Anda di halaman 1dari 5

M.

Irjik Nurossobah

1
Pendekatan Teologis Normatif

Islam merupakan sebuah sistem universal yang mencakup seluruh kehidupan manusia.
Dalam islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia, dipenuhi secara lengkap
semuanya diarahkan agar manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi
sesuai dengan kodrat kemanusianya. Jika hal ini dilakukan, maka akan selamat dunia akherat.
Sebagai sebuah sistem, islam memiliki sumber ajaran yang lengkap, yakni Al-Quran dan Al-
Hadits. Al-Quran, dipandang sebagai sumber ajaran dan sumber hukum islam yang pertama dan
utama, sedang hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Sedangkan islam ala
Nahdlatul ulama mempunyai tambahan sumber ajaran lagi yaitu Ijma dan qiyas.
Ketika Al-Quran dan Hadits dipahami dan dijadikan sebagai obyek kajian, maka
muncullah penafsiran, pemahaman, dan pemikiran. Sehingga melahirkan berbagai jenis ilmu
islam. Jika Al-Quran dan Hadits, dipahami dalam bentuk pengetahuan islam, maka kebenaranya
berubah menjadi relatif, dan tidak lagi mutlak. Hal ini karena pemahaman, pemikiran dan
penafsiran merupakan hasil upaya manusia dalam mendekati kebenaran yang dinyatakan dalam
Wahyu Allah dan sunnah Rasulullah. Karena produk manusia, maka hasilnya sangat relatife bisa
benar, tapi juga bisa salah, bisa benar untuk waktu tertentu, tapi tidak untuk waktu yang lain.
Untuk memahami Al-Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam, maka diperlukan
berbagai pendekatan metodologi pemahaman Islam yang tepat, akurat dan responsible. Dengan
demikian, diharapkan Islam sebagai sebuah sistem ajaran yang bersumber pada Al-Quran dan
Hadits dapat dipahami secara komprehensif. Dan diantara pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan Teologis Normatif.

A. Pegertian Teologi
Sebagaimana halnya Filsafat Agama, Teologi pun sukar didefinisikan dengan definisi
yang bisa diterima oleh segala pihak. Lebih-lebih kalau mengingat masalahnya bahkan kadang-
kadang ada justru para ahli berlawanan pahamnya tentang apa yang dinamakan Teologi itu.
Disatu pihak ada yang mengatakan Teologi benar-benar berbeda dengan filsafat agama, tetapi
justru yang lain memasukkan filsafat agama ke dalam teologi, karena misalnya Encyclopedia of
Philosopy yang editornya Paul Edwards, yang menyebutkan bahwa ke dalam Teologi itu masuk
sejarah filsafat agama dan problematika filsafat agama. Tetapi sebaiknya dilihat juga percobaan
satu dua orang untuk memberi gambaran tentang Teologi ini seperti yang terdapat dalam
dictionary, encyclopedia maupun buku Teologi.
Virgilius Ferm mengatakan bahwa Teologi berasal dari bahasa Yunani theos yang
berarti Tuhan, dan logos yang berarti studi. Kalau secara sederhana Teologi berarti studi
masalah-masalah Tuhan dan kaitan Tuhan dengan dunia realitas. Dalam pengertian yang lebih
luas berarti suatu cabang Filsafat, yaitu cabang Filsafat yang merupakan lapangan khusus atau
bidang penelitian Filsafat yang khusus berkenaan dengan masalah Tuhan. Tetapi secara luas
dipergunakan dalam arti Theoritical expression of a particular religion, ekspresi teoritis tentang
M. Irjik Nurossobah

2
suatu agama tertentu. Dalam pemahamannya kemudian ada Teologi Kristen, Yahudi,
Prebisterian, Reformasi dan sebagainya. Kalau dipergunakan dalam hal yang demikian itu,
teologi lalu merupakan fase-fase diskusi teoritis tentang kepercayaan agama tertentu yang
bersifat historic, sistematik, polemic, apologetik dan sebagainya. Teologi tidak perlu merefensi
pada agama, ia mungkin merupakan diskusi teoritis murni tentang Tuhan dan hubungan-Nya
dengan dunia atas dasar penelitian yang bebas yang tidak mempunyai interest atau kepentingan
tertentu.

B. Karaktersitik Teologi
Kalau potongan-potongan informasi tentang apa yang dinamakan Teologi di depan kita
padukan, akan kita temukan ciri-ciri Teologi itu, diantaranya :
1. Obyek pembicaraannya adalah soal Tuhan dan kaitan Tuhan dengan realitas alam semesta,
termasuk manusia yang diantaranya tentunya berwujud petunjuk hidup semacam etika.
2. Tidak semua Teologi itu bernada filosofis, ada yang cukup dengan discourse, jadi
semacam merembuk atau membicarakan.
3. Discourse itu diteruskan dengan studi sistematis serta presentasi
4. Ada yang mengatakan studi Teologi ini ilmiah tetapi mestinya tidak sebagaimana
keilmiahan ilmu sosiologi, psikologi dan sebagainya.
5. Ada yang mensyaratkan keilmiahan Teologi ini tidak obyektif, jadi subyektif, pelakunya
orang yang percaya dan mentakwai apa yang didiskusikan.
6. Obyek pembicaraannya dapat dari sesuatu agama dapat juga atas nama semua agama. Ada
yang mengatakan yang analisis kritis masalah-masalah dasariah problematika agama-
agama yang bukan agama tertentu demikian itu Filsafat Agama.
7. Ada yang berpendapat antara Teologi dan Filsafat Agama tidak berbeda walaupun ada juga
yang membedakannya sebagaimana halnya sudah disebutkan di depan.

C. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan normatif-teologis juga di istilahkan dengan pendekatan tektual karena ia
menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentral kajian islam dengan merujuk pada sumber-
sumber suci (Pristine sources) dalam islam, terutama Al-Quran dan Hadits.
Dalam kerangka studi agama, normatifitas ajaran dibangun, dikemas dan dibakukan
melalui pendekatan doktrinal-teologis. Pendekatan normatif ini berangkat dari teks yang sudah
tertulis dalam kitab suci masing-masing agama. Oleh karena itu pendekatan ini dianggap sebagai
bercorak literalis, tektualis dan skripturalis.
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan
sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak
dari suatu kayakinan bahwa wujud empirik dari suatu kagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan yang lainya. Dari pemikiran tersebut diatas, dapat diketahui bahwa
pendekatan teologis dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada
M. Irjik Nurossobah

3
bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing bentuk forma atau simbol-
simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan
pemahaman yang yang lainya dianggap salah.
Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pemahamanyalah yang benar
sedangkan paham lainya salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat,
kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun
menuduh kepada lawanya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka
terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan antara yang satu dengan lainya dan
begitu seterusnya. Pendekatan teologis memiliki arti yang berkaitan dengan aspek ketuhanan.
Sedangkan normatif secara sederhana diartikan dengan hal-hal yang mengikuti aturan atau
norma-norma tertentu. Dalam konteks ajaran islam normatif memiliki ajaran agama yang belum
dicampuri oleh pemahaman dan penafsiran manusia .
Pendekatan teologis ini erat kaitanya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu
pendekatan yang memandang agama dari segi ajaranya yang pokok dan asli dari Tuhan yang
didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini, agama
dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak
bersikap ideal.
Pendekatan normatif dapat diartikan studi islam yang memandang masalah dari sudut
legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat
studi islam dari apa yang tertera dalam teks Al-Quran dan Hadits. Pendekatan normatif dapat
juga dikatakan pendekatan yang bersifat domain keimanan tanpa melakukan kritis kesejarahan
atas nalar lokal dan nalar zaman yang berkembang, serta tidak memperhatikan konteks
kesejarahan Al-Quran. Pendekatan ini mengasumsikan seluruh ajaran islam baik yang terdapat
dalam Al-Quran, Hadits maupun ijtihad sebagai suatu kebenaran yang harus diterima saja dan
tidak boleh diganggu gugat lagi.
Jika dipahami uraian itu akan tampak bahwa pendekatan teologis dalam memahami
agama cenderung bersikap tertutup tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, yang pada
akhirnya terjadi pengkotak-kotakan umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya
kepedulian sosial. Akhirnya agama cenderung hanya merupakan keyakinan dan pembentuk sikap
keras dan dampak sosial yang kurang baik, melalui pendekatan teologis agama menjadi buta
terhadap masalah-masalah sosial yang cenderung menjadi lambang identitas yang tidak memiliki
makna.
Uraian diatas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologis dalam
memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah
cair dan tidak jelas identitas dan pelambanganya. Proses pelembagaan prilaku keagamaan
melalui mazhab-mazhab sebagai mana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan
antara lain berfungsi utuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan
karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
M. Irjik Nurossobah

4
Jika dianalisa, tradisi studi keagamaan yang banyak kita saksikan selama ini yang lebih
dominan cenderung membatasi pada pendalaman terhadap agama yang dipeluknya tanpa
melakukan komparasi kritis dan apresiatif terhadap agama orang lain. Mungkin saja hal ini
disebabkan oleh terbatasnya waktu dan fasilitas yang diperlukan atau menganggap studi agama
diluar yang dipeluknya dinilai kurang bermanfaat, atau bahkan bisa merusak keyakinan yang
telah dibangun dan dipeluknya bertahun-tahun yang diwarisi dari orang tua.
Menurut Abudin Nata, sikap eksklusivisme teologis dalam memandang perbedaan dan
pluralitas agama sebagaimana tersebut diatas tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga
merugikan diri sendiri, karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit bagi masuknya
kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan
nuansa. Arogansi teologis ini tidak saja dihadapkan pada pemeluk agama lain, tetapi juga terjadi
secara internal dalam suatu komunias seagama.
Sejarah telah membuktikan kepada kita, baik dalam Yahudi, Kristen maupun Islam
tentang bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran teologi dengan aliran lain.
Bentrokan semacam ini menjadi semakin seru ketika ternyata yang muncul dan yang
mengendaliakan isu secara kuat adalah kepentingan politiknya. Dalam hal ini juga tidak jelas
mana yang benar, apakah berawal dari politik, kemudian timbul perpecahan yang kemudian
perpecahan tersebut memperoleh pembenaran teologis dan normatif, atau sebaliknya, berawal
dari pemahaman teologi kemudian masuklah unsur-unsur politis di dalamnya.

D. Aplikasi Pendekatan Teologis Normatif
Dalam aplikasinya, pendekatan nomatif-teologis-tekstualis barangkali tidak menemui
kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi islam normatif yang bersifat
Qothi. Persoalanya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita
dalam Al-Quran maupun Hadits yang tidak tertulis secara eksplisit namun kehadiranya diakui
dan bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas. Contoh yang paling kongkrit adalah
adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun,
seperti slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis-normatif-tekstualis dalam
memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari
keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu,
melainkan dimulai dari kaeyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-salil dan
argumentasi.
Pendekatan normatif-teologis-tektualis sebagaimana disebutkan diatas telah
menunjukan adanya kekurangan yang antara lain eksklusif dogmatis, tidak mau mengakui
adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.
Namun demikian melalui pendekatan teologis-norrmatif-tektualis ini seseorang akan
memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang
diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainya. Dengan
M. Irjik Nurossobah

5
pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang di
anutnya.
Saat ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar
menjadi lambang keshalihan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan
secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Seiring perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai dengan munculnya
berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, maka menjadi sebuah keniscayaan untuk
memahami agama sesuai dengan zamanya. Oleh karena itu, berbagai pendekatan dalam
memahami agama yang bersumber dari al-Quran dan hadits memiliki peran yang sangat
setrategis.
Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat ciri khasnya. Agama
islam secara normatif pasti benar dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial
agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong
menolong, rasa persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi agama tampil
menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu
pengetahuan agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki pengetahuan dan tehnologi
yang setinggi-tingginya, menguasai ketrampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk
bidang kesehatan, kehidupan, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan
yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

E. Kesimpulan
Studi islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk
memahami cara mendekati islam, baik pada tataran realitas-empirik maupun normatif-doktrinal
secara utuh dan tuntas.
Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang
lainya yang kehadiranya sama-sama penting. Apabila islam hanya dilihat dari satu sisi saja, maka
akibat yang ditimbulkanya pun mudah ditebak, yaitu reduksi dan distorsi makna. Sebagai
akibatnya gambaran islam yang utuh-tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim
sepihak rasanya akan sulit dicapai. Perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai
munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, menjadi sebuah tuntutan untuk
memahami agama sesuai zamanya.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman
agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis-normatif dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara oprasional konseptual dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Sebaiknya umat islam tidak hanya memahami islam melalui pendekatan teologis saja,
agar pemahaman tentang islam menjadi integral, universal, dan komprehenshif

Anda mungkin juga menyukai