Nasionalisme dan Konflik Etnik: Sebuah Konsekuensi dari Globalisasi
Sonny Sudiar 1
Abstract Nationalism is an idea of nationhood which has political dimension. In the frame of globalization, nationalism can be seen from two sides, whether as a reaction against globalization or as a product of globalization itself. Meanwhile, ethnic conflict is a kind of intra-state conflict. The causes of ethnic conflict are several factors. They can be structural factors, political factors, social and economic factors, cultural and perceptual factors. Both nationalism and ethnic conflict had become the hot topic in the global issues. Especially after the end of the cold war, nationalism re-emerged as a challenge to the world order. Many countries have disintegrated as a result of ethnic conflict, which have been interpreted as a clash of different types of nationalism. The globalization has also contributed significantly to this condition. This article aimed to show the strong correlation between nationalism and ethnic conflict, and assessing the implications of globalization to them.
Pendahuluan Memasuki dekade pertama dari milennium ketiga, perpolitikan global masih banyak diwarnai dengan isu nasionalisme dan semakin menajamnya konflik etnik yang disertai dengan kekerasan. Masih segar dan terekam dengan baik dalam ingatan, bahwa pada dua tahun terakhir telah terjadi beberapa peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai konflik etnik, seperti konflik Ossetia Selatan, tindakan kekerasan terhadap kelompok etnik Uighur di Cina, tindakan represif terhadap minoritas muslim di Thailand Selatan, dan yang terkini konflik internal di Kyrgistan yang membenturkan antar warga etnik Uzbek dengan etnik Kyrgis.
1 Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mulawarman Samarinda 2
Terdapat indikasi kuat bahwa sumber utama konflik-konflik tersebut berawal dari semangat nasionalisme yang kemudian kondisinya diperparah oleh gelombang arus globalisasi. Isu-isu nasionalisme menjadi urgent dipersoalkan, karena nasionalisme diasumsikan sebagai faktor pemicu (trigger factor) bagi munculnya berbagai konflik etnik di beberapa belahan dunia, terutama negara-negara Dunia Ketiga, baik yang berada di kawasan Asia maupun Afrika. Memang benar bahwa meskipun doktrin nasionalisme lahir dan berkembang di Eropa, namun nasionalisme telah dipandang sebagai fenomena negara-negara Dunia Ketiga. Oleh para penganutnya nasionalisme digunakan sebagai retorika anti- kolonialisme dan anti-imperialisme (Diamond & Plattner, 1998:9a). Nasionalisme dalam banyak pengertian sering didefinisikan sebagai sebuah paham tentang kecintaan terhadap keberadaan sebuah bangsa. Nasionalisme merupakan sebuah ide atau gagasan tentang kebangsaan yang berdimensi politik. Merujuk pada pendapat Ernest Gellner (1983), bahwa nasionalisme menjadi relevan untuk didiskusikan karena di dalamnya mengandung orientasi politik tertentu sebuah bangsa. Nasionalisme juga merujuk pada ikatan identitas sebuah bangsa yang dibangun berdasarkan beberapa kesamaan yang dimiliki oleh orang-orang yang terikat dalam balutan identitas kelompok tersebut, seperti; nilai, sejarah, budaya, bahasa. Mengapa isu nasionalisme dan konflik etnik bisa mencuat pada tataran global, bahkan sering menjadi topik diskusi yang sering diperbincangkan pada level elite- elite politik di berbagai penjuru dunia. Tulisan ini merupakan sebuah upaya untuk 3
menggambarkan persoalan di atas sekaligus menjelaskan korelasi antara nasionalisme dan konflik etnik dalam tataran politik global.
Pengertian Nasionalisme Nasionalisme adalah paham/aliran tentang kebanggaan dan kecintaan terhadap eksistensi sebuah bangsa. Rasa bangga itu bersumber dari ikatan identitas, sejarah, budaya yang sama. Sehingga muncul keinginan untuk menjaga dan membangun ikatan tersebut dalam sebuah kelompok yang disebut dengan bangsa. Merujuk pada pendapat yang mengatakan bahwa doktrin utama dari nasionalisme didasarkan pada serangkaian asumsi bahwa; dunia terbagi ke dalam beberapa bangsa; bangsa adalah sumber dari segala kekuatan politik dan sosial, dan loyalitas kepada bangsa harus melampaui kecintaan terhadap yang lain; Manusia harus mempunyai atau memihak pada sebuah bangsa tertentu, jika mereka ingin bebas dan menyadari diri mereka; dan bangsa-bangsa harus terbebas dan aman jika dunia ingin damai dan adil (Ryan, 2005: 139). Untuk memahami makna nasionalisme secara komprehensif maka akan lebih baik dimulai dari konsep bangsa (nation). Bangsa adalah kumpulan sekelompok orang yang memenuhi kriteria objektif seperti bahasa atau kesukuan, atau gabungan dari kriteria seperti bahasa, wilayah bersama, sejarah bersama, ciri-ciri kebudayaan atau yang lainnya (Hobswan, 1990: 5). Bangsa berbeda dengan kelompok etnik, namun untuk membedakan antara bangsa dan kelompok etnik bukanlah sebuah pekerjaannya yang mudah. Salah satu alasannya adalah bahwa istilah bangsa dan 4
kelompok etnik sangat subjektif, artinya sekelompok orang itu sendiri yang menentukan pilihan ketika bagaimana mereka mendefinisikan identitas mereka dalam istilah bangsa atau etnik. Intinya bangsa adalah persoalan identitas, dan identitas merupakan hasil dari berbagai faktor berbeda, antara lain: ras, entitas, agama, budaya, pengalaman sejarah yang sama, atau kombinasi dari semua ini. Ketika identitas tersebut mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan menjadi basis utama bagi mobilisasi nasional maka hasil yang didapatkan adalah nasionalisme (Viotti & Kauppi, 2007: 464). Identitas kemanusiaan menjadi faktor penting untuk membedakan antara sebuah kelompok masyarakat (manusia) dengan kelompok lainnya dalam kehidupan sosial. Begitu juga ketika ingin membedakan sebuah bangsa dengan bangsa lainnya, maka identitas merupakan sesuatu yang melekat (embedded) pada sebuah bangsa tetentu. Meskipun istilah bangsa dan etnik selalu dikaitkan, dan terkadang penggunaan istilah keduanya sering dipertukarkan antara satu dengan lainnya untuk penyebutan sekelompok orang. Namun sebenarnya kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Suryadinata (2000) secara sederhana mendefinisikan bahwa kelompok etnik adalah kumpulan orang yang mempercayai bahwa mereka mempunyai garis keturunan yang sama (common ancestry). Sedangkan bangsa (nation) adalah komunitas orang-orang yang mempunyai warisan budaya (heritage) yang sama dan 5
ingin berbagi masa depan yang sama, dan salah satu komponen utamanya adalah bahasa. Terdapat dua bentuk bangsa, yaitu: ethnic nation dan social nation. Ethnic nation didasarkan pada satu kelompok etnik dan social nation adalah bangsa yang didasarkan pada kelompok multi-etnik. Baik ethnic nation dan social nation memiliki kesamaan komponen, yakni; sejarah, warisan (termasuk bahasa), nilai-nilai yang sering dijadikan basis rasa memiliki bangsa. Elite-elite politiklah yang kemudian mempromosikan rasa memiliki bangsa tersebut (sense of national belonging), yang sering disebut dengan istilah nasionalisme. Nasionalisme adalah upaya elite untuk mencapai tujuan-tujuan politik, itu artinya nasionalisme adalah sebuah konstruksi politik (Suryadinata, 2000: 344). Jadi nasionalisme mempunyai kandungan politis. Oleh sebab itu, nasionalisme diterjemahkan sebagai rasa kebangsaan, yang mana rasa kebangsaan tersebut digunakan sebagai gerakan sosial-politik baik untuk mempertahankan eksistensi bangsa maupun untuk proses nation-building.
Nasionalisme dan Globalisasi Istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer dan realitas hubungan internasional. Memasuki milennium ketiga, dunia berubah menjadi sangat cepat sehingga menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya saling ketergantungan (interdependence) dalam hampir seluruh dimensi kehidupan dalam 6
hubungan antarnegara bangsa (nation-state) dan hubungan transnasional (Budi Winarno, 2008: 16). Pengertian globalisasi menurut Jan Art Scholte (2000) seperti yang dituliskan kembali oleh Aleksius Jemadu (2008: 229-230) mencakup lima dimensi, antara lain: Pertama, globalisasi mencakup fenomena internationalization, maksudnya telah terjadi peningkatan hubungan lintas batas antara aktor-aktor seperti yang terjadi dalam dalam aliran barang, jasa, modal, teknologi dan bahkan manusia. Kedua, globalisasi juga mengandung arti adanya proses liberalization di sektor perdagangan, hal tersebut diwujudkan dalam bentuk pengurangan dan peniadaan hambatan dalam perdagangan internasional seperti hambatan tarif dan non-tarif. Liberalisasi perdagangan ini bertujuan untuk mereduksi peran negara dalam perdagangan internasional sehingga perekonomian menjadi lebih terbuka dan lebih dikendalikan oleh struktur dan mekanisme pasar yang cenderung bebas. Ketiga, pengertian globalisasi mengacu pada gagasan universalization yakni dalam bentuk penyebaran nilai-nilai yang bersifat universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia, bahkan sampai pada tataran gaya hidup (life style). Seperti model pakaian dan gaya hidup anak muda yang biasa ditemukan hampir di semua kota-kota metropolitan di seluruh dunia menunjukkan adanya indikasi proses penyeragaman budaya secara universal tanpa memandang latarbelakang agama, suku, dan bahasa. Keempat, globalisasi dilihat sebagai kelanjutan dari proses modernisasi yang identik dengan westernization. Dunia barat dengan peradaban yang sangat maju dilihat sebagai model yang harus ditiru oleh negara-negara berkembang meskipun peniruan itu 7
seringkali mengingkari akar budaya mereka yang sebenarnya. Penyebaran wacana dan praktek kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, konsumerisme, merupakan kekuatan yang sangat sulit untuk dibendung oleh masyarakat di negara-negara berkembang sehingga membawa berbagai dampak negatif bagi kehidupan sosial mereka. Kelima, globalisasi juga diyakini dapat menciptakan proses deterritorialization atau bisa juga disebut dengan a spread of supraterritoriality. Maksud dari pengertian ini adalah seiring dengan semakin kompleknya masalah hubungan internasional kontemporer berimbas pada munculnya rezim internasional baik dalam bentuk regulasi maupun institusi yang cakupan otoritasnya melampaui kedaulatan dan territoriality negara-bangsa. Ruang lingkup nasional tidak lagi dilihat sebagai space yang relevan dan mumpuni untuk pembuatan keputusan atau kebijakan karena semakin banyak isu yang harus diselesaikan pada level yang lebih tinggi baik regional maupun global. Kenyataan ini memaksa pemerintahan negara-negara untuk mengintegrasikan diri dalam sistem kerjasama global. Globalisasi mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap eksistensi sebuah bangsa. Globalisasi telah membangkitkan identitas etnik yang berpotensi mengancam nasionalisme dan negara-bangsa (nation-state). Beberapa kalangan memprediksikan bahwa dengan adanya globalisasi peran negara-bangsa akan berkurang secara signifikan. Globalisasi ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi, informasi, komputasi, dan transportasi yang begitu pesat dewasa ini. Realitas tersebut telah menciptakan sebuah kondisi, di mana sekat-sekat yang di masa lalu membatasi 8
interaksi antar individu, bangsa dan negara kini semakin tereduksi makna signifikansinya. Kemajuan teknologi telah membuat interaksi tersebut semakin intensif dan frekuentif, dengan kecepatan yang meningkat drastis dan biaya yang jauh semakin ekonomis. Implikasinya hampir terasa di segala bidang, seperti: politik, sosial-budaya dan ekonomi baik pada tingkat global maupun lokal. Dalam politik internasional misalnya; tragedi kemanusiaan di satu lokasi bisa dengan cepat dapat memicu kemarahan dan simpati global di berbagai penjuru dunia. Di bidang budaya terjadi intrusi budaya, perubahan gaya hidup (life style) masyarakat. Sedangkan di bidang ekonomi, kemajuan teknologi tersebut menyebabkan barang dan jasa bisa diproduksi di bagian mana pun dari belahan dunia ini asalkan terpenuhi kelayakan teknis dan ekonomisnya, serta bisa dijual kemana pun yang mampu memberikan harga setinggi mungkin (Drajat Wibowo, 2007). Globalisasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi memberikan peluang yang begitu besar bagi kelompok etnik untuk memperkuat eksistensi mereka di tingkat global dengan tujuan memperjuangkan hak-hak sosial, ekonomi dan politik mereka. Kemajuan teknologi juga telah menyadarkan kelompok etnik tentang identitas dan posisi mereka dalam sebuah negara. Dengan gambaran di atas mengindikasikan bahwa globalisasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap nasionalisme. Nasionalisme dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Di satu sisi nasionalisme dilihat (as a reaction against globalization) sebagai sebuah reaksi 9
terhadap globalisasi, dan di sisi lain (as a product of globalization) nasionalisme dianggap sebagai hasil dari globalisasi itu sendiri (Halliday, 2001: 523). Dalam tataran empirik biasanya semangat nasionalisme sebuah identitas kelompok dapat menguat dan muncul ke permukaan ketika proses globalisasi yang terjadi mulai mengganggu dan mengancam kepentingan-kepentingan kelompok etnik tertentu. Sementara dalam kondisi yang berbeda, nasionalisme justru diasumsikan sebagai hasil dari proses globalisasi. Globalisasi yang melanda dunia berpengaruh serius terhadap eksistensi negara, bahkan dapat dikatakan telah terjadi kegagalan dalam state buiding, seperti yang terjadi pada Uni Soviet, Czechoslovakia, Yugoslavia, Ethiopia yang notabene adalah negara-negara multi-etnik. Empat negara di atas mengalami disintegrasi dan menjadi 22 negara baru dengan konstruksi nasionalisme yang baru pula. Nasionalisme dalam konteks negara dapat berperan sebagai sebuah ideologi atau gerakan sosial (social movement). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme merupakan ide normatif di mana sebuah bangsa dapat eksis secara objektif dan memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Seperti yang dinyatakan oleh Halliday (2001: 524), nationalism is all above a moral principle which claims that nations do exist, that they should coincide with i.e. cover the same people as political communities and that they should be self ruling. Sedangkan sebagai sebuah gerakan sosial (social movement), nasionalisme dibangun untuk membebaskan atau memerdekaan diri dari jeratan kolonialisme. Gagasan dan ekspektasi yang kuat untuk menentukan nasib sendiri menjadi dasar pergerakan 10
kelompok nasionalist agar dapat menjadi bangsa yang mandiri tanpa harus dikontrol oleh kekuatan kolonial. Dengan kata lain nasionalisme dapat dijadikan sebagai alasan untuk memisahkan diri negara induk yang mengalami kendala dalam proses state building atau bahkan terkadang dari social movement inilah terjadi konflik etnik, terutama di negara-bangsa yang multi-etnik.
Beberapa Faktor Penyebab Konflik Etnik Munculnya sejumlah konflik etnik dalam perpolitikan global bukanlah sesuatu yang instant dan tiba-tiba, melainkan melalui proses yang panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Michael E. Brown (2001: 5-13) mengklasifikasikan empat cluster faktor yang menyebabkan pecahnya konflik etnik, antara lain: struktural, politik, sosial-ekonomi, budaya-persepsi. Pertama, faktor struktural, penyebab utama dari munculnya konflik etnik adalah karena struktur negara yang lemah (weak state). Banyak negara terutama negara-negara dunia ketiga yang notabene merupakan negara bekas kolonial kurang mempunyai legitimasi politik, dan tidak memiliki institusi politik yang kuat yang mempunyai kapabilitas untuk mengontrol wilayah territorial kekuasaannya. Kenyataan ini juga dipengaruhi oleh kurangnya dukungan eksternal baik secara moral maupun finasial terhadap pembangunan domestik, lebih lanjut negara seringkali dilemahkan oleh problem internal seperti; praktek korupsi, birokrasi yang tidak kompenten, ketidakmampuan meningkatkan pembangunan ekonomi. Kondisi negara yang lemah biasanya sangat rentan terhadap konflik kekerasan antar elite politik 11
untuk memperebutkan kekuasaan, yang pada akhirnya juga akan melibatkan kelompok-kelompok etnik di dalam negara, terutama di negara yang multi-etnik. Konsekuensi dari lemahnya struktur negara adalah munculnya ancaman keamanan yang harus menjadi perhatian utama negara (intra-state security concern). Apabila negara lemah, maka setiap kelompok dan individu harus berupaya untuk menciptakan rasa aman mereka secara mandiri. Kondisi seperti ini tentu saja berpotensi bagi terjadinya konflik etnik, dimana kelompok etnik yang dominan selalu berupaya untuk menguasai kelompok minoritas. Kedua, sedangkan secara politis faktor utama yang menstimulan munculnya konflik etnik adalah adanya praktek diskriminasi politik terhadap kelompok etnik tertentu oleh institusi politik. Faktor lain yang juga dapat memicu pecahnya konflik kekerasan karena adanya eksklusifitas dari kelompok etnik tertentu dalam formulasi ideologi nasional. Semestinya konstruksi nasionalisme diinstitusionalisasikan secara demokratis yang menghargai perbedaan. Lebih lanjut, faktor dominasi oleh kelompok tertentu dalam sistem politik juga bisa menimbul konflik kekerasan. Ketiga, faktor sosial dan ekonomi. Setiap negara pasti mempunyai masalah ekonomi dengan tingkat derajat yang berbeda-beda. Problem ekonomi yang dihadapi misalnya; pertumbuhan ekonomi yang lambat, inflasi, resesi ekonomi, krisis mata uang, pengangguran. Untuk mengatasi persoalan ekonomi tersebut dibutuhkan kebijakan reformasi ekonomi, namun tidak selamanya reformasi kebijakan ekonomi dapat membantu memecahkan problem ekonomi dalam waktu yang singkat, bahkan dalam hal tertentu economic reform policy dapat berdampak pada terciptanya frustasi 12
sosial. Lantas upaya untuk memperbaiki kondisi perekonomian maka dibutuhkan pembangunan ekonomi. Akan tetapi proses pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada modernisasi dan industriliasasi tersebut dapat menimbulkan dampak sosial yang sangat membahayakan keamanan nasional. Selain itu, sistem ekonomi yang diskriminatif dapat memperparah kondisi yang ada, dimana akses terhadap ekonomi yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial tidak terbuka lebar untuk semua individu dan kelompok. Kenyataan seperti ini sekali lagi dapat menyebabkan konflik antar kelompok etnik, terutama bagi mereka yang merasa kebutuhan dasar ekonominya terganjal atau belum terpenuhi. Keempat, identifikasi terakhir dari faktor yang dapat menyebabkan konflik etnik adalah budaya dan persepsi. Faktor budaya merupakan hal yang paling sensitif. Diskriminasi kultural yang dialami oleh kelompok etnik minoritas sangat berpotensi bagi muncul konflik kekerasan. Adapun bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami seperti; ketidakseimbangan akses terhadap pendidikan, hukum, kesehatan, hambatan politik, bahasa minoritas, kebebasan beragama. Faktor persepsi juga sangat menentukan sekaligus berbahaya. Karena setiap kelompok mempunyai keleluasaan untuk mempersepsikan diri mereka dan kelompok yang lain berdasarkan warisan sejarah yang mereka yakini. Hal ini menjadi berbahaya karena dapat menciptakan kondisi di mana ada kelompok yang merasa paling berhak untuk berkuasa dalam sistem kehidupan sosial.
13
Korelasi antara Nasionalisme dan Konflik etnik Menurut Viotti dan Kauppi (2007), ada dua kecenderungan utama pasca berakhirnya perang dingin. Pertama, adanya interdependensi global dalam sistem hubungan internasional, tidak hanya kerjasama internasional di bidang ekonomi tetapi juga kerjasama internasional di bidang politik dan keamanan. Berbagai macam aktor dari negara, organisasi internasional, sampai masyarakat internasional (gerakan civil society) terintegrasi dalam sebuah hubungan resiprokal dan saling membutuhkan untuk menanggulangi atau mengelola agenda kepentingan bersama. Adapun kecenderungan kedua yang terjadi dalam perpolitikan global adalah terjadinya krisis otoritas pada setiap level pengorganisasian kekuasaan (Aleksius Jemadu, 2008:19). Yang dimaksud dengan krisis otoritas adalah adanya upaya insubordinasi yang dilakukan oleh anggota atau elemen sebuah sistem (kelompok etnik tertentu) terhadap kewenangan pusat kekuasaan. Resistensi ini terjadi karena mereka merasa sering mendapat perlakuan yang diskriminatif yang diperparah dengan adanya pengingkaran terhadap keberadaan mereka (unrecognized existence) sebagai sebuah entitas dalam negara. Fenomena krisis otoritas ini terutama melanda negara-negara yang kemudian mengalami disintegrasi dan menciptakan banyak negara baru. Pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia serta munculnya gerakan etnonasionalisme di hampir seluruh penjuru dunia merupakan manifestasi dari krisis otoritas dalam negara. Setelah berakhirnya perang dingin, nasionalisme muncul kembali sebagai sesuatu yang menantang dan menarik dalam tatanan dunia. Banyak negara yang 14
mengalami disintegrasi sebagai hasil dari konflik etnik dan konflik agama yang diinterpretasikan sebagai benturan perbedaan nasionalisme. Pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia terbagi menjadi beberapa negara kecil merupakan contoh konkrit. Situasi di Balkan sering disebut sebagai contoh disintegrasi nasional. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa nasionalisme dan agama sebagai dua faktor penting yang telah memecah belah daerah Balkan, tetapi sebagian yang lain menghubungkannya dengan proses globalisasi (Suryadinata, 2000). Dalam sebuah negara yang multi-etnik mempunyai potensi konflik antara satu etnik dengan etnik lainnya. Konflik etnik terjadi ketika terdapat dua atau lebih etnis yang tidak bisa menjaga keutuhan hidup bersama dan berdampingan dalam sebuah kerangka nation-state. Konsep bangsa dan negara sering kali digunakan secara tertukar untuk menggambarkan identitas sekelompok orang. Padahal istilah bangsa dan negara mempunyai hakikat makna yang berbeda. Istilah negara (state) adalah konsep resmi yang merujuk pada sebuah populasi yang diatur oleh sebuah pemerintah pada sebuah wilayah berdaulat tertentu dan diakui keberadaannya oleh negara berdaulat lainnya. Sedangkan istilah bangsa merujuk pada populasi dengan identitas yang memiliki kesamaan komponen seperti bahasa, budaya, sejarah dan ideologi. Menggambarkan hubungan antara nasionalisme dan konflik etnik bukanlah perkara mudah. Hubungan keduanya semakin kompleks dan rumit ketika tuntutan untuk membangun bangsa atau negara dihadapkan pada keragaman etnik. Oleh karena itu, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang korelasi antara nasionalisme dan konflik etnik maka perlu mengaitkannya dengan persoalan 15
demokrasi. Nodia (1998) menegaskan bahwa ide tentang nasionalisme tidaklah mungkintak dapat dipertimbangkantanpa ide tentang demokrasi, dan begitu juga sebaliknya bahwa demokrasi tak akan pernah ada tanpa nasionalisme. Inti dari demokrasi adalah ide tentang kedaulatan rakyatyakni ide bahwa kehendak rakyat haruslah menang. Namun dalam teori demokrasi itu sendiri tidak ada sesuatu yang menunjukkan di mana batas-batas negara atau domain dari rakyat yang berdaulat. Memang ada prinsip tentang penentuan nasib diri sendiri (self ruling), tapi tidak ada standar yang jelas untuk menentukan apa dan siapa yang sesungguhnya yang dimaksud dengan diri sendiri yang mempunyai hak untuk menentukan nasib politiknya sendiri. Ketika dalam negara demokrasi terdapat kelompok dominan yang berkuasa dan tidak mau berbagi kekuasaan secara adil, maka saat itulah kemudian akan muncul benturan etnik. Terutama kelompok etnik yang merasakan hak dan nasib politiknya tidak terakomodir dalam sebuah ikatan nasionalisme yang diusung menjadi ideologi negara tertentu. Prinsip-prinsip demokrasi semestinya menjamin hak-hak dan kepentingan setiap kelompok etnik yang berada dalam naungan nasionalisme tertentu. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat terwujud ketika pemerintahan sebuah negara hanya didominasi oleh satu kelompok etnik tertentu dan secara simultan memarginalkan kelompok etnik yang lain. Kondisi ini kemudian diperparah oleh faktor struktural seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, penindasan, dan kinerja pemerintah yang buruk. Hal ini tentu saja akan menstimulan adanya insubordinasi oleh kelompok etnik minoritas yang merasa kepentingan dan hak-hak 16
sosial, ekonomi, politik mereka tertindas atau bahkan tidak tertampung pada nasionalisme yang sudah dibangun, sehingga kelompok minoritas tersebut cenderung mempunyai keinginan untuk memisahkan diri dari negara induknya dan muncul dengan nasionalisme baru mereka. Konflik etnik pun, paling tidak dalam manifestasinya yang lebih keras telah dipandang sebagai milik negara-negara Dunia KetigaAsia dan terutama Afrika yang mengalami kekerasan konflik etnik dengan derajat yang sangat tinggi selama masa perang dingin. Rezim demokrasi konstitusional seperti di Srilanka, Lebanon, Nigeria telah dihancurkan oleh konflik etnik yang mengakibatkan perang saudara (Diamond & Platter, 1998). Sementara itu, globalisasi semakin memperparah kondisi tersebut terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Globalisasi membawa implikasi yang cukup serius. Globalisasi ternyata mampu membangkitkan semangat identitas etnik yang sangat berpotensi terhadap muncul gesekan antar etnik terutama di negara yang multi-etnik. Budi Winarno (2009) menegaskan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh sebagian besar negara Dunia Ketiga dengan segala dimensinya telah menciptakan suatu struktur masyarakat yang timpang, tidak adil dan eksploitatif. Kondisi ini semakin parah ketika arus globalisasi menerpa dunia. Hal ini tentu saja akan menggerogoti unsur-unsur nasionalisme yang berakhir dengan pecahnya konflik etnik dalam sebuah negara.
17
Penyebab dan Dampak Kemunculan Isu Nasionalisme Mencuatnya kembali isu nasionalisme dalam perpolitikan global kontemporer merupakan fenomena yang menarik untuk diperhatikan. Doktrin nasionalisme awalnya merupakan sebuah ide yang dikembangkan sebagai instrumen untuk melawan kolonialisme dan imperialisme. Namun dalam politik kontemporer, nasionalisme tidak hanya dimaksudkan untuk hal tersebut, melainkan juga untuk memperjelas identitas yang dimiliki oleh kelompok etnik tertentu. Disintegrasi yang terjadi di beberapa negara merupakan konsekuensi logis dari kemunculan isu nasionalisme dalam politik dunia kontemporer. Lantas faktor-faktor apa yang menyebabkan isu nasionalisme muncul kembali ? Pertama, ketidakmampuan masing-masing kelompok etnik yang tergabung dalam sebuah naungan nasionalisme untuk menjaga keutuhan hidup bersama dan berdampingan (co-existences). Kondisi ini biasanya dimulai oleh adanya dominasi sebuah kelompok etnik dalam kekuasaan politik , kelompok etnik yang dominan tidak mau berbagi kekuasaan secara adil. Akibatnya kelompok yang lain terpinggirkan, hal ini kemudian menginspirasi mereka untuk mencari jalan keluar dengan melakukan resistensi kepada rezim yang berkuasa, pada titik inilah konflik etnik terjadi. Jika tidak berhasil maka timbul keinginan untuk memisahkan diri dengan menciptakan nasionalisme baru yang dapat menempatkan mereka pada posisi terhormat. Kedua, pembangunan yang tidak merata menghasilkan struktur masyarakat yang timpang terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Akibatnya jelas sekali kesenjangan sosial, ada kelompok etnik yang secara ekonomi sangat diuntungkan 18
oleh pembangunan tersebut. Namun di lain pihak terdapat kelompok etnik (biasanya minioritas) yang termarginalkan bahkan cenderung tereksploitasi, sehingga mereka tidak bisa merasakan kemakmuran seperti yang didapat oleh kelompok etnik dominan. Kondisi seperti ini tentu saja dapat memicu munculnya gesekan antar konflik. Ketiga, kinerja pemerintah yang tidak baik merupakan faktor yang paling penting yang dapat menciptakan structural violence. Akibatnya akan terjadi diskriminasi, ketidakadilan dimana hak-hak sosial, politik dan ekonomi rakyat tidak tertangani dengan baik. Sehingga muncul krisis kepercayaan terhadap pemerintah oleh kelompok etnik yang merasa tidak diuntungkan oleh kebijakan pemerintah yang diskriminatif tersebut. Keempat, globalisasi menjadi faktor yang semakin memperparah keadaan. Globalisasi semakin menyadarkan kelompok etnik tertentu tentang identitas dan posisinya dalam sebuah negara. Sehingga seringkali mereka menuntut hak-hak yang selama ini tidak mereka dapatkan dari negara, kondisi seperti ini sangat rentan bagi munculnya konflik antar etnik yang disertai dengan aksi kekerasan. Dampak yang paling nyata dari konflik-konflik etnik yang bersumber nasionalisme dalam perpolitikan global kontemporer diantaranya adalah adanya aksi pelanggaran HAM seperti genosida dan praktek penindasan oleh kelompok yang dominan terhadap kelompok minoritas. Dampak lainnya adalah persoalaan pengungsian yang terjadi karena terdapat sebuah kelompok etnik yang merasa terancam keamanan mereka di tempat asal. Dampak yang paling ekstrem adalah 19
terjadinya disintegrasi karena ada kelompok etnik tertentu yang merasa tidak terakomodir dalam ikatan nasionalisme yang terdahulu, sehingga mereka berinisiatif untuk menciptakan nasionalisme baru dan memisahkan diri dari negara induknya. Kesimpulan Gagasan utama yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah tentang fenomena kemunculan nasionalisme dan konflik etnik yang semakin kencang berhembus dalam perpolitikan global. Isu nasionalisme dan konflik telah terlanjur identik dengan keberadaan negara-negara Dunia Ketiga (Asia dan Afrika) terutama di negara-negara yang multi-etnik. Identitas kebangsaan merupakan topik sentral. Identitas kebangsaan menjadi penting untuk dipertegas karena mengandung konsekuensi-konsekuensi politik di dalamnya, apalagi jika diorientasikan untuk mempertegas eksistensi suatu bangsa. Asumsi yang menyebutkan bahwa isu nasionalisme mempunyai korelasi erat dengan isu konflik etnik dapat dibenarkan, terutama setelah era perang dingin dan saat dunia dilanda dengan gelombang arus globalisasi yang begitu deras. Diduga kuat bahwa nasionalisme menjadi faktor pemicu utama bagi munculnya konflik-konflik etnik. Adanya konflik etnik tersebut semakin tak terkendali karena ada faktor globalisasi yang telah berhasil membangkitkan kesadaran kelompok etnik tentang identitas dan posisi mereka, sehingga mereka mampu melihat dan merasakan ketidakadilan dan kesenjangan. Dengan alasan itulah kemudian mereka melakukan perlawanan yang dimaksudkan untuk menuntut hak-hak dan kepentingan mereka, manifestasi dari perlawanan inilah yang berujung pada konflik etnik. 20
Daftar Pustaka
Brown, E. Michael & Owen R. Cote. Jr., (edt).2001. Nationalism and Ethnic Conflict. MIT Press, Cambridge. Diamond, Larry dan Marc F. Plattner (eds). 1998. Nasionalisme, Konflik Etnik dan Demokrasi. ITB Bandung. Halliday, Fred. 2001.Nationalism dalam John Baylis and Steve Smith (eds). 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Oxford University Press. Hobsbawn, E.J. 1992. Nasionalisme Menjelang Abad XXI. Yogjakarta. PT. Tiara Wacana Yogya. Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktek. Graha Ilmu, Yogyakarta. Nodia, Ghia. 1998. Nasionalisme dan Demokrasi dalam Diamond, Larry dan Marc F. Plattner (eds). 1998. Nasionalisme, Konflik Etnik dan Demokrasi. ITB Bandung. Ryan, Stephen.2001.Nationalism and Ethnic Conflict dalam Brian White, Richard Little and Michael Smith (eds).2001. Issues in World Politics. Second Edition. Oxford University Press. Suryadinata, Leo (eds). 2000. Nationalism and Globalization: East and West. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Viotti Paul R and Mark V. Kauppi.2007. International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity, Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall. Wibowo, Drajat. 2007. Menjadi Pemenang dalam Globalisasi dalam Stiglitz, J.E. 2007.Making Globalization Work (edisi terjemahan) Mizan, Bandung. Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara vs Pasar. Yogyakarta. Media Pressindo