Anda di halaman 1dari 12

Dikuntit Intel Jepang

Tahun 2001. Saya masih tinggal di Kumamoto, Jepang. Suatu hari ada orang Jepang
menelepon ke apartemen saya. Ia mengaku mendapat nomor telepon saya dari International
Center. Saya ingat, saya pernah memasang pengumuman, tawaran mengajar privat bahasa
Inggris atau bahasa Indonesia. Saya mencantumkan nomor telepon saya di situ. Si penelepon
ini tak hendak belajar. Ia hanya ingin berteman dan mengenal budaya Indonesia. Ia mengajak
saya bertemu di sekitar kampus untuk makan siang. Pertemuan itu saya setujui. Kami
bertemu, makan siang, berbincang, lalu bubar.

Setelah itu dia rutin menelepon saya, minimal 2 minggu sekali. Padahal kalau bertemu juga
tidak banyak pembicaraan tentang Indonesia. Dia lebih banyak bertanya soal aktifitas kami
mahasiswa muslim di Kumamoto. Saya jawab seadanya. Tapi saya tidak berminat lagi untuk
berteman dengan orang ini. Rasanya aneh. Tadinya saya menduga dia ini gay. Maka, dengan
berbagai alasan itu saya putuskan untuk tidak meladeni permintaan dia. Waktu-waktu
berikutnya selalu saya tolak undangan dia dengan alasan sibuk.

Selang beberapa bulan setelah itu dia menelepon, meminta dengan sangat untuk bertemu
saya. Tak nyaman sebenarnya, tapi saya temui juga. Rupanya dia hendak pindah ke kota lain,
dan dia memperkenalkan saya kepada temannya, yang juga tertarik pada Indonesia. Wah,
saya makin merasakan aneh. Mereka berdua menawarkan, kalau saya butuh bantuan saya
diminta menghubungi, dia akan membantu. Teman yang diperkenalkan ini terlihat lebih
ramah dan bersahabat. Saya iyakan saja, meski saya curiga.

Suatu hari saat makan siang saya tanya saja dia secara terus terang. Sebenarnya Anda ini
siapa, dan mau apa? tanya saya. Agak kaget dia, tapi kemudian dia menjawab pertanyaan
saya. Dengan jujur. Dia, dan teman dia yang sudah pindah itu, adalah intel. Di Jepang mereka
disebut kouan keisatsu. Tugasnya adalah memantau situasi keamanan publik,
mengumpulkan informasi tentang ancaman keamanan yang mungkin timbul. Persis tak lama
setelah peristiwa 9/11, tugas mereka semakin diperketat.

Mengapa saya didekati? Karena saya seorang muslim, dan saya waktu itu adaah ketua
Moslem Student Association. Tapi saya justru menjadi tenang setelah semua jelas. Aktivitas
kami murni ibadah ritual, jadi tak ada yang perlu saya rahasiakan. Malah saya ajak dia untuk
ikut melihat salat Jumat kami, tapi dia menolak. Yang jelas saya tahu dia punya kepentingan,
saya tak sungkan lagi untuk minta bantuan. Ada take and give, pikir saya.

Saat saya butuh kendaraan, saya minta dia datang dengan mobil untuk mengantar saya.
Waktu anak saya lahir, saya lupa memohon visa buat dia. Saya baru sadar 6 bulan kemudian,
dan anak saya sudah dinyatakan overstay sejak lahir. Waktu itu saya harus mengurus masalah
ini ke Fukuoka, 2 jam perjalanan dari Kumamoto. Saya telepon orang ini untuk berkonsultasi.
Entah bagaimana ceritanya, tak lama setelah itu ada telepon dari kantor imigrasi yang
memberi tahu saya bahwa saya tidak perlu ke Fukuoka, urusan cukup diselesaikan di kantor
imigrasi setempat.

Banyak lagi bantuan yang dia berikan kepada saya. Dan setiap ditanya soal aktivitas kami,
selalu saya jawab dengan jujur. Waktu saya pulang liburan ke Indonesia, saya minta dia
mengantar sampai ke airport di Fukuoka. Waktu pulangnya dia juga menjemput. Nah, saat
saya hendak berangkat, dia menyerahkan amplop. Saya tanya, ini apa? Dia jawab, sejumlah
uang. Untuk apa? Dia membutuhkan informasi tentang aktivitas Islam garis keras di
Indonesia. Dia minta saya mencarikan kontak. Saya tolak. Bukan apa-apa, saya memang
tidak punya kontak itu. Tapi dia bilang, bawa saja uang itu, untuk nraktir teman-teman yang
bisa memberi informasi. Dengan perasaan aneh amplop itu saya terima.

Di Jakarta saya kebetulan bertemu dengan kawan, seorang aktivis Hizbut Tahrir yang bekerja
sebagai pengacara. Saya ceritakan kejadian itu. Kasih saja nomor saya, suruh dia telepon
saya. Biar saya beri dia informasi yang dia butuhkan. kata teman saya itu. Dengan itu saya
merasa nyaman membuka amplop tadi dan memakai uangnya.:D

Sepulangnya saya ke Jepang saya serahkan kartu nama teman saya tadi, dan meminta intel
tadi untuk menghubungi dia. Tapi dia meminta saya untuk mendampingi sebagai penerjemah.
Saya tolak permintaan itu. Tak lama setelah itu saya membeli mobil dan tidak butuh lagi
bantuan-bantuan dari dia, saya tolak telepon dan undangan dari dia. Sejak itu kemudian
kontak kami semakin jarang. Lalu dia berhenti mengontak saya.
Nakano San
Saya hendak bercerita tentang sosok yang berperan cukup penting pada studi saya di Jepang.
Namanya Kyouko Nakano. Kami biasa memanggil dia Nakano san. Orang-orang yang kuliah
di Jepang denga beasiswa STAID mungkin banyak yang kenal dengan dia. STAID adalah
program pengiriman pelajar untuk belajar di negara-negara maju yang merupakan program
yang dicanangkan oleh Menristek Habibie pada era 80-90-an. Dia adalah seorang konsultan
pada Japan Indonesia Forum for Science and Technology (JIF). Lembaga ini memberikan
semacam pendampingan bagi mahasiswa yang dikirim oleh negara untuk belajar ke Jepang.
Mulai dari pelatihan bahasa Jepang, juga mencarikan universitas yang cocok, serta profesor
pembimbing. Lembaga ini juga melakukan kegiatan yang serupa di Malaysia.
Belakangan mereka juga menyelenggarakan Asian Youth Fellowship (AYF) Program. Ini
adalah program beasiswa untuk pelajar dari 10 negara ASEAN plus Bangladesh, untuk studi
di Jepang pada Jenjang master dan doctor. Setiap negara diberi jatah 2 pelajar per tahun. Saya
adalah peserta angkatan pertama program ini pada tahun 1996. Kami menjalani pelatihan
bahasa Jepang selama setahun di Malaysia, dan setelah itu melanjutkan studi dengan
beasiswa Monbusho (sekarang Monbukagakusho) di Jepang.
Nakano san ketika itu membantu saya memilih universitas tempat belajar, juga
menghubungkan saya dengan calon profesor pembimbing. Saya ingat betul, saat saya
menempuh ujian masuk, saya datang langsung dari Kuala Lumpur ke Sendai, tempat tujuan
belajar saya, yaitu Tohoku University. Dia yang mengatur semua urusan perjalanan saya dari
Tokyo ke Sendai, juga mengatur penginapan saya selama di sana.
Usai program AYF sebenarnya kami adalah mahasiswa Monbusho biasa. Tidak perlu ada
ikatan khusus dengan JIF. Tapi karena merasa bertanggung jawab, JIF tetap melakukan
pemantauan, dan memberikan bantuan kalau diperlukan. Bantuan itu macam-macam
bentuknya. Saya, ini agak memalukan sebenarnya, sempat beberapa kali pinjam uang ke JIF
untuk berbagai keperluan. Pernah untuk pindah apartemen, yang memerlukan biaya tak
sedikit. Pernah pula saya pinjam uang untuk keperluan mudik. Semua itu saya cicil
pembayarannya dari tabungan sisa beasiswa. Saat JIF tak lagi bisa memberikan pinjaman,
pernah Nakano san meminjami saya uang dari kantong pribadinya.
Ada kisah yang sangat mengharukan, tentang seorang teman saya, orang Filipina. Dia satu
angkatan dengan saya, dan kebetulan belajar di universitas yang sama. Di masa studinya,
menjelang selesai master, ia mengalami masalah kesehatan. Ia merasa sakit di tulang
punggung, sehingga studinya mengalami gangguan. Ia menyerah, memutuskan untuk
berhenti kuliah. Ia membagikan semua barang miliknya, lalu berangkat ke Tokyo dengan
maksud pulang ke Filipina.
Di Tokyo Nakano san menahannya. Ia mencarikan dokter dan rumah sakit, lalu teman saya
itu mendapat perawatan. Dan akhirnya dia sembuh. Sebagian biaya berobat waktu itu
diusahakan oleh Nakano san, sehingga JIF bisa memberikan bantuan. Teman saya itu sukses
menyelesaikan master, bahkan melanjutkan studinya hingga doktor.
Setelah saya lulus, bahkan setelah pulang ke Indonesia, saya sempat beberapa kali ketemu
Nakano san. Saat itu ia sudah tidak lagi bekerja untuk JIF (waktu itu sudah berganti nama
menjadi Asia SEED). Ia bekerja sebagai konsultan JICA di ITS, melalui proyek PREDICT.
Waktu saya masih bekerja sebagai Visiting Associate Professor di Tohoku University tahun
2006, Nakano san kebetulan berkunjung ke Tohoku untuk urusan pekerjaan beliau. Saat itu
dia menyempatkan diri untuk makan siang dan berbincang santai. Dia sangat senang dengan
pencapaian saya ketika itu.
Setahun kemudian saya bertemu dengan Nakano san di Jakarta. Pernah dia secara khusus
terbang dari Surabaya ke Jakarta, sekedar untuk bertemu dan berbincang dengan saya. Dia
juga pernah berkunjung ke perusahaan tempat saya bekerja sekarang.
Dalam setiap pertemuan kami banyak berdiskusi, terutama tentang pendidikan tinggi di
Indonesia. Nakano san, karena pekerjaannya, berinteraksi cukup intens dengan kalangan
pendidikan di Indonesia. Dan dia memiliki beberapa mimpi yang ingin dia wujudkan.
Sesekali kami mengenang masa lalu. Kadang rasanya tak percaya. Dulu saya hanyalah calon
mahasiswa yang hendak kuliah di Jepang. Ketika kemudian kami bertemu, kami sudah dalam
posisi yang sama sekali berbeda.
Tak sedikit orang lain yang mengenang Nakano san seperti saya mengenang dia. Dia begitu
tulus dalam memberikan bantuan. Melampaui tuntutan profesi yang dia sandang. Dalam
kasus teman saya orang Filipina tadi, Nakano san bahkan mampu menyelamatkan masa
depannya.
Kita, dalam bekerja, mungkin banyak berinteraksi dengan orang lain. Sesekali mungkin kita
membantu orang melebihi apa yang harus kita lakukan. Mungkin kita tidak sadar, kita telah
melakukan sesuatu yang besar bagi orang tersebut. Jadi, teruslah melakukan hal itu.
Bersama Nakano san di Simposium dalam rangka peringatan 50 tahun hubungan
diplomatik Indonesia Jepang

Tatsujin dan Shokunin
TPI yang sudah berganti nama menjadi MNC TV sekarang menyiarkan acara bernama TV
Champion. Ini adalah acara yang diadopsi dari sebuah stasion TV Jepang, yaitu TV Tokyo.
Di acara ini orang dengan berbagai profesi bertanding menunjukkan keahliannya, terkadang
dengan cara yang tidak lazim. Para pengemudi traktor, misalnya, disuruh memotong sayuran
dan mempersiapkan masakan tidak dengan tangan, tapi dengan traktor yang dia operasikan.
Sekilas ini seperti sedang main-main. Tapi ada hal penting di situ, yaitu orang-orang itu
menunjukkan keahlian mereka sampai pada tingkat ekstrim. Orang-orang yang menekuni
sesuatu hingga keahlian mereka mencapai tingkat istimewa atau ekstrim dalam bahasa Jepang
disebut tatsujin.
Kata tatsujin terdiri dari dua huruf kanji, yaitu tatsu () yang artinya jadi, lebih, atau maju,
dan jin () yang artinya orang. Seperti disinggung di atas, tatsujin adalah orang yang
menguasai suatu teknik secara ekstrim. Ini bisa berlaku untuk apa saja, baik yang merupakan
keahlian dalam pekerjaan maupun untuk hal-hal yang bukan pekerjaan, seperti permainan.
Misalnya orang yang pandai bermain yoyo, maka dia disebut yoyo no tatsujin. Khusus untuk
orang yang ahli dalam mengerjakan suatu pekerjaan disebut shokunin.
Kata shokunin terdiri dari dua huruf kanji, yaitu shoku () yang artinya pekerjaan, dan nin
() yang artinya orang. Secara lateral artinya seseorang yang melakukan pekerjaan. Istilah
ini biasanya dilekatkan pada seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan tangan, yang dalam
istilah kita disebut perajin. Karena mereka melakukan hal yang sama secara berulang dan
terus menerus, ketrampilan tangannya mencapai tingkat yang ekstrim. Teknik ekstrim yang
dimiliki oleh seorang shokunin biasanya disebut shokunin no waza. (Waza () artinya
teknik.) Itulah yang biasanya dipamerkan pada acara TV Champion yang saya singgung tadi.
Sebagaimana terjadi juga di negara lain, era shokunin adalah era sebelum revolusi industri.
Orang mengerjakan sesuatu dengan tangan, dibantu dengan peralatan kerja sederhana. Dalam
situasi itu ketrampilan tangan menjadi kunci kualitas dan kuantitas produk.
Keahlian shokunin ditransfer kepada orang lain dengan prinsip totei-seido () di
mana seseorang hendak belajar suatu teknik (orang tersebut disebut desi () atau murid),
berguru kepada shokunin melalui praktik kerja. Ia akan bekerja sambil belajar, menempuh
suatu masa tertentu, sampai mencapai tingkat keahlian tertentu, dan siap menjadi shokunin
baru.
Profesi atau derajat shokunin adalah sebuah kebanggaan. Kebanggaan terletak bukan pada
tercapainya suatu tingkat keahlian, melainkan pada kualitas barang yang dihasilkan. Seorang
shokunin puas bila ia bisa menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Bahkan ia akan
mengejar suatu kualitas yang hanya dia yang bisa menghasilkannya.
Di era modern tentu saja sistem produksi berubah. Kini barang-barang dibuat dengan prinsip
mengejar kuantitas produksi. Untuk itu digunakan mesin-mesin produksi. Dalam hal ini
kualitas dan kuantitas produk barang tidak lagi ditentukan oleh manusia, tapi oleh mesin.
Manusia lebih banyak berperan dalam mengoperasikan mesin belaka.
Pada industri modern Jepang semangat shokunin ini diabadikan pada semangat untuk
membuat produk-produk berkualitas. Alat dan teknik pengerjaan produk boleh berubah, tapi
semangat untuk menciptakan produk berkualitas tetap dipelihara sebagai budaya perusahaan.
Arigato, Nippon! Ganbare, Nippon!
Posted on 23 Maret 2011 by budayajepang
Seminggu sebelum gempa dan tsunami menghantam Jepang, saya kedatangan tamu. Tamu
saya seorang peneliti dari Tohoku University, universitas tempat saya kuliah S2-S3. Dia
hendak melakukan penelitian sosiologi di Karawang, yang kebetulan lokasinya tak jauh dari
tempat tinggal dan kantor saya. Tim peneliti terdiri dari 30 orang, terdiri dari satu orang
professor, asisten profesor, peneliti, dan selebihnya mahasiswa.

Peneliti dari Tohoku University tadi saya kenal sejak akhir tahun lalu. Ketika itu ada pameran
pendidikan Jepang, dan universitas tersebut membuka gerai pameran. Sebagai seorang
alumnus saya ikut serta menjaga gerai tersebut. Peneliti itu sangat berterima kasih atas
bantuan saya saat itu. Tapi saya katakan bahwa hal itu sudah menjadi kewajiban saya.

Saat dia datang kedua kalinya, tak banyak bantuan yang dia butuhkan. Namun kemudian ada
dua orang anggota tim peneliti yang sakit, dan harus dibawa ke Jakarta. Dari pemeriksaan
dokter memutuskan kedua orang itu harus menjalani rawat inap. Mereka sepertinya terserang
demam berdarah. Untuk keperluan mengurusi orang sakit itu dia memerlukan mobil. Lalu
saya sediakan mobil untuk keperluan itu, selama beberapa hari.

Ketika semua urusan ini selesai, dan tim peneliti kembali ke Jepang, tamu saya tadi mengirim
email, mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas bantuan saya. Saya merasa senang
karena bisa membantu, walau nilai bantuan saya itu tak seberapa.

Saat terjadi gempa saya langsung menelepon Sensei, profesor pembimbing waktu saya kuliah
dulu. Tapi teleponnya tak bisa saya hubungi. Demikian pula beberapa teman (orang Jepang)
yang lain. Petangnya baru saya tahu sebabnya: listrik mati di semua wilayah yang terkena
gempa. Beberapa hari kemudian barulah saya bisa menghubungi mereka. Syukur, mereka
semua dalam keadaan sehat, tidak cedera, dan tidak menderita kerugian yang berarti.

Saat saya telepon umumnya mereka kaget. Kaget karena sepertinya jarang mendapat telepon
dari luar negeri. Tapi juga kaget karena merasa mendapat perhatian yang begitu besar dari
saya.

Dua kejadian di atas adalah wujud dari ikatan batin yang kuat, yang saya rasakan kepada
Jepang dan orang-orang Jepang. Tulisan ini hendak bercerita tentang bagaimana ikatan itu
terbentuk.

Tahun 1997 bulan April saya berangkat ke Jepang sebagai calon mahasiswa S2. Kota tujuan
saya adalah Sendai, di mana kampus Tohoku University berada. Pagi hari kami rombongan
mahasiswa yang mendapat beasiswa Monbusho (kini Monbokagakusho) berjumlah sekitar 50
orang mendarat di bandara Narita. Di situ kami disambut oleh petugas dari Association of
International Education Japan (AIEJ, kini JASSO) yang mengatur perjalanan kami ke kota
tujuan masing-masing.

Petang hari baru saya tiba di kotan tujuan, Sendai, setelah menempuh perjalanan 2 jam
dengan shinkansen dari Tokyo. Sebelumnya saya menempuh perjalanan Narita-Tokyo yang
juga menghabiskan waktu 2 jam. Di stasiun Sendai saya dijemput oleh mahasiswa yang
diutus oleh Sensei. Hari itu saya bertemu Sensei sebentar, kemudian diantar oleh mahasiswa
tadi menuju asrama mahasiswa asing.

Universitas menyediakan sarana asrama bagi mahasiswa asing, khususnya untuk mahasiswa
yang baru datang. Hanya setahun kita boleh tinggal di situ. Tapi itu sangat membantu. Saat
pertama kali datang, kita tak tahu di mana harus mencari apartemen untuk memulai hidup
baru. Dengan adanya asrama ini kesulitan itu bisa diatasi. Asrama sudah dilengkapi dengan
perabot, termasuk dapur kecil dan kompor. Tapi peralatan masak seperti panci serta piring,
kita harus beli sendiri.

Hari-hari pertama di Sendai adalah hari-hari untuk melengkapi berbagai kebutuhan. Jepang
adalah negara yang serba mahal. Kalau semua hendak dibeli baru, beasiswa kita tak akan
cukup. Maka berbagai cara ditempuh. Salah satunya dengan memanfaatkan layanan berbagai
organisasi volunteer. Mereka mengumpulkan barang-barang bekas dari orang-orang Jepang,
lalu menjualnya dengan harga murah melalui bazaar.

Kelak ketika sudah makin banyak kenal dengan orang Jepang, saya banyak menerima
pemberian barang-barang yang saya perlukan. Saat istri saya hamil, misalnya, saya
memasang pengumuman bahwa saya membutuhkan barang-barang keperluan bayi. Hasilnya,
beberapa orang datang mengantarkan berbagai jenis barang ke apartemen saya. Semuanya
diberikan gratis. Beberapa barang itu masih saya simpan hingga saat ini.

Tentu yang saya terima bukan hanya barang-barang belaka. Beberapa bulan sejak kedatangan
saya ke Jepang, istri saya menyusul. Saya sudah mahir berbahasa Jepang sebelum
keberangkatan. Istri saya sama sekali tidak bisa. Hidup di suatu tempat di mana bahasa di
sekelilingnya tidak dia pahami adalah masalah besar buat istri saya. Lagi-lagi kami tertolong
oleh volunteer. Ada volunteer, ibu rumah tangga yang dengan suka rela datang ke apartemen
kami, mengajari istri saya bahasa Jepang. Tak cuma itu. Dia juga sesekali membawa istri
saya pergi ke luar, belanja atau makan bersama.

Makin lama kami bermukim, makin banyak teman. Makin banyak dan beragam pula bantuan
yang kami peroleh. Ketika kami baru punya bayi, saat itu puncak kesibukan saya sebagai
mahasiswa. Saya sering pergi ke luar kota. Berat rasanya meninggalkan istri dengan bayi
yang baru lahir, sendiri, dengan keterbatasan bahasa. Untunglah ada kenalan kami, seorang
ibu yang mau menginap beberapa hari di apartemen saya, menemani istri saya selama saya
pergi. Dan itu dilakukannya beberapa kali.

Mengasuh bayi yang baru lahir bagi kami ketika itu adalah hal yang juga tidak mudah.
Banyak hal yang tidak kami ketahui. Dalam hal itupun kami banyak mendapat bantuan.
Termasuk dari dokter dan perawat di rumah sakit tempat anak kami lahir. Beberapa kali saya
menelepon ke rumah sakit, bertanya tentang urusan perawatan bayi. Tentang hal-hal yang
sepele bagi orang yang sudah berpengalaman. Mereka selalu menjawab dengan baik, bahkan
saat saya menelepon tengah malam sekalipun.

Begitulah. Saya merasa sangat berterima kasih, bukan sekedar karena saya mendapat
beasiswa untuk belajar di Jepang hingga ke jenjang doktoral. Bukan pula karena saya
mendapat banyak bantuan materi. Tapi karena antara saya dengan Jepang, dengan orang-
orang Jepang, telah terbentuk hubungan kemanusiaan yang sangat kuat. Orang-orang yang
tidak punya hubungan darah dengan kami. Yang berbeda bangsa. Tapi telah dengan tulus
mengulurkan berbagai bantuan, seakan kami ini anak-anak mereka sendiri.

Maka saya tak segan memanggil okaasan (ibu)/otousan (bapak) kepada beberapa orang yang
saya kenal. Rasanya mereka memang sudah seperti ibu bapak kandung sendiri. Anak-anak
saya juga saya ajari untuk memanggil mereka obaasan (nenek) dan ojiisan (kakek). Pada
suatu kesempatan perayaan Hari Ibu, kami mengirim bunga kepada ibu-ibu itu. Mereka
menerimanya dengan tangisan haru.

Bantuan kecil yang saya ceritakan di awal tulisan ini rasanya tak sebanding dengan apa yang
pernah saya terima selama 10 tahun bermukim di Jepang. Saat Jepang dilanda bencana seperti
ini, ingin rasanya memberi lebih banyak dan lebih banyak lagi bantuan.





















Aneka ragam budaya Jepang (bunka, matsuri, ongaku, eiga , iro-iro aru)

Negara Jepang kaya dengan berbagai kebudayaan leluhurnya yang beraneka ragam.
Walaupun saat ini perkembangan teknologi di Jepang terus up date dalam hitungan perdetik ,
namun sisi tradisional masuh terus dilestarikan hingga sekarang ini. Berikut ini adalah salah
satu dari berbagai macam kebudayaan Jepang yang masih terus berlangsung hingga saat ini :

Matsuri (, Matsuri) adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama
Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian
sekularisme berarti festival, perayaan atau hari libur perayaan.

Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau
kuil, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak
berkaitan dengan institusi keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada
musim gugur disebut Kunchi.

Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan
tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung),
kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari
bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas
berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian
musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu
pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri
yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda
tergantung pada daerahnya.

Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi,
Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau
objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko
(anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas
matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget
beraneka macam makanan dan permainan.

Sejarah

Matsuri berasal dari kata matsuru (, matsuru? menyembah, memuja) yang berarti
pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat
unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta
makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang
dilakukan di depan Amano Iwato.

Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai
(permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara
sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto
untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan
bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jing merupakan salah satu contoh kuil agama
Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif
bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.

Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh
dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya
tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa
makna religius.

Tiga matsuri terbesar

* Gion Matsuri (Yasaka-jinja, Kyoto, bulan Juli)
* Tenjinmatsuri (Osaka Temmangu, Osaka, 24-25 Juli)
* Kanda Matsuri (Kanda Myjin, Tokyo, bulan Mei)

Matsuri yang terkenal sejak dulu

Daerah Tohoku

* Nebuta Matsuri (kota Aomori, bulan Agustus) dan Neputa Matsuri (kota Hirosaki, bulan
Agustus)
* Kant Matsuri (kota Akita, bulan Agustus)
* Sendai Tanabata Matsuri (kota Sendai, bulan Agustus)

Daerah Kanto

* Chichibuyo Matsuri (kota Chichibushi, Prefektur Saitama, 2-3 Desember)
* Sanja Matsuri (Asakusa-jinja, Tokyo, bulan Mei)
* Sann Matsuri (Hie-jinja, Tokyo, bulan Juni)

Daerah Chubu

* Owaraf no bon (kota Toyama, Prefektur Toyama, bulan September)
* Shikinenzei Onbashira Daisai (kota Suwa, Prefektur Nagano, diadakan setiap 6 tahun
sekali, terakhir diadakan bulan April-Mei, 2004).
* Takayama Matsuri (kota Takayama, Prefektur Gifu, bulan April dan bulan Oktober)
* Furukawa Matsuri (kota Hida, Prefektur Gifu, bulan April)

Daerah Kinki

* Aoi Matsuri (Kyoto, bulan Mei)
* Jidai Matsuri (Heian-jingu, Kyoto, bulan Oktober)
* Tdaiji Nigatsud Shuni-e atau dikenal sebagai Omizutori (Nigetsu-d, kuil Tdaiji, Nara,
12 Maret)
* Kishiwada Danjiri Matsuri (Kishiwada, Prefektur Osaka, 14-15 September)
* Nada no Kenka Matsuri dan Bansh no Aki Matsuri (Prefektur Hyogo, diselenggarakan
lebih dari seratus jinja di daerah Bansh dengan pusat keramaian di kota Himeji di bulan
Oktober)
* Nachi no Hi Matsuri (Nachi Katsuura, Prefektur Wakayama, bulan Juli)
* Aizen Matsuri, Tenjinmatsuri dan Sumiyoshi Matsuri yang dikenal sebagai "Tiga Matsuri
Musim Panas Terbesar di Osaka" (Prefektur Osaka, bulan Juni-Juli)

Daerah Chugoku dan Shikoku

* Saidaiji Ey (Okayama, Prefektur Okayama, bulan Februari)
* Awa Odori (Tokushima, Prefektur Tokushima, 12-15 Agustus)

Daerah Kyushu

* Hakata Gion Yamakasa (Fukuoka, Prefektur Fukuoka, bulan Juli)
* Nagasaki Kunchi (Nagasaki, Prefektur Nagasaki, 7-9 Oktober)
* Karatsu Kunchi (Karatsu, Prefektur Saga, bulan November)

Pengertian lain

Dalam bahasa Jepang, kata "matsuri" juga berarti festival dan aksara kanji untuk matsuri (,
matsuri?) dapat dibaca sebagai sai, sehingga dikenal istilah seperti Eiga-sai (festival film),
Sangy-sai (festival hasil panen), Ongaku-sai (festival musik) dan Daigaku-sai (festival yang
diadakan oleh universitas).

Shimin Matsuri adalah sebutan untuk matsuri yang diselenggarakan pemerintah daerah atau
kelompok warga kota dengan maksud untuk menghidupkan perekonomian daerah dan
umumnya tidak berhubungan dengan institusi keagamaan.

Festival dan Matsuri yang lain

* Festival Salju Sapporo (Sapporo, Prefektur Hokkaido, bulan Februari)
* Festival Salju Iwate (Koiwai Farm, Shizukuishi, Prefektur Iwate, bulan Februari)
* YOSAKOI Sran Matsuri (Sapporo, Hokkaido, bulan Juni)
* Niigata Odori Matsuri (Niigata, Prefektur Niigata, pertengahan bulan September)
* Odawara Hj Godai Matsuri (kota Odawara, Prefektur Kanagawa)
* Yosakoi Matsuri (kota Kochi, Prefektur Kochi, 9-12 Agustus)
* Hakata dontaku (3-4 April, kota Fukuoka)
* Hamamatsu Matsuri (3-5 Mei, kota Hamamatsu, Prefektur Shizuoka)
* Wasshoi Hyakuman Natsu Matsuri (kota Kita Kysh, Prefektur Fukuoka, hari Sabtu
minggu pertama bulan Agustus)

Origami
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Origami adalah sebuah seni lipat yang berasal dari Jepang. Bahan yang digunakan adalah kertas atau
kain yang biasanya berbentuk persegi. Sebuah hasil origami merupakan suatu hasil kerja tangan yang
sangat teliti dan halus pada pandangan.

Origami merupakan satu kesenian melipat kertas yang dipercayai bermula semenjak kertas mula
diperkenalkan pada abad pertama di Tiongkok pada tahun 105 oleh seorang Tiongkok dikasi yang
bernama Ts'ai Lun.

Pembuatan kertas dari potongan kecil tumbuhan dan kain berkualitas rendah meningkatkan
produksi kertas. Contoh-contoh awal origami yang berasal daripada Republik Rakyat Tiongkok
adalah tongkang Tiongkok dan kotak.

Pada abad ke-6, cara pembuatan kertas kemudian dibawa ke Spanyol oleh orang-orang Arab. Pada
tahun 610 di masa pemerintahan kaisar wanita Suiko (zaman Asuka), seorang biksu Buddha bernama
Donch (Dokyo) yang berasal dari Goguryeo (semenanjung Korea) datang ke Jepang
memperkenalkan cara pembuatan kertas dan tinta.

Origami pun menjadi populer di kalangan orang Jepang sampai sekarang terutama dengan kertas
lokal Jepang yang disebut Washi.

Washi (, Washi?) atau Wagami adalah sejenis kertas yang dibuat dengan metode tradisional di
Jepang. Washi dianggap mempunyai tekstur yang indah, tipis tapi kuat dan tahan lama jika
dibandingkan dengan jenis kertas lain.

Produksi washi sering tidak dapat memenuhi permintaan konsumen sehingga berharga mahal. Di
Jepang, washi digunakan dalam berbagai jenis benda kerajinan dan seni seperti Origami, Shod dan
Ukiyo-e. Washi juga digunakan sebagai hiasan dalam agama Shinto, bahan pembuatan patung
Buddha, bahan mebel, alas sashimi dalam kemasan, bahan perlengkapan tidur, bahan pakaian
seperti kimono, serta bahan interior rumah dan pelapis pintu dorong.

Di Jepang, washi juga merupakan bahan uang kertas sehingga uang kertas yen terkenal kuat dan
tidak mudah lusuh.

Sudoku

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Sudoku (, sdoku?), juga dikenal sebagai Number Place atau Nanpure, adalah sejenis teka-teki
logika. Tujuannya adalah untuk mengisikan angka-angka dari 1 sampai 9 ke dalam jaring-jaring 99
yang terdiri dari 9 kotak 33 tanpa ada angka yang berulang di satu baris, kolom atau kotak. Pertama
kali diterbitkan di sebuah surat kabar Perancis pada 1895 dan mungkin dipengaruhi oleh
matematikawan Swiss Leonhard Euler, yang membuat terkenal Latin square.

Versi modern permainan ini dimulai di Indianapolis pada 1979. Kemudian menjadi terkenal kembali
di Jepang pada 1986, ketika penerbit Nikoli menemukan teka-teki ini yang diciptakan Howard Garns.

Nama "Sudoku" adalah singkatan bahasa Jepang dari "Suuji wa dokushin ni kagiru"
(, "Suuji wa dokushin ni kagiru"?), artinya "angka-angkanya harus tetap tunggal"

Anda mungkin juga menyukai