Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu kumpulan
gejala yang timbul akibat infeksi HIV (Human Immuodefisiensi Virus)
yang mnghancurkan kekebalan daya tahan tubuh manusia dan dapat
menyebabkan infeksi oportunistik. HIV merupakan jenis retrovirus yang
belum ditemukan vaksin serta penyembuhannya. Infeksi HIV dapat
terjadi melalui pertukaran darah, semen, cairan vagina dan ASI.
Di Indonesia, jumlah penderita AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d. 31
Desember 2009 adalah 3863 kasus. Sedangkan di Semarang,
berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota
Semarang didapatkan orang dengan HIV positif 199, dan penderita
AIDS 15 orang. Faktor resiko penularan HIV di Jawa Tengah terdiri dari
69% heteroseksual, 22% IDU, 4% perinatal, 4% homoseksual dan 1%
melalui tranfusi.
Masalah HIV dan AIDS adalah suatu fenomena gunung es, masalah
sesungguhnya tidak sekecil yang tampak di permukaan, mengingat
penularan HIV sangat mudah diantara penasun dan WPS dan semakin
meningkatnya angka pengguna narkoba suntik dan WPS. Yang perlu
diperhatikan jumlah ibu rumah tangga yang menderita AIDS menduduki
tempat kedua tertinggi.
IMS biasa disebut penyakit kelamin, yaitu penyakit-penyakit yang
sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual/hubungan kelamin.
Jadi siapapun yang melakukan hubungan seks (baik laki-
laki/perempuan) beresiko tertular IMS. Istilah Infeksi Menular Seksual
lebih luas maknanya, karena menunjuk pada cara penularannya.
Sedangkan PMS hanya menunjuk pada gejala/penyakit yang ada di
kelamin.
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang cukup menonjol pada sebagian besar wilayah dunia
ditinjau dari segi kesehatan, politik, maupun sosial ekonomi dan
merupakan penyebab utama dari sekumpulan penyakit akut, infertilitas,
cacat menetap dan kematian dengan akibat medis dan psikologis pada
jutaan pria, wanita dan bayi. Data epidemiologis menunjukkan adanya
hubungan erat antara Infeksi Menular Seksual (IMS) dengan penularan
infeksi HIV. IMS dapat meningkatkan resiko penularan atau transmisi
HIV melalui jalur seksual dan demikian juga infeksi HIV dapat
mempengaruhi IMS dalam perjalanan penyakit, diagnosa, dan respon
terhadap pengobatan. Mengingat hal itu maka penatalaksanaan IMS
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan,
penyuluhan, konseling dan penatalaksanaan mitra seksual terhadap
pasien IMS mempunyai peranan yang penting dalam menanggulangi
epidemik HIV tersebut. Penderita IMS serta HIV akan lebih mudah
menularkan ke orang lain. Pengidap HIV yang juga IMS akan lebih cepat
menjadi AIDS.
Keberadaan Human Immunodeficiency virus (HIV) dan the Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menarik perhatian dunia
terhadap penanggulangan dan pemberantasan IMS. Terdapat kaitan
erat antara penyebaran IMS dengan penularan HIV, baik IMS yang
ulseratif maupun yang non-ulsertatif, telah terbukti meningkatkan resiko
penyebaran HIV melalui hubungan seksual.
Sistem melindungi tubuh terhadap serangan dari benda asing seperti
Bakteri, Virus, Parasit, Jamur. Sistem ganda terdiri dari Sistem
kekebalan innate (pembawaan lahir) sedangkan Sistem kekebalan
acquired (didapat setelah lahir) Antibodi dibentuk terhadap benda asing
yang masuk. Sel CD4 adalah tipe sel darah putih yang mengaktifkan
sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyakit.
Sedangkan Infeksi Oportunistik adalah infeksi oleh mikroorganisme
umum pada individu sehat yg biasanya tidak menimbulkan problem
kesehatan, akan tetapi pada pasien dengan sistem imun yg menurun
akan menyebabkan penyakit yang serius. Infeksi oportunistik pada
pasien HIV / AIDS banyak menimbulkan masalah bersamaan dengan
ditegakkannya penyakit tersebut pada tahun 1981.
Mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan
oleh infeksi HIV dan AIDS maka perlu diadakan upaya yang meliputi
pencegahan penularannya dan penanganan penderita dengan HIV
positif serta penderita AIDS secara menyeluruh. mendapatkan perhatian
dan pendampingan khusus mengingat negatifnya stigma masyarakat
serta tingginya tekanan sosial yang, dan diperlukannya motivasi untuk
perubahan perilaku beresiko tinggi.
Voluntary HIV counseling and testing adalah sebuah proses konseling
yang bersifat sukarela dan rahasia. Sukarela artinya bahwa seseorang
yang akan melakukan test HIV haruslah berdasarkan antas
kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang lain.
Rahasia artinya, apa pun hasil tes itu nantinya hasilnya hanya boleh
diketahui dan diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.
VCT bukan hanya sekedar test HIV dan konseling mengenai test dan
HIV. VCT merupakan vital point untuk pelayanan penderita HIV dan
AIDS selanjutnya, termasuk pencegahan penularan HIV, penyakit yang
berkaitan dengan AIDS, serta indeksi opurtunistik yang mungkin timbul,
dukungan psikosoial dan hukum, pecegahan penularan dari ibu ke anak.
Sedangkan CST merupakan perawatan dukungan dan pengobatan
untuk ODHA. Pelayanan CST disesuaikan dengan kebutuhan klien atau
ODHA yaitu kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial.

II.2 TUJUAN
II.2.1 Tujuan Umum:
- Menurunkan angka kesakitan dan kematian HIV AIDS
II.2.2 Tujuan Khusus
- Semua kasus HIV yang ditemukan, dirujuk ke CST
- Membuka akses layanan yang dibutuhkan, seperti : Pelayanan medis,
pelayanan sosial, pelayanan spiritual, pelayanan ekonomi, pelayanan
legal, dll. Membantu mengenali perilaku atau kegiatan yang dapat
menjadi sarana penularan virus HIV atau AIDS.
- Memberikan dorongan moril untuk perubahan perilaku yang lebih sehat
dan aman.
- Mencegah agar semua WPS tidak mengalami stigma dan diskriminasi
- Memberikan jaminan kerahasiaan terhadap klien

II.3.MANFAAT
Adapun manfaat dilakukan VCT adalah :
1. Menerima keadaan terinfeksi HIV dan penyelesaiannya
2. Perencanaan dan perawatan untuk masa depan
3. Perencanaan dan promosi perubahan prilaku
4. Normalisasi HIV/AIDS dan mengurangi stigma dan diskriminasi
5. Pelayanan pencegahan infeksi HIV dari ibu ke bayi
6. Memfasilitasi kegiatan sebaya dan dukungan
7. Memfasilitasi pelayanan medis (infeksi oportunistik,IMS,ARV dan TB)
8. Memfasilitasi akses pelayanan sosial



BAB II
PEMBAHASAN
II.1 SASARAN
Kelompok resiko tinggi non lokalisasi : Panti Pijat, Pekerja Seksual
Panggilan, Pekerja Seksual Jalanan
Kelompok resiko tinggi lokalisasi
ODHA dan keluarganya serta masyarakat sekitarnya

II.2 TARGET
WPS (Wanita Pekerja seksual) dilakukan pemeriksaan secara teratur, 3
kali setahun.

II.3 STRATEGI
Membuat alur pelaksanaan VCT
Menerapkan prinsip-prinsip VCT
Mengadakan kerjasama dengan bagian penjangkauan, screening,
PMTCT dan MK dalam informasi sebagai input data.
Mengadakan kerjasama dengan mucikari dan resos.

III.4 INTERVENSI / KEGIATAN
Alur pemeriksaan VCT Model

Kegiatan VCT :
Pelatihan PE
Pertemuan dengan tokoh masyarakat
Penyuluhan mengenai pemakaian kondom

Prinsip VCT:
Persetujuan klien (Informed Consent)
Konseling dan testing hanya dilakukan atas dasar sukarela, bersifat
pribadi dan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun.
Kerahasiaan
Hasil testing HIV diberikan melalui tatap muka saat konseling pasca
testing dan dijamin kerahasiaannya
Tidak diskriminasi
Kita tidak akan mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam pelayanan
konseling dan testing HIV karena dilakukan dalam suasana bersahabat


Mutu terjamin
Mutu pelayanan tak perlu diragukan, karena konseling dan testing HIV
sukarela dilakukan dengan metode yang tepat.
Pelaksanaan VCT terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Konseling pre testing HIV
Yang dilakukan pada saat konseling pre testing HIV adalah:
-Menjelaskan tentang proses Konseling dan Testing HIV Sukarela.
-Menjelaskan tentang HIV/AIDS, pencegahan dan pengobatannya
-Mencari tahu tingkat pengetahuan klien mengenai HIV dan AIDS
-Menilai perilaku berisiko yang dapat menjadi sarana penularan HIV
-Menjelaskan keuntungan melakukan tes HIV & kerugian jika menolak
atau menunda
-Menjelaskan makna hasil testing HIV positif/negatif
-Memberikan penjelasan mengenai dampak pribadi, keluarga, dan
social terhadap hasil testing HIV
-Mendiskusikan kemungkinan tindak lanjut setelah ada hasil tes
(rencana perubahan perilaku)
2. Testing HIV
Testing HIV merupakan paket dari konseling dan testing HIV sukarela
untuk mengetahui status HIVnya dan dilakukan melalui proses
pengambilan darah. Testing HIV hanya akan dilakukan jika klien
bersedia untuk diambil darahnya dan menandatangani surat persetujuan
(informed consent) tes HIV. Jika klien tidak menyetujui untuk dites,
konselor akan menawarkan kepada klien untuk datang kembali sewaktu-
waktu bila masih memerlukan dukungan dan/atau untuk dilakukan tes.
Jika klien setuju untuk dites, dilanjutkan dengan konseling post tes
setelah ada hasil laboratorium.
Tes HIV yang dapat dilakukan meliputi :
TES ANTIBODI HIV
- Rapid tes
- ELISA
- Western Blot
Tes Antigen
- PCR
Yang perlu diperhatikan dari hasil testing HIV adalah :
Tanda reaktif berarti HIV sudah ada pada tubuh
Tanda Non reaktif berarti HIV belum ada di dalam tubuh
Indeterminate berarti perlu adanya pengulangan testing HIV karena
hasil testing HIV tidak jelas
Masa jendela berarti masa inkubasi HIV yaitu masa antara masuknya
virus HIV ke dalam tubuh manusia sampai terbentuknya antibody
terhadap HIV atau disebut HIV positif (umumnya 2 minggu 6 bulan).
3. Konseling post testing HIV
Pada proses konseling post testing HIV, konselor akan :
Membacakan hasil tes HIV klien baik positif atau negative dengan
nada biasa
Memberikan waktu bagi klien untuk memahami hasil tes dan bereaksi
Mendampingi klien dalam mengendalikan reaksi emosional
Menjelaskan makna reaktif atau nonreaktif
Menjelaskan kembali cara pencegahan dan penularan HIV/AIDS,
terlepas hasil tes negatif/positif
Memberikan dukungan yang sesuai
Membuat rencana lebih lanjut
Rujukan konseling, MK, KDS, Layanan Kesehatan, PL, PMTCT
Membahas tindak lanjut medis dan strategi perubahan perilaku

JIKA HASIL TEST HIV NEGATIF
Ketika hasil tes dinyatakan negatif, dapat diartikan klien tidak terinfeksi
HIV atau kemungkinan masih dalam masa jendela. Petugas konseling
HIV/AIDS akan membantu kita untuk :
Menegaskan kembali cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Membantu merencanakan perubahan perilaku yang lebih sehat &
aman.
Memberi dukungan untuk mempertahankan perilaku yang lebih sehat.
Anjuran untuk melakukan VCT kembali 3 bulan berikutnya.

JIKA HASIL TEST HIV POSITIF
Jika hasil tes dinyatakan positif, petugas konseling akan menekankan
bahwa hasil positif bukan akhir dari segalanya. Pada saat ini, dengan
pengobatan, perawatan dan perubahan perilaku yang sehat akan
membantu ODHA dapat hidup lebih lama dan lebih berkualitas. Sumber-
sumber bantuan masyarakat membantu ODHA untuk mendapatkan
pelayanan dari kelompok dukungan hingga ke penanganan medis.
Petugas konseling HIV/AIDS akan memberitahukan di mana sumber
bantuan atau merujuk pada Program Manajemen Kasus.
Manajemen kasus adalah suatu pelayanan untuk membantu ODHA
yang mengkaitkan dan mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga
dan badan penyedia dukungan medis, psikososial, dan praktis bagi
individu-individu yang membutuhkan bantuan tersebut. Selain itu,
manajemen kasus juga diharapkan dapat membantu ODHA untuk
mengubah perilaku hidupnya menjadi lebih sehat dan bertanggung
jawab.
Petugas Lapangan memiliki beberapa tugas, yaitu menjelaskan manfaat
VCT, menjelaskan prosedur dalam VCT, memberi informasi tempat
layanan VCT, memotivasi KD untuk VCT, merujuk KD ke VCT.
.
II.5 CST (Care Support Treatment)
Care Support Treatment memiliki arti perawatan, dukungan, dan
pengobatan. Perawatan yang dimaksud adalah perawatan pada
penyakit akut, kronis, dan pengobatan paliatif (tidak mengobati, hanya
mengurangi penderitaan pasien) yang dilakukan oleh perawat.
Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan psikologis, sosial,
ekonomi, spritual, hukum yang dilakukan oleh Konselor, Manager Kasus
dan. Pengobatan yang diberikan ditujukan pada penyakit terkait HIV,
Infeksi oportunistik, dan pemberian ARV yang dilakukan oleh dokter
umum atau dokter spesialis.
Tujuan dari CST adalah memberi layanan perawatan, dukungan,
pengobatan bagi ODHA agar dapat hidup positif/berkualitas,
mengurangi kesakitan & kematian

II.5.2. Kendala

Kurangnya koordinasi antara pihak rumah sakit dan pihak resos dalam
hal pendataan dan pelaporan VCT yang dilakukan oleh WPS di Rumah
Sakit, sehingga sering kali terjadi VCT berulang.
Banyak dari WPS yang sudah menpunyai pasangan/Pacar/Suami tidak
melakukan screening dan VCT sehingga Tidak di ketahui Status HIV
dan IMSnya.
WPS tidak terbuka dengan mucikari mengenai status HIV mereka. Hal
ini menjadi salah satu kendala dalam mencegah penularan HIV. Kondisi
akan lebih buruk jika WPS maupun pelanggan tidak menggunakan
kondom, yang akan mempermudah terjadinya penularan.
Kurangnya kesadaran dan pengetahuan klien serta WPS tentang
manfaat VCT-CST sehingga belum semua kelompok resiko tinggi yang
terjangkau oleh program ini.

Anda mungkin juga menyukai