Studi Kasus di Denpasar dan Buleleng, Bali Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sanitasi Masyarakat
Oleh :
NEVYA RIZKI 21080110110017
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013 ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan Kehadiran Tuhan Yang Mahas Esa karena hanya dengan limpahan rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah Sanitasi Masyarakat yang berjudul Pengelolaan dan Pengolahan Sampah (TPST dan TPA) ini dengan baik. Rasa terimakasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini. Terima kasih ditujukan kepada dosen pengampu mata kuliah Manajemen Lingkungan Perkotaan yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami. Kami juga mengucapkan terimaksih kepada pihak- pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Akhir kata kami juga berharap agar makalah ini dapat bermanfaat.
Semarang, 22 Desember 2013
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6 2.1 Definisi Sampah ........................................................................................... 6 2.2 Karakteristik dan Komposisi Sampah .......................................................... 6 2.3 Rencana Pengelolaan Sampah...................................................................... 6 2.4 Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) ............................................. 9 2.5 Metode Pembuangan Akhir Sampah .......................................................... 13 2.6 Perencanaan Tempat Pemrosesan Akhir untuk Operasional Sanitary Landfill .................................................................................................................. 14 2.5 Operasional TPA ............................................................................................. 16 2.5.1 Persiapan Lahan TPA ........................................................................... 16 2.5.2 Tahapan Operasi Pembuangan ............................................................. 16 2.5.3 Pengaturan Lahan ................................................................................. 17 2.5.4 Persiapan Sel Pembuangan .................................................................. 18 2.5.5 Pembongkaran Sampah ........................................................................ 19 2.5.6 Perataan dan Pemadatan Sampah ......................................................... 19 2.5.7 Penutupan Tanah .................................................................................. 20 2.6 Pemeliharaan TPA .......................................................................................... 21 2.6.1 Umum ................................................................................................... 21 2.6.2 Pemeliharaan Alat Bermesin (Alat Berat, Pompa, dll) ........................ 21 2.6.3 Pemeliharaan Jalan ............................................................................... 21 2.6.4 Pemeliharaan Lapisan Penutup ............................................................ 22 2.6.5 Pemeliharaan Drainase ......................................................................... 23 2.6.6 Pemeliharaan Fasilitas Penanganan Lindi ............................................ 23 2.6.7 Pemeliharaan Fasilitas Lainnya ........................................................... 23 BAB III PENUTUP .............................................................................................. 24 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25
4
BAB I PENDAHULUAN
Dengan meningkatnya laju pembangunan, penambahan penduduk, serta aktifitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat telah memicu terjadinya peningkatan jumlah timbunan sampah dari hari ke hari. Sampah sampah tersebut terbagi menjadi sampah organik dan anorganik. (Hadiwiyoto,1983) Permasalahan sampah tersebut dialami juga pada daerah perencanaan TPA yaitu Kota Semarang yang perlu dikelola secara profesional,sebab apabila tidak dilakukan penanganan yang baik maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan terutama mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air dan udara. Tempat Pemrosesan Akhir Kota Semarang saat ini bernama TPA Jatibarang terletak di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, Kotamadya Semarang. TPA Jatibarang ini banyak kekurangan fasilitas-fasilitas seperti alat berat, perpipaan lindi dan gas, saluran drainase, pagar pembatas, dan zona penyangga (Anonim, 2006). Belum berfungsinya saluran lindi secara optimal sehingga tidak semua lindi dapat diolah ke Instalasi Pengolahan Air Lindi yang telah disediakan sehingga sistem pengolahanya berubah menjadi open dumping. Sampah hasil pengangkutan dibuang begitu saja ke TPA tanpa adanya pengolahan secara aman bagi lingkungan dan umur TPA akan segera habis. Metode open dumping ini sangat berpotensi untuk menimbulkan pencemaran dan gangguan lingkungan seperti pencemaran air tanah dan tanah itu sendiri, menyebarkan bau, dan dapat menjadi sarang/tempat perkembangan vektor penyakit seperti nyamuk, lalat dan tikus. Untuk itu metode open dumping sudah harus ditingalkan dan diganti dengan metode sanitary landfill yang lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan. (Damanhuri, 1995) Berdasarkan gambaran diatas untuk mengatasi permasalahaan lingkungan ini perlu adanya lokasi baru TPA sebagai pengganti TPA Jatibarang. Meninjau keadaan tersebut, maka diperlukan suatu desain baru perencanaan TPA dengan 5
sistem sanitary landfill untuk memperpanjang umur pakai TPA guna mengantisipasi pertambahan jumlah timbulan sampah, serta menjadikan pengelolahan sampah yang ramah lingkungan. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sampah Sampah perkotaan menurut SK SNI T-11-1991-03 adalah sampah non B2 (sampah berbahaya) dan non B3 (bahan berbahaya beracun). Sedangkan pengertian sampah menurut Depkes RI (1994) adalah bahan-bahan yang tidak berguna, tidak digunakan ataupun yang terbuang. Menurut Azrul Azwar (1983) sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan Industri) tetapi bukan biologis dan umumnya bersifat padat. Sampah dapat didefinisikan sebagai buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan hewan berupa padatan, yang dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak dibutuhkan lagi (Tchobanoglous et al., 1993).
2.2 Karakteristik dan Komposisi Sampah Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menjadi (Hadiwiyoto,1983) : 1. Sampah organik Sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik dan tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Sampah organik memiliki sifat mudah didegradasi oleh mikroba contohnya : daun-daunan, sisa-sisa makanan, sayur, buah. 2. Sampah anorganik Sampah anorganik adalah sampah yang mengandung senyawa bukan organik dan tidak dapat didegradasi oleh mikroba. Contoh sampah jenis ini adalah kaleng, plastik, besi dan logam lainnya, gelas, mika, dan sebagainya.
2.3 Rencana Pengelolaan Sampah Sistem dasar pengelolaan sampah adalah pengumpulan/pewadahan - pengangkutan - pembuangan. Namun dengan bergesernya sistem pengelolaan yang baru dan lebih baik kemudian disisipkan pengolahan sampah sebelum masuk TPA dan setelah berada di TPA. Pengolahan sampah bisa dilakukan di hulu dan di hilir . Pengolahan di hulu adalah cara mebgurangi timbulan sampah sebelum di bawa ke TPA, pengolahan ini bisa di lakukan secara individu di rumah atau pemukiman serta bisa di lakukan di kelompok swadaya masyarakat saat sampah 7
berada di TPS. Pengolahan di hilir adalah cara pengurangan timbulan sampah ketika sudah masuk area TPA. Sampah di pilah-pilah sampah organik dan anorganik, kemudian sampah organik di dekomposisi atau pengomposan, sedangkan sampah anorganik di daur ulang. Proses daur ulang ini berupa 3R , reduce adalah mengurangi sampah dari sumbernya artinya mngurangi terbentuknya sampah dari awal dan mencegah terbentuknya sampah. Reuse menggunakan kembali, tidak semua barang yang sudah tidak terpakai atau sudah tidak mempunyai fungsi utama berarti barang tersebut sampah . Banyak sampah yang bisa di reuse , misalnya kaleng minuman bisa di jadikan tempat pensil. Yang ketiga recycle , Ketika sampah tersebut sudah tidak bisa dimanfaatkan dari wujud aslinya namun sampah tersebut bisa di ubah menjadi wujud lain yang memiliki nilai ekonomi. Contohnya memanfaatkan kertas tidak terpakai menjadi bubur kertas dan diubah menjadi kerajinan daur ulang kertas. Untuk sampah organik pengolahan yang sering digunakan adalah dengan sistem pengomposan. Skema pengelolaannya adalah pengurangan di sumber - pengumpulan/pewadahan - pengangkutan ke TPS - pengolahan skala TPS - pengangkutan ke TPA - pengolahan-pemrosesan akhir(penimbunan atau landfilling ).
Hulu dengan Pengolahan dan Hilir dengan Pengolahan (Alternatif 1) Alternatif sistem pengolahan sampah ini sangat dianjurkan karena dapat benar-benar mengurangi jumlah timbulan sampah di TPA selain itu sampah benar-benar dimanfaatkan kembali dengan proses daur ulang. Hulu dengan pengolahan adalah kegiatan pengelolaan dan pengolahan sampah sebelum diproses dan ditimbun ke TPA. Kegiatan hulu dapan berupa pengelolaaan sebelum sampah diangkut ke TPS atau pengelolaan di TPS. Jika sebelum sampah diangkut ke TPS, sampah rumah tangga dapat diolah atau dikelola secara individu baik dengan memanfaatkan sampah organik menjadi kompos dengan takakura atau mendaur ulang sampah anorganik menjadi kerajinan tangan. Kemudian sampah yang tidak bisa dikelola secara individu sampah dikumpulkan dalam wadah (biasanya berupa drum) untuk diangkut dengan gerobak atau motor sampah oleh pengangkut sampah ke TPS. Ada juga diambil oleh pemulung. Di TPS masih terjadi pemilahan sampah, biasanya ada lagi pemulung keliling atau pengangkut sampah itu sendiri yang memilah, barang-barang yang dipilah bisanya sampah anorganik yang kemudian bisaa diloakan. Dari TPS kemudian sampah diangkut ke TPA menggunakan truk sampah. Ditempat pemrosesan akhir ini kegiatan hilir dengan pengolahan dilakukan. Sampah yang diangkut dengan truk sampah setelah masuk TPA kemudian sampah organik diolah dengan sitem pengomposan yang ada di TPA sedangkan sampah anorganik didaur ulang dengan reduce/recycle. 8
Sebagian besar TPA di Indonesia sampahnya masih dipunguti oleh pemulung, positifnya sampah menjadi berkurang kembali. Tahap paling akhir adalah ketika sampah sudah tidak bisa diolah atau residu dari hasil pengolahan sampah kemudian ditimbun dengan tanah atau proses landfilling .
Gambar 5.7 Diagram Alir Sistem Pengolahan Pengurangan di Sumber ( pengomposan dan daur ulang skala rumah tangga ) Pengumpulan dan Pewadahan Pengangkutan ke TPS ( grobak sampah, motor sampah ) Pemilahan dan Pemanfaatan di TPS Pengangkutan ke TPA ( Truk Sampah ) Pemilahan dan Daur ulang di TPA - Pengomposan untuk sampah organik - Sampah anorganik di daur ulang / dipungut pemulung ) Pemrosesan akhir ( penimbunan / landfilling ) Sebagian di pungut pemulung Sebagian di pungut pemulung
9
Tabel Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pengolahan Alternatif 1 SISTEM PENGOLAHAN KELEBIHAN KEKURANGAN HULU DENGAN PENGOLAHAN DAN HILIR DENGAN PENGOLAHAN 1. Dapat mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan dari sumbernya 2. Meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya mengolah dan mengelola sampah 3. Mendatangkan manfaat dari segi ekonomi warga dengan kegiatan mendaur ulang sampah dan komposting 4. Meningkatkan pendapatan suatu daerah 5. estetika lingkungan 6. Mengurangi jumlah timbulan sampah di TPA 7. Mengurangi kapasitas lahan penimpunan akhir sampah 8.Dapat memperpanjang umur TPA 9.Pengendalian pencemaran 10. Sampah mempunyai nilai kembali menjadi produk lain 11. Mengurangi ceceran sampah saat diangkut ke TPS dan TPA 1. Tergantung kondisi keadaan masyarakat hulu , harus mengerti dan mampu dalam pengelolaan sampah 2. Butuh biaya yang besar di awal pengoperasian 3. Jika dana PDRB atau keuangan daerah rendah maka akan menyulitkan pengopersasian pengelolaan
2.4 Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Tempat penampungan sementara, yang selanjutnya disingkat TPS, adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Sedangkan tempat pengolahan sampah terpadu, yang selanjutnya disingkat TPST, adalah tempat dilaksanakannya kegiatan penggunaan ulang, pendauran ulang, pemilahan, pengumpulan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
10
TPST 3R umumnya terdiri dari: Penampungan sampah sementara Pemilahan sampah Pengolahan sampah Sistem pengangkutan skala komunal Sistem manajemen
Penampungan sampah sementara umumnya berupa tempat untuk menampung sampah sementara dari sumber sampah (rumah tangga dan usaha), sebelum dilakukan proses selanjutnya (pemilahan dan pengolahan).
Selanjutnya sampah dipilah berdasarkan organik dan anorganik, juga dipilah jika ada sampah yang langsung bisa digunakan lagi. Idealnya pemilahan sudah dilakukan di sumber sampah (rumah tangga), tapi mengajak atau memaksa rumah-rumah tangga melakukannya sangat tidak mudah. Sampah organik diolah menjadi kompos dengan mesin composting. Sampah anorganik tergantung jenisnya dan juga tergantung kreatifitas masing- masing TPST 3R. Misalnya yang berupa plastik dimasukkan ke mesin pencacah 11
plastik untuk kemudian dijual dalam bentuk biji plastik, yang berupa besi dikumpulin, ditimbang, dan dijual, dan sebagainya.
Dari proses-proses di atas ada dua benefit utama yang didapat; Reduksi sampah, dalam hal ini akan meringankan beban TPA. Nilai tambah ekonomi dari penjualan kompos, biji plastik, besi, dan sebagainya.
Manajemen TPST 3R dan Tantangannya Dari sisi pemberdayaan dan pengelolaan lingkungan, msayarakat mendapatkan manfaatnya. Akan tetapi belum memasuki kondisi ideal karena operasional sehari-hari pada umumnya masih mendapatkan subsidi, meskipun tidak besar, misalnya dari Kantor Desa. Di luar subsidi (pusat, daerah, desa), beberapa potensi sumber pendapatan TPST 3R bisa didapat dari: Iuran rumah tangga. Rumah tangga bisa ditarik iuran dengan kompensasi sampahnya terangkut oleh pengelola TPST. Hasil pengolahan sampah (kompos, biji plastik, penjualan sampah terpilah, dsb.) Beban kerja pengelola TPST bisa dikurangi dengan memberikan insentif kepada rumah tangga yang mau memilah sampahnya dari sumbernya. Di antaranya adalah dengan; Menyediakan dua tong (organik dan anorganik) ke masing-masing rumah tangga anggotanya. Menggunakan konsep Bank Sampah. Seperti halnya bank, bank sampah adalah tempat menabung, tetapi yang ditabung adalah sampah. Syarat menabung sampah adalah harus sudah dipilah dulu sehingga pihak pengelola Bank Sampah tinggal menimbang saja kemudian menilai sampah yang ditabung dengan rupiah. Dengan adanya insentif ini, rumah- rumah tangga akan mau secara disiplin memilah sampah buangannya. Bahkan beberapa rumah tangga ada yang justru yang mendatangi Bank Sampah (bukan diambil pengelola), sehingga juga meringankan beban kendaraan angkut dan tenaganya. 12
Semua pembangunan TPST 3R yang dilakukan oleh pusat terbukti telah membawa manfaat baik untuk kelestarian lingkungan maupun pemberdayaan masyarakat. Bahkan program-program TPST 3R telah direplikasi oleh Pemerintah Daerah menjadi beberapa program sejenis, yang mengindikasikan adanya respon positif dari masyarakat dan Pemeritah Daerah. Semua program yang dijalankan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, adalah merupakan gabungan antara swadaya masyarakat dan subsidi pemerintah. Investasi awal berupa alat angkut, mesin composting, mesin pencacah pada umumnya dilakukan penuh oleh pemerintah dan operasionalnya dilakukan secara swadaya masyarakat. Program sudah berjalan setahun lebih dan mampu memberikan banyak manfaat. Tantangan ke depan, bisakah bentuk TPST 3R ini tetap sustainable? Atau lebih ke depan lagi, mungkinkah dibangun TPST 3R dengan murni dilakukan oleh swadaya masyarakat atau swasta? Tentu harus kita hitung secara lebih matang kelayakan investasinya. Kita perlu cari teknologi yang paling efisien, serta manajemen pengelolaan yang paling pas. Jika mungkin, tentu akan sangat membantu masalah pengelolaan persampahan, terutama perkotaan.
13
Model Pengolahan Sampah di TPST
Rancangan TPST Fasilitas daur ulang sampah direncanakan pada lokasi depo yang memiliki luas < 400 m2, sedangkan depo dengan luas > 400 m2 digunakan untuk fasilitas komposting. Pemilihan lokasi juga memperhatikan jumlah depo masing-masing kelurahan. TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu: tempat kontainer, tempat pemilahan dan tempat penyimpanan. Kontainer hanya digunakan untuk pengumpulan residu yang akan dibuang ke TPA. Satu TPS dirancang hanya membutuhkan satu kontainer. Kapasitas pengolahan dihitung berdasarkan kebutuhan lahan yang diperlukan untuk sorting (pemilahan) dan penimbunan tiap 1 m3 sampah.
2.5 Metode Pembuangan Akhir Sampah Pembuangan akhir sampah adalah merupakan rangkaian atau proses terakhir dalam sistem pengelolaan persampahan pada suatu tempat yang dipersiapkan, aman serta tidak mengganggu lingkungan. Pengolahan sampah seperti pembakaran atau lainnya diartikan juga sebagai pembuangan akhir, tetapi sebenarnya setiap pembuangan masih menghasilkan suatu sisa pengolahan (residu) yang masih tetap harus dibuang. Berdasarkan bentuknya, ada dua bentuk penanganan sampah kota, yaitu (Purwasasmita, 1989) : 1. Kriteria Penanganan Setempat (on site) : a. Mudah diatasi oleh masing-masing penghasil sampah secara perorangan dan berkelompok, karena kapasitas yang dihasilkan relatif kecil, misalnya dengan dibakar, ditimbun atau dibuat kompos. 14
b. Dapat dilaksanakan di daerah yang tidak begitu padat (kepadatan relatif rendah) dan lahan yang tersedia masih cukup luas. 2. Kriteria Penanganan Sistem Pengelolaan Sampah (off site) : a. Modal, biaya operasi dan pemeliharaan relatif murah. b. Sistem yang direncanakan harus dapat meningkatkan kualitas lingkungan, meningkatkan estetika kota dan membuat lokasi tempat penimbunan akhir dapat memberi nilai tambah. c. Menciptakan lapangan kerja Teknik pengolahan sampah untuk daerah perkotaan dapat dilakukan dengan berbagai macam teknologi, yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi kota yang ada. Macam teknologi pengolahan sampah : 1. Sistem insinerasi/pembakaran (insineration) 2. Sistem Pengomposan (composting) 3. Sistem Penimbunan (landfilling) Sistem pengolahan sampah yang tepat untuk suatu komunitas yang besar seperti daerah perkotaan adalah sistem penimbunan. Sistem penimbunan lebih mudah dilaksanakan karena mempunyai fleksibilitas penampungan sampah yang lebih tinggi dan tidak memerlukan pengkondisian atau pengolahan awal. Fleksibilitas penampungan di sini berkaitan dengan jumlah kapasitas penampungan dan berbagai jenis karakteristik sampah
Tabel 2.1 Teknologi Pembuangan Akhir Sampah di TPA No Teknologi Pembuangan Akhir Keterangan 1 Open Dumping Tidak dianjurkan 2 Controlled Land fill Minimal untuk dilaksanakan 3 Sanitary Landfill Untuk kota besar/raya 4 Improved Sanitary Lanfill Untuk kota raya (Sumber : Dinas Pemukiman dan Tata Ruang Jateng, 2003) 2.6 Perencanaan Tempat Pemrosesan Akhir untuk Operasional Sanitary Landfill 1. Pembongkaran sampah Pembongkaran sampah dari kendaraan pengangkut harus dilakukan pada lokasi yang ditentukan. Untuk kelancaran pembongkaran diperlukan pengaturan rute kendaraan dilokasi pembongkaran. Pembongkaran dilakukan secara efisien.
15
2. Perataan dan pemadatan sampah Sampah hasil pembongkaran segera diratakan untuk memperlancar pembongkaran sampah selanjutnya. Perataan dan pemadatan sampah dilakukan lapis demi lapis, dengan ketabalan perlapis antara 0,6-0,9 m. Tinggi zona biasanya sekitar 5 m atau lebih. Limbah ditempatkan pada sel awal diselingi pemadatan dengan alat berat standar, hingga ke permukaan. Penyimpanan sampah saat periode operasi akan membentuk sel individu. Penyimpanan sampah melalui pengumpulan dan transfer kendaraan akan menghasilkan 18-24 lapisan padatan. Ketinggian bervariasi antara 20-30 cm. Lama muka kerja tergantung pada kondisi lokasi dan ukuran operasi. Muka kerja adalah wilayah lahan urug dimana sampah dibongkar, diletakkan dan dipadatkan selama waktu operasi. Lebar sel bervariasi dari 3-9 m, tergantung pada desain dan kapasitas lahan urug. Semua permukaan sel ditutupi dengan lapisan tanah tipis 0,2-0,3 m atau material lain yang sesuai pada setiap akhir operasi dipadatkan untuk mengisi seluruh rongga sel-sel tersebut.
3. Penutupan sampah dengan tanah. Pada akhir hari operasi timbunan sampah yang ada dan sudah dipadatkan, ditutup dengan lapisan tanah setebal +15 cm padat. Penimbunan sampah pada hari berikutnya dilakukan pada bagian lain, demikian seterusnya. Setelah lokasi penuh, bagian permukaan timbunan sampah yang sudah ditutup tanah secara harian, secara keseluruhan ditutup dengan lapisan tanah (penutup akhir) setebal +50 cm padat. Setelah satu persatu lift telah dipakai, recovery gas horizontal trench dapat digali pada permukaan. Galian trench dapat diisi dengan kerikil, pipa plastik berlubang yang dipasang pada trench. Gas lahan urug disalurkan melalui pipa dimana dihasilkan gas. Tumpukan lift di tempatkan diatas yang lain hingga tingkat desain akhir tercapai. Tergantung pada kedalaman lahan urug, fasilitas pengumpul lindi tambahan dapat di tumpukan lift. Penutup akhir didesain untuk mengontrol erosi. Sumur ekstraksi gas vertikal dipasang melalui permukaan lahan urug yang telah selesai. Sistem ekstraksi gas saling berhubungan, gas ekstraksi dapat menyala atau menjalar menuju fasilitas energi recovery.(Tchobanoglous, 1993)
16
2.5 Operasional TPA 2.5.1 Persiapan Lahan TPA Sebelum lahan TPA diisi dengan sampah maka perlu dilakukan penyiapan lahan agar kegiatan pembuangan berikutnya dapat berjalan dengan lancar. Beberapa kegiatan penyiapan lahan tersebut akan meliputi: a. Penutupan lapisan kedap air dengan lapisan tanah setempat yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerusakan atas lapisan tersebut akibat operasi alat berat di atasnya. Umumnya diperlukan lapisan tanah setebal 50 cm yang dipadatkan di atas lapisan kedap air tersebut. b. Persediaan tanah penutup perlu disiapkan di dekat lahan yang akan dioperasikan untuk membantu kelancaran penutupan sampah; terutama bila operasional dilakukan secara sanitary landfill. Pelatakan tanah harus memperhatikan kemampuan operasi alat berat yang ada.
2.5.2 Tahapan Operasi Pembuangan Kegiatan operasi pembuangan sampah secara berurutan akan meliputi: a. Penerimaan sampah di pos pengendalian; dimana sampah diperiksa, dicatat dan diberi informasi mengenai lokasi pembongkaran. b. Pengangkutan sampah dari pos penerimaan ke lokasi sel yang dioperasikan; dilakukan sesuai rute yang diperintahkan. c. Pembongkaran sampah dilakukan di titik bongkar yang telah ditentukan dengan manuver kendaraan sesuai petunjuk pengawas. d. Perataan sampah oleh alat berat yang dilakukan lapis demi lapis agar tercapai kepadatan optimum yang diinginkan. Dengan proses pemadatan yang baik dapat diharapkan kepadatan sampah meningkat hampir dua kali lipat. e. Pemadatan sampah oleh alat berat untuk mendapatkan timbunan sampah yang cukup padat sehingga stabilitas permukaannya dapat diharapkan untuk menyangga lapisan berikutnya. f. Penutupan sampah dengan tanah untuk mendapatkan kondisi operasi control atau sanitary landfill.
17
2.5.3 Pengaturan Lahan Seringkali TPA tidak diatur dengan baik. Pembongkaran sampah terjadi di sembarang tempat dalam lahan TPA sehingga menimbulkan kesan yang tidak baik; disamping sulit dan tidak efisiennya pelaksanaan pekerjaan perataan, pemadatan dan penutupan sampah tersebut. Agar lahan TPA dapat dimanfaatkan secara efisien, maka perlu dilakukan pengaturan yang baik yang mencakup:
a. Pengaturan Sel Sel merupakan bagian dari TPA yang digunakan untuk menampung sampah satu periode operasi terpendek sebelum ditutup dengan tanah. Pada sistem sanitary landfill, periode operasi terpendek adalah harian; yang berarti bahwa satu sel adalah bagian dari lahan yang digunakan untuk menampung sampah selama satu hari. Sementara untuk control landfill ssatu sel adalah untuk menampung sampah selama 3 hari, atau 1 minggu, atau operasi terpendek yang dimungkinkan. Dianjurkan periode operasi adalah 3 hari berdasarkan pertimbangan waktu penetasan telur lalat yang rata-rata mencapai 5 hari; dan asumsi bahwa sampah telah berumur 2 hari saat ada di TPS sehingga sebelum menetas perlu ditutup tanah agar telur/larva muda segera mati. Untuk pengaturan sel perlu diperhatikan beberapa faktor: - Lebar sel sebaiknya berkisar antara 1,5-3 lebar blade alat berat agar manuver alat berat dapat lebih efisien - Ketebalan sel sebaiknya antara 2-3 meter. Ketebalan terlalu besar akan menurunkan stabilitas permukaan, sementara terlalu tipis akan menyebabkan pemborosan tanah penutup - Panjang sel dihitung berdasarkan volume sampah padat dibagi dengan lebar dan tebal sel.
Sebagai contoh bila volume sampah padat adalah 150 m 3 /hari, tebal sel direncanakan 2 m, lebar sel direncanakan 3 m, maka panjang sel adalah 18
150/(3x2) = 25 m. Batas sel harus dibuat jelas dengan pemasangan patok- patok dan tali agar operasi penimbunan sampah dapat berjalan dengan lancar.
b. Pengaturan Blok Blok operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk penimbunan sampah selama periode operasi menengah misalnya 1 atau 2 bulan. Karenanya luas blok akan sama dengan luas sel dikalikan perbandingan periode operasi menengah dan pendek.Sebagai contoh bila sel harian berukuran lebar 3 m dan panjang 25 m maka blok operasi bulanan akan menjadi 30 x 75 m 2 = 2.250 m 2
c. Pengaturan Zona Zona operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk jangka waktu panjang misal 1 3 tahun, sehingga luas zona operasi akan sama dengan luas blok operasi dikalikan dengan perbandingan periode operasi panjang dan menengah. Sebagai contoh bila blok operasi bulanan memiliki luas 2.250 m 2 maka zona operasi tahunan akan menjadi 12 x 2.250 = 2,7 Ha.
2.5.4 Persiapan Sel Pembuangan Sel pembuangan yang telah ditentukan ukuran panjang, lebar dan tebalnya perlu dilengkapi dengan patok-patok yang jelas. Hal ini dimaksudkan untuk membantu petugas/operator dalam melaksanakan kegiatan pembuangan sehingga sesuai dengan rencana yang telah dibuat. - Beberapa pengaturan perlu disusun dengan rapi diantaranya: - Peletakan tanah penutup - Letak titik pembongkaran sampah dari truk - Manuver kendaraan saat pembongkaran
19
2.5.5 Pembongkaran Sampah Letak titik pembongkaran harus diatur dan diinformasikan secara jelas kepada pengemudi truk agar mereka membuang pada titik yang benar sehingga proses berikutnya dapat dilaksanakan dengan efisien.Titik bongkar umumnya diletakkan di tepi sel yang sedang dioperasikan dan berdekatan dengan jalan kerja sehingga kendaraan truk dapat dengan mudah mencapainya. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa titik bongkar yang ideal sulit dicapai pada saat hari hujan akibat licinnya jalan kerja. Hal ini perlu diantisipasi oleh penanggungjawab TPA agar tidak terjadi. Jumlah titik bongkar pada setiap sel ditentukan oleh beberapa faktor: - Lebar sel - Waktu bongkar rata-rata - Frekuensi kedatangan truk pada jam puncak Harus diupayakan agar setiap kendaraan yang datang dapat segera mencapai titik bongkar dan melakukan pembongkaran sampah agar efisiensi kendaraan dapat dicapai.
2.5.6 Perataan dan Pemadatan Sampah Perataan dan pemadatan sampah dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi pemanfaatan lahan yang efisien dan stabilitas permukaan TPA yang baik. Kepadatan sampah yang tinggi di TPA akan memerlukan volume lebih kecil sehingga daya tampung TPA bertambah, sementara permukaan yang stabil akan sangat mendukung penimbunan lapisan berikutnya. Pekerjaan perataan dan pemadatan sampah sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan efisiensi operasi alat berat. - Pada TPA dengan intensitas kedatangan truk yang tinggi, perataan dan pemadatan perlu segera dilakukan setelah sampah dibongkar. Penundaan pekerjaan ini akan menyebabkan sampah menggunung sehingga pekerjaan perataannya akan kurang efisien dilakukan. - Pada TPA dengan frekuensi kedatangan truk yang rendah maka perataan dan pemadatan sampah dapat dilakukan secara periodik, misalnya pagi dan siang. 20
Perataan dan pemadatan sampah perlu dilakukan dengan memperhatikan kriteria pemadatan yang baik: - Perataan dilakukan selapis demi selapis - Setiap lapis diratakan sampah setebal 20 cm 60 cm dengan cara mengatur ketinggian blade alat berat - Pemadatan sampah yang telah rata dilakukan dengan menggilas sampah tersebut 3-5 kali - Perataan dan pemadatan dilakukan sampai ketebalan sampah mencapai ketebalan rencana
2.5.7 Penutupan Tanah Penutupan TPA dengan tanah mempunyai fungsi maksud sebagai berikut: - Untuk memotong siklus hidup lalat, khususnya dari telur menjadi lalat - Mencegah perkembangbiakan tikus - Mengurangi bau - Mengisolasi sampah dan gas yang ada - Menambah kestabilan permukaan - Meningkatkan estetika lingkungan Frekuensi penutupan sampah dengan tanah disesuaikan dengan metode/teknologi yang diterapkan. Penutupan sel sampah pada sistem sanitary landfill dilakukan setiap hari, sementara pada control landfill dianjurkan 3 kali sehari. Ketebalan tanah penutup yang perlu dilakukan adalah: - Untuk penutupan sel (sering disebut dengan penutup harian) adalah dengan lapisan tanah padat setebal 20 cm - Untuk penutupan antara (setelah 2 - 3 lapis sel harian) adalah tanah padat setebal 30 cm - Untuk penutup terakhir, yang dilakukan pada saat suatu blok pembuangan telah terisi penuh, dilapisi dengan tanah padat setebal minimal 50 cm
21
2.6 Pemeliharaan TPA 2.6.1 Umum Pemeliharaan TPA dimaksudkan untuk menjaga agar setiap prasarana dan sarana yang ada selalu dalam kondisi siap operasi dengan unjuk kerja yang baik.Seperti halnya program pemeliharaan lazimnya maka sesuai tahapannya perlu diutamakan kegiatan pemeliharaan yang bersifat preventif untuk mencegah terjadinya kerusakan dengan melaksanakan pemeliharaan rutin. Pemeliharaan kolektif dimaksudkan untuk segera melakukan perbaikan kerusakan-kerusakan kecil agar tidak berkembang menjadi besar dan kompleks.
2.6.2 Pemeliharaan Alat Bermesin (Alat Berat, Pompa, dll) Alat berat dan peralatan bermesin seperti pompa air lindi sangat vital bagi operasi TPA sehingga kehandalan dan unjuk kerjanya harus dipelihara dengan prioritas tinggi. Buku manual pengoperasian dan pemeliharaan alat berat harus selalu dijalankan dengan benar agar peralatan tersebut terhindar dari kerusakan. Kegiatan perawatan seperti penggantian minyak pelumas baik mesin maupun transmisi harus diperhatikan sesuai ketentuan pemeliharaannya. Demikian pula dengan pemeliharaan komponen seperti baterai, filter-filter, dan lain-lain tidak boleh dilalaikan ataupun dihemat seperti banyak dilakukan.
2.6.3 Pemeliharaan Jalan Kerusakan jalan TPA umumnya dijumpai pada ruas jalan masuk dimana kondisi jalan bergelombang maupun berlubang yang disebabkan oleh beratnya beban truk sampah yang melintasinya. Jalan yang berlubang / bergelombang menyebabkan kendaraan tidak dapat melintasinya dengan lancar sehingga terjadi penurunan kecepatan yang berarti menurunnya efisiensi pengangkutan; disamping lebih cepat ausnya beberapa komponen seperti kopling, rem dan lain-lain. Keterbatasan dana dan kelembagaan untuk pemeliharaan seringkali menjadi kendala perbaikan sehingga kerusakan jalan dibiarkan berlangsung lama tanpa disadari telah menurunkan efisiensi pengangkutan. Hal ini sebaiknya diantisipasi dengan melengkapi manajemen TPA dengan kemampuan 22
memperbaiki kerusakan jalan sekalipun bersifat temporer seperti misalnya perkerasan dengan pasir dan batu. Bagian lain yang juga sering mengalami kerusakan dan kesulitan adalah jalan kerja dimana kondisi jalan temporer tersebut memiliki kestabilan yang rendah; khususnya bila dibangun di atas sel sampah. Cukup banyak pengalaman memberi contoh betapa jalan kerja yang tidak baik telah menimbulkan kerusakan batang hidrolis pendorong bak pada dump truck; terutama bila pengemudi memaksa membongkar sampah pada saat posisi kendaraan tidak rata / horizontal. Jalan kerja di banyak TPA juga memiliki faktor kesulitan lebih tinggi pada saat hari hujan. Jalan yang licin menyebabkan truk sampah sulit bergerak dan harus dibantu oleh alat berat; sehingga keseluruhan menyebabkan waktu operasi pengangkutan di TPA menjadi lebih panjang dan pemanfaatan alat berat untuk hal yang tidak efisien. Sekali lagi perlu diperhatikan untuk memperbaiki kerusakan jalan sesegera mungkin sebelum menjadi semakin parah. Pengurugan dengan sirtu umumnya sangat efektif memperbaiki jalan yang bergelombang dan berlubang.
2.6.4 Pemeliharaan Lapisan Penutup Lapisan penutup TPA perlu dijaga kondisinya agar tetap dapat berfungsi dengan baik. Perubahan temperatur dan kelembaban udara dapat menyebabkan timbulnya retakan permukaan tanah yang memungkinkan terjadinya aliran gas keluar dari TPA ataupun mempercepat rembesan air pada saat hari hujan. Untuk itu retakan yang terjadi perlu segera ditutup dengan tanah sejenis. Proses penurunan permukaan tanah juga sering tidak berlangsung seragam sehingga ada bagian yang menonjol maupun melengkung ke bawah. Ketidakteraturan permukaan ini perlu diratakan dengan memperhatikan kemiringan ke arah saluran drainase. Penanaman rumput dalam hal ini dianjurkan untuk mengurangi efek retakan tanah melalui jaringan akar yang dimiliki. Pemeriksaan kondisi permukaan TPA perlu dilakukan minimal sebulan sekali atau beberapa hari setelah terjadi hujan lebat untuk memastikan tidak terjadinya perubahan drastis pada permukaan tanah penutup akibat erosi air hujan. 23
2.6.5 Pemeliharaan Drainase Pemeliharaan saluran drainase secara umum sangat mudah dilakukan. Pemeriksaan rutin setiap minggu khususnya pada musim hujan perlu dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan saluran yang serius. Saluran drainase perlu dipelihara dari tanaman rumput ataupun semak yang mudah sekali tumbuh akibat tertinggalnya endapan tanah hasil erosi tanah penutup TPA di dasar saluran. TPA di daerah bertopografi perbukitan juga sering mengalami erosi akibat aliran air yang deras. Lapisan semen yang retak atau pecah perlu segera diperbaiki agar tidak mudah lepas oleh erosi air; sementara saluran tanah yang berubah profilnya akibat erosi perlu segera dikembalikan ke dimensi semula agar dapat berfungsi mengalirkan air dengan baik.
2.6.6 Pemeliharaan Fasilitas Penanganan Lindi Kolam penampung dan pengolah lindi seringkali mengalami pendangkalan akibat endapan suspensi. Hal ini akan menyebabkan semakin kecilnya volume efektif kolam yang berarti semakin berkurangnya waktu tinggal; yang akan berakibat pada rendahnya efisiensi pengolahan yang berlangsung. Untuk itu perlu diperhatikan agar kedalaman efektif kolam dapat dijaga. Lumpur endapan yang mulai tinggi melampaui dasar efektif kolam harus segera dikeluarkan. Alat berat excavator sangat efektif dalam pengeluaran lumpur ini. Dalam beberapa hal dimana ukuran kolam tidak terlalu besar juga dapat digunakan truk tinja untuk menyedot lumpur yang terkumpul yang selanjutnya dapat dibiarkan mengering dan dimanfaatkan sebagai tanah penutup sampah.
2.6.7 Pemeliharaan Fasilitas Lainnya Fasilitas-fasilitas lain seperti bangunan kantor / pos, garasi dan sebagainya perlu dipelihara sebagaimana lazimnya bangunan umum seperti kebersihan, pengecatan dan lain-lain.
24
BAB III PENUTUP
Sampah perkotaan menurut SK SNI T-11-1991-03 adalah sampah non B2 (sampah berbahaya) dan non B3 (bahan berbahaya beracun). Sedangkan pengertian sampah menurut Depkes RI (1994) adalah bahan-bahan yang tidak berguna, tidak digunakan ataupun yang terbuang. Tempat pengolahan sampah terpadu, yang selanjutnya disingkat TPST, adalah tempat dilaksanakannya kegiatan penggunaan ulang, pendauran ulang, pemilahan, pengumpulan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Pembuangan akhir sampah adalah merupakan rangkaian atau proses terakhir dalam sistem pengelolaan persampahan pada suatu tempat yang dipersiapkan, aman serta tidak mengganggu lingkungan. 25
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. Standar Nasional Indonesia (SNI) Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. SNI 03-3241-1994. Bandung : 1991. Anonim. Petunjuk Teknis Speifikasi Area Penimbunan Sampah dengan Sistem Lahan Urug Terkendali di TPA Sampah. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Anonim. 2004. Reusable Sanitary Landfill, Alternatif Pengolahan Sampah Jakarta. Jakarta : TEMPO Interaktif. Aprilia S.D, Noor.2009. Redesain TPA Jatibarang Kota Semarang Dengan Konsep Sanitary Landfill. Semarang: Teknik Lingkungan UNDIP Bahar, Yul, H. 1986. Teknologi Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta : PT Waca Utama Pramesti. Damanhuri, Enri. 1995. Teknik Pembuangan Akhir. Bandung : Teknik Lingkungan ITB Darmasetiawan, Martin. 2004. Perencanaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Jakarta : Ekamitra Engineering Dinas Pekerjaan Umum. 1990. SK SNI T-13-1990-F Tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan. Bandung : Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan Dinas Pemukiman dan Tata Ruang Prop. Jawa Tengah. 2003. Lokakarya Studi Evaluasi TPA Jateng. Magelang : CV Wisanggeni Konsultan http://www.anishariri.com/2013/08/3r-sampah-bisakah-sustainable/