan Tahun 2006.
Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur.
6. Harrington. L.H.1989. An Introduction of on Farm Adaptive Research
(OFAR). In Dynamic in On Farm Research. Proc. Of Workshop. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Malang.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
667
7. Partoharjono, S., I.S. Ismail, Subandi, M. Oka Adnyana dan D.A.
Darmawan. 1993. Peranan Sistem Usahatani Terpadu dalam Upaya
Pengentasan Kemiskinan di Berbagai Agroekosistem. M. Syam,
Hermanto, H. Kasim dan Sunihardi (Eds). Kinerja Penelitian Tanaman
Pangan. Bogor. I. 143 182.
8. Roger, E.M dan F. Floyd Shomaker. 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide
Baru. Disarikan oleh Abdilah Hanafi. Usaha Nasional. Surabaya.
9. Roesmiyanto, Suliyanto, H. Sutanto, dan Sukardi. 1998. Uji Rakitan
Teknologi Pengendalian Terpadu Penyakit Akar Gada pada Tanaman
Kubis di Jawa Timur. Prosiding Hasil penelitian dan Pengkajian SUT
di Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso.
236 244.
10. Reosmiyanto, Suliyanto, Sukakdi dan A. Suripto. 2004. Pembibitan
Kubis Bebas OPT. Petunjuk Teknis Rakitan Teknologi Pertanian. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. 160 168.
11. Susilowati. S.H., G. S. Budhi dan I.W. Rusastra. 1997. Kinerja dan
Perspektif Usahatani Konservasi Alley Cropping di Indonesia. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. 15 (1 & 2) : 1 16.
12. Saraswati, D.P., Suyamto, H., D. Setyorini, Al. G. Pratomo dan L.Y.
Krisnadi. 2001. Zona Agroekologi Jawa Timur. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Timur.
13. Yuniarti, Al. Budiono, H. Ariyanto, Ariyono dan Subandi. 2007.
Program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian (Prima Tani) Kabupaten Magetan. Laporan Akhir Tahun.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur.
















Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
668

PENGARUH CARA PERLAKUAN CENDAWAN ANTAGONIS
PADA BIBIT DAN PUPUK ORGANIK UNTUK MENGENDALIKAN
PENYAKIT LAYU Fusarium oxysporum
TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum)

Eli Korlina

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso Km. 4 PO. Box 188 Malang, Tlp. (0341) 494052


ABSTRAK. Pengaruh cara perlakuan cendawan antagonis pada bibit dan
pupuk organik untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium oxysporum
tanaman bawang merah(Allium ascalonicum). Penelitian dilaksanakan di
laboratorium Mikologi dan Rumah Kaca Departemen Hama dan Penyakit
Tanaman Fakultas Pertanian IPB, mulai bulan April sampai dengan Juli
2004; bertujuan untuk menguji pengaruh cara perlakuan cendawan
antagonis pada bibit dan pupuk organik untuk mengendalikan penyakit
layu Fusarium oxysporum tanaman bawang merah. Penelitian
menggunakan rancangan faktorial dalam rancangan acak kelompok
dengan dua faktor, yang diulang sebanyak tiga kali. Faktor pertama
adalah perlakuan bibit dengan cendawan antagonis terdiri atas lima taraf,
yaitu kontrol (tanpa cendawan antagonis), bibit disemai dengan
Trichoderma harzianum PrbA1, bibit disemai dengan F. oxysporum non
patogen (FoNP) PrbA5, bibit direndam dalam suspensi T. harzianum
PrbA1 dan bibit direndam dalam suspensi FoNP PrbA5. Faktor kedua
adalah pupuk organik terdiri atas tiga taraf, yaitu kontrol (tanpa pupuk
organik), pupuk organik kotoran sapi dan pupuk organik kotoran ayam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara
perlakuan bibit dan pupuk organik terhadap semua peubah yang diamati.
Penggunaan cendawan antagonis sebagai perlakuan bibit dan pupuk
organik secara tunggal dapat memperpanjang periode inkubasi.
Persentase kejadian penyakit (3,7%-11,11%) dan persentase keparahan
penyakit (0,74%-11,11%) pada perlakuan bibit dengan cendawan
antagonis lebih rendah daripada kontrol (27,98%-29,63%). Perlakuan
pupuk organik secara tunggal yang berasal dari kotoran ayam dapat
meningkatkan bobot basah umbi bawang merah.

Kata kunci : Allium ascalonicum, Trichoderma harzianum, Perlakuan Bibit,
Pupuk Organik, Fusarium oxysporum, F. oxysporum Non
Patogen

PENDAHULUAN

Salah satu kendala dalam optimalisasi produksi bawang merah
(Allium ascalonicum) adalah adanya serangan penyakit layu yang
disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum. Kerugian yang


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
669
diakibatkan oleh penyakit ini mencapai 24-27% (Sastrosiswojo, 1996),
bahkan apabila gejala serangan berat, besarnya kerugian dapat mencapai
75%, sehingga tanaman tidak bisa menghasilkan umbi (Korlina et al.,
2000)
Pengendalian yang telah dilakukan antara lain penggunaan
fungisida. Adiyoga et al. (1997) melaporkan bahwa 62-93% petani bawang
merah di Brebes melakukan penyemprotan pestisida secara rutin 3-7 hari
sekali dan melakukan pencampuran 2-4 jenis pestisida. Penggunaan
pestisida yang berlebihan dapat memberikan ancaman terhadap
keseimbangan ekosistem dan kesehatan manusia, serta dapat
meningkatkan biaya produksi. Pengendalian lain yaitu dengan
penanaman varietas tahan. seperti varietas Sumenep (Suhardi, 1994),
namun varietas ini kurang diminati petani karena umurnya panjang dan
produksinya rendah. Varietas yang sudah dikenal petani dan produksinya
tinggi adalah jenis Philipine, namun varietas Philipine rentan terhadap
penyakit layu fusarium (Korlina dan Baswarsiati, 1997), sehingga perlu
adanya perlindungan atau pencegahan supaya tidak terserang penyakit
layu. Pada saat ini pengendalian yang sedang digalakkan adalah
pengendalian yang berwawasan lingkungan antara lain dengan
menggunakan mikroorganisme yang bersifat antagonistik terhadap F.
oxysporum.
Trichoderma sp dan Fusarium oxysporum non patogen (FoNP)
merupakan cendawan antagonistik yang dapat digunakan untuk
mengendalikan F. oxysporum (Sivan dan Chet, 1989; Ogawa dan
Komada, 1985). Setelah diketahui kemampuan cendawan bersifat
antagonistik terhadap F. oxysporum secara in-vitro, maka perlu dibuktikan
kemampuannya tersebut di dalam tanah. Hal ini dilakukan karena
antagonis yang mampu menghambat patogen dalam media biakan belum
tentu efektif menekan penyakit di dalam tanah (Papavizas, 1960 dalam
Dachlan et al., 1995). Selain itu berhasil tidaknya penggunaan cendawan
antagonis dalam menekan penyakit adalah kondisi lingkungan yang
menguntungkan bagi perkembangan antagonis. Salah satu usaha yang
dapat dilakukan adalah dengan penambahan bahan organik (Patriok dan
Toussoun, 1970). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh cara
perlakuan cendawan antagonistik pada bibit bawang merah dan pupuk
organik untuk mengendalikan penyakit layu F. oxysporum pada tanaman
bawang merah.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
670

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Mikologi dan rumah kaca
Departemen Hama dan Penyakit Tanaman. Fakultas Pertanian IPB, mulai
bulan April sampai dengan Juli 2004. Penelitian dilaksanakan
menggunakan rancangan kelompok faktorial dengan dua faktor. Faktor
pertama adalah perlakuan bibit (C) terdiri atas lima taraf, yaitu C0 =
kontrol (tanpa cendawan antagonis); C1 = bibit disemai dengan T.
harzianum PrbA1; C2 = bibit disemai dengan FoNP PrbA5; C3 = bibit
direndam dalam suspensi T. harzianum PrbA1; dan C4 = bibit direndam
dalam suspensi FoNP PrbA5. Faktor kedua adalah pupuk organik (P)
terdiri atas tiga taraf, yaitu P0 = kontrol (tanpa kotoran hewan); P1 =
kotoran sapi dan P2 = kotoran ayam, dengan dosis 3 kg/tanaman untuk
setiap perlakuan. Dengan demikian terdapat lima belas kombinasi
perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, dimana masing-
masing unit percobaan terdiri dari 5 tanaman bawang merah.
Bibit bawang merah yang digunakan adalah varietas Philipine
yang rentan terhadap penyakit layu fusarium. Bibit bawang merah
disemaikan pada wadah persemaian berisi tanah steril yang telah diberi
inokulum cendawan antagonis sesuai dengan perlakuan, bibit dibiarkan
tumbuh selama 2 hari. Sedangkan bibit dengan perlakuan perendaman
dilakukan dalam suspensi cendawan antagonis pada kerapatan spora 10
6

per ml selama 24 jam. Sebelum perlakuan, bibit bawang merah telah
disterilisasi dengan cara direndam dalam NaOCl 1% selama 1 menit.
Isolat patogen diinfestasikan pada medium tanah tiga hari sebelum tanam.
Penanaman dilakukan bersamaan pada polibeg ukuran 5 kg, yang berisi
campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 4 : 1 (v/v)
sesuai dengan perlakuan.
Pengamatan dilakukan terhadap periode inkubasi (waktu yang
dibutuhkan tanaman mulai saat inokulasi sampai gejala pertama kali
teramati), persentase kejadian dan keparahan penyakit, pertumbuhan
tanaman dan produksi. Pengamatan kejadian penyakit dilakukan dengan
cara penghitungan terhadap gejala tanaman secara visual. Penghitungan
dimulai satu minggu setelah tanam dan diulang sebanyak empat kali
dengan selang waktu seminggu sekali. Tingkat kejadian penyakit dihitung
dengan menggunakan metode Abbot dengan rumus perhitungan sebagai
berikut:




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
671

n
I = x 100 %
N

Dimana :
I = Persentase kejadian penyakit
n = Jumlah rumpun yang terserang
N = Jumlah rumpun yang diamati

Pengamatan keparahan penyakit pada umbi dilakukan pada saat
panen dengan mengamati terhadap adanya gejala nekrotik atau massa
spora pada umbi. Penghitungan dilakukan dengan metode Abbot seperti
pengamatan terhadap tingkat kejadian penyakit pada tanaman yaitu :

umbi terserang dalam 1 rumpun
Keparahan penyakit = x 100%
umbi total dalam 1 rumpun

Sebagai data penunjang juga diamati pertumbuhan terhadap
jumlah daun, jumlah anakan dan tinggi tanaman. Pengamatan dimulai
pada tanaman bawang merah berumur dua minggu setelah tanam (MST)
sampai 4 MST.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan diperoleh bahwa periode inkubasi, kejadian
dan keparahan penyakit tidak dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor
perlakuan, tetapi hanya dipengaruhi oleh masing-masing faktor tunggal.
Beberapa cara aplikasi cendawan antagonis pada bibit dapat
memperlambat secara nyata periode inkubasi (Gambar 1A). Aplikasi
cendawan antagonis pada bibit yang direndam (C1 dan C2), maupun
pada bibit yang diberi cendawan antagonis di persemaian (C3 dan C4),
memperlihatkan periode inkubasi yang relatif lebih panjang, yang berbeda
nyata dengan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan T.
harzianum PrbA1 di persemaian (C1). Hal ini diduga karena cendawan
antagonis sebagai perlakuan pada bibit, mempunyai kemampuan untuk
menghambat perkembangan patogen. Seperti yang dikemukakan oleh
Yamaguchi et al. (1992), bahwa tanaman tomat dan terung yang
diinokulasi dengan F. oxysporum non patogen (FoNP) MT0062 dapat


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



menunda gejala layu dibandingkan tanpa FoNP. Mekanisme yang terjadi
adalah kompetisi nutrisi dalam tanah dan rizosfer serta induksi ketahanan
sistemik (Larkin & Fravel 1999). Perlakuan tunggal bahan organik
sebagai medium tanam berpengaruh nyata terhadap periode inkubasi
(Gambar 1B). Periode inkubasi pada kontrol (P0) memperlihatkan periode
inkubasi terpendek yang berbeda nyata dengan perlakuan kotoran ayam
(P1), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan kotoran sapi (P2).
Mengenai hal ini Aryantha et al. (2000) mengemukakan bahwa tingkat
amonia yang tinggi dari kotoran ayam secara langsung bersifat toksik
terhadap Phytophthora cinnamomi, kemungkinan yang sama dapat saja
terjadi terhadap F. oxysporum, sehingga periode inkubasi gejala penyakit
dapat ditunda.




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
672







0
10
20
30
40
C0 C1 C2 C3 C4
Perlakuan bibit
P
e
r
i
o
d
e

i
n
k
u
b
a
s
i

(
h
a
r
i
)
a ab
b b
b
(A)
0
10
20
30
40
P0 P1 P2
Bahan organik
P
e
r
i
o
d
e

i
n
k
u
b
a
s
i

(
h
a
r
i
)
a
ab
b
(B)

Gambar 1. Periode inkubasi penyakit layu F. oxysporum pada perlakuan bibit (A)
C0=kontrol, C1=disemai dengan T. harzianum PrbA1, C2=disemai dengan
FoNP PrbA5, C3=direndam dengan T. harzianum PrbA1, C4=direndam
dengan FoNP PrbA5 dan bahan organik (B). P0=kontrol, P1 (kotoran sapi),
P2 (kotoran ayam)


Perlakuan bibit dengan cendawan antagonis secara tunggal
memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kejadian dan keparahan
penyakit (Tabel 1). Seperti halnya periode inkubasi, pengaruh cendawan
antagonis T. harzianum PrbA1 dan FoNP PrbA5 dengan cara bibit disemai
maupun bibit direndam sangat nyata menekan penyakit layu. Howell et al.
(2000) menyatakan bahwa Trichoderma merupakan cendawan antagonis
yang memiliki kemampuan berkolonisasi dan tumbuh dengan cepat pada
rizosfer sejalan dengan pertumbuhan sistem akar pada tanaman.
Sedangkan FoNP mempunyai kemampuan didalam induksi ketahanan
dengan cara meningkatkan aktivitas chitinase, -1,3-gluconase dan -1,4-
glucosidae dalam tanaman (Fuchs et al., 1997; 1999). Pada Tabel 1
dapat dijelaskan, bahwa secara statistik perlakuan bahan organik tidak


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
673
berpengaruh nyata terhadap persentase kejadian dan keparahan
penyakit, namun perlakuan kotoran ayam. memperlihatkan persentase
kejadian dan keparahan penyakit paling rendah (6,67%).

Tabel 1. Pengaruh tunggal perlakuan bibit dan bahan organik terhadap kejadian dan
keparahan penyakit


Perlakuan

Kejadian penyakit
(%)
1)
Keparahan penyakit
(%)
Perlakuan bibit
Kontrol
Disemai+T. harzianum PrbA1
Disemai+FoNP PrbA5
Direndam+T. harzianum PrbA1
Direndam+FoNP PrbA5

29,63 b
2)
11,11 a
7,41 a
3,70 a
3,70 a

27,98 b
11,11 a
2,51 a
3,70 a
0,74 a

Bahan organik
Kontrol
Kotoran sapi
Kotoran ayam

13,33 a
13,33 a
6,67 a

11,67 a
9,29 a
6,67 a
1)
Data ditransformasi ke dalam arc sin x+0,5
2)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata
berdasarkan uji jarak berganda Duncan 0,05

Secara keseluruhan periode inkubasi dengan kejadian dan
keparahan penyakit berhubungan erat, apabila periode inkubasi lebih
cepat maka kejadian dan keparahan penyakit juga semakin berat.
Sedangkan waktu pemberian awal cendawan antagonis, baik yang
dicampurkan dengan media persemaian maupun pada larutan untuk
perendaman memungkinkan cendawan antagonis memperbanyak diri
hingga potensinya lebih besar, karena memberikan peluang untuk
berkembang lebih awal, tanpa adanya mikroorganisme yang lain. Seperti
yang dikemukakan oleh Cook dan Baker (1983) bahwa salah satu faktor
penentu keberhasilan pengendalian secara hayati dengan
mikroorganisme yaitu kolonisasi rizosfer oleh mikroorganisme antagonis,
sehingga dapat menghambat patogen untuk berpoliferasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak ada interaksi antara
pengaruh perlakuan bibit dengan bahan organik terhadap peubah
pertumbuhan. Tetapi secara faktor tunggal hanya perlakuan bahan
organik yang memperlihatkan pengaruh yang nyata. Bahan organik
kotoran ayam maupun kotoran sapi mampu meningkatkan secara nyata
ukuran tinggi tanaman (Tabel 2). Dari ketiga peubah pertumbuhan yang
diamati, secara keseluruhan pengaruh perlakuan cendawan antagonis
pada bibit maupun perlakuan bahan organik secara tunggal,
memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik untuk jumlah daun, jumlah
anakan maupun tinggi tanaman dibanding dengan kontrol.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
674
Tabel 2. Jumlah daun, jumlah anakan dan tinggi tanaman bawang merah umur 4
minggu setelah tanam pada perlakuan bibit dan bahan organik secara
tunggal


Perlakuan


Jumlah daun

Jumlah
anakan
Tinggi
tanaman(cm)
Perlakuan bibit
Kontrol
Disemai+T. harzianum PrbA1
Disemai+FoNP PrbA5
Direndam+T. harzianum PrbA1
Direndam+FoNP PrbA5

37,18 a*)
42,13 a
38,82 a
38,89 a
42,89 a

8,15 a
9,37 a
8,63 a
8,68 a
9,29 a

38,26 a
40,55 a
38,57 a
38,79 a
38,85 a

Bahan organik
Kontrol
Kotoran sapi
Kotoran ayam

37,79 a
39,61 a
42,54 a

8,43 a
8,96 a
9,09 a

36,09 a
38,79 b
42,13 c
*)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap faktor tunggal dalam kolom yang
sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan 0,05

Perlakuan bahan organik berpengaruh nyata terhadap bobot basah
dan bobot kering umbi bawang merah, terutama perlakuan kotoran ayam
memberikan bobot kering dan bobot basah terberat berbeda nyata dengan
kontrol dan kotoran sapi, namun susut bobot umbi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan kotoran ayam (Tabel 3). Bobot umbi yang berat pada
perlakuan kotoran ayam berhubungan erat dengan kandungan unsur
hara. Berdasarkan analisa bahan organik diperoleh hasil bahwa
kandungan Fospor dan Kalium kotoran ayam lebih tinggi daripada kotoran
sapi (Lampiran 1). Mengenai hal ini telah dikemukakan juga oleh Casale
et al. (1995) bahwa kotoran ayam merupakan kotoran hewan yang
mengandung Nitrogen, Fosfor dan Kalium yang cukup tinggi dan dapat
larut dalam air.

Tabel 3. Bobot basah, bobot kering dan susut bobot umbi bawang merah pada
perlakuan bibit dan bahan organik secara tunggal

Perlakuan
Bobot basah
(g/rumpun)
Bobot kering
(g/rumpun)
Susut bobot
(%)
Perlakuan bibit (seed treatment)
Kontrol
Disemai+T. harzianum PrbA1
Disemai+FoNP PrbA5
Direndam+T. harzianum PrbA1
Direndam+FoNP PrbA5

30,86 a *)
38,21 a
32,86 a
30,52 a
36,23 a

17,06 a
19,03 a
17,18 a
15,08 a
19,31 a

44,73 a
48,37 a
45,58 a
50,13 a
48,52 a

Bahan organik (organic matter)
Kontrol
Kotoran sapi
Kotoran ayam

28,23 a
29,60 a
43,39 b

13,97 a
15,43 a
23,19 b

50,33 a
48,57 a
43,51 a
*)
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap faktor tunggal dalam kolom yang
sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan 0,05


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
675

KESIMPULAN

Penggunaan T. harzianum PrbA1 dan F. oxysporum non patogen
PrbA5 sebagai perlakuan bibit dan pupuk organik (kotoran ayam dan
kotoran sapi) secara tunggal dapat memperpanjang periode inkubasi,
dengan rata-rata gejala layu mulai muncul pada umur 28-34 hari setelah
tanam. Persentase kejadian penyakit (3,7%-11,11%) dan persentase
keparahan penyakit (0,74%-11,11%) pada perlakuan bibit lebih rendah
daripada kontrol (27,98%-29,63%). Perlakuan bahan organik secara
tunggal yang berasal dari kotoran ayam dapat meningkatkan bobot basah
umbi bawang merah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adiyoga, W., R.S. Basuki, Y. Hilman, dan B.K. Udiarto. 1997. Studi
Base Line Identifikasi Dan Pengembangan Teknologi PHT Pada
Tanaman Cabai Di Jawa Barat. Kumpulan Makalah Hasil Seminar
Hasil Penelitian Pendukung PHT. Program Nasional PHT Deptan. hal
88-119.
2. Aryantha, I.P., R. Cross, and D.I Guest. 2000. Suppression of
Phytophthora cinnamomi in Potting Mixes Amended with
Uncomposted and Composted Animal Manures. Phytopathology 90:
775 782.
3. Casale, W.L., V. Minassian, J.A. Menge, C.J. Lovatt, and E. Pond.
1995. Urban and Agricultural Wastes for Use as Mulches on Avocado
and Citrus and for Delivery of Microbial Biocontrol Agents. J. Hort Sci
70:315-332.
4. Cook, R.J. and K.F. Baker. 1983. The Nature and Practice of
Biological Control of Plant Pathogens. Minnesota: APS Press.
5. Fuchs, J.G., Y. Moenne-Loccoz, and G Defago. 1997. Nonpathogenic
Fusarium oxysporum Strain Fo47 Induces Resistance to Fusarium
Wilt in Tomato. Plant Disease. 81: 492-496.
6. -------------------------------------------------. 1999. Ability of Nonpathogenic
Fusarium oxysporum Fo47 to Protect Tomato against Fusarium Wilt.
Biological Control 14: 105-110.
7. Howell, C.R., L.E. Hanson, R.D. Stipanovic, and L.S. Puckhaber.
2000. Induction of Terpenoid Synthesis in Cotton Roots and Control of
Rhizoctonia solani by Seed Treatment with Trichoderma virens.
Phytopathology 90: 248-252.
8. Korlina, E. dan Baswarsiati. 1997. Uji Ketahanan Beberapa Kultivar
Bawang Merah terhadap Penyakit Layu Fusarium sp. Risalah
Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI. Mataram, 25-27
September 1995. Mataram: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hal
535-539.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
676
9. ------------, L. Rosmahani, Baswarsiati, F. Kasijadi, E. Retnaningtyas
dan Sakur. 2000. Pengkajian Rakitan Teknologi Usahatani Bawang
Merah Tanam di Luar Musim. dalam: Prosiding Seminar Hasil
Penelitian/ Pengkajian BPTP Karangploso. Malang. hal 160-171.
10. Larkin, R.P., and DR. Fravel. 1999. Mechanism of Action and Dose
Response Relationship Governing Biological Control of Fusarium wilt
of Tomato by Nonphatogenic Fusarium spp. Phytopathology 89:
1152-1161.
11. Ogawa, K., and H. Komada. 1985. Biological Control of Fusarium
Wilt of Sweet Potato with Cross Protection by Prior Inoculation with
Nonpathogenic Fusarium oxysporum. Japan Agricultural Research
Quarterly. 19 (1) : 20-25.
12. Papavizas, G.C. 1960. Trichoderma and Gliocladium: Biology
Ecology and Potensial for Biocontrol Annu. Rev. Phyto. 23: 23-54.
13. Dachlan, U. Hersanti dan A. Purnama. 1997. Pengaruh Mikroba
Antagonis Dan Komposisi Bahan Organik Terhadap Penyakit Layu
Fusarium Pada Tanaman Kedelai. Risalah Kongres Nasional XIII dan
Seminar Ilmiah PFI. Mataram, 25-27 September 1995. Mataram:
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hal 123-126.
14. Patrick, ZA. and T.A. Toussoun. 1970. Plant Residues and Organic
Amandements Inrelation to Biological Control. P.440-459. Dalam
Baker, KF and WC. Snyder (Eds) Ecology of soil borne plant
pathogen, prelude to biological control. Umiv. California Press.
Barkeley. Los Angeles and London.
15. Sastrosiswojo, S. 1996. Sistem Pengendalian Hama Terpadu dalam
Menunjang Agribisnis Sayuran. Dalam Prosiding Seminar Ilmiah
Nasional Komoditas Sayuran. Balitsa, PFI dan CIBA Plant Protection.
16. Sivan, A. and I. Chet. 1989. The Possible Role of Competition
between Trichoderma harzianum and Fusarium oxysporum on
Rhizosphere Colonization. Phytopathology 79:198-203.
17. Suhardi; E. Suryaningsih, dan A. Permadi. 1994. Uji Resistensi
Varietas dan Klon Bawang Merah (Allium cepa var.ascalonicum L)
terhadap Penyakit Penting di Dataran Rendah. Buletin Penelitian
Hortikultura XXVI (4):108-117.
18. Yamaguchi, K; M. Kida; M. Arita; and M.Takahashi. 1992. Introduction
of Systemic Resistance by Fusarium oxysporum MTOO62 in
Solanaceous Crops. Annals of Phytopathologycal Society of Japan
58:16-22.










Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
677

ISOLASI DAN PURIFIKASI VIRUS GEMINI
PADA TANAMAN CABAI UNTUK BAHAN DETEKSI CEPAT VIRUS

Rini Murtiningsih, Neni Gunaeni, Meitha L. Ratnawati
dan Ati Srie Duriat

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jln. Tangkuban Perahu, 517, Lembang, Bandung, Jawa Barat


ABSTRAK. Penelitian dilakukan dengan tujuan memperoleh standard
reference material (SRM) untuk meningkatkan pengujian deteksi patogen
melalui purifikasi isolate virus. Penelitian dilaksanakan di rumah kasa dan
laboratorium virologi Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) pada
bulan Mei sampai dengan November 2006. Koleksi bahan tanaman dan
serangga vektor dilakukan di beberapa daerah di Jogjakarta, yang
merupakan daerah sentra pertanaman cabai yang banyak terserang virus
kuning Gemini. Penularan dan perbanyakan virus dengan bantuan
serangga vektor Bemisia tabaci Genn. dilakukan pada tanaman inang
perbanyakan virus Gemini yaitu ceplukan (Physalis floridana). Purifikasi
virus dilakukan dengan prosedur Sulandari (2004) yang dimodifikasi
menggunakan metode pelumatan dan kecepatan putaran sentrifugasi: (1)
Pelumatan dengan blender dan penggunaan polyethylene glycol (PEG)
dan NaCl dengan putaran kecepatan rendah (PB), (2) Pelumatan dengan
Nitrogen cair (N
2
) dan penggunaan PEG dan NaCl dengan putaran
kecepatan rendah (PN). Pengamatan dilakukan terhadap gejala virus
pada tanaman inang, konsentrasi sediaan virus, kemurnian sediaan virus
dan rendemen sediaan virus. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
(1) Tanaman ceplukan yang telah terinfeksi virus menunjukkan gejala
pemucatan tulang daun (vein clearing) sampai dengan mosaik kuning, (2)
Sediaan virus murni kuning Gemini yang diperoleh dari prosedur PB lebih
rendah (1,88 mg/mL) dibandingkan dengan prosedur PN (2,25 mg/mL),
(3) Tingkat kemurnian yang diperoleh dari prosedur PB lebih baik (1,89)
dibandingkan dengan tingkat kemurnian pada prosedur PN (1,66), (4)
Kualitas sediaan virus murni yang dihasilkan dengan metode pelumatan
blender lebih baik dibandingkan dengan prosedur pelumatan nitrogen cair,
walaupun konsentrasi yang diperoleh lebih rendah, (5) Keuntungan lain
dari prosedur pelumatan blender yaitu lebih efisien dalam penggunaan
tenaga manusia dan lebih menghemat waktu pelaksanaan. Penggunaan
putaran kecepatan rendah yang dikombinasikan dengan presipitasi
dengan bahan (PEG) dan NaCl, dapat digunakan untuk purifikasi virus
kuning Gemini dan menghasilkan sediaan virus dengan kualitas yang
cukup baik.

Kata kunci: Purifikasi, Virus Gemini




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
678

PENDAHULUAN

Jenis hama dan penyakit yang menyerang cabai sampai saat ini
tercatat sebanyak 12 jenis dengan kisaran kehilangan hasil antara 10-
80%. Beberapa jenis di antaranya telah diteliti dan menghasilkan suatu
anjuran pengendalian secara terpadu (Duriat dkk., 1994; Duriat dan
Sastrosiswoyo, 1995; Setiawati dan Suwandi, 1998). Namun masih ada
OPT yang belum dapat teratasi secara tuntas, diantaranya adalah virus
kuning Gemini yang menjadi epidemik dan menghancurkan pertanaman
cabai (Sulandari, 2004).
Upaya untuk pengendalian patogen tersebut seyogyanya dimulai
dengan proses identifikasi dan deteksi yang tepat. Proses tersebut,
khususnya dalam hal ini untuk patogen virus, dimulai dengan upaya
purifikasi virus untuk menghasilkan sediaan virus murni yang nantinya
akan digunakan sebagai standar dalam kajian virus (sebagai
SRM/standard reference material) dan akan sangat berguna untuk bidang
pemuliaan tanaman.
Hal pertama yang penting dilakukan untuk membuat sediaan virus
murni adalah mendapatkan sumber inokulum yang bersih dari kontaminasi
virus lain dan memperbanyak inokulum virus tersebut pada tanaman inang
yang tepat. Selain itu, pengguna harus memilih prosedur purifikasi yang
tepat dan efisien.
Prosedur purifikasi yang telah diteliti dan diterapkan jumlahnya
cukup banyak. Hal tersebut diantaranya karena jenis virus yang dapat
menyerang tanaman sangat beragam sehingga untuk prosedur yang
diperlukan untuk memurnikan virus tersebut juga bervariasi dan
tergantung pada tingkat kemurnian virus yang diinginkan. Semakin tinggi
tingkat kemurnian yang kita inginkan, maka umumnya semakin panjang
tahapan purifikasi yang harus dilakukan. Hal lain yang juga penting untuk
dijadikan dasar pertimbangan dalam memilih prosedur purifikasi virus
yang akan digunakan adalah berkaitan dengan: fasilitas peralatan dan
sumberdaya manusia. Suatu prosedur purifikasi yang efektif digunakan
pada suatu laboratorium dapat menjadi kurang efektif jika digunakan pada
laboratorium lain karena perbedaan fasilitas peralatan dan sumber daya
manusia yang dimiliki.
Purifikasi virus kuning Gemini yang menyerang pertanaman cabai
di Indonesia telah dilakukan oleh Sulandari (2004) dan menghasilkan
sediaan virus murni yang cukup baik tingkat kemurnian dan
konsentrasinya. Prosedur purifikasi yang digunakan tahapannya relatif


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
679
cukup singkat dengan metode penggunaan putaran tinggi
(ultrasentrifugasi). Modifikasi akan dilakukan terhadap prosedur purifikasi
Sulandari (2004) dalam upaya memungkinkan prosedur ini dapat
digunakan di laboratorium yang fasilitas laboratoriumnya lebih sederhana.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh standard reference
material (SRM) untuk meningkatkan pengujian deteksi patogen melalui
purifikasi isolat virus.
BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di rumah kasa dan laboratorium virologi pada
Mei sampai dengan Nopember 2006. Tahap awal dari kegiatan ini adalah
melakukan koleksi inokulum virus Gemini dan serangga vektornya
(Bemisia tabaci Gennadius). Koleksi bahan tanaman dan serangga
dilakukan ke beberapa daerah di Jogjakarta, yang merupakan daerah
sentra pertanaman cabai yang banyak terserang virus kuning Gemini.
Setelah diperoleh inokulum virus dan serangga vektor yang memadai,
kemudian dilakukan penularan dan perbanyakan virus dengan bantuan
serangga vektor Bemisia tabaci terhadap tanaman inang perbanyakan
virus (Physalis floridana) yang telah dipersiapkan.
Perbanyakan vektor dan penularan virus dilakukan di rumah
inokulasi yang dibuat di dalam rumah kasa. Perbanyakan vektor dilakukan
di dalam kurungan kasa kecil (Gambar 1a) yang berisi tanaman tomat
(Lycopersicon esculentum Mill) dan dipasang kapas yang dilumuri madu
disematkan pada tangkai bambu (Gambar 1b). Serangga vektor yang
diperoleh dari lapangan dipindahkan ke tanaman tomat dengan
menggunakan aspirator, lalu dibiarkan bertelur di tanaman tomat.
Selanjutnya telur akan menetas dan instar muda akan menghisap cairan
madu pada kapas (untuk mempercepat kemampuan serangga vektor
berkembang biak). Setelah jumlah serangga vektor cukup banyak, lalu
dipindahkan dengan bantuan aspirator ke tanaman cabai yang terinfeksi
virus kuning Gemini selama 2 x 24 jam, lalu dipindahkan ke dalam baki-
baki berisi semaian tanaman P. floridana dan dibiarkan menginfeksi
selama 2 x 24 jam. Semaian P. floridana yang telah diinokulasi
selanjutnya dipindahkan ke dalam pot dan dipelihara (disiram, dipupuk,
disemprot fungisida) di dalam rumah inokulasi (Gambar 1c) agar gejala
virus berkembang dengan baik. Tahapan tersebut dilakukan berulang kali
untuk memperoleh bahan atau inokulum virus yang cukup.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Gambar 1. a. Kurungan kasa perbanyakan vektor, b. Tanaman tomat dan
bambu berlumur madu, c. Rumah kasa inokulasi (Foto: M.L.
Rahmawati)

Tahap berikutnya adalah melakukan panen pada tanaman inang
perbanyakan untuk bahan purifikasi. Bagian tanaman yang digunakan
dalam purifikasi adalah daun, tangkai, dan batang tanaman pada umur
14 hari setelah inokulasi (HSI). Material tanaman yang telah dipanen,
ditimbang, kemudian dikumpulkan dan disimpan dalam deep freezer pada
suhu -80C sampai waktu pelaksanaan purifikasi dimulai.
Purifikasi virus dilakukan dengan prosedur Sulandari (2004)
(Lampiran 1) yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan terhadap metode
pelumatan dan kecepatan putaran sentrifugasi :
1. Pelumatan dengan blender, penggunaan PEG dan NaCl, putaran
kecepatan rendah. (selanjutnya disebut PB).
2. Pelumatan dengan Nitrogen (N2) cair, penggunaan PEG dan NaCl,
putaran kecepatan rendah (selanjutnya disebut PN).

Pengamatan dilakukan terhadap :
1. Gejala virus pada tanaman inang
2. Kualitas sediaan virus : konsentrasi, kemurnian, rendemen


HASIL DAN PEMBAHASAN

Penularan dan Gejala Virus pada Tanaman Inang
Penularan virus dilakukan dengan menggunakan tanaman inang P.
floridana. Pemilihan tanaman inang tersebut berdasarkan kepada hasil
penelitian Brunt dan Cohen (1988) dan Sulandari (2004) yang
menunjukkan bahwa tanaman-tanaman dari famili Solanaceae sangat
potensial sebagai inang alternatif virus tersebut, yaitu diantaranya adalah
tomat, Nicotiana benthamiana, kecubung dan ceplukan (P. floridana).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
680


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Tanaman ceplukan sangat potensial sebagai tanaman inang perbanyakan
virus kuning Gemini karena masa inkubasi sangat pendek (5-6 hari),
pertumbuhan tanaman cepat, memiliki batang yang sukulen dan tidak
banyak mengandung inhibitor.
Ada beberapa kendala yang ditemukan dalam penularan dan
perbanyakan virus kuning Gemini dalam penelitian ini, seperti :
1. Jumlah serangga vektor dari lapangan yang mampu bertahan
hidup berkurang banyak (dibanding dengan jumlah awal yang
diperoleh dari lapangan, bahkan pengurangan bisa mencapai
>50%)
2. Serangga vektor yang dimasukkan ke dalam semaian P. floridana
langsung dilapangan, kebanyakan tidak mampu bertahan hidup
sebelum diperkirakan efektif menginokulasi semaian tersebut.
3. Serangga vektor mempunyai preferensi yang lebih besar terhadap
tanaman tomat/cabai dibanding terhadap tanaman P. floridana.

Untuk mendapatkan hasil penularan dan perbanyakan vektor/virus
yang efektif, maka tahap tersebut dilakukan berulang kali secara bertahap.
Tanaman ceplukan yang telah terinfeksi virus menunjukkan gejala
pemucatan tulang daun (vein clearing) sampai dengan mosaik kuning
(Gambar 2). Pada beberapa tanaman terlihat adanya penghambatan
pertumbuhan (kerdil). Perbedaan respon tersebut mungkin karena pada
umur tanaman yang sama terdapat variasi ketahanan terhadap serangan
penyakit.


Gambar 2. Gejala serangan virus kuning Gemini pada tanaman ceplukan
(P. floridana) Foto: M.L. Rahmawati)


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
681


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
682
Purifikasi Virus
Kedua prosedur purifikasi tidak menggunakan kecepatan putaran
tinggi (> 40 000 rpm), melainkan dengan menggunakan metode presipitasi
virus dengan bahan polyethylene glycol (PEG 6000) dan NaCl yang
dikombinasikan dengan kecepatan putaran rendah (< 40 000 rpm).
Keuntungan modifikasi adalah kedua prosedur dapat digunakan di
laboratorium yang tidak mempunyai alat ultrasentrifuse dan lebih aman
untuk daerah yang tegangan listriknya kurang stabil. Kelemahan prosedur
modifikasi yaitu membutuhkan waktu lebih lama (3 hari) dibandingkan
dengan prosedur Sulandari (2004) yaitu 2 hari.
Prosedur purifikasi virus dengan metode pelumatan blender (PB)
dan dengan nitrogen cair (PN) dicantumkan pada Lampiran 1. Hasil
pengamatan secara visual pada tiap tahapan antara prosedur PB
dibandingkan dengan PN dirangkum dalam Tabel 1. Bentuk materi
purifikasi dari tahapan yang dilakukan disajikan pada Lampiran 2.
Hasil yang diperoleh pada tiap tahapan dari kedua prosedur
secara visual berbeda. Hasil yang diperoleh dari prosedur pelumatan
blender cenderung lebih baik secara teori. Hal ini mungkin karena
pelumatan dengan blender relatif membutuhkan waktu lebih singkat
sehingga proses oksidasi terhadap materi purifikasi dapat lebih ditekan
dibandingkan dengan pelumatan dengan Nitrogen cair. Pelet akhir yang
diperoleh (endapan partikel virus) hasil prosedur pelumatan blender
berbentuk opalescent atau seperti putih telur mentah, dan secara teori
hasil seperti ini lebih diharapkan daripada pelet yang berwarna putih
seperti putih telur matang. Faktor yang mengurangi kualitas pelet virus
dari metode pelumatan Nitrogen cair yaitu karena pelumatan dengan
menggunakan nitrogen cair membutuhkan waktu lebih lama (digerus
secara manual dengan tenaga manusia menggunakan mortar-pestel),
sehingga kemungkinan proses oksidasi yang terjadi lebih besar.

Tabel 1. Perbandingan tahapan purifikasi virus kuning Gemini dengan prosedur pelumatan blender (PB) dan
pelumatan dengan nitrogen cair (PN)

o
Urutan pekerjaan
Materi yang :
a. Dibuang
b. Dipakai
Hasil PB Hasil PN
Sebanyak 100g daun dan bagian tanaman
lain dilumatkan.

2 Serbuk/bubur hasil pelumatan ditambah
dengan 200mL penyangga Tris pH 8.4
(mengandung 2-Mercaptoethanol 1%) dan
diaduk merata.

3 Suspensi dijernihkan dengan penambahan
kloroform (0.5vol) dan dihomogenisasi
pada suhu 4C dengan mesin pengaduk
magnet selama 30 menit, lalu
disentrifugasi pada 12 000 rpm selama
10 menit.
a. Ampas
b. Supernatan
a. Hijau
b. Kuning
(seperti urin)
a. Hijau
b. Kuning
(seperti
urin)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



o
Urutan pekerjaan
Materi yang :
c. Dibuang
d. Dipakai
Hasil PB Hasil PN
4 Supernatan diambil dan dipresipitasi
dengan PEG 8% dan NaCl 0.2M,
selanjutnya campuran dihomogenisasi
dengan pengaduk magnet pada suhu 4C
selama 2 jam dan disentrifugasi pada 12
000 rp selama 10 menit.
a. Supernatan
b. Pelet
a. Kuning
(seperti urin)
b. Hijau muda
a. Kuning
(seperti
urin)
b. Hijau muda
5 Pelet diresuspensi dengan penyangga
Tris pH 8.4 (mengandung Triton X-100)
0.5 mL/bobot basah materi tanaman, lalu
diaduk dengan pengaduk magnet dan
dihomogenisasi dengan homogenizer.

6 Suspensi dijernihkan pada putaran 10 000
rpm selama 5 menit.
a. Pelet
b. Supernatan
b. Kuning pucat b. kuning
pucat
7 Supernatan diambil, lalu ditambahkan
PEG 8% dan 0.2 M NaCl, diaduk selama
20 menit dengan pengaduk magnet, lalu
diinkubasi pada suhu 4C selama 30
menit.

8 Virus dipresipitasi dengan putaran
11 000 rpm selama 15 menit.
a. Supernatan
b. Pelet
b.


b.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
683

putih putih
9 Pelet dilarutkan dalam 200l aquades dan
diinkubasi semalam di suhu 4C.

0
Penyangga Tris pH 8.4 500l ditambahkan
ke larutan pelet, dihomogenizer, lalu
disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 5
menit
a. Pelet
b. Supernatan

Supernatan diambil lalu ditambahkan PEG
8% dan NaCl 0.2M, dan diaduk sampai
larut.



2
Virus diendapkan pada 11 000 rpm selama
15 menit.
a. Supernatan
b. Pelet
b.






b.








3
Pelet dilarutkan dalam aquades, diinkubasi
semalam pada suhu 4C.

putih
(spt putih telur
matan
putih
bening
spt putih telur
mentah)
g)

b. Bening, ada
gumpalan
seperti benang
melayang-
layang
b. Bening, ada
gumpalan
seperti benang
melayang-
layang
4 Keesokan harinya, pelet digoyang sampai
larut, dihomogenizer, dan dijernihkan pada
10.000 rpm selama 5 menit.
a. Pelet
b. Supernatan
5 Supernatan adalah sediaan virus.


Kualitas Sediaan Virus
Efektivitas suatu prosedur purifikasi virus dapat dilihat dari kualitas
sediaan virus yang dihasilkan. Kualitas sediaan virus murni yang diperoleh
biasanya dilihat dari konsentrasi, kemurnian dan rendemen yang
diperoleh. Pengukuran konsentrasi dilakukan berdasarkan absobrsi yang
diperoleh melalui pengukuran dengan spektrofotometer. Untuk keperluan
ini biasanya kita mengencerkan virus (biasanya pada rasio 1/20) dan
absorbansinya dibaca pada 260nm (OD 260nm). Pembacaan tersebut
kemudian dikalkulasikan berdasarkan tingkat pengencerannya dan dibagi
dengan koefisien ekstinsi virus. Koefisien tersebut spesifik untuk tiap virus


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




dan pada prinsipnya mengukur absorbansi 0,1% (1mg/ml) konsentrasi
virus dengan radiasi optikal 1cm dan 260nm. Koefisien ekstinsi tersebut
dilambangkan dengan Koefisien ekstinsi virus kuning Gemini yang
digunakan adalah 7,7 (Sulandari, 2004). Perbandingan kualitas sediaan
virus yang diperoleh dari prosedur PB dan PN dirangkum pada Tabel 2.
Absorbsi sediaan virus hasil prosedur PB dan PN pada pengenceran rasio
1/20 disajikan pada Gambar 3.

0.1%
E
cm, 260nm


Gambar 3. a. Absorbsi sediaan virus hasil dari prosedur PB, b. Absorbsi sediaan
virus hasil dari prosedur prosedur PN


Tabel 2. Hasil sediaan virus kuning Gemini dengan prosedur pelumatan blender (PB)
dan pelumatan dengan nitrogen cair (PN)

Kriteria sediaan virus
Pelumatan
dengan blender
Pelumatan dengan N
2

cair
1. Konsentrasi
a. Pengenceran 20x
b. Total dari 100g
2. Kemurnian (A260/280)
3. Rendemen (% hasil yang
diperoleh per 100g bobot
materi tanaman)

1,88 mg/ml
6,02 mg

2,25 mg/ml
6,75 mg
1,89 1,66
1,88 2,25


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
684


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
685
Hasil yang diperoleh dari Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi
virus yang diperoleh melalui metode pelumatan Nitrogen cair lebih besar
dibandingkan dengan yang dapat diperoleh melalui pelumatan blender.
Hal ini mungkin terjadi karena penggunaan nitrogen cair (suhu -80C)
akan membantu proses lisis sel, sehingga kandungan virus dari dalam sel
dapat terekstrak lebih sempurna (Copeland, 1993). Konsentrasi sediaan
virus yang diperoleh juga lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh Sulandari (2004).
Tingkat kemurnian yang diperoleh pada metode PB lebih tinggi
dibandingkan dengan metode PN. Hal ini mungkin karena proses oksidasi
terjadi pada setiap tahapan, terutama pada tahap pelumatan materi
tanaman. Pada prosedur PN diduga lebih banyak terjadi proses oksidasi
sehingga mengurangi kemurnian sediaan virus yang diperoleh. Kemurnian
yang dicapai dari kedua prosedur pemurnian secara umum lebih baik dari
hasil yang dicapai oleh Sulandari (2004) yaitu nilai A260/280 nya sebesar
1.48 saja.
Berdasarkan rendemen virus yang diperoleh diketahui bahwa
partikel virus yang tidak terekstrak selama proses purifikasi lebih banyak
terjadi pada metode pelumatan blender.

KESIMPULAN

1. Tanaman ceplukan yang telah terinfeksi virus menunjukkan gejala
pemucatan tulang daun (vein clearing) sampai dengan mosaik kuning.
2. Sediaan virus murni kuning Gemini yang diperoleh dari kedua prosedur
purifikasi secara umum mempunyai kualitas yang cukup baik.
Konsentrasi virus yang diperoleh dari prosedur pelumatan dengan
blender (PB) yaitu 1,88mg/ml lebih rendah dibandingkan dengan yang
diperoleh dari prosedur pelumatan dengan Nitrogen cair (PN) yaitu 2,25
mg/ml. Tingkat kemurnian yang diperoleh dari prosedur pelumatan
dengan blender (PB) yaitu 1,89 lebih baik dibandingkan dari prosedur
pelumatan dengan nitrogen cair (PN) yaitu 1,66.
3. Kualitas sediaan virus murni yang dihasilkan dengan metode pelumatan
blender lebih baik dibandingakan dengan prosedur pelumatan nitrogen
cair, walaupun konsentrasi yang diperoleh lebih rendah. Keuntungan
lain dari prosedur pelumatan blender yaitu lebih efisien dalam
penggunaan tenaga manusia dan lebih menghemat waktu
pelaksanaan.
4. Penggunaan putaran kecepatan rendah yang dikombinasikan dengan
presipitasi dengan bahan polyethylene glycol (PEG) dan NaCl, dapat


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
686
digunakan untuk purifikasi virus kuning Gemini dan menghasil sediaan
virus dengan kualitas yang cukup baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Copeland, R.A. (1993), Methods for Protein Analysis : A Practical
Guide to Laboratory Protocols, Chapman and Hall, New York, 62-73.
2. Brunt . A.A. , Crabtree, K., Dallwitz, M.J., Gibbs, A.J., Watson, L. and
Zurcher, E.J. (eds.) (1996 onwards). Plant Viruses Online: Description
and Lists from the VIDE Database. Version : 20
th
August 1996. URL
http://biology.anu.edu.au/Groups/MES/vide.
3. Duriat, A.S., T.A. Soetiarso, L.Prabaningrum dan R. Sutarya. 1994.
Penerapan Pengendalian Hama-Penyakit Terpadu pada Budidaya
Cabai. Balai Penelitian Hortikultura, Lembang. 30 hal.
4. Duriat A.S. dan S. Sastrosiswojo. 1995. Pengendalian Hama-Penyakit
Terpadu pada Agribisnis Cabai. Dalam: Agribisnis Cabai (Ed. A.
Santika). PT Penebar Swadaya. 98-121.
5. Setiawati, W. dan Suwandi. 1999. Penerapan Pengendalian Hama
Utama pada Tanaman Bawang Merah dan Cabai Secara Terpadu.
Dalam: Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam
Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan. Buku 2. PEI Cabang
Bogor. Hal 633-644.
6. Sulandari, S. 2004. Pemurnian Virus Penyebab Penyakit Daun
Keriting Kuning cabai. Dalam: Karakterisasi, Biologi, Serologi dan
Analisis Sidik jari DNA Virus Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning
Cabai. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Disertasi S3.
Hal 82-95.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
687
Lampiran 1.

PROTOKOL PEMURNIAN GEMINIVIRUS
(Sulandari, 2004)

1. Sebanyak 250 g daun serta bagian tanaman ceplukan (Physalis
angulata) lainnya yang baru dipanen disimpan pada suhu -80C 2
minggu, kemudian digerus dalam N2 cair.
2. Serbuk hasil gerusan kemudian ditambah 500 mL penyangga Tris,
pH 8.4 (Penyangga Tris 0.1M mengandung 2-Me 1%) dan diaduk.
3. Larutan dijernihkan dengan menambah kloroform (0,5 vol) dan
dihomogenisasi pada suhu 4C dengan mesin pengaduk magnet
selama 30 menit lalu disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10
menit.
4. Supernatan diambil dan dipresipitasi dengan PEG 8% dan NaCl
0.2M, selanjutnya campuran dihomogenisasi dengan pengaduk
magnet pada suhu 4C selama 2 jam dan disentrifugasi pada 12 000
rpm selama 10 menit.
5. Supernatan diambil kemudian disentrifugasi pada 45 000 rpm
selama 2 jam.
6. Pelet diresuspensi dengan larutan penyangga Tris 5mM
(mengandung EDTA 2.5mM pH8).
7. Disentrifugasi secara gradien sulfat sesium dengan rotor swing tipe
P 65 ST pd 50 000 rpm selama 18 jam pada ultra sentrifuse Hitachi,
model Himac CP 80@.
8. Zona virus diambil dan dipisahkan ke dalam bbrp fraksi.












Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Lampiran 2.

Bentuk materi purifikasi dari prosedur purifikasi


Keterangan gambar:
a. Materi daun setelah dilumat, ditambah larutan penyangga dan kloroform , b.
suspensi a setelah disentrifuse, c. Supernatan dari b, d. Pelet dari c (masih ada
sisa serbuk daun), e. Pelet d ditambah larutan penyangga dan dihomogenizer, f.
Campuran e setelah disentrifuse, supernatan dibuang, pelet adalah sediaan virus








Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
688


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
689

PENGELOLAAN PENYAKIT VIRUS TULAR UMBI
PADA PRODUKSI BAWANG MERAH
(Allium cepa var. ascalonicum . L)

Neni Gunaeni, Meitha L. Ratnawati, dan Astri Windia Wulandari

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Perahu No. 517 Lembang Bandung (40391)


ABSTRAK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan cara
pengelolaan patogen virus tular benih umbi bawang merah. Kegiatan
penelitian dilakukan di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman
Sayuran Lembang pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2005.
Jenis bawang yang digunakan adalah bawang merah varietas Menteng.
Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok
dengan empat kali ulangan . Perlakuan yang dicoba yaitu : (A). Tanaman
bawang + tanaman perangkap caisin, (B),. Tanaman bawang + baki
kuning Moriche. (C). Tanaman bawang + perangkap likat kuning. (D).
Tanaman bawang + insektisida selektif berbahan aktif Profenofos. (E).
Tanaman bawang dilindungi secara fisik dengan menggunakan kasa. (F).
Tanaman bawang tanpa perlakuan (Kontrol). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa : (1). Pertumbuhan vegetatif tanaman bawang
merah tidak dipengaruhi oleh perlakuan. (2). Penggunaan insektisida
selektif berbahan aktif Profenofos dan kasa dapat mengurangi insiden
dan intensitas gejala virus, namun hanya insektisida kimiawi yang
berpengaruh baik terhadap hasil panen. (3). Virus yang terdeteksi dari
sampel daun bawang merah yang menunjukkan gejala virus berturut
turut OYDV, LYSV dan SLV. (4) Pengelolaan penyakit virus tular umbi
dengan menggunaan tanaman perangkap caisin, baki kuning, perangkap
likat kuning, insektisida selektif dan kasa tidak berpengaruh terhadap
insiden dan intensitas gejala virus apabila benih umbi awal yang ditanam
hanya bebas dari patogen cendawan.

Kata kunci : Penyakit Virus Tular Umbi, Bawang Merah


PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan tanaman sayuran penting di Indonesia.
Luas panen bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) di Indonesia
tahun 2006 adalah 89,188 ha dengan produksi 794.931 ton dengan rata-
rata hasil sekitar 8,91 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2006). Rata rata
produksi ini masih rendah bila dibandingkan dengan potensi hasil
penelitian Balitsa pada varietas lokal yang dapat dicapai yaitu 10 15


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
690
ton/ha (Suwandi, 1989 dan Permadi, 1995). Produksi bawang merah
terbesar berturut - turut dari Provinsi Jawa Tengah 32 %, Jawa Timur 29
%, Jawa Barat 14 % dan Nusa Tenggara Barat 11 % dengan sumbangan
total produksi terhadap produksi nasional 86 %. Salah satu penyebab
randahnya produksi rata-rata bawang merah secara nasional adalah
sulitnya mendapatkan benih yang berkualitas tinggi di pasaran. Salah satu
penentu kualitas benih tersebut di atas adalah salah satunya ditentukan
oleh adanya penyakit tular umbi yang tidak kelihatan oleh mata telanjang
yaitu patogen virus. Penyakit virus sifatnya sistemik, apabila sudah berada
dalam benih umbi sulit untuk diberantas serta akan membawa masalah
baru pada pertanaman berikutnya.
Kelompok Potyvirus, di antaranya yaitu OYDV (Onion Yellow Dwarf
Virus) dan LYSV (Leek Yellow Stripe Virus) merupakan kelompok virus
yang paling banyak menyerang tanaman bawang-bawangan. Di samping
itu virus dari kelompok Carlavirus seperti SLV (Shallot Latent Virus) dan
GCLV (Garlic Common Latent Virus), dan Alexivirus, seperti SMbLV
(Shallot Mite Borne Latent Virus), Gar-V-B, Gar-V-C dan Gar-V-D, juga
ditemukan menyerang tanaman bawang-bawangan (Barg, 1995 dan
Helguera et al., 1997 dalam AVRDC, 2000). Menurut Walkey (1990)
serangan virus OYDV dan LYSV berturut turut dapat menyebabkan
kehilangan hasil sebesar 63 % dan 54 %.
Penularan penyakit virus pada bawang merah di lapangan
dilakukan oleh serangga vektor kutudaun. Virus OYDV, LYSV dan SLV
adalah virus non persisten yang ditularkan di antaranya oleh Myzus
persicae, Myzus ascalonicum dan Aphis fabae (Blackman dan Eastop,
1985, Brunt et al., 1990 dan Walkey, 1986).
Di daerah tropis, kutudaun akan terus menerus menjadi masalah
dalam penularan virus. Hal ini disebabkan pada kondisi tropis vektor
kutudaun selalu aktif dan berkelompok sepanjang waktu sebagai akibat
inang inangnya selalu ada tidak mengalami masa istirahat (Duriat,
1985). Pengendalian vektor kutudaun melalui penggunaan tanaman
perangkap, proteksi silang dan pemanfaatan musuh alami merupakan
salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi penularan
penyakit virus
Berdasarkan hal tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah
mendapatkan cara pengelolaan patogen virus tular benih umbi bawang
merah, untuk memproduksi dan mempertahankan kesehatan bakal benih
bawang merah yang berkualitas.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
691

BAHAN DAN METODE

Kegiatan dilaksanakan di kebun percobaan Balai Penelitian
Tanaman Sayuran Lembang pada ketinggian 1250 meter di atas
permukaan air laut. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai
dengan Desember 2005. Jenis bawang yang digunakan adalah bawang
merah varietas Menteng yang sudah terseleksi bebas dari phatogen
cendawan secara visual. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu
Rancangan Acak Kelompok dengan empat ulangan. Perlakuan yang diuji
yaitu :
a. Tanaman bawang + tanaman perangkap caisin yang ditanam 2
minggu sebelum bawang ditanam .
b. Tanaman bawang + baki kuning Moriche yang diganti 1 minggu
sekali
c. Tanaman bawang + perangkap lekat warna kuning yang diganti 1
minggu sekali
d. Tanaman bawang + insektisida selektif (berbahan aktif
profenofos) dengan konsentrasi 2 ml/l yang disemprotkan 1
minggu sekali.
e. Tanaman bawang dilindungi kasa fisik dengan menggunakan
kasa nilon 30 mesh.
f. Tanaman bawang (kontrol)

Populasi tanaman bawang merah per perlakuan 200 tanaman
dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm Pemupukan berimbang diaplikasikan
pada semua petak percobaan dengan dosis sesuai rekomendasi bagian
Agronomi Balitsa : pupuk kandang 20 ton/ha, pupuk N 150 kg kg/ha,
pupuk P 150 kg/ha, pupuk K 150 kg/ha. Pupuk P diberikan satu kali,
seminggu sebelum tanam. Sedangkan pupuk N dan K diberikan tiga kali,
masing-masing 1/3 pada umur 15, 30 dan 45 hari setelah tanam.
Pengujian Elisa secara tidak langsung menggunakan antiserum
OYDV, LYSV dan SLV dilakukan pada sampel yang bergejala diambil
enam sampel secara acak per perlakuan. Prosedur uji Elisa : IgG
dilarutkan dengan coating buffer pada konsentrasi 1 : 1000. Masing-
masing lubang plate diisi 100 ul larutan. Plate diinkubasi pada suhu 37 C
selama 4 jam. Plate kemudian dicuci dengan 0,02 M PBS-T sebanyak 3
kali. Sampel antigen yang telah dilumatkan dengan konsentrasi 1 : 10
dengan 0.02 M PBS- T yang mengandung 2 % PVP dan 0,2 % Ovalbumin
dimasukkan ke dalam lubang plate sebanyak 100 ul. Plate berisi sampel


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
692
diinkubasi pada suhu 4 C selama semalam. Keesokan hari plate dicuci
dengan 0,02 M PBS-T sebanyak 6 kali. Enzim conjugate dilarutkan
dengan konsentrasi 1 : 1000 dengan 0,02 PBS-T. Tiap lubang plate diisi
100 ul. Plate diinkubasikan pada suhu 37 C selama 3 jam. Plate dicuci
dengan 0,02 M PBS-T sebanyak 6 kali. Substrate PNP 1 mg/ml dalam
penyangga Diethanoamine ditambahkan dan tiap lubang plate diisi
sebanyak 150 ul. Absorbance diukur dengan menggunakan Elisa Reader
pada A 405 nm setelah diinkubasikan selama 30 samapi 60 menit.
Penyemprotan dengan fungisida berbahan aktif klorotalonil 2 ml/l
dilakukan untuk pengendalian serangan penyakit cendawan.

Pengamatan dilakukan terhadap :
1. Pertumbuhan vegetatif tanaman (tinggi tanaman dan jumlah
rumpun)
2. Insiden dan intensitas gejala virus
3. Populasi kutudaun
4. Hama dan penyakit lain

Pengamatan terhadap intensitas serangan gejala virus pada tanaman
bawang putih diukur berdasarkan nilai skoring gejala yang muncul dan
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
(n x v)
I = --------------- x 100 %
N x V

Dimana :
I = Intensitas gejala serangan
N = Jumlah tanaman yang termasuk ke dalam skala gejala tertentu
v = Nilai skoring gejala tertentu
N = Jumlah tanaman yang diamati
V = Nilai skoring keparahan gejala tertinggi

Adapun skala keparahan gejala diklasifikasikan sebagai berikut :
0 = tanaman nampak sehat
1 = tanaman menunjukkan gejala mosaik ringan
2 = tanaman menunjukkan gejala mosaik berat, alur kuning terlihat
jelas (kontras)
3 = tanaman menunjukkan gejala mosaik (kontras) dan terjadi
perubahan bentuk pertumbuhan daun dan tanaman kerdil.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
693

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman
Pertumbuhan vegetatif tanaman bawang merah diamati terhadap
tinggi tanaman dan jumlah rumpun (Tabel 1 dan 2). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman tidak berbeda nyata
antar perlakuan. Nampaknya perlakuan yang dicoba tidak mempengaruhi
pertumbuhan tanaman.

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman pada bawang merah (cm) pada 4 9 minggu setelah tanam

Pengamatan (MST)
No. Perlakuan
4 5 6 7 8 9
1. T. bawang + tan. perangkap caisin 15.63 a 18.38 a 20.75 a 26.13 a 27.43 a 30.53 a
2. T. bawang + baki kuning Moriche 15.50 a 19.33 a 20.13 a 25.08 a 26.08 a 30.33 a
3. T. bawang + perangkap likat kuning 16.60 a 18.78 a 19.48 a 24.55 a 27.28 a 31.95 a
4. T. bawang + insektisida selektif 16.83 a 19.05 a 20.53 a 26.78 a 29.43 a 31.23 a
5. T. bawang dilindungi dengan kasa 16.88 a 19.63 a 21.33 a 27.70 a 28.25 a 31.35 a
6. T. bawang (kontrol) 16.88 a 19.35 a 21.25 a 27.28 a 29.90 a 34.23 a
Keterangan :
- MST = minggu setelah tanam
- Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda
Duncan pada taraf nyata 5 %.

Tabel 2. Rata-rata jumlah rumpun tanaman pada bawang merah pada 4 9 minggu setelah tanam

Pengamatan (MST)
No. Perlakuan
4 5 6 7 8 9
1. T. bawang + tan. perangkap caisin 4.10 a 4.65 a 5.45 a 6.23 a 7.05 a 7.70 a
2. T. bawang + baki kuning Moriche 4.03 a 4.70 a 5.60 a 6.83 a 7.73 a 7.95 a
3. T. bawang + perangkap likat kuning 4.38 a 5.13 a 6.23 a 7.48 a 8.10 a 8.40 a
4. T. bawang + insektisida selektif 4.45 a 4.68 a 5.68 a 6.73 a 7.15 a 7.65 a
5. T. bawang dilindungi dengan kasa 4.28 a 4.15 a 5.90 a 6.28 a 7.00 a 7.20 a
6. T. bawang (kontrol) 4.13 a 4.98 a 6.25 a 6.55 a 7.50 a 8.15 a
Keterangan :
- MST = minggu setelah tanam
- Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda
Duncan pada taraf nyata 5 %.

Insiden dan Intensitas Gejala Virus
Gejala serangan virus pada tanaman bawang merah mulai terlihat
pada umur 5 MST. Gejala visual berupa mosaik kuning ada garis-garis
vertikal kuning dominan yang nyambung dan terputus-putus pada
lembaran daun. Insiden dan intensitas gejala serangan virus pada
pertanaman bawang merah tidak berbeda antar perlakuan pada umur 5


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
694
9 MST (Tabel 3 dan 4). Terlihat pada pengamatan pertama insiden gejala
pada semua perlakuan sudah cukup tinggi antara 36 % - 45 %.
Tabel 3. Rata-rata insiden gejala virus (%) pada tanaman bawang merah pada 5 10 minggu
setelah tanam

Pengamatan (MST)
No Perlakuan
5 6 7 8 9 10
1. T. bawang + tan. perangkap caisin 40.00 a 65.00 a 92.00 a 94.00 a 89.00 a 98.00 ab
2. T. bawang + baki kuning Moriche 39.00 a 62.00 a 87.00 a 97.00 a 90.00 a 98.00 ab
3. T. bawang + perangkap likat kuning 44.00 a 66.00 a 89.00 a 95.00 a 94.00 a 100.00 b
4. T. bawang + insektisida selektif 36.00 a 58.00 a 90.00 a 94.00 a 86.00 a 95.00 a
5. T. bawang dilindungi dengan kasa 45.00 a 67.00 a 86.00 a 95.00 a 87.00 a 93.00 a
6. T. bawang (kontrol) 34.00 a 63.00 a 87.00 a 95.00 a 94.00 a 98.00 ab
Keterangan :
- MST = minggu setelah tanam
- Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan
pada taraf nyata 5 %.

Insiden dan intensitas gejala virus nampak semakin meningkat
dengan bertambahnya umur tanaman. Dari hasil uji Elisa tidak langsung
pada sampel, terdeteksi 23,40 % tanaman bawang yang diuji terinfeksi
virus OYDV, LYSV dan SLV. Menurut Gunaeni (2001), hasil deteksi
secara Elisa menunjukkan bahwa semakin parah insiden gejala virus pada
bawang merah semakin tinggi frekuensi penemuan virus pada sampel.
Frekuensi reaksi positif terhadap antiserum OYDV, LYSV dan SLV dari
masing masing kelompok gejala visual adalah : mosaik kerdil 71 %,
mosaik strip kuning 57 %, mosaik 42 % dan visual sehat 19 %. Menurut
(Walkey, 1990; Paludan, 1980 dan Graichen, 1991 dalam AVRDC, 2000),
bahwa Shallot Latent Virus (SLV) tidak menimbulkan gejala (latent),
namun dapat memperparah gejala apabila bergabung dengan virus LYSV
pada tanaman bawang preei (leek).

Tabel 4. Rata-rata intensitas gejala virus (%)pada tanaman bawang merah pada 4 10 minggu
setelah tanam

Pengamatan (MST)
No Perlakuan
5 6 7 8 9 10
1. T. bawang + tan. perangkap caisin 13.34 a 27.34 a 61.09 a 71.34 a 59.34 a 84.67 b
2. T. bawang + baki kuning Moriche 13.00 a 26.67 a 55.33 a 65.00 a 60.00 a 87.67 b
3. T. bawang + perangkap likat kuning 13.92 a 29.00 a 61.34 a 64.34 a 62.00 a 89.00 b
4. T. bawang + insektisida selektif 12.00 a 22.67 a 59.00 a 65.67 a 58.34 a 80.00 ab
5. T. bawang dilindungi dengan kasa 15.33 a 28.34 a 54.67 a 71.67 a 59.00 a 72.33 a
6. T. bawang (kontrol) 11.33 a 28.33 a 50.67 a 69.33 a 62.34 a 83.67 b
Keterangan :
- MST = minggu setelah tanam
- Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan
pada taraf nyata 5 %.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
695

Pada umur 10 MST nampak ada perbedaan yang nyata antar
perlakuan. Perlakuan yang menggunakan insektisida selektif dan yang
dilindungi kasa dapat menekan insiden dan intensitas gejala serangan
virus lebih rendah. Insiden penyakit virus ini cukup tinggi, hal ini
disebabkan benih umbi diperoleh dari penangkar bawang merah yang
mungkin belum diuji kesehatannya. Menurut ( Dijk dan Sutarya, 1992 dan
Sutarya, 1995) sampai saat ini petani menanam bawang-merah dengan
menggunakan benih umbi yang berasal dari panen pertanaman
sebelumnya (perbanyakan vegetatif). Perbanyakan bawang-bawangan
secara vegetatif cenderung mengakibatkan terjadinya akumulasi virus
dalam tanaman dari satu musim pertanaman ke musim pertanaman
berikutnya (AVRDC, 2000).
Dari keadaan ini diperoleh gambaran, bahwa bibit awal yang
secara visual telah terseleksi bebas dari patogen cendawan tidak dijamin
bebas pula dari patogen virus.

Serangan Hama
Kutudaun yang merupakan vektor penyakit virus pada tanaman
bawang merah pada percobaan ini tidak ditemukan selama periode
pengamatan. Mengingat bahwa umumnya virus-virus bawang merah
adalah non persisten, penularan virus dipertanaman dapat terjadi oleh
kutu daun yang terbang berpindah-pindah dari tanaman satu ke tanaman
lain tanpa berkoloni pada pertanamannya. Karenanya penularan virus dari
satu tanaman ke tanaman lain mungkin terjadi walau pun koloni kutu daun
tidak dijumpai. Menurut Bos et al. (1978) dan Graichen 1991 dalam
AVRDC (2000), LYSV, SLV dan GCLV mudah ditularkan secara non
persisten. Kutu daun yang tidak ditemukan ini diduga karena selama
percobaan curah hujan cukup tinggi.
Selama percobaan berlangsung hama yang terpantau pada
tanaman bawang merah adalah ulat Spodoptera exigua, Tingkat populasi
dan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya pada bawang merah disajikan
pada (Tabel 5 dan 6 ).
Populasi ulat bawang pada tanaman bawang merah mulai
ditentukan pada minggu kedua setelah tanam, tingkat populasinya
menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan paling rendah
pada perlakuan dengan kasa. Namun demikian, pada pengamatan
selanjutnya antar perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal
yang sama terjadi pada variabel kerusakan tanaman oleh serangan ulat
bawang pada tanaman bawang merah mulai terpantau pada minggu ke


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
696
dua setelah tanam, dan kerusakan yang ditimbulkan tidak berbeda nyata
antar perlakuan. Dari delapan kali pengamatan, hanya ada dua
pengamatan yaitu 4 dan 6 minggu setelah tanam yang menunjukkan
adanya perbedaan nyata antar perlakuan. Pada umur 4 minggu setelah
tanam, kerusakan terendah terlihat pada perlakuan yang disemprot
dengan insektisida berbahan aktif Profenofos satu kali per minggu, namun
tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan
baki kuning Moriche. Pada umur 6 minggu setelah tanam, kerusakan pada
perlakuan sungkup kasa lebih rendah dan berbeda nyata dengan
perlakuan penggunaan perangkap likat kuning, namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya.

Tabel 5. Rata-rata populasi ulat Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah (ekor
/ tanaman)

Pengamatan . (MST)
No. Perlakuan
2 3 4 5 6 7 8 9
1. T. bawang + tan.
Perangkap caisin
1.91 ab 2.40 a 2.75 a 1.30 a 0.40 a 0.25 a 0.20 a 0.20 a
2. T. bawang + baki
kuning Moriche
1.80 a 1.20 a 2.35 a 0.50 a 0.45 a 0.30 a 0.25 a 0.05 a
3. T. bawang +
perangkap likat
kuning
3.15 a 1.20 a 0.85 a 0.55 a 1.15 a 0.50 a 0.35 a 0.40 a
4. T. bawang +
insektisida selektif
2.43 ab 2.15 a 1.45 a 0.95 a 1.00 a 1.15 a 0.50 a 0.40 a
5. T. bawang dilindungi
dengan kasa
0.25 b 2.15 a 0.95 a 0.30 a 0.60 a 0.50 a 0.20 a 0.60 a
6. T. bawang (kontrol) 2.65 ab 2.05 a 1.05 a 0.60 a 0.65 a 0.40 a 0.40 a 0.10 a
Keterangan :
- MST = minggu setelah tanam
- Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan
pada taraf nyata 5 %.


Tabel 6. Kerusakan daun (%) yang disebabkan ulat Spodoptera exigua pada tanaman bawang
merah

Pengamatan . (MST)
No Perlakuan
2 3 4 5 6 7 8 9
1. T. bwg + tan. caisin 2.86 a 8.72 a 4.17 ab 3.91 a 2.77 ab 1.34 a 0.85 a 1.33 a
2. T. bwg + baki
Moriche
11.61 a 10.98 a 8.04 a 2.87 a 2.69 ab 2.19 a 1.76 a 0.63 a
3. T. bwg + likat
kuning
8.92 a 8.61 a 4.36 ab 2.99 a 3.67 a 2.67 a 3.68 a 2.13 a
4. T. bwg + insektisida
selektif
6.90 a 7.03 a 2.99 b 3.82 a 2.42 ab 2.30 a 2.77 a 1.71 a
5. T. bwg dilindungi
kasa
0.38 a 12.48 a 6.21 ab 0.64 a 1.05 b 1.65 a 0.70 a 1.50 a
6. T. bwg (kontrol) 8.65 a 8.77 a 4.01 ab 2.73 a 2.18 ab 1.54 a 3.13 a 0.91 a
Keterangan :
- MST = minggu setelah tanam
- Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan
pada taraf nyata 5 %.

Kerusakan daun tertinggi terjadi pada 2 dan 4 minggu setelah
tanam, karena antara umur tersebut diduga daun belum berfungsi
optimum, sedangkan energi untuk pertumbuhan masih tergantung pada


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
697
cadangan makanan yang terdapat di dalam benih umbi yang jumlahnya
terbatas. Kalshoven (1981) menyatakan bahwa S. exigua dapat
menyerang tanaman yang masih muda, karena pada tanaman yang masih
muda persediaan daunnya terbatas, maka serangan ulat ini dapat
menimbulkan kerusakan dan kehilangan hasil yang besar pada tanaman
bawang merah.

Serangan Penyakit Lain
Penyakit lain yang menyerang tanaman bawang merah yaitu
bercak ungu Alternaria porii. Serangan ini mulai banyak terlihat pada 6
MST sampai menjelang panen. Hal ini mungkin disebabkan selama
percobaan curah hujan cukup tinggi. Namun penyakit ini dapat
dikendalikan dengan fungisida berbahan aktif klorotalonil. Gejala serangan
merata pada semua perlakuan dan secara statistik tidak berbeda nyata
(Tabel 7). Gejala serangan pada perlakuan kasa menjadi lebih parah
mungkin karena kelembaban dan suhu di dalam sungkup kasa tinggi
mendukung perkembangan penyakit. Menurut Semangun (1989) dan
Maude (1990) penyakit ini menyerang pada musim hujan dan berkembang
dengan baik pada kelembaban udara tinggi dan suhu rata-rata 26 30 C.
Semakin tua umur tanaman, serangan semakin meningkat dan antar
perlakuan tidak berbeda nyata.

Tabel 7. Rata-rata intensitas serangan gejala Alternaria porii (%)pada tanaman bawang merah
pada 5 9 minggu setelah tanam

Pengamatan (MST)
No. Perlakuan
5 6 7 8 9
1. T. bawang + tan. perangkap caisin 0.83 a 9.33 a 16.67 a 20.67 a 20.00 a
2. T. bawang + baki kuning Moriche 0.34 a 7.33 a 15.67 a 17.17 a 18.67 a
3. T. bawang + perangkap likat
kuning
0.67 a 10.83 a 17.67 a 18.84 a 18.67 a
4. T. bawang + insektisida selektif 0.33 a 8.50 a 16.83 a 21.33 a 18.50 a
5. T. bawang dilindungi dengan kasa 1.00 a 8.50 a 16.00 a 18.67 a 29.17 a
6. T. bawang (kontrol) 1.84 a 15.17 a 15.50 a 19.34 a 21.17 a

Keterangan :
- MST = minggu setelah tanam
- Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak
berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.

Hasil Panen
Jumlah dan bobot basah umbi bawang merah disajikan pada
(Tabel 8). Jumlah umbi antar perlakuan tidak berbeda nyata sedangkan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
698
untuk bobot basah umbi terlihat bahwa bobot basah umbi perlakuan kasa
lebih rendah dari perlakuan lain dan berbeda nyata dengan kontrol.
Secara umum terlihat bahwa hasil panen bawang merah pada
perlakuan kasa cenderung paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya.
Menurut Walkey (1990) bahwa serangan virus OYDV dan LYSV dapat
menyebabkan kehilangan hasil sebesar 63 % dan 54 %. Sedangkan
menurut Maude (1990) serangan penyakit bercak ungu dapat
mengakibatkan kehilangan hasil pada tanaman bawang-bawangan
sampai 50 %.

Tabel 8. Rata-rata jumlah dan bobot basah umbi bawang merah per plot 6 m

No. Perlakuan
Jumlah Umbi Per
Rumpun
Bobot Basah Umbi (kg)
1. T. bawang + tan. perangkap caisin 3.75 a 2.23 ab
2. T. bawang + baki kuning Moriche 3.71 a 3.25 b
3. T. bawang + perangkap likat kuning 4.29 a 2.93 b
4. T. bawang + insektisida selektif 5.06 a 3.99 b
5. T. bawang dilindungi dengan kasa 4.28 a 0.56 a
6. T. bawang (kontrol) 4.44 a 3.35 b
Keterangan :
- MST = minggu setelah tanam
- Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak
berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.

Data tabel 8 menunjukkan, bahwa hasil panen tertinggi
diperlihatkan oleh perlakuan insektisida selektif (19 % di atas kontrol).
Sedangkan hasil panen dari perlakuan lainnya lebih rendah antara 2.98
83.28 % dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kasa
berdampak jelek terhadap hasil panen, sedangkan pestisida kimiawi
masih tetap menunjukkan hasil panen terbaik (paling tinggi), sementara
pengaruh baik insektisida terhadap hasil panen bawang merah belum
tergantikan.

KESIMPULAN

1. Pertumbuhan vegetatif tanaman bawang merah tidak dipengaruhi oleh
perlakuan
2. Penggunaan insektisida selektif berbahan aktif Profenofos dan kasa
dapat mengurangi insiden dan intensitas gejala virus, namun hanya
insektisida kimiawi yang berpengaruh baik terhadap hasil panen.
3. Virus yang terdeteksi dari sampel daun bawang merah yang
menunjukkan gejala virus berturut turut OYDV, LYSV dan SLV.
4. Pengelolaan penyakit virus tular umbi dengan menggunaan tanaman


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
699
perangkap caisin, baki kuning, perangkap likat kuning, insektisida
selektif dan kasa tidak berpengaruh terhadap insiden dan intensitas
gejala virus apabila benih umbi awal yang ditanam hanya bebas dari
patogen cendawan.

DAFTAR PUSTAKA

1. AVRDC. 2000. Workshop on Virus Elimination and Indexing of Garlic
and Shallot (6-24 March 2000). AVRDC, Shanhua-Taiwan. Virus and
Methods Covered in the Practicals AVRDC (Asian Vegetable
Research and Development Center Federal Biological Research
Centre for Agriculture and Forestry (BBA) Braunschweig, Germany.
40 p.
2. Badan Pusat Statistik. 2006. Survei Pertanian. Statistik Tanaman
Sayuran dan Buah buahan. Badan Pusat Statistik. Jakarta
Indonesia. Katalog BPS: 5216. 48 hal.
3. Blackman, R.L and V.F. Eastop. 1995. Aphids in the World Crops: An
Identification Guide. Departemen of Enthomology British Museum.
John Wiley and Sons. 466 p.
4. Bos, L. 1983. Introduction to Plant Virology. Centre for Agricultural
Publishing and Documentation. Wageningen. 160 p.
5. Duriat A.S. 1985. Virus-virus pada Kentang di Pulau Jawa, Identifikasi,
Penyebaran, dan Kemungkinan Pengendalian. Disertasi Universitas
Padjadjaran, Bandung. 436 hal.
6. Gunaeni, N., Meitha L. Ratnawati dan Ati Srie Duriat. 2001. Hubungan
Penampilan Sehat dari Benih Bawang Merah terhadap Pertumbuhan
dan Hasil Panen. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah
Perhimpunan Fitopathologi Indonesia, Bogor, 22 24 Agustus 2001.
hal 231-235
7. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. P.T. Ichtiar
Baru van Hoeve. Jakarta. p: 337 341.
8. Maude, R.B. 1990. Leaf Diseases of Onions. In Rabinowitch, H.D. and
J.L. Brewster (Eds.) Onion and Allied Crops. Volume II CRC Press,
Inc., Boca Raton, Florida: 173 190.
9. Permadi, A. H. 1995. Pemuliaan Bawang Merah. Dalam : Teknologi
Produksi Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Badan Litbang Pertanian Jakarta: P. 26 45.
10. Rismunandar. 1984. Membudidayakan 5 Jenis Bawang. Sinar Baru
Bandung. hal 65 102.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
700
11. Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di
Indonesia. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta. 850 hal.
12. Soeriaatmadja, H. 1992. Peranan Perguruan Tinggi dalam
Menerapkan dan Mengembangkan Konsep PHT pada Komoditas
Sayuran Melalui Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia.
Makalah Seminar Nasional dan Forum Komoditas VI. Himpunan
Mahasiswa Hama dan Penyakit Tanaman Se-Indonesia. Fakultas
Pertanian UNPAD Bandung, 1 5 September. 1992. 15 hal.
13. Sutarya, R and Paul van Dijk. 1994. Virus Diseases of Shallot and
Garlic in Java and Prospects for Their Control. Acta Horticultura 369,
1994. Bogor: 134 143.
14. Suwandi, S. 1987. Bawang Merah. H. 21 26. Dalam Bercocok
Tanam Sayuran Dataran Rendah. Balithort Lembang. Project. ATA-
395. Proyek Penelitian Sayuran Dataran Rendah. Badan Litbang
Pertanian.
15. Walkey, D.G.A. 1990. Virus Diseases. In Rabinowitch, H.D. and J.L.
Brewster (Eds.) Onion and Allied Cropss. Volume 11 CRC Press, Inc,
Boca Raton, Florida: 191 212.
























Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
701

KABOCA, TANAMAN SELA
PENDUKUNG PENYEBARAN VIRUS KUNING PADA CABAI

Ati Srie Duriat

Balai Penelitian Tanaman sayuran
Jl. Tangkuban Parahu No. 517 Lembang 40391
Telp. 022-278625, Fax. 022-2786416
E-mail :Ati_duriat@telkom.net


ABSTRAK. Sejak awal tahun 2003 penyakit virus kuning Gemini pada
cabai yang bergejala mosaik hijau klorosis atau kuning mosaik atau
kuning cerah yang parah dengan daun cekung serta diikuti pertumbuhan
yang terhambat merupakan epidemik di beberapa sentra produksi cabai.
Beberapa upaya pengendalian telah diteliti, di antaranya penggunaan
tanaman kompanon seperti jagung, kubis, caisin, kacang panjang dan
kaboca, baik yang ditanam sebagai tanaman pinggir atau tanaman sela.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Kaboca tidak dianjurkan digunakan
sebagai tanaman sela (kompanon) pada pertanaman cabai dengan
maksud untuk menekan penyebaran virus kuning, karena tanaman ini
selain sebagai tanaman perangkap vektor virus (Bemisia tabaci) juga
berfungsi sebagai tanaman inang perbanyakan bagi vektor, sehingga
populasinya meningkat dan serangan virus kuning pada perlakuan ini
adalah yang tertinggi. Dampak lainnya adalah hasil panen cabai pada
perlakuan kaboca hanya + 25% dari perlakuan tanaman pinggiran
(kompanon) jagung.

Kata kunci : Virus Kuning Gemini, Capsicum annuum, Tanaman
Kompanon, Kaboca


PENDAHULUAN

Pada awal tahun 2003 penyakit virus kuning Gemini pada cabai
yang bergejala mosaik hijau klorosis atau kuning mosaik atau kuning
cerah yang parah dengan daun cekung serta diikuti pertumbuhan yang
terhambat merupakan epidemik di beberapa sentra produksi cabai.
Gejala virus kuning pada cabai di daerah Lembang sudah ditemukan
sejak 1992. Penelitian lebih intensif terhadap gejala kuning pada cabai ini
di Balitsa dilakukan tahun 1994-1996 dan menjadi bagian dari AVNET-II
kolaborasi penelitian virus cabai di Negara Asia Tenggara. Pada
pertemuan di Bangkok, virus kuning Gemini ini ditetapkan oleh lima
negara (Taiwan=AVRDC, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Philipina)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
702
sebagai virus potensial yang akan mengancam tanaman cabai (Duriat,
1996).
Penelitian tentang identifikasi, keragaman, penyebaran, penularan,
karakter biologi dan molekularnya serta cara pengendaliannya banyak
dilakukan bukan hanya di Balitsa, tapi juga perguruan tinggi (IPB, Gajah
Mada, Unpad, serta melalui program S-1, S-2 dan S-3) dan instansi
lainnya. Hal-hal yang paling penting sudah diketahui, antara lain :
penyebab penyakit, tanaman inang, penularan, vektor, penyebaran,
persentase serangan dan keragaman isolat virus Gemini.
Berbagai upaya untuk mengendalikan virus inipun sudah cukup
banyak dilakukan baik oleh lembaga terkait maupun praktisi sendiri,
namun hasilnya masih belum konsisten efektif dalam berbagai kondisi dan
lokasi serta lahan yang lebih luas. Salah satu alternatif pengendalian
yang telah dicoba adalah menggunakan tanaman kompanon. Kata
kompanon diambil dari bahasa Inggris yang ditulis companion, yang
dalam Peter Salim (1987, The Contemporary English-Indonesia
Dictionary edisi ketiga) berarti kata benda dan kata kerja. Dalam kata
benda bisa berarti : 1) teman, 2) orang yang dibayar untuk menjadi
pendamping, 3) sesuatu yang cocok atau serasi dalam jenis, ukuran
warna, dan pasangan; 4) buku pegangan atau buku penuntun.
Sedangkan sebagai kata kerjanya berarti : 1) menemani, 2) bergabung.
Penggunaan tanaman companon mempunyai alasan dan tujuan yang
cukup kuat untuk digunakan.
Makalah ini menyajikan dampak negatif dari penggunaan tanaman
kompanon kaboca pada cabai yang tidak berhasil menekan populasi
kutukebul Bemisia tabaci, sehingga yang terjadi malah meningkatkan
serangan virus kuning Gemini pada cabai. Adapun tujuan dari penulisan
ini adalah menyampaikan informasi, agar pemilihan tanaman kompanon
seperti ini dapat dihindari.


HUBUNGAN TANAMAN KOMPANON SEBAGAI PENGENDALI
VIRUS KUNING GEMINI

Pengemdalian penyakit virus secara umum di lapangan harus lebih
ditujukan pada pencegahan bukan penyembuhan, yaitu dengan jalan
mencegah penularan dan penyebarannya. Di negara tropis seperti
Indonesia yang tidak memiliki pergantian musim, berbagai spesies
tanaman dan vegetasi lainnya dapat tumbuh sepanjang masa
mengakibatkan berbagai jenis virus tanaman tidak pernah hilang.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
703
Dampak tanaman yang terus menerus ada dan tumbuh menguntungkan
bagi kehidupan, perkembangbiakan dan keaktifan vektor penularnya,
karena rantai makanannya selalu tersedia.
Sehubungan dengan luas kepemilikan lahan pertanaman sayuran
(yang jumlah komoditasnya banyak per hamparan) bersifat individualis
dalam memilih spesies tanaman, menentukan waktu tanam dan cara
bertanam serta cara pemeliharaannya. Bahwa di suatu hamparan
terdapat berbagai jenis tanaman, berbagai cara tanam, berbagai umur
tanaman dan berbagai kondisi pertanaman adalah pemandangan yang
biasa, sehingga tidak akan dapat tercegah penularan dan penyebaran
OPT (organisme pengganggu tanaman) dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Kebijakan untuk selalu menanam tanaman cabai secara monokultur yang
terus menerus pada hamparan yang luas juga tidak menguntungkan,
dampaknya akan sama, bahkan lebih parah, dari pada cara bertanaman
yang individualis, karena makanan yang dibutuhkan untuk seluruh OPT
cabai merah selalu tersedia. Upaya untuk tidak menanami lahannya pada
waktu-waktu bermasalah juga bukan anjuran yang simpatik, karena
sebagaian besar petani menggantungkan hidupnya pada lahan yang
sempit ini.
Penggunaan tanaman kompanon sebagai pasangan tanaman
cabai merah yang serasi dan cocok akan memberikan peluang yang lebih
menguntungkan dalam mengangani penyakit virus kuning Gemini ini.
Pemilihan tanaman kompanon perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut : a). bernilai ekonomi yang produksinya mengguntungkan, b).
merupakan inang bagi vektor serangga kutukebul Bemisia, sehingga
berfungsi sebagai tanaman perangkap, c). dapat menghadang
penyebaran vektor secara fisik, d). tidak berfungsi sebagai inang virus
kuning, e). tidak bersaing dengan tanaman utama, dan f). lebih baik lagi
bila merupakan inang bagi musuh alami vektor (di antaranya kumbang
macan Menochilus sexmaculatus). Penggunaan tanaman kompanon
seperti ini merupakan salah satu saran untuk mencegah penyebaran
penyakit virus tanpa merugikan petani untuk melengkapi saran-saran
sebelumnya (Duriat, 1995).
Dipandang dari cara tanamnya, tanaman kompanon dikelompokkan
pada tanaman pinggir yang memagari areal pertanaman dan tanaman
sela yang ditanam di antara tanaman cabai. Dipandang dari fungsinya
sebagai penghalang karena dapat menghalangi terjadinya invasi hama /
patogen dan sebagai perangkap karena dapat menarik hewan pembawa
atau penular pathogen lebih kuat dari tanaman utamanya. Tanaman
kompanon berfungsi sebagai terminal pemberhentian vektor,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
704
dimaksudkan untuk mengahalangi atau menahan penyebaran penyakit
kuning yang dibawa vektor tersebut dari lokasi lain. Cara ini bertujuan
untuk melindungi tanaman cabai dari serangan pathogen atau hama dari
tanaman di sekitarnya (cabai atau komoditas lain), atau untuk melindungi
pertanaman cabai di daerah endemik. Penggunaan tanaman pinggiran
kubis untuk melindungi kentang dari penularan penyakit virus (Duriat dkk.,
1990 dan 1991) dan tanaman sela tomat untuk melindungi tanaman dari
OPT dan mempertahankan hasil buah cabai (Duriat, 1992) cukup berhasil
dengan baik. Penggunaan tanaman kompanon pada tanaman cabai
untuk menghambat atau mengurangi penyebaran virus kuning Gemini
belum banyak dilaporkan.

PERTIMBANGAN KABOCA
SEBAGAI TANAMAN KOMPANON PADA CABAI

Kaboca memiliki hampir semua kriteria yang ditentukan di atas.
Bernilai ekonomi tinggi, karena buahnya berukuran tidak terlalu besar
berwarna jingga cerah atau hijau atraktif, rasa dan tekstur buah yang
empuk lembut serta multiguna dapat dijadikan berbagai panganan;
sehingga harganya lebih tinggi di antara buah-buahan sefamili.
Kaboca dapat ditanam sebagai tanaman sela, sehingga tidak
memerlukan lahan khusus. Pengaturan waktu tanam dan perbandingan
populasi yang benar antara kaboca dengan tanaman utama tidak akan
mengganggu. Kaboca merupakan salah satu inang kutukebul Bemisia
tabaci yang berdaun lebar, sehingga sangat disukai oleh serangga ini.
Dilaporkan penyakit virus yang menyerang kaboca hampir sama
dengan yang menyerang keluarga Cucurbitaceae lainnya (Bernhardt et
al., 1988 dan Neinhaus, 1981). Namun kebanyakan patogen virus yang
menyerang kaboca seperti squash mosaic virus (SMV), watermelon
mosaic virus 1 (WMT-1), watermelon mosaic virus-2 (WMV-2), Zucchini
yellow mosaic virus (ZYMV), serta geminivirus squash leafcurl virus
(SLCV) adalah bukan virus yang menyerang cabai. Sulyo dan Omoy
(1998) telah mendeteksi WMV-1, WMV-2, tobacco ringspot virus (TRSV)
dengan analisis serologi Elisa dan closterovirus proup dengan analisis
dsRNA dari tanaman kaboca yang memperlihatkan gejala virus. Virus
Gemini yang menyerang cabai dilaporkan oleh Murphy & Warren (2003)
adalah kelompok Begomovirus (bean golden mosaic virus) dengan
species virus utamanya tomato yellow leaf curl virus (TYLCV), di mana
virus Gemini ini tidak sama dengan Gemini yang menyerang kaboca
(Bernhardt et al., 1988), sehingga kaboca dipertimbangkan aman, karena


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



virus gemininya (kalaupun ada) tidak sama dengan virus Gemini pada
cabai.

PENGARUH KABOCA
DIBANDING TANAMAN KOMPANON LAIN

Percobaan dilakukan di Lembang tahun 2006. Rancangan Acak
Kelompok dengan 4 perlakuan tanaman kompanon PTT cabai : 1)
tanaman pinggir jagung-1, 2) tanaman pinggir jagung-2, 3) tanaman sela
kubis, 4) tanaman sela kaboca (sebagai control = cara petani). Perlakuan
diulang 6 kali. Pengaruh dari masing-masing perlakuan disajikan sebagai
berikut :

1. Infestasi Kutukebul
Infestasi kutukebul atau Bemisia yang berfungsi sebagai vektor
virus Gemini pada perlakuan berbagai tanaman kompanon menunjukkan
bahwa: Jumlah atau populasi kutukebul pada tanaman cabai dan
perangkap kuning pada perlakuan diatas bervariasi. Kutukebul pada
tanaman cabai rendah sekali rata-rata pertanaman antara 0,03 4,08
ekor.
Tangkapan kutukebul pada perangkap kuning berkisar antara 6
38 ekor per sepuluh hari seperti disajikan pada Gambar 1. Dari Gambar 1
terlihat bahwa secara umum tangkapan kutukebul pada perangkap kuning
umumnya selalu paling tinggi pada perlakuan kaboca. Pada perlakuan
jagung-1 populasi kutukebul pada tanaman cabai paling rendah
dibandingkan perlakuan lainnya. Pada tanaman pinggiran jagung atau
sela kubis kutukebul tidak ditemukan.


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
705








Gambar 1. Tangkapan kutukebul pada perangkap likat kuning

0
5
40
35
30
20
25
Jagung-1
Jagung-2
Kubis
15
Kabocha
10
40 HR 50 HR 60 HR 70 HR 80 HR


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Sedangkan pada tanaman kaboca kutukebul berkembang dan
berkoloni dengan baik. Dari 6 kali pengamatan rata-rata kutukebul pada
kaboca (sampel sebanyak 2 lembar daun tengah/tanaman) seperti pada
Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata populasi kutukebul pada kaboca
Populasi (ekor) pada ulangan
No
Waktu
pengamatan 1 2 3 4 5 6
Rata-
rata
1. 4 Okt 5 3 7,5 6 8,5 9 6,5
2. 10 Okt 16 6,5 4,5 10,5 6,5 4,5 8,0
3. 19 Okt 4 3,5 7,5 6,5 4,5 4,5 5,1
4. 2 Nop 34 19 18 20,5 70,5 106,5 44,75
5. 8 Nop 62 76 26,5 128 72 14 63,1
6. 16 Nop 12 14 12,5 9 10,5 9 10

Tabel 1 menunjukkan bahwa kutukebul pada kaboca selalu ada
serta jumlahnya pun cukup banyak melebihi populasi yang ditemukan
pada tanaman cabai ataupun hasil tangkapan pada perangkap likat.
Perbandingan kutukebul dari berbagai objek pengamatan (perangkap likat
kuning, tanaman kaboca dan tanaman cabai ) dapat dilihat pada
Gambar 2.

0
10
20
30
40
50
60
70
40 50 60 70 80
Umur tanaman (hari)
J
u
m
l
a
h

k
u
t
u

k
e
b
u
Prkp-A
Prkp-B
Prkp-C
Prkp-D
Kabo.
Cab-D

Keterangan : Prk A dan B = perangkap pada perlakuan jagung, Prk C = pada
perlakuan kubis , Prk D = pada perlakuan kaboca. Kabo = pada tanaman kaboca,
Cab-D = pada cabai dari perlakuan kaboca


Gambar 2. Tangkapan kutukebul pada perangkap kuning dari berbagai perlakuan

Gambar 2, menunjukkan jumlah populasi kutukebul pada kaboca
cukup tinggi dan puncaknya pada umur 80 hari. Populasi ini walaupun
berada pada tanaman kaboca tetapi kutukebul yang bebas terbangpun
cukup banyak (data perangkap D = cara petani). Hal ini memberikan
peluang untuk ikut menyebarkan dan menularkan virus kuning Gemini di
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
706


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



antara pertanaman cabai. Tangkapan kutukebul pada perlakuan jagung
dan kubis fluktuasinya sama dengan perlakuan kaboca, hanya populasi
lebih rendah. Tangkapan kutukebul pada perangkap kuning dari perlakuan
jagung tertinggi pada umur 70 hari dan terus naik pada umur 80 hari, dan
ini berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Kutukebul tidak ditemukan pada tanaman kompanon jagung dan
kubis. Keadaan ini berbeda dengan pengaruh tanaman kaboca, dimana
populasi kutukebulnya cukup tinggi seperti diperlihatkan oleh Tabel 1 dan
Gambar 2. Tingginya insiden virus kuning pada perlakuan kaboca,
diakibatkan oleh tingginya populasi kutukebul, yang kemungkinan
dirangsang oleh kehadiran tanaman kaboca. Tanaman ini bukan hanya
berfungsi sebagai tanaman perangkap saja tapi juga sebagai tanaman
pembiakan yang baik, rata-rata koloni antara 5 63 ekor (Tabel 1) dan
populasi yang terbang pada perlakuan kaboca antara 12-38 ekor (Gambar
1).
Predator kutukebul Menochilus sexmaculatus tidak ditemukan pada
tanaman jagung, kubis atau kaboca. Serangga ini ditemukan pada
tanaman cabai dengan jumlah yang sangat rendah, yaitu pada petak
perlakuan 0 0,002 ekor/tanaman. Jumlah terbanyak diantara keempat
perlakuan adalah pada perlakuan pinggiran jagung. Mungkin kehadiran
M. sexmaculatus dirangsang dengan tanaman pinggiran jagung, karena
pollen jagung merupakan makan predator ini, seperti yang dilaporkan
Setiawati (2005).

2. Serangan Penyakit Kuning
Di alam penularan dan penyebaran penyakit virus kuning sangat
dipengaruhi oleh kehadiran tanaman sakit dan vektor pembawanya.
Inokulasi tanaman sakit ada di sekitar tanaman percobaan yaitu tanaman
cabai dan tomat di luar petak percobaan yang memperlihatkan gejala
penyakit kuning. Pada petak percobaanpun sudah terlihat adanya
serangan sejak umur tanaman 30 hari (Gambar 3).







0
2
4
6
8
10
12
14
16
30 hr 50 hr 70 hr 90 hr
Jagung- 1
Jagung- 2
Kubi s
Kabocha

Gambar 3. Serangan virus kuning Gemini pada berbagai umur pengamatan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
707


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
708
Dari data tangkapan kutukebul pada perangkap kuning (Gambar 1,
2, dan Tabel 1) dan insiden penyakit kuning yang terjadi (Gambar 3) ada
hubungannya. Fluktuasi kutukebul pada setiap perlakuan, kecuali pada
perlakuan yang menggunakan kaboca, jumlah kutukebul yang tertangkap
lebih konsisten. Hal ini diperlihatkan juga oleh insiden penyakit kuning
yang konsisten insidennya paling tinggi dan berbeda nyata dibandingkan
dua perlakuan lainnya.
Masa inkubasi penyakit kuning cukup lama antara 8-15 hari
(Sulandari, 2004), jadi perlu waktu untuk keluarnya gejala penyakit dari
saat vektor (kutukebul) makan pada tanaman cabai. Kalau melihat
infestasi vektor pada tanaman cabai, rata-rata kutukebul yang ditemukan
per tanaman di bawah 1 ekor. Rendahnya kutukebul pada tanaman cabai
yang ditumpangsarikan dengan kubis juga dikemukakan oleh Setiawati
(2005). Pada tangkapan kutukebul rendah dengan perangkap kuning (80
hari perlakuan jagung, 70 hari perlakuan kubis dan 70 hari perlakuan
kaboca) insiden penyakit tidak lebih rendah dari sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa gejala yang nampak pada setiap waktu pengamatan,
infeksinya maksimal terjadi pada waktu 10-15 hari sebelumnya. Dan
inipun menunjukkan bahwa jumlah populasi kutukebul yang ditemukan
pada tanaman cabai pada waktu pengamatan bukan menunjukkan jumlah
kutukebul itu saja yang menularkan virus kuning, sebab gejala yang
nampak pada hari itu disebabkan oleh infeksi yang terjadi pada waktu lain
yang tidak teramati. Sulandari (2004) dan Hidayat (2003) melaporkan
bahwa seekor kutukebul sudah mampu menularkan virus Gemini.
Dengan memperhitungkan curva daerah penyakitnya (AUDPC),
penghambatan serangan virus kuning pada perlakuan lain lebih baik dari
pada perlakuan kaboca, pada jagung lebih baik sekitar 41,20% dan pada
kubis 13, 09%. Hal ini juga menunjukkan bahwa perlakuan tanaman
pinggiran jagung adalah yang terbaik untuk menekan penyebaran virus
kuning.

3. Hasil Panen Tanaman Cabai
Panen cabai dilakukan berkali-kali, Tabel 2 menyajikan data hasil
cabai dari kumulatif lima kali panen. Hasil panen tinggi dari total dan buah
baik diperlihatkan oleh perlakuan jagung (1 dan 2) diikuti oleh perlakuan
kaboca. Hasil panen pada perlakuan kaboca dibandingkan perlakuan
jagung adalah 60% dari hasil panen per tanaman cabai dan 25% dari
hasil tanaman cabai per petak.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
709
Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap hasil panen cabai (kumulatif dari 5 panen)

Hasil sampel (g/tanaman) Hasil petak (kg/400 m
2
)
No. Perlakuan
Total Baik Jelek Total Baik Jelek
1. Jagung-1 828,67c 760,00c 68,67 b 67,16 b 65,78 b 0,919 c
2. Jagung-2 825,83c 760,83c 65,00 b 66,48 b 65,17 b 0,832 c
3. Kubis 251,50a 222,00a 29,50 a 8,65 a 8,16 a 0,256 a
4. Kaboca 479,33b 433,33b 46,00 bc 17,18 a 16,33 a 0,429 b

Hasil panen pada perlakuan kubis adalah yang terendah. Dari
pertumbuhan tanaman cabai dengan perlakuan kubis baik dari peubah
tinggi tanaman maupun lebar kanopi hampir selalu menunjukkan ukuran
terendah dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini
disebabkan oleh waktu tanam kubis yang hanya dua minggu setelah
tanam cabai, menyebabkan pertumbuhannya mengalahkan pertumbuhan
cabai. Pertumbuhan yang kurang bagus ini diikuti dengan gangguan OPT
kubis yang sering beralih ke cabai, sehingga meminimalkan hasil panen.
Pertumbuhan cabai yang lebih baik diperlihatkan pada percobaan
Setiawati (2005) yang menanam kubis 30 hari setelah cabai. Tampaknya
waktu tanam tanaman sela juga mempengaruhi pertanaman cabai.

KESIMPULAN

1. Tanaman kaboca adalah inang yang baik bagi vektor virus kuning B.
tabaci untuk berkoloni dan berkembang biak.
2. Dampak dari vektor yang berkembang biak dengan baik ini
menyebabkan vektor yang beterbangan cukup banyak dan penyebaran
virus kuning pada perlakuan kaboca adalah yang paling tinggi.
3. Hasil panen cabai pada perlakuan kaboca per petak hanya 25% dan
per tanaman 60% dari perlakuan jagung.
4. Tanaman kaboca tidak dianjurkan digunakan sebagai tanaman
kompanon untuk menghambat penyebaran virus kuning pada cabai.


DAFTAR PUSTAKA

1. Bernhardt, E; J. Dowson and J. Watterson. 1988. Cucurbit
Diseases. A practical Guide for Seedmen, Growers and Agricultural
Advisers. Petiseed Company Inc. Cal Graphics. California. 48p


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
710
2. Duriat, A.S, A.K. Karyadi, M. Miura dan E. Sukarna. 1990. Pengaruh
Tanaman Pinggiran terhadap Kandungan Virus pada Umbi Kentang.
Bul. Pen. Hort. Vol XIX (3) : 94-108
3. Duriat, A.S. 1991. Pola Tanam: Satu Alternative Pengendalian
Penyakit Virus pada Sayuran. Dalam: Evaluasi dan Perencanaan
Penelitian, serta Pengembangan Produksi dan Industri Sayuran di
Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sayuran. Lembang 22-24
Nopember 1991 : 345-355.
4. Duriat, A.S, R. Sutarya, E. Sukarna dan A.K. Karyadi. 1991.
Pengaruh Asal Bibit dan Tanaman Pinggiran terhadap Insiden Virus
dan Produksi Kentang Granola. Bul. Pen. Hort. Vol. XXI(2):52-63.
5. Duriat, A.S. 1992. Pengaruh Tanaman Sela Tomat terhadap Insiden
Hama dan Penyakit serta Hasil Buah Cabai. Dalam: Pros.
Simposium Penerapan Pengendalian Hama Terpadu. Perhimpunan
Entomologi Indonesia Cabang Bandung. 105 -111.
6. Duriat, A.S. 1995. Pengendalian Hayati Penyakit Virus yang
Menyerang Sayuran. Makalah Utama. Dalam : Risalah Kongres
Nas. XII dan Seminar Ilmiah PFI di Yogyakarta. Buku I : 76-84.
7. Duriat, A.S. 1996. Management of Pepper Viruses: Problems and
Progress. IARD Journal, Vol 18(3): 45-50.
8. Hidayat, S.H. 2003. Rangkuman Hasil Penelitian Gemini Virus di
Indonesia. Makalah pada Seminar Sehari Pengenalan dan
Pengendalian Penyakit Virus pada Cabai. Dir. Perlitan Hortikultura.
Dir. Jen. Bina Prod. Hort. Jakarta. 4 hal.
9. Neinhaus, F. 1981. Virus and Similar Diseases in Tropical and
Subtropical Areas. GTZ, Eschborn. Germany. 216p.
10. Murphy, J. F and C.E. Warren. 2003. Disease Caused by Viruses.
In: Compendium of Pepper Diseases (Ed. By Pernezny, Robert,
Murphy and Goldberg). APS Press. Minnesota. USA: 23 -25.
11. Salim, P. 1987. The Contemporary English-Indonesia Dictionary.
Edisi-3. Modern English Press. Jakarta. 2358p
12. Setiawati, W. 2005. Pengelolaan Terpadu pada Tanaman Cabai
Merah dalam Upaya Mengatasi Penyakit Virus Kuning. Makalah
disampaikan pada Pertemuan Apresiasi Penerapan
Penanggulangan Virus Cabai. Yogyakarta 14-15 April 2005. 16 hal.
13. Sulandari, S. 2004. Kajian Penularan Virus Penyebab Penyakit
Daun Keriting Kuning Cabai dengan Serangan (hal 57-81). Dalam:
Karekteristik Biologi, Serologi dan Analisa Sidik Jari DNA Virus
Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai. Disertasi di IPB:
175 hal.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
711
14. Sulyo, Y dan T. Omoy. Inventarisasi Penyakit Virus pada Tanaman
Kaboca. Dalam: Prosiding Seminar Nasional IV Perhimpunan
Fitopatologi Indonesia, Surakarta : 262-265.







































Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
712

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PEMANASAN BENIH UMBI
TERHADAP PERSISTENSI DAN DEGRADASI VIRUS
PADA BAWANG PUTIH (Allium sativum)

Neni Gunaeni, Ati Srie Duriat, dan Meitha L. Ratnawati


Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Perahu No. 517 Lembang Bandung (40391)


ABSTRAK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu
dan waktu pemanasan benih umbi terhadap persistensi dan degradasi
virus pada bawang putih. Percobaan dilaksanakan di laboratorium dan
rumah kasa Virologi Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada bulan Mei
sampai dengan September 2005. Jenis bawang yang digunakan adalah
bawang putih varietas Lumbu Hijau yang mengandung virus. Rancangan
percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok Pola
Faktorial dengan empat kali ulangan . Perlakuan yang dicoba yaitu : (A).
Faktor Suhu : S
1
= suhu 30 C ; S
2 =
suhu 37 C. (B). Faktor waktu
pemanasan : L
0
= 1 minggu; L
1
= 2 minggu; L
2
= 3 minggu; L
3
= 4
minggu; L
4
= 5 minggu; L
5
= 6 minggu; L
6
= 7 minggu; L
7
= 8 minggu.
Benih umbi bawang putih setelah perlakuan diuji Elisa secara tidak
langsung menggunakan antiserum SLV (Shallot Laten Virus), OYDV
(Onion Yellow Dwarf Virus) dan GCLV (Garlic Common Latent Virus)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1). Suhu pemanasan 30 C dan
37 C yang dikombinasikan dengan waktu pemanasan sampai 8 minggu
tidak berpengaruh terhadap persentase benih umbi bawang putih yang
tumbuh. (2). Pertumbuhan tanaman (tinggi dan jumlah daun) bawang
putih yang disimpan pada suhu 30 C dan 37 C selama 1 4 minggu
lebih tinggi dibandingkan dengan benih umbi yang disimpan 5 - 8 minggu.
(3). Suhu penyimpanan 30 C yang dikombinasikan dengan waktu
pemanasan 4 - 5 minggu dapat mengurangi persistensi dan degradasi
kandungan virus SLV, OYDV dan GCLV dalam benih umbi bawang putih
dan dapat menekan gejala virus secara visual.

Kata kunci : Suhu, Waktu Pemanasan, Virus, Bawang Putih (Allium
sativum)

PENDAHULUAN

Luas panen bawang putih (Allium sativum) di Indonesia hasil data
tahun 2006 adalah 3.107 ha dengan produksi 21.050 ton dengan rata-rata
hasil sekitar 6,78 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2006). Rata rata
produksi ini masih rendah bila dibandingkan dengan potensi produksi
yang dapat dicapai yaitu 20 ton/ha. Rendahnya produksi rata rata yang


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
713
dihasilkan disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor yang mungkin
dapat menimbulkan kerugian adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus.
Pada umumnya perbanyakan bawang putih menggunakan umbi
sehingga bila sekali terinfeksi virus maka hasil perbanyakannya akan
tetap membawa virus dari generasi ke generasi berikutnya, akibatnya
insiden virus pada pertanaman bawang putih cukup tinggi persentasenya.
Serangan penyakit virus pada tanaman bawang dapat menyebabkan
kehilangan hasil yang cukup besar. Serangan virus OYDV (Onion Yellow
Dwarf Virus) dan LYSV (Leek Yellow Stripe Virus) yang paling sering
ditemukan menyerang tanaman bawang menyebabkan kehilangan
produksi berturut turut 63 % dan 54 % (Walky, 1990). Hasil laporan yang
dikemukakan oleh Dijk dan Sutarya (1992) bahwa sampel bawang putih
yang dikumpulkan dari sentra produksi di Jawa Barat dan Jawa Tengah,
dari hasil uji Elisa membuktikan insiden OYDV berkisar 86 % - 87 % dan
17 % - 20 % untuk LYSV. Serangan virus OYDV pada bawang putih
varietas Lumbu Hijau dan Lumbu Hitam berturut turut menyebabkan
kehilangan hasil 16,67 % _ 36 % dan 30 % - 39,35 % (Gunaeni dan
Sutarya, 1996).
Beberapa upaya telah dilakukan oleh negara-negara lain untuk
membebaskan virus dari bawang putih yaitu dengan perbanyakan melalui
tunas meristem yang ditanamkan pada media buatan atau perbanyakan
meristem yang dikombinasikan dengan suhu dan perlakuan-perlakuan
bahan kimia tertentu yang sifatnya sebagai antiviral (AVRDC, 2000).
Melalui cara perbanyakan cara tersebut dapat diperoleh umbi bawang
putih bebas virus walaupun persentasenya masih rendah.
Penelitian eradikasi virus diperlukan dalam upaya mengurangi /
menghilangkan kandungan virus dalam umbi bawang putih. Pembebasan
virus dengan pemanasan umbi sebelum di tanam dilapangan akan dapat
mengurangi kandungan virus pada umbi (Walky, 1990). Berdasarkan hal
tersebut di atas maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh suhu dan waktu pemanasan umbi terhadap
persistensi dan degradasi virus pada umbi bawang putih.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilaksanakan di laboratorium dan rumah kasa virologi
Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada bulan Mei sampai dengan
September 2005. Bahan umbi yang digunakan adalah bawang putih
varietas Lumbu Hijau dari penelitian sebelumnya yang positif mengandung


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
714
virus. Percobaan untuk mengetahui persistensi dan degradasi virus dicoba
menggunakan berbagai suhu dan waktu pemanasan umbi bawang putih.
Rancangan yang digunakan RAK Faktorial dengan 4 kali ulangan.
Perlakuan yang dicoba yaitu :

Faktor A : Suhu penyimpanan
S
1
= suhu 30 C
S
2
= suhu 37 C

Faktor B : Waktu Pemanasan
L 0 = 1 minggu
L 1 = 2 minggu
L 2 = 3 minggu
L 3 = 4 minggu
L 4 = 5 minggu
L 5 = 6 minggu
L 6 = 7 minggu
L 7 = 8 minggu

Tiap perlakuan menggunakan 60 siung umbi bawang putih. Umbi
tersebut setelah diberi perlakuan di atas dilakukan uji Serologi Direct Elisa
menggunakan antiserum SLV (Shallot Laten Virus), OYDV dan GCLV
(Garlic Common laten Virus). Prosedur uji Elisa : IgG dilarutkan dengan
coating buffer pada konsentrasi 1 : 1000. Masing-masing lubang plate
Elisa diisi 100 ul larutan. Plate diinkubasi pada suhu 37 C selama 4 jam.
Plate kemudian dicuci dengan 0,02 M PBS-T sebanyak 3 kali. Sampel
antigen (daun yang bergejala virus) yang telah dilumatkan, diencerkan
pada konsentrasi 1 : 10 dengan 0,02 M PBS- T yang mengandung 2 %
PVP dan 0,2 % Ovalbumin dimasukkan ke dalam lubang plate sebanyak
100 ul. Plate berisi sampel diinkubasi pada suhu 4 C selama semalam.
Keesokan hari plate dicuci dengan 0,02 M PBS-T sebanyak 6 kali. Enzim
conjugate dilarutkan dengan konsentrasi 1 : 1000 dengan 0,02 PBS-T,
dan diisikan pada tiap lubang plate sebanyak 100 ul. Plate diinkubasikan
pada suhu 37 C selama 3 jam. Kemudian plate dicuci dengan 0,02 M
PBS-T sebanyak 6 kali. Substrate PNP 1 mg/ml dalam penyangga
Diethanoamine diisikan dan tiap lubang plate sebanyak 150 ul.
Absorbance terhadap reaksi yang terjadi diukur dengan menggunakan
Elisa Reader pada panjang gelombang 405 nm setelah plate berisi
substrat diinkubasikan selama 30 samapi 60 menit pada suhu kamar.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
715
Siung lain dari kelompok umbi yang sama ditanam di screen
tunnel dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pemupukan berimbang
diaplikasikan pada semua petak perlakuan dengan dosis (rekomendasi
bagian Agronomi Balitsa), pupuk kandang 20 ton/ha, pupuk N (urea, ZA)
150 kg/ha, pupuk P (SP- 36) 150 kg/ha, pupuk K (KCl) 150 kg/ha. Pupuk
P diberikan satu kali, seminggu sebelum tanam. Sedangkan pupuk N dan
K diberikan tiga kali, masing-masing 1/3 nya pada umur 15, 30 dan 45 hari
setelah tanam. Pemeliharaan tanaman seperti penyiangan dan
penyemprotan hama dan penyakit disesuaikan dengan kondisi tanaman
dilapangan.
Pengamatan dilakukan terhadap :
1. Kandungan virus setelah perlakuan.
2. Persentase umbi yang tumbuh
3. Pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan jumlah daun)
4. Insiden dan intensitas gejala virus secara visual

Pengamatan terhadap intensitas serangan gejala virus pada
tanaman bawang putih diukur berdasarkan nilai scoring gejala yang
muncul dan dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

(n x v)
I = ---------------- x 100 %
N x V
Dimana :
I = Intensitas gejala serangan
n = Jumlah tanaman yang termasuk ke dalam skala gejala tertentu
v = Nilai scoring gejala tertentu
N = Jumlah tanaman yang diamati
V = Nilai skoring keparahan gejala tertinggi

Adapun skala keparahan gejala diklasifikasikan sebagai berikut :
0 = tanaman nampak sehat
1 = tanaman menunjukkan gejala mosaik ringan
2 = tanaman menunjukkan gejala mosaik berat, alur kuning terlihat
jelas (kontras)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



3 = tanaman menunjukkan gejala mosaik (kontras) dan terjadi
perubahan bentuk pertumbuhan daun sampai terpatah-patah atau
tanaman kerdil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kandungan Virus Setelah Perlakuan
Hasil uji Serologi Elisa pada benih umbi bawang putih dengan
menggunakan antiserum SLV, OYDV dan GCLV menunjukkan
perkembangan ketiga jenis virus tersebut akibat pemanasan pada suhu 30
C dan 37 C masih fluktuatif sampai waktu pemanasan 7 minggu
(Gambar 1).



0
10
20
30
40
50
60
70
80
m1 m2 m3 m4 m5 m6 m7 m8
Waktu pemanasan
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

t
a
n
a
m
a
n


t
e
r
i
n
f
e
k
s
i

v
i
r
u
s

(
%
)

SLV s 30
SLV s 37
OYDV s 30
OYDV s 37
GCLV s 30
GCLV s 37


Gambar 1. Perkembangan jenis virus pada bawang putih

Hal ini mungkin tergantung pada jenis virus yang terkandung dalam
jaringan tanaman. Menurut Bos (1983) virus-virus tertentu dapat lebih
aktif pada temperatur tinggi dimana jenis-jenis virus lainnya justru lebih
virulen pada temperatur yang lebih rendah. Terlihat bahwa setelah waktu
pemanasan 1 minggu pada suhu 37 C, virus lebih aktif, kemudian pada
minggu-minggu berikutnya sampai waktu pemanasan 8 minggu
perkembangan virus menurun. Pada pemanasan dengan suhu 30 C,
terlihat pola yang sebaliknya dimana waktu pemanasan 1 minggu
perkembangan virus menurun kemudian meningkat pada minggu ke tujuh
dan menurun sampai minggu ke delapan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
716


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Perkembangan masing masing jenis virus pada percobaan ini
terlihat bahwa virus SLV (Gambar 2) relatif lebih fluktuatif dibandingkan
dengan kedua virus lainnya yaitu OYDV dan GCLV (Gambar 3 dan 4).
Terlihat adanya pola yang sama dimana pemanasan pada suhu 37 C
perkembangan virus meningkat, kemudian menurun sampai waktu
pemanasan minggu ke delapan. Pada suhu 30 C perkembangan virus
sebaliknya menurun, kemudian meningkat pada waktu pemanasan umbi
minggu ke tujuh dan ke delapan.


0
10
20
30
40
50
60
70
80
m1 m2 m3 m4 m5 m6 m7 m8
Waktu Pemanasan
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

T
a
n
a
m
a
n
T
e
r
i
n
f
e
k
s
i

V
i
r
u
s

(
%
)
s 30
s 37


Gambar 2. Perkembangan virus SLV

0
10
20
30
40
50
60
70
80
m1 m2 m3 m4 m5 m6 m7 m8
Waktu Pemanasan
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

T
a
n
a
m
a
n
T
e
r
i
n
f
e
k
s
i

V
i
r
u
s

(
%
)
s 30
s 37


Gambar 3. Perkembangan virus OYDP




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
717


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008
















0
5
10
15
20
25
30
m1 m2 m3 m4 m5 m6 m7 m8
Waktu Pemanasan
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

T
a
n
a
m
a
n

T
e
r
i
n
f
e
k
s
i

V
i
r
u
s

(
%
)
s 30
s 37
Gambar 4. Perkembangan virus GCLV

Berdasarkan perkembangan kandungan masing masing ketiga
jenis virus tersebut di atas (SLV, OYDV dan GCLV) pada suhu
pemanasan 30 C dan 37 C, tampak waktu pemanasan yang dianjurkan
tidak sama (Tabel 1). Waktu pemanasan yang dianjurkan untuk virus SLV
antara 3 4 minggu, virus OYDV 4 5 minggu dan GCLV 2 5 minggu.
Nampaknya pada suhu penyimpanan 30 C dan 37 C dengan waktu
pemanasan antara 4 -5 minggu dapat mengurangi persistensi dan
degradasi ketiga jenis virus tersebut di atas. Menurut Conci dan Nome
(1991) dengan pemanasan 36 C selama 40 hari yang dikombinasikan
dengan kultur meristem dapat menekan persentase material bebas virus
OYDV dan SLV (Shallot LatenVirus). Menurut Walkey dkk. (1987)
bawang putih kultivar Fructidor dan Blanc de la Dorme dengan
pemanasan 38 C yang dikombinasikan dengan kultur jaringan dapat
menaikkan persentase material bebas virus sebanyak 30 % dibandingkan
dengan perlakuan pada suhu 20 C.

Tabel 1. Lama waktu pemanasan (L) pada suhu (S) 30 C dan 37 C terhadap virus
bawang putih Lumbu Hijau
Suhu
Jenis virus
30 C 37 C
Waktu pemanasan yang
dianjurkan
SLV 3 4 minggu 3 4 minggu 3 4 minggu
OYDV 4 5 minggu 4 5 minggu 4 5 minggu
GCLV 2 5 minggu 3 5 minggu 2 5 minggu



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
718


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
719
2. Persentase Umbi yang Tumbuh
Perlakuan suhu (30 C dan 37 C )dan waktu pemanasan (1 8
minggu) masih memungkinkan umbi bawang putih tumbuh baik dengan
persentase tumbuh berkisar antara 80 % 100 %.

3. Pertumbuhan Tanaman
Secara umum pertumbuhan vegetatif tanaman akibat perlakuan
suhu secara independen tidak berbeda nyata. Tinggi tanaman pada
perlakuan suhu 30 C tidak berbeda nyata dengan suhu 37 C (Tabel 2).
Sedangkan waktu pemanasan benih umbi bawang putih nampak
berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Semakin lama benih umbi
disimpan semakin rendah pertumbuhannya. Interaksi antara perlakuan
suhu dan waktu pemanasan terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman,
terlihat tinggi tanaman dari benih umbi yang disimpan pada suhu 30 C
ternyata lebih tinggi dibandingkan suhu 37 C.

Tabel 2. Pengaruh suhu (S) dan waktu pemanasan (L) serta interaksinya terhadap tinggi tanaman
(cm) pada bawang putih Lumbu Hijau pada pengamatan 2 dan 4 MST

Waktu pemanasan (L).minggu
Perlakuan
Suhu (S) 1 2 3 4 5 6 7 8
Rata-rata
perlakuan
suhu (S)
Pengamatan pada umur 2 MST

30 C (S1)
37 C (S2)


7,75 bc
12,50 b


9,75 bc
9,25 bc


11,00 bc
12,50 b


18,50 a
9,25 bc


7,75 bc
7,00 bc


4,75 c
8,00 bc


8,00 bc
5,25 c


9,50 bc
6,50 bc


9,62 A
8,78 A
Rata-rata waktu
Pemanasan (L)
10,12 AB 9,50 AB 11,75 AB 13,87 A 7,37 AB 6,37 B 6,62 B 8,00 AB

Pengamatan pada umur 4 MST

30 C (S1)
37 C (S2)


31,75 a
33,50 a


26,00 ab
21,25 bc


21,50 bcd
18,00 bcd


34,75 a
11,25 cd


16,00 bcd
10,75 d


16,25 bcd
13,25 cd


16,00 bcd
16,00 bcd


16,75 bcd
11,00 cd


22,37 A
16,94 A

Rata-rata waktu
Pemanasan (L)
32,62 A 23,87 AB 19,75 B 23,00 AB 13,37 B 14,75 B 16,00 B 13,87 B


Keterangan :
- MST = Minggu setelah tanam
- Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada tiap waktu pengamatan menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5 %. Huruf kecil menyatakan perbedaan
pada interaksi perlakuan. Huruf besar menurut kolom menyatakan rata-rata perlakuan suhu (S). Huruf besar
menurut baris menyatakan rata-rata perlakuan waktu pemanasan (L)

Begitu pula waktu pemanasan benih umbi yang disimpan pada 1
4 minggu lebih tinggi dari pada waktu pemanasan selama 5 8 minggu.
Menurut Muharam dkk. (1992). Perlakuan pemanasan umbi bawang putih
pada suhu 35 C selama 8 minggu menurunkan kecepatan pertumbuhan
tanaman. Hal yang sama terjadi pula pada jumlah daun (Tabel 3).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
720
Semakin lama umbi disimpan pada suhu 30 C maupun 37 C, maka
semakin sedikit jumlah daun yang terbentuk.

4. Insiden dan Intensitas Gejala Virus Secara Visual
Hasil percobaan menunjukkan bahwa adanya perbedaan dalam
penekanan gejala serangan virus akibat perlakuan suhu penyimpanan
secara independent (Tabel 4 dan 5).

Tabel 3. Pengaruh suhu (S) dan waktu pemanasan (L) serta interaksinya terhadap dan jumlah
daun pada bawang putih Lumbu Hijau pada pengamatan 2 dan 4 MST
Waktu Pemanasan (L).minggu
Perlakuan
Suhu (S)
1 2 3 4 5 6 7 8
Rata-rata
Perlaku-an
Suhu (S)
Pengamatan pada umur 2 MST
30 C (S1)
37 C (S2)
2,50 bc
2,25 bc
2,75 bc
2,00 c
3,00 ab
2,75 bc
3,50 a
2,50 bc
2,00 c
2,00 c
2,25 bc
2,00 c
2,00 c
2,00 c
2,00 c
2,00 c
2,50 A
2,18 A
Rata-rata
waktu
Pemanasan
(L)
2,25 AB 2,37 AB 2,87 A 3,00 A 2,00 B 2,12 B 2,00 B 2,00 B

Pengamatan pada umur 4 MST
30 C (S1)
37 C (S2)

4,00 abc
4,25 ab

3,75 abcd
3,00 cdefg

4,00 abc
3,25 bcdef

4,50 a
3,50 abcde

2,75 defg
2,00 g

2,50 efg
2,25 fg

2,25 fg
2,25 fg

2,00 g
2,00 g

3,78 A
2,81 A
Rata-rata
waktu
Pemanasan
(L)
4,12 A 3,37 A 3,62 A 4,00 A 2,37 B 2,37 B 2,25 B 2,00 B


Keterangan : - MST = Minggu setelah tanam
- Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada tiap waktu pengamatan menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5 %. Huruf kecil
menyatakan perbedaan pada interaksi perlakuan. Huruf besar menurut kolom menyatakan
rata-rata perlakuan suhu (S). Huruf besar menurut baris menyatakan rata-rata perlakuan
waktu pemanasan (L).


Pada pengamatan umur 2 dan 4 minggu setelah tanam nampak
insiden dan intensitas gejala virus lebih rendah pada suhu penyimpanan
37 C dibandingkan suhu 30 C dan berbeda nyata. Sedangkan interaksi
antara suhu dan waktu pemanasan 1 4 minggu terlihat belum dapat
mengurangi insiden gejala virus. Berbeda dengan waktu pemanasan 5
8 minggu serangan gejala virus secara visual menurun.
Pada umur pengamatan 2 dan 4 minggu setelah tanam gejala
nampak sangat jelas mudah dibedakan antara tanaman yang terinfeksi
virus dengan yang tidak. Selanjutnya pada umur 8 MST gejala mulai sulit
diamati secara visual dan intensitasnya terus menurun, gejala menjadi
laten dengan bertambahnya umur tanaman.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
721
Tabel 4. Pengaruh suhu (S) dan waktu pemanasan (L) serta interaksinya terhadap insiden gejala
virus (%) pada bawang putih Lumbu Hijau pada pengamatan 2 dan 8 MST
Perlakuan
Suhu (S)
Waktu Pemanasan (L).minggu

1 2 3 4 5 6 7 8
Rata-rata
Perlakuan
Suhu (S)
Pengamatan pada umur 2 MST
30 C (S1)
37 C (S2)
10,85 b
6,25 c
5,00 c
0,00 d
14,50 a
7,50 bc
1,25 d
5,25 c
0,75 d
0,00 d
0,50 d
0,00 d
0,50 d
0,00 d
0,50 d
0,00 d
4,23 A
2,37 B
Rata-rata
waktu
Pemanasan
(L)
8,55 B 2,50 C 11,00 A 3,25 C 0,37 D 0,25 D 0,25 C 0,25 D

Pengamatan pada umur 4 MST
30 C (S1)
37 C (S2)
10,75 c
2,75 c
15,75 a
17,75 a
17,50 a
9,75 b
13,25 b
4,25 b
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
7,16 A
4,31 B
Rata-rata
waktu
Pemanasan
(L)
6,75 C 16,75 A 13,62 B 8,75 C 0,00 D 0,00 D 0,00 D 0,00 D

Pengamatan pada umur 8 MST
30 C (S1)
37 C (S2)
15,00 a
17,00 a
15,00 a
14,50 b
7,50 b
13,25 c
2,38 c
0,13 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
0,00 d
4,98 A
5,61 A
Rata-rata
waktu
Pemanasan
(L)
16,00 A 14,75 B 10,37 C 1,25 D 0,00 D 0,00 D 0,00 D 0,00 D


Keterangan : - MST = Minggu setelah tanam
- Analisis data dilakukan setelah data asli ditransformasi ke Arsin (X)
- Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada tiap waktu pengamatan menunjukkan tidak
ada perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5 %. Huruf kecil menyatakan
perbedaan pada interaksi perlakuan. Huruf besar menurut kolom menyatakan rata-rata perlakuan
suhu (S). Huruf besar menurut baris menyatakan rata-rata perlakuan waktu pemanasan (L).


Pengaruh perlakuan terhadap keenam parameter dapat dilihat
pada (Tabel 6) di bawah ini. Tampak perlakuan suhu penyimpanan pada
benih umbi bawang putih berpengaruh positif terhadap kandungan virus
SLV, OYDV dan GCLV. Perkembangan ketiga jenis virus tersebut dapat
ditekan pada suhu 30 C dan 37 C dengan waktu pemanasan benih umbi
selama 4 -5 minggu, sedangkan persentase umbi yang tumbuh tidak
dipengaruhi oleh perlakuan. Perlakuan pada suhu 30 C dan dan 37 C
dengan waktu pemanasan 1 4 minggu berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman, terlihat tinggi tanaman dan jumlah daun tinggi
dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan tersebut berpengaruh pula
terhadap perkembangan gejala virus pada umur 2 dan 4 minggu MST.
Gejala virus mudah diamati secara visual, sehingga memudahkan apabila
akan melakukan pencabutan tanaman yang terinfeksi virus di lapangan







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
722
Tabel 5. Pengaruh suhu (S) dan waktu pemanasan (L) serta interaksinya terhadap intensitas gejala
virus (%) pada bawang putih Lumbu Hijau pada pengamatan 2 dan 8 MST
Waktu Pemanasan (L).minggu
Perlakuan
(Suhu (S) 1 2 3 4 5 6 7 8
Rata-rata
Perlakuan
Suhu (S)
Pengamatan pada umur 2 MST
30 C (S1)
37 C (S2)

19,50 a
13,25 b

9,00 c
0,00 f

14,00 b
2,00 de

4,50 cd
12,50 b

0,50 ef
0,00 f

1,50 ef
0,00 f

0,25 ef
0,00 f

0,25 ef
0,00 f

6,19 A
3,47 B
Rata-rata waktu
Pemanasan (L)
16,37 A 4,50 C 8,00 B 8,50 B 0,25 D 0,75 D 0,12 D 0,12 D

Pengamatan pada umur 4 MST
30 C (S1)
37 C (S2)

4,50 bc
1,00 bc

13,75 a
10,00 a

8,00 ab
4,00 bcd

4,50 bc
4,25 bcd

0,00 e
0,00 e

0,00 e
0,00 e

0,00 e
0,00 e

0,00 e
0,00 e

3,84 A
2,41 B
Rata-rata waktu
Pemanasan (L)
2,75 C 11,87 A 6,00 B 4,37 BC 0,00 D 0,00 D 0,00 D 0,00 D

Pengamatan pada umur 8 MST
30 C (S1)
37 C (S2)

9,75 a
7,25 a

8,50 a
7,75 ab

2,75 c
5,75 b

1,13 d
0,13 e

0,00 e
0,00 e

0,00 e
0,00 e

0,00 e
0,00 e

0,00 e
0,00 e

2,77 A
2,57 A
Rata-rata waktu
Pemanasan (L)
8,50A 8,12 A 4,25 B 0,63 C 0,00 C 0,00 C 0,00 C 0,00 C


Keterangan : - MST = Minggu setelah tanam
- Analisis data dilakukan setelah data asli ditransformasi ke Arsin (X)
- Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada tiap waktu pengamatan menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan taraf 5 %. Huruf kecil
menyatakan perbedaan pada interaksi perlakuan. Huruf besar menurut kolom menyatakan rata-
rata perlakuan suhu (S). Huruf besar menurut baris menyatakan rata-rata perlakuan waktu
pemanasan (L).

Tabel 6. Pengaruh perlakuan terhadap keenam berbagai parameter
Perlakuan
% umbi
tumbuh
Tinggi
Jmh
daun
Insiden Intensitas
Kandungan
virus
Suhu (S) - - - + + +
Waktu Pemanasan (L) - + + + + +
(S) X (L) - + + + + +
Keterangan : - = tidak berpengaruh ; + = berpengaruh

KESIMPULAN

Secara umum hasil percobaan menunjukkan bahwa:
1) Suhu penyimpanan benih umbi bawang putih 30 C dan 37 C yang
dikombinasikan dengan lamanya penyimpanan sampai 8 minggu
tidak menghambat terhadap persentase benih umbi yang tumbuh.
2) Pertumbuhan tanaman (tinggi dan jumlah daun) bawang putih yang
disimpan pada suhu 30 C dan 37 C selama 1 4 minggu lebih tinggi
dibandingkan dengan umbi yang disimpan 5 - 8 minggu.
3) Suhu penyimpanan 30 C yang dikombinasikan dengan lamanya
penyimpanan 5 minggu dapat mengurangi persistensi dan degradasi
kandungan virus SLV (Shallot Latent Virus), OYDV (Onion Yellow
Dwarf Virus) dan GCLV (Garlic Common Latent Virus) dalam benih
umbi bawang putih dan dapat menekan gejala virus secara visual.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
723

DAFTAR PUSTAKA

1. AVRDC. 2000. Workshop on Virus Elimination and Indexing of Garlic
and Shallot (6-24 March 2000). AVRDC, Shanhua- Taiwan. Virus and
Methods Covered in the Practicals AVRDC (Asian Vegetable
Research and Development Center Federal Biological Research
Centre for Agriculture and Forestry (BBA) Braunschweig, Germany.
40 p.
2. Badan Pusat Statistik. 2006 Survai Pertanian. Statistik Tanaman
Sayuran dan Buah buahan. Badan Pusat Statistik. Jakarta
Indonesia. Katalog BPS: 5216. 48 hal.
3. Dijk V.P. and R. Sutarya. 1992. Virus Diseases of Shallot, Garlic and
Welsh Onion in Java. Indonesia and Prospect of their Control.
Manuscrip for Onion News letter for the Tropics. No. 4. NRI. UK. : p 57
61.
4. Gunaeni, N. dan R. Sutarya. 1995. Kehilangan Hasil dan
Pengendalian Penyakit Penting yang Disebabkan oleh Virus pada
Bawang Putih. Prosiding. Seminar Ilmiah Nasional Komoditas
Sayuran. Lembang 24 Oktober 1995. Balitsa Bekerjasama dengan P
F I Komda Bandung dan CIBA Plant Protection 1996. hal : 558 567.
5. Vilma C. Conci and S.F. Nome. 1991. Virus Free Garlic (Allium
sativum L.) Plant Obtained by Thermotherapy and meristem Tip
Culture. Journal Phytopathology 132, 186 192 (1991) 1991 Paul
Parey Scientific Publishers, Berlin and Hamburg. ISSN 0931 1785.
6. Walkey, D.G.A. 1990. Virus Diseases. In Rabinowitch, H.D. and J.L.
Brewster (Eds.) Onion and Allied Crops. Volume II. CRC Press, Inc.,
Boca Raton, Florida: 191-212.
7. Walkey, D.G.A., M.J.W. Webb, C.J. Bolland and A. Miller. 1987.
Produktion of Virus Free Garlic (Allium sativum) and Shallot (A.
ascalonicum) by Meristem Tip Culture. J. of Hort. Sci. 62 (2) : 211
220.
8. Muharam, A., Y. Sulyo dan A.K. Karyadi. 1992. Pembebasan Virus
pada Umbi Bawang Putih; Kultur Jaringan dan Pemanasan Kering
Umbi. Bul. Penel. Hort. 23 (2) : 95 114.







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
724

KETAHANAN BEBERAPA KULTIVAR TOMAT
(Lycopersicon esculentum) TERHADAP PENYAKIT BECAK KERING
(Alternaria solani) DAN VIRUS KUNING KERITING

Eli Korlina, Martinus Sugiarto, dan Abu


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso Km. 4 PO. Box 188 Malang, Tlp. (0341) 494052


ABSTRAK. Korlina E, M. Sugiarto dan Abu. 2007. Ketahanan beberapa
kultivar tomat (Lycopersicon esculentum) terhadap penyakit becak kering
dan virus kuning keriting. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
kultivar yang tahan terhadap penyakit becak kering dan virus kuning
keriting pada penanaman tomat. Penelitian dilakukan mulai bulan
Nopember 2006 sampai dengan Maret 2007 di Karangploso Malang.
Rancangan percobaan yang digunakan Acak Kelompok dengan empat
ulangan. Perlakuan terdiri dari lima kultivar tomat yaitu Sinta, Santika,
Mira, MTH 103 dan Permata. Hasil penelitian diperoleh bahwa tidak ada
satupun kultivar tomat yang tahan terhadap penyakit becak kering
maupun virus. Kultivar Sinta dan Permata termasuk klasifikasi peka
terhadap penyakit becak kering dengan intensitas serangan 42,5%-
46,25%, sedangkan kultivar Santika, Mira dan MTH 103 termasuk
klasifikasi sangat peka (51,25%-53,25%). Respons terhadap penyakit
virus diperoleh hasil bahwa kultivar Sinta, Santika dan Permata termasuk
agak peka (36,56%-47,81%), sedangkan kultivar Mira dan 103 termasuk
klasifikasi peka (51,25%-62,19%).

Kata kunci : Lycopersicon esculentum; Ketahanan; Alternaria solani; Virus
Kuning Keriting


PENDAHULUAN

Penyakit becak kering atau becak coklat pada tomat yang
disebabkan oleh Alternaria solani dan Geminivirus merupakan penyakit
penting dan berbahaya pada tomat. Gejala becak kering umumnya
terdapat pada daun berupa becak-becak kecil, bulat atau bersudut, coklat
tua sampai hitam. Jaringan nekrotik tampak berwarna coklat dengan
lingkaran-lingkaran sepusat. Selain pada daun, gejala terdapat juga pada
batang yang menyebabkan terjadinya becak gelap. Jika infeksi terjadi
dekat percabangan, cabang akan mudah patah jika buah membesar
(Semangun, 2000).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
725
Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa serangan virus yang paling banyak
menyerang tanaman tomat dan cabai adalah virus dari kelompok
Geminivirus seperti Tomato Yellow Leaf Curl Virus (TYLCV) atau virus
kuning keriting. Penyebaran Geminivirus di Indonesia meliputi wilayah
Lampung, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, dan Sumatera Barat (Sugiarman, 2002).
Intensitas serangan berkisar antara 10-35% untuk cabai besar dan 70-
100% untuk jenis cabai rawit (Sulandari, 2004). Gejala awal virus kuning
keriting adalah daun muda atau pucuk daun cekung dan mengkerut
dengan warna daun mosaik ringan. Gejala selanjutnya hampir
keseluruhan daun muda atau pucuk berwarna kuning cerah, daun cekung
dan mengkerut berukuran lebih kecil dan lebih tebal. Biasanya hama
tungau dan thrips sering berasosisasi dengan gejala virus ini (Anonim,
2000).
Pengendalian yang telah dilakukan petani terhadap kedua jenis
penyakit tersebut dengan menggunakan pestisida. Namun penggunaan
pestisida yang terus menerus dengan dosis yang tidak tepat
mengakibatkan biaya pemeliharaan semakin mahal dan mencemari
lingkungan. Dalam rangka mendapatkan kultivar unggul yang baik
sebagai pilihan petani dalam memilih tanaman tomat yang tahan terhadap
penyakit becak kering dan virus, maka penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui adanya kultivar yang tahan terhadap penyakit
becak kering dan virus kuning keriting pada penanaman tomat di Malang.


BAHAN DAN METODE

Percobaan dilaksanakan di lahan petani Karangploso Malang,
berada pada ketinggian 450 m di atas permukaan laut. Pelaksanaan
percobaan mulai bulan Nopember 2006 sampai dengan Maret 2007,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan empat ulangan.
Perlakuan terdiri dari lima kultivar tomat yaitu Sinta, Santika, Mira, MTH
103 dan Permata. Tiap ulangan terdiri dari lima guludan, dengan ukuran
plot masing-masing ulangan/kultivar 60 m
2
Contoh tanaman yang
diamati sebanyak 20 tanaman.
Pemupukan dilakukan sebanyak 20-30 ton pupuk kandang sapi,
428 kg/ha ZA, 417 kg/ha SP 36 dan 200 kg/ha KCl diberikan ke dalam
tanah sebelum tanam di lapangan. Pupuk ZA susulan diberikan pada
tanaman sebanyak 214 kg/ha pada umur 20 hari setelah tanam dan 214
kg/ha pada umur 40 hari setelah tanam. Bibit tomat siap tanam di


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
726
lapangan pada umur 3 minggu dari pesemaian, Sebelum ditanami lahan
diberi mulsa plastik hitam perak, penyulaman dilakukan untuk mengganti
tanaman yang mati, yaitu sekitar 7 hari setelah tanam. Pemeliharaan
dilakukan secara optimal meliputi pewiwilan, pengairan, pengendalian
hama dan penyakit serta penyiangan.
Pengamatan dilakukan terhadap intensitas serangan (untuk
penyakit becak kering), luas serangan (untuk penyakit virus) dan produksi
(jumlah dan bobot buah). Pengamatan di lapang untuk penyakit becak
kering dilakukan dengan sistem perangkaan sbb :0 = tidak ada serangan,
1 = daun yang terserang mencapai 10%, 2 = daun yang terserang
mencapai 20-30%, 3 = daun yang terserang mencapai 40 50%, 4 =
daun yang terserang mencapai 60-70%, 5 = daun yang terserang > 70%.
Tingkat kerusakan pada daun ditentukan dengan rumus :

(n x v)
I = ------------------ x 100 %
N x V

I = Intensitas serangan
n = Banyaknya tanaman yang diamati untuk setiap
kategori serangan
v = Nilai skala dari setiap kategori serangan
N = Jumlah tanaman yang diamati
V = Nilai skala dari kategori serangan tertinggi

Berdasarkan intensitas serangan penyakit dari gejala becak kering,
maka reaksinya dikelompokkan berdasarkan nilai ketahanan yang
diadopsi dari Dwiastuti dan Djoemaijah (2000) sebagai berikut :Imun = 0;
tahan = 0<x<5; agak tahan = 5<x<10; agak peka = 10<x<25; peka =
25<x<50; sangat peka = >50
Sedangkan untuk penyakit virus dihitung dengan menggunakan
rumus :
a
P = ----------------- x 100 % :
( a + b )

P = Persentase tanaman terserang
a = Jumlah tanaman terserang
b = Jumlah tanaman yang diamati



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
727
Dari hasil perhitungan luas serangan maka reaksinya terhadap
penyakit virus kuning dikelompokkan berdasarkan nilai ketahanan yang
diadopsi dari (Sutarya 1993 ) sebagai berikut :
Imun = 0; tahan = >0-10; agak tahan = 10,1-30; agak peka = 30,1-50;
peka = >50. Pengamatan dilakukan mulai 2 minggu setelah tanam,
dengan selang waktu pengamatan 2 minggu sekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Serangan penyakit becak kering mulai menimbulkan gejala pada
tanaman tomat umur 14 hari setelah tanam (hst). Umumnya gejala
pertama terjadi pada daun yang dekat dengan permukaan tanah dengan
bentuk gejala berupa becak kecil, bersudut, berwarna coklat tua sampai
hitam. Lama kelamaan becak membesar dan menyebabkan kematian
jaringan nekrotik, selain pada daun gejala juga muncul pada batang dan
tangkai daun. Lucas et al. (1985) menyatakan bahwa, gejala becak kering
umumnya konsentris melingkar akibat pengaruh spot, gejala yang
berwarna coklat sampai hitam terdapat juga pada cabang dan batang
tanaman.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua kultivar tomat
peka terhadap serangan penyakit becak kering dan secara analisis sidik
ragam tidak berbeda nyata antara jenis kultivar (Tabel 1), dari pertama
gejala muncul pada umur 14 hst sampai 42 hst. Pada awal pengamatan
yaitu pada umur 14 hst, rata-rata intensitas serangan becak kering
berkisar antara 7,75%-13,75%. Peningkatan gejala tertinggi diperlihatkan
oleh kultivar Santika dari 12,75% pada umur 14 hst menjadi 33% pada
umur 28 hst. Sedangkan pada umur 42 hst gejala hampir merata dengan
rata-rata serangan 42,5% - 53,25%.

T

abel 1. Intensitas serangan penyakit becak kering pada beberapa kultivar tanaman tomat
Intensitas serangan penyakit (%)
Kultivar
2 MST
*)
4 MST 6 MST
Sinta
Santika
Mira
MTH 103
Permata
1, 14 a**)
4,93 a
5,68 a
6,67 a
1,52 a
9,57 a
6,82 a
4,92 a
10,54 a
2,28 a
36,56 a
47,81 a
51,25 a
62,19 a
39,38 a

Keterangan :
*)
MST = Minggu setelah tanam
**)
Angka sekolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
Duncan 5%



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
728
Pengamatan virus ditujukan terhadap semua tanaman yang
memperlihatkan gejala virus kuning, yaitu dengan cara menghitung semua
tanaman yang bergejala per petak perlakuan. Rata-rata gejala serangan
virus dan perkembangannya diperlihatkan pada Tabel 2. Pada awal
pengamatan (tanaman berumur 2 hst), nampak bahwa kultivar Sinta
memperlihatkan luas serangan terendah (1,14%), diikuti oleh kultivar
Permata (1,52%) dan serangan tertinggi pada kultivar MTH 103 (6,67%),
namun secara analisis statistik tidak ada perbedaan yang nyata. Pada
pengamatan selanjutnya gejala serangan virus pada semua kultivar
semakin bertambah, hal ini terjadi karena sumber infeksi yaitu tanaman
tomat yang terserang virus serta vektornya (Bemisia tabaci) sudah ada di
lahan. Menurut Gunaeni et al. (2005) tanaman cabai yang diberi
perlakuan Menochilus sexmaculatus sebagai predator B. tabaci, sejak
awal tanam yaitu 2 minggu setelah tanam dan insektisida Confidor 200 SL
dapat menekan perkembangan penyakit virus gemini dan vektornya
dengan persentase penghambatan sebesar 72,18%.

Tabel 2. Luas serangan penyakit virus kuning keriting pada beberapa kultivar tanaman tomat

Luas serangan penyakit virus (%)
Kultivar
2 MST
*)
4 MST 6 MST
Sinta
Santika
Mira
MTH 103
Permata
1,14 a
**)
4,93 a
5,68 a
6,67 a
1,52 a
9,47 b
6,82 ab
4,92 ab
10,54 ab
2,28 a
36,56 a
47,81 b
51,25 b
62,19 c
39,38 a

Keterangan :
*)
MST = Minggu setelah tanam
**)
Angka sekolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
Duncan 5%


Berdasarkan lima kultivar tomat yang diuji terhadap becak kering
dan virus kuning keriting, tidak terdapat satupun kultivar yang termasuk
ke dalam kategori tahan. Kisaran tingkat ketahanan dari kultivar tomat
untuk penyakit becak kering berada antara peka sampai sangat peka,
sedangkan reaksinya terhadap virus berada antara agak peka sampai
peka. Reaksi dari setiap kultivar tomat yang diuji dapat dilihat pada Tabel
3. Dari Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa kultivar Sinta dan Permata
termasuk ke dalam kategori peka. Santika, Mira dan MTH 103 termasuk
sangat peka terhadap penyakit becak kering. Sedangkan ketahanannya
terhadap virus kuning keriting, kultivar Sinta, Santika dan Permata
termasuk agak peka, Mira dan MTH 103 termasuk kategori peka.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
729
Tabel 3. Respons dari beberapa kultivar tanaman tomat terhadap penyakit becak kering dan virus
kuning keriting


Kultivar

Intensitas serangan
penyakit becak kering
Tingkat
resistensi
Luas serangan
penyakit virus
Tingkat
resistensi
Sinta
Santika
Mira
MTH 103
Permata
42,50 a
*)
51,25 a
53,25 a
52,50 a
46,25 a
Peka
Sangat peka
Sangat peka
Sangat peka
Peka
36,56 a
*)
47,81 b
51,25 b
62,19 c
39,38 a
Agak peka
Agak peka
Peka
Peka
Agak peka

*) Angka sekolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
Duncan 5%

Hasil analisis statistik terhadap produksi tomat menunjukkan
bahwa kultivar Sinta yang peka terhadap penyakit becak kering dan agak
peka terhadap penyakit virus kuning keriting, dapat menghasilkan
produksi dengan bobot per buah sebesar 63,12 g dan bobot buah per
pohon sebesar 4,02 kg (Tabel 4), lebih tinggi daripada kultivar Permata
yang sudah banyak dikenal petani. Ditinjau dari uji ketahanan terhadap
penyakit becak kering dan virus kuning keriting serta hubungannya
dengan produksi, maka kultivar Sinta dan Santika dapat dikembangkan
sebagai alternatif kultivar tomat pilihan selain jenis tomat yang sudah ada.

Tabel 4. Bobot dan jumlah buah tomat per pohon


Kultivar


Bobot / buah (g)

Jumlah buah/pohon Bobot buah/pohon (kg)
Sinta
Santika
Mira
MTH 103
Permata
63,12 b
*)
49,09 a
49,71 a
84,13 c
41,33 a
64,40 a
107,44 c
94,13 bc
62,53 a
85,67 a
4,02 ab
5,28 bc
4,59 abc
5,41 c
3,54 a

*) Angka sekolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji
Duncan 5%

KESIMPULAN

Kultivar Sinta dan Santika termasuk klasifikasi peka dan sangat
peka terhadap penyakit becak kering dengan intensitas serangan 42,5%-
51,25%. Kedua kultivar ini agak peka terhadap penyakit virus (36,56%-
47,81%), dengan bobot buah per pohon masing-masing. sebesar 4,02 kg
dan 5,28 kg, sehingga kedua kultivar tersebut dapat dijadikan alternatif
pilihan dalam menanam tomat. Sedangkan kultivar Mira dan MTH 103
termasuk klasifikasi sangat peka terhadap penyakit becak kering (51,25%-


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
730
53,25%) dan respons terhadap penyakit virus termasuk peka (51,25%-
62,19%).

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2000. Crop Protection Compendium (CPC) Global Module,
2nd Edition. CAB International.
2. Dwiastuti, ME dan Djoemaijah. 2000. Ketahanan Beberapa Klon
Kentang terhadap Phytophthora infestans Mont.d. By, di Sumber
Brantas. J. Hort. 10 (1) : 24 29.
3. Gunaeni, N., W. Setiawati, A.S. Duriat, T.S. Uhan, A. Soemantri,
2005. Model Osilasi OPT Penting (Virus Gemini dan Bemisia tabaci)
Musuh Alami dan Penggunaan Pestisida Secara Rasional pada
Pertanaman Cabai. Laporan Hasil Penelitian. Balitsa Lembang. 11
hal.
4. Hartono, S. 2006. Pengelolaan Tanaman Terpadu dalam Upaya
Pengendalian Virus Kuning pada Cabai. Makalah disampaikan pada
Pertemuan Apresiasi Penanggulangan OPT Tanaman Sayuran,
Direktorat Jenderal Hortikultura, Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura. Pada tanggal 3-6 Oktober 2006 di Nganjuk Jatim.
5. Lucas, G.B., C.L. Campbell and L.T. Lucas. 1985. Introduction to
Plant Diseases Identification and Management. The Avi Publish.
Comp. 313 p.
6. Semangun H. 2000. Penyakit Penyakit Tanaman Hortikultura di
Indonesia. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada Press.
7. Sugiarman. 2002. Perkembangan Penyakit Kuning dan Daun Keriting
pada Tanaman Sayuran di Indonesia. Seminar Regional VI PFI
Komda Jateng & DIY Yogyakarta, 10-11 Januari 2002.
8. Sulandari, S. 2004. Karakterisasi Biologi, Serologi dan Analisis Sidik
Jari DNA Virus Penyebab Penyebab Daun Keriting Kuning Cabai.
[Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana.
9. Sutarya, R. E. Purwati dan A.S. Duriat. 1993. Pengujian Resistensi
Beberapa Genotipe Tomat (Lycopercicon esculentum Mill.) terhadap
CMV (Cucumber Mosaic Virus). Bul. Penel. Hort. Vol. XXVI (1) : 9
14.







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
731

SELEKTIVITAS FORMULASI EKSTRAK BIJI Barringtonia asiatica L.
(LECYTHIDACEAE) TERHADAP ULAT KROP KUBIS Crocidolomia
pavonana (F). DAN PARASITOID TELUR Trichogramma spp. SERTA
DAMPAKNYA TERHADAP BIBIT TANAMAN BRASSICACEAE

Danar Dono
1*)
dan Vahmi Abdurrohim
2)


1)Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung 40600
e-mail : danardono21@yahoo.com

2)Alumnus Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung 40600


ABSTRAK. Ekstrak biji Barringtonia asiatica berpotensi untuk
pengendalian larva Crocidolomia pavonana. Percobaan dilakukan untuk
mengetahui keefektifan formulasi ekstrak biji B. asiatica, dan pengaruhnya
terhadap kemunculan Trichogramma spp. dan fitotoksisitasnya terhadap
bibit tanaman kubis (Brassica oleracea L var capitata), brokoli (B. oleracea
L. var italic Plenck), sawi (B. juncea) dan blumkol (B. oleracea L. var
alboglabra Bailey). Pengujian terhadap mortalitas C. pavonana
menggunakan metode pencelupan daun sawi pakan. Pengujian
kemunculan Trichogramma spp. dan fitotoksik menggunakan metode
penyemprotan dengan konsentrasi formulasi 2%. Formulasi yang diuji
yaitu ekstrak biji B. asiatica berbentuk Liquid (L) dan Wettable Powder
(WP) baik dengan atau tanpa penambahan minyak wijen sebagai sinergis
(30L, 30L Sinergi, 30WP dan 30 WP Sinergi). Percobaan dilaksanakan
mulai Mei sampai Nopember 2007 di Laboratorium Pestisida dan Teknik
Aplikasi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Padjdjaran, Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semua bentuk formulasi ekstrak biji B. asiatica yang diuji mengakibatkan
mortalitas larva C. pavonana yang sebanding dengan B. thuringiensis, dan
Profenofos. Formulasi ekstrak B. asiatica tidak berpengaruh terhadap
kemunculan imago Trichogramma spp. dan tidak fitotoksik terhadap bibit
tanaman Brassicaceae. Formulasi ekstrak biji B. asiatica berpeluang
dikembangkan sebagai insektisida nabati yang ramah lingkungan dan
sesuai dengan konsep pengelolaan hama terpadu (PHT) untuk
pengendalian ulat krop kubis C. pavonana karena efektif terhadap hama
sasaran, aman terhadap musuh alami dan tidak fitotoksik.

Kata kunci : Formulasi, Toksisitas, Fitotoksisitas, Ekstrak Biji Barringtonia
asiatica, Crocidolomia pavonana, Trichogramma spp,,
Brassicaceae





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
732

PENDAHULUAN

Pestisida nabati merupakan salah satu alternatif dalam
mengendalikan serangga hama yang layak dikembangkan, karena
senyawa toksik yang terkandung dari tumbuhan tersebut mudah terurai di
lingkungan dan relatif aman terhadap organisme bukan sasaran (Martono
dkk, 2004). Selain bersifat toksik terhadap serangga, pestisida nabati
dapat mempengaruhi kehidupan serangga, seperti penghambat aktivitas
makan, menghambat perkembangan, dan reproduksi serangga
(Syahputra, 2005).
Berbagai jenis tanaman yang memiliki kandungan saponin
berpengaruh terhadap larva yang dapat menghambat aktivitas makan,
antara lain terdapat pada tanaman Barringtonia asiatica L.
(Lecythidaceae) (Kardinan, 2005). Burton (2003) melaporkan bahwa
kandungan B. asiatica dapat dikembangkan sebagai pestisida, namun
dibeberapa tempat lainnya seperti di Filipina, B. asiatica dijadikan sebagai
obat tradisional (Ecology and Evolutionary Biology Greenhouses, 2005)
ada juga yang mengembangkannya menjadi racun ikan (The Cook Islands
Natural Heritage Trust, 2005).
Aktivitas biologi B. asiatica sebagai pestisida diuji juga oleh Dono
dan Sujana (2007) terhadap larva Crocidolomia pavonana F. (Lepidoptera:
Pyralidae) menggunakan ekstrak metanol dari beberapa bagian tanaman
B. asiatica, seperti kulit batang, daun, dan biji. Hasil pengujian
menunjukan bahwa ekstrak biji mengakibatkan mortalitas paling tinggi
terhadap serangga uji dibandingkan ekstrak bagian tanaman lainnya
dengan nilai lethal concentration 50 (LC
50
) sebesar 0,75%. Menurut Herlt
et al. (2002) ekstrak metanol biji B. asiatica mengakibatkan
penghambatan makan terladap larva Epilachna sp.
Untuk memudahkan aplikasi pestisida nabati di lapangan, ekstrak
biji B. asiatica perlu dibuat dalam bentuk formulasi. Formulasi pestisida
merupakan suatu pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan sifat-
sifat yang berhubungan dengan keamanan, penyimpanan, penggunaan,
dan keefektifan pestisida (Prijono, 1999; Tarumingkeng, 2001)
Menurut Untung (2004) pestisida yang memiliki selektivitas
ekologi diantaranya tidak membunuh musuh alami, tidak fitotoksik
terhadap tanaman, dan selektif terhadap sasaran. Menurut Prijono dkk.
(1999) berdasarkan dari ketersediaan bahan baku di alam dan peluang
pengembangannya maka bahan mentah harus cukup banyak tersedia dan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
733
senyawa aktif yang terkandung harus mudah diekstraksikan dan
diformulasikan serta kandungan bahan aktifnya mudah dianalisis.
Pengujian keamanan terhadap organisme bukan sasaran dan
lingkungan suatu pestisida menjadi pertimbangan kelayakan
pengembangan dalam bentuk formulasi. Oleh karena itu, pada penelitian
ini akan diuji toksisitas formulasi ekstrak biji B. asiatica terhadap hama
sasaran C. pavonana, parasitoid telur Trichogramma spp., dan
fitotoksisitas formulasi tersebut terhadap bibit tanaman Brasicaceae.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan mulai Mei sampai Nopember 2007 di
Laboratorium Pestisida dan Teknik Aplikasi, Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjdjaran, Bandung.

Ekstraksi Biji B. asiatica
Biji B. asiatica diperoleh dari daerah Jatinangor dipotong-potong
bagian bijinya, kemudian dikeringudarakan. Biji yang telah kering udara
tersebut diblender kemudian direndam selama 3 hari dengan pelarut
metanol. Hasil rendaman kemudian disaring dengan kertas saring, lalu
diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu 55-60
0
C. Dari
serbuk biji sebanyak 1160 g (kadar air: 14,34%) diperoleh hasil ekstrak
sebanyak 406,73 g (rendemen 40,93%).

Formulasi Pestisida Nabati Ekstraksi Biji B. asiatica
Formulasi dibuat dari ekstrak biji B. asiatica berbentuk Liquid (L)
dan Wettable Powder (WP), dengan bentuk formulasi 30L, 30L Sinergi, 30
WP dan 30 WP Sinergi. Formulasi bentuk L dengan komposisi ekstrak biji
B. asiatica sebanyak 30 g (30%), 2,5 ml alkilaril poliglikoliter, 2,5 ml
pengemulsi tween 80 dan metanol hingga volumenya menjadi 100ml.
Untuk 30L Sinergi ditambah minyak wijen komersil (sinergi : bahan ekstrak
=1:10). Pembuatan formulasi bentuk WP dilakukan dengan
mencampurkan ekstrak biji B. asiatica sebanyak 30 g (30%), 2,5 ml
alkilaril poliglikoleter, 2,5 ml pengemulsi tween 80, kemudian ditambahkan
kaolin hingga bobot akhir 100 g. Campuran bahan-bahan tersebut
kemudian ditambahkan metanol 300 ml hingga campuran merata.
Campuran tersebut kemudian diuapkan pelarutnya hingga diperoleh
tepung (powder). Untuk formulasi 30WP Sinergi dibuat dengan cara yang


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




sama, tetapi dengan penambahan minyak wijen komersil (sinergi : bahan
ekstrak =1:10).

Uji Toksisitas Formulasi Ekstrak biji B. asiatica terhadap Larva C.
pavonana
Uji toksisitas menggunakan formulasi L, L+Sinergis, WP, dan
WP+Sinergis dengan pengencer akuades. Banyaknya bahan yang
digunakan pada perlakuan bentuk formulasi L sebanyak 0,2 ml (2%
konsentrasi formulasi) dan bentuk formulasi WP sebanyak 0,2 g dan
diencerkan pada aquades sebanyak 10 ml. Bahan aktif yang terkandung
pada tiap perlakuan insektisida nabati sebanyak 0,6%. B. thuringiensis
(0,2 g) di larutkan ke dalam 10 ml akuades (0,2% konsentrasi formulasi)
dan profenofos (0,2 ml Curacron 500 EC) di larutkan ke dalam 10 ml
akuades (0,2% konsentrasi formulasi).
Pelaksanaan pengujian efektifitas insektisida formulasi ekstrak biji
B. asiatica pada larva C. pavonana sebagai berikut; dua potongan daun
sawi berukuran 4 cm x 4 cm dicelupkan ke dalam masing-masing
campuran, sehingga membasahi kedua sisi permukaan daun secara
merata. Daun sawi yang telah dikering-udarakan dimasukkan ke dalam
kotak plastik berukuran 10 cm x 10 cm x 5 cm yang telah dialasi tissue.
Sepuluh larva C. pavonana instar II awal dimasukkan ke dalam tiap kotak
pengujian. Larva diberi pakan daun berperlakuan selama tiga hari,
selanjutnya setiap hari larva diberi pakan daun tanpa perlakuan yang baru
sampai mencapai instar IV.
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan
ulangan tiga kali. Pengamatan dilakukan setiap hari mulai satu hari
setelah perlakuan sampai larva mencapai instar IV dengan menghitung
jumlah larva C. pavonana yang mati. Mortalitas larva C. pavonana tiap
perlakuan dihitung dengan menggunakan rumus :


% 100 x
b
a
M =



Keterangan :
M = Mortalitas (%)
a = jumlah larva C. pavonana yang mati (ekor)
b = jumlah larva C. pavonana yang diuji (ekor)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
734


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Uji Formulasi Ekstrak Biji B. asiatica terhadap Kemunculan Imago
Trichogramma spp.
Parasitoid Trichogramma spp. yang digunakan berasal dari PT
PG. Rajawali Nusantara II, Jati Tujuh, Majalengka, yang berupa pias-pias
telur Corcyra cephalonica (Lepidoptera: Pyralidae) yang telah
terparasitisasi Trichogramma spp.
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh formulasi
ekstrak biji B. asiatica terhadap kemunculan imago Trichogramma spp.
Jenis formulasi dan konsentrasi formulasi yang digunakan sama dengan
pada uji toksisitas terhadap larva C. pavonana. Pengujian dilakukan
dengan cara menyemprot permukaan telur pada pias-pias yang telah
diparasitasi Trichogramma spp. sampai merata dan dikering-udarakan,
kemudian pias-pias diletakkan dalam tabung reaksi dan ditutup dengan
kapas yang diberi madu murni sebagai nutrisi. Aplikasi formulasi bahan
ekstrak biji B. asiatica dilaksanakan sehari sebelum kemunculan imago
Trichogramma spp..
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan
ulangan tiga kali. Pengamatan dilakukan segera setelah perlakuan hingga
Trichogramma spp. yang muncul mati. Kemunculan imago Trichogramma
spp. diamati setelah anggota koloni imago tersebut mati, dengan
menghitung jumlah telur yang berlubang dengan menggunakan
mikroskop. Penghitungan kemunculan parasitoid menggunakan rumus :

% 100 =
d
c
P


Keterangan :
P = Kemunculan imago Trichogramma spp. (%)
c = Jumlah telur C. cephalonica terparasit yang berlubang (ekor)
d = Jumlah telur C. cephalonica terparasit pada pias (ekor)

Uji Fitotoksisitas Formulasi Ekstrak Biji B. asiatica
Benih tanaman pada polybag berisi tanah dan pupuk kandang
dan selama pertumbuhan tanaman tanpa aplikasi pestisida. Pemeliharaan
terhadap benih dilakukan secara berkelanjutan dengan pemupukan dan
disiram tiap hari.
Bibit tanaman yang digunakan untuk uji fitotoksisitas adalah
tanaman kubis (B. oleracea var capitata), brokoli (B. oleracea var italic
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
735


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Plenck), sawi (Brassica juncea). dan blumkol (B. oleracea var alboglabra
Bailey). Pengujian dilakukan ketika tanaman berumur lima minggu setelah
tanam.
Jenis formulasi dan konsentrasi formulasi yang digunakan sama
dengan pada uji toksisitas terhadap larva C. pavonana. Pengujian
fitotoksisitas formulasi ekstrak biji B. asiatica dilakukan dengan
mengunakan metode penyemprotan langsung pada bibit tanaman.
Penyemprotan dilakukan secara terpisah hingga membasahi permukaan
tanaman uji dengan menggunakan hand sprayer. Setiap jenis formulasi
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan
ulangan tiga kali. Pengamatan dilakukan setiap hari mulai satu hari
setelah perlakuan sampai 7 hari setelah perlakuan dengan mengamati
bagian helai daun tanaman yang mengalami perubahan warna, nekrosis
atau mengalami perubahan morfologi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Formulasi Ekstrak Biji B. asiatica terhadap Larva C.
pavonana
Formulasi ekstrak biji B. asiatica menyebabkan mortalitas
terhadap larva C. pavonana. Mortalitas mulai terlihat pada hari ke-1
setelah perlakuan dan meningkat dengan tajam pada hari ke-2 hingga hari
ke-4. Pada hari ke-5 setelah perlakuan bentuk 30 WP mortalitas larva
mencapai 100%. Sedangkan 30 L + sinergis mortalitas 100% pada hari
ke-7. Berbeda dengan aplikasi B. thuringiensis dan Profenofos mortalitas
pada hari ke-1 sebesar 100% (Gambar 1).

0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
1 2 3 4 5 6 7 8 12
Hari setelah perlakuan
M
o
r
t
a
l
i
t
a
s

C
.

p
a
v
o
n
a
n
a
Kontrol
30 L
30 WP
30 L +Sin
30 WP +sin
Bt
Profenofos

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
736
Gambar 1. Persentase mortalitas larva C. pavonana pada uji formulasi
ekstrak biji B. asiatica


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
737

Senyawa toksik yang terkandung dalam ekstrak biji B. asiatica
bekerja lebih lambat dibanding pestisida pembanding berbahan aktif
Profenofos dan B. thuringiensis. Mortalitas larva akibat perlakuan
formulasi ekstrak B. asiatica tertinggi terjadi pada perlakuan formulasi 30
WP yang mengakibatkan kematian sebesar 100% pada hari ke-5. Hal ini
menunjukan bahwa formulasi insektisida ekstrak biji B. asiatica berpotensi
untuk digunakan dalam pengendalian larva C. pavonana.
Larva yang mati akibat perlakuan formulasi ekstrak biji B. asiatica
memperlihatkan tubuh larva berwarna kuning kehijauan kemudian menjadi
berwarna coklat dengan kondisi tubuh mengkerut, sedangkan larva yang
diberi perlakuan Profenofos memperlihatkan gejala berwarna coklat
sampai hitam dengan kondisi tubuhnya mengkerut.
Cara kerja pestisida formulasi ekstrak biji B. asiatica berbeda
dengan pestisida Profenofos. Cara kerja pestisida dengan bahan aktif
Profenofos bersifat sebagai racun saraf. Gejala visual kematian larva C.
pavonana akibat B. thuringiensis terlihat kulitnya lembek dan berwarna
coklat. Hal ini menunjukkan pengaruh kerja toksin dari B. thuringiensis
sebagai racun perut. Menurut Trizelia (2001), B. thuringiensis
mengakibatkan mortalitas C. pavonana dengan menyerang pencernaan
serangga. Akibat keseimbangan osmosis terganggu, sehingga ion-ion
dan air mudah masuk ke dalam sel yang menyebabkan sel mengembang
dan pecah sehingga akhirnya menyebabkan lisis (hancur).
Dari gejala visual dan waktu kematian larva uji yang diakibatkan
perlakuan insektisida formulasi ekstrak biji B. asiatica diduga lebih bersifat
racun perut daripada racun syaraf. Gejala yang ditunjukkan yaitu
lambatnya makan daun berperlakuan dan lamanya perkembangan instar.
Umumnya pada satu hari setelah perlakuan larva C. pavonana tidak
terlalu banyak makan. Formulasi ekstrak biji B. asiatica dapat
memperpanjang waktu perkembangan larva C. pavonana. Pada perlakuan
formulasi ekstrak biji B. asiatica perkembangan larva C. pavonana dari
instar II ke III berlangsung 2-4 hari, sedangkan pada kontrol waktu
perkembangan larva instar II ke III berlangsung selama 2 hari.
Penambahan minyak wijen komersil sebagai sinergis pada
formulasi 30 L (+ sinergis) menunjukkan adanya pengaruh, dengan
bertambahnya toksisitas yang ditunjukkan oleh tingkat mortalitas hingga
100% pada hari ke-8 setelah perlakuan. Menurut Untung (2001), ekstrak
wijen dapat bersifat sinergi apabila ditambahkan pada formulasi
insektisida, karena ekstrak biji wijen mengandung senyawa sesamin dan
sesamolin yang dapat meningkatkan toksisitas insektisida terhadap larva


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Lepidoptera. Bentuk formulasi 30 L yang ditambahkan sinergen ekstrak
biji wijen mempertinggi tingkat toksisitas, yang ditunjukkan dengan adanya
mortalitas hingga 100% pada hari ke-5.
Biji B. asiatica mengandung senyawa yang dapat menghambat
aktivitas makan (antifeedant). Seperti halnya yang diujikan Dono dan
Sujana (2007), bahwa gejala antifeedan yang terjadi pada larva C.
pavonana karena ekstrak metanol biji B. asiatica, dengan menunjukan
kondisi larva tidak melakukan aktivitas makan meskipun pakan telah
diganti dengan pakan tanpa perlakuan karena senyawa antifedan jika
mempengaruhi sistem penerimaan rangsangan akan menghalangi
pengiriman sinyal reseptor perasa.

Pengaruh Formulasi Ekstrak Biji B. asiatica terhadap Kemunculan
Koloni Parasitoid Telur Trichogramma spp.
Kemunculan Trichogramma spp. dari telur inang alternatif C.
cephalonica yang diberi perlakuan formulasi ekstrak biji B. asiatica
sebanding dengan perlakuan kontrol dan pestisida pembanding yaitu B.
thuringiensis. Pada perlakuan pestisida berbahan aktif Profenofos tidak
ditemukan Trichogramma spp. yang berkembang menjadi imago.
Pada perlakuan menggunakan formulasi 30 WP dan 30 L,
persentasi kemunculan imago Trichogramma spp. secara berturut-turut
adalah 97% dan 98% yang sebanding dengan menggunakan kontrol yaitu
95,7% dan perlakuan menggunakan B. thuringiensis sebesar 97,2%.
(Gambar 2).

0
20
40
60
80
100
120
Perlakuan
K
e
m
u
n
c
u
l
a
n

p
a
r
a
s
i
t
o
i
d

(
%
)
Kontrol
30 WP
30 L
30 WP +Sinergi
30 L +Sinergi
Bt
Profenofos

Gambar 2. Persentase kemunculan imago Trichogramma spp. yang mendapat
perlakuan formulasi ekstrak biji B. asiatica

Pada perlakuan dengan menggunakan profenofos tidak
ditemukan kemunculan imago Trichogramma spp. karena bahan aktif
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
738


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Profenofos bersifat racun kontak sehingga racun tersebut terserap ke
dalam embrio telur melalui selaput di permukaan telur atau ketika imago
akan keluar dari telur akan kontak langsung dengan bahan aktifnya.
Sedangkan perlakuan formulasi bahan ekstrak biji B. asiatica dan
perlakuan B. thuringiensis bersifat racun perut yang tidak akan
menyebabkan kematian saat imago muncul.
Koloni imago parasitoid Trichogramma spp. muncul pada hari ke-1
setelah perlakuan, sedangkan perlakuan menggunakan insektisida sintetik
berbahan aktif Profenofos tidak terdapat kemunculan imago
Trichogramma spp., Pada perlakuan menggunakan formulasi ekstrak B.
asiatica dan insektisida berbahan aktif B. thuringiensis lama hidup koloni
sebanding dengan perlakuan Kontrol (Gambar 3). Hal tersebut
menunjukkan bahwa formulasi ekstrak biji B. asiatica relatif aman
terhadap imago parasitoid Trichogramma spp.

0
1
2
3
4
5
6
7
Perlakuan
L
a
m
a

h
i
d
u
p

k
o
l
o
n
i

i
m
a
g
o

(
h
a
r
i
)
Kontrol
30 WP
30 L
30 WP +sin
30 L +Sin
B. thuringiensis
Profenofos

Gambar 3. Lama hidup koloni imago Trichogramma spp. yang mendapat
perlakuan formulasi ekstrak biji B. asiatica

Potensi formulasi ekstrak biji B. asiatica untuk dipadukan dengan
pengendalian hayati menggunakan parasitoid setara dengan formulasi
insektisida nabati berbahan aktif ekstrak A. odorata. Formulasi insektisida
WP dan EC ekstrak A. odorata mempunyai potensi untuk dikembangkan
sebagai insektisida nabati yang dipadukan dengan pengendalian hayati
sesuai dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu efektif
terhadap hama sasaran, aman bagi organisme bukan sasaran termasuk
parasitoid di dalamnya, dan tidak mencemari lingkungan (Dono dkk.,
2007).


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
739


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
740
Fitotoksisitas Formulasi Ekstrak Biji B. asiatica terhadap Bibit
Tanaman Kubis-kubisan
Pada pengamatan hari ke-7 setelah perlakuan formulasi ekstrak
biji B. asiatica tidak menunjukkan gejala fitotoksik pada tanaman kubis,
brokoli, sawi dan blumkol kecuali pada perlakuan menggunakan
Profenofos. Gejala yang ditimbulkan akibat pengaruh insektisida
Profenofos yaitu daun mengalami klorosis pada permukaan atas hingga
bawah daun. Gejala ini tidak menyeluruh pada permukaan daun.
Perubahan gejala yang ditimbulkan terjadi pada hari ke-3 setelah diberi
perlakuan.
Berbeda dengan menggunakan bahan dari ekstrak metanol A.
odorata yang diujikan Syahputra (2005) terhadap tanaman caisin, brokoli,
tomat, jagung, dan kacang undul, menimbulkan gejala fitotoksik, berbeda
pada tanaman, bawang, dan mentimun tidak menimbulkan gejala
fitotoksik. Menggunakan ekstrak kasar A. odorata pada konsentrasi 0,5%
menyebabkan gejala fitotoksik pada tanaman kedelai dan brokoli (Prijono,
1999 ; Dono dkk., 2004).
Insektisida dengan bahan ekstrak biji B. asiatica perlu
dikembangkan mengingat bahan aktif yang dikandung tidak menyebabkan
gejala fitotoksik. Senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak metanol
biji B. asiatica relatif bersifat aman pada tanaman dengan tidak
menimbulkan gejala fitotoksik (Dono dan Sujana, 2007). Hal ini
menunjukkan pengembangan insektisida nabati dengan bahan ekstrak biji
B. asiatica. lebih baik dari ekstrak A. odorata.

KESIMPULAN

Formulasi ekstrak biji B. asiatica menimbulkan mortalitas terhadap
larva C. pavonana yang sebanding dengan pestisida biologi (B.
thuringiensis) dan pestisida sintetik (Profenofos). Formulasi ekstrak biji B.
asiatica juga aman terhadap keberadaan parasit telur Trichogramma spp.,
dan tidak menimbulkan fitotoksik pada bibit tanaman kubis, brokoli, sawi
dan blumkol pada umur 5 minggu. Bentuk formulasi ekstrak biji B. asiatica
yang menunjuKkan hasil paling baik adalah formulasi 30 WP dengan
tingkat mortalitas 100% terhadap larva C. pavonana pada hari ke-5. Oleh
karena itu formulasi ekstrak biji B. asiatica berpotensi digunakan sebagai
komponen pengendalian ulat krop kubis C. pavonana yang ramah
lingkungan dan sesuai dengan konsep pengelolaan hama terpadu (PHT).




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
741

UCAPAN TERIMA KASIH

Disampaikan ucapan terimakasih kepada Program Hibah
Kompetensi A3, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unpad.
Departemen Pendidikan Nasional yang mendanai penelitian ini.


DAFTAR PUSTAKA

1. Burton, RA, G. Steven, Wood and N. L. Owen. 2003. Elucidation of
a New Oleanane Glycoside from Barringtonia asiatica. ARKIVOC
2003 (xiii). Department of Chemistry and Biochemistry, Brigham
Young University, Provo. Utah 84602 page. 137-146
http://www.arkat-usa.org/home.aspx?VIEW=MANUSCRIPT&MSID
Diakses April, 2007.
2. Dono D, D. Prijono, S. Manuwoto, D. Buchori, Dadang dan Hasyim.
2004. Fitotoksisitas Rakoglaimida dan Ekstrak Ranting Aglaia
odorata (Meliaceae) terhadap Tanaman Brokoli dan Kedelai. Jurnal
Agrikultura. Vol 17 No 1 April 2006. hal 7-17.
3. Dono, D dan N. Sujana. 2007. Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun,
Kulit Batang, dan Biji Barringtonia asiatica (Lecythidaceae)
terhadap Larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae).
Jurnal Agricultura Vol 18, nomor 1 april 2007. Hal 11-19.
4. Dono, D., W. D. Natawigena, V. K. Dewi, dan N. Sujana. 2007.
Kompatibilitas Formulasi Insektisida Ekstrak Daun dan Ranting
Aglaia odorata dengan Pengendalian Hayati Menggunakan
Parasitoid Telur, Trichogramma spp. dalam Pengendalian Ulat Krop
Kubis, Crocidolomia pavonana. Makalah disampaikan pada
simposium kebudayaan Indonesia-Malaysia, Kualalumpur, Mei
2007.
5. Ecology and Evolutionary Biology Greenhouses. 2005. Barringtonia
asiatica Kurz. University_of_Connecticut. http://florawww.eeb.
uconn.edu/acc_ num/200201850.html. Diakses April, 2007.
6. Herlt AJ, NM. Louise, P. Edy, R. Rumampuk, T. Porkas. 2002. Two
Major Saponins from Seeds of Barringtonia asiatica: Putative
Antifeedants toward Epilachna sp. Larvae. Available online at
http://pubs.acs.org/cgibin/abstract.cgi/jnprdf/2002/65/i02/abs/np
000600b.html (diakses April, 2007).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
742
7. Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati dan Teknik Aplikasi. Penebar
Swadaya. Jakarta. 87 hlm.
8. Martono, E., Budi dan D. Prijono. 2004. Keragaman Aktivitas
Ekstrak Biji Bengkuang terhadap Ulat Krop Kubis, Crocidolomia
pavonana (F.). Jurnal Bionatura vol. 6 no. 2, Juli 2004. hal 159-169.
9. Prijono, D., S. Puspitasari, BW Nugroho. 1999. Aktivitas Insektisida
Ekstrak Beberapa Bagian Tanaman Aglaia odorata LOUR.
(Melliaceae) terhadap Ulat Krop Kubis, Crocidolomia binotalis Zeler.
Prosisiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida
Nabati. Bogor, 9-10 November 1999. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Perkebunan. Bogor.
10. Prijono, D. 1999. Prospek dan Strategi Pemanfaatan Insektisida
Alami dalam PHT. Hal. 1-7 dalam Bahan Pelatihan Pengembangan
dan Pemanfaatan Insektisida Alami. (BW Nugroho, Dadang, dan D
Prijono, Eds.). Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Institut
Pertanian Bogor.
11. Sastrosiswojo S. 1996. Sistem Pengendalian Hama Terpadu dalam
Menunjang Komoditas Sayuran, Prosiding Seminar Ilmiah Nasional
Komoditas Sayuran, Lembang, 24 Oktober 2005. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. hal 69-81.
12. Syahputra E. 2005. Bioaktivitas Insektisida Botani Callophylum
soutary Byrm I. (Clusiaceae) Sebagai Pengendali Hama Alternative.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB.
13. Tarumingkeng, R. 2001. Pestisida dan Penggunaannya.
http://www.rct/bogor/pestisida.html. Diakses April, 2007.
14. The Cook Islands Natural Heritage Trust. 2005. Barringtonia
asiatica. Cook Islands Biodiversity & Natural Heritage.
http:// cookislands. bishopmuseum.org/species.asp?id=5803.
Diakses April, 2007.
15. Trizelia. 2001. Pemanfaatan Bacillus thuringiensis untuk
Pengendalian Hama Crocidolomia binotalis. Available online at
http://tumoutou.net/3_sem1_072/Trizelia.html. (diakses April, 2007).
16. Untung K. 2004. Penggunaan Pestisida yang Baik dan Benar.
http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id/?satoewarna=index&winoto
Diakses April, 2007.







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
743

RESIDU ORGANOKLORIN DI BEBERAPA
SENTRA PRODUKSI SAYURAN DI JAWA TENGAH

S. Wahyuni, A.N. Ardiwinata, dan A. Kurnia

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian
Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05 Pati Jateng 59182


ABSTRAK. Penggunaan pestisida pada areal sayuran sangat intensif dan
cenderung berlebihan baik dosis maupun intensitas aplikasinya.
Penggunaan pestisida yang berlebihan di lapangan ditengarai menjadi
penyebab dampak negatif terhadap konsumen dan bahaya terhadap
lingkungan. Penelitian dilakukan bulan Maret Nopember 2007 di sentra
produksi sayuran di Jawa Tengah. Tujuan penelitian adalah mendapatkan
data atau informasi status residu bahan agrokimia di sentra produksi
tanaman sayuran. Hasil analisis residu pestisida pada tanah terdeteksi
golongan pestisida organoklorin (-BHC, lindan, heptaklor, aldrin,
dieldrin, endrin, dan 4,4 DDT) yang sudah dilarang sejak dekade 70-an,
namun masih banyak ditemukan pada contoh tanah di beberapa sentra
sayuran. Pada contoh tanah dideteksi bahan aktif dieldrin mencapai
konsentrasi residu sebesar 0,1288 ppm pada contoh tanah asal Tanjung
Brebes. Kandungan residu pestisida lindan, heptaklor, dan aldrin masing-
masing sebesar 0,0011 ppm ; 0,0026 ppm dan 0,0032 ppm ditemukan
pada contoh air minum asal Tawangmangu Karanganyar. Pada contoh
tanaman dideteksi berbagai jenis residu pestisida dengan konsentrasi dari
tidak terdeteksi (td) di atas BMR. Residu -BHC dan endosulfan berkisar
antara 0-0,0410 ppm dengan residu tertinggi pada sayuran cabai asal
Mijen Demak. Bawang merah asal Tanjung Brebes mengandung lindan
dan dieldrin tertinggi dibanding asal sayuran lokasi lainnya masing-masing
sebesar 0,8262 ppm dan 0,6300 ppm, sedangkan bawang merah asal
Wanasari terdeteksi mengandung heptachlor tertinggi sebesar 0,1524
ppm. Contoh wortel asal Tawangmangu Karanganyar menunjukkan
kandungan residu aldrin dan endrin tertinggi masing-masing sebesar
0,2816 dan 2,7732 ppm, sementara kubis asal Sawangan Magelang
mengandung residu tertinggi 4,4 DDT sebesar 0,4908 ppm.

Kata kunci : Organoklorin, Brassica oleracea, Allium cepa, Capsicum
annuum, Daucus carota, Jawa Tengah


PENDAHULUAN

Dewasa ini pestisida sudah merupakan bagian dari sistem
usahatani sebagian besar petani di Indonesia. Penggunaan pestisida
semakin intensif dan cenderung tidak terkontrol, akibatnya agroekologi


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
744
pertanian dan kesehatan manusia sebagai konsumen menjadi terabaikan.
Data formulasi dan bahan aktif yang ada di Indonesia dari tahun ke tahun
terus meningkat. Sampai tahun 2006 saja terdapat 1336 formulasi
pestisida yang beredar di Indonesia, dimana insektisida menduduki
ranking terbanyak (Pusat Perijinan dan Investasi, 2006).
Tidak dipungkiri bahwa pestisida dalam budidaya pertanian dapat
memperbaiki tampilan produk pertanian, namun di sisi lain dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan (Soejitno et al., 2000). Dampak negatif pada manusia yang
dapat ditimbulkan oleh residu pestisida antara lain kanker, cacat lahir,
kerusakan syaraf, atau mutasi genetik dan gangguan sistem kekebalan
melalui sistem penggunaan dan rantai makanan. Sedangkan pada
lingkungan residu pestisida dapat merusak dan membahayakan
kehidupan di dalam air dan tanah melalui mekanisme pencemaran
lingkungan. Mengingat dampak bahaya yang timbul akibat penggunaan
pestisida diperlukan adanya identifikasi cemaran pestisida di tingkat
lapang (baik pada tanah, air dan produk).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu diketahui bahwa residu
insektisida selain ditemukan di tanah dan air juga ditemukan di dalam
produk (beras dan sayuran) baik di tingkat petani maupun konsumen.
Winarno (1987) dalam PAN (1994) menemukan residu insektisida DDT
(4,42 ppb), endosulfan (625 ppb), lindan (265 ppm), aldrin (170 ppb) pada
wortel, dan residu diazinon (227 ppb) pada sawi, residu malation (136
ppb) pada wortel, residu dieldrin (70 ppb) pada tomat, residu MIPC (59
ppb) pada kentang, dan residu fention (34 ppb) pada kubis, di berbagai
tempat budidaya sayuran di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ohsawa et al.
(1985) di Jawa Barat, menemukan residu insektisida klorpirifos (0,30 ppm)
dan deltametrin (0,15 ppm) pada tanaman wortel, residu propenofos (0,10
ppm), klorpirifos (0,075-0,15 ppm), deltametrin (0,01 ppm dan diazinon
(0,01-0,03 ppm) pada tanaman seledri. Di Jawa Tengah, pada tanaman
wortel ditemukan residu diazinon (0,10 ppm), karbofuran (0,04 ppm) dan
permetrin (0,02 ppm) (Laksanawati et al., 1994).
Secara umum residu pestisida tersebut masih di bawah Batas
Maksimal Residu (BMR) yang ditentukan, tetapi terdapat beberapa bahan
aktif yang berada di atas BMR. Perlu diingat bahwa meskipun kandungan
residu di dalam bahan pangan masih di bawah BMR, pada penggunaaan
yang tetap dalam jangka panjang perlu diwaspadai terutama sifat
akumulatif dan biomagnifikasi serta toksisitasnya terhadap kesehatan
manusia, lingkungan, dan mikroorganisme penyubur tanah.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
745
Terdapat 3 golongan insektisida yang umum digunakan di
Indonesia ialah golongan organoklorin, organofosfat dan karbamat
(Sudarmo, 1991). Pestisida golongan organoklorin telah dilarang
penggunaannya sejak tahun 1970-an karena persistensi dan toksisitasnya
yang tinggi sedangkan golongan organofosfat dan karbamat yang persiten
dan toksisitasnya relatif kurang di lingkungan sampai sekarang masih
beredar. Dari ketiga jenis golongan pestisida tersebut organoklorin
ternyata memiliki tingkat residu (waktu paruh) paling lama. Residu pada
tanah dan air dapat juga masuk ke dalam bagian tanaman (produk)
sebagai residu, dan menurunkan mutu produk.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data atau informasi status
residu bahan agrokimia (organoklorin) di sentra produksi tanaman
sayuran.
BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di sentra produksi sayuran di Jawa
Tengah. Dari bulan Maret sampai Nopember 2007 dengan pendekatan
sebagai berikut:

1. Survei Tahap I (survei instansional)
Survei instansional dilakukan pada Dinas Pertanian se Jawa Tengah,
dengan tujuan untuk mencari data dukung tentang penggunaan pestisida
di sentra-sentra produksi sayuran. Data yang dikumpulkan meliputi: jenis
pestisda yang banyak beredar dan digunakan petani, dosis dan volume
semprot, perilaku petani terhadap pestisida, dan lain-lain. Data tersebut
digunakan sebagai arahan melakukan survei tahap II (survei lapangan).

2. Survei Tahap II (survei lapangan/pengambilan sampel)
Dari hasil survei instansional diketahui daerah yang menjadi sentra
produksi sayuran lalu dilakukan pengambilan sampel pada daerah sentra
tersebut yang antara lain Brebes, Banjarnegara, Temanggung,
Karanganyar, Demak, Magelang. Setiap titik pengambilan akan diambil
sampel tanah, air dan tanaman. Pengambilan sampel tanah sebanyak 0,5
kg, dengan kedalaman pengambilan 0-20 cm, diambil mengikuti alur
pengairan (bagian atas, tengah dan bawah) dari masing-masing
hamparan tergantung kondisi transek wilayahnya.

3. Analisis Residu Pestisida
Sampel dari lapangan dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 5 Pati, Jawa Tengah.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Metode analisa yang digunakan adalah analisis dengan kromatografi gas
(Komisi Pestisida, 2006). Kromatografi gas yang digunakan adalah
Shimadzu 2014 dengan injektor SPL-1, detektor penangkap elektron,
kolom kapiler Rtx-1, auto sampler 20 i, temperatur injektor 250
o
C, kolom
230
o
C ,dan detektor 250
o
C, volume injeksi 1 L.
Kandungan residu yang terdapat di dalam contoh tanah dapat
dihitung berdasarkan rumus (Ardiwinata, 2002) :

R B Vic As
Vfc Ks Vis Ac
Residu


=

Keterangan:
Ac = area contoh
As = area standar
Vic = volume injeksi contoh (L)
Vis = volume injeksi standar (L)
Ks = Konsentrasi standar (ppm)
B = Bobot awal/volume awal (mg atau ml)
B = recovery (%)


HASIL DAN PEMBAHASAN

Sentra produksi sayuran di Jawa Tengah antara lain meliputi
Brebes, Banjarnegara, Temanggung, Karanganyar, Demak, dan
Magelang.

Penggunaan Pestisida pada Tanaman Sayuran
Dari hasil wawancara diperoleh gambaran bahwa sebagian besar
petani menyemprot tanamannya dengan cara mencampur pestisida.
Campuran pestisida yang digunakan rata-rata 2-4 jenis dan bahkan ada
yang sampai 8 jenis dalam sekali semprot. Frekuensi aplikasi pestisida
bisa mencapai 2-3 kali seminggu. Tidak semua bahan aktif yang dicampur
dapat meningkatkan efektivitas dari pestisida, oleh karena itu seharusnya
pencampuran pestisida harus dilakukan secara selektif dan hati-hati.
Pencampuran pestisida, sebaiknya dilakukan uji kompatibilitas agar dapat
diketahui efek sinergisme dari pestisida yang dicampur (Matsumura,
1985).

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
746


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
747
Analisis Residu Organoklorin pada Contoh Tanah
Contoh tanah sentra sayuran Jawa Tengah menunjukkan adanya
residu pestisida meskipun pada tingkat yang rendah (< 0,1 ppm) kecuali
tanah asal Tanjung, Brebes (Tabel 1).

Tabel 1. Residu organoklorin (ppm) pada contoh tanah di sentra sayuran di Jawa
Tengah, 2007

No.

Parameter

Kisaran residu
(ppm)
Lokasi residu tertinggi

1 Lindan td-0,0078 Wanasari, Brebes
2 Heptachlor td-0,0068 Batur, Banjarnegara
3 Aldrin td-0,0104 Tw.mangu
4 Dieldrin td-0,1288 Tanjung,Brebes
5 Endrin td-0,0152 Batur, Banjarnegara
6 4,4-DDT td-0,0248 Batur, Banjarnegara
7 Endosulfan 0,0012-0,0031 Pakurejo,Temanggung

Keterangan: td = tidak terdeteksi

Lokasi residu tertinggi menyebar hampir seluruh sentra produksi
sayuran yang diamati. Dari contoh tanah yang dianalisis menunjukkan
adanya residu pestisida berbagai golongan. Pestisida golongan
organoklorin yang telah dilarang penggunaannya sejak dekade 70-an
masih ditemukan residunya di dalam tanah. Residu dieldrin (organoklorin)
menunjukkan residu paling tinggi dibanding golongan organoklorin
lainnya, yakni mencapai 0,1288 ppm pada contoh tanah asal Tanjung
Brebes. Residu pestisida golongan organoklorin pada tanah diduga
berasal dari penggunaan pestisida di masa lalu.

Analisa Residu Organoklorin pada Contoh Air Minum
Analisis air minum penduduk asal Tawangmangu Karanganyar
dideteksi mengandung residu pestisida masing-masing sebesar 0,0011
(lindan) ; 0,0026 (heptachlor) dan 0,0032 (Aldrin) Tabel 2.
Batas maksimum yang diperbolehkan untuk air minum yang
dimasak lebih dulu (air golongan B) adalah 0,056 ppm (lindan); 0,018 ppm
(heptaklor) 0,017 ppm (aldrin) (SK MenKLH, 1988). Lindan masih berada
dibawah batas maksimum sedangkan heptaklor dan aldrin sudah berada
di atas batas maksimum. Sebagai air minum kandungan residu tersebut
sangat mengkawatirkan terhadap kesehatan.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
748
Tabel 2. Residu organoklorin (ppm) pada air minum di sentra sayuran di Jawa Tengah,
2007

No.

Parameter

Kisaran residu
(ppm)
Lokasi
residu tertinggi
1 Lindan
0,0011 Tawangmangu, Karanganyar
2 Heptaklor
0,0026 Tawangmangu, Karanganyar
3 Aldrin
0,0032
Tawangmangu, Karanganyar


Analisa residu organoklorin pada contoh tanaman
Analisis contoh tanaman menunjukkan adanya residu pestisida
berbagai golongan (Tabel 3). Residu pestisida pada contoh tanaman asal
sentra produksi Jawa Tengah menunjukkan bahwa kandungan residunya
ada yang melebihi batas maksimum residu (BMR). Residu tertinggi terjadi
pada komoditas cabai, kubis, wortel dan bawang merah.

Tabel 3. Residu organoklorin (ppm) pada contoh tanaman di sentra sayuran di Jawa
Tengah, 2007

No.

Parameter

Kisaran residu
(ppm)
komoditas dan lokasi
residu tertinggi
1 - BHC
td-0,0376 Cabai; Mijen; Demak
2 Lindan
0,0024-0,8262 Bw.merah; Tanjung; Brebes
3 Heptaklor
td-0,1524 Bw.merah; Wanasari; Brebes
4 Dieldrin
td-0,6300 Bw.merah; Tanjung; Brebes
5 Aldrin
td-0,2816
Wortel; Tawangmangu; Karanganyar
6 Endrin
td-2,7732
Wortel; Tawangmangu; Karanganyar
7 4,4-DDT
td-0,4908 Kubis; Sawangan; Magelang
8 Endosulfan td-0,041
Cabai; Mijen; Demak

Keterangan: td = tidak terdeteksi

Diperoleh informasi bahwa residu BHC, BHC (lindan),
heptaklor, aldrin, dieldrin, endrin, 4,4 DDT dan endosulfan banyak
ditemukan pada sampel tanaman dengan konsentrasi bervariasi. Residu
-BHC dan endosulfan berkisar antara 0-0,0376 ppm dan 0-0,0410 ppm
dengan residu tertinggi pada cabai asal Mijen Demak. Bawang merah asal
Tanjung Brebes mengandung lindan dan dieldrin tertinggi dibanding asal
sayuran lokasi lainnya masing-masing sebesar 0,8262 ppm dan 0,6300


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
749
ppm, sedangkan bawang merah asal Wanasari terdeteksi mengandung
Heptaklor tertinggi sebesar 0,1524 ppm. Contoh wortel asal
Tawangmangu Karanganyar menunjukkan residu aldrin dan endrin
tertinggi masing-masing sebesar 0,2816 dan 2,7732 ppm, sementara
kubis asal Sawangan Magelang mengandung residu tertinggi 4,4 DDT
sebesar 0,4908 ppm. Angka-angka residu tertinggi tersebut sudah berada
pada level aman (BMR).
Penggunaan pestisida golongan organoklorin sudah dilarang sejak
dekade 70-an (kecuali endosulfan), namun residunya masih ditemukan
pada contoh sayuran yang dianalisis. Residu ini diperkirakan berasal dari
dalam tanah akibat penggunaan pestisida di masa lalu. Residu pestisida
yang masih tersisa dalam tanah terangkat dan menjadi residu dalam
jaringan tanaman akibat mekanisme pengangkutan hara dari tanah ke
tanaman. Diantara pestisida organik, organoklorin merupakan yang paling
persisten (waktu paruh lebih dari 20 tahun)(Abu-El Amayem et al., 1979 in
El-Bestawi et al., 2000). Organoklorin mempunyai tingkat kelarutan yang
rendah di air, sehingga dapat lama bertahan di air dan partikel sedimen
(El-Bestawi et al., 2000). Pencemaran zat tertentu timbul jika emisi zat
tersebut melampui kemampuan alam untuk mendaurkannya. Perjalanan
(fate) pestisida ke lingkungan ditentukan oleh proses retensi, transformasi,
dan proses transportasi, serta interaksi proses-proses tersebut (Cheng,
1990). Sebagian besar pestisida yang ditemukan di lingkungan berasal
dari aliran permukaan (surface run-off) atau pencucian (leaching) (Pretty
dan Hine, 2005).
Residu pada tanaman (sayuran) memiliki resiko terhadap
kesehatan konsumen, oleh karena itu kadar residunya harus diturunkan
dari kondisi sekarang. Hal ini penting dalam rangka menghadapi pasar
bebas dunia dari segi keamanan pangan (food safety).

KESIMPULAN

1. Golongan pestisida organoklorin ( BHC, lindan, heptaklor, aldrin,
dieldrin, endrin, dan 4,4 DDT) banyak ditemukan pada contoh tanah,
air dan tanaman asal berbagai sentra sayuran.
2. Residu pestisida pada tanah dari golongan organoklorin, tertinggi dari
bahan aktif dieldrin yakni mencapai 0,1288 ppm pada contoh tanah
asal Tanjung Kabupaten Brebes.
3. Residu pada contoh air yang dianalisis mengandung berbagai jenis
pestisida. Contoh air minum asal Tawangmangu mengandung 0,0011
(lindan); 0,0026 (heptaklor) dan 0,0032 (aldrin) dengan batas


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
750
maksimum yang diperbolehkan untuk air minum yang dimasak lebih
dulu (air golongan B) adalah 0,056 ppm (lindan); 0,018 ppm
(heptaklor) 0,017 ppm (aldrin).
4. Dari contoh tanaman yang dianalisis ditemukan residu pestisida
berbagai jenis dengan konsentrasi dari tidak terdeteksi (td) diatas
BMR. Residu -BHC dan endosulfan berkisar antara 0-0,0376 ppm
dan 0-0,0410 ppm dengan residu tertinggi pada cabai asal Mijen
Demak. Bawang merah asal Tanjung Brebes mengandung lindan dan
dieldrin tertinggi dibanding asal sayuran lokasi lainnya masing-masing
sebesar 0,8262 ppm dan 0,6300 ppm, sedangkan bawang merah asal
Wanasari terdeteksi mengandung Heptachlor tertinggi sebesar 0,1524
ppm. Contoh wortel asal Tawangmangu Karanganyar menunjukkan
kandungan residu aldrin dan endrin tertinggi masing-masing sebesar
0,2816 dan 2,7732 ppm, sementara kubis asal Sawangan Magelang
mengandung residu tertinggi 4,4 DDT sebesar 0,4908 ppm. Angka-
angka kandungan residu tertinggi tersebut semuanya berada diatas
BMR.

SARAN
Perlu upaya penanggulangan untuk menurunkan tingkat residu
pestisida di tanah, air, dan tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardiwinata, A.N. 2002, Distribusi Residu Insektisida karbofuran,
Klorpirifos dan Lindan pada Tanaman Padi. Jurnal Toksikologi
Indonesia. Vol. 2, No.2.
2. El-Bestawi et al. 2000. Biodegradation of Selected Chlorinated
Pesticides Contaminating Lake Maruiut Ecosystem. Pakistan Journal of
biological sciences 3 (10): 1673-1680.
3. Cheng, H.H. 1990. Pesticides in the Soil Environment - An Overview.
p. 1-5. In H.H. Cheng, G.W. Bailey, R.E. Green, and W.F. Spencer
(Eds) Pesticides in the soil environment: Processes, impact, and
modeling. Soil Science Society of America, Inc., Madison, Wisconsin,
USA.
4. Khatoon, J.A. et al. 2004. Monitoring the Residue Level of Three
Selected in Red Amaranth. Journal of biological sciences. 4(4): 474-
479.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
751
5. Komisi Pestisida. 2006. Metode Pengujian Residu Pestisida Dalam
Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. 377 hal.
6. Laksanawati, H. Dibyantoro, O.S. Gunawan, R.E. Suriaatmadja, I.
Sulastrini dan M. Suparman. 1994. Deteksi Residu Pestisida pada
Wortel dan Seledri di Beberapa Sentra Produksi di Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Bul. Penel. Hort. 27 (1): 89-97.
7. Matsumura, F. 1985. Toxicology of Insecticides. Plenum Press. New
York. P.185.
8. Ohsawa, K., S. Hartati, S. Nugrahati, H. Sastrohamidjoyo, K. Untung,
N. Arya. K. Sumiartha dan S. Kuwatsuka. 1985. Residue Analysis of
Organochlorin and Organophosphorus Pesticides in Soil, Water and
Vegetables from Central Java and Bali, ecol./impact of IPM in
Indonesia. P. 59-70.
9. Pretty, J. and R. Hine. 2005. Pesticide Use and the Environment. p. 1-
22 in J. Pretty (Ed.) The pesticide detox: towards a more sustainable
agriculture. Earthscan Pub., London, UK.
10. Pusat Perijinan dan Investasi. 2006. Pestisida Terdaftar (Pertanian dan
Kehutanan). Sekretariat Jendral Departemen Pertanian. 574 hal.
11. Soejitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 2000. Residu Pestisida pada
Agroekosistem Tanaman Pangan. Risalah Seminar Hasil Penelitian
Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan
Sawah. Bogor 24 April 1999. hal 72-90.
12. Sudarmo, S. 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
13. Winarno, F.G. 1987. Pengaruh Pestisida terhadap Kesehatan Manusia.
Simposium Nasional Pengelolaan Pestisida di Indonesia. Yogyakarta,
8-10 Januari. 1987. 20 hal.


















Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
752

UJI APLIKASI PERALATAN TEPAT GUNA DAN MUTU HASIL
BEBERAPA CARA PENGOLAHAN BAWANG GORENG

Yuniarti dan Pudji Santoso

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Karangploso KM 4, Malang 65101, Jawa Timur

ABSTRAK. Kabupaten Nganjuk dan Brebes merupakan produsen utama
bawang merah dan bawang merah goreng di Indonesia. Di wilayah sentra
produksi Kabupaten Nganjuk, perajin bawang goreng membutuhkan
peralatan tepat guna dan perbaikan pengolahan dalam mengembangkan
usahanya. Biasanya perajin hanya menggunakan peralatan sederhana
dalam mengolah bawang goreng, sehingga menyulitkan untuk mengolah
dalam jumlah besar. Cara pengolahan bawang goreng adalah
pengupasan, pengirisan, penggorengan, penirisan minyak dan
pengemasan. Untuk mendapatkan bawang goreng yang bermutu, irisan
bawang merah perlu dicampur dengan jenis dan konsentrasi tepung
tertentu sebelum digoreng, sehingga hasilnya mempunyai warna yang
menarik dan renyah. Penelitian dilakukan di sentra produksi bawang
merah di Desa Dinoyo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa
Timur menggunakan varietas Pilipine. Tujuan penelitian adalah
menentukan peralatan tepat guna yang diperlukan perajin untuk
pengembangan usaha serta mendapatkan cara pengolahan yang dapat
menghasilkan bawang goreng bermutu dan disenangi konsumen.
Perencanaan dan pembuatan peralatan tepat guna dilakukan melalui
kerjasama dengan bengkel mesin pertanian Unibraw. Peralatan tepat
guna yang telah dibuat kemudian digunakan untuk mengolah bawang
goreng dari 5 macam perlakuan cara pengolahan, yaitu 1) menggunakan
umbi kering, dicampur dengan tepung beras 1% berat dan ditiriskan
menggunakan spinner 3, 2) menggunakan umbi kering, dicampur dengan
tepung beras 5% berat dan ditiriskan menggunakan spinner 3, 3)
Menggunakan umbi kering, dicampur dengan tepung beras 10% berat dan
ditiriskan menggunakan spinner 3, 4) menggunakan umbi kering,
dicampur dengan tepung beras 15% berat dan ditiriskan menggunakan
spinner 3, 5) menggunakan umbi basah, dicampur dengan tepung beras
1% berat dan ditiriskan menggunakan spinner 3, dibandingkan dengan 1)
menggunakan cara perajin Nganjuk dan 2) menggunakan cara perajin
Brebes sebagai kontrol. Hasil bawang goreng kemudian dievaluasi
mutunya melalui uji organoleptik menggunakan metode hedonik dengan
panelis konsumen umum terhadap rasa bawang goreng meliputi rasa
enak, gurih, renyah, tengik dan pahit serta sifat fisik bawang goreng
meliputi kerenyahan, warna, ketebalan dan ukuran irisan. Hasilnya
menunjukkan, bahwa peralatan tepat guna yang dibutuhkan adalah alat
perajang, unit penggoreng dan alat peniris minyak (spinner). Bawang
goreng yang bermutu terbaik dihasilkan dari cara pengolahan
menggunakan umbi kering, dicampur dengan tepung beras 5% berat dan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
753
ditiriskan menggunakan spinner 3. Cara ini menghasilkan bawang goreng
yang berwarna kuning kecoklatan yang cerah dengan tekstur sangat
renyah, hasilnya 30,4 g bawang goreng dari setiap 100 g umbi bawang
merah sebagai bahan baku.

Kata kunci: Bawang Goreng, Alat Tepat Guna, Spinner, Tepung Beras
dan Renyah.

PENDAHULUAN

Bawang merah adalah komoditas sayuran andalan Jawa Timur
yang potensial untuk dikembangkan. Produksi komoditas ini di Jawa Timur
mencapai 213,8 ton pada tahun 2003 (Deptan, 2005). Salah satu sentra
produksi bawang merah utama di Jawa Timur adalah kabupaten Nganjuk.
Bawang merah merupakan salah satu sayuran yang melimpah
pada saat panen raya dan tidak tahan lama. Akibatnya adalah turunnya
harga secara menyolok dan banyaknya umbi yang busuk atau rusak
akibat tidak terserap pasar. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan suatu
strategi pengembangan agroindustri pedesaan dalam rangka
menyelamatkan hasil panen yang berlimpah pada saat panen raya.
Pengembangan agroindustri pedesaan akan berdampak positif terhadap
peningkatan nilai tambah, pendapatan serta penyerapan tenaga kerja
masyarakat setempat.
Produk olahan bawang merah yang populer dan selalu
dipergunakan oleh ibu-ibu adalah bawang merah goreng, Jenis olahan ini
sudah banyak diproduksi oleh perajin di Nganjuk dan dipasarkan sampai
keluar daerah. Proses pembuatannya masih menggunakan peralatan dan
cara tradisional, sehingga mutunya masih belum memadai, yaitu
warnanya coklat kehitaman, ukurannya belum seragam, masih banyak
mengandung minyak serta kemasannya masih sederhana. Peralatan yang
sederhana juga menyulitkan dalam pengembangan usaha, karena
menjadi tidak efisien jika digunakan untuk produksi dalam jumlah besar.
Agar dapat diperoleh peralatan yang sesuai dan produk bermutu yang
berdaya saing tinggi, diperlukan perencanaan alat tepat guna yang dapat
diaplikasikan secara mudah oleh perajin setempat sesuai dengan konsep
pengembangan agroindustri pedesaan. Tujuan penelitian adalah
menentukan peralatan tepat guna yang dibutuhkan untuk pengembangan
usaha serta mendapatkan cara pengolahan yang dapat menghasilkan
bawang goreng yang bermutu dan disenangi konsumen.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
754

BAHAN DAN METODE

Kegiatan dilaksanakan di wilayah sentra produksi desa Dinoyo,
Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk dengan melibatkan perajin
bawang merah goreng dan di BPTP Jatim di Malang. Varietas yang
digunakan adalah Pilipine. Survai pendahuluan di lokasi sentra produksi
bawang merah di Kabupaten Nganjuk dan Brebes dilakukan untuk
mengetahui cara pengolahan dan mutu bawang goreng yang dihasilkan
perajin setempat. Pengujian di laboratorium BPTP Jatim dilakukan untuk
memperbaiki cara pengolahan serta mengetahui mutu bawang merah
yang dihasilkan.
Perencanaan dan pembuatan peralatan tepat guna dilakukan
melalui kerjasama dengan bengkel mesin pertanian Unibraw. Peralatan
tepat guna yang telah dibuat kemudian digunakan untuk mengolah
bawang goreng dari 5 macam perlakuan cara pengolahan, yaitu 1)
menggunakan umbi kering, dicampur dengan tepung beras 1% berat dan
ditiriskan menggunakan spinner 3, 2) menggunakan umbi kering,
dicampur dengan tepung beras 5% berat dan ditiriskan menggunakan
spinner 3, 3) menggunakan umbi kering, dicampur dengan tepung beras
10% berat dan ditiriskan menggunakan spinner 3, 4) menggunakan umbi
kering, dicampur dengan tepung beras 15% berat dan ditiriskan
menggunakan spinner 3, 5) menggunakan umbi basah, dicampur dengan
tepung beras 1% berat dan ditiriskan menggunakan spinner 3,
dibandingkan dengan 1) menggunakan cara perajin Nganjuk dan 2)
menggunakan cara perajin Brebes sebagai kontrol. Bawang goreng yang
dihasilkan dari ketujuh perlakuan pengujian kemudian dievaluasi mutunya
melalui uji organoleptik menggunakan metode hedonik dengan panelis
konsumen umum terhadap rasa bawang goreng yang meliputi rasa enak,
gurih, renyah, tengik dan pahit serta sifat fisik bawang goreng meliputi
kerenyahan, warna, ketebalan dan ukuran irisan.
Kriteria nilai yang digunakan adalah:
1. Rasa enak/gurih:
- sangat enak/gurih (5)
- enak/gurih (4)
- cukup enak/gurih (3)
- kurang enak/gurih (2)
- dan tidak enak/gurih (1)
2. Rasa tengik/pahit:
- tidak tengik/pahit (3)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
755
- agak tengik/pahit (2)
- tengik/pahit (1)
3. Kerenyahan:
- sangat renyah (5)
- renyah (4)
- cukup renyah (3)
- kurang renyah (2)
- tidak renyah (1)
4. Warna:
- bagus dan cerah, kuning kecoklatan (5)
- cukup bagus, coklat (3)
- jelek, coklat kehitaman (1)
5. Ketebalan irisan:
- cukup tipis (1)
- agak tebal (3)
- sangat tebal (5)
6. Ukuran irisan:
- sangat besar (1)
- sedang (3)
- sangat kecil (5)

Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara statistik
menggunakan uji BNT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cara Pengolahan Perajin Nganjuk dan Brebes
Varietas bawang merah yang banyak ditanam di sentra produksi
di Kabupaten Nganjuk adalah Pilipine dan Bauji. Varietas yang banyak
ditanam adalah Pilipine dan Bauji. Varietas Pilipine biasa ditanam pada
musim kemarau, mempunyai umbi yang bulat dan meruncing ujungnya
dan berwarna merah, sedangkan varietas Bauji biasa ditanam pada
musim penghujan, umbinya bulat telur dengan ujung meruncing dan
berwarna merah juga (Suyuti, 1997). Bawang merah yang digunakan
sebagai bahan mentah bawang goreng adalah bawang merah yang sudah
dikeringkan (dilayukan), dengan kadar air sekitar 82%. Keadaan umbi
yang sudah kering ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan umbi
yang masih basah langsung dari panen (kadar air 85%) karena kulitnya
mudah dikupas dan hasil bawang goreng warnanya lebih kuning (cerah).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
756
Di sentra produksi bawang merah di daerah Brebes, Jawa
Tengah, juga banyak perajin bawang goreng yang mengolah bawang
goreng dengan teknologi yang berbeda. Varietas yang digunakan Pilipine
dan Sumenep. Perbandingan cara pengolahan bawang merah goreng
pada umumnya di Nganjuk dan Brebes ada pada Tabel 1.
Pada cara perajin Nganjuk, pengirisan bawang merah dilakukan
dengan menggunakan alat pengiris pasrah atau alat pengiris listrik
cooking cutter. Penggunaan alat cooking cutter kurang memuaskan
karena irisan yang dihasilkan terlalu tipis dan tidak dapat diubah. Namun
demikian ada pula cara yang menganjurkan pengirisan bawang merah
setipis mungkin (Sharon, 2006). Oleh karena tebal irisan tergantung
selera, maka diperlukan alat pengiris yang menghasilkan irisan dengan
ketebalan dapat diatur.

Tabel 1. Perbandingan cara pengolahan bawang merah goreng oleh perajin Nganjuk
dan Brebes

Cara Nganjuk Cara Brebes
1 Bawang merah dikupas Bawang merah dikupas
2 Diiris-iris secara manual, dikering-
anginkan 1 jam
Diiris-iris secara manual
3 Dicampur dengan tepung terigu
(2 ons/kg bawang merah), tepung tapioka
(1 sendok makan/kg bawang merah) dan
garam
Dicampur dengan tepung sagu
(1 kg/2kg bawang merah) dan
tepung beras (500 g/2 kg bawang
merah)
4 Digoreng sampai berwarna kuning Digoreng sampai berwarna kuning
5 Diangkat, diletakkan di atas kertas
koran
Diangkat, ditiriskan di atas ayakan
6 Dikeringkan dalam oven selama 5 menit -
7 Didinginkan -
8 Dikemas ke dalam kantung plastik Dikemas ke dalam kantung plastik
Rendemen hasilnya 30% Rendemen hasilnya 60%

Suhu dan waktu penggorengan harus tepat, karena akan
mempengaruhi mutu hasil bawang merah goreng. Suhu awal minyak pada
saat bawang merah dimasukkan adalah 150 C, kemudian turun menjadi
130 C dan pada saat akhir penggorengan suhu minyak mencapai 140 C.
Waktu penggorengan antara 3-4 menit.
Penggunaan kertas koran sebagai alas hasil gorengan
dimaksudkan agar sisa minyak yang masih ada dalam gorengan dapat


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
757
terserap oleh kertas koran. Kertas koran yang digunakan diganti berkali-
kali, agar lebih banyak minyak yang terserap. Pengeringan dengan oven
juga dimaksudkan untuk mengurangi kadar minyak yang masih ada.
Walaupun sudah diupayakan sedemikian rupa, namun ternyata bahwa
kandungan minyak yang tersisa masih cukup tinggi. Kadar minyak yang
tinggi akan menurunkan mutu hasil gorengan, karena tetesan minyak
akan keluar dalam penyimpanan dan menyebabkan hasil gorengan
menjadi lembek. Kandungan minyak yang tinggi juga akan mempercepat
terjadinya proses ketengikan karena tingginya kadar asam lemak bebas di
dalam hasil gorengan.
Pada cara perajin Brebes, pemberian tepung sagu dan beras
yang cukup banyak ternyata menguntungkan karena membuat hasil
gorengan menjadi renyah, menyerap kandungan minyak yang tersisa
serta meningkatkan rendemen hasil. Dengan cara seperti tersebut di atas,
hasil gorengan dapat disimpan sampai 2 bulan dengan mutu tetap baik.
Penggunaan ayakan untuk meniriskan hasil gorengan lebih baik
daripada penggunaan kertas koran, karena minyak yang keluar langsung
menetes ke bawah ayakan, sehingga tidak tercampur lagi dengan hasil
gorengan.
Hasil penelitian pendahuluan terhadap penggunaan tepung
tapioka, tepung beras dan tepung terigu sebagai campuran irisan bawang
merah menunjukkan, bahwa tepung beras menghasilkan bawang merah
goreng terbaik yaitu renyah, menghasilkan warna terbaik dan tidak mudah
melempem. Perbandingan mutu bawang merah goreng yang dihasilkan
oleh perajin dari lokasi sentra Nganjuk dan Brebes disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Mutu bawang merah goreng yang dihasilkan perajin Nganjuk dan Brebes

Kriteria mutu Perajin Nganjuk Perajin Brebes
Varietas
Warna
Tekstur
Rasa
Kandungan minyak
Kadar air (%)
Pilipine
Coklat kekuningan
Renyah
Gurih
Agak banyak
5,41
Pilipine
Kuning kecoklatan
Sangat renyah
Gurih
Sedikit
4,32

Perbedaan tekstur yang tajam antara kedua macam bawang
merah goreng tersebut (Tabel 2) disebabkan oleh tingginya campuran
tepung yang diberikan. Pencampuran tepung ke dalam irisan-irisan
bawang merah sebelum digoreng memang dimaksudkan agar hasil


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
758
bawang merah goreng menjadi renyah. Di Nganjuk hal ini juga dilakukan,
namun jumlah tepung yang diberikan tidak sebanyak di Brebes. Pengaruh
lain dari banyaknya pemberian tepung ini juga dapat dilihat dari rendahnya
kadar air bawang merah goreng pengolahan cara Brebes (Tabel 2).
Masalah utama yang dihadapi oleh para perajin bawang merah
goreng di Nganjuk adalah sisa minyak yang masih dikandung oleh hasil
bawang merah goreng. Kadar minyak yang ada mencapai sekitar 43%,
sehingga banyak tetesan minyak yang kelihatan menempel pada bagian
dalam kemasan plastik yang dipakai. Akibat lain dari banyaknya minyak
yang masih terkandung adalah hasil gorengan menjadi cepat lembek
dalam penyimpanan.

Peralatan Tepat Guna yang Dibutuhkan Perajin
Setelah diadakan pengamatan pada saat proses produksi di
lokasi penelitian dan perencanaan peralatan bekerjasama dengan bengkel
peralatan Unibraw, maka dihasilkan peralatan tepat guna yang dibutuhkan
perajin untuk mengembangkan usahanya, yaitu alat perajang bawang
merah, unit penggoreng bawang merah dan alat peniris minyak (spinner)
dengan spesifikasi peralatan sebagai berikut.

1. Alat perajang bawang merah (lampiran 1)
Motor penggerak 220 Volt, 90 rpm
Kapasitas alat 15 kg bawang merah/jam

2. Unit penggoreng bawang merah (lampiran 2)
Kompor bertekanan (0-300 lb/in2) berisi minyak tanah sebanyak 20 l
Kapasitas wajan penggoreng berisi minyak goreng 50 l

3. Alat peniris minyak (spinner) (lampiran 3)
Motor penggerak HP; 220 Volt, 50 Hz ; 1420 rpm
Kapasitas alat 2,5 kg bawang goreng/3 menit

Mutu Hasil Bawang Goreng Menggunakan Alat Tepat Guna
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan alat, tenaga dan
waktu, telah dilakukan percobaan pengolahan bawang merah goreng
menggunakan alat tepat guna yang telah dirancang. Urutan proses yang
dilakukan ada pada Tabel 3, sedangkan kondisi operasi proses
pengolahannya ada pada Tabel 4.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
759
Tabel 3. Cara pengolahan bawang goreng menggunakan alat tepat guna

Tahapan proses Cara pengolahan menggunakan peralatan tepat guna
1 Umbi bawang merah kering
2 Bawang merah dikupas
3 Diiris-iris dengan alat perajang tepat guna
4 Digoreng dengan unit penggoreng tepat guna 8 menit
5 Dikeringkan di dalam oven selama 3 jam
6 Ditiriskan minyaknya dengan spinner
7 Dikemas ke dalam kantong plastik ketebalan 0,05 mm
8 Kemasan ditutup rapat dengan sealer
Rendemen hasil 27%

Tabel 4. Kondisi operasi pengolahan bawang merah goreng menggunakan peralatan
tepat guna

Tahapan proses Uraian Nilai
Bahan mentah Bawang merah
Varietas
Kadar air (%)

Pilipine
81,9

Pengirisan Ketebalan irisan (mm) 1,5 - 2,0
Penggorengan Jenis minyak goreng
Perbandingan minyak : bahan
Lama penggorengan (menit)
Suhu penggorengan (C )
Bimoli
20 : 1
3,5
Awal
Tengah
Akhir



150
130
140
Pengeringan dengan oven Lama pengeringan (jam)
Suhu pengeringan (C )
3
80-90

Penirisan dengan spinner Lama penirisan (menit) 3
Hasil bawang goreng Kadar air (%)
Rendemen hasil (%)
2,04
27

Pengemasan Jenis pengemas
Ketebalan (mm)
Plastik PP
0,05


Hasil bawang goreng kemudian disimpan dalam suhu ruang
selama 40 hari. Evaluasi terhadap mutu bawang goreng yang dihasilkan
sebelum dan sesudah disimpan 40 hari dalam suhu ruang ada pada Tabel
5.
Pengeringan bawang goreng dalam oven selama 3 jam
dimaksudkan agar kadar air hasil gorengan dapat diperkecil dan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
760
teksturnya menjadi semakin renyah. Menurunnya kerenyahan dan
meningkatnya kadar air setelah disimpan kemungkinan karena kurang
tebalnya plastik yang digunakan, sebaiknya dengan ketebalan 0,08
sampai 0,10 mm.
Selain dengan pengeringan, peningkatan kerenyahan hasil
gorengan dapat dilakukan dengan menambahkan tepung ke dalam irisan
bawang merah sebelum digoreng. Untuk mengetahui mutu hasilnya, telah
dicoba cara pengolahan yang sama dengan pemberian tepung yang
mudah diperoleh di pasaran yaitu tepung beras sebanyak 0,5; 1,0 dan 5,0
% bahan mentah terhadap irisan bawang merah yang akan digoreng.
Mutu hasilnya seperti pada Tabel 6.

Tabel 5. Mutu bawang merah goreng hasil penggunaan peralatan tepat guna sebelum
dan setelah disimpan 40 hari dalam suhu ruang*

Nilai
Kriteria mutu
Sebelum disimpan Setelah disimpan
1. Warna
2. Rasa
3. Kerenyahan
4. Ketengikan
5. Kadar air (%)
6. Kadar Asam Lemak Bebas (%)
Kuning kecoklatan
Gurih
Renyah
Belum terasa
2,04
1,27
Kuning kecoklatan
Gurih
Cukup renyah
Belum terasa
4,00
1,41

* Rata-rata suhu ruang + 26,2 C dengan kelembaban nisbi + 82%.


Tabel 6. Mutu bawang merah goreng dengan 3 macam konsentrasi penambahan
tepung beras

Konsentrasi tepung beras yang ditambahkan (%)
Kriteria mutu
0,5 1,0 5,0
1. Warna
2. Kerenyahan
3.Rendemen hasil (%)
Kuning kecoklatan
Renyah
26,70
Kuning
kecoklatan
Renyah
27,00
Kuning menarik
Sangat renyah
30,40

Dibandingkan dengan penambahan tepung beras 0,5% dan 1,0%,
penambahan tepung beras 5% menunjukkan hasil yang terbaik, yaitu dari
tingkat kerenyahan dan warna hasilnya. Tingginya tingkat kerenyahan
menunjukkan kadar air yang rendah, sehingga tidak diperlukan proses
pengeringan dengan oven. Rendemen yang tinggi juga menguntungkan
perajin.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
761

Hasil Pengujian Berbagai Cara Pengolahan Bawang Goreng
Guna mendapatkan cara pengolahan yang dapat menghasilkan
bawang goreng bermutu dan disenangi konsumen maka dilakukan
pengujian terhadap berbagai cara pengolahan bawang goreng. Dari hasil
uji organoleptik terhadap rasa bawang goreng dari berbagai penambahan
tepung beras (Tabel 7) diketahui bahwa bawang goreng yang diolah dari
bahan mentah bawang merah kering (kadar air 82%) dengan
penambahan tepung beras 5% mempunyai rasa enak dan termasuk yang
paling gurih dibandingkan perlakuan lainnya, kecuali perlakuan dengan
penambahan tepung beras 1%. Perlakuan tepung beras 5% juga
mempunyai rasa tengik terendah dibanding perlakuan cara Nganjuk dan
tepung beras 1% dari umbi basah. Rasa pahit pada perlakuan
penambahan tepung beras 5% lebih rendah daripada cara Nganjuk dan
Brebes. Penilaian rasa oleh panelis yang meliputi rasa enak, gurih, tengik
dan pahit terhadap perlakuan penambahan tepung beras 10% dan 15%
menghasilkan rasa yang cukup disenangi (Tabel 7).

Tabel 7. Hasil uji organoleptik terhadap rasa bawang merah goreng dari berbagai cara pengolahan
menggunakan varietas Pilipine*

Perlakuan cara pengolahan Rasa enak Rasa gurih
Rasa
tengik
Rasa pahit
1. Cara Nganjuk
2. Cara Brebes
3. Umbi kering, tepung beras 1%**
4. Umbi basah, tepung beras 1%***
5. Umbi kering, tepung beras 5%**
6. Umbi kering, tepung beras 10%**
7. Umbi kering, tepung beras 15%**
1,857 c
2,429 de
4,07 1a
3,643 ab
3,571 ab
2,714 cd
3,143 bc
2,143 e
2,286 e
3,929 a
3,643 ab
3,857 a
2,786 cd
3,214 bc
2,143 b
2,786 a
3,000 a
2,571 ab
2,786 ab
2,857 a
2,929 a
2,214 b
1,714 c
2,929 a
2,714 a
2,786 a
2,857 a
3,000 a

* Setiap angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%
** Umbi kering kadar air 82%
*** Umbi basah kadar air 85%

Dari hasil uji organoleptik terhadap sifat fisik bawang merah
goreng ternyata bahwa cara umbi kering dengan penambahan tepung
beras 5% paling renyah, sama dengan cara Brebes dan cara umbi kering
dengan tepung beras 1% (Tabel 8). Warna hasil bawang goreng dari umbi
kering dengan tepung beras 5% termasuk cukup bagus, yaitu kuning
kecoklatan. Nilai terhadap ketebalan irisan, pada cara umbi kering dengan
tepung beras 5% ketebalannya cukup (nilai 2,429), tidak terlalu tebal atau
tipis, dengan ukuran irisan sedang (nilai 2,714) (Tabel 8).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
762
Cara Brebes mempunyai kerenyahan dan warna yang baik
dengan rasa tengik paling sedikit, namun mempunyai rasa pahit yang
terbesar (Tabel 7), sehingga rasa enak dan gurihnya juga berpengaruh,
menjadi kurang enak dan kurang gurih. Penambahan tepung beras 10%
dan 15% menghasilkan kerenyahan yang cukup baik, namun warna,
ketebalan dan ukuran irisan kurang baik menurut panelis (Tabel 8).
Secara keseluruhan, cara umbi kering dengan tepung beras 5%
mempunyai rasa dan sifat fisik yang terbaik, yaitu hasil bawang gorengnya
mempunyai rasa enak, gurih, tidak tengik, tidak pahit, sangat renyah,
warnanya cukup bagus serta ketebalan dan ukuran irisannya cukup.
Rendemen hasil yang tinggi (30,4%) pada cara ini juga sangat
menguntungkan perajin.

Tabel 8. Hasil uji organoleptik terhadap rasa bawang merah goreng dari berbagai cara pengolahan
menggunakan varietas Pilipine*

Perlakuan cara pengolahan Kerenyahan Warna Ketebalan
irisan
Ukuran
irisan
1. Cara Nganjuk
2. Cara Brebes
3. Umbi kering, tepung beras 1%**
4. Umbi basah, tepung beras 1%***
5. Umbi kering, tepung beras 5%**
6. Umbi kering, tepung beras 10%**
7. Umbi kering, tepung beras 15%**
1,214 d
4,571 a
4,643 a
3,357 b
4,429 a
2,000 c
3,286 b
1,714 cd
4,857 a
4,857 a
2,286 c
3,857 b
1,429 d
1,857 cd
3,714 a
2,714 bcd
2,143 d
2,429 cd
2,429 cd
3,000 abc
3,286 ab
3,714 a
2,286 b
2,143 b
2,714 b
2,714 b
3,429 a
3,429 a

* Setiap angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%
** Umbi kering kadar air 82%
*** Umbi basah kadar air 85%


KESIMPULAN

- Proses pengeringan dengan oven untuk meningkatkan kerenyahan
bawang goreng dapat diganti dengan pemberian tepung beras
sebanyak 5% berat bawang merah irisan sebelum digoreng.
- Pemberian tepung beras sebanyak 5% berat bawang merah irisan
dapat menghasilkan bawang goreng yang bermutu.
- Penirisan minyak terbaik adalah menggunakan spinner, tidak cukup
hanya dengan alas kertas koran maupun ayakan.
- Kemasan plastik yang digunakan untuk membungkus bawang goreng
sebaiknya dengan ketebalan 0,08 - 0,10 mm.
- Unit peralatan tepat guna yang diperlukan perajin untuk
pengembangan usaha bawang goreng adalah alat perajang, unit
penggoreng dan peniris minyak (spinner).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
763

DAFTAR PUSTAKA

1. Deptan. 2005. Produksi Bawang Merah 20002003.
http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/horti/2005/prod.bwmerah04.
Diakses pada tgl. 19 Juli 2008.
2. Sharon. 2006. Bawang Goreng (Fried Shallots).
http://www.recipezan.com/188440. Diakses pada tanggal 19 juli
2008.
3. Suyuti, Ch. 1997. Uji Daya Hasil Bermacam Varietas Bawang
Merah (Allium scalonium L.) di Sentra Produksi Kabupaten
Nganjuk. Skripsi Fak. Pertanian Univesitas Muhammadiyah Malang.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Lampiran 1.







Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
764


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Lampiran 2.








Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
765


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Lampiran 3.









Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
766


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
767

PENGARUH CARA PENYIMPANAN DAN TINGKAT KERING UMBI
BAWANG BOMBAY TERHADAP KUALITAS DAN KETAHANAN
SIMPAN

Etty Sumiati, Darkam Musaddad, Iceu Agustinisari,
dan Ineu Sulastrini


Balai PenelitianTanaman Sayuran
Jln. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang-Bandung 40391

ABSTRAK. Susut bobot dan kualitas umbi bawang Bombay di daerah
tropis dari mulai sesaat setelah panen, pada waktu penyimpanan dan
diperdagangkan merupakan masalah serius yang merugikan petani/
pedagang. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan cara penyimpanan
umbi bawang Bombay dengan tingkat kering umbi berbeda-beda.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hasil-Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Lembang (1250 m dpl.), Jawa Barat. Rancangan Acak
Kelompok Pola Faktorial dengan 2 faktor serta 3 ulangan digunakan di
laboratorim. Faktor pertama: Tingkat kering umbi bawang Bombay , terdiri
atas 3 taraf faktor, yaitu: segar/ sesaat setelah panen, kering lokal (3
hsp), dan kering simpan (10 hsp). Faktor ke dua: Cara penyimpanan umbi
bawang Bombay, terdiri atas 3 taraf faktor, yaitu: umbi brangkasan
digantung, umbi brangkasan disimpan di atas rak, dan umbi protolan
disimpan di dalam keranjang plastik. Penyimpanan umbi dilakukan selama
3 bulan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tidak terjadi pengaruh
interaksi antara tingkat kering umbi dengan cara penyimpanan umbi
bawang Bombay pada 3 bulan setelah disimpan. Secara independen,
tingkat kering lokal dan kering simpan menghasilkan susut bobot umbi
yang lebih rendah (27,06-28,92%) dibandingkan dengan tingkat kering
panen. Ke tiga tingkat kering umbi, tidak berpengaruh terhadap persen
kebusukan umbi (17,78-22,22%) selama penyimpanan umbi 3 bulan.
Kualitas umbi bawang Bombay terbaik (dalam hal kekerasan umbi,
kandungan VRS dan TPT umbi), berasal dari umbi segar/ tingkat kering
panen. Secara independen, cara penyimpanan umbi brangkasan
digantung atau disimpan di atas rak menghasilkan persen susut bobot
(22,28-26,92%) dengan persen busuk umbi (11,11 - 12,11%) yang lebih
rendah dibandingkan dengan protolan di dalam keranjang plastik, selama
penyimpanan 3 bulan. Kualitas umbi bawang Bombay yang tertinggi
dalam hal kekerasan umbi (3.14 mm per 100g per detik) dihasilkan oleh
cara penyimpanan umbi protolan di simpan dalam keranjang plastik.
Sedangkan kandungan VRS umbi tidak dipengaruhi oleh berbagai cara
penyimpanan umbi tersebut. Kandungan TPT umbi yang tertinggi (8,62-
8,72 Brix) berasal dari cara penyimpanan umbi brangkasan yang
digantung atau disimpan di atas rak selama 3 bulan.

Kata kunci: Allium cepa L.; Cara penyimpanan; Kualitas; Umbi Bawang
Bombay.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
768

PENDAHULUAN

Di daerah tropis, susut bobot umbi bawang Bombay selama
penyimpanan di gudang berkisar antara 70-90% (Datar and Molekar
1989). Penyebabnya antara lain yaitu akibat: (1) 22% susut bobot secara
fisiologis (pengkerutan umbi, dehidrasi, respirasi), (2) 29% pertunasan
umbi dan akar, (3) 30% busuk oleh serangan hama dan penyakit di
gudang, dan (4) 19% akumulasi gula dan penurunan kualitas umbi dalam
hal kandungan asam piruvat dan asam askorbat (Sentana et al., 1993).
Penurunan kualitas dan susut bobot umbi bawang Bombay terjadi sejak
umbi dipanen di lapangan, saat penjemuran, di tempat penyimpanan, dan
pada saat diperdagangkan. Hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi
petani dan pedagang. Kerugian semakin bertambah sejalan dengan
bertambah lama waktu penyimpanan umbi.
Cara penyimpanan umbi bawang Bombay merupakan hal penting,
untuk mereduksi susut bobot dan mempertahankan kualitas umbi selama
penyimpanan. Menurut Rodriguez et al. (1975), jumlah zat padat,
kesegaran umbi lapis, dan tingkat pengawetan mempengaruhi perilaku
penyimpanan berikutnya. Umbi bawang Bombay segar/ sesaat setelah
dipanen, mengandung air (kadar air) antara 88,6-92,8% (Widdowson dan
Mc.Cance, 1960 cit. Rabinowitch dan Brewster, 1990).
Salah satu cara untuk meningkatkan kandungan zat padat dan
menurunkan kadar air umbi bawang Bombay adalah dengan teknik
pengeringan dan penyimpanan umbi yang tepat guna. Pada umumnya di
Indonesia, petani mengeringkan umbi bawang Bombay dengan cara
menjemurnya di bawah sinar matahari secara alami. Cara ini kurang tepat
untuk mengeringkan umbi bawang Bombay pada musim hujan. Hal ini
karena selain waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan umbi lebih
lama dibandingkan dengan pengeringan pada musim kemarau, juga
merepotkan petani.
Petani biasanya menyimpan umbi bawang di dalam gudang.
Namun gudang di daearh panas (dataran rendah) harus diimbangi
dengan ventilasi yang memadai. Menurut Pantastico et al. (1975),
penyimpangan beberapa komoditas cukup memadai dengan peranginan
(diangin-anginkan). Penggunaan gudang sistem vortex yang berfungsi
sebagai pengering dan penyimpan, dapat mempertahankan kualitas umbi
bawang putih (Sinaga, 1990) dan bawang merah (Asgar, 1992). Namum
untuk bawang merah gudang penyimpanan sistem vortex hanya dapat
memepertahankan kualitas selama 7 minggu, setelah itu umbi bawang


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
769
merah bertunas dan bahkan bila kelembaban udara tinggi, maka umbi
bawang merah menjadi busuk. Hal ini terjadi mungkin karena kurangnya
ventilasi udara pada gudang sistem vortex yang mengakibatkan terjadi
peningkatan kelembaban udara di dalamnya. Pengeringan umbi bawang
putih dengan cara langsung memasukkan ke dalam gudang pengering
tanpa dinding, menghasilkan umbi bawang putih yang mencapai tingkat
kering simpan setelah 4 minggu disimpan (Sinaga dan Hartuti, 1991).
Namun penyimpanan umbi bawang merah pada suhu 30
o
C dan
kelembaban relatif (RH) 70%, menghasilkan ketahanan simpan umbi yang
tinggi (Musaddad dan Sinaga, 1994). Penyimpanan bawang merah pada
tingkat kering di screen house dengan suhu rata-rata 31
o
C dan RH 80%,
merupakan cara penyimpanan umbi bawang merah yang terbaik (van der
Meer, 1990). Berbagai teknik penyimpanan yang telah dilakukan untuk
menyimpan umbi bawang merah dan bawang putih, belum diterapkan
untuk menyimpan umbi bawang Bombay.
Penyimpanan umbi bawang Bombay pada tingkat kering yang tepat
dengan cara penyimpanan yang sesuai, belum diketahui. Diduga umbi
bawang Bombay yang disimpan pada tingkat kering umbi yang tepat akan
memperpanjang daya simpan dan mempertahankan/ meningkatkan
kualitas umbi selama disimpan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan
tingkat kering dan cara penyimpanan umbi bawang Bombay yang dapat
mempertahankan kualitas umbi selama penyimpanan 3 bulan .

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di laboratorium Fisiologi Hasil, Balai Penelitian
Tanaman Sayuran (BALITSA), Lembang (1250 m dpl.) dari bulan
September sampai November 2006. Bawang Bombay yang digunakan
adalah bawang Bombay segar hasil panen di Kebun BALITSA yang
berumur 91 hari. Kultivar yang digunakan adalah kultivar hari pendek
introduksi No. F-590 berasal dari Australia. Setelah dipanen, umbi
bawang Bombay berdiameter antara 2,51-4,09 diseleksi/ dipilih,
dibersihkan dari kotoran, dll., kemudian diikat. Hasil seleksi dibagi menjadi
3 bagian. Bagian pertama langsung disimpan digudang (tingkat kering
umbi: kering panen/ umbi masih segar). Bagian ke dua dijemur di bawah
cahaya matahari secara alami selama 3 hari (tingkat kering umbi: kering
lokal). Bagian ke tiga dijemur selama 10 hari (tingkat kering umbi: kering
simpan). Setiap tingkat kering umbi tersebut di muka dibagi lagi menjadi 3
bagian. Dua bagian diikat (brangkasan/ umbi + batang semu + daun utuh),
dan satu bagian lagi dipotong dan dibuang bagian batang semu +


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
770
daunnya (protolan/ hanya umbi saja dengan 1 cm batang semu masih
menempel pada umbi). Bawang Bombay tersebut disimpan dengan cara
berbeda-beda pada gudang penyimpanan dengan suhu berfluktuasi
antara 15-26
o
C (temperatur kamar/ ambient) dan RH antara 50-87%.
Rancangan eksperimen menggunakan Rancangan Acak Kelompok
pola faktorial terdiri atas 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama:
Tingkat kering umbi (U), terdiri atad 3 taraf faktor, yaitu (u
1
) umbi
segar/kering panen (0 hsp), (u
2
) umbi kering lokal (3 hsp), dan (u
3
) umbi
kering simpan (10 hsp). Faktor ke dua: Cara penyimpanan umbi (P), terdiri
atas 3 taraf faktor, yaitu: (p
1
) umbi brangkasan digantung, (p
2
) umbi
brangkasan disimpan di diatas rak bambu, dan (p
3
) umbi protolan
disimpan di dalam keranjang plastik. Sampel bawang Bombay yang
diteliti sebanyak 10 kg per kombinasi perlakuan. Tidak ada pemeliharaan
secara khusus saat bawang Bombay disimpan di gudang.
Peubah yang diamati dan dianalisis, yaitu: (1) persentase susut
bobot umbi pada 1,2, dan 3 bulan disimpan, (2) persentase jumlah umbi
busuk setelah 3 bulan disimpan, (3) kadar air umbi setelah disimpan 3
bulan , dan (4) kualitas umbi (kekerasan, kandungan VRS, dan TPT)
setelah disimpan 3 bulan.
Data dianalisis Sidik Ragam pada P 0,05. Perbedaan di antara
kombinasi perlakuan dianalisis menggunakan uji Jarak Berganda Duncan
pada P 0,05. Program analisis statistik menggunakan SAS. Data
observasi terdiri atas sifat fisik dan kimia umbi bawang Bombay saat
dipanen (sebelum penyimpanan), yaitu meliputi: (1) kadar air, (2)
kekerasan, (3) susut bobot, (4) kandungan VRS, dan (5) TPT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Sidik Ragam ANOVA pada P 0,05 menyatakan terjadi
pengaruh interaksi antara tingkat kering umbi dan cara penyimpanan
terhadap peubah susut bobot umbi bawang Bombay selama disimpan 1
dan 2 bulan. Namun, tidak terjadi pengaruh interaksi ke dua faktor yang
diteliti terhadap peubah susut bobot umbi, kebusukan, kadar air, dan
kualitas umbi (kekerasan, kandungan VRS dan TPT) selama disimpan 3
bulan.

Susut Bobot Umbi
Dari Tabel 1, susut bobot umbi selama disimpan 1 bulan yang
terkecil (5,24-5,38 %) berasal dari umbi dengan tingkat kering lokal (3 hsp)
yang disimpan dengan cara brangkasan digantung (u
2
p
1
) dan brangkasan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
771
di atas rak bambu (u
2
p
2
). Hal ini kemungkinan karena pada umbi
brangkasan dengan tingkat kering lokal (3 hsp), respirasi dan penguapan
air (tidak diukur) terjadi lebih lambat dibanding pada umbi protolan.
Sedangkan susut bobot umbi terbesar dari umbi kering panen (0 hsp)
yang disimpan dengan cara brangkasan digantung (u
1
p
1
) dan brangkasan
diatas rak (u
1
p
2
). Pada umbi dengan tingkat kering panen (0 hsp),
mengandung kadar air tertinggi sejak awal (Tabel 5) dan terjadi respirasi
serta penguapan air yang lebih tinggi/ cepat yang terjadi pada batang
semu + daun dibandingkan dengan pada umbi (protolan/ u
1
p
3
), sehingga
setelah disimpan 1 bulan akan menghasilkan susut bobot umbi yang
tertinggi.

Tabel 1. Interaksi antara tingkat kering umbi dengan cara penyimpanan terhadap susut bobot
bawang Bombay selama disimpan 1 bulan

Susut bobot umbi selama 1 bulan, %
Tingkat kering umbi (U):
Kode
perlakuan

Cara penyimpanan
umbi (P)
u
1
. Kering
panen
u
2
. Kering lokal u
3
. Kering simpan
p
1
. Brangkasan digantung
30,18 a *
A
5,38 b *
C
14,48 a *
B
p
2
.
Brangkasan di atas rak
bambu
29,09 a
A
5,24 b
C
12,10 a
B
p
3
.
Protolan di dalam
keranjang plastik
9,31 b
A
10,35 a
A
9,97 a
A

Koefisien keragaman:
14,20 %
PP
n
, U
n
, PU
n

Keterangan: * Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan pada baris yang
sama, tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf P
0,05.
n : nyata.

Dari Tabel 2, susut bobot umbi yang terbesar (32,71-33,50%)
selama disimpan 2 bulan, berasal dari umbi dengan tingkat kering panen
(0 hsp) yang disimpan dengan cara brangkasan digantung (u
1
p
1
) dan
disimpan di atas rak bambu (u
1
p
2
). Tampaknya persentase susut bobot
umbi yang terbesar selama disimpan 1 sampai 2 bulan, adalah konsisten
berasal dari perlakuan sama (u
1
p
1
dan u
1
p
2
). Alasannya, juga sama
seperti yang diterangkan di muka. (Tabel 1). Hal ini sesuai dengan
pendapat Hoftun (1993) dan Solberg (1999) pada penelitian umur panen,
metode pengeringan, dan penyimpanan umbi bawang Bombay dalam hal
internal atmosphere, kualitas, dan penampilan umbi.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
772

Tabel 2. Interaksi antara tingkat kering umbi dengan cara penyimpanan terhadap susut bobot
bawang Bombay selama disimpan 2 bulan

Susut bobot umbi selama 2 bulan, %
Tingkat kering umbi (U):

Kode
perlakuan

Cara penyimpanan
umbi (P)
u
1
. Kering panen u
2
. Kering lokal u
3
. Kering
simpan
p
1
. Brangkasan digantung 33,50 a *
A
19,94 a*
B
26,04 a *
AB
p
2
. Brangkasan di atas rak
bambu
32,71 a
A
19,40 a
B
18,68 a
B
p
3
. Protolan di dalam
keranjang plastik
19,79 b
A
23,27 a
A
19,83 a
A
Koefisien keragaman:
11,04 %
PP
n
, U
n
, PU
n

Keterangan: * Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan pada baris yang
sama, tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf P 0,05.
n : nyata.

Setelah umbi disimpan selama 3 bulan (Tabel 3), terjadi perubahan
pada persentase susut bobot umbi. Secara mandiri susut bobot umbi yang
terbesar (37,88%) berasal dari tingkat kering panen (u
1
) dan dari cara
penyimpanan umbi protolan disimpan di dalam keranjang plastik (p
3
). Hal
ini terjadi karena pada umbi dengan tingkat kering panen mengandung
kadar air yang tertinggi dibandingkan dengan tingkat kering lokal (u
2
) dan
kering simpan (u
3
). Secara mandiri, umbi protolan disimpan di dalam
keranjang plastik (p
3
), juga memberikan persentase susut bobot umbi
yang tertinggi (34,68%) dibandingkan dengan cara penyimpanan umbi
brangkasan digantung atau brangkasan disimpan di atas rak.
Umbi yang diprotoli batang semu dan daunnya, akan menghasilkan
laju respirasi dan penguapan air yang lebih cepat dan lebih tinggi (tidak
diukur). Akibat terjadi luka pada umbi protolan, maka akan lebih banyak
oksigen masuk pada sel-sel disekitar bagain potongan batang dan daun
yang menyebabkan terjadi stimulasi respirasi yang lebih cepat/ tinggi.
Karena itu susut bobot umbi menjadi yang tertinggi dari perlakuan ini (p
1
).

Kebusukan Umbi
Dari Tabel 3, secara mandiri, ketiga tingkat kering umbi
menghasilkan persentase kebusukan umbi selama disimpan 3 bulan yang
sama/ tidak berbeda nyata (u
1
-u
3
). Jadi dalam konteks ini umbi dengan
tingkat kering 0-10 hsp akan menghasilkan persentase kebusukan sama,
yaitu antara 17,78 - 22,22% selama penyimpanan 3 bulan.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
773

Tabel 3. Pengaruh tingkat kering umbi dan cara penyimpanan terhadap susut bobot, kebusukan
dan kadar air umbi bawang Bombay selama disimpan 3 bulan

Kode
perlakuan
Perlakuan Susut bobot
(%)
Kebusukan
(%)
Kadar air
(%)
Tingkat kering umbi
(U):

u
1
. Kering panen 37,88 a * 17,78 a * 90,85 b *
u
2
Kering lokal 28,92 b 22,22 a 91,64 a
u
3
Kering simpan 27,06 b 17,78 a 92,01 a

Cara penyimpanan (P)
p
1
. Brangkasan digantung 22,28 b * 12,11 b * 90,77 b *
p
2
. Brangkasan di atas rak
bambu
26,92 b 11,11 b 90,73 b
p
3
. Protolan di dalam
keranjang plastik
34,68 a 25,56 a 93,01 a
Interaksi antara U x P tn tn tn
Koefisien keragaman ,
%.
12,65 25,44 1,22

Keterangan: * Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan pada
baris yang sama, tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda
Duncan pada taraf P 0,05.
n : nyata.


Secara mandiri, cara penyimpanan umbi brangkasan disimpan di
atas rak bambu atau brangkasan digantung, menghasilkan persentase
kebusukan umbi yang terendah (11,11- 12,11%). Pada umbi yang
disimpan dengan ke dua cara tersebut resiko kontaminasi oleh penyakit
selama disimpan 3 bulan adalah terkecil, karena umbi masih menempel
pada batang semunya dan hampir tidak ada peluang untuk penyakit
memasuki umbi pada sistem tertutup itu. Sedangkan pada umbi yang
disimpan dengan cara protolan, terjadi tingkat persentase kebusukan
yang tertinggi, maka terjadi luka akibat memisahkan umbi dari batang
semunya yang memacu aktivitas metabolik seperti proses respirasi sel
(Tanaka et al., 1985). Selain itu pada umbi protolan (p
3
) kadar air umbi
lebih tinggi dibanding dengan umbi brangkasan (p
1
dan p
2
) (Tabel 3).
Faktor tersebut pada akhirnya menghasilkan persentase kebusukan umbi
yang tertinggi yang berasal dari umbi protolan yang disimpan di dalam
keranjang plastik.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
774
Kadar Air
Dari Tabel 3, setelah umbi disimpan selama 3 bulan, maka kadar
air dari umbi tingkat kering panen menjadi lebih rendah dibandingkan
dengan dari tingkat kering lokal dan tingkat kering simpan. Padahal kadar
air umbi kering panen sebelum disimpan/ saat panen adalah lebih tinggi
dibandingkan dengan umbi tingkat kering lokal dan kering simpan (Tabel
5). Hal ini mungkin karena terjadi susut bobot yang tertinggi dari umbi
tingkat kering panen (Tabel 3) selama 3 bulan penyimpanan dibandingkan
dengan umbi tingkat kering lokal dan tingkat kering simpan. Hasil
penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Sentana (2000) yang
mengungkapkan bahwa kadar air umbi bawang Bombay yang disimpan
pada suhu gudang 0
o
C dan 20
o
C berfluktuasi, namun cenderung menurun
selama waktu penyimpanan.

Kualitas Umbi (Kekerasan, Kandungan VRS dan TPT3)
Dari Tabel 4 secara mandiri, kekerasan umbi yang terendah (2,70
mm/100g/det) setelah penyimpanan selama 3 bulan, berasal dari umbi
dengan tingkat kering simpan (u
3
). Hal ini terjadi karena kandungan VRS
(31,88 mgrek/g) dan TPT (7,30 Brix) juga rendah dari umbi tingkat kering
simpan ini. Kekerasan umbi antara lain dipengaruhi oleh nilai kualitas
kandungan VRS dan TPT. Penyimpanan umbi pada tingkat kering lokal
dan kering simpan selama 3 bulan meningkatkan kekerasan umbi dari
2,80 mm/dt/100g (Tabel 5) menjadi 3,02 mm/100g/det (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh tingkat kering umbi dan cara penyimpanan terhadap kekerasan, VRS dan TPT
umbi bawang Bombay selama disimpan 3 bulan

Kode
perlakuan
Perlakuan Kekerasan
(mm/ 100g/ det.)
VRS
(mgrek/ g)
TPT
(Brix)
Tingkat kering umbi
(U):

u
1
. Kering panen 3,00 a * 37,47 a * 8,52 a *
u
2
Kering lokal 3,02 a 44,27 a 7,76 ab
u
3
Kering simpan 2,70 b 31,88 b 7,30 b

Cara penyimpanan (P)
p
1
. Brangkasan digantung 2,85 ab * 36,59 a * 8,62 a *
p
2
. Brangkasan di atas rak
bambu
2,73 ab 39,52 a 8,72 a
p
3
. Protolan di dalam
keranjang plastik
3,14 a 37,51 a 6,24 ab
Interaksi antara U x P tn tn tn

Keterangan: * Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom sama, tidak
berbedanyata menutrut `Uji Jarak Berganda Duncan` pada P 0,05
tn : tidak nyata


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
775
Secara mandiri, cara penyimpanan umbi tidak berpengaruh
terhadap kekerasan umbi setelah disimpan selama 3 bulan (Tabel 4). Hal
ini antara lain karena nilai kandungan VRS dan TPT dari umbi yang
disimpan dengan ke tiga cara itu juga tidak berbeda.
Hasil observasi kualitas umbi bawang Bombay sebelum
penyimpanan, pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik fisik dan kimia umbi bawang Bombay sebelum penyimpanan


No.

Tingkat kering
umbi
Kadar air
(%)
Kekerasan
(mm/dt/100 g)
Kandungan
VRS
(mikrogrek/ g)
Kandung-
an
TPT
(%)
Susut
bobot
dari
basah
(%)
1 Kering panen/
segar (o hsp)
94,16
a *
2,89 a * 32,95 a * 5,43 b * --
2 Kering lokal (3
hsp)
92,11 b 2,88 a 33,27 a 7,45 a 27,20 b
*
3 Kering simpan
(10 hsp)
91,79 b 2,80 a 29,07 b 7,60 a 32,06 a
Koefisien
Keragaman, (%)
2,84 2,81 8,00 2,83 2,82

Secara keseluruhan, umbi bawang Bombay kultivar F -590 masih
dapat tahan disimpan selama 3 bulan pada gudang bertemperatur
ambient di Lembang (1250 m dpl.) dengan suhu udara antara 15-26
o
C
(temperatur kamar/ ambient) dan RH antara 50-87% dengan tingkat
kebusukan rendah serta kualitas umbi yang semakin baik. Hal ini karena
kondisi lingkungan di gudang penyimpanan di Lembang tersebut optimum
untuk penyimpanan umbi bawang Bombay, yaitu umbi dapat tahan lama
disimpan pada suhu udara antara 0-5
o
C dengan RH antara 65-75% atau
disimpan pada suhu 25-30
o
C dengan RH antara 65-75% (Brice et.al.,
1997).

KESIMPULAN

1. Tidak terjadi pengaruh interaksi antara tingkat kering dengan cara
penyimpanan umbi bawang Bombay terhadap berbagai peubah yang
diukur/diamati selama tiga bulan penyimpanan.
2. Penyimpanan umbi bawang Bombay secara protolan yang diletakkan
di dalam keranjang plastik, menghasilkan susut bobot dan kebusukan
umbi yang tertinggi dibandingkan dengan penyimpanan secara
brangkasan digantung.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
776
3. Penyimpanan umbi secara brangkasan digantung dan brangkasan
disimpan di atas rak bambu, merupakan cara penimpanan umbi
bawang Bombay yang terbaik. Cara penyimpanan seperti ini
menghasilkan susut bobot, kebusukan, kadar air umbi, yang lebih
rendah dibandingkan dengan cara penyimpanan umbi bawang
Bombay protolan disimpan di dalam keranjang plastik.
4. Penyimpanan umbi protolan disimpan di dalam keranjang plastik,
menghasilkan kekerasan umbi yang tertinggi dibandingkan dengan
cara penyimpanan umbi brangkasan digantung dan brangkasan
disimpan di rak bambu.
5. Umbi kering panen dan kering lokal menghasilkan kualitas umbi
(kekerasan, VRS, TPT) yang lebih tinggi dibandingkan dengan umbi
kering simpan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Asgar, A. 1992. Pengeringan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
dengan Menggunakan Ruang Berpembangkit Vortex. Bul. Penel. Hort.
22 (1): 48-57.
2. Brice, J., L. Currah, A. Malins, and R. Brancroft. 1997. Onion Storage
in the Tropics. Pp 23-30.
3. Datar, V.V., and V.G. Molekar. 1989. Investigation on Post Harvest
Decay of Onion. Onion Newsletter for the Tropics. No. 1: 27-30.
4. Hoftun, H. 1993. Internal Atmosphere and Watery Scales in Onion
bulbs (Allium cepa L.). Acta Horticulturae. 343: 135-140.
5. Musaddad, D., dan R.M. Sinaga. 1994. Pengaruh suhu penyimpanan
terhadap mutu umbi bawang merah (Allium ascalonicum L.). Bul.
Penel. Hort. 26(2): 134-141.
6. Pantastico, E.B., T.K. Chattopadhyay, dan H. Subramanyam. 1975.
Penyimpanan dan Operasi Penyimpanan Secara Komersial dalam
Fisiologi Pascapanen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan
dan Sayuran Tropik dan Sub Tropik. Diterjemahkan oleh: Kamariyani.
1989. Gajah Mada University Press.
7. Rabinowitch, H.D., and J.L. Brewster. 1990. Onions and Allied Crops.
Chapter 8: Seed production in onion and some other Allium species.
pp: 173.






Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
777
8. Rodriguez, P., B.L. Raina, E.B. Pantastico, dan M.B. Batti. 1975. Mutu
Bahan-bahan Mentah untuk Pengolahan dan Fisiologi Pascapanen
Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran
Tropik dan Sub Tropik. Diterjemahkan oleh Kamariyani. 1989. Gajah
Mada University Press.
9. Sentana, S., C. Yuen, K. Buckle, and R. Willis. 1993. Effect of Storage
Temperature and Humidity on the Quality of Early Lockyer White
Onions. Australian Postharvest Conference. Univ. of Queensland
Gatton Collage. Queensland. 19-23 September. 12 pp.
10. Sentana, S. 2000. Pengaruh Suhu Penyimpanan pada Kualitas
Bawang Bombay CV. Early Lockyer White. Agritech. 20 (1): 20-24.
11. Sinaga, R.M., dan Nurhartuti. 1991. Pengaruh Cara Penyimpanan
terhadap Mutu Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Bul. Penel.
(20): 143-151. Edisi Khusus No. 1.
12. Sinaga, R.M. 1990. Pengaruh Penggunaan Alat Pengering Vortex
terhadap Mutu Bawang Putih. Bul. Penel. Hort. 19(4): 63-70.
13. Sinaga, R.M., dan Nurhartuti. 1991. Pengaruh Konstruksi Gudang dan
Lama Pengeringan terhadap Mutu Bawang Putih. Bul. Penel. Hort.
20(3): 40-46.
14. Solberg, S.O. 1999. Effects of Harvesting and Drying Methods on
Internal Atmosphere, Outer Scale Appearance, and Storage of Bulb
Onions. J. Veg. Crop Prod. 42: 23-35.
15. Tanaka, M., K. Chee, and S. Komochi. 1985. Studies on the Storage
of Autumn Harvested Onion Bulbs. II. Influence of Storage
Temperature and Humidity on Bulb Rot. Res. Bul. Hokaido Natl. Agric.
Expt. Stn. 141:17-28.
16. Van der Meer, Q.V. 1990. Storage of Plant in Indonesia. International
Communication LEHRI-ATA. No. 21.
















Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
778

POTENSI SAYURAN OLAHAN SIAP SANTAP UNTUK
MENINGKATKAN NILAI TAMBAH, PRODUKTIVITAS DAN DAYA
SAING DI PASAR GLOBAL


Widaningrum
1)
, Nurdi Setyawan
1)
dan Sunjaya Putra
2)

1)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80 Lembang 40391


ABSTRAK. Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup modern
yang menginginkan segala sesuatu serba cepat dan praktis menuntut
tersedianya bahan pangan siap santap sehingga dapat langsung dimakan.
Hal ini berlaku juga untuk bahan pangan sayuran. Teknologi pascapanen,
terutama aspek penanganan dan pengolahan yang tepat untuk
memperpanjang masa simpan sayuran sangat diperlukan. Hingga saat ini
teknologi pengolahan produk sayuran siap santap masih terbatas
dijumpai, padahal pangsa pasarnya masih terbuka sangat lebar, baik
untuk memenuhi pasar domestik maupun untuk mensuplai permintaan
dari luar negeri (ekspor). Salah satu teknologi pengolahan sayuran adalah
dengan metode penggorengan vakum. Penggorengan vakum mampu
menjadikan sayuran mentah menjadi matang dan siap untuk dimakan
serta kering sehingga awet untuk jangka waktu yang lama. Kelebihan
lainnya adalah kandungan gizi (nutrisi) yang penting yang terdapat pada
sayuran seperti vitamin A, C dan serat masih tinggi. Hal ini disebabkan
proses penggorengan vakum menggunakan suhu yang rendah, sehingga
dapat menjaga kualitas nutrisi sayuran seperti saat masih mentahnya.
Hampir semua jenis sayuran dapat diberi perlakuan penggorengan
vakum, misalnya kentang, wortel, buncis, lobak, kacang panjang, jamur,
dan lain-lainnya. Namun hal ini relatif belum pernah dilakukan di
Indonesia sebagaimana halnya yang telah banyak diterapkan pada
berbagai buah-buahan seperti apel, nangka, nenas dan salak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa buncis kering siap santap (keripik buncis)
masih memiliki kandungan vitamin C 0,5 mg/100 g berat basah dan keripik
wortel masih mengandung vitamin A sebanyak 302,25 ppm dan kadar
serat 8,77%. Di masa depan trend mengkonsumsi sayuran siap santap
tampaknya akan semakin berkembang khususnya bagi mereka yang
tinggal di kota-kota besar. Ini merupakan peluang emas bagi Indonesia
dimana produktivitas sayuran di negara ini senantiasa berlimpah
sepanjang tahun, dan pemanfaatan keberlimpahan sayuran pada saat
panen raya menjadi hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Kata kunci: Sayuran, Goreng Vakum, Pengawetan, Nilai Tambah



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
779

PENDAHULUAN

Sayuran sebagai salah satu produk pertanian penting merupakan
bahan pangan yang kaya akan vitamin dan mineral, sehingga bermanfaat
untuk memelihara kesehatan tubuh agar tetap prima. Menurut Muchtadi
dan Anjarsari dalam Rachmat et al. (2003), sayuran merupakan salah satu
sumber pro-vitamin A, vitamin C serta sumber kalsium dan zat besi serta
menyumbangkan sedikit kalori dan sejumlah kecil elemen mikro. Selain
itu, sayuran merupakan bahan pangan yang kaya akan serat dan
umumnya mengandung senyawa antioksidan yang dapat mencegah
resiko penyakit kanker atau penyakit degeneratif lainnya, sehingga
keberadaaan sayuran dalam menu makanan sehari-hari merupakan hal
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Bagian terbesar dari sayuran adalah
air, dan sisanya adalah sedikit karbohidrat. Sebagian ada juga yang
mengandung sekelumit protein dan lemak.
Sayuran merupakan produk pertanian strategis yang
ketersediaannya di Indonesia senantiasa berlimpah sepanjang tahun.
Konsumsi sayuran masyarakat Indonesia sendiri selalu meningkat dari
tahun ke tahun. Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS), konsumsi kelompok sayuran dan buah pada tahun 2002
mengalami peningkatan menjadi 74,7 kg per kapita per tahun dari 59,2 kg
pada tahun 1999 (meningkat 26,1%) (Hariwibowo, 2004). Karena sifat
dan kandungan zat gizinya, sayuran digolongkan sebagai bahan pangan
yang mudah rusak atau busuk atau sangat mudah rusak/busuk. Menurut
Rachmat et al. (2003) di Indonesia kehilangan hasil sayuran secara
kualitas dan kuantitas sudah mencapai 25-40%. Hal ini erat hubungannya
dengan penanganan pascapanen sayuran yang kurang/belum memadai
disamping faktor-faktor alam yang kurang mendukung seperti iklim tropis
yang pada saat-saat tertentu kurang bagus, suatu saat musim kemarau
dan saat yang lain adalah musim penghujan yang berkepanjangan.
Kondisi ini menuntut usaha penanganan pascapanen sayuran harus
dilakukan secara hati-hati untuk menekan kehilangan hasil, menjaga
kualitas nutrisi yang dimiliki sayuran serta menjamin keamanannya.
Teknologi yang dapat mengurangi kerusakan dan kebusukan sayuran
sangat diperlukan selain dalam upaya untuk memperpanjang masa
simpannya sebelum tiba di tangan konsumen juga untuk menyelamatkan
keberlimpahan sayuran yang terjadi pada saat panen raya. Teknologi
tersebut mencakup penanganan pasca panen yang efisien dan tepat,
transportasi yang memadai dari lokasi panen ke tempat pendistribusian,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
780
proses pengolahan yang tepat, dan perlakuan penyimpanan yang baik
agar dapat meningkatkan masa simpan sayuran sebelum tiba di tangan
konsumen (pengguna).
Menurut Anonymous (2007), Produksi nasional komoditas
hortikultura Departemen Pertanian berdasarkan angka prognosa (angka
realitas yang masuk sampai dengan bulan Triwulan III ditambah angka
estimasi laporan yang belum masuk berdasarkan tahun sebelumnya)
selama 2007 alami peningkatan sebesar 4,34-7,30 persen dari tahun
sebelumnya. Laporan Ditjen Hortikultura tahun 2007 menunjukkan bahwa
produksi komoditas sayuran mengalami peningkatan dari 9.527,463 ton
pada tahun 2006 menjadi 9.941,339 ton pada tahun 2007 atau naik
sebesar 4,34 persen. Luas panen hortikultura pada tahun 2007 juga ikut
meningkat 4,5 sampai 8,61 hektar dibanding tahun 2006. Kenaikan
produksi komoditas hortikultura tersebut salah satunya disebabkan
peningkatan luas panen yang mana untuk sayuran meningkat dari 1,007
juta hektar pada tahun 2006 menjadi 1,053 juta hektar pada tahun 2007.
Produksi sayuran yang meningkat secara signifikan terjadi pada bawang
merah yaitu 30,68 persen; labu siem 34,07 persen; tomat 26,12 persen.
Produksi sayuran pada tahun 2008 ditargetkan naik menjadi 9,99% dari
produksi tahun 2007 yang mencapai 9,997 juta ton. Masih perlu kerja
keras untuk meningkatkan daya saing produk hortikultura nasional, salah
satunya dengan memperbaiki perdagangan maupun konsumsi baik di
dalam maupun luar negeri.
Produk hortikultura, terutama dari iklim tropis seperti Indonesia,
mempunyai pangsa pasar tersendiri. Produk hortikultura, baik yang segar
maupun olahan, menjadi salah satu komoditas perdagangan internasional
sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1. Potensi tersebut tentu menjadi
peluang ekspor produk hortikultura Indonesia, sekaligus memberikan
sumbangan bagi Produk Domestik Bruto (PDB). Data dari Ditjen
Hortikultura tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi
hortikultura tahun 2007 belum dibarengi menembus pasar luar negeri
karena ekspor masih lebih kecil. Ekspor komoditas hortikultura secara
nasional (pada tahun 2007) tercatat masih lebih rendah baik dari segi
volume maupun nilainya dibandingkan impor produk serupa dari negara
lain. Pencapaian peningkatan produksi dilakukan dengan menumbuhkan
dan memantapkan kawasan sayuran. Misalnya, untuk peningkatan
produksi kentang, pemerintah mengembangkan kawasan baru di Kerinci,
Jambi dan Minahasa Selatan. Produksi dari kawasan ini dimaksudkan
untuk menambah yang selama ini dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Jawa Barat, sedangkan bawang merah yang biasanya dari Brebes dan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
781
Cirebon, akan ada pengembangan kawasan baru di Nganjuk dan
Probolinggo (Jawa Timur), Yogyakarta serta Papua (Anonymous, 2008).
Selain itu yang kini harus lebih dilakukan adalah dengan
memantapkan agribisnis melalui cara mengolah sayuran segar menjadi
sayuran siap santap agar memiliki nilai tambah yang menguntungkan
petani. Peluang pasar ini di masa depan sangat cerah, apalagi untuk
orientasi ekspor. Teknologi pengawetan sayur-sayuran dapat dilakukan
dengan cara pengawetan sayur dalam bentuk segar (fresh fruit) maupun
dalam bentuk makanan olahan. Salah satu bentuk makanan olahan dari
sayur-sayuran yang mempunyai peluang pasar internasional adalah
dalam bentuk olahan kering. Permintaan akan makanan kering buah-
buahan dan sayur-sayuran saat ini terus meningkat disebabkan karena
masyarakat negara-negara maju banyak menyukai makanan sehat
(healthy foods) yang banyak mengandung serat makanan (dietary fiber)
seperti dalam buah-buahan dan sayur-sayuran dan dalam proses
pembuatannya tanpa bahan tambahan seperti pengawet (Harmanto et al.,
1999).

Tabel 1. Produksi sayuran di Indonesia (tahun 2004-2006) dalam satuan ton
Komoditas Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006
Bawang daun 475,571.00 501,437.00 571,268.00
Bawang merah 757,399.00 732,610.00 794,931.00
Bawang putih 28,851.00 20,733.00 21,050.00
Bayam 107,737.00 123,785.00 149,435.00
Bunga kol 99,994.00 127,320.00 135,518.00
Buncis 267,619.00 283,649.00 269,532.00
Cabai 1,100,514.00 0.00 0.00
Cabai besar 714,705.00 661,730.00 736,019.00
Cabai rawit 385,809.00 396,293.00 449,038.00
Jamur 10,543.95 1,213.60 23,559.00
Kacang merah 107,281.00 132,218.00 125,250.00
Kacang panjang 454,999.00 466,387.00 461,239.00
Kangkung 212,870.00 229,997.00 292,950.00
Kentang 1,072,040.00 1,009,619.00 1,011,911.00
Ketimun 477,716.00 552,891.00 598,890.00
Kol / kubis 1,432,814.00 1,292,984.00 1,267,745.00
Labu siam 179,845.00 180,029.00 212,697.00
Lobak 30,625.00 54,226.00 49,344.00
Melinjo 209,629.00 210,836.00 239,209.00
Petai 135,715.00 125,587.00 148,268.00
Petsai / sawi 534,964.00 548,453.00 590,400.00
Terung 312,354.00 333,328.00 358,095.00
Tomat 626,872.00 647,020.00 629,744.00
Wortel 423,722.00 440,001.00 391,371.00

Sumber : Departemen Pertanian (2008)
Keterangan : Angka tetap




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 200


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
782
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa ekspor sayuran olahan
menunjukkan fluktuasi yang sangat tinggi. Apabila pada bulan Januari
kita mampu mengekspor sayuran olahan (sayuran yang sudah siap
dikonsumsi seperti pikel, acar, sayuran dalam kaleng, jamur dalam kaleng,
dan lain-lain) sebanyak 3,76 ton senilai US $ 626,126, maka pada bulan-
bulan berikutnya mulai bulan Februari sampai bulan Mei 2008 nilai ekspor
kita menurun cukup tajam yaitu dalam kisaran 628,621 kg sampai 648,685
kg saja dengan nilai uang yang cukup merosot pula, yaitu penerimaan
negara kita hanya mencapai US $ 848,259 sampai US $ 796,170.
b. Pokok Masalah
Ekspor sayuran olahan dari Indonesia relatif masih sedikit dan
terbatas hanya pada sayuran segar dan yang didinginkan, dibekukan,
diolah dengan menggunakan vinegar atau asam, serta sedikit ekspor dari
sayuran olahan. Data dari BPS (2005) menunjukkan bahwa ekspor
keripik dan stik kentang baru mencapai negara Korea dan Singapura
dengan berat total hanya sebesar 113,150 kg senilai US$ 84,040.
Demikian pula untuk sayuran lain yang tidak dibekukan dan tidak
diawetkan (segar) baru mencapai Korea, Saudi Arabia dan Belanda
dengan berat keseluruhan hanya 113,139 kg saja yang setara dengan
US$ 15,262. Adapun sayuran lain (mixed vegetables) yang tidak
dibekukan dan tidak diawetkan baru memasuki negara Jepang, Korea,
Thailand dan Brunei Darussalam dengan berat total 394,204 kg atau baru
setara dengan US$ 527,092. Ekspor sayuran olahan masih sedikit, tidak
sepadan dibanding ekspor komoditas hortikultura lainnya (misalnya buah-
buahan dan produk olahannya). Ekspor sayuran olahan dari Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 2. Di lain pihak, produktivitas sayuran di
Indonesia selalu menunjukkan peningkatan seperti dapat dilihat pada
Tabel 3. Dengan demikian sangat terbuka lebar peluang bagi para pelaku
agribisnis di Indonesia untuk memasuki pasar ekspor dengan beragam
potensi sayuran olahan yang dapat dihasilkan dan diproduksi oleh petani-
petani Indonesia.






8


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
783
Tabel 2. Ekspor sayuran (olahan) pada level nasional sampai bulan Mei 2007

Januari Februari Maret April Mei
Komoditas

Volume
(kg)
Nilai
(US $)
Volume
(kg)
Nilai
(US $)
Volume
(kg)
Nilai
(US $)
Volume
(kg)
Nilai
(US $)
Volume
(kg)
Nilai Value
(US $)
Sayur-sayuran
diawetkan
4,172 2,818 21,89 25,104 21,63 34,54 19,41 29,31 53,07 67,73
Sayuran
dikeringkan
15,227 81,589 49,069 141,83 16,55 61,94 51,20 111,51 73,70 205,82
Polong-polongan
dikeringkan
1,490,92 769,309 1,264,120 719,56 683,97 292,66 47,74 22,50 739,86 209,25
Sayuran olahan 3,760,45 626,126 628,621 848,26 579,66 764,52 409,98 536,60 648,69 796,17
Sayuran
olahan lainnya
1,605,35 3,466,65 1,762,99 3,744,84 1,887,22 4,595,48 1,287,59 3,047,21 2,226,33 6,151,88

Sumber : Departemen Pertanian (2008)
Keterangan : Angka tetap


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
784

Tabel 3. Produktivitas sayuran pada level nasional dari tahun 2000 sampai 2006

Komoditas

Satuan

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Bawang daun

Ku/Ha

86,17 82,50 75,77 89,90 10,40 110,40 113,10
Bawang merah

Ku/Ha

91,96 104,83 95,98 86,70 85,40 87,60 89,10
Bawang putih

Ku/Ha

59,12 53,42 58,55 61,40 5,85 63,20 67,80
Bayam

Ku/Ha

21,11 20,56 21,94 33,20 31,30 33,50 3,49
Bunga kol

Ton/Ha

0,00 0,00 0,00 166,90 144,40 145,30 13,63
Buncis

Ku/Ha

107,41 88,83 86,28 75,90 81,40 87,90 7,75
Cabai

Ku/Ha

41,66 40,72 42,17 6,05 56,60 0,00 0,00
Cabai besar

Ton/Ha

0,00 0,00 0,00 0,00 6,49 63,90 6,51
Cabai rawit

Ton/Ha

0,00 0,00 0,00 0,00 45,70 47,30 4,90
Jamur

Ku/Ha

0,00 0,00 0,00 1,124,90 0,00 1,213,60 0,00
Kacang merah

Ku/Ha

27,66 28,62 30,39 28,20 3,20 38,30 3,82
Kacang panjang

Ku/Ha

37,57 40,80 37,92 51,80 0,00 55,00 5,44
Kangkung

Ku/Ha

66,48 64,11 68,06 66,80 56,40 63,60 6,60
Kentang

Ku/Ha

133,76 148,49 155,90 153,20 163,90 164,00 169,40
Kol / kubis

Ku/Ha

[4]
224,47 203,59 204,67 209,00 210,60 223,80 21,96
Labu siam

Ku/Ha

274,49 213,77 219,69 116,40 176,40 188,10 17,07
Lobak

Ku/Ha

0,00 36,93 38,95 159,80 124,10 164,60 135,10
Melinjo

Ton/Ha

0,00 0,00 0,00 14,07 0,00 129,40 163,70
Mentimun

Ku/Ha

96,73 89,45 85,11 98,70 94,90 104,10 10,21
Petai

Ton/Ha

0,00 0,00 0,00 72,40 0,00 74,70 7,58
Petsai / sawi

Ku/Ha

[4]
115,20 95,87 101,43 105,10 9,43 105,90 103,00
Terung

Ku/Ha

74,80 68,15 69,33 67,80 69,00 73,50 7,26
Tomat

Ku/Ha

131,24 112,25 115,96 173,30 118,90 126,40 11,77
Wortel

Ku/Ha

164,10 162,92 140,40 165,50 175,30 178,50 167,10

Sumber : Departemen Pertanian (2008)









Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
785
Namun pada sayuran olahan lainnya (yaitu sayuran olahan yang
sudah tercampur di dalam produk makanan lainnya seperti dalam bubur
bayi, biskuit, keripik ikan) menunjukkan angka yang cukup
menggembirakan. Nilainya cukup stabil, yaitu pada bulan Januari
ekspornya mencapai 1,6 ton senilai US $ 3,466,651 dan terus meningkat
pada bulan Februari, Maret dan April dan mencapai nilai yang paling tinggi
pada bulan Mei 2007 yaitu mencapai 2,23 ton senilai US $ 6,151,882.
Potensi ini bisa terus meningkat apabila hasil-hasil pertanian kita terus
diberdayakan dan diolah terlebih dahulu sebelum diekspor, sehingga
petani dapat menikmati keuntungan dari nilai tambah yang dihasilkan.

c. Peluang
Perubahan gaya hidup yang beralih dari gaya hidup konvensional
ke gaya hidup modern yang menginginkan segala sesuatu yang serba
cepat menuntut tersedianya bahan pangan siap santap sehingga dapat
langsung dimakan. Hal ini berlaku juga untuk bahan pangan sayuran.
Teknologi pascapanen, terutama aspek penanganan dan pengolahan
yang tepat untuk memperpanjang masa simpan sayuran sangat
diperlukan. Tersedianya sayuran siap santap (langsung makan) dengan
kandungan nilai gizi/nutrisi yang masih tinggi merupakan tantangan
tersendiri bagi para ahli teknologi pangan untuk menemukan teknologi
pemasakan dan pengeringan sayuran yang tepat. Hingga saat ini,
teknologi pengolahan produk sayuran siap santap masih terbatas
dijumpai, padahal pangsa pasarnya masih terbuka sangat lebar, baik
untuk memenuhi pasar domestik maupun untuk mensuplai permintaan
dari luar negeri/ekspor (Tabel 2). Indonesia masih menjadi pemain kecil
pensuplai komoditas sayuran dan produk olahannya. Peluang untuk
memenuhi pasar yang terbuka lebar ini sangat besar. Menurut Saragih
(2001), pertumbuhan pasar global komoditas pertanian akan semakin
didominasi oleh komoditas non-tradisional seperti buah-buahan dan
sayuran, ikan olahan, tembakau dan makanan olahan. Sedangkan produk
tradisional seperti karet, serealia, gula dan produk tropis lainnya tumbuh
sangat rendah mengingat trend harga-harga komoditas primer lesu.
Peluang pasar ini harus diantisipasi terus-menerus oleh pelaku-pelaku
agribisnis atau pengusaha kita dengan melakukan perubahan pola
produksi yang lebih fokus kepada produk-produk olahan. Produk olahan
lebih berprospek, bernilai tambah serta persyaratan lainnya tidak seketat
produk primer atau produk segar.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
786
2. PROSES PEMBUATAN SAYURAN OLAHAN (KERIPIK SAYURAN)
SIAP SANTAP
Salah satu usaha untuk memperpanjang masa simpan sayuran
adalah dengan metode pengeringan atau pemasakan untuk mendapatkan
produk sayuran kering siap santap. Pengeringan merupakan suatu proses
penghilangan atau pengeluaran sebagian air dari bahan pangan dengan
cara menguapkan air dan menggunakan energi panas, sampai batas
mikroba tidak dapat hidup (Winarno, 1997). Keuntungan dari pengeringan
adalah bahan pangan dapat menjadi lebih awet, volume bahan menjadi
lebih kecil dan ringan serta mempermudah dan menghemat ruang
pengangkutan dan penyimpanan, sehingga pada akhirnya dapat
memperkecil biaya produksi, terutama apabila dilakukan dalam jumlah
besar. Salah satu teknologi yang dapat mengawetkan sayuran adalah
dengan mengolah sayuran segar menjadi produk sayuran siap santap
menggunakan metode pengeringan dengan pemasakan, sehingga
sayuran tersebut dapat langsung dimakan. Metode yang relatif baru dan
sangat potensial untuk diterapkan adalah dengan menggunakan alat
penggoreng vakum (vacuum frying).
Penggorengan vakum adalah suatu metoda pengurangan kadar
minyak pada produk sambil tetap mempertahankan kandungan nutrisi
produk. Teknologi ini dapat digunakan untuk memproduksi sayuran dan
buah-buahan yang didehidrasi tanpa mengalami reaksi pencoklatan
(browning) atau produk menjadi hangus. Pada operasi penggorengan
vakum, bahan pangan mentah dipanaskan di bawah kondisi tekanan yang
diturunkan (<60 Torr 8 kPa) yang dapat menurunkan titik didih minyak
dan kadar air bahan pangan tersebut (Shyu, Hau dan Hwang, 1998).
Dengan mesin penggoreng vakum (vacuum frying)
memungkinkan mengolah buah atau komoditas peka panas seperti buah
dan sayuran menjadi hasil olahan berupa keripik (chips) seperti keripik
nangka, keripik apel, keripik salak, keripik pisang, keripik nenas, keripik
melon, keripik salak, keripik pepaya, dan lain-lain. Pada kondisi vakum
suhu penggorengan dapat diturunkan sebesar 70-85C karena penurunan
titik didih air. Dengan sistem penggorengan semacam ini, produk-produk
pangan yang rusak dalam penggorengan (seperti buah-buahan dan sayur-
sayuran) akan bisa digoreng dengan baik, menghasilkan produk yang
kering dan renyah, tanpa mengalami kerusakan nilai gizi dan flavor seperti
halnya yang terjadi pada penggorengan biasa. Umumnya, penggorengan
dengan tekanan rendah akan menghasilkan produk dengan tekstur yang
lebih renyah (lebih kering), warna yang lebih menarik. Hal penting lain
dari produk hasil penggorengan vakum adalah kandungan minyak yang


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
787
lebih sedikit dan lebih porous (lebih ringan) dan umumnya mempunyai
daya rehidrasi yang lebih baik. Secara khusus, penggorengan vakum
berpotansi untuk mengurangi pembentukan akrilamida pada produk
goreng (Anonymous, 2008).
Pada metode pemasakan dengan penggorengan vakum, faktor-
faktor seperti suhu dan waktu pengeringan dapat dikendalikan dan
diawasi, produk yang digoreng kering pun langsung matang sehingga
dapat langsung disantap. Walaupun ada biaya bahan bakar yang harus
dikeluarkan, namun hasil pengeringan dan pemasakan yang merata dan
seragam akan lebih mudah didapatkan. Apabila dilakukan dalam volume
sayuran yang besar, biaya bahan bakar yang merupakan biaya produksi
ini akan terkompensasi dari volume penjualan sayuran siap santap yang
harganya lebih tinggi dibanding apabila hanya dijual dalam bentuk segar.
Pengeringan dan pemasakan dengan penggorengan vakum
menghasilkan produk yang aman dan umumnya renyah serta enak (tasty),
serta kandungan nutrisinya masih terjaga karena menggunakan suhu
rendah. Secara umum diagram alir pembuatan sayuran kering siap
santap adalah seperti yang terlihat pada Gambar 1.

3. KARAKTERISTIK SAYURAN OLAHAN
Sayuran yang diolah dengan cara dikeringkan sudah banyak
dilakukan. Namun sayuran yang dikeringkan sekaligus telah menjadi
matang merupakan hal yang relatif baru dan belum banyak dikembangkan
di Indonesia. Penggorengan vakum adalah salah satu teknologi
pengeringan yang dapat diterapkan pada sayur-sayuran dan buah-
buahan. Untuk tetap dapat mempertahankan gizinya, banyak jenis buah-
buahan dan sayuran yang dapat diproses dengan penggorengan vakum,
seperti buncis, brokoli, kembang kol, wortel, nenas, mangga, apel, dan
sebagainya. Beberapa negara di Asia (Jepang, Thailand, Taiwan) telah
menggunakan teknologi penggorengan vakum ini untuk memproduksi
snack bergizi dan menyehatkan yang berasal dari bermacam-macam
sayuran seperti buncis, wortel, jamur tiram, lobak, dan lain-lain
(Anonymous, 2008b). Teknologi yang relatif baru ini diharapkan dapat
meningkatkan gizi dan kesehatan bangsa dengan memproduksi makanan
yang rasanya enak, kandungan gizinya terjaga, berkadar lemak rendah
dibandingkan snack yang digoreng pada umumnya, dan lebih aman
karena mengandung lebih sedikit minyak serta tahan lama.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008





Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
788
































Gambar 1. Diagram alir pembuatan keripik sayuran (Setyawan et al., 2007)


Tabel 3. Kadar air keripik buncis yang diolah dengan penggoreng vakum dan
penggoreng tradisional

Kadar air
Pemangkasan, pengupasan,
penirisan
Pencucian dengan
air mengalir
Pemblansiran pada suhu
80C
Perendaman dalam larutan
CaCl
2
1000 ppm 30 menit
Penggorengan vakum
Keripik sayuran siap santap
Bahan baku sayuran
Cara
penggorengan

Suhu
penggorengan (g/100 g)
(C)
Waktu
penggorengan
(detik)
Tekanan
(kPa)
Awal Akhir
Penggorengan
vakum
Buncis


1211


330


< 1,33


79,840,29


3,420,43
Penggorengan
tradisional


1651


300


101,3


79,840,40


Buncis 8,310,03

Sumber: Da Silva dan Moreira (2008)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
789
Dalam beberapa tahun terakhir ini telah dilakukan beberapa
penelitian pembuatan keripik sayuran. Da Silva dan Moreira (2008) telah
membuat keripik buncis menggunakan alat penggoreng vakum dengan
karakteristik kadar air keripik buncis seperti dapat dilihat pada Tabel 3.
Terjadi penurunan kadar air yang cukup besar pada produk keripik buncis
dari bahan mentahnya. Hal ini memungkinkan produk keripik buncis yang
dihasilkan memiliki masa simpan yang awet (tahan lama).
Kandungan nutrisi pada keripik sayuran yang diolah dengan
menggunakan penggoreng vakum juga relatif masih tinggi, seperti pada
keripik buncis, masih terkandung total karotenoid yang sangat bermanfaat
untuk kesehatan karena berfungsi sebagai antioksidan. Demikian juga
untuk sifat kimia yang lain seperti protein, vitamin C, kalsium, serat kasar,
dan asam lemak bebas (FFA) yang jumlahnya masih tinggi pada produk
keripik sayuran. Setyawan et al. (2007) telah membuktikan hal ini melalui
penelitian pembuatan sayuran kering siap santap pada komoditas buncis
dan wortel. Sifat kimia produk yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Total karotenoid keripik buncis yang diolah dengan penggoreng vakum dan
penggoreng tradisional

Cara Penggorengan Total Karotenoid (g/g berat kering)
Penggorengan vakum
Buncis goreng

66,61 0,38
Buncis mentah 340,06 2,35
Penggorengan tradisional
Buncis goreng

54,63 0,42
Buncis mentah 340,06 2,35
Sumber: Da Silva dan Moreira (2008)

Tabel 5. Hasil analisis kandungan kimia produk sayuran kering (buncis dan wortel)
yang diolah dengan menggunakan penggoreng vakum

Parameter
Komoditas

Air
(%)
Abu
(%)

Lemak
(%)
Protein
(%)

Karbo-
hidrat
(%)
Serat
Kasar
(%)
Asam
lemak
bebas

Vit. C
(mg/
100g)
Asam
Thio-
barbiturat
(%)
Buncis 7,18 5,19 31,52 11,36 44,75 13,09 0.628 0.313 0.273
Wortel 4,08 5,48 39,17 7,37 43,91 8,77 0.473 0.175 0.303
Sumber: Setyawan et al. (2007)


Dari hasil penelitian Setyawan et al. (2007), diperoleh hasil
rendemen keripik buncis berkisar antara 13,58% s/d 14,17%, sedangkan
penggorengan vakum berlangsung selama 1,08 jam s/d 1,41 jam.
Sedangkan rendemen wortel kering berkisar antara 14,88% s.d. 16,56%


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
790
dengan waktu penggorengan berlangsung selama 1,32 jam s.d. 1,67 jam.
Hasil pengukuran warna, produk wortel kering sangat dominan dengan
warna kuning, sedangkan buncis kering berwarna hijau hingga hijau tua.
Dari uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian tersebut, produk
keripik wortel cenderung sangat disukai oleh panelis namun panelis pun
masih menyukai keripik buncis yang dihasilkan, karena mengandung serat
yang sangat tinggi (6-8%) yang sangat bermanfaat untuk kesehatan.
Di masa mendatang sayuran siap santap ini diharapkan menjadi
produk potensial yang teknologi proses pengolahannya dapat diadopsi
oleh banyak kalangan, yaitu dapat dilakukan oleh petani, serta teknologi
proses pengolahannya dapat dimodifikasi, sehingga paket teknologi
sayuran ini dapat dijual ke perusahaan makanan atau pelaku usaha yang
membutuhkan sayuran siap santap sebagai salah satu ingrediennya atau
produk utamanya. Hal yang terpenting adalah dengan mengolah sayuran
menggunakan alat penggoreng vakum terbukti dapat menjaga kandungan
nutrisi sayuran tetap tinggi seperti pada saat mentahnya dan bermanfaat
untuk kesehatan. Di masa depan, sayuran olahan siap santap ini
prospektif menjadi camilan sehat untuk anak-anak dan orang dewasa dan
sangat memiliki peluang cerah untuk dijadikan komoditas ekspor dengan
pasar yang sangat besar.

KESIMPULAN

Pengolahan sayuran mentah menjadi sayuran olahan sangat
prospektif dan menjanjikan keuntungan yang besar di masa depan,
terutama bagi petani dan pelaku usaha kecil menengah (UKM). Bagi
petani, sayuran yang menumpuk di waktu panen raya dapat dijual
sebagian ke pasar eceran dan sebagian lagi ke pengusaha sayuran siap
santap sehingga tidak ada masa bagi petani sayuran untuk merugi karena
berlimpahnya sayuran. Bagi para pelaku usaha pengolahan makanan,
nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan sayuran menjadi sayuran
siap santap dapat menjadi peluang usaha yang bila digeluti serius dapat
mendatangkan keuntungan yang cukup potensial. Potensi ini belum
tergarap secara maksimal oleh para pelaku agribisnis di Indonesia.
Teknologi pemasakan sayuran dan buah-buahan yang sudah ada dengan
penggorengan vakum, masih perlu terus digali dan diteliti terutama
penerapannya. Dengan riset pasar yang cukup, pengolahan sayuran
menjadi sayuran olahan terutama yang siap santap sangat prospektif
untuk Indonesia yang subur dan melimpah hasil hortikulturanya, dan di


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
791
masa depan memiliki peluang cerah untuk dijadikan komoditas ekspor
dengan pasar yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. 2007. Hortikultura, Potensi yang Masih Tak Berdaya.
http://www.SitusHijau.co.id. Diakses tanggal 25 Maret 2008.
2. Anonymous. 2008a. Pengembangan Sayuran Berbasis Kawasan
Kapan Terwujud? AGRINA Vol. 3 No. 72. Terbit Rabu, 20 Februari
2008. http://www.AGRINA-INSPIRASIAGRIBISNISINDONESIA.mht.
Diakses tanggal 25 Maret 2008.
3. Anonymous. 2008b. Teknologi Penggorengan. FOODREVIEW
INDONESIA. Vol.III/No. 3/April 2008
4. BPS. 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor.
Jilid 1. Biro Pusat Statistik. Jakarta Indonesia.
5. Da Silva, Paulo & R. G. Moreira. 2008. Vacuum Frying of High
Quality Fruit and Vegetable-based Snacks. LWT-Food Science and
Technology. Doi:10.1016/jJwt.2008.01.016.
6. Departemen Pertanian. 2008. Basis Data dan Statistik Pertanian.
Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian.
http//www.deptan.go.id. Diakses tanggal 1 Agustus 2008.
7. Hariwibowo, F. 2004. Kesejahteraan Petani Jawa Timur dan
Surabaya. Enciety Business Consult. http://www.googlesearch.co.id.
Diakses tgl 10 November 2006.
8. Rachmat, R. dkk. 2003. Produksi Sayuran Instan melalui Teknologi
Far Infra Red (FIR). Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian
Pascapanen Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian.
9. Saragih, Bungaran. 2001. Prospek Agribisnis 2001 dan Evaluasi
Pembangunan Pertanian 2000. Makalah disampaikan pada kuliah
Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. http//www.googlesearch.co.id. Diakses tanggal 1
Agustus 2008.
10. Setyawan, N., Widaningrum, D.A. Setyabudi, M. Shaffah, Siswadi,
Tisnawati. 2007. Teknologi Pengolahan Sayuran Kering Siap Santap.
Laporan Akhir Penelitian. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian.
Departemen Pertanian. 2007.
11. Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
792

SIFAT FISIK DAN SENSORI KERIPIK BUNCIS (Phaseolus radiatus)
YANG DIOLAH DENGAN MENGGUNAKAN PENGGORENG VAKUM

Widaningrum
1)
, Nurdi Setyawan
1)
dan Sunjaya Putra
2)

1)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114,
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80 Lembang 40391

ABSTRAK. Sayuran merupakan produk pertanian strategis yang
ketersediaannya di Indonesia senantiasa berlimpah sepanjang tahun.
Konsumsi sayuran masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke
tahun. Sayuran merupakan salah satu sumber pro-vitamin A dan vitamin
C, sumber kalsium dan zat besi, serta menyumbangkan sedikit kalori dan
sejumlah kecil elemen mikro, selain itu sayuran merupakan bahan pangan
kaya akan serat dan umumnya mengandung senyawa antioksidan yang
dapat mencegah resiko penyakit kanker atau penyakit degeneratif lainnya.
Sayuran digolongkan sebagai bahan pangan mudah rusak (perishable)
atau mudah busuk. Kondisi ini menuntut usaha penanganan pascapanen
sayuran yang baik untuk menekan kehilangan hasil, menjaga kualitas
nutrisi yang dimiliki sayuran dan menjamin keamanannya. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh teknologi pengolahan sayuran kering siap
santap skala laboratorium, khususnya sayuran buncis (Phaseolus
radiatus). Kegiatan penelitian dilakukan di Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian pada bulan Maret sampai September 2007.
Perlakuan yang diberikan adalah: pembumbuan (basah dan kering),
pemasakan/pengeringan (metode vacuum frying), dan suhu
penggorengan vakum (60-70C, 70-80C, dan 80-90C). Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap yang diulang 4 kali.
Parameter yang diamati meliputi mutu fisik sayuran kering (rendemen,
tekstur, tingkat kelayuan dan warna) serta sifat sensori keripik sayuran
(tekstur, warna, aroma, sifat kerenyahan, dan rasa). Penelitian ini
menghasilkan keripik buncis dengan rendeman 13,58 s/d 14,17% dan
waktu penggorengan vakum berlangsung selama 1,08 jam sampai
dengan 1,41 jam. Analisis warna menunjukkan produk keripik buncis lebih
rendah tingkat kecerahannya dibanding bahan segarnya. Nilai a
menunjukkan produk keripik buncis kurang dominan dengan warna
merah, sedangkan nilai b menunjukkan bahwa produk keripik buncis
kurang dominan dengan warna kuning. Hasil uji organoleptik
menunjukkan bahwa secara umum panelis memberikan nilai 4,28 - 4,76
(agak suka sampai suka) pada keripik buncis yang dihasilkan. Pada
prinsipnya panelis dapat menerima produk keripik buncis yang disajikan
dari hasil penelitian.

Kata kunci : Buncis (Phaseolus radiatus), Goreng Vakum, Sifat Fisik, Sifat
Sensori


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
793

PENDAHULUAN

Banyak jenis buah dan sayuran setelah dipanen dikonsumsi
langsung oleh kensumen. Biasanya buah dan sayuran dalam kondisi
segar umur simpannya tidak lama, lebih dari 15 hari kebanyakan buah
dan sayur tersebut akan membusuk. Kondisi ini kurang menguntungkan
bagi bisnis buah dan sayur skala besar atau industri. Agar dapat
menjadikan produk hortikultura ini tahan lebih lama salah satunya dapat
diolah menjadi sayuran kering.
Untuk meningkatkan nilai tambah, pengawetan sayuran dengan
mengolahnya menjadi sayuran kering mulai banyak dilakukan di
Indonesia. Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan bahan
agar dapat disimpan lebih lama, ringan, dan volumenya menjadi kecil
sehingga biaya produksi akan lebih hemat.
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi sebagian air dari bahan
sampai kadar air tertentu agar bahan tersebut dapat disimpan lebih lama
(Aman et al. 1992; Muchtadi et al.,1995). Pengeringan telah banyak
dilakukan dalam pengolahan hasil pertanian dan bahan pangan dengan
menggunakan energi matahari, pemanasan, pengangin-anginan,
perbedaan tekanan uap, dan pengeringan beku (Aman et al., 1992).
Pengeringan dan tekanan vakum dan suhu rendah akan menghasilkan
sayuran kering yang bermutu baik (Estiaghi et al., 1994; Histifarina et al.,
2004).
Pengeringan vakum merupakan salah satu cara pengeringan
bahan dalam ruang yang tekanannya lebih rendah daripada tekanan
udara atmosfer. Pengeringan dapat dilakukan dalam waktu yang lebih
singkat walaupun pada suhu yang lebih rendah daripada pengeringan
atmosfer. Dengan tekanan uap air dalam udara yang lebih rendah, air
pada bahan akan menguap pada suhu yang lebih rendah (Aman et al.,
1992; Histifarina dan Musaddad, 2004; Sinaga 2001b). Pengeringan
dilakukan dengan alat pengering vakum untuk memperoleh sayuran
kering dengan warna, aroma, dan tekstur yang baik (Sinaga dan
Histifarina, 2000).
Sejauh ini beberapa jenis buah yang sudah umum dibuat keripik
dengan menggunakan penggorengan vakum adalah pisang, apel, salak,
nangka, pepaya, melon, mangga, nanas, dan sebagainya. Untuk produk
buah dan sayuran lainnya masih perlu dilakukan penelitian. Keuntungan
penggorengan vakum dibandingkan dengan penggorengan konvensional
adalah warna buah atau sayur relatif tidak berubah, lebih renyah, tampil


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
794
lebih menarik dan rasa lebih enak. Bentuk produk seperti inilah yang
disukai konsumen. Penggorengan konvensional menghasilkan mutu
produk yang rendah, karena penggorengan dilakukan pada suhu yang
cukup tinggi (160-180C) yaitu pada suhu didih minyak. Penggorengan
pada suhu tinggi akan berdampak terhadap warna produk (mengalami
reaksi pencokelatan atau browning) sehingga sayuran maupun buah-
buahan yang digoreng secara konvensional akan kehilangan sebagian
besar vitamin yang dikandungnya. Untuk mempertahankan warna sayur
dan buah agar tetap menarik dan mengurangi kehilangan vitaminnya,
buah atau sayur digoreng pada suhu didih minyak serendah mungkin,
tidak perlu sampai 160C. Titik didih minyak akan rendah jika tekanan di
dalam ruang goreng divakumkan. Pada tekanan 66 cmHg vakum, minyak
sudah mendidih pada suhu 82-85C (Anonymous, 2008).
Penggorengan vakum adalah suatu metode pengurangan kadar
minyak pada produk sambil tetap mempertahankan kandungan nutrisi
produk. Teknologi ini dapat digunakan untuk memproduksi sayuran dan
buah-buahan yang didehidrasi tanpa mengalami reaksi pencoklatan
(browning) atau produk menjadi hangus. Pada operasi penggorengan
vakum, bahan pangan mentah dipanaskan di bawah kondisi tekanan yang
diturunkan (<60 Torr 8 kPa) yang dapat menurunkan titik didih minyak
dan kadar air bahan pangan tersebut (Shyu et al., 1998).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan sensori
keripik sayuran sayuran buncis (Phaseolus radiatus) yang diolah dengan
menggunakan penggoreng vakum.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai September 2007.
Proses preparasi bahan dan penggorengan vakum dilakukan di Balai
Besar Industri AgroBogor. Analisis sifat fisik dan uji organoleptik
dilakukan di Laboratorium Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian-
Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan penelitian yaitu sayuran buncis varietas lokal, minyak
goreng merek Avena dan bumbu masak Masako sebagai bahan perisa
yang dibeli dari Pasar Anyar-Bogor. Bumbu masak yang digunakan
adalah bumbu tabur yang komposisinya terdiri dari garam, gula, ekstrak
daging sapi, merica, bawang putih, perisa daging sapi, bawang merah,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
795
rempah-rempah, karamel, pemberi rasa asam dan penguat rasa
(mononatrium glutamat, hidrolisat protein nabati, nukleotida) yang
diproduksi oleh PT. Ajinomoto Indonesia, Mojokerto, Indonesia.
Peralatan yang diperlukan antara lain vacuum fryer, peralatan
untuk persiapan contoh (pisau, panci, kain kasa, timbangan, kompor gas),
dan peralatan untuk analisis. Spesifikasi vacuum fryer yang digunakan
yaitu tipe water-jet dengan kapasitas 4 kg bahan per batch. Vacuum fryer
ini diproduksi oleh bengkel Balai Besar Industri Agro-Bogor.

Persiapan Contoh Sayuran
Jenis buncis (Phasealus radiatus) yang digunakan adalah polong
buncis muda varietas lokal dan dipilih yang segar, tidak cacat, masih
muda dan belum berserat. Polong buncis muda dibiarkan utuh namun
dipotong sedikit pada kedua ujungnya lalu dicuci sampai bersih
menggunakan air mengalir, lalu dilakukan perendaman dalam larutan
CaCl
2
(1000 ppm, selama 30 menit) (Sofyan, 2004). Setelah itu kemudian
ditiriskan. Setelah itu dilakukan blansir dengan uap (pada pembumbuan
kering) selama 5-10 menit, polong buncis muda kemudian diberi dua
perlakuan pembumbuan (kering dan basah).

Perlakuan Pembumbuan (Kering dan Basah) dan
Pemasakan/Pengeringan (Vacuum frying dan Oven) dengan
Beberapa Variasi Suhu
Pada buncis dengan pembumbuan kering, setelah diblanching
selama 5-10 menit kemudian digoreng vakum dengan tiga variasi suhu
(60-70C, 70-80C, dan 80-90C) sebagai perlakuan sampai diperoleh
keripik buncis lalu diberi bumbu dengan cara penaburan. Pada buncis
dengan pembumbuan basah, sayuran dicelupkan (deeping) dalam adonan
bumbu basah selama 5-10 menit sampai bumbu terserap lalu dimasak
dengan metode pengggorengan vakum dengan tiga variasi suhu (60-
70C, 70-80C, dan 80-90C) sebagai perlakuan sampai didapatkan
keripik buncis siap santap.

Karakterisasi Sifat Fisik dan Sifat Organoleptik Keripik Buncis
Parameter yang diamati meliputi mutu fisik sayuran kering
(rendemen dan warna) dan sifat organoleptik. Rendemen dihitung dengan
membagi bobot bahan kering dengan bobot basah sebelum dikeringkan
dikali 100%. Tingkat kelayuan diuji secara visual, dibandingkan dengan
kesegaran sayuran asal (sebelum dikeringkan). Selain itu uji kenampakan
warna sayuran kering dilakukan dengan alat chromameter. Pengukuran


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



warna dengan menggunakan chromameter dilakukan dengan prinsip
seperti Gambar 1.

L

+b Yellow
-a Green + a Red

-b Blue

Black


Gambar 1. Interpretasi hasil analisis warna dengan alat chromameter


Sifat organoleptik meliputi tekstur, warna, aroma, sifat crunchy, dan
rasa menggunakan sistem skor melalui uji kesukaan (hedonik) pada skala
1-7 menurut Soekarto (1986). Secara umum diagram alir pembuatan
sayuran kering siap santap adalah seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Analisis Statistik
Perlakuan yang diberikan adalah faktor pertama yaitu cara
pembumbuan (basah dan kering) dan faktor kedua yaitu suhu
penggorengan vakum (60-70C, 70-80C, dan 80-90C). Percobaan
dilakukan sebanyak 4 kali ulangan. Rancangan penelitian adalah
rancangan acak lengkap pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu
faktor A (cara pembumbuan) yang terdiri dari 2 taraf yaitu A1 =
pembumbuan basah, A2 = pembumbuan kering, dan faktor B (suhu
penggorengan vakum) yang terdiri dari 3 taraf yaitu B1 = suhu 60-70C,
B2 = suhu 70-80C, dan B3 = suhu 80-90C. Sebagai kontrol adalah
sayuran segar. Uji sidik ragam (ANOVA) diterapkan pada data yang
diperoleh dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata (Duncan Multiple
Range Test) untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap
mutu dan karakteristik sayuran siap santap. Analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan software SPSS versi II.5 untuk Windows.


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
796


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
797



Gambar 2. Diagram alir pembuatan sayuran kering (keripik sayuran) siap santap





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku Sayuran
Karakteristik kimia
Karakteristik kimia bahan baku sayuran buncis adalah: kadar air
buncis sebesar 94,195 % sedangkan kadar abu buncis segar 0,765%.
Kadar serat kasar, vitamin C dan kalsium pada buncis segar masing-
masing sebesar 1,36 %; 0,9 mg/g; dan 669,86%. -karoten pada buncis
segar terdeteksi sebesar 127,81%.

Karakteristik fisik
Pada penelitian ini telah dilakukan pengukuran panjang, berat dan
diameter bahan baku buncis segar per 5 batang . Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa panjang rata-rata buncis segar sebesar 17,055 cm.
Berat buncis segar per 5 batang rata-rata mencapai 32,5 g dan setelah
dipotong ujungnya mencapai rata-rata 30,5 g. Sedangkan rata-rata
diameter buncis segar dari 10 batang buncis adalah 0,47 cm (rata-rata
batang bagian atas) dan 0,92 cm (rata-rata batang bagian bawah).

Karakteristik Produk Sayuran Kering
Karakteristik fisik produk keripik buncis
Karakteristik fisik produk keripik buncis yang diamati dalam
penelitian ini meliputi rendemen dan warna.


A1B1 A1B2
A2B1 A2B2
A2B3
A1B3












Gambar 3. Produk keripik buncis pada beberapa perlakuan
Ket :
A1 = Pembumbuan basah
A2 = Pembumbuan kering (bumbu tabur)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
798
B1 = Suhu penggorengan vakum (60-70)C
B2 = Suhu penggorengan vakum (70-80)C
B3 = Suhu penggorengan vakum (80-90)C


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
799
a. Rendemen
Hasil perhitungan rendemen produk keripik buncis dan
pengamatan lama penggorengan buncis disajikan pada Tabel 1.
Rendemen keripik buncis berkisar antara 13,58 s.d. 14,17 %, sedangkan
penggorengan berlangsung selama 1,08 jam s/d 1,41 jam.

Tabel 1. Rendemen produk keripik buncis dan lama penggorengan

Perlakuan Rendemen (%) Waktu penggorengan (jam)
A1B1 13.65 1.23
A1B2 13.58 1.29
A1B3 13.79 1.08
A2B1 14.17 1.41
A2B2 13.67 1.26
A2B3 14.04 1.11

Ke t: A1 = Pembumbuan basah
A2 = Pembumbuan kering (bumbu tabur)
B1 = Suhu penggorengan vakum (60-70)C
B2 = Suhu penggorengan vakum (70-80)C
B3 = Suhu penggorengan vakum (80-90)C

b. Warna
Analisis parameter warna diukur dengan menggunakan alat
Chromameter Minolta CR-300. Hasil pengukuran warna keripik buncis
disajikan pada Tabel 2. Buncis segar mempunyai nilai warna L 61,495.
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan. Nilai ini lebih tinggi dibanding
produk keringnya. Pada keripik buncis dengan perlakuan pembumbuan
basah, nilai L-nya adalah 16,50; 17,10 dan 21,30 masing-masing untuk
perlakuan suhu penggorengan vakum (60-70)C, (70-80)C dan (80-
90)C. Hal ini menunjukkan bahwa produk keripik buncis lebih rendah
tingkat kecerahannya dibanding bahan segarnya.
Menurut Sudjud (2000), semakin tinggi suhu dan waktu
penggorengan akan mengakibatkan kecerahan produk semakin
berkurang, intensitas warna merah meningkat dan intensitas warna kuning
berkurang, artinya produk yang dihasilkan semakin gelap. Perubahan
keripik buncis berhubungan dengan reaksi pencoklatan yang terjadi
selama penggorengan. Reaksi non enzimatik yang terjadi berdampak
langsung terhadap warna keripik yang dihasilkan proses pencoklatan yang
disebabkan oleh panas disebut browning non enzimatis dimana warna
yang ditimbulkan menyebabkan reaksi antara gula dan asam amina yang
dikenal dengan reaksi Maillard. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
800
berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang menjadi
pertanda penurunan mutu (Winarno, 1997).
Nilai a positif buncis segar mencapai 25,03; nilai ini juga lebih
tinggi dibanding produk keripik buncis. Pada keripik buncis, rata-rata nilai
a adalah -1,06; 0,64 dan -1,44 masing-masing untuk perlakuan suhu
penggorengan vakum (60-70)C, (70-80)C dan (80-90)C. Ini
menunjukkan produk keripik buncis kurang dominan dengan warna
merah. Sedangkan nilai b buncis segar mencapai 38,00, juga lebih tinggi
dari pada produk keringnya. Pada keripik buncis, nilai b-nya berturut-turut
adalah 23,37; 20,32 dan 28,24 untuk perlakuan suhu penggorengan (60-
70)C, (70-80)C dan (80-90)C. Hal ini menunjukkan bahwa produk
keripik buncis kurang dominan dengan warna kuning.

Tabel 2. Hasil pengukuran warna produk keripik buncis

Rata-rata nilai warna (notasi Hunter)
Perlakuan
L a b
A1B1 16.50 -1.06 23.37
A1B2 17.10 0.64 20.32
A1B3 21.30 -1.44 28.24
A2B1 15.80 1.00 22.27
A2B2 15.00 2.87 21.38
A2B3 21.00 -1.48 29.96

Ket : A1 = Pembumbuan basah
A2 = Pembumbuan kering (bumbu tabur)
B1 = Suhu penggorengan vakum (60-70)C
B2 = Suhu penggorengan vakum (70-80)C
B3 = Suhu penggorengan vakum (80-90)C

Nilai L keripik buncis dengan pembumbuan kering menunjukkan
angka yang lebih rendah dari nilai L buncis segar 61,50 yaitu 15,8; 15,0
dan 21,0 untuk suhu penggorengan vakum (60-70)C, (70-80)C dan (80-
90)C. Sedangkan nilai a keripik buncis yaitu 1,00; 2,87; dan -1,48 untuk
suhu penggorengan vakum (60-70)C, (70-80)C dan (80-90)C. Nilai ini
lebih rendah dari nilai a buncis segar yaitu +25,03. Ini menunjukkan
produk keripik buncis kurang dominan dengan warna merah. Begitu pula
dengan nilai b, pada keripik buncis nilainya adalah 22,27; 21,38 dan
29,96, lebih rendah daripada nilai b buncis segarnya yaitu 38,00. Hal ini
menunjukkan bahwa produk keripik buncis kurang dominan dengan warna
kuning. Keseluruhan penampilan keripik buncis adalah berwarna hijau
bahkan hijau tua. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa interaksi


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
801
perlakuan suhu dan perbedaan cara pembumbuan tidak berpengaruh
nyata (P>0,05) terhadap atribut warna L, a dan b pada keripik buncis.

Sifat organoleptik produk keripik buncis
Sifat organoleptik yang diamati pada penelitian ini meliputi warna,
aroma, tekstur, rasa, kerenyahan, dan penerimaan secara umum seperti
dapat dilihat pada Tabel 3. Dari hasil analisis statistik (uji sidik ragam)
menunjukkan bahwa interaksi perlakuan suhu dan perbedaan cara
pembumbuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap semua
parameter (warna, aroma, tekstur, rasa, kerenyahan, dan penerimaan
secara umum keripik buncis). Namun secara faktor tunggal, suhu
berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan panelis terhadap kerenyahan
keripik buncis dan cara pembumbuan berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap rasa keripik buncis.
Panelis memberikan nilai kesukaan rata-rata terhadap warna
keripik buncis 3,68 4,64 (agak suka sampai suka), aroma keripik buncis
4,40 4,96 (agak suka sampai suka), tekstur keripik buncis 4,36 4,84
(agak suka sampai suka), rasa keripik buncis 4,16 4,92 (agak suka
sampai suka), kerenyahan keripik buncis 4,12 - 5,28 (agak suka sampai
suka). Aroma adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indera pembau.
Dalam industri pangan pengujian terhadap aroma dianggap penting
karena dengan cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produk
kentang diterima atau ditolak produk tersebut dapat juga sebagai indikator
terjadinya kerusakan pada produk. Suyanti dan Sjaifullah (1998)
menyatakan bahwa suhu yang tinggi pada penggorengan mengakibatkan
hilangnya komponen volatil sehingga menyebabkan berkurangnya aroma
spesifik yang terdapat dalam buah atau sayur. Oleh karena
penggorengan vakum dalam penelitian ini dilakukan pada suhu cukup
rendah dan di bawah titik didih (60-70C, 70-80C dan 80-90C), maka
aroma spesifik pada sayuran masih dapat dikenali.
Sedangkan untuk rasa, sifat organoleptik ini berbeda dengan bau
dan lebih banyak melibatkan panca indera lidah. Penginderaan cecapan
(rasa) dapat dibagi menjadi 4 cecapan utama yaitu asin, asam, manis dan
pahit. Komponen yang dapat menimbulkan rasa yang diinginkan
tergantung dari senyawa penyusunnya, misalnya gula yang dapat
memberikan rasa manis pada produk. Perbedaan penilaian rada yang
diberikan oleh panelis dikarenakan rangsangan terhadap rasa yang
diterima panelis berbeda-beda, ada yang menyukai rasa manis dan ada
yang tidak menyukai rasa manis. Rasa manis misalnya, rasa tersebut
ditimbulkan oleh senyawa organik alifatik yang mengandung gugus OH


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
802
seperti alkohol, beberapa asam amino, aldehid dan gliserol. Sumber rasa
manis terutama adalah gula (Winarno, 199

Tabel 3. Rataan nilai tengah sifat organoleptik keripik buncis
Parameter uji
Perlakuan
Suhu
Warna Aroma Tekstur Rasa Kerenyahan
Penerimaan
umum
60-70C 4,24
a
4,80
a
4,36
a
4,46
a
4,38
a
4,38
a
70-80C 4,20
a
4,56
a
4,52
a
4,54
a
4,68
a
4,64
a
80-90C 3,70
a
4,68
a
4,60
a
4,72
a
5,10
b
4,60
a
Cara
Pembumbuan

Basah 4,227
a
4,747
a
4,50
a
4,35
a
4,64
a
4,52
a
Kering 3,867
a
4,613
a
4,43
a
4,80
b
4,80
a
4,56
a

Keterangan :
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
adanya pengaruh secara tunggal (tanpa interaksi) dari perlakuan tersebut pada taraf
5% uji Duncan

Penilaian organoleptik terhadap kerenyahan keripik buncis
dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis dengan berbagai
perlakuan yang diberikan. Kerenyahan merupakan faktor yang penting
pada keripik karena pada umumnya keripik dibuat untuk dinikmati
kerenyahannya. Menurut Weiss (1983) dalam Shyu et al. (1998), selama
penggorengan berjalan keseimbangan panas tercapai, akan terjadi
penguapan air yang menyebabkan naiknya tekanan internal dalam bahan.
Pada saat tekanan internal ini turun akan terjadi penyerapan minyak oleh
bahan yang mengisi ruang-ruang kosong yang telah ditinggalkan oleh air.
Produk yang disukai oleh panelis ternyata memiliki kadar air yang
rendah. Semakin tinggi suhu penggorengan vakum, maka penguapan air
dari bahan semakin besar. Ruang kosong yang ditinggalkan air hanya
sebagian kecil yang akan diisi oleh minyak, berarti masih tersisa ruang
kosong yang menyebabkan bahan lebih porous dan semakin renyah.
Kerenyahan makanan goreng sangat dipengaruhi juga oleh tebal tipisnya
irisan buah, karena semakin tebal irisan jarak tempuh air terhadap produk
semakin jauh tetapi bila irisan buah tipis air dengan mudah dapat keluar.
Menurut Subekti (1993), nilai kerenyahan dipengaruhi oleh sifat jaringan
buah yang digunakan dan mutu ekspansi produk setelah penggorengan.
Semakin sempurna proses ekspansi berlangsung, semakin porous produk


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
803
yang dihasilkan maka dengan sendirinya produk akan semakin renyah.
Secara umum panelis memberikan nilai 4,28 - 4,76 (agak suka sampai
suka) terhadap keripik buncis. Pada prinsipnya panelis dapat menerima
produk keripik buncis yang disajikan dari hasil penelitian. Namun masih
diperlukan penelitian lebih lanjut dalam hal teknologi proses untuk
menghasilkan keripik buncis, sehingga dapat lebih disukai oleh konsumen.

KESIMPULAN

Penelitian ini menghasilkan keripik buncis dengan rendeman
13,58 s/d 14,17% dengan waktu penggorengan vakum berlangsung
selama 1,08 jam sampai dengan 1,41 jam. Analisis warna menunjukkan
produk keripik buncis lebih rendah tingkat kecerahannya dibanding bahan
segarnya dan nilai a menunjukkan produk keripik buncis kurang dominan
dengan warna merah, sedangkan nilai b menunjukkan bahwa produk
keripik buncis kurang dominan dengan warna kuning. Hasil uji
organoleptik menunjukkan bahwa secara umum panelis memberikan nilai
4,28 - 4,76 (agak suka sampai suka) pada keripik buncis yang dihasilkan.
Pada prinsipnya panelis dapat menerima produk keripik buncis yang
disajikan dari hasil penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

1. Aman, W., Subarna, M. Arpah, D. Syah, dan S.I. Budiwati. 1992.
Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. PAU IPB Bogor. Hal 172-
174.
2. Anonymous, 2008. Penggorengan Vakum: Berpotensi untuk
Berkembangnya Bisnis Kripik dari Buah-buahan dan Sayuran.
Bulletin Fakultas Pertanian UNILA No.1/Tahun III/Mei 2006: hal 1-9.
Diakses tanggal 8 Juli 2008.
3. Estiaghi, M.N., S. Stute, and D. Knoor. 1994. High Pressure and
Freezing Pretreatment Effect on Drying, Rehydration Texture and
Colour of Green Beans, Carrots and Potatoes. J. Food Sci. 59
(6):1168-1170.
4. Histifarina, D., D. Musaddad, dan E. Murtiningsih. 2004. Teknik
Pengeringan dalam Oven untuk Irisan Wortel Kering Bermutu. Jurnal
Hortikultura 14 (2): 107-112.



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
804
5. Histifarina, D. dan D. Musaddad. 2004. Penggunaan Sulfit dan
Kemasan Vakum untuk Mempertahankan Mutu Tepung Bawang
Merah selama Penyimpanan. Jurnal Hortikultura 14(1):67-73.
6. Muchtadi, D., C. Hanny W., K. Sutrisno, dan R. Afrina. 1995.
Pengaruh Pengeringan dengan Alat Pengering Semprot dan Drum
terhadap Aktivitas Antitrombotik Bawang Putih dan Bawang Merah.
Buletin Teknik dan Industri Pangan 6(3):28-32.
7. Sinaga, R.M. dan D. Histifarina. 2000. Peningkatan Mutu Bawang
Putih Instan Kering dengan Prosedur Perendaman dalam Larutan
Natrium Bisulfit. Jurnal Hortikultura 9(4):307-313.
8. Sinaga, R.M. 2001a. Pengaruh Suhu dan Tekanan Vakum terhadap
Karakteristik Seledri Kering. Jurnal Hortikultura 11(3):215-222.
9. Sinaga, R.M. 2001b. Pengaruh Suhu dan Waktu Pengeringan Beku
terhadap Karakteristik Bawang Daun Kering. Jurnal Hortilkultura
11(4):260-268.
10. Shyu, S., L. Hau, and S. Hwang. 1998. Effect of Vacuum Frying on
the Oxidative Stability of Oils. Journal of the American Oil Chemists
Society, 75:1393-1398.
11. Soekarto, T.S. 1986. Penilaian Organoleptik. Bhratara Karya
Aksara. Jakarta.
12. Sofyan, I. 2004. Mempelajari Pengaruh Ketebalan Irisan dan Suhu
Penggorengan Secara Vakum terhadap Karakteristik Keripik Melon
(The effect of Thickly Slice and of Optimal Temperature Vacuum frying
To chips Characteristic of Melon Fruit). Infotek Vol 6 no 3. September.
13. Subekti, A. 1993. Mempelajari Pembuatan Keripik Pepaya dengan
Sistem Penggorengan Vakum. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian
IPB. Bogor.
14. Sudjud, R. 2000. Mempelajari Pengaruh Suhu dan Waktu
Penggorengan Hampa terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Keripik
Buah Cempedak (Artocarpus integer (Thunb) Merr). Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
15. Suyanti dan Sjaifullah. 1998. Pengaruh Blansing dan Cara
Penggorengan terhadap Mutu Keripik Pepaya Sisa Sadap cv.
Semangka Paris dan Bangkok, Buletin Pascapanen Hortikultura, Vol
1, No.1.
16. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
805

IDENTIFIKASI MASALAH JAMUR MERANG DAN
SARAN PEMECAHANNYA DI DESA CITARIK,
KECAMATAN TIRTAMULYA, KARAWANG, JAWA BARAT

M. Dianawati

BPTP Jawa Barat
Jl. Kayuambon 80, Lembang, Bandung, Jawa Barat


ABSTRAK. Karawang merupakan salah satu sentra jamur merang yang
potensial di Jawa Barat, selain sebagai lumbung padi. Meskipun didukung
oleh ketersediaan jerami, produksi jamur merang di Karawang mengalami
penurunan sebesar 22,7% dari 5.244 kg di tahun 2003 menjadi 4.051 kg
di tahun 2005. Padahal kebutuhan jamur merang untuk Karawang
mencapai 16-20 ton per hari, sedangkan produksi jamur merang tahun
2005 baru mencapai 11 ton per hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui permasalahan dan memperoleh alternatif pemecahan
berdasarkan permasalahan pada jamur merang di Desa Citarik,
Kecamatan Tirtamulya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat pada bulan
Mei-Juni 2005. Pendekatan penelitian menggunakan Participatory Rural
Appraisal (PRA) dengan melibatkan masyarakat secara langsung dan
aktif. Metode yang digunakan adalah desk study, wawancara, diskusi
kelompok, dan observasi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
urutan prioritas permasalahan yang terjadi pada usahatani jamur merang
adalah produktivitas yang rendah dan keterbatasan modal sehingga
tergantung kepada bandar. Produksi jamur merang yang rendah
disebabkan karena pengetahuan yang rendah terhadap kualitas bibit,
pengaturan suhu dan kelembaban kumbung, sterilisasi, media tanam
jamur, dan sanitasi kumbung. Pengetahuan yang rendah disebabkan
kurangnya informasi dan pembinaan. Berdasarkan hasil PRA, alternatif
pemecahan masalah pada jamur merang adalah penggunaan benih
berkualitas, bimbingan teknologi jamur merang, dan penguatan kelompok
jamur merang.

Kata kunci : Masalah, Jamur Merang, Karawang

PENDAHULUAN
Jamur merang, Volvariella volvacea merupakan sayuran bernilai
gizi tinggi. Gender (1982) menyatakan bahwa mineral yang terkandung
dalam jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terkandung
dalam daging sapi dan domba. Kandungan protein jamur merang lebih
tinggi daripada kandungan protein pada tumbuh-tumbuhan lain secara
umum (Mayun, 2007). Sumiati dan Djuariah (2007) menambahkan bahwa


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
806
selain sebagai bahan makanan, jamur merang digunakan pula sebagai
obat penyakit serta berkhasiat meningkatkan nafsu makanan.
Selain sebagai lumbung padi, Karawang juga merupakan salah
satu sentra jamur merang yang potensial di Jawa Barat (Anonim, 2008).
Menurut Tridjaja (2005), 70% produsen jamur merang Indonesia berada di
Kabupaten Karawang. Faktor lingkungan dan sumber daya alamnya
sangat mendukung usaha jamur merang, yaitu dari 93.000 ha sawah di
wilayah tersebut dihasilkan jerami sebanyak 372.000 ton per tahun.
Budidaya jamur merang mempunyai umur periode tanam yang
pendek sekitar 1 bulan, sehingga perputaran modal dalam usaha ini
sangat cepat. Selain itu bahan baku untuk produksi jamur merang relatif
mudah didapat, harga jual yang stabil, dan pengusahaannya tidak
memerlukan lahan yang luas. Oleh sebab itu komoditas jamur merang
dapat memberikan lebih banyak kesempatan kerja dalam upaya
peningkatan ekonomi masyarakat petani, sehingga dapat meningkatan
taraf hidup dan kesejahteraan petani pada umumnya (Hagutami, 2001).
Meskipun didukung oleh ketersediaan jerami, produksi jamur
merang di Karawang mengalami penurunan sebesar 22,7% dari 5.244 kg
di tahun 2003 menjadi 4.051 kg di tahun 2005 (Dinas Pertanian
Kabupaten Karawang, 2006). Padahal kebutuhan jamur merang untuk
Karawang mencapai 16-20 ton per hari (Kompas, 28 Juli 2007) dimana
hasil jamur merang 35% diserap pasar lokal Karawang dan 65% diserap
pasar luar seperti Bekasi, Bandung, dan Jakarta (Farihah, 2005),
sedangkan produksi jamur merang tahun 2005 baru mencapai 11 ton per
hari (Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, 2006). Menurut Sumiati
(2006), total nilai perdagangan jamur merang segar dari Kabupaten
Karawang adalah Rp. 50,48 sampai Rp. 75,72 miliar per tahun.
Sedangkan andil Indonesia terhadap perdagangan jamur merang dunia
adalah sebesar 3,09% (MAJI Bandung Raya, 2004).
Produktivitas jamur merang di Karawang mencapai 1,97 kw per
kumbung (Anonim, 2008). Namun rata-rata produksi jamur merang di
Desa Citarik baru mencapai 1,5 kw per kumbung (Anonim, 2005). Secara
umum kendala usaha jamur merang antara lain adalah keterbatasan
pengetahuan dan teknologi budidaya, serangan hama, kenaikan harga
bahan bakar minyak, dan perubahan cuaca yang tiba-tiba. Selain itu, juga
disebabkan ketidakmampuan petani menyediakan modal untuk
mengembangkan lahan dan meningkatkan produktivitasnya, sedangkan
bantuan kredit usaha dari perbankan untuk usaha jamur merang masih
rendah (Farihah, 2005; Kompas, 28 Juli 2007; Sumiati dan Djuariah,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
807
2007). Sementara itu potensi produksi jamur merang per kumbung per
periode tanam dapat mencapai 5 kw (Farihah, 2005).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan dan
memperoleh alternatif pemecahan berdasarkan permasalahan pada
tanaman jamur merang di lokasi Prima Tani Lahan Sawah Intensif Desa
Citarik, Kecamatan Tirtamulya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa Citarik, Kecamatan Tirtamulya
untuk menunjang kegiatan Primatani Lahan Sawah Intensif di Jawa Barat
pada bulan Mei-Juni 2005. Pendekatan penelitian menggunakan
Participatory Rural Appraisal (PRA) dengan melibatkan masyarakat
secara langsung dan aktif. Metode yang digunakan adalah desk study,
wawancara, diskusi kelompok, dan observasi lapangan. Peserta PRA
sebanyak 20 orang terdiri atas 15 petani jamur merang, informan kunci
yang terdiri atas 1 orang Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) tingkat
kecamatan dan 4 orang Penyuluh Pertanian Kecamatan Tirtamulya.
Kegiatan penelitian dimulai dengan pemahaman informasi
sekunder (desk study) guna mempelajari informasi dari data tersedia yang
diperlukan. Data sekunder yang dikumpulkan untuk melengkapi data
primer. Data primer diperoleh dari wawancara dan diskusi kelompok.
Wawancara dilakukan terhadap 5 petani jamur merang yang masih aktif
berusahatani, sedangkan diskusi kelompok dilakukan terhadap 20 orang
peserta PRA. Observasi lapangan dilakukan untuk mengamati secara
langsung kondisi lapangan dan justifikasi data primer yang diperoleh dari
wawancara dan diskusi kelompok. Penentuan prioritas masalah dan
alternatif pemecahannya dilakukan berdasarkan diskusi kelompok dan
observasi lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Eksisting Usahatani Jamur Merang
1. Pola usahatani
Dari 15 petani jamur merang, hanya 5 petani yang masih aktif
melakukan usaha jamur merang, sedangkan 10 orang lainnya sudah tidak
melakukan usaha jamur merang. Sebelumnya banyak petani yang
mengusahakan jamur merang, tetapi karena berbagai alasan akhirnya
berhenti. Alasan tersebut antara lain adalah karena bangkrut, ada
kesibukan lain, dan kekurangan modal. Meskipun memberikan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
808
pendapatan bulanan yang cukup bagi petani, tetapi karena memerlukan
modal yang tinggi dan perhatian khusus serta memiliki fluktuasi produksi
yang tinggi, menyebabkan tidak banyak petani berminat usahatani jamur
merang dibandingkan komoditas lain. Kebangkrutan usaha jamur
terutama disebabkan produksi yang dihasilkan rendah sehingga modalnya
habis.
Menurut petani yang telah berpengalaman, memelihara jamur
merang lebih sulit daripada memelihara bayi. Hal ini karena periode
tanaman yang singkat, mengharuskan petani untuk konsentrasi penuh
dalam pengelolaannya, sehingga banyak petani jamur yang berpindah ke
usaha lain. Hal ini juga terjadi pada penelitian Farihah (2005) di
Kecamatan Cilamaya Wetan bahwa tidak sedikit petani jamur merang
yang tidak mampu meneruskan usahataninya karena nilai produksinya
tidak dapat menutupi biaya yang dikeluarkan, yang pada akhirnya mereka
terlibat hutang dengan bandar. Kumbung yang terlanjur dibangun
kemudian dibiarkan saja sambil menunggu ketersediaan uang, disewakan
ke pihak lain atau dikembalikan ke bandar.
Hanya 1 orang petani saja dari 5 petani yang mengkhususkan diri
sebagai petani jamur merang, sedangkan lainnya selain sebagai petani
jamur juga sebagai petani padi. Di saat sibuk usahatani padi seperti saat
penanaman dan panen padi, maka usahatani jamur merang berhenti
berproduksi, sehingga usahatani jamur merang hanya dijadikan usaha
sampingan. Petani khusus jamur beranggapan bahwa usahatani jamur
lebih menguntungkan daripada padi, sehingga menjadikan jamur merang
sebagai usahatani pokoknya

2. Sumber modal
Semua petani jamur merang di Desa Citarik tergantung modal
pinjaman. Pinjaman diperoleh pemodal dari pedangan perantara atau
bandar. 80% petani mendapat pinjaman dari pedagang perantara dan
20% dari bandar (Tabel 1). Bandar memiliki modal lebih tinggi daripada
pedagang perantara dan biasanya pedagang perantara menjual
produknya ke bandar.
Kehadiran pemodal ini sebagian dirasakan cukup membantu
mereka dalam mengatasi masalah permodalan. Namun pada umumnya
petani yang meminjam secara otomatis terikat dengan menjual hasil
produknya dengan harga yang ditentukan oleh pemodal. Dilema ini sangat
dirasakan petani karena di satu sisi petani memerlukan modal, sedangkan
di pihak lain, petani dirugikan dari segi penetapan harga input dan hasil


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
809
produksi. Bagi petani yang memiliki hutang, harga input dipinjamkan oleh
bandar lebih mahal, sedangkan harga jamur merang dibeli oleh bandar
lebih murah dibandingkan petani yang tidak memiliki hutang.

Tabel 1. Sumber modal petani jamur merang di Desa Citarik
No. Sumber modal petani jamur merang % dominan (n=5 orang)
1. Bandar 80
2. Pedagang perantara 20

Pinjaman biasanya berupa hutang pembuatan rumah jamur atau
kumbung dan sarana produksi seperti dedak, ampas kawung, bibit, dan
kayu bakar. Sedangkan modal lahan, biaya jerami, upah tenaga kerja
berasal dari petani sendiri. Kemudahan memperoleh pinjaman menjadi
daya tarik bagi petani jamur ke bandar, sedangkan pinjaman ke bank
belum pernah diperoleh karena dianggap memberatkan.

3. Karakteristik petani
Ketrampilan petani dalam berusahatani jamur merang tidak sama.
Tingkat ketrampilan usahatani jamur merang ini dipengaruhi oleh umur
petani, pengalaman usahatani petani, pendidikan petani, dan pelatihan
yang pernah diikuti petani (Farihah, 2005). Hasil evaluasi karakteristik
petani jamur merang di Desa Citarik disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakterisik petani jamur merang di Desa Citarik
No. Karakteristik petani jamur merang
% dominan
(n=5 orang)
1. Umur lebih dari 50 tahun 80
2. Pengalaman usahatani 5-10 tahun 60
3. Pendidikan tidak tamat SD 80
4. Belum pernah mengikuti pelatihan jamur merang 80

Tabel 2 menunjukkan bahwa petani jamur di Desa Citarik sebagian
besar sudah tua, berpendidikan rendah, dan kurang mendapatkan
tambahan informasi teknologi jamur merang. Dengan demikian meskipun
sudah berpengalaman dalam usahatani jamur merang, tetapi teknologi
jamur merang yang dilakukan hanya berdasarkan pengalaman. Selain itu
petani yang sudah berumur tua kebanyakan tidak tertarik untuk kreatif
melakukan inovasi teknologi dan cenderung melakukan budidaya seperti
kebiasaannya.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
810
Kelompok tani yang bergerak di bidang jamur merang di Desa
Citarik belum terbentuk, sedangkan kelompok tani yang ada masih
bergerak dalam usahatani padi, sehingga penyebaran informasi berupa
penyuluhan jamur merang belum ada. Tukar menukar informasi di tingkat
petani juga rendah, bahkan cenderung budidaya jamur merang yang
dilakukan tidak disebarluaskan. Oleh karena itu petani lebih banyak
belajar dan menganalisa sendiri usahatani jamurnya berdasarkan
pengalaman.

4. Budidaya jamur merang
Budidaya jamur merang di Desa Citarik biasa dilakukan di tegalan
yang berdekatan dengan sawah dan saluran air. Dengan berdekatan
sawah, usaha jamur merang memudahkan dalam memperoleh bahan
baku jerami, sedangkan dengan berdekatan saluran air, memudahkan
untuk perendaman jerami dan penyiraman air.
Lahan usahatani jamur meliputi kumbung, tempat penyimpanan
jerami, kolam perendaman jerami, lahan untuk pengomposan jerami, dan
tempat penyortiran jamur. Setiap petani jamur memiliki 1 hingga 2
kumbung dan berstatus milik sendiri. Menurut Farihah (2005), agar
usahatani jamur mampu bertahan lama, maka minimal seorang petani
memiliki 2 kumbung agar bila kerugian satu kumbung dapat ditutupi oleh
kumbung yang lain.
Ukuran kumbung di Desa Citarik rata-rata sama yaitu 4 m x 7 m
dengan tinggi 5 m. Di dalam kumbung terdapat 2 baris rak dimana satu
rak bertingkat 5 dan lebar rak 1,2 m. Rangka kumbung terbuat dari bambu
yang dikelilingi plastik dan ditutup dengan bilik bambu atau daun pisang
kering dan berlantai dari tanah. Rata-rata pembuatan kumbung
menghabiskan biaya Rp 1,5 juta dengan umur teknis 3 tahun. Lamanya
umur teknis ini tergantung dari perawatan kumbung seperti pencucian
kumbung dan perusakan dinding plastik karena tikus dan lain-lain.
Satu kumbung memiliki satu pengasapan yang terdiri dari 2 drum
berukuran 200 liter untuk sterilisasi. Drum digunakan untuk menampung
air yang akan dipanaskan. Drum disambungkan dengan pipa atau paralon
ke kumbung dan diletakkan dengan cara dibaringkan di atas tungku di luar
kumbung. Pengasapan berbahan bakar dari kayu bakar karena lebih
murah. Pengasapan hanya dilakukan satu kali di awal periode dan tidak
pernah dilakukan pengasapan ulang apabila suhu turun. Satu kumbung
kadang-kadang dilengkapi dengan 1 termometer.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
811
Secara garis besar, usahatani jamur merang di Desa Citarik
adalah sebagai berikut:

a. Persiapan media
Kompos merupakan sumber makanan bagi jamur merang,
sehingga sangat berperan penting bagi kualitas dan kuantitas produk
jamur merang. Bahan untuk membuat media jamur untuk satu kumbung
adalah 1 ton jerami kering, 15 kg kapur, 150 kg ampas kawung, dan 150
kg dedak. Petani menggunakan kombinasi dan jumlah bahan komponen
media tanam tergantung ketersediaan bahan yang ada.
Media kompos terdiri dari 2 bagian, yaitu kompos jerami dan
kompos ampas kawung. Jerami direndam dalam kolam air terlebih dahulu
sekitar 1 jam, kemudian diangkat dan ditumpuk. Setiap lapis jerami
setebal 10-25 cm, kemudian diberi kapur. Kegiatan ini terus dilakukan
hingga diperoleh tumpukan jerami setinggi 1 m dengan jumlah kapur 10
kg dan kemudian ditutup plastik selama 4 hari. Tumpukan jerami dengan
lebar 3 m, tinggi 1,5 m, dan panjang sekitar 6 m. Setelah 4 hari dibalikkan,
ditambah dedak setiap lapisan 10-25 cm dengan jumlah dedak 100 kg,
dan ditutup plastik selama 4 hari. Setelah 4 hari dimasukkan ke dalam
kumbung pada rak-rak.
Lima hari sebelum pengomposan jerami, dilakukan pengomposan
ampas kawung 150 kg dengan cara yang sama seperti pembuatan
kompos jerami. Dedak dan kapur yang digunakan masing-masing adalah
50 kg dan 5 kg. Pembalikan kompos ampas dilakukan 10 hari kemudian
dan setelah 3 hari kompos ampas dimasukkan ke kumbung. Dengan
demikian pembuatan kompos terdapat 3 tahapan kegiatan yaitu
pengomposan, pembalikkan dan pemasukkan media ke kumbung.
Jamur merang dapat tumbuh dengan baik di media yang telah
dikomposkan. Pengomposan dimaksudkan untuk mengaktifkan mikroflora
termofilik, misalnya bakteri dan fungi yang akan merombak selulosa,
hemiselulosa, serta ligin, sehingga lebih mudah dicerna oleh jamur.
Jerami yang telah menjadi kompos umumnya dicirikan dengan tidak
berbau amoniak, warna kompos cokelat sampai hitam, teksturnya lunak,
pH 7-7,5, kandungan airnya 65% yang diukur dengan cara memijitnya.
Bila kompos terasa basah, tetapi air tidak menetes, berarti kadar airnya
telah sesuai (Hanindita, 2006).

b. Sterilisasi
Sterilisasi bertujuan untuk mensterilkan kompos dan kumbung.
Dengan proses sterilisasi, maka organisme yang merugikan akan mati


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
812
dan bau amoniak akan menghilang (Hanindita, 2006). Semakin rendah
suhu awal dan semakin besar kumbung, maka sterilisasi akan semakin
lama. Dengan semakin lama sterilisasi, maka kebutuhan air dan minyak
tanah juga semakin besar. Suhu kumbung diharapkan dapat mencapai
60-70
o
C dan dipertahankan minimal 4 jam (Misa, 2005). Petani masih
jarang yang menggunakan termometer dan mengukur lamanya sterilisasi
berdasarkan banyaknya kayu bakar yang digunakan yaitu 1,5 m
3
.

c. Pembibitan
Setelah 1 hari sterilisasi, suhu kumbung menurun menjadi 33-35
o
C
dan bedengan dalam rak siap ditanam bibit jamur merang sebanyak 50-60
log. Sebelum ditebarkan, bibit harus diurai terlebih dahulu agar mudah
ditanam. Bibit jamur diperoleh dengan cara dibeli dari perusahaan bibit
jamur. Perusahaan bibit jamur terdapat di Kecamatan Tirtamulya maupun
di luar Kecamatan Tirtamulya. Bibit jamur yang dikenal petani dinamai
berdasarkan nama perusahaan bibit jamur atau pemilik perusahaan bibit
jamur. Harga bibit jamur berkisar antara Rp. 1.800-2000 per log. Menurut
Hanindita (2006), penambahan jumlah bibit tidak berpengaruh langsung
terhadap hasil, tetapi pada penekanan tumbuhnya jamur liar. Selain itu
dengan menambah kepadatan bibit, pertumbuhan jamur liar dapat
dicegah dengan sterilnya peralatan maupun tangan penanam.

d. Pemeliharaan
Setelah 3 hari bibit disebar, media disemprot dengan air gula untuk
memutus siklus vegetatif jamur merang agar segera membentuk tubuh
buah. 500 g gula dicairkan dengan 2-3 tangki air untuk menyemprot satu
kumbung. Setelah itu penyemprotan dilakukan tergantung pada kondisi
kelembaban media dan setelah jamur dipanen. Setelah 7 hari bibit
disebar, jendela kumbung dibuka untuk mengatur peredaran udara serta
cahaya matahari dalam kumbung untuk mempercepat pertumbuhan dan
perkembangan primordia tubuh buah .
Pengaturan suhu dan kelembaban media dilakukan dengan
penyiraman dan pengaturan buka tutup pintu dan jendela. Menurut Hayes
(1978), pembentukan tubuh buah jamur dipengaruhi oleh ketersediaan air.
Ventiliasi selalu diatur agar pertukaran udara tetap baik, menjaga suhu,
dan mencegah peningkatan kadar CO
2
. Jamur merang menghendaki
suhu pemeliharaan media 32-35
o
c dan kelembaban 80-85% (Sumiati dan
Djuariah, 2007). Petani biasa mengukur suhu berdasarkan sentuhan
tubuh mereka ketika masuk kumbung.


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
813
Menurut Misa (2005), secara visual apabila terdapat asap lembut
yang mengepul dari media pada pagi hari, diperkirakan suhu kumbung
berada pada kisaran 35
o
C. Indikasi kumbung kelebihan kelembaban ialah
jika pada merang yang menggantung pada kolong rak terutama rak nomor
lima banyak terdapat butiran air berwarna coklat seperti kecap.
Sedangkan jika terlalu kering, permukaan media yang kita raba akan
terasa tajam (tidak lembut seperti pada saat media komposan dimasukkan
ke dalam kumbung).

e. Panen
Panen pertama dimulai pada 10 hari setelah tanam. Panen
dilakukan setiap hari hingga sekitar 15 kali. Jamur yang sudah siap
dipanen adalah bentuk jamur bulat penuh dan belum mekar. Pemetikan
biasa dilakukan hanya 1 kali di pagi hari. Jamur yang dipanen dimasukkan
ke dalam keranjang plastik. Ketahanan jamur hanya sebentar, yaitu 2 hari
sudah mulai rusak.
Total produksi sebanyak 150 kg dengan rata-rata hasil panen 5-10
kg per hari. Dalam satu tahun, jumlah periode tanam sebanyak 9-10 kali.
Harga jamur dibedakan berdasarkan kualitas yaitu super sebesar Rp
7.000 per kg dan BS sebesar Rp. 5000 per kg.

5. Analisis usahatani
RC rasio usaha jamur di tingkat petani sebesar 1,16 dengan
keuntungan Rp. 142.500 per satu periode tanam (Tabel 3). Biaya usaha
jamur cukup tinggi yaitu sebesar Rp. 1.050.000, menyebabkan
pendapatan usaha jamur menjadi rendah. Petani mendapatkan
keuntungan lebih apabila beberapa pekerjaan dilakukan sendiri seperti
pembalikkan media, sterilisasi, pembibitan, penyiraman, dan panen.
Dengan perbaikan tekologi budidaya jamur diharapkan dapat
meningkatkan produksi jamur, sehingga terjadi peningkatan pendapatan.
Hal ini mengingat potensi produksi jamur merang dapat mencapai 400 kg.










Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
814

Tabel 3. Analisis usaha jamur merang per kumbung per satu periode tanam di Desa
Citarik, Karawang, 2005
No Uraian Jumlah Harga Total
A Biaya saprodi (Rp)
1. Bibit (log) 50 1.800 90.000
2. Jerami (ikat) 400 300 120.000
3. Kapur (kg) 15 500 7.500
4. Dedak (kg) 150 1.000 150.000
5. Ampas kawung (kg) 150 400 60.000
6. Kayu bakar (m
3
) 1,5 50.000
Total biaya saprodi 477.500
B Biaya tenaga kerja (Rp)
1. Persiapan media (HOK) 2 30.000 60.000
2. Membalikkan media (HOK) 1 30.000 30.000
3. Memasukkan media (HOK) 2 30.000 60.000
4. Sterilisasi (HOK) 1 30.000 30.000
5. Penanaman (HOK) 1 30.000 30.000
6. penyiraman (HOK) 1 10.000 10.000
7. Panen (HOK) 15 10.000 150.000
Total biaya tenaga kerja 370.000
C Biaya lain-lain (Rp)
1. Penyusutan kumbung (%) 0.04 1.500.000 60.000
Total biaya lain-lain 60.000
D. Total biaya (A+B+C) 907.500
E Produksi (kg) 150
F Harga (Rp) 7000
G Pendapatan kotor (E*F) (Rp) 1.050.000
H Pendapatan bersih (G-D) (Rp) 142.500
I RC rasio (G/D) 1,16


Permasalahan Usahatani Jamur Merang
Prioritas masalah yang menghambat usahatani jamur merang
secara scoring berturut-turut adalah produktivitas yang rendah dan
keterbatasan modal sehingga tergantung dengan bandar. Produksi jamur
merang yang rendah disebabkan karena pengetahuan yang rendah
terhadap kualitas bibit, pengaturan suhu dan kelembaban kumbung,
sterilisasi, media tanam jamur, dan sanitasi kumbung. Pengetahuan yang
rendah disebabkan kurangnya informasi dan pembinaan. Hal ini sesuai
dengan hasil survei Djuariah dan Sumiati (2005) tentang beberapa


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
815
permasalahan jamur merang, antara lain: petani tidak menguasai
teknologi produksi benih dan pasca panen, kelangkaan bibit unggul jamur
merang yang digunakan selalu sama karena sumber bibit berasal dari
penangkar bibit yang sama, petani tidak melakukan inovasi teknologi
karena informasi teknologi kurang, serta faktor higienitas lingkungan dan
bahan tidak diperhatikan.

Alternatif Pemecahan Masalah
Berdasarkan hasil PRA, alternatif pemecahan masalah pada jamur
merang adalah penggunaan benih berkualitas, bimbingan teknologi jamur
merang, dan penguatan kelompok jamur merang.
Petani biasa mendapatkan bibit dari bandar tanpa mengetahui
umur bibit tersebut. Menurut Farihah (2005), bibit sebaiknya dipesan 15
hari sebelum penanaman agar bibit tidak terlalu muda atau terlalu tua.
Bibit yang baik adalah bibit yang miseliumnya tumbuh merata dan tidak
sektoritas.
Pengaturan suhu dan kelembaban kumbung biasa dilakukan
dengan menyiram media dan lantai serta pengaturan buka tutup pintu dan
jendela. Ketrampilan ini sangat membutuhkan pengalaman mengingat
petani jarang yang menggunakan termometer untuk mengukur suhu dan
higrometer untuk mengukur kelembaban. Oleh karena itu perlu dimiliki 2
alat tersebut di setiap kumbung. Cara pengomposan dan pengaturan suhu
dan kelembaban kumbung setiap petani jamur merang berbeda
berdasarkan pengalaman masing-masing petani.
Pembinaan petani melalui suatu kelompok jamur diharapkan dapat
meningkatkan informasi teknologi jamur merang. Selain itu dapat
meningkatkan kerjasama terutama dalam penyediaan saprodi dan
pemasaran produk seperti digambarkan pada Gambar 1. Koperasi
Gapoktan akan memberikan modal Kios Gapoktan untuk membeli saprodi.
Saprodi yang dapat dibeli bersama terutama adalah kayu bakar dan
dedak mengingat ketersediaannya langka dan mahal. Hasil panen
dipasarkan oleh Pemasaran Gapoktan secara terkoordinir untuk dijual ke
konsumen. Hasil keuntungan setelah dipotong biaya saprodi baru
dibagikan kepada kelompok jamur merang. Peluang ini diharapkan tidak
saja dapat meningkatkan produksi jamur merang sesuai potensi
produksinya sebesar 500 kg per kumbung per periode tanam, tetapi juga
meningkatkan efisiensi usahatani jamur merang.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008





keuntungan
Keuntungan
Koperasi
Gapoktan
Saprodi
Jamur
Pemasaran
Gapoktan
kelompok
jamur merang Kios
Gapoktan
Modal
Jamur
Konsumen
keuntungan












Gambar 1. Model kerjasama kawasan jamur merang


KESIMPULAN

1. Urutan prioritas permasalahan yang terjadi pada usahatani jamur
merang adalah produktivitas yang rendah dan keterbatasan modal
sehingga tergantung dengan bandar. Produksi jamur merang yang
rendah disebabkan karena pengetahuan yang rendah terhadap
kualitas bibit, pengaturan suhu dan kelembaban kumbung, sterilisasi,
media tanam jamur, dan sanitasi kumbung. Pengetahuan yang rendah
disebabkan kurangnya informasi dan pembinaan.
2. Berdasarkan hasil PRA, alternatif pemecahan masalah pada jamur
merang adalah penggunaan benih berkualitas, bimbingan teknologi
jamur merang, dan penguatan kelompok jamur merang.


DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2005. Laporan PRA Prima Tani LSI di Desa Citarik,
Tirtamulya, Karawang, Jawa Barat. BPTP Jawa Barat.
2. Anonim, 2008. Kabupaten Karawang. http://www.karawangkab.go.id/
index.php?option=com_content&task=view&id=32&Itemid=47.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
816


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
817
3. Dinas Pertanian Kabupaten Karawang. 2006. Laporan tahunan.
Karawang.
4. Djuariah, D. dan E.Sumiati. 2005. Koleksi, Pemurnian, Identifikasi, dan
Konservasi Jamur Edible Komersial Asal dari Dalam dan Luar Negeri.
Laporan hasil survei TA 2005. In press.
5. Farihah, I. 2005. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Faktor-faktor
Produksi Usahatani Jamur Merang : Studi kasus usahatani jamur
merang di Kecamatan Cilamaya Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Skripsi. Faperta. IPB Bogor.
6. Gender, R. 1982. Pedoman Berwiraswasta, Bercocoktanam Jamur.
Pioner Jaya. Bandung. 100 hal.
7. Hagutami, Y. 2001. Budidaya Jamur Merang. Yapentra. Hagutami.
Cianjur. 19 hal.
8. Hayes, W. A. 1978. The Biology and Cultivation of Edible Mushrooms
: Biological Nature. Eds S.T Chang and W.A. Hayes. Academic Press.
9. Kompas. 28 Juli 2007. Produksi Jamur Jabar Stagnan. Kompas, 28
Juli 2007. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0707/28/Jabar/24655.htm
10. MAJI Bandung Raya. 2004. Market by product. 8 hal.
11. Misa. 2005. Pedoman Budidaya Jamur Merang. 15 hal.
12. Mayun, I. A. 2007. Pertumbuhan Jamur Merang (Volvariella
volvaceae) pada Berbagai Media Tumbuh. Agritrop. 26 (3) : 124-126.
13. Sumiati, E. 2006. Perbaikan Produksi Jamur Edible. Rencana
Penelitian Tim Peneliti (RPTP) Balitsa TA2006. Tidak dipublikasikan.
14. Sumiati, E. dan D. Djuriah. 2007. Teknologi Budidaya dan
Penanganan Pascapanen Jamur Merang, Volvariella volvacea.
Monografi 30. Balitsa. 42 hal.
15. Tridjaja, I. N. K. 2005. Strategi Pemasaran dan Standarisasi Produk
Jamur Pangan Indonesia Menghadapi Perdagangan Global. Makalah
Forum diskusi para workshop Pengembangan Produk dan Industri
Jamur Pangan di Indonesia. BPPT, Yakarta, 1-2 Agustus 2005.













Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
818

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KLON UNGGULAN
BAWANG MERAH DIBANDINGKAN VARIETAS LOKAL
DAN IMPOR

Rofik Sinung Basuki

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jalan Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung-40391


ABSTRAK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan
finansial usahatani bawang merah menggunakan klon unggul temuan
Balitsa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode on-farm
research, dimana klon terbaik asal Balitsa yaitu klon no. 8, 54, 10, 22, 33,
41 dan 9 serta varietas lokal dan impor sebagai pembanding ditanam
dalam skala usaha yang cukup luas yaitu 1400 m2. Skala usaha tersebut
merupakan skala usaha yang dilakukan oleh mayoritas petani kecil
bawang merah di Brebes. Data yang dikumpulkan adalah kuantitas dan
harga dari input yang dikeluarkan serta output yang diperoleh. Kelayakan
finansial diukur menggunakan perhitungan tingkat profitabilitas usahatani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) klon bawang merah yang layak
secara finansial untuk dikembangkan adalah klon No. 8, Klon no. 41. Klon
ini secara finansial lebih menguntungkan diusahakan dibandingkan
dengan varietas lokal Bima, Engkel, dan Kuning Sidapurna, (2) klon No. 9
secara finansial belum meyakinkan lebih menguntungkan dibandingkan
varietas lokal maupun varietas impor Ilokos, dan (3) perlu dilakukan
penelitian kelayakan finansial sekali lagi khusus untuk Klon No.9 pada
skala yang lebih luas untuk memperoleh kepastian harga jual dari Klon
No.9 .

Kata kunci : Bawang Merah, Kelayakan Finansial, Klon Unggulan, On-
farm Research

PENDAHULUAN

Impor bawang merah konsumsi meningkat drastis, yaitu dari
2545.7 ton dengan nilai 776, 5 ribu US$ pada tahun 1988 menjadi
56710.8 ton (naik 2100%) dengan nilai 12,9 juta US$ pada tahun 2000
(naik 1560%) (Dirjen Tan. Pangan dan Hort., 1999; Deptan, 2000).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bawang merah
impor tersebut ternyata hanya sekitar 60% untuk konsumsi sedangkan
40% digunakan untuk bibit (Sinung-Basuki dkk., 2002). Peningkatan impor
bawang merah khususnya untuk bibit, terjadi karena makin banyak jumlah
petani yang menggunakan bibit impor. Sebab usahatani bawang merah
menggunakan bibit impor lebih tinggi hasilnya dan lebih menguntungkan


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
819
dibandingkan dengan menggunakan bibit varietas lokal (Sinung-Basuki,
2002).
Untuk menekan peningkatan impor bawang merah tersebut salah
satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menyediakan varietas
unggul baru nasional yang daya hasil dan kualitasnya minimal setara
dengan bibit impor.
Pada tahun 2003-2004 Balitsa memprogramkan penelitian untuk
menghasilkan varietas baru bawang merah dalam rangka substitusi impor
bibit bawang merah. Pada tahun 2003 dilakukan penelitian adaptasi 9 klon
bawang merah temuan Balitsa di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Kesembilan klon tersebut adalah klon no.8, no. 54, no.10, no.14, no. 15,
no. 22, no.33, no. 41 dan no.9. Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh, pemulia klon bawang merah tersebut menyimpulkan bahwa
klon-klon no. 8, 54, 10, 22, 33, 41 dan 9 menunjukkan hasil-hasil yang
tinggi. Khususnya klon no. 9 dianggap mampu bersaing dengan varietas
bawang merah impor (Putrasamedja dkk., 2003).
Namun penilaian pemulia tersebut ternyata berbeda dengan
penilaian petani sebagai pengguna. Hasil penelitian partisipatif dengan
petani di Cirebon, Jawa Barat dan di Brebes, Jawa Tengah menunjukkan
bahwa petani di Cirebon menyukai klon no.33, no.54 dan no.9; sedangkan
petani di Brebes hanya menyukai klon no. 41 saja (Sinung-Basuki dkk.,
2003). Khususnya terhadap klon no. 9, petani Cirebon menyukainya
karena ukuran umbinya besar dan diperkirakan dapat dipasarkan untuk
supermarket atau ekspor. Namun, petani Brebes ternyata tidak menyukai
karena warna umbinya merah pucat, sehingga petani khawatir tidak akan
laku dijual.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan finansial dari
klon bawang merah temuan Balitsa yang dianggap unggul yaitu klon no.
no. 8, 54, 10, 22, 33, 41 dan 9 dibandingkan dengan varietas lokal
maupun impor. Sekaligus dari penelitian ini diharapkan diperoleh
konfirmasi tentang penerimaan pedagang terhadap klon-klon tersebut
khususnya terhadap klon no.9.

BAHAN DAN METODE

Perlakuan dan Teknik Budidaya
Penelitian ini dilakukan di Brebes pada bulan Juni September
2004. Perlakuan yang diteliti adalah Klon bawang merah unggulan Balitsa
yaitu Klon no. 8, 54, 10, 22, 33, 41 dan 9, sesuai dengan rekomendasi dari
pemulianya (Putrasamedja et. al., 2004). Sebagai pembanding (kontrol)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
820
digunakan varietas bawang merah yang biasa digunakan petani di Brebes
yaitu varietas lokal Bima, Kuning Engkel, Kuning Sidapurna dan varietas
impor Ilokos.
Masing-masing klon dan varietas kontrol ditanam pada petak
tunggal tanpa ulangan. Ukuran petak percobaan untuk setiap perlakuan
adalah 100 m2. Total luas percobaan dengan tanaman pinggiran (border)
adalah 2000 m2. Penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem
surjan yaitu dengan lebar bedengan = 150 cm; panjang bedengan = 600
cm; lebar parit = 50 cm; kedalaman parit = 60 cm . Jarak tanam dan
takaran pupuk yang digunakan disesuaikan dengan teknik budidaya
bawang merah yang biasa dilakukan petani. Jarak tanam untuk umbi bibit
ukuran kecil adalah 20 cm x 15 cm sedangkan untuk ukuran besar 20 cm
x 20 cm. Takaran pupuk yang diberikan adalah adalah sama untuk semua
perlakuan yaitu : 1) pupuk kandang = 4 ton per ha; 2) ZA = 500 kg per
ha, 3) Urea = 357.5 kg per ha, 4) KCl = 150 kg per ha, 5) Kamas = 65 kg
per ha, 6) NPK = 15 kg per ha dan 7) PPC = 7,5 kg per ha. Pupuk
kandang dan SP36 diberikan seluruhnya 1 hari sebelum tanam. Pupuk ZA
dan urea diberikan masing-masing setengah dosis pada saat tanaman
berumur 14 hari setelah tanam (hst) dan 25 hst. Pupuk KCL, Kamas, NPK
dan PPC diberikan seluruhnya pada saat tanaman berumur 25 hst.
Pemberian pupuk dilakukan dengan cara disebar merata di atas
bedengan.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan terhadap beberapa
jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman pada saat
pertumbuhan di lapangan, di antaranya adalah hama ulat bawang dan
anjing tanah, serta penyakit Alternaria.

Analisis Kelayakan Finansial
Untuk mengetahui kelayakan finansial dari klon unggulan terhadap
varietas pembanding (kontrol) yang diteliti, yang diperhitungkan sebagai
biaya hanya biaya variabel untuk bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja.
Klon unggulan dianggap layak secara finansial untuk dikembangkan lebih
lanjut apabila keuntungan (profit) yang dihasilkannya lebih tinggi dari
salah satu atau lebih varietas kontrol. Perhitungan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
4
P = YHy XiRxi ..............................1)
i=1
Jika:
Pk > Pv --------------------> klon unggulan layak secara finansial


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
821
Keterangan:
P = profit (Rp/ha)
Y = kuantitas hasil (ton/ha)
Hy = harga hasil (Rp/kg)
i = input 1 s/d 4, yaitu: 1 = bibit, 2 = pupuk, 3 = pestisida dan 4 = tenaga kerja
Xi = Kuantitas input ke i (unit /ha)
Rxi = Harga input ke i (Rp/unit)
k = 1 s/d 7 = klon unggulan yang diuji (7 klon)
v = 8 s/d 12 = varietas lokal dan impor sebagai pembanding (5 varietas)


HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Tanaman
Kondisi tanaman cukup baik selama pertumbuhan sampai dengan
panen. Semua tanaman dapat tumbuh dan serangan hama penyakit
minimal. Hal ini terjadi karena selain iklim pada pertanaman musim
kemarau yang mendukung juga pemeliharaan intensif yang dilakukan
selama percobaan berlangsung.

Kebutuhan Bibit (Seed Rate) dan Biaya Bibit
Bibit dari klon Balitsa hasil pertanaman musim sebelumnya yang
disimpan cukup banyak, ternyata selama dipenyimpanan banyak yang
terkena penyakit busuk di gudang. Hal ini menyebabkan ketersediaan bibit
menjadi sangat terbatas. Akibatnya, bibit yang digunakan dalam penelitian
ini adalah bibit yang ukurannya kecil (5 gram per umbi) dan jumlahnya
sangat terbatas. Kebutuhan bibit per ha untuk masing-masing klon dan
varietas yang digunakan dalam percobaan ini disajikan dalam Tabel 1.

Jarak Tanam dan Dosis Pemupukan
Telah dijelaskan bahwa bibit dari klon bawang merah asal Balitsa
yang tersedia jumlahnya sangat terbatas dan banyak yang berukuran
kecil, sedangkan untuk bibit dari varietas pembanding yaitu asal impor dan
varietas lokal jumlah dan ukuran bibitnya cukup, yaitu sekitar 10 gram.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka dilakukan penyesuaian
untuk jarak tanam berdasarkan ukuran umbi bibitnya sesuai dengan
kebiasaan petani setempat (Tabel 1).



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
822
Kebutuhan dan Biaya Input Usahatani
Kebutuhan input usahatani selain bibit untuk semua jenis klon dan
varietas dalam percobaan adalah sama. Kebutuhan tersebut disajikan
dalam Tabel 2 (Lampiran 1).

Tabel 1. Kebutuhan bibit per ha untuk klon dan varietas yang digunakan dalam
percobaan

No Varietas/klon Jarak tanam
Seed
rate
(kg/ha)
Harga
bibit
(Rp/kg)

Biaya bibit (Rp/ha)

1 No. 8 20 cm x 15 cm 909 6.000 5.454.000
2 No. 54 20 cm x 15 cm 1400 6.000 8.400.000
3 No. 10 20 cm x 15 cm 1532 6.000 9.192.000
4 No. 22 20 cm x 15 cm 1571 6.000 9.426.000
5 No. 33 20 cm x 15 cm 1677 6.000 10.062.000
6 No. 41 20 cm x 15 cm 1637 6.000 9.822.000
7 No. 9 20 cm x 20 cm 1960 6.000 11.760.000
8 Bima 20 cm x 20 cm 2396 7.000 16.772.000
9 K. Engkel 20 cm x 20 cm 2160 8.000 17.280.000
10 Ilokos 20 cm x 20 cm 1845 5.500 10.147.500
11 Bangkok Warso 20 cm x 20 cm 2899 6.500 18.843.500
12 K. Sidapurna 20 cm x 20 cm 2029 7.000 14.203.000


Tabel 2. Biaya produksi usahatani bawang merah selain bibit

No Jenis biaya
Nilai biaya (Rp)
(2000 m
2
)
Nilai biaya (Rp)
( 1 ha)
1 Biaya pupuk 778.025 3.890.125
Biaya pestisida
2 Insektisida 499.800 2.499.000
3 Fungisida 174.000 870.000
4 Bahan penolong 65.000 325.000
Biaya Tenaga Kerja
5 Persiapan lahan 1.237.500 6.187.500
6 tanam dan pemeliharaan 750.000 3.750.000
7 Panen dan pasca panen 1.290.000 6.450.000

BIAYA VARIABEL 4.794.325 23.971.625


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
823
Hasil dan Harga Hasil
Semula dari percobaan ini diharapkan data hasil dan harga hasil
dapat diperoleh langsung dengan cara menjual, sehingga perbedaaan
harga hasil akibat akibat perbedaan kualitas dari klon dan varietas yang
diuji dapat diketahui secara pasti. Namun karena hasil yang diperoleh dari
percobaan ini khususnya untuk klon berasal dari Balitsa volumenya kecil,
maka pedagang hanya bersedia membeli dengan harga borongan rata-
rata yaitu 1600 rp/kg. Untuk memperoleh gambaran tentang perbedaan
harga hasil dari masing-masing varietas dan klon yang dicoba maka
dilakukan wawancara terhadap 19 orang pedagang. Para pedagang
tersebut diminta menentukan harga jual untuk masing-masing varietas
atau klon dengan asumsi bahwa masing-masing varietas dan klon
tersebut tersedia dalam jumlah besar. Data taksiran harga jual dari para
pedagang tersebut disajikan dalam Tabel 3 (Lampiran 2).
Untuk keperluan analisis harga taksiran nampaknya lebih relevan
digunakan, sebab harga tersebut mencerminkan perbedaan kualitas
bawang merah yang dihasilkan dalam hal ukuran, warna dan aroma.
Sedangkan harga rata-rata tidak memperhatikan perbedaan kualitas ini.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas maka analisis kelayakan
finansial dari klon bawang merah asal Balitsa, dibandingkan dengan
varietas yang sudah ada yaitu varietas lokal Bima, Engkel, Kuning
Sidapurna dan varietas impor Ilokos dapat dilihat di Tabel 4.


Tabel 3. Hasil, harga hasil penjualan faktual dan perkiraan pedagang tentang harga hasil masing-
masing klon dan varietas yang diuji

No Klon/ varietas
Hasil
(ton/ ha)
Harga jual
faktual
(Rp/kg)
Nilai hasil
faktual
(Rp)
Harga
taksiran
(Rp/kg)
Nilai
taksiran (Rp)
1 No. 8 25,76 1.600 41.216 1.737 44.745
2 No. 54 19,60 1.600 31.360 1.800 35.280
3 No. 10 22,48 1.600 35.968 1.710 38.441
4 No. 22 22,00 1.600 35.200 1.703 37.466
5 No. 33 24,70 1.600 39.520 1.618 39.965
6 No. 41 26,20 1.600 41.920 1.639 42.942
7 No. 9 27,84 1.600 44.544 2.291 63.781
8 Bima 21,49 1.600 34.384 2.021 43.431
9 Engkel 23,01 1.600 36.816 2.132 49.057
10 Ilokos 26,72 1.600 42.752 2.200 58.784
11 Bangkok Warso 28,20 1.600 45.120 1.939 54.680
12 K. Sidapurna 21,80 1.600 34.880 2.032 44.298



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
824
Dari Tabel 4 terlihat bahwa semua klon bawang merah asal
Balitsa lebih menguntungkan dibandingkan varietas lokal Bima. Namun
dibandingkan varietas lokal Engkel dan Kuning Sidapurna, yang lebih
menguntungkan hanya klon no. 8, no. 41 dan no.9. Sedangkan jika
dibandingkankan dengan varietas Bangkok Warso, yang lebih
menguntungkan adalah klon no.8 dan no.9. Dibandingkan dengan varietas
impor, satu-satunya klon Balitsa yang lebih menguntungkan adalah klon
no. 9. Namun hal ini masih perlu dipertanyakan sebab dalam melakukan
penaksiran harga untuk Klon No. 9 hampir semua responden pedagang
ragu-ragu apakah Klon No. 9 tersebut laku dijual dengan harga setinggi
taksiran mereka mengingat beberapa kelemahan utama yang dimilikinya
yaitu umbinya rasanya kurang enak, warnanya pucat, dan terlalu besar
(Tabel 5) (Lampiran 3). Hasil penelitian Ameriana et. al. (1991)
menunjukkan bahwa kualitas bawang merah yang disukai konsumen
adalah yang umbinya besar, berwarna merah keunguan, bentuknya bulat
dan aromanya sedang.


Tabel 4. Kelayakan finansial klon bawang merah asal Balitsa, dibandingkan varietas yang ada
(1000 Rp/ha)

No
Klon/
varietas
Biaya
bibit
(1000
Rp)
Biaya
pupuk
(1000
Rp)
Biaya
pestisida
(1000 Rp)
Biaya
tenaga
kerja (1000
Rp)
Nilai
hasil
(1000
Rp)
Profit
(1000
Rp)
1 No. 8 5.454 3890,1 3.694 16387,5 44.745 15.320
2 No. 54 8.400 3890,1 3.694 16387,5 35.280 2.908
3 No. 10 9.192 3890,1 3.694 16387,5 38.441 5.277
4 No. 22 9.426 3890,1 3.694 16387,5 37.466 4.068
5 No. 33 10.062 3890,1 3.694 16387,5 39.965 5.931
6 No. 41 9.822 3890,1 3.694 16387,5 42.942 9.148
7 No. 9 11.760 3890,1 3.694 16387,5 63.781 28.050
8 Bima 16.772 3890,1 3.694 16387,5 43.431 2.688
9 Engkel 17.280 3890,1 3.694 16387,5 49.057 7.806
10 Ilokos 10.147,5 3890,1 3.694 16387,5 58.784 24.665
11 Bangkok
Warso
18.843,5 3890,1 3.694 16387,5 54.680 11.865
12 K. Sidapurna 14.203 3890,1 3.694 16387,5 44.298 6.123







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
825
Tabel 5. Kelemahan Klon No.9 menurut persepsi pedagang (n=19)

No. Jenis pedagang
Pengalaman
(tahun)
Kelemahan Klon No.9
1 Antar provinsi 15 Kualitas rendah, konsumen
banyak tidak suka
2 Bakul kecamatan 9 Terlalu besar
3 Bakul kecamatan 10 Besar tapi kurang enak
4 Bakul kecamatan 9 Besar, tapi kurang merah dan
kurang enak
5 Bakul kecamatan 10 Biji besar, rasa kurang enak
6 Antar provinsi 10 terlalu besar, kualitas rendah,
tidak suka
7 Bakul kecamatan 8 Biji besar, tapi rasa kurang enak
8 Antar pulau, antar provinsi 20 Besar tapi kurang enak
9 Bakul kecamatan 8 Biji besar rasa kurang enak
10 Bakul kecamatan 12 Biji besar warna kurang merah
11 Bakul kecamatan 11 besar, tapi kebesaran
12 Bakul kecamatan 15 Besar tapi buat sayur kurang
bermutu
13 Antar daerah 25 Besar tapi warnanya putih
14 Antar kota 7 Kurang laku karena terlalu besar
dan kurang enak
15 Bakul kecamatan 10 warnanya pucat
16 Antar kota 12 Besar, mudah dijual
17 Bakul kecamatan 12 Kurang laku di Bogor dan
Bandung
18 Bakul kecamatan 20 Super bulat
19 Penebas 20 Biji terlalu besar


KESIMPULAN
Klon bawang merah yang layak secara finansial untuk
dikembangkan adalah klon No. 8, Klon no. 41. Klon ini secara finansial
lebih menguntungkan diusahakan dibandingkan dengan varietas lokal
Bima, Engkel, dan Kuning Sidapurna.

1) Klon No. 9 secara finansial belum meyakinkan lebih menguntungkan
dibandingkan varietas lokal maupun varietas impor Ilokos.
2) Perlu dilakukan penelitian kelayakan finansial untuk Klon No.9 pada
skala luas untuk memperoleh kepastian harga jual dari Klon No.9







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
826
DAFTAR PUSTAKA

1. Ameriana, M., Rachmat M. dan R. Sinung-Basuki. 1991. Preferensi
Konsumen Rumah Tangga terhadap Kualitas Bawang Merah (Allium
ascalonicum). Bul. Penel. Hort. Vo.XX Ed.Khusus. No.1, 1991. Hal 55-
66.
2. Deptan, 2000. Statistik Pertanian (Agricultural Statistics) 2000.
Deptan.
3. Dirjen Tan. Pangan dan Hort., 1999. Vademekum Pemasaran 1990-
1999.
4. Putrasamedja, S., R. Sinung-Basuki, Kusmana dan Subarlan. 2003.
Adaptasi Klon-klon Bawang Merah terhadap Produksi. Laporan Hasil
Penelitian APBN TA 2004. Balitsa.
5. Sinung-Basuki, R. W. Adiyoga, A. Hidayat dan A. Dimyati. 2002. Profil
Bawang Merah. Laporan Hasil Penelitian APBN 2002. Puslitbanghort.
6. Sinung-Basuki, R., Kusmana, B.K. Udiarto. 2003. Penelitian
Partisipatif untuk Seleksi Klon Bawang Merah Asal Balitsa yang Paling
Potensial. Laporan Hasil Penelitian APBN 2003. Balitsa.


























Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 200


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
827
Lampiran 1. Biaya produksi usahatani bawang merah per 2000 m2

No Jenis biaya Kuantitas Harga per
unit
Nilai biaya (rp)
Biaya pupuk:
1 - pupuk kandang 16 kranjang 20.000 320.000
2 - Urea 71.5 kg 1.350 96.525
3 - sp 36 71.5 kg 1.500 107.250
4 - za 100 kg 1.100 110.000
5 - kcl 30 kg 2.500 75.000
6 - kamas 13 kg 3.250 42.250
7 - NPK 3 kg 3.000 9.000
8 - PPC 1.5 kg 12.000 18.000
Pestisida
Insektisida
9 - Rampag 0.4 l 32.000 12.800
10 - Marshall 0.7 l 60.000 42.000
11 - Tracer 0.3 l 800.000 240.000
12 - kanon 1 l 66.250 66.250
13 - Dursban 2 l 57.000 114.000
14 - Furadan 1.5 kg 16.500 24.750
Fungisida
15 -Dithane 1.5 kg 46.000 69.000
16 -Daconil 0.7 kg 150.000 105.000
Bahan penolong
17 - indostick 1.5 l 20.000 30.000
18 - tali 1 kg 15.000 15.000
19 - bambu 1 20.000 20.000
Tenaga kerja
Persiapan lahan
20 - Dongkel (lelaki) 10 hok 15.000 150.000
21 - nyuat (lelaki) 26 hok 15.000 390.000
22 - mingul (lelaki) 37 hok 15.000 555.000
23 - pasang kompos (lelaki) 5 hok 15.000 75.000
24 - Rogol (wanita) 9 hok 7.500 67.500
tanam dan pemeliharaan
25 -Tanam: lelaki 2 hok 15.000 30.000
26 wanita 14 hok 7.500 105.000
27 - Ngeleb (lelaki) 1 hok 15.000 15.000
28 - Perbaiki posisi umbi (wanita) 2 hok 7.500 15.000
29 - Menyiang (wanita) 5 hok 7.500 37.500
30 - Melem (lelaki) 4 hok 15.000 60.000
- Pupuk susulan I :
31 * lelaki 1 hok 15000 15.000
32 * wanita 2 hok 7500 15.000
33 - ngama (wanita) 26 hok 7500 195.000
- Pupuk susulan II
34 * lelaki 1 hok 15.000 15.000
35 * wanita 2 hok 7.500 15.000
36 - nyiang dan ngama (wanita) 16 hok 7.500 120.000
37 - ngama (wanita) 15 hok 7.500 112.500
Panen dan pasca panen
38 - Panen: Lelaki 5 hok 15.000 75.000
39 wanita 11 hok 7.500 82.500
40 - Ancer (lelaki) 900.000
41 - pasca panen (wanita) 9 hok 7.500 67.500
42 - Jaga malam (lelaki) 11 hok

15.000 165.000
BIAYA VARIABEL 4.636.825

8


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008


Lampiran 2. Taksiran pedagang tentang harga jual (rp/kg) umbi hasil varietas dan klon bawang merah yang digunakan dalam
penelitian.
Klon asal Balitsa Varietas Kontrol
No.
Peda-gang No.8 No.54 No.10 No.22 No.33 No.41 No.9 Bima Engkel Ilokos B.Warso
K. Sida-
purna

1 1900 1700 1300 1500 1200 1200 2000 1800 2100 2300 1900 1800
2 1700 1700 1700 1700 1700 1700 2000 2000 2100 2000 1900 2000
3 1700 1700 1700 1600 1700 1600 2500 2100 2200 2300 1800 2000
4 1800 1800 1700 1700 1600 1600 2300 2100 2200 2300 2100 2100
5 1700 1700 1700 1700 1700 1600 2100 2100 2200 2000 1900 2000
6 1300 1600 1200 1400 1100 1100 tm 1700 2000 2200 1900 1700
7 1600 1600 1600 1600 1700 1600 1900 1800 1800 1800 1700 1800
8 1700 1800 1700 1700 1650 1500 2500 1800 2000 2200 1800 1900
9 1700 1700 1700 1700 1700 1600 2000 2000 2300 2400 2000 2000
10 1800 1800 1800 1800 1700 1700 2300 2000 2200 2300 2000 2100
11 1800 1800 1800 1800 1800 1700 2300 2100 2200 2000 2000 2000
12 1800 1800 1800 1900 1700 1700 2000 2000 2200 2000 2100 2100
13 1700 1700 1800 2000 2000 2000 2800 2300 2300 3000 2500 2600
14 2000 2000 1800 1700 1700 1500 2200 2000 2100 2100 1800 1900
15 1800 2000 2000 1900 1700 2200 2200 2200 2100 2200 1900 2000
16 1500 2200 1800 1800 1500 1500 3000 2200 2200 2000 2000 2500
17 1800 1800 1500 1200 1200 1750 tm 2200 2200 tm 1650 1900
18 1800 1800 1800 1900 1900 1900 3000 2000 2000 2500 2000 2100
19 1900 2000 2100 1750 1500 1700 1850 2000 2100 2000 1900 2100
Total 33000 34200 32500 32350 30750 31150 38950 38400 40500 39600 36850 38600
Rerata 1737 1800 1710 1703 1618 1639 2291 2021 2132 2200 1939 2032

Keterangan:
tm= tidak bisa menaksir.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
828


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
829
Lampiran 3. Taksiran pedagang terhadap harga jual bawang Klon No. 9 dan alasannya

No. Jenis pedagang
Pengalaman
(tahun)
Wilayah pemasaran
Taksiran
harga
(Rp/kg)
Alasan penaksiran
1 Antar provinsi 15 Bandung, Jakarta, Sumatra 2.000 Kualitas rendah, konsumen banyak tidak suka
2 Bakul kecamatan 9 Cibitung 2.000 Terlalu besar
3 Bakul kecamatan 10 Cibitung 2.500 Besar tapi kurang enak
4 Bakul kecamatan 9 Cibitung 2.300 Besar, tapi kurang merah dan kurang enak
5 Bakul kecamatan 10 Cibitung 2.100 Biji besar, rasa kurang enak
6 Antar provinsi 10 Jakarta, Sumatra - Terlalu besar, kualitas rendah, tidak suka
7 Bakul kecamatan 8 Cibitung 1.900 Biji besar, tapi rasa kurang enak
8 Antar pulau, antar
provinsi
20 Medan, cibitung 2.500 Besar tapi kurang enak
9 Bakul kecamatan 8 Cibitung 2.000 Biji besar rasa kurang enak
10 Bakul kecamatan 12 Cibitung 2.300 Biji besar warna kurang merah
11 Bakul kecamatan 11 Cibitung 2.300 besar, tapi kebesaran
12 Bakul kecamatan 15 Bogor, Jakarta 2.000 Besar tapi buat sayur kurang bermutu
13 Antar daerah 25 - 2.800 Besar tapi warnanya putih
14 Antar kota 7 Bogor, Bandung, Tangerang 2.200 Kurang laku karena terlalu besar dan kurang enak
15 Bakul kecamatan 10 Cibitung 2.200 Warnanya pucat
16 Antar kota 12 Bogor, Tangerang 3.000 Besar, mudah dijual
17 Bakul kecamatan 12 Stok gudang - Kurang laku di Bogor dan Bandung
18 Bakul kecamatan 20 Bogor 3.000 Super bulat
19 Penebas 20 Cibitung 1.850 Biji rada bobo
Harga taksiran rata-rata (Rp./kg) 2.291


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
830

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI SAYURAN
DI PROVINSI BANTEN

Andy Saryoko

1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten
Jl. Ciptayasa km.01 Ciruas Serang Banten, Telp. 0254-281055
e-mail: bptpbanten@yahoo.com; abangblue@yahoo.com


ABSTRAK. Tujuan makalah ini adalah menganalisis perkembangan
produksi dan konsumsi sayuran di provinsi Banten. Data yang digunakan
adalah data sekunder dari berbagai sumber terutama dari Badan Pusat
Statistik dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil analisis
menunjukkan bahwa produksi sayuran di Provinsi Banten menurun dan
penurunan cukup tajam pada komoditas bayam, cabai besar, cabai rawit
dan bawang merah. Disisi lain, konsumsi sayuran rumahtangga juga
masih rendah, yaitu sebesar 2,9 persen dari total pengeluaran
rumahtangga dan menduduki ranking ke-6. Karena itu, diperlukan
kebijakan strategis yang konsisten dan kontinyu dalam upaya peningkatan
produksi dan konsumsi sayuran untuk memenuhi kebutuhan pasar (lokal
dan DKI Jakarta).

Kata kunci : Sayuran, Produksi, Konsumsi


PENDAHULUAN

Sayuran adalah salah satu kelompok pangan yang penting
peranannya dalam penentuan kualitas sumberdaya manusia. Hal ini
terkait dengan fungsi dan potensi dari sayuran tersebut sebagai penghasil
vitamin dan mineral. Kedua zat gizi tersebut sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan perkembangan manusia terutama dikaitkan dengan
kesehatan dan kecerdasan.
Pemerintah telah mencanangkan berbagai program dalam upaya
peningkatan produksi sayuran untuk memenuhi kebutuhan domestik dan
juga untuk orientasi ekspor. Hal tersebut didukung dengan potensi
sumberdaya lahan untuk pengembangan komoditas hortikultura termasuk
didalamnya sayuran yang sangat prospektif, terdiri dari lahan pekarangan
seluas 5,33 juta ha, lahan tegalan/huma 11,61 juta ha, lahan sementara
tidak diusahakan seluas 7,58 juta ha, dan lahan untuk kayu-kayuan seluas
9,13 juta ha. (BPS, 1999, hasil identifikasi Dirjenhort, 2001).
Dari segi produksi, komoditas sayuran memiliki sifat cepat busuk,
mudah rusak dan susut yang besar merupakan masalah yang dapat


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
831
menimbulkan resiko fisik dan harga yang dihadapi pelaku agribisnis
sayuran. Ditinjau dari aspek permintaan, prospek permintaan domestik
terus meningkat baik dalam konsumsi segar maupun olahan, sebagai
akibat dari peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan
masyarakat, berkembangnya pusat industri dan pariwisata serta
peningkatan kesadaran masyarakat akan kesehatannya. Sementara itu,
ditinjau dari aspek produksi, potensi pengembangan komoditas
hortikultura masih dapat terus ditingkatkan baik dari aspek ketersediaan
lahan maupun teknologi budidaya, pasca panen maupun pengolahannya
(Saptana et al., 2005).
Provinsi Banten memiliki potensi pertanian yang sangat besar,
termasuk pengembangan komoditas sayuran. Letaknya yang strategis
dan kondisi bio-fisik yang sesuai menyebabkan pengembangan komoditas
sayuran untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya dan kebutuhan wilayah
sekitarnya seperti DKI Jakarta dan provinsi Jawa Barat semakin
prospektif. Karena itu, perlu dilakukan analisis keragaan produksi dan
konsumsi sayuran sebagai bahan kebijakan dalam pengembangan
sayuran di Provinsi Banten.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan sejak bulan Mei Juli 2008 di Provinsi
Banten. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari
berbagai sumber yaitu data produksi sayuran berasal dari Badan Pusat
Statistik (BPS) baik tingkat pusat maupun Provinsi Banten, Dinas
Pertanian Provinsi dan Kabupaten. Selain itu juga digunakan data Survei
Sosial Ekonomi (Susenas) Provinsi Banten. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Produksi Sayuran
Diakui, kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias
pada komoditas tanaman pangan terutama padi dan kurang
memperhatikan pada komoditas lainnya termasuk sayuran. Hal ini
berkaitan dengan peranan beras yang sangat strategis tidak hanya dalam
ketahanan pangan tetapi juga ketahanan perekonomian dan negara.
Telah terbukti pemerintahan tumbang karena gagal menyediakan pangan
untuk rakyatnya. Seperti pada pemerintah sekarang, Indonesia bersatu


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
832
melalui Departemen Pertanian, pemerintah menetapkan kebijakan
swasembada pangan untuk lima komoditas yaitu beras yang telah dicapai
pada tahun 2006, jagung, kedelai, daging sapi dan gula (Dewan
Ketahanan Pangan dan FAO, 2005).
Secara umum, produksi sayuran nasional selama kurun waktu
tahun 1996 2005 mengalami fluktuasi. Produksi terendah yang dialami
oleh hampir seluruh komoditas sayuran terjadi pada tahun 1999,
dikarenakan krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang terjadi sejak
pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi tersebut berdampak negatif
pada semua elemen termasuk dalam konteks produksi pangan.
Penurunan produksi dari tahun 1996 1999 mencapai 10 persen. Tetapi
pada tahun 2002 mulai mengalami peningkatan lagi seiring dengan upaya
pemerintah untuk melakukan pemulihan ekonomi. Secara terinci,
perkembangan produksi setiap jenis sayuran nasional periode 1996
2005 disajikan pada Tabel 1.
Dengan memperhatikan kondisi terakhir, laju pertumbuhan
sayuran periode 2004 2005 juga beragam. Beberapa komoditas seperti
tomat dan pepaya muda mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi,
yaitu mencapai 313,70 dan 282 persen. Tetapi, beberapa jenis sayuran
seperti bayam, kol/kubis, daun ketela pohon dan nagka muda mengalami
pertumbuhan yang negatif (Tabel 1).
Sementara itu, keadaan keragaan produksi sayuran di provinsi
Banten dapat dilihat pada Tabel 2. Wilayah produksi komoditas sayuran di
Provinsi Banten menyebar di seluruh kabupaten. Umumnya jenis sayuran
yang diusahakan oleh petani adalah jenis sayuran dataran rendah dan
hanya sebagian jenis sayuran dataran tinggi. Hal ini dikarenakan wilayah
Banten termasuk pada wilayah dataran rendah sehingga sayuran yang
banyak ditanam disesuaikan dengan kondisi lahan dan iklim setempat.
Produksi sayuran di Provinsi Banten periode 2002-2006
cenderung menurun dari tahun ke tahun. Produksi terendah dicapai pada
tahun 2004, sebesar 240,53 ton atau menurun sebesar 30 persen
dibanding tahun sebelumnya. Penurunan produksi yang cukup tinggi juga
terjadi pada tahun 2006. Produksi tahun 2006 hanya sebesar 147,61 ton,
lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 240,53 ton atau
menurun sebanyak 39 persen. Penurunan terjadi pada semua jenis
saturan, dan penurunan yang tajam terjadi pada saturan seperti bayam,
cabai besar, cabai rawit, dan bawang merah.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
833
Tabel 1. Perkembangan produksi sayuran nasional, 1996 - 2005
Tahun
No Jenis sayuran
1996 1999 2002 2004 2005
Pertumbuhan
2005 - 2004
1 Bayam 4,00 3,64 4,16 4,42 4,21 -1,6
2 Kangkung 4,11 4,42 4,63 4,52 4,73 1,5
3 Kol/kubis 1,82 1,56 1,92 2,03 1,87 -2,6
4 Buncis 1,04 0,68 0,88 0,94 1,14 7,4
5 Kacang panjang 3,74 3,22 3,74 3,43 4,11 6,6
6 Tomat 1,24 1,29 1,53 1,52 15,81 313,7
7 Mentimun 1,61 1,20 1,72 1,92 2,03 1,8
8 Daun ketela pohon 4,11 4,11 4,06 4,26 4,06 -1,6
9 Terong 1,92 1,92 2,50 2,55 2,65 1,4
10 Labu siam 0,73 0,88 0,83 0,99 6,3
11 Sayur sop 3,95 3,80 4,68 5,25 5,36 0,7
12 Sayur asam 5,25 4,73 5,51 5,67 6,24 3,4
13 Nangka muda 1,66 1,25 1,14 1,20 1,09 -2,0
14 Pepaya muda 1,04 1,14 1,09 0,99 9,36 282,5
15 Bawang merah 1,96 1,49 2,20 2,19 2,36 2,6
16 Cabai rawit 0,94 1,12 1,14 1,27 3,6
17 Lainnya 10,06 6,71 1,72 2,18 2,08 -1,6

Sumber : Badan Pusat Statistik

Tabel 1 di atas menunjukkan belum adanya kestabilan produksi
komoditas sayuran. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal
tersebut adalah penyerapan produk sayuran yang juga belum stabil
(konsumsi rendah), pemanfaatan lahan yang belum optimal, serta
pengetahuan patani mengenai teknik budidaya dan pascapanen sayuran
yang masih rendah.
Nilai dari suatu komoditas sayuran dewasa ini tidak hanya
ditentukan oleh jumlah dan jenisnya saja, tetapi juga sudah mengarah
kepada kualitas dan keamanan produk. Pengetahuan petani mengenai
teknik budidaya dan pascapanen yang rendah sangat mempengaruhi
kualitas sayuran yang dihasilkan, mengingat komoditas sayuran adalah
komoditas yang cepat rusak. Produk sayuran dengan kualitas yang
seadanya akan kalah bersaing dengan produk-produk yang sudah
mengedepankan kualitas dan keamanan. Dengan demikian, untuk dapat
bersaing dan dapat memiliki pasar yang lebih stabil, diperlukan perbaikan
dalam teknik budidaya dan pascapanen agar kualitas produk sayuran
menjadi lebih baik dan sesuai dengan selera pasar.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) berusaha untuk
meningkatkan produksi sayuran dengan mengintroduksi berbagai


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
834
teknologi seperti penggunaan bibit varietas unggul, cara budidaya melalui
program PRIMA TANI. Program PRIMA TANI dengan komoditas sayuran
seperti cabai, bayam dan kangkung terdapat di Kabupaten Pandeglang
dan Kabupaten Tangerang. Karena letak Provinsi Banten yang strategis,
dekat dengan DKI Jakarta, maka produksi komoditas sayuran dari
Provinsi Banten umumnya dipasarkan di wilayah tersebut.

Tabel 2. Perkembangan produksi syuran di Provinsi Banten, 2002- 2006
Produksi (ton)
No Jenis sayuran
2002 2003 2004 2005 2006
Pertum-
buhan/
tahun
(%)
Pertum-
buhan
2005 - 2006
1 Kangkung 16,64 25,82 19,26 17,40 12,19 -2,5 -30,0
2 Bayam 11,65 2,37 3,85 11,79 6,15 35,3 -47,8
3 Petsai/sawi 10,02 15,60 12,96

17,82

15,46 15,6 -13,24
4 Kacang panjang 41,58 18,68 22,30 35,77

21,69 -3,7 -39,4
5 Tomat 4,03 5,60 2,76 4,48

3,25 5,8 -27,5
6 Cabai besar 10,60 5,38 4,06 8,80

4,68 -1,0 -46,8
7 CabairRawit tad 30,00 2,42 4,96

2,03 -15,4 -59,1
8 Terung 11,75 9,88 8,50 13,20

11,62 3,4 -12,0
9 Ketimun 107,42 50,67 39,32 51,18

49,79 -12,0 -2,7
10 Labu siam 1,72 0,45 1,41 6,63 3,75 116,6 -43,4
11 Bawang merah 57,70 2,10 2,22 67,40

15,90 692,3 -76,4
12 Bawang daun 2,40 11,80 6,20 1,10

1,10 65,5 0,0
Jumlah 275,51 178,35 125,26 240,53 147,61 -2,9 -38,6

Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten (2007)

Keragaan Konsumsi Sayuran
Untuk melihat konsumsi sayuran selama ini digunakan data yang
berasal dari Susenas yang dikumpulkan dan dipublikasikan oleh BPS.
Salah satu pendekatan untuk mengetahui konsumsi sayuran adalah
dengan melihat pengeluaran per kapita yang digunakan untuk konsumsi
makanan. BPS mengelompokkan pengeluaran rumah tangga menjadi dua
kategori yaitu pengeluaran pangan dan bukan pangan. Perbandingan
antara keduanya dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui
tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pangsa pengeluaran
pangan mengindikasikan tingkat kesejahteraan rumahtangga yang
semakin rendah atau rentan (Ariani dan Hardono, 2006).




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
835
Pengeluaran rumahtangga di Provinsi Banten dapat dilihat pada
Tabel 3. Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga di provinsi Banten
sebesar 50,4 persen yang berarti lebih sejahtera dibandingkan dengan
rata-rata Indonesia yang pada tahun 2002 masih sekitar 58,5 persen.

Tabel 3. Pengeluaran per kapita per bulan di Provinsi Banten, 2005

Jenis pengeluaran
Pengeluaran
(Rp/kapita/bulan)
Pangsa
Peringkat konsumsi
makanan
Pengeluaran per kapita 342,743 100,00
Makanan 172,830 50,43
Padi padian 36,777 10,73 1
Ubi-ubian 1,168 0,34 14
Ikan 17,568 5,13 4
Daging 7,920 2,31 7
Telur dan susu 12,756 3,72 5
Sayur-sayuran 9,877 2,88 6
Kacang-kacangan 6,708 1,96 11
Buah-buahan 7,095 2,07 9
Minyak dan lemak 6,967 2,03 10
Bahan minuman 7,213 2,10 8
Bumbu-bumbuan 4,576 1,34 13
Kansumsi lainnya 6,662 1,94 12
Makanan dan minuman 22,743 6,64 3
Minuman alkohol 232 0,07 15
Tembakau dan sirih 24,568 7,17 2
Non makanan 169,913 49,57

Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten (2005)

Diantara kelompok pengeluaran makanan, pengeluaran terbesar
adalah padi-padian yaitu lebih dari 10 persen. Dalam kelompok padi-
padian terdiri dari komoditas beras, jagung dan terigu, sementara beras
merupakan pangan pokok rumah tangga yang dikonsumsi dalam jumlah
yang besar dan terus menerus. Hal ini yang mengakibatkan tingginya
pangsa pengeluaran padi-padian.
Dari data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengeluaran per
kapita perbulan untuk sayuran hanya sebesar Rp 9,877,- atau sebesar
2,88 persen dari total pengeluaran untuk makanan. Pengeluaran untuk
sayur-sayuran menempati ranking ke-6, jauh lebih rendah dibanding
pengeluaran untuk tembakau dan sirih yang menempati rangking ke 2


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




dengan pengeluaran untuk konsumsi tembakau dan sirih sebesar Rp
24,568,- atau sebesar 7,17 persen dari total pengeluaran untuk makanan.
Ke depan, konsumsi sayuran akan terus meningkat, seiring
dengan tingkat kesadaran manusia akan pentingnya pemenuhan gizi serta
laju pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat. Seiring dengan
hal tersebut, preferensi konsumen terhadap sayuran juga mulai berubah.
Simatupang (2005) mengemukakan dulu (tradisional), atribut utama yang
mencirikan preferensi konsumen hanyalah : jenis, kenyamanan, stabilitas
harga dan nilai komoditas, maka dewasa ini konsumen telah mulai
menambahkan atribut yang lebih rinci seperti : kualitas (komposisi bahan
baku), kandungan nutrisi, dan aspek lingkungan.

Kawasan Agribisnis Sayuran
Provinsi Banten merupakan merupakan wilayah yang strategis
dengan posisi geografis yang menghubungkan antara pulau Jawa dan
Sumatera. Wilayah ini juga sebagai pintu gerbang jalur perdagangan
antara Jawa Sumatra, Asia dan internasional.
Melihat peluang dan potensi yang ada, Pemerintah Daerah dalam
hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten mengembangkan
kawasan agribisnis hortikultura. Tujuan dari pembentukkan kawasan ini
adalah untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu hasil
pertanian. Selain itu, tujuan lain yang ingin dicapai adalah
mengembangkan keanekaragaman usaha pertanian yang menjamin
kelestarian dan fungsi lahan, menciptakan lapangan kerja, menciptakan
efektifitas dan efsiensi pelayanan, meningkatkan kesempatan berusaha
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga dalam upaya
memenuhi permintaan pasar terutama dari DKI Jakarta.



Gambar 1. Kawasan sayuran di Provinsi Banten
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
836


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
837
Salah satu kawasan agribisnis yang dibangun oleh pemerintah
daerah adalah kawasan sayuran seperti pada Gambar 1. Langkah ini
dianggap penting mengingat Provinsi Banten memiliki peluang pasar yang
besar terhadap produk-produk sayuran. Kawasan agribisnis sayuran
tersebar di beberapa kecamatan di tiap Kabupaten/Kota.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Perkembangan produksi sayuran baik di tingkat nasional maupun
di Provinsi Banten berfluktuasi. Bahkan di Provinsi Banten produksi
sayuran cenderung menurun dan penurunannya cukup tajam pada
beberapa komoditas seperti bayam, cabai besar, cabai rawit dan bawang
merah. Di sisi lain, konsumsi sayuran di Provinsi Banten masih rendah,
yaitu sebesar 2,9 persen dari total pengeluaran rumah tangga dan
menduduki peringkat ke-6. Karena itu, diperlukan suatu kebijakan
strategis yang konsisten dan kontinyu dalam upaya peningkatan produksi
sayuran di Provinsi Banten untuk memenuhi kebutuhan pasar yaitu
kebutuhan domestik dan DKI Jakarta. Secara paralel juga perlu dilakukan
KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) dalam upaya peningkatan
konsumsi sayuran pada rumah tangga di wilayah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. BPS. 2006. Banten Dalam Angka.
2. Dewan Ketahanan Pangan dan FAO. 2005. Kebijakan Umum
Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Perumusan Program
Ketahanan Pangan Nasional, di Hotel Kemang, tanggal 12 September.
3. Ariani, M dan G.S. Hardono. 2006. Pola Konsumsi Pangan Rumah
tangga : Sebelum dan Pasca Krisis Ekonomi. Prosiding Seminar
Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta, 23-24 November.
4. Saptana, et al. 2005. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan
Sayuran Sumatera (KASS). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi. Bogor. 232 hal.









Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
838

UJI BEDA KENTANG VARIETAS ATLANTIK DARI BERBAGAI
SUMBER SECARA MORFOLOGI DAN ISOZIM

Iteu M. Hidayat
1
, Tri Handayani
1
, Yoyo Sulyo
2
, Laily
2
dan Isum
1

1
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang,
Jl. Tangkuban Parahu No. 517 Lembang, Bandung 40391

2
Balai Tanaman Hias, Pacet, Cianjur

ABSTRAK. Pengujian beda secara morfologi dan isozim pada kentang
varietas Atlantik asal Korea, Scotlandia, Australia, dan Atlantik M
dilakukan di Kebun Percobaan BALITSA Lembang dan laboratorium
Virologi BALITHI, Segunung dari September sampai Desember 2007.
Tanaman ditanam dalam polybag, masing masing varietas Atlantik dari
berbagai sumber sebanyak 40 tanaman per sumber, dengan tiga ulangan.
Pengamatan morfologi dilakukan dengan mengikuti panduan dari UPOV.
Dari data karakteristik Atlantik M, asal Korea, Scotlandia, dan Australia
yang secara morfologi tidak ada perbedaan. Analisa isosim pada contoh
daun menunjukkan hanya ada perbedaan pada pita polifenoloksidase
dengan relatif mobilitas Rf 0,2 dan 0,35.

Kata kunci: Kentang, Varietas Atlantik, Isozim, Morfologi,
Polifenoloksidase


PENDAHULUAN

Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran yang
mempunyai prospek pengembangan yang cukup baik, terutama dalam
menunjang industri pengolahan makanan. Salah satu kudapan yang
digemari adalah berupa kentang goreng (french fry) dan keripik (chips).
Kriteria kualitas umbi yang diperlukan untuk produksi keripik yang sedang
berkembang di Indonesia adalah dengan berat jenis >1,05, yang salah
satunya dapat dipenuhi oleh varietas Atlantik. Walaupun varietas Atlantik
bukan dimuliakan di Indonesia, akan tetapi selama kurun waktu
pertanamannya di Indonesia, terdapat mutan yang kemudian merupakan
klon dengan fenotipa berbeda, tetapi mempunyai kualitas umbi setara
dengan varietas asalnya. Klon ini kemudian dilepas dengan nama Atlantik
M.
Pasokan benih untuk bahan dasar industri sejauh ini masih
menggunakan benih impor. Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam
meningkatkan pajak impor benih, maka diperlukan upaya untuk


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
839
menyediakan benih kentang varietas Atlantik secara domestik. Hal ini
diperlukan dalam menunjang penyediaan bahan baku yang mencukupi
baik kuantitas maupun kualitas untuk industri keripik kentang.
BALITSA sudah mengembangkan teknologi perbanyakan dan
produksi benih kentang bebas virus ditunjang dengan fasilitas yang
memadai. Di samping itu BALITSA mempunyai tugas pokok dan fungs
untuk memproduksi benih sumber kentang baik planlet maupun umbi Go.
Akan tetapi masih ada masukan dari swasta penangkar benih dan
pengguna produk kentang, yaitu apakah kualitas umbi varietas Atlantik M
setara dengan kualitas umbi Atlantik impor. Penangkar benih swasta
meminta pengujian yang hasilnya dapat memverifikasi bahwa kualitas
umbi varietas Atlantik yang dilepas BALITSA setara dengan varietas
Atlantik impor. Untuk hal tersebut, tiga perusahaan penangkar benih telah
menyerahkan contoh umbi varietas Atlantik yang masing masing berasal
dari Korea, Australia dan Scotlandia.
Kentang diperbanyak secara vegetatif, namun dalam sistem
produksi benih yang bermutu diperlukan acuan baik untuk karakter
morfologi maupun kekonsistenan penampilan setelah diperbanyak melalui
tehnik kultur jaringan. Sifat true to type merupakan syarat utama untuk
benih sumber. Hal ini karena benih sumber merupakan materi dasar
dalam sistem pembibitan kentang yang bermutu dan bersertifikasi. Oleh
karena itu untuk setiap seri pengeluaran benih diperlukan pembanding
yang berasal dari umbi tanpa melalui perbanyakan kultur jaringan, sebagai
jaminan kebenaran genetis dan fisik. Untuk kebenaran sifat di antara
varietas Atlantik dari empat sumber, perlu diuji secara morfologis maupun
genetis.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keragaan
morfologis varietas Atlantik dari Korea, Australia dan Skotlandia dengan
Atlantik Malang dengan mengamati karakter morfologis berdasarkan
UPOV TG/23/5 tahun 1986 dan secara genetis dengan isozim.

BAHAN DAN METODE

Karakterisasi Morfologi Kentang Varietas Atlantik dari Berbagai
Sumber
Pengujian dilakukan di Kebun Percobaan BALITSA, dari Januari
Mei 2007. Benih kentang yang berupa umbi bibit dari empat varietas
kentang Atlantik asal Skontlandia, Australia, Korea dan Malang digunakan
dalam kegiatan ini. Benih dari keempat varietas kentang tersebut ditanam
dalam polibag di lapangan dengan media pupuk kandang dan tanah (1:1),


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
840
masing-masing 30 tanaman per varietas, dengan 3 ulangan. Pengamatan
dilakukan berdasarkan panduan UPOV TG/23/5 tahun 1986.
Pemeliharaan meliputi pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan
penyiraman sesuai dengan yang diperlukan. Penanaman dengan umbi
dari klas benih yang berbeda terpaksa dilakukan karena permintaan
verifikasi yang segera.

Analisis Isozim Kentang Varietas Atlantik dari Berbagai Sumber
Daun muda pada stadia vegetatif aktif dipanen dari tanaman uji
beda morfologi di Lembang dan dibawa dalam boks ke laboratorium di
Segunung. Uji Beda Isozim dilakukan dengan mengikuti prosedur
pengujian Soltis dan Soltis (1989).
Langkah-langkah pengujian meliputi: Persiapan sampel
(menggunakan daun dari empat varietas kentang), ekstraksi sampel,
persiapan gel untuk separasi isozim, elektroforesis, dan visualisasi.
Elektroforesis dlakukan untuk ensim esterase, katalase, peroksidase dan
polifenol oksidase
Formula untuk pewarnaan:
- Esterase: 0.1 M Na
2
HPO
4
pH 6 (100 ml), Naphthyl acetate (100
mg dalam 1 ml aceton), Naphthyl acetate (50 mg dalam 1 ml
aceton) dan Fast garnet GBC salt (100 mg)
- Katalase: Bufer (Tris-citrat), gel (Na-borat), staining (0,01 % H
2
O
100 ml, KFeCN 500 mg dalam 25 ml H
2
O dan FeCl
2
500 mg
dalam 25 H
2
O)
- Peroxidase: 3 Amino-9 Ethil carbazole 20 mg dilarutkan dalam
dimethyl formamide 2,5 ml, 0,1 M CaCl
2
(2 ml), 30 % CaCl
2
(200
l) dan 0,05 M Na Acetate pH 5 (95 ml)
- Polyfenol oksidase: 100 ml 8 mM phosfat buffer pH 5 dengan 1 g
phenili diamin dan 1,1 g catechol 3 menit digoyang 50 rpm


HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Morfologi Kentang Varietas Atlantik dari Berbagai
Sumber
Pengamatan yang dilakukan terhadap karakteristik tanaman, umbi,
dan umur panen menurut deskripsi UPOV menunjukkan tidak ada
perbedaan pada karakter kualitatif (Lampiran 1). Perbedaan dalam data
kuantitatif tinggi tanaman dan ukuran bunga kemungkinan disebabkan
oleh status umbi yang berbeda dari berbagai sumber yang sudah


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
841
mencapai tahap generasi ke-5 sampai ke-7. Kondisi tanaman yang
berasal dari umbi generasi lanjut menunjukkan tinggi tanaman dan
pertumbuhan yang kurang vigor dibandingkan tanaman Atlantik M yang
berasal dari G
0
. Demikian hal ini tercermin dari ukuran bunga. Penampilan
sifat kuantitatif dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dalam hal ini klas benih
yang dipergunakan. Sampai dilaksanakan pengujian, belum tersedia benih
Atlantik M generasi lanjut, karena produksi Go baru dilakukan pada tahun
2006.

Analisis Isozim Kentang Varietas Atlantik dari Berbagai Sumber
Analisa isozim pada daun (Gambar 1a) dilakukan di laboratorium
virologi, Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung terhadap ensim
peroksidase, polifenoloksidase, katalase dan esterase. Perbedaan antara
varietas Atlantik M dengan varietas Atlantik dari Scotlandia, Korea dan
Australian hanya terlihat pada pita polifenoloksidase Rf 0,20 dan 0,35
(Gambar 1b), pada tampilan gel yang kurang baik (Gambar 1c) , dan hal
ini perlu dikonfirmasi lebih lanjut. Pada gel akrilamid isosim untuk
esterase, katalase dan peroksidase tidak ada perbedaan. Upaya untuk
analisis pada umbi sudah dilakukan, namun tidak dapat dilaksanakan
karena gel akrilamide yang tidak dapat berpolimerisasi dengan baik,
sehingga tidak terbentuk gel yang memungkinkan untuk elektrophoresis.
Padahal analisa isosim pada umbi merupakan tehnik yang dianjurkan
untuk perangkat tehnik dalam analisis genetik, pemuliaan, hubungan
kekerabatan, klasifikasi dan kemurnian genetik pada tanaman kentang
(Mishra et al. 2005).
Walaupun tidak terdapat perbedaan karakteristik morfologis kulitatif
diantara varietas Atlantik dari berbagai sumber, namun analisis isozim
polifenoloxidase menunjukkan pita yang berbeda pada Rf 0,20 dan 0,35
antara varietas Atlantik M dengan varietas Atlantik dari Skotlandia, Korea
dan Australia. Disarankan agar selain pengamatan morfologi, pengamatan
biokimia (isozim) dan biomolekuler sebaiknya dilakukan dalam identifikasi
varietas baik dalam koleksi plasma nutfah, perlindungan varietas maupun
jaminan mutu dalam sistem perbenihan kentang.
Keragaan fenotip merupakan interaksi antara genotip dan
lingkungan. Tidak semua penampilan yang disebabkan oleh genotip
memberikan tampilan yang berbeda. Untuk mengurangi pengaruh
lingkungan dalam tampilan genotip, maka isosim merupakan satu alat
untuk mendiagnosa perbedaan genotip. Elektroforesis merupakan teknik
yang sederhana dan dapat menggunakan alat yang sederhana pula. Hal
ini dapat dilakukan dengan membandingkan komposisi protein antara


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




varietas yang diuji, atau dengan membandingkan pola pita protein pada
varietas yang diuji (Cooke, 1995) seperti yang dilakukan pada pengujian
ini.


Gambar 1a. Contoh daun
varietas Atlantik dari berbagai
sumber
Gambar 1b. Pita polifenol oksidase
varietas kentang Atlatik dari berbagai
Sumber
Gambar 1c. Isosim polifenol
oksidase varietas kentang Atlatik
dari berbagai Sumber (Sc:
Scotlandia, Ko: Korea; Aus:
Australia, M: Malang)


KESIMPULAN DAN SARAN

Tidak ada perbedaan karakteristik morfologis kualitatif antara varietas
kentang Atlantik M dan varietas Atlantik asal Korea, Scotlandia, dan
Australia
Analisis isozim polifenoloxidase pada daun menunjukkan pita yang
berbeda pada Rf antara varietas Atlantik M dengan varietas Atlantik
dari Scotlandia, Korea dan Australia.
Disarankan agar selain pengamatan morfologi, pengamatan biokimia
(isozim) dan biomolekuler dapat dilakukan dalam identifikasi varietas
baik dalam koleksi plasma nutfah, perlindungan varietas maupun
jaminan mutu dalam sistem perbenihan kentang.


DAFTAR PUSTAKA

Cooke R.J., 1995. Varietal Identification of Crop Plants. In New
Diagnostics in Crop Sciences. (Skerrit J.H. and Appels R, Eds).
CAB: 1 -32.
International Union for the Protection of New Varieties (UPOV). 1986.
Guidelines for the conduct of test for distinctness, homogeneity
and stability: Potato (Solanum tuberosum L.): 27 pp.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
842



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 200


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
843
Mishra AC, Singh NP dan Mishra JP. 2005. Tuber Protein
Elektrophoregram as a Tool of Genetic Purity Test in Potato
(Solanum tuberosum L.). Seed Research 33(2): 129 133.
Soltis D.E, Soltis P.S. 1989. 1989. Isozymes in Plant Biology. Chapman
and hall: 5 45.

































8


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008


Lampiran 1.

Data Karakteristik Kentang Varietas Atlantik dari Berbagai Sumber

Sumber varietas kentang Atlantik
No.

Karakteristik Atlantik M Scotlandia Korea Australia
Tunas umbi
1 Ukuran Medium Medium Medium Medium
2 Bentuk Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong
3 Warna antosianin pada pangkal Biru ungu Biru ungu Biru ungu Biru ungu
4 Intensitas warna antosianin pada pangkal Kuat Kuat Kuat Kuat
5 Pubescence pada pangkal Medium Medium Medium Medium
6 Ukuran ujung Medium Medium Medium Medium
7 Kebiasaan ujung Tertutup Tertutup Tertutup Tertutup
8 Intensitas warna antosianin pada ujung Medium Medium Medium Medium
9 Pubescence pada ujung Medium Medium Medium Medium
10 Jumlah ujung akar Banyak Banyak Banyak Banyak
11 Tonjolan lentisel Sedang Sedang Sedang Sedang
12 Panjang tunas lateral Pendek Pendek Pendek Pendek
Tanaman
13 Tinggi 46,4/50,4 cm 44,1/44,1 cm 26,9/30,7 cm 38,9/45,4 cm
14 Tipe Tipe antara Tipe antara Tipe antara Tipe antara
15 Kebiasaan tumbuh Semi tegak Semi tegak Semi tegak Semi tegak
Batang
16 Tebal batang utama 0,80 cm 0,80 cm 0,80 cm 0,80 cm
Medium Medium 17 Penyebaran warna anthosianin Medium Medium



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
844


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008


Lampiran 1. (lanjutan)
Data Karakteristik Kentang Varietas Atlantik dari Berbagai Sumber

Sumber varietas kentang Atlantik
No.

Karakteristik Atlantik M Scotlandia Korea Australia
Daun
18 ukuran Besar Besar Besar Besar
19 Silhoute Sedang Sedang Sedang Sedang
20 Intensitas warna hijau Sedang Sedang Sedang Sedang
21 Penyebaran warna antosianin pada tulang
daun
Lemah Lemah Lemah Lemah
Anak daun
22 Ukuran Kecil Kecil Kecil Kecil
23 Lebar Sedang Sedang Sedang Sedang
24 Frekuensi tumpang tindih Sedang Sedang Sedang Sedang
25 Pinggir daun berombak Lemah Lemah Lemah Lemah
26 Dalam tulang daun Sedang Sedang Sedang Sedang
27 Pigmentasi antosianin pada helaian daun
muda pada karangan daun ujung
Ada Ada Ada Ada
28 Permukaan daun atas mengkilap Sedang Sedang Sedang Sedang
29 Frekuensi anak daun sekunder pada midrib Kecil Kecil Kecil Kecil
30 Frekuensi anak daun sekunder pada anak
daun ujung
Kecil Kecil Kecil Kecil
31 Frekuensi anak daun sekunder pada anak
daun lateral
Sedang Sedang Sedang Sedang
Sedang Sedang 32 Ukuran anak daun sekunder pada pada anak
daun lateral
Sedang Sedang



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
845


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008


Lampiran 1. (lanjutan)
Data Karakteristik Kentang Varietas Atlantik dari Berbagai Sumber

Sumber varietas kentang Atlantik
No.

Karakteristik Atlantik M Scotlandia Korea Australia
Karangan bunga
33 Ukuran 2,94 cm 2,60 cm 2,50 cm 2,12 cm
34 Warana anthosianin pada tangkai Lemah Lemah Lemah Lemah
35 Frekuensi bunga pada tanaman Kecil Kecil Kecil Kecil
36 Warna antosianin pada pada kuncup Medium Medium Medium Medium
37 Ukuran korola Medium Medium Medium Medium
38 Warna bagian dalam bunga
39 Intensitas antosianin pada bagian dalam
bunga yang berwarna
Medium Medium Medium Medium
40 Wara antosianin pada bagian luar bunga yang
berwarna putih
Ada Ada Ada Ada
41 Ukuran ujung putih pada bunga berwarna Sedang Sedang Sedang Sedang
Buah
42 Frekuensi buah pada tanaman Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Umur tanaman
43 Umur matang tanaman Sedang Sedang Sedang Sedang

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
846


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
847
Lampiran 1. (lanjutan)
Data Karakteristik Kentang Varietas Atlantik dari Berbagai Sumber

Sumber varietas kentang Atlantik
No.

Karakteristik Atlantik M Scotlandia Korea Australia
Umbi
44 Bentuk (100xpanjang/lebar)
45 Dalam mata umbi Sedang Sedang Sedang Sedang
46 Kehalusan kulit Kasar Kasar Kasar Kasar
47 Warna kulit umbi Kuning Kuning Kuning Kuning
48 Warna dasar mata Kuning Kuning Kuning Kuning
49 Warna daging umbi Krem Krem Krem Krem
50 Untuk yang berwarna kuning: warna
antosianin kulit sebagai reaksi terhadap sinar
(setelah 10 hari sinar mata hari atau atau 150
jam disinari lampu
Kuat Kuat Kuat Kuat



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
848

KARAKTERISASI SAYURAN INDIGENOUS KOLEKSI BALITSA

Iteu M. Hidayat dan Tri Handayani

Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung 40391
e-mail: imhidayat@yahoo.com


ABSTRAK. Sebanyak 183 asesi dari 220 asesi sayuran indigenous
koleksi dalam kegiatan RETA 5839 dan RETA 6067 telah dikarakterisasi
dan diregenerasi, yaitu 29 asesi Gambas (Luffa acutangula), 3 asesi
blustru (Luffa aegyptica), 11 asesi labu (Cucurbita moschata), 3 asesi
baligo (Benincasa hispida), 7 asesi labu botol (Lagenaria siceraria), 11
asesi mentimun (Cucumis sativus), 2 asesi paria (Momordica charantia),
23 asesi kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), 24 asesi roay (Dolichos
sp.), 28 asesi kacang-kacangan (Phaseolus sp.), 9 asesi kacang hiris
(Cajanus cajan), 3 asesi leunca (Solanum nigrum), 3 asesi tomat
(Lycopersicum esculentum), 2 asesi cabai (Capsicum sp.), 4 asesi terung
(Solanum meongena), 2 asesi bayam (Amaranthus sp), 2 asesi caisim
(Brassica chinensis), 9 asesi kemangi (Ocimum sp.), 2 asesi kenikir
(Cosmos sp) dan masing-masing 1 asesi bengkuang (Pachyrrhyzus
erosus), bawang daun (Allium sp), wijen (Sesamum indicum), basella
(Basella alba), dan paria belut (Trichosanthes cucumerina). Pengamatan
dilakukan terhadap karakter kualitatif dan kuantitatif pada fase kecambah,
vegetatif dan generatif serta biji. Untuk asesi yang lebih dari satu,
ditemukan perbedaan pada beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif.
Kecipir dan koro memperlihatkan keragaman yang tinggi yang bisa
dimanfaatkan untuk seleksi dalam program pemuliaan. Meskipun
demikian pengamatan lebih lanjut masih diperlukan.

Kata kunci: Luffa acutangula, Luffa aegyptica, Cucurbita moschata,
Benincasa hispida, Lagenaria siceraria, Cucumis sativus,
Momordica charantia, Psophocarpus tetragonolobus,
Dolichos sp., Phaseolus sp., Cajanus cajan, Solanum
nigrum, Lycopersicum esculentum, Capsicum sp., Solanum
meongena, Amaranthus sp., Ocimum sp., Cosmos sp.,
Pachyrrhyzus erosus, Allium sp., Sesamum indicum, Basella
alba, Brassica chinensis, Trichosanthes cucumerina dan
RETA 6067

PENDAHULUAN

Sayuran indigenous telah lama dimanfaatkan oleh manusia sebagai
bagian dari peradaban dan perkembangan kebudayaan. Masyarakat
Indonesia yang terdiri dari 370 suku dan tersebar di 31 provinsi di



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 200


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
849
berbagai pulau memiliki tradisi masing-masing termasuk kebiasaan makan
dan pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional (Berwanie, 2006).
Pemanfaatan sayuran indigenous saat sekarang sangat terbatas dan
bahkan dianggap dalam sayuran minor. Akan tetapi, beberapa studi
tentang potensi pemanfaatan sayuran indigenous mengindikasikan bahwa
beberapa sayuran indigenous mempunyai nilai nutrisi sebagai sumber
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, dan juga kandungan
nutrisi atau phytonutrient, seperti serat, enzim pigmen dan senyawa
seperti vitamin (karnitin, colin, co-enzim Q10) dan nutrisi minor (fenol,
isoplavon, dll.) (Wirakusumah, 2006). Selama proyek RETA 5839 dan
RETA 6067 telah dikoleksi lebih dari 500 asesi sayuran indigenous.
Namun demikian hanya 183 asesi dari 220 asesi yang ditanam yang bisa
dikarakterisasi dan diregenerasi karena pertumbuhan tanaman kurang
baik atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. Tujuan kegiatan ini adalah
untuk mengkarakterisasi dan meregenerasi dalam bentuk biji untuk
pemanfaatan selanjutnya dalam program seleksi dan pemuliaan.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini dilaksanakan di KP Margahayu, BALITSA, Lembang
pada ketinggian 1250 m dpl, dari tahun 2005 sampai 2006. Bahan yang
digunakan dan metode tanam dalam kegiatan ini ditampilkan di Tabel 1.
Penanaman menggunakan tiga metode, yaitu menggunakan teralis
bambu, para-para bambu, dan menggunakan mulsa plastik tanpa teralis
bambu. Pupuk kandang diaplikasikan sebanyak 2 kg/tanaman, 10
g/tanaman NPK 15:15:15 saat tanam, dan 5 g/tanaman NPK diberikan
saat tahap inisiasi bunga dan buah. Koleksi data dilakukan pada stadia
vegetatif, stadia pembungaan, buah dan biji meliputi karakter kualitatif dan
kuantitatif mengikuti AVRDC-GRSU Characterization Record Sheet yang
diterbitkan oleh AVRDC. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dan
disesuaikan berdasarkan tingkat kerusakan dari tahap persemaian sampai
panen.
8


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008


Tabel 1. Bahan tanaman untuk karakterisasi dan regenerasi

Spesies
No. Famili
Nama umum
Jumlah
asesi
Metode penanaman
1. Cucurbitaceae 1. Luffa acutangula 29 Para-para
Gambas (luffa)
2. Luffa aegyptica 3 Para-para
Blustru (spong gourd)
3. Cucurbita moschata 11 Para-para
Labu (pumpkin)
4. Benincasa hispida 3 Para-para
Baligo (wax gourd)
5. Lagenaria siceraria 7 Para-para
Labu botol (bottle gourd)
6. Cucumis sativus 11 Teralis bambu
Mentimun (cucumber)
7. Momordica charantia 2 Teralis bambu
Paria (bitter gourd)
8. Trichosanthes cucumerina 1 Teralis bambu
Paria belut (Snake gourd)
2. Leguminosae 1. Psophocarpus tetragonolobus 23 Teralis bambu
Kecipir (winged bean)
2. Phaseolus sp. 24 Teralis bambu
Roay (Lima bean)
3. Vigna unguiculata 6 Teralis bambu
Kacang panjang (yard long bean)
4. Phaseolus vulgaris 10 Teralis bambu
Buncis
5. Vigna angularis 5 Teralis bambu
Kacang merah
6. Pisum sativum 1 Teralis bambu
Kacang polong
7. Phaseolus mungo. 3 Mulsa plastik
Kacang hijau (mung bean)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
850


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Tabel 1. Bahan tanaman untuk karakterisasi dan regenerasi (lanjutan)

Spesies
No. Famili
Nama umum
Jumlah
asesi
Metode penanaman
8. Phaseolus sp. 1 Mulsa plastik
Hirbis
9. Crotalaria sp. 1 Mulsa plastik
Crotalaria
11. Vicia faba 1 Mulsa plastik
Kacang babi
12. Pachyrhyzus erosus 1 Teralis bambu
Bengkuang (yam bean)
13. Cajanus cajan 9 Mulsa plastik
Hiris (pigeon pea)
3. Solanaceae 1. Solanum nigrum 3 Mulsa plastik
Leunca (black night shade)
2. Lycopersicum esculentum 3 Mulsa plastik
Tomat (tomato)
3. Capsicum sp. 2 Mulsa plastik
Cabai (chilli pepper)
4. Solanum melongena 4 Mulsa plastik
Terung (egg plant)
4. Basellaceae 1. Basella alba 1 Teralis bambu
Basela
5. Cruciferae 1. Brassica chinensis 2 Mulsa plastik
Caisim
6. Amaranthaceae 1. Amaranthus sp 2 Mulsa plastik
Bayam (amaranth)
7. Labiatae 1. Ocimum sp. 9 Mulsa plastik
Kemangi (ocimum/basil)



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
851


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (2009)
852
Tabel 1. Bahan tanaman untuk karakterisasi dan regenerasi (lanjutan)

Spesies
No. Famili
Nama umum
Jumlah
asesi
Metode penanaman
8. Compositae 1. Cosmos caudatus 2 Mulsa plastik
Kenikir (cosmos)
9. Liliaceae 1. Allium sp 2 Mulsa plastik
Bawang daun (onion)
10. Pedaliceae 1. Sesamum indicum 1 Mulsa plastik
Wijen (sesame)
1. Cucurbitaceae 1. Luffa acutangula 29 Para-para


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
853
HASIL DAN PEMBAHASAN

Famili Cucurbitatcea
Gambas (Luffa acutangula ) dan Blustru (Luffa aegyptica)
Meskipun jumlah asesi dari kedua jenis lufa tersebut banyak (29
asesi gambas dan 3 asesi blustru), tidak ada keragaman yang nampak
pada karakter kualitatif yang diamati. Baik karakter pada stadia vegetatif,
pembungaan, buah maupun biji, menunjukkan kesamaan antar asesi.

Labu (Cucurbita moschata)
Pada karakter kualitatif, dari 11 asesi yang dikarakterisasi,
kesamaan terlihat pada beberapa karakter, yaitu bentuk potongan
melintang batang, sulur (tendril), bentuk daun, warna bercak daun,
pinggiran daun, tipe tumbuh tanaman, warna bunga, tipe kelamin, bentuk
bakal buah, bentuk potongan melintang tangkai buah, perlekatan tangkai
buah, pemisahan tangkai dari buah, tekstur kulit buah, kekerasan kulit
buah, warna daging buah, tekstur daging buah, jumlah jaringan plasenta,
dan permukaan biji. Adapun keragaman nampak pada karakter: bentuk
buah, warna kulit buah saat matang, dan kekilapan (lustre)permukaan biji.
Bentuk buah pada LB 1, 4 dan 7: elip, pada LB 2, 3, 4, 5, 10, 11, 13 dan
14: bulat (globular), dan pada LB 2, 12 dan 13: eliptical oval. Warna kulit
buah matang pada LB 1, 3, 5, 7, 10, 11 dan 13: kuning hijau, pada LB 2,
4, 12, 13 dan 14: kuning, dan pada LB 11: orange.
Keragaman pada karakter kuantitatif nampak pada karakter: berat
buah yang berkisar dari 3306 gram (LB 4) sampai 8605 gram (LB 7), dan
jumlah biji per buah yang berkisar dari 283,5 (LB 4) sampai 641 (LB 3).

Baligo (Benincasa hispida)
Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa dari semua karakter hampir
semuanya memperlihatkan keseragaman di antara 3 asesi baligo.
Perbedaan karakter hanya ada pada ukuran daun dan kekilapan (lustre)
permukaan biji (kusam dan mengkilap).

Labu botol (Lagenaria siceraria)
Kesamaan karakter kualitatif di antara 7 asesi labu botol terlihat
pada ketebalan batang (sedang), pertumbuhan tanaman (regular),
kedalaman cuping atau lobing daun (rendah) dan garis-garis pada biji
(ada). Adapun keragaman terlihat pada karakter ukuran daun: sedang (KK
6, 7 dan 8), dan besar (KK 1, 3, 4, 5 dan 6); warna daun: hijau tua pada
KK 5, lainnya: hijau; bentuk bakal buah atau ovari: bulat pada KK 1,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
854
lainnya: memanjang atau elongated; bentuk bji: menyerupai segitiga atau
triangular pada KK6 dan 8, lainnya lonjong atau oblong; warna kulit biji:
coklat tua (KK 4 dan 8), lainnya: coklat. Untuk karakter kuantitatif,
keragaman yang tinggi terlihat pada karakter hari berbunga betina yang
berkisar dari 50 hst (KK 5) sampai 80 hst (KK 7).

Mentimun (Cucumis sativus)
Karakter kualitatif
Karakter yang sama antar 11 asesi mentimun adalah: bentuk ujung
helai daun sejati (cuspidate), bentuk tepi helai daun sejati (denticulate),
bentuk tepi helai daun (serate to dentate), bentuk bunga betina
(memanjang atau lanceolate), bentuk buah (bulat telur atau ovate), warna
biji (krem), tekstur kulit biji (sedikit halus atau few) dan kulit pembungkus
biji atau skin of seed coat (sedikit halus atau few)
Karakter yang beragam antar asesi antara lain:

Bentuk helai daun : membundar (MT 1 dan MT 2)
menjantung atau cordate (asesi yang
lain)
Cuping (lobbing) helai daun : lemah (MT 1, MT 2, MT 8 dan MT 12)
sedang (MT 9, MT 10 dan MT 11)
kuat (MT 3 dan MT 4)
MT 7 terlihat sedang dan kuat
Sudut ujung helai daun : tumpul atau obtuse (MT 1, MT 2 dan
MT 12),
lancip atau acute (asesi lain)
Warna bakal buah (ovule) : hijau (MT 3, MT 4, MT 7 dan MT 14)
yang lainnya hijau terang
Warna buah stadia konsumsi : hijau pucat pada MT 1, MT 2 dan MT
8;
hijau terang pada MT 3, MT 4, MT 7,
MT 9 dan MT 10
hijau gelap pada MT 11, MT 12 dan
MT 14
Pola bintil (warty pattern)
pada buah
: berbintil kuat atau warty (MT 7 dan MT
8)
lemah (MT 11, MT 12 dan MT 14)
dan lainnya sedang
Bentuk biji : bulat telur terbalik atau obovate pada
MT 1 dan MT 2


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
855
yang lainnya eliptikal

Karakter Kualitatif
Keragaman terlihat pada 11 karakter kuantitatif yang diamati, dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Keragaman karakter kuantitatif 11 asesi mentimun
Karakter Kisaran Standar deviasi
Jumlah cuping (lobe) 0 (tanpa cuping) - 6 2,56
Hari berbunga jantan 20 - 46,47 hst
Hari berbunga betina 20 - 50,67 hst
Ruas bunga jantan muncul pertama 1,67 - 7
Ruas bunga betina pertama muncul 2,67 - 10,33
Panen pertama buah fase konsumsi 35 - 55 hast
Buah matang fisiologis 45 - 71 hst
Berat buah 172 - 693 gram 146,99
Rata-rata panjang buah 11 - 23 cm
Diameter buah 5,2 -7,7 cm
Berat 100 biji 0,37 - 4,06 gram

Paria (Momordica charantia)
Dari 2 asesi yang dikarakterisasi, semua karakter seragam, tidak
menunjukkan adanya perbedaan antar asesi.

Famili Leguminosae
Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus)
Karakter kualitatif
Dari 16 karakter kualitatif yang diamati, tiga karakter menunjukkan
kesamaan diantara 23 asesi kecipir, yaitu warna batang (hijau), warna
polong (hijau) dan permukaan biji (halus), sedangkan karakter yang lain
memperlihatkan perbedaan.
Karakter yang berbeda antar asesi antara lain:

Pertumbuhan tanaman : jarang atau sparse (pada KP 9, 14, 15,
16, 18, 22 dan 26)
sedang (pada KP 4, 5, 7, 9, 10, 12,
14, 17, 22, 27 dan 29)
lebat atau abundant (pada KP 2, 3, 4,
6, 7, 12, 13, 17, 19, 21, 22, 23 dan 24
Bentuk helai daun : seperti segitiga atau deltoid (pada KP
3, 4, 6, 7, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17,


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
856
18, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, dan 29)
bulat telur atau ovate (pada KP 2),
bulat telur memanjang atau ovate
lanceolate (pada KP 5, 10 dan 17)
Warna kaliks : ungu (pada KP 23)
hijau (semua asesi kecuali KP 23)
Warna korola pada sayap
dan standard
: ungu muda (pada KP 2, 3, 5, 12, 13,
16, 17, 18, 22, 27 dan 29)
ungu pada KP 23
biru muda pada KP 10, 14 dan 19
biru pada KP 4, 6, 7, 9, 15, 21, 24 dan
26
Warna sayap polong : ungu pada KP 23
asesi yang lainnya hijau
Bercak pada polong : ada pada KP 13, 14, 15, 17, 21 dan 23
yang lainnya tidak ada
Tekstur permukaan polong : sedang pada KP 12, 13, 16, 17, 18,
19, 22 dan 23
yang lainnya halus
Bentuk polong : seperti bentuk persegi atau
rectangular pada KP 2, 4, 5, 7, 12, 15,
16, 17, 19, 24, 26, 27 dan 29
agak pipih atau semi flat pada KP 3, 4,
5, 6, 10, 21, 22 dan 23
Pipih atau flat of sides pada KP 5, 6, 7,
9, 10, 13, 14, 17 dan 18
Kemampuan pecah
(shattering) polong
: lemah pada KP 10, 12, 13, 14, 15, 16,
17, 18, 22 dan 24
sedang pada KP 2, 4, 5, 7, 9, 12, 19,
26, 27 dan 29
tinggi pada KP 3, 4, 6,9, 21, 22 dan 23
Warna biji : coklat muda pada KP 2, 5, 6, 9, 10, 19,
24 dan 27
coklat pada KP 2, 4, 5, 7, 9, 12, 16, 17,
18, 19, 26 dan 29)
coklat kehijauan pada KP 3, 5, 7, 12,
13, 14, 15, 16 dan 22
krem (KP 21)
hitam (KP 16 dan 23)
coklat kemerahan/tan (KP 7, 14, 15


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
857
dan 16)
Warna hilum : coklat: KP 21 dan 23
lainnya: hitam
Bentuk biji : bulat (KP 2, 3, 5, 7, 9, 10, 12, 13,
15,16, 17, 18, 19, 22, 24, 26, 27 dan
29)
bulat telur atau oval (asesi yang
lainnya dtambah dengan KP 2, 5, 9
dan 12)
(Catatan: asesi dengan beberapa karakteristik berarti terdapat keragaman
dalam asesi itu)

Karakter kuantitatif
Keragaman yang nampak pada karakter kuantitatif antara lain
tertera pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Keragaman karakter kuantitatif 23 asesi kecipir
Karakter Kisaran Standar
deviasi
Ukuran panjang leaflet daun 2,67 cm (KP 10) 9,1 cm (KP 2) 1,62
Lebar leaflet 3,7 cm (KP 14) 7,43 cm (KP 27) 1,05
Hari berbunga 50 hst (KP 14) 89 hst (KP 27) 10,17
Panjang polong 11 cm (KP 18) 38,67 cm (KP 3) 6,46
Jumlah biji per polong 7.9 (KP 15) - 16.7 (KP 23)
Berat 100 biji 28.83 gram (KP 15) -64.27 gram (KP 6)

Roay (Dolichos sp.)
Dari 24 asesi yang ditanam, hanya 20 asesi yang bisa
dikarakterisasi sampai tahap biji. RY 36 tidak berbunga, dimana hal ini
mengindikasikan bahwa asesi ini tidak bisa beradaptasi di dataran tinggi.
RY 31, 33 dan 37 mampu berbunga tapi tidak menghasilkan polong dan
berbiji sampai waktu penelitian berakhir. Pengamatan dilakukan pada 27
karakter kualitatif dan 16 karakter kuantitatif.

Karakter kualitatif
Lima karakter terlihat seragam diantara 24 asesi roay, yaitu
antosianin pada daun (tidak ada), warna daun (hijau tua), garis terang
atau clear marking pada tulang daun (tidak ada), bulu pada standard
bunga (tidak ada), dan dehiscent polong (mudah pecah atau shattering).
Adapun perbedaannya terdapat pada karakter-karakter berikut:



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
858
Pola pertumbuhan : semi determinate (RY 27 dan 28)
determinate (asesi lainnya)
Indeks percabangan
(ramification)
:



indeks 1 (RY 3, 7, 26 dan 36, RY 26)
indeks 2 (RY 1, 4, 8, 12, 21, 23, 28, 31, 33
dan 37)
indeks 3 (RY 5, 6, 10, 13, 16, 22, 24 dan
25)
indeks 7 (RY 2 dan 27)
indeks 9 (asesi lainnya)
Bentuk helai daun : bulat telur atau ovate (RY 8, 23, 27, 28, 36
dan 37)
sempit memanjang atau lineate (RY 2, 5
dan 22)
bulat telur memanjang atau ovate
lanceolate (lainnya)
Kepadatan bulu pada
daun
: sedikit berbulu atau slightly pubescent (RY
7, 8, 12, 16, 23, 24, 25, 26, 27, 31, 33, 36
dan 37)
tidak berbulu atau glabrous (lainnya)
Pigmentasi pada batang
utama
:



kuat atau almost solid (RY 3, 8, 33 dan
36)
terpusat pada nodus atau localized to
nodes (RY 4, 5 dan 27)
menyebar atau extensive (RY 28 dan 37)
lainnya tidak ada pigmentasi
Warna tulang daun : ungu pada RY 8
campuran pada RY 27
lainnya hijau
Warna bunga pada
standar
: lilac (RY 4, 8, 27, 28 dan 37)
lainnya hijau
Warna sayap bunga : pink gelap mengarah ke ungu atau deep
pink to purple (RY 1, 2, 5, 8, 21, 28, dan
37),
putih (RY 3, 6, 7, 10, 12, 16, 22, 23, 24,
25, 26, 31, 33 dan 36)
violet (RY 4 dan 27)
pink muda pada RY 13
Ukuran kuncup bunga : sedang (RY 1, 2, 6, dan 21)
besar (RY 12)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
859
lainnya kecil
Warna keel bunga : tinged colour (RY 4, 5, 8, 27, 28 dan 37)
lainnya kehijauan
Posisi sayap bunga (wing
opening)
: sayap tertutup sejajar atau paralled wing-
clossed (RY 4, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 16, 22,
24, 26 dan 36)
agak terbuka atau intermediate opening
(RY 1, 2, 3, 10, 21, 23, 25, 27, 28, 31, 33
dan 37)
Kemelengkungan
(curvatur polong)
:

melengkung (RY 3, 23, 24 dan 37)
lurus (RY 12, 16, 25 dan 31)
lainnya agak meleng kung
Bulu (pubescence) polong : berbulu atau pubescence pada RY 8, 16,
25 dan 37
lainnya tidak berbulu atau glabrous
Bentuk paruh polong : paruh tebal atau thick beak pada RY 1, 4,
24, 27, 28, 33 dan 36
paruh pendek atau short beak pada RY 2,
3, 6, 10, 21 dan 31
paruh sedang atau medium length beak
pada RY 5, 7, 13, 22, 25 dan 26
paruh panjang atau long beak pada RY 8,
12, 16 dan 23
Posisi rangkaian polong
(raceme)
:

terutama pada bagian bawah pada RY 1,
4 dan 6
tersebar pada RY 3, 5, 7, 22, 23, 24, 25,
31, 33 dan 37
terutama di bagian atas pada RY 8 dan 10
terutama di bagian tengah pada RY 12,
13, 16 dan 21
terdistribusi di seluruh bagian tanaman
pada RY 26, 27 dan 28
Orientasi rangkaian
polong (raceme)
: tegak atau upright pada RY 2
lainnya jatuh atau prostrate
Warna polong matang : RY 1, 12 dan 25 (coklat dengan bercak
merah atau ungu)
lainnya coklat
Warna utama biji : RY 7, 27 dan 28 krem
RY 4 dan 26 putih
coklat pada RY 23


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
860
ungu pada RY 13
marun (RY 10)
hitam (RY 8)
hijau (RY 12, 16 dan 25)
lainnya coklat muda
Pola warna biji : tidak berpola (RY 13, 26, 27 dan 28)
coklat muda (RY 1 dan 7)
orange (RY 1, 3, 5, 6, 7, 21 dan 22)
coklat (RY 2, 4 dan 8)
merah (RY 10)
ungu merah (12, 16, 24)
hijau (RY 25)
coklat tua (RY 23)
Warna pola kedua pada
biji
: ungu (RY 6)
ungu merah (RY 25)
coklat tua (RY 1, 5 dan 22)
lainnya tidak berpola

Karakter kuantitatif
Berdasarkan 16 karakter yang diamati, beberapa di antaranya
mengindikasikan keragaman yang tinggi, yaitu: hari berbunga (sd: 29,19);
durasi berbunga (sd: 18,66); dan berat 100 biji (sd: 49,02). Keragaman
pada karakter yang lain terlihat rendah.

Kacang-kacangan (28 asesi)
Dari 28 asesi kacang-kacangan, 6 asesi adalah kacang panjang
(KC 3, 5, 6, 7, 8, dan 9), 10 asesi adalah buncis (KC 2, 12, 13, 16, 17 19,
21, 22, 23 dan 24), 5 asesi kacang merah (KC 15, 20, 25, 26 dan 28), 1
asesi kacang polong ( KC 6289), 3 asesi kacang hijau (KC 31, 34 dan 38),
1 asesi. hirbis, 1 asesi. crotalaria (KC 30), dan 1 asesi kacang babi (KC 1).
Untuk KC 30 dan 1 tidak bisa diamati secara lengkap karena merupakan
tanaman tahunan.

Kacang Panjang (Vigna unguilata )
Karakter kualitatif
Karakter-karakter yang seragam diantara 6 asesi yang diamati
antara lain: tipe tumbuh (merambat), warna daun (hijau), intensitas warna
daun (gelap), warna bunga (ungu), serat polong (ada), dan bentuk
potongan melintang biji (seperti ginjal atau kidney).


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
861
Adapun keragaman nampak pada karakter berikut:

Bentuk lepuhan/blistering daun : kuat pada KC 3 dan 9
lainnya lemah
Bentuk helai daun terminal : triangular pada KC 3
quadrangular pada KC 5 dan 7
circular to quadrangular pada KC 6,
8 dan 9
Ujung helai daun terminal : KC 3 lancip memanjang atau
medium acuminate
lainnya lancip pendek atau short
acuminate
Intensitas warna hijau polong : terang (KC 5)
sedang (KC 6 dan 8)
gelap (KC 3, 7 dan 9)
Derajat kelengkungan polong : KC 8 lemah dan sedang
KC 3 dan 5 tidak ada
KC 6, 7 dan 9 sedang
Bentuk bagian ujung (shape of
distal part)
:


lancip atau pointed (KC 3, 6 dan 7)
agak lancip atau pointed to truncate
(KC 5)
KC 8 dan 9 lancip atau pointed dan
agak lancip atau pointed to truncate
Kelengkungan paruh : KC 3 sangat lemah dan lemah
KC 5 sangat lemah
KC 6, 7 dan 9 lemah
KC 8 sedang
Bentuk potongan biji melintang : menyempit atau narrow (KC 3, 5
dan 9)
elip atau elliptic (KC 6 dan 8)
KC 7 elip atau elliptic dan
menyempit atau narrow
Warna utama biji : coklat kemerahan terang atau light
tan (KC 3, 5 dan 8)
coklat (KC 6)
violet (KC 7)
ungu kemerahan atau pinkish purple
(KC 9)
Warna utama kedua : KC 3 dan 7 hitam
lainnya krem


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
862
Distribusi warna utama kedua : KC 7 berbercak atau mottled
lainnya berbintik-bintik atau spotted
Karakter kuantitatif
Keragaman yang tinggi nampak pada panjang polong dengan
standar deviasi (sd) 13,86 dan berkisar dari 32,3 cm (KC 5) sampai 67,7
cm (KC 7); waktu berbunga dengan sd 10,27 dan kisaran dari 40 hst (KC
5) sampai 67,33 hst (KC 7 dan 8).

Kacang Buncis (Phaseolus vulgaris)
Karakter kualitatif
Karakter yang seragam diantara 10 asesi, yaitu: tipe tumbuh
(merambat), warna daun (hijau), dan serat pada polong (ada).
Adapun keragaman terlihat pada karakter-karakter berikut:

Intensitas warna daun : KC 13 sedang
lainnya gelap
Bentuk lepuhan/blistering
daun
: sedang pada KC 2
lemah pada KC 21
lainnya kuat
Bentuk helai daun : KC 2 circular
KC 13 triangular
KC 12 circular to quadrangular
lainnya triangular to circular
Ujung helai daun terminal : lancip pendek atau short acuminate
pada KC 12 dan 13
lainnya lancip sedang atau medium
acuminate
Warna bunga : KC 2, 19, 21 dan 24 ungu
KC 12 pink
putih pada KC 13, 16, 17, 22 dan 23
Intensitas warna hijau polong : sangat terang pada KC 19, 21 dan 24
terang pada KC 2, 13, 19, 22 dan 23
sedang pada KC 2, 12, 16 dan 17
Derajat kelengkungan polong : KC 12 dan 23 tidak ada
KC 12, 13, 19, 21 dan 24 sedikit
melengkung atau slightly curvature
lainnya sedang
Bentuk ujung polong (distal : KC 13 lancip atau pointed dan agak


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
863
part) lancip atau pointed to truncate
lainnya lancip atau pointed
Kelengkungan paruh polong
(curvature of beak)
: tidak ada atau sangat lemah pada KC
16, 17, 19, 21, 22 dan 23
lemah pada KC 2, 12 dan 24
KC 13 lemah dan sedang
Bentuk biji : KC 12 elip atau elliptic
lainnya seperti ginjal atau kidney
Bentuk biji pada potongan
melintang
: KC 2, 13, 19, 21 dan 23 menyempit
atau narrow
lainnya elip atau elliptic
Warna utama biji : coklat (KC 12),
hitam (KC 2, 19, 21 dan 24)
lainnya putih
Urat (veining) untuk biji
dengan warna utama putih
:

KC 22 lemah
sedang pada KC 16, 17 dan 23
KC 13 kuat

Karakter kuantitatif
Pada karakter kuantitatif, keragaman tinggi nampak pada hari berbunga,
berkisar dari 30 hst (KC 13) sampai 58 hst (KC 2) dengan standar deviasi
(sd) 10,92, berat 100 biji yang berkisar dari 17,55 gram (KC 2) sampai 55,
89 (KC 12) dan sd 10,95. Keragaman pada karakter lain rendah.

Kacang Merah ( Vigna angularis) (5 asesi)
Karakter kualitatif
Karakter yang sama di antara 5 asesi yang dikarakterisasi adalah warna
daun (hijau), intensitas warna daun (gelap), serat polong (ada), derajat
kelengkungan polong atau curvature (tidak ada), bentuk ujung polong atau
distal part pada pod (lancip atau pointed) dan distribusi warna utama
kedua (berbercak atau motled).
Sedangkan keragaman nampak pada karakter:

Tipe tumbuh : KC 28 merambar atau climbing
lainnya tegak
Bentuk helai daun terminal : circular to quadrangular pada KC 15
triangular to circular (KC 20)
circular (KC 25, 26 dan 28)
Ujung helai daun terminal : lancip pendek sampai sedang atau
short-medium acuminate (KC 15)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
864
lainnya lancip sedang atau medium
acuminate
Warna bunga : ungu pada KC 15, 20 dan 28
pink pada KC 25 dan 26
Warna polong : hijau dan merah tua pada KC 15, 20
dan 28
KC 25 dan 26 hijau
Kelengkunan paruh/curvature
of beak
: KC 20 tidak ada
yang lainnya lemah
Bentuk biji dipotong
membujur (median
longitudinal section)
: KC 28 elip atau elliptic shape dan
seperti ginjal atau kidney
lainnya elip atau elliptic
Bentuk biji dipotong
melintang (median cross
section)
: pada KC 28 menyempit atau narrow
lainnya elip atau elliptic
Warna utama biji : coklat (KC 28)
ungu kemerahan atau pinkish purple
(KC 15 dan 20)
coklat kemerahan terang-ungu
kemerahan atau light tan-pinkish
purple (KC 25 dan 26)
Warna utama kedua : KC 28 hitam
lainnya coklat.


Karakter kuantitatif
Keragaman karakter kuantitatif terlihat pada karakter hari berbunga
dengan kisaran dari 22 hst (KC 25 dan 26) sampai 50 hst (KC 15 dan 20).
Panjang polong berkisar dari 7,3 cm (KC 28) sampai 13,4 cm (KC 26), dan
berat 100 biji berkisar dari 27,8 gram (KC 28) sampai 50,4 gram (KC 20).

Kacang Hijau (P. mungo)
Hampir semua karakter sama di antara 3 asesi kacang hijau,
kecuali intensitas warna daun: sedang (KC 31 dan 38), gelap (KC 34), dan
ujung halai daun: lancip pendek atau short acuminate (KC 31 dan 38), dan
sedang (KC 34). Untuk keragaman karakter kuantitatif terlihat rendah.




Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
865
Hiris (Cajanus cajan)
Dari 9 asesi yang diamati terlihat beberapa karakteristik sama,
yaitu: warna daun (warna gelap), bulu pada daun (jarang), keempukan
atau enderness daun (sedang), kerapatan bulu pada polong (normal) dan
keempukan atau tenderness polong muda (lunak atau soft).
Adapun keragaman karakter nampak pada:

Tipe tumbuh : agak menyebar atau semi spreading
dan menyebar atau spreading (HR 6)
agak menyebar atau semi spreading
(lainnya)
Warna batang : ungu pada HR 9
hijau ungu pada HR 2, 8 dan 10
lainnya hijau
Warna bunga : HR 9 dan 10 ungu
HR 8 ungu kuning
HR 4 kuning muda dan kuning
lainnya kuning
Pola garis-garis (streaks)
pada bunga
: HR 1, 2, 4, 8 dan 10 sedikit
lainnya sedang
Warna polong : hijau pada HR 1, 2 dan 3
ungu HR 6, 7, 8, 9 dan 10
HR 4 hijau-ungu
Pola warna biji : HR 9 lurik atau speckled
HR 4, 6 dan 10 berbercak atau
mottled dan polos atau plain
lainnya berbercak atau mottled
Warna utama biji sangat beragam termasuk didalam asesi itu sendiri, juga
terlihat pada warna kedua biji, dengan krem sebagai warna dominan
Bentuk biji : HR 3 dan 6 seperti kacang polong
atau pea shape
lainnya agak kotak atau square

Karakter kuantitatif
Keragaman tinggi nampak pada hari berbunga, yang berkisar
antara 119 hst (RY 6) sampai 207,75 hst (HR 2). Sedangkan karakter
yang lain tidak terlalu beragam.





Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
866
Famili Solanaceae
Leunca (Solanum nigrum)
Dari 3 asesi leunca, hampir semua karakter yang diamati seragam.
Perbedaan hanya nampak pada karakter warna tangkai daun atau petiol
(hijau pada LC 1, hijau dan violet kehijauan pada LC 3 dan violet
kehijauan pada LC 4).

Tomat (Lycopersicum esculantum)
Beberapa karakter memperlihatkan kesamaan, yaitu: anthocyanin
pada tulang daun (tidak ada), bentuk luka bekas pistil pada buah (dot atau
titik), bentuk ujung buah (rata), warna kulit buah saat matang (kuning),
intensitas warna daging buah (sedang), bentuk potongan melintang buah
(bulat), keberadaan sendi pelepasan tangkai buah atau jointless pedicel
(ada), kekerasan firmness buah (sedang) dan retak pada buah atau
cracking (tidak ada).
Adapun keragaman terlihat pada karakter : bentuk buah secara umum
(bulat pada TM 1 dan 3, bentuk plum pada TM 2); bentuk biji (bulat pada
TM 1 dan bulat telur atau ovate pada TM 2 dan 3); warna daging luar dan
dalam (merah pada TM 1 dan 3, dan orange pada TM 2). Keragaman
pada karakter kuantitatif terlihat pada: jumlah bunga per rangkaian, jumlah
buah per rangkaian, dan berat buah.

Cabai (Capsicum sp.)
Perbedaan nampak pada warna buah fase menjelang matang
(ungu pada CB 4, dan hijau CB 7); bentuk buah (memanjang atau
elongate pada CB 4, dan seperti kerucut atau oblate conical CB 7); bentuk
pundak buah (tumpul atau obtuse CB 4, dan rata atau truncate CB 7);
bentuk ujung buah (lancip atau pointed CB 4, dan membulat atau blunt CB
7). Sedangkan karakter lainnya seragam diantara 2 asesi cabai yang
diamati.

Terung (Solanum melongena)
Perbedaan di antara 4 asesi nampak pada karakter: warna tangkai
daun atau petiol (pada TR 1: violet, TR 2: violet kehijauan, dan hijau pada
TR 4 dan 6); warna mahkota bunga: violet muda (TR 1 dan 2), dan putih
(TR 6); style exertion: same level (TR 1 dan 4), exerted (TR 2 dan 6); rasio
panjang /lebar buah: TR 1 (panjang dua kali lipat lebar atau as long as
twice dan panjang lebih dari beberapa kali lebar atau several times), TR 2
panjang lebih dari beberapa kali lebar atau as long as several times), TR
4 (panjang sedikit lebih dari lebar atau slightly longer than broad), dan TR


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
867
6 (lebih lebar daripada panjang atau wider than length); warna buah saat
matang komersial: ungu pada TR 1, hijau pada TR 2 dan 6, dan campuran
hijau dan putih susu pada TR 4; warna buah saat matang fisiologis: coklat
muda (TR 1), kuning (TR 2 dan 6), pada TR 4 campuran kuning dan
orange.
Untuk karakter kuantitatif, keragaman tertinggi terdapat pada
jumlah buah per tanaman, yang berkisar dari 6 sampai 101 buah per
tanaman, panjang buah berkisar dari 3,31 sampai 22,83 cm. Keragaman
pada karakter lain terlihat rendah.

FAMILI LAINNYA
Caisim (Brassica chinensis)
Dari 2 asesi caisim yang diamati, hampir semua karakter
menunjukkan keseragaman. Keragaman hanya terlihat pada karakter
sudut daun atau leaf angle yaitu agak terbuka atau semiprostrate pada CS
3, dan terbuka atau open pada CS 4.

Bayam (Amaranthus sp.)
Keragaman muncul pada karakter bentuk daun yaitu: rhombic-
elliptical pada BY 3, dan ovatainate pada BY 5. Sedangkan karakter
lainnya memperlihatkan kesamaan dari 2 asesi bayam yang diamat.

Kemangi (Ocimum sp.)
Hasil pengamatan terhadap 9 asesi kemangi menunjukkan
keseragaman hampir pada semua karakter. Keragaman hanya
ditunjukkan pada batang dan kelopak bunga atau kaliks yang berwarna
ungu yang terdapat pada KM 11.

Kenikir (Cosmos caudatus)
Dari 2 asesi yang diamati, warna bunga menunjukkan perbedaan,
yaitu putih dan pink.
Data juga dikoleksi untuk karakter kuantitatif dan kuantitatif pada
satu asesi untuk tiap spesies: bengkuang, bawang daun, basela, wijen,
dan paria belut.
Dari data keragaman sifat kuantitatif yang diperoleh pada
mentimun, kacang panjang, kacang buncis, keragaman pada roay dan
kecipir menunjukkan keragaman yang cukup luas pada berbagai karakter.
Hal ini menunjukkan bahwa roay dan kecipir walaupun daya hasil dari tiap
asesi belum diketahui, karakter morfologi yang ditunjukkan dapat diuji
lebih lanjut untuk korelasi antara morfologi tanaman dengan daya hasil


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008




Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
868
ataupun penanda genetis yang dapat digunakan dalam seleksi dan
perbaikan varietas tanaman. Varietas lokal atau varietas temurun (land
race) perlu dilestarikan dalam upaya mengatasi erosi genetik karena
ketidak sesuaian habitat, eksploitasi yang berlebihan untuk varietas
komersial, maka informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk
konservasi dan pemanfaatan koleksi ini dalam melestarikan materi genetik
yang mungkin nilai ekonomis pada saat ini belum bisa ditentukan
(Guarino, 1995).

KESIMPULAN
Dari sepuluh keluarga sayuran yang dikarakterisasi, keragaman
karakter kualitatif terdapat pada mentimun, kecipir dan roay dan
memperlihatkan keragaman yang luas, dan dibutuhkan evaluasi lebih
lanjut untuk penggunaannya dalam koleksi plasma nutfah, seleksi dan
pemuliaan. Kacang panjang memperlihatkan adaptasi di dataran tinggi,
dimana biasanya dibudidayakan di dataran rendah. Untuk spesies yang
lain diperoleh benih yang dapat digunakan untuk pengujian berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

AVRDC-GRSU Characterization Record Sheet.
Bermawie, N. 2006. Sayuran Indigenous sebagai Sumber Nutrisi dan
Obat-obatan Keluarga. In Modul: Pelatihan Promosi Pemanfaatan
Sayuran Indigenous untuk Peningkatan Nutrisi Keluarga melalui
Skema Kebun Pekarangan (I.M. Hidayat et al, 2006, Editors).
Indonesian Vegetable Research Institute, Lembang, Indonesia:
A1-A9.
Guarino, 1995. Assessing the Threat of Genetic Erosion. In Collecting
Plant Genetic Diversity. CAB International:67 -74.
Wirakusumah E.S. 2006. Kandungan Gizi, Non Gizi serta Pengolahan
Sayuran Indigenous. In Modul: Pelatihan Promosi Pemanfaatan
Sayuran Indigenous untuk Peningkatan Nutrisi Keluarga melalui
Skema Kebun Pekarangan (I.M. Hidayat et al, 2006, Editors).
Indonesian Vegetable Research Institute, Lembang, Indonesia: C1-
C23.







Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
869

DAFTAR HADIR PESERTA
SEMINAR NASIONAL PEKAN KENTANG 2008

Lembang, 20 s.d. 21 Agustus 2008

No. N a m a Institusi
1. A.Dinar Ambarwati
2. Abd Aziz syarif
3. Achmad Rachman
4. Adi Winardi
5. Agus Budiono
6. Agus Nurawan
7. Ahmad Damiri
8. Ahmad Yusri
9. Alberth Soplanit
10. Andy Saryoko
11. Artuti AM
12. Asep Kurnia
13. Asih K Karjadi
14. Astiani Asadi
15. Asum Sumirat
16. Ati S Duriat
17. Badawi
18. Baharuddin
19. Bambang W
20. Baswarsiati
21. Bintari Widyaningrum
22. Buchori
23. Budi Jaya
24. Buharman
25. Cendrawati
26. Ceppy Nasahi
27. Charloq
28. Dais Sriyatun
29. Danar Dono
30. Dedi Ruswandi
31. Delima Napitipulu
32. Demas Wamaer
33. Diny Djuariah
34. Doddy Riswandi
35. E Syamsuddin
36. Edy Listanto
BB Biogen
BPTP Sumber
Ballitan
Umum
Dow Agroscience
BPTP Jabar
BPTP Bengkulu
BPTP Jambi
BPTP Papua
BPTP Banten
BPTP Sumber
Balingtan
Balitsa
UNHAS
Umum
Balitsa
Disperta Bantaeng
UNHAS
Dow agroscience
BPTP Jatim
BPSBTPH Jabar
Balitsa
Balitsa
BPTP Sumber
Disperta Kerinci

USU Medan
BPSBTPH Jabar
UNPAD
BPSBTPH Jabar
BPTP Sumut
BPTP Papua
Balitsa
Mahasiswa
Disperta Kerinci
BB Biogen



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
870
Daftar Peserta Seminar Nasional Pekan Kentang 2008 (Lanjutan)

No. N a m a Institusi
37. Effi Ismawati
38. Eli Korlina
39. Ely Darlina
40. Endah Masnenah
41. Etty Purwati
42. Etty Sumiati
43. Gina Aliya Sopha
44. Idha Widi Arsanti
45. Ineu Sulastrini
46. Irmansyah Rusli
47. Iteu M Hidayat
48. Johannes E.X Rogi
49. Joko Sunindyo
50. Joni Munarso
51. Kadarwati Budihardjo
52. Khiriah
53. Kuswinanti
54. Lagiman
55. Lermansius Haloho
56. M. khudori
57. Maman Handria
58. Mariani Pradjadinata
59. Meksy Dianawaty
60. Merlyn Mariana
61. Muh Pajar
62. Muh Syaripuddin
63. Nendah Siti Permana
64. Neni Gunaeni
65. Nikardi Gunadi
66. Nono Suryono
67. Nur Imdah Minsyah
68. Oni S Gunawan
69. Palamarum Ninggolan
70. Pasetryani
71. PER Prahardini
72. Pudji Santoso
73. R.Adhia Racmandi
74. Rani Nuraeni
75. Reki Hendarta
76. Rinda Kirana
PT Green Planet Indonesia
BPTP Jatim
UNBAR
UNBAR
Balitsa
Balitsa
Balitsa
Sekban Litbang
Balitsa
BPTP Sumbar
Balitsa
UNSRAT Manado
Dow Agroscience
Sekban Litbang
INSTIPER
BPTP Sumut
UNHAS
UPN Veteran Yogya
BPTP Sumut
PT Radina Bio Adicita
PT Radina Bio Adicita

BPTP Jabar
UNHAS

Disperta Jeneponto
UNBAR
Balitsa
Balitsa
BPTPH Jabar
BPTP Jambi
Balitsa
BPTP Sumut
UNBAR
BPTP Jatim
BPTP Jatim
PT Radiana Bio Adicita
SMKN Cibadak
BPTP Yogyakarta
Balitsa



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
871
Daftar Peserta Seminar Nasional Pekan Kentang 2008 (Lanjutan)

No. N a m a Institusi
77. Rini Murtiningsih
78. Rochman Hasanudin
79. Rofik Sinung Basuki
80. Rohana Abdulah
81. Rury Dwi Putri
82. Rusly Rustam
83. Salwati
84. Siti Halimah
85. Sri Mukti Rahayu
86. Sri Wahyuni
87. Suaib P
88. Sugiarto
89. Sukamaluddin
90. Suratman
91. Suryanto
92. Susi Hartina
93. Swasta
94. Swasta
95. Syafri Edi
96. Syafruddin, M
97. Syarkawi
98. Titiek Purbiati
99. Tri Joko Santoso
100. Tri Martini
101. Tutik kuswinanti
102. Usman K J Suharjo
103. Wahyu Ambari Saleh
104. Widaningrum
105. Winardi
106. Witono Adiyoga
107. Wiwik Hartatik
108. Wiwin Setiwati
109. Yulimasni
110. Yuniarti
111. Yunita Fatmasari
112. Zaenal Arifin
113. Zul Irfan
Balitsa
SMK 1 Cibadak
Balitsa
UNBAR
Petrokimia Gresik
Universitas Riau
BPTP Jambi
UNHAS
BPSBTPH Jabar
Balingtan
Disperta Bantaeng
PASKEP
BPTP Sulsel
BBLSLP
SMKN Cibadak
BBI Kentang Kayu Aro
CV Saprotan Utama
CV Saprotan Utama
BPTP Jambi
UNHAS
Disperta Solok
BPTP Jatim
BB Biogen
BPTP Yogyakarta
UNHAS
Univ. Bengkulu
BPP Cililin
BB Pascapanen
BPTP Sumber
Balitsa
Balitsa
Balitsa
BPTP Sumber
BPTP Jatim
Petrokimia Gresik
BPTP Jatim



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
872

AGENDA SEMINAR NASIONAL PEKAN KENTANG 2008

Lembang, 20 s.d. 21 AGUSTUS 2008

DI AULA BALAI PENELITIAN TANAMAN SAYURAN
Jl. Tangkuban Parahu No. 517, Lembang Bandung Barat 40391
Telepon : 022 2786245; Fax. : 022 - 2786416


Hari, Tanggal,
waktu

Acara/ Judul Makalah Penyaji makalah Moderator Notulen
Rabu,
20-8-2008

08.00 -09.00 Registrasi Sekretariat seminar
PKN

Pemasangan poster Seksi umum seminar
PKN

09.00-09.10 Laporan Panitia Ketua Seminar
09.10-09.20 Welcoming Address Kepala Balai
09.20-09.30 Pembukaan Kepala Badan Litbang
Pertanian / Kepala
Puslitbang Hortikultura

09.30-09.45 Pengelolaan tanah
terpadu pada lahan
sayuran di
pegunungan
Achmad Rachman,
Balittan - Bogor

Nunung N. Gungun W.
09.45-10.00 Optimalisasi sistem
produksi benih kentang
berbasis bioteknologi
ramah lingkungan
Baharuddin,
UNHAS, Makassar

Nunung N. Gungun W.
10.00-10.15 Perkembangan
penyakit virus pada
tanaman dan benih
kentang di Indonesia
Ati Srie Duriat,
Balitsa - Lembang

Nunung N. Gungun W.
10-15-10.30 Meneropong
perkembangan OPT
kentang dalam kurun
waktu 10 tahun (1999-
2008) dan prediksi di
masa depan
Wiwin Setiawati,
Balitsa - Lembang

Nunung N. Gungun W.
10.30-10.45 Rehat kopi
10.45-11.00 Peran mikroba
antagonis dalam
melindungi bibit
kentang atlantik
terhadap penyakit layu
bakteri (Ralstonia
solanacearum E.F.
Smith Yabuuchi)
Nur Rosida,
UNHAS, Makassar

Ati Srie Duriat Sri Wahyuni
Budiarti
11.00-11.15 An early detection of
potato leaf roll virus
(PLRV), Potato Virus Y
(PVY) and Potato Virus
X (PVX) on planlets
and potato seeds of cv.
Atlantic by RT-PCR
technique
Kuswinanti,
UNHAS Makassar

Ati Srie Duriat S. Wahyuni
Budiarti
11.15-11.30 Teknologi
pengendalian lalat
korok daun kentang
(Liriomyza
huidobrensis) ramah
lingkungan
Irmansyah Rusli,
BPTP Sumbar

Ati Srie Duriat S. Wahyuni
Budiarti


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
873


Hari, Tanggal,
waktu

Acara/ Judul Makalah Penyaji makalah Moderator Notulen
11.30-11.45 Pengaruh aplikasi zat
pengatur tumbuh
terhadap pemecahan
dormansi benih
kentang (Solanum
tuberosum L.) dan
tingkat kerusakan
akibat penyakit busuk
umbi (Erwinia
carotovora
subsp.carotovora)
Nurman Gosal,
UNHAS -Makassar

Ati Srie Duriat S. Wahyuni
Budiarti
11.45-12.00 Komoditas kentang
sebagai pangan
alternatif unggulan
Joni Munarso,
Sekretaris Badan
Litbang Pertanian
Ati Srie Duriat S. Wahyuni
Budiarti
12.00-13.00 ISHOMA
13.00-13.15 Memacu pembentukan
umbi mikro pada
tanaman kentang yang
ditanam secara in vitro
pada suhu tinggi
dengan aplikasi
ancymidol,
Paclobutrazol, CCC
dan coumarin
Usman Kris Joko S.,
Universitas Bengkulu

Rachman
Suherman
Asma
Sembiring
13.15-13.30 Pengkajian
agroindustri
perbenihan kentang di
Kab. Lumajang, Jatim
P.E.R. Prahardini,
BPTP Jatim

Rachman
Suherman
Asma
Sembiring
13.30-13.45 Substitusi arang sekam
pada teknologi
pemupukan kentang di
Alahan Panjang, Kab.
Solok
Irmansyah Rusli, BPTP
Sumbar

Rachman
Suherman
Asma
Sembiring
13.45-14.00 Pengaruh umur panen
kentang varietas
atlantik terhadap hasil
dan kualitas di dataran
medium
Sumberpucung -
Malang
Titiek Purbiati,
BPTP Jatim

Rachman
Suherman
Asma
Sembiring
14.00-14.15 Prospek
pengembangan
kentang pada dataran
medium di Kec.
Salimpaung dan Kec.
Batipuh, Kab. Tanah
Datar SUMBAR
Winardi, BPTP Sumbar

Rachman
Suherman
Asma
Sembiring
14.15-14.30 Peranan komoditas
kentang dalam
mendukung program
prima tani di Kab.
Kerinci
Suratman, BBLSLP
Bogor

Rachman
Suherman
Asma
Sembiring
14.30-14.45 Kajian penggunaan
pupuk mikro Zn
terhadap produksi
kentang di Kab.
Bandung Barat
Agus Nurawan, BPTP
Jabar

Rachman
Suherman
Asma
Sembiring
14.45-15.00 Pengaruh tumpangsari
tanaman wortel dan
bawang merah
terhadap produksi biji
wortel dan hasil umbi
bawang merah
Etty Sumiati, Balitsa

Rachman
Suherman
Asma
Sembiring


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
874


Hari, Tanggal,
waktu

Acara/ Judul Makalah Penyaji makalah Moderator Notulen
15.00-15.15 Rehat kopi
15.15-15.30 Penggunaan pupuk
organik yang diperkaya
fosfat alam, abu sekam
dan pupuk hayati
terhadap sifat kimia
tanah dan produksi
sayuran organik
Wiwik Hartatik, Balittan

Wiwin Setiawati Chotimatul
Azmi
15.30-15.45 Pengaruh cara
perlakuan bibit dan
bahan organik untuk
mengendalikan
penyakit layu Fusarium
oxysporum pada
tanaman bawang
merah
Eli Korlina, BPTP Jatim

Wiwin Setiawati Chotimatul
Azmi
15.45-16.00 Residu organoklorin di
beberapa sentra
produksi sayuran di
Jawa Tengah
Sri Wahyuni, Balingtan

Wiwin Setiawati Chotimatul
Azmi
16.00-16.15 Isolasi dan purifikasi
virus gemini pada
tanaman cabai untuk
bahan deteksi cepat
virus
Rini Murtiningsih,
Balitsa

Wiwin Setiawati Chotimatul
Azmi
16.15-16.30 Pengelolaan penyakit
virus tular umbi pada
produksi bawang
merah (Allium cepa
var. Ascalonicum)
Neni Gunaeni, Balitsa.

Wiwin Setiawati Chotimatul
Azmi
16.30-16.45 Studi parasitoid Opius
chromatimyae
belokobylskij & wharton
(hymenoptera :
braconidae) sebagai
agens pengendalian
hayati lalat penggorok
daun kentang
Rusli Rustam, Univ
Riau

Wiwin Setiawati Chotimatul
Azmi
Kamis, 21-8-
2008

08.00 - 08.30 Arah dan strategi
penelitian kentang
dalam mendukung
ketahanan pangan dan
kelestarian lingkungan
Kapuslitbang Horti Firdaus kasim Rr. Rini M.
08.30 16.00 Sesi poster

1. Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Kentang Hasil Kultur In-Vitro Melalui
Introduksi Sistem Aeroponik dengan Formulasi NPK (A. Muhibuddin, Badron
Zakaria, Enny Lisan, dan Baharuddin)

2. Kandungan Asam Amino Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) Secara In-
Vitro (Charloq)

3. Identifikasi Permasalahan dan Peluang Perluasan Area Tanaman Kentang di
Dataran Medium (Rofik Sinung Basuki, Kusmana dan E. Sofiari)

4. Sistem Produksi Kentang di Dataran Tinggi di Indonesia (Idha Widi Arsanti)

5. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pertanaman Kopi pada Masa Pertumbuhan
Vegetatif dengan Tanaman Kentang di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera
Utara (Lermansius Haloho dan Darwin Harahap)


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
875

6. Penggunaan Mikoriza pada Tanaman Kentang di Dataran Medium Daerah
Istimewa Yogyakarta (Reki Hendrata)

7. Pengaruh Seleksi Umbi Bibit terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kentang Asal Biji
Botani pada Musim Berikutnya (Nikardi Gunadi dan Rinda Kirana)

8. Pengaruh Sumber dan Dosis Pupuk Kalium terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Kentang (Nikardi Gunadi)

9. Pemanfaatan Kompos Limbah Sawit pada Tanaman Kentang di Lokasi Primatani
Nagalingga Kabupaten Karo (Palmarum Nainggolan)

10. Ketersediaan Teknologi dan Potensi Pengembangan Kentang (Solanum
tuberosum L.) di Provinsi Papua (Alberth Soplanit)

11. Inovasi dan Pemberdayaan Kelembagaan Mendukung Pengembangan Agribisnis
Kentang di Kawasan Prima Tani Kabupaten Kerinci (Ahmad Yusri dan N.I.
Minsyah)

12. Strategi Pengembangan Tanaman Kentang Sumatera Utara (Delima Napitupulu
dan P. Nainggolan)

13. Analisis Faktor Faktor Penghambat Pengembangan Kentang di Wamena,
Jayawijaya, Papua (Demas Wamaer)

14. Kentang dan Permasalahannya di Kabupaten Karo Sumatera Utara (Khairiah
dan Lermansius Haloho)

15. Potensi dan Strategi Pengembangan Agribisnis Kentang di Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi (Nur Imdah Minsyah)

16. Pengembangan Produksi Kentang Berkualitas dan Bersertifikat (O. Setiani
Gunawan, E.Sumiati, Firdaus Kasim, Herni N.A Hakim, Luky Rulyaman, Mia
Resmiat, W. Ruswandi, W. Suwandi)

17. Analisis Pendapatan Pola Konsumsi dan Kesejahteraan Petani Kentang di
Pedesaan (Sugiarto)

18. Perbaikan Teknologi Budidaya Dan Analisis Usahatani Kentang Mendukung
Program Prima Tani Pada Lahan Kering Dataran Tinggi Kerinci (Syafri Edi Dan
Ahmad Yusri)

19. Pertumbuhan dan Produksi Tiga Varietas Bibit Kentang (Solanun tuberosum L.)
pada Berbagai Konsentrasi Pupuk Daun Super Aci dengan Sistem Aeroponik
(Merlyn Mariana)

20. Teknologi Budidaya dan Analisis Usahatani Tumpangsari Cabai Merah dengan
Bawang Merah di Tingkat Petani Kabupaten Kerinci (Syafri Edi)

21. Kentang dan Ketahanan Pangan: Implikasi terhadap Kebijakan Program
Penelitian dan Pengembangan (Witono Adiyoga)

22. Potensi Sayuran Olahan Siap Santap untuk Meningkatkan Nilai Tambah,
Produktivitas dan Daya Saing di Pasar Global (Widaningrum, Nurdi Setyawan


dan Sunjaya Putra)

23. Mikropropagasi dan Produksi Umbi Mini 15 Klon Introduksi dari International
Potato Center (CIP- Peru) (Asih K. Karjadi dan Buchory A)

24. Pengaruh Varietas dan Komposisi Media dalam Menumbuhkan Stek Kentang In-
Vitro (Asih K. Karjadi dan Buchory A)

25. Kajian Pemanfaatan Filtrat Cendawan Lasiodiplodia theobromae dan Ekstrak
Daun Gamal sebagai Penginduksi Umbi Mikro Kentang secara In-Vitro (Siti
Halimah L., Muh. Ansyar, Tutik Kuswinanti, Rinaldi Sjahril, Baharuddin, Ambo Ala

dan Elkawakib Samun)



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
876
26. Identifikasi Bakteri Kontaminan pada Kultur Jaringan Kentang (Solanum
tuberosum Linneaus) (Astiani Asady, Baharuddin, Rahmadani, dan Ade
Rosmana)

27. Uji Adaptasi Varietas dan Klon Kentang Olahan pada Musim Penghujan di
Kabupaten Lumajang (P.E.R. Prahardini Al. Gamal Pratomo, Harwanto dan
A.K. Karjadi)

28. Pengaruh Konsentrasi dan Lamanya Perendaman Benih dengan Sodium
Hipoklorit terhadap Mortalitas Nematoda Sista Kentang (Globodera rostochiensis
W) dan Viabilitas Benih Kentang (Solanum tuberosum L) Varietas Granola
(Bintari Widyaningrum dan Wawan Suwandi)

29. Residu Pestisida di Sentra Produksi Kentang di Wonosobo (Sri Wahyuni, Indratin
Dan Asep Kurnia)

30. Pendekatan Strategis Pengelolaan Kesehatan Kentang untuk Menekan
Serangan Penyakit pada Budidaya di Dataran Medium D.I. Yogyakarta (Tri
Martini )

31. Pemanfaatan Patogen Antagonis (Trichoderma Spp) dan Mulsa Plastik untuk
Pengendalian Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans) pada Tanaman
Kentang (Yulimasni dan Khairul Zen)


32. Pengaruh Penggunaan Fungisida terhadap Penyakit Busuk Daun (Phytophthora
infestans) dan Dampaknya terhadap Mikroba Tanah pada Tanaman Kentang di
Lapangan (Ineu Sulastrini)

33. Pemanfaatan Iradiasi dan Suhu Simpan untuk Menghambat Pertunasan Kentang
Selama Penyimpanan (Lagiman)

34. Kaboca, Tanaman Sela Pendukung Penyebaran Virus Kuning pada Cabai (Ati
Srie Duriat)

35. Keragaan Produksi dan Kualitas Cabai Merah Varietas Jawara dan St 555 Hasil
Uji Adaptasi di Empat Lokasi Sentra Produksi di Jawa Timur (Baswarsiati, Diding
Rahmawati, dan Abu)

36. Perbaikan Daya Hasil Varietas Lokal Cabai Melalui Persilangan Antar-Varietas
(Rinda Kirana)

37. Pengaruh Waktu Panen Polong terhadap Kualitas Benih Dua Kultivar Kacang
Buncis Rambat (Phaseolus vulgaris L.) (Diny Djuariah)

38. Perbandingan Daya Hasil dan Karakteristik Dua Puluh Tujuh Strain Jamur Tiram
(Pleurotus spp.) (Diny Djuariah dan Etty Sumiati)

39. Identifikasi Masalah Jamur Merang dan Saran Pemecahannya di Desa Citarik,
Kecamatan Tirtamulya, Karawang, Jawa Barat (M. Dianawati)

40. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanasan Benih Umbi terhadap Persistensi dan
Degradasi Virus pada Bawang Putih (Allium Sativum) (Neni Gunaeni, Ati Srie
Duriat, dan Meitha L. Ratnawati )

41. Seleksi Ketahanan Penyakit Bercak Daun Kering (Alternaria solani Ell &
Martin) pada Generasi Silang Balik Tanaman Tomat (Lycopersicon
esculentum Mill) (Etti Purwati )

42. Ketahanan Beberapa Kultivar Tomat (Lycopersicon esculentum) terhadap
Penyakit Becak Kering (Alternaria solani) dan Virus Kuning Keriting (Eli Korlina,
Martinus Sugiarto dan Abu)

43. Evaluasi dan Pengembangan Varietas Tomat Olahan Sebagai Pasta (Budi Jaya)

44. Pengujian Daya Hasil dan Kualitas Benih Tomat dengan Aplikasi Zat Pengatur
Tumbuh (Budi Jaya, Etti Purwati, Etty Sumiati dan R. Prasodjo Soedomo)



Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
877
45. Pengujian Daya Hasil Genotipe Mentimun di Dataran Rendah (Etti Purwati)

46. Uji Keragaan Hasil Varietas Bawang Merah di Sentra Produksi Kabupaten
Sumenep (Zainal Arifin, Nurul Istiqomah dan Puji Santoso)

47. Uji Aplikasi Peralatan Tepat Guna dan Mutu Hasil Beberapa Cara Pengolahan
Bawang Goreng (Yuniarti dan Pudji Santoso)

48. Pengaruh Cara Penyimpanan dan Tingkat Kering Umbi Bawang Bombay
terhadap Kualitas dan Ketahanan Simpan (Etty Sumiati, Darkam Musaddad,
Iceu Agustinisari, dan Ineu Sulastrini)

49. Unsur Hara Esensial dalam Media Spawn Tiga Jamur Edible Berkhasiat Obat
Ganoderma lucidum, Lentinus edodes dan Auricularia auricula (Gina Aliya
Sopha)

50. Analisis Kelayakan Finansial Klon Unggulan Bawang Merah Dibandingkan
Varietas Lokal dan Impor (Rofik Sinung Basuki)

51. Penggunaan Pupuk Cair Organik serta Perlakuan Benih terhadap Pertumbuhan
dan Hasil Kangkung di Daerah Dataran Rendah Provinsi Jambi (Salwati dan Lutfi
Izhar)

52. Pengkajian Rakitan Teknologi Sistem Usahatani Kubis Dataran Tinggi di Wilayah
Prima Tani Kabupaten Magetan (Pudji Santoso, Yuniarti Dan Subandi)

53. Selektivitas Formulasi Ekstrak Biji Barringtonia asiatica L. (Lecythidaceae)
terhadap Ulat Krop Kubis Crocidolomia pavonana (F). dan Parasitoid Telur
Trichogramma spp. serta Dampaknya terhadap Bibit Tanaman Brassicaceae
(Danar Dono dan Vahmi Abdurrohim)

54. Analisis Produksi dan Konsumsi Sayuran di Provinsi Banten (Andy Saryoko)

55. Kajian Pemberian Pupuk Kalium dan Paklobutrazol untuk Pertanaman Kentang
(Solanum Tuberosum L.) di Desa Jaranguda Kabupaten Tanah Karo, Sumatera
Utara (Charloq)

56. Sifat Fisik dan Sensori Keripik Buncis (Phaseolus radiatus) yang Diolah dengan
Menggunakan Penggoreng Vakum (Widaningrum, Nurdi Setyawan dan Sunjaya
Putra)

57. Uji Beda Kentang Varietas Atlantik Dari Berbagai Sumber Secara Morfologi Dan
Isozim (Iteu M. Hidayat, Tri Handayani, Yoyo Sulyo, Laily dan Isum)

58. Karakterisasi Sayuran Indigenous Koleksi Balitsa (Iteu M. Hidayat, Dan Tri
Handayani)

16.00-16.30 Penutupan Kepala Badan
LITBANG Pertanian














Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
878

SUSUNAN PANITIA

Pelindung : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikutura
Pembina : Kepala Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Ketua : Dr. Iteu M. Hidayat
Sekretaris : Rezeki Amalia, SP
Wawa N.
Mira Yusandiningsih
Bendahara : Gina Alia Sopha, SP.
Sie Acara : Dr. Ir. Laksminiwati Prabaningrum, MS
Sugiyartini, AMd.
Astri W. Wulandari, SP.
Sie konsumsi : Tati Rubiati, BSc.
Yanti R.
Sie Umum : Mastur, SP.
Ima Amalia
Andi Supriyadi, ST.
Amrizal, A.Md.
Sie Prosiding :
Penyunting : Prof. Riset Dr.Ir. Widjaja W.Hadisoeganda, MSc.
Prof. Riset Dr. Ir. Azis Azirin Asandhi
Prof. Riset Dr. Ir. Ati Srie Duriat
Dr. Ir. Nikardi Gunadi, MS
Dr. Ir. Laksminiwati Prabaningrum, MS
Dr. Ir. Eri Sofiari
Dr. Ir. Rofik Sinung Basuki
Ir. Nunung Nurtika, MS
Ir. Asih Karyadi

Redaksi Pelaksana :
Ketua : Ir. Tonny K. Moekasan
Sekretaris : Dr. Ir. Laksminiwati Prabaningrum, MS
Pembantu umum : Mira Yusandingisih
Rini Murtiningsih, SP, MP.
Tri Handayani, SP
Gina Aliya Sopha, SP
Rezeki Ama ia, SP l


Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008



Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian (2009)
879

Anda mungkin juga menyukai